Jika Subjek Menipu Apakah Hasil Pengukur

Jika Subjek Menipu, Apakah Hasil Pengukuran
oleh Skala Psikologi Masih Andal?
Wahyu Widhiarso
Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dampak respons tipuan
terhadap keandalan pengukuran skala psikologi. Eksperimen dilakukan pada
200 subjek yang diminta untuk melengkapi Skala Kepribadian Lima Faktor
(BFI-44) dengan dua instruksi berbeda. Instruksi pertama meminta subjek
merespons dengan jujur (kondisi netral) sedangkan instruksi kedua meminta
subjek merespons skala skala seperti halnya ketika dalam kondisi seleksi
pekerjaan (kondisi termotivasi). Perbandingan koefisien alpha antar kondisi
menunjukkan bahwa respons tipuan tidak mengganggu keandalan
pengukuran. Porsi skor murni di dalam skor tampak tampak tidak
terpengaruh oleh hadirnya respons tipuan. Dengan menggunakan analisis
pemodelan situasi–ciri sifat didapatkan bahwa besarnya skor murni tersebut
banyak terkandung skor yang lebih terkait dengan situasi dibanding dengan
ciri sifat yang menjadi target utama pengukuran. Hasil analisis model secara
terpisah berdasarkan tiap faktor kepribadian menunjukkan bahwa faktor
keramahan dan keterbukaan relatif tahan terhadap respons tipuan yang
dibuktikan dengan proporsi varians skor ciri sifat yang cukup besar.

Kata Kunci : Respons Tipuan, Model Situasi–Ciri Sifat, Keandalan
Pengukuran
The aims of this study was exploring the impact of faking responses on
measurement reliability of psychological scales. Experiments conducted on
200 subjects who were asked completed Five Factors Personality Scale
(BFI-44) with two different instructions. First instruction asked subjects to
respond with honest way (neutral condition) whereas second instruction
asked subjects to respond to the scale of scale as when they participate in
employment selection (motivated conditions). Comparisons between alpha
coefficient between these conditions suggest that faking response does not
interfere measurement reliability. Pure score proportion on observed score
was unaffected by presence of faking responses. However, using state-trait
models found that pure score proportion on observed score contained state
score rather than trait score as main measurement target. Results of analysis
model separately toward personality factors suggest that agreeableness and
openness factor was relatively resistant to faking responses. Trait score
proportion of these factors still large altough faking response was presence.
Key words : Faking Response, Trait-State Model, Measurement Reliability

1


Pengukuran kepribadian dengan menggunakan skala psikologi dalam
bentuk pelaporan mandiri (self-report) banyak dipakai dalam bidang praktis
maupun penelitian. Penggunaan skala psikologi dalam bidang praktis masih
minim dibanding penggunaannya dalam bidang penelitian. Dalam bidang industri
dan organisasi misalnya, banyak praktisi yang masih skeptis untuk memanfaatkan
skala psikologi dalam pengukuran yang dikarenakan skala psikologi mudah
ditipu. Subjek mengetahui bagaimana profil kepribadian ideal yang diinginkan
oleh pimpinannya sehingga respons yang diberikan cenderung distortif dan tidak
sesuai dengan kondisi senyatanya (Martin, Bowen, & Hunt, 2002).
Meski istilah yang menjelaskan respons distortif, namun istilah yang
banyak dipakai dalam literatur adalah respons tipuan (faking) (Holden & Evoy,
2005). Respons tipuan didefinisikan sebagai upaya sengaja untuk mendistorsi
profil kepribadian individu agar sesuai dengan apa yang dipersepsikan oleh pihak
tertentu sebagai profil kepribadian yang ideal. Respons tipuan memberikan
dampak yang sangat berarti terhadap pengambilan keputusan, apalagi jika respons
tipuan tersebut dipakai sebagai tes utama dalam pengambilan keputusan (highstake testing). Adanya respons tipuan berpotensi menyebabkan skor hasil
pengukuran menjadi bias dan tidak menggambarkan atribut psikologis yang
diukur.
Seberapa bias hasil pengukuran dengan kondisi individu senyatanya telah

banyak diteliti. Studi yang paling banyak dilakukan adalah dengan memberikan
dua skala psikologi pada subjek penelitian yang masing-masing memiliki instruksi
berbeda (e.g. Ferrando & Carrasco, 2009). Pertama adalah instruksi standar yang
meminta subjek memberikan respons secara jujur terhadap alat ukur. Instruksi
kedua, instruksi spesial yang meminta subjek membayangkan dirinya sebagai
pelamar pekerjaan yang mengikuti proses penyeleksian. Kondisi kedua secara
tidak langsung akan mengarahkan subjek untuk memberikan respons tipuan agar
dapat diterima sebagai karyawan. Kondisi ketika subjek merespons alat ukur
secara jujur dinamakan kondisi netral sedangkan kondisi kedua dinamakan
kondisi motivasional. Pada beberapa penelitian, besarnya bias skor hasil
pengukuran didapatkan dari selisih skor antar kedua kondisi tersebut (e.g. Boon,
Gozna, & Hall, 2008).
Sejumlah penelitian telah mengidentifikasi bias skor hasil pengukuran
tersebut. Viswesvaran dan Ones (1999) melakukan kajian meta-analisis terhadap
penelitian-penelitian tersebut. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada
studi dalam-subjek (within subject), subjek dapat meningkatkan skor dengan ratarata 0,75 deviasi standar. Pada penelitian dengan desain antar-subjek (between
subject) didapatkan perbedaan skor dengan rerata 0,5 deviasi standar. Meski rerata
bias skor tergolong kecil (di bawah 1 deviasi standar) namun penelitian ini telah
mengungkap responden dapat dengan sengaja meningkatkan skor.
Mengetahui bias pengukuran melalui perbandingan rerata skor tampak

memiliki banyak kelemahan. Kelemahan ini dikarenakan besarnya skor dari hasil
respons tipuan dipengaruhi oleh beberapa paramater. Komar et al. (2008)

2

mencatat ada tiga parameter terkait dengan respons tipuan, yaitu besarnya respons
tipuan, variasi respons tipuan dan proporsi subjek yang memberikan respons
tipuan. Besarnya respons tipuan menunjukkan sampai seberapa jauh subjek
menipu yang didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa derajat
subjek dalam memberikan respons tipuan berbeda-beda (McFarland & Ryan,
2000). Variasi respons tipuan menunjukkan seberapa jauh variasi skor berbeda
antara kondisi netral dan motivasional, sedangkan proporsi subjek yang
memberikan respons tipuan menjelaskan seberapa banyak subjek yang mengikuti
instruksi khusus sehingga mereka benar-benar memberikan respons tipuan.
Untuk mengendalikan pengaruh ketiga parameter di muka, beberapa
teknik analisis dapat diterapkan, misalnya melalui pemodelan persamaan
struktural (SEM) (Winkelspecht, Lewis, & Thomas, 2006); atau teori respons
butir (IRT) (Eid & Zickar, 2007). Pemodelan melalui SEM dapat dilakukan
dengan mengembangkan model yang melibatkan konstrak laten yang menjelaskan
atribut psikologis subjek sebenarnya dan konstrak laten yang menjelaskan atribut

psikologis yang dikarenakan situasi ketika individu merespons alat ukur.
Penggunaan konstrak laten dalam analisis akan mengendalikan semua varians
yang tidak terkait dengan atribut yang diukur termasuk di dalamnya parameterparameter ekstra yang dipaparkan di muka. Pemodelan melaui IRT akan
menjangkau unsur yang lebih mendetail karena fokus kajiannya mengarah pada
pola respons subjek terhadap skala. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan oleh
penulis adalah pemodelan SEM.
Pemodelan melalui SEM yang melibatkan konstrak laten yang
menjelaskan atribut psikologis secara murni serta atribut terkait situasi. Model ini
merupakan penerapan dari model situasi–ciri sifat (latent state-trait model) yang
dikembangkan oleh Steyer dan Schimtt (1990). Model tersebut menjelaskan
bahwa atribut psikologis yang biasa diukur oleh peneliti memuat dua varians.
Pertama adalah varians atribut murni individu yang kemudian dinamakan dengan
ciri sifat (trait) dan atribut psikologis yang terkait situasi (state). Skor pengukuran
sikap misalnya, selain mengandung sesatan pengukuran juga mengandung skor
murni yang bersifat menetap (i.e. ciri sifat) dan skor murni yang terkait dengan
kondisi atau situasi temporer individu.
Dari beberapa kajian literatur psikologi (e.g. Fleeson, 2004), didapatkan
beberapa perbedaan antara situasi dan ciri sifat. Pertama adalah perbedaan dari
sisi durasi yang menjelaskan bahwa situasi berdurasi lebih pendek dibanding
dengan ciri sifat. Kedua, situasi bersifat berubah-ubah oleh waktu, sementara cirisifat cenderung tidak berubah oleh waktu. Namun terkadang ciri sifat bersifat

tidak konstan karena individu mengekspresikannya dengan cara yang berbedabeda. Ketiga, situasi merupakan hasil pengamatan sedangkan ciri-sifat adalah
hasil penyimpulan. Perbedaan keempat lebih mengarah pada sumbernya, jika
situasi bersumber pada kondisi tertentu maka ciri-sifat bersumber pada akar
psikologis individu. Respons tipuan sangat dipengaruhi oleh kondisi (Robie,
2006) sehingga model situasi dan ciri sifat dapat diterapkan untuk mengkaji
seberapa jauh keandalan pengukuran ketika respons tipuan hadir.

3

Dalam berbagai literatur di Indonesia kata keandalan pengukuran memiliki
arti yang sama dengan kata reliabilitas pengukuran. Keduanya sama-sama
diterjemahkan dari kata reliability. Keandalan pengukuran diukur dari seberapa
jauh skor tampak memuat skor terkiat atribut ukur, yang dinamakan dengan skor
murni. Semakin andal pengukuran semakin besar proporsi skor murni di dalam
skor tampak dan semakin sedikit porsi sesatan (error) pengukuran.
Kajian terbaru dalam bidang psikometri kemudian membagi skor murni
menjadi dua bagian: skor murni terkait situasi dan dan ciri sifat individu.
Penjabaran ini dapat dilihat pada Gambar 1. Beberapa ahli kemudian menjabarkan
satu komponen lagi di dalam skor tampak, yaitu metode. Metode menjelaskan
seberapa besar porsi perbedaan metode ukur di dalam skor tampak. Metode bukan

bagi menjadi bagian dari skor murni karena tidak mengukur atribut ukur, bahkan
metode termasuk dalam sesatan pengukuran karena turut mengurangi porsi skor
murni hasil pengukuran.
Gambar 1 menjelaskan skala dengan dua buah butir A dan B yang
dikenakan sebanyak dua kali sehingga dijabarkan menjadi A1-B1 dan A2-B2.
Setiap skor pengukuran didalamnya terkandung skor murni, unsur dari sesatan
pengukuran dan metode. Sementara itu, di dalam sekor murni terkandung
komponen dari ciri sifat dan situasi pengukuran.
eror1
Metode-1

Metode-2

eror2

Eror3
eror4

A1
B1


Skor
Murni

Ciri
Sifat

A2
B2

Situasi1

Skor
Murni

Situasi2

Gambar 1. Model situasi ciri sifat pada alat ukur dengan dua butir/metode yang
diberikan kepada subjek sebanyak dua kali.
Dalam penelitian ini keandalan pengukuran lebih diartikan sebagai

besarnya varians skor ciri sifat di dalam skor murni. Kata varians di sini dipakai
karena dapat dipakai untuk menjelaskan besarnya porsi bagian kecil dalam bagian
besar yang memuatnya. Hasil pengukuran yang andal akan mengukur atribut ukur
yang sesuai dengan karakteristiknya. Dalam pengukuran mood yang sifatnya
temporer, keandalan ukur dapat diketahui dari porsi varians skor situasi,
sedangkan pada pengukuran kepribadian yang sifatnya lebih stabil keandalan ukur
dapat diketahui melalui porsi varians skor ciri sifat.
Penelitian ini menggunakan pengukuran kepribadian yang secara teoritik
sifatnya stabil sehingga dikategorikan sebagai ciri sifat. Oleh karena itu,

4

pengukuran kepribadian yang andal akan lebih banyak menggambarkan ciri sifat
dibanding dengan situasi individu. Sebaliknya pengukuran yang kurang andal
akan menghasilkan varians skor situasi yang besar dibanding dengan ciri sifat.

METODE
Partisipan
Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa yang berjumlah partisipan adalah 200
orang yang dipilih dengan menggunakan teknik pengambilan sampel purposif.

Partisipan yang tidak merespons butir secara lengkap dikeluarkan dari analisis.
Partisipan memiliki usia antara 19 hingga 23 dari berbagai tingkat tahun akademik
(39% laki-laki dan 61% perempuan). Pelaksanaan eksperimen dilakukan di dalam
kelas yang didahului dengan pengisian inform consent. Tidak ada partisipan yang
menolak untuk mengisi inform consent sehingga semua subjek dapat mengikuti
keseluruhan prosedur eksperimen. Pelaksanaan eksperimen memakan waktu 30
menit. Semua partisipan diinstruksikan untuk merespons skala dengan dua
instruksi berbeda yang diawali dari mengisi secara jujur kemudian dilanjutkan
dengan merespons skala dengan kondisi sebagai pelamar pekerjaan.
Pengukuran
Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah Inventori Kepribadian
Lima Faktor, diadaptasi oleh peneliti dari Big Five Inventory (BFI) yang
dikembangkan oleh John, Donahue, & Kentle (1991). Skala ini menggunakan
model skala Likert yang terdiri dari lima alternatif respons. Cara pengukurannya
adalah pelaporan mandiri yang meminta subjek untuk merespon butir-butir
pernyataan menggambarkan berbagai karakteristik individu. Respon yang
disediakan ada lima alternatif respons dari sangat sesuai hingga sangat tidak
sesuai dengan penyekoran butir bergerak dari 1 hingga 5. Skala ini mengukur lima
faktor kepribadian antara lain ekstraversi (extroversion), keramahan
(agreeableness), keuletan (conscentiousness), neurotisisme (neuroticism) dan

keterbukaan (openess).
Contoh butir pada masing-masing faktor antara lain sebagai berikut.
Menjadi penggerak dalam kelompok (ekstraversi, butir 1), memiliki sedikit
kepedulian terhadap orang lain (keramahan), mempersiapkan diri sebelum
melakukan sesuatu (keuletan), mudah meredahkan perasaan tertekan (kestabilan
emosi) dan memiliki banyak kosa kata (ekstraversi). Penyekoran butir pada faktor
neurotisisme dalam penelitian ini dilakukan secara terbalik sehingga semakin
tinggi skor faktor ini menunjukkan semakin tinggi kestabilan emosi subjek.
Prosedur ini sesuai dengan pernyataan John, Donahue, & Kentle (1991) yang
mengatakan bahwa penyekoran BFI pada faktor neurotisisme dapat dilakukan
secara terbalik.
BFI versi Bahasa Indonesia telah diujicobakan oleh peneliti pada sampel
mahasiswa (N=185) yang menghasilkan nilai reliabilitas (α) sebagai berikut
ekstraversi (0.839), keramahan (0.789), keuletan (0.924), kestabilan emosi (0.848)

5

dan keterbukaan (0.807). Hasil ini mirip versi asli yang dilaporkan oleh John dan
Srivastava BFI memiliki reliabilitas (α) antara 0.75 hingga 0.80 dan reliabilities
tes-tes ulang antara 0.80 hingga 0.90. Validitas BFI pada versi asli yang
dikorelasikan dengan NEO-FFI dan TDA menghasilkan rata-rata korelasi sebesar
0.83 hingga 0.91 (John & Srivastava, 1999).
Prosedur Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuasi yang menggunakan
model dalam-subjek (within-subject). Manipulasi perlakuan yang diberikan adalah
jenis instruksi yang terdiri dari dua jenis. Instruksi pertama adalah meminta subjek
merespons butir skala secara jujur dan instruksi kedua adalah meminta subjek
merespon butir skala ketik dalam kondisi seleksi karyawan. Pada instruksi kedua,
subjek diminta untuk membayangkan dirinya sebagai pelamar pekerjaan yang
sedang mengikuti proses seleksi. Dalam penelitian ini, kondisi pertama
dinamakan dengan kondisi netral sedangkan kondisi kedua dinamakan dengan
kondisi motivasional.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan model situasi ciri sifat yang
dikembangkan oleh Steyer dan Schmitt (1990). Pada penelitian ini situasi
pengukuran didapatkan dari dua kondisi pengukuran, yaitu kondisi netral dan
motivasional. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan pemodelan
persamaan struktural (SEM) dengan menggunakan teknik estimasi kebolehjadian
maksimal (maximum likelihood).
Ada empat komponen statistik yang biasa dipakai dalam pemodelan situasi
dan ciri sifat laten yang menunjukkan porsi varians skor konstrak laten di dalam
skor tampak. Statistik tersebut antara lain adalah (a) reliabilitas menunjukkan
seberapa besar porsi varians skor murni (ζ) dan ciri sifat laten (ξ) dibagi dengan
total varian dari indikator (Y). Dalam hal ini terlihat bahwa varians skor murni
terbagi menjadi dua jenis, yaitu varians situasi dan ciri sifat. (b) Konsistensi yang
menunjukkan seberapa besar porsi varians ciri sifat, (c) spesifisitas kondisi yang
menjelaskan porsi varians situasi, dan (d) spesifitas metode yang menjelaskan
porsi varians metode.
HASIL
Deskripsi Statistik
Deskripsi Statistik data penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 yang
menunjukkan rerata skor (M) semua faktor mengalami peningkatan dari kondisi
netral ke motivasional. Peningkatan rerata skor terbesar terjadi pada faktor
keuletan dengan selisih skor antar kondisi sebesar 0.42 (0.83 deviasi standar).
Peningkatan skor yang paling rendah terjadi pada faktor faktor kestabilan emosi
yang mengalami peningkatan sebesar 0.22 (0.59 deviasi standar).

6

Tabel 1. Deskripsi Statistik tiap Faktor Kepribadian
Kondisi Netral

Kondisi Motivasional

Faktor
Kepribadian

M

SD

MIN

MAK

M

SD

MIN

MAK

Ekstraversi
Keramahan
Keuletan
Kes. Emosi
Keterbukaan

3.48
3.49
3.34
3.12
3.59

0.53
0.53
0.50
0.37
0.48

1.38
1.44
1.44
1.63
1.10

4.75
4.78
4.89
4.13
4.90

3.80
3.73
3.75
3.34
3.88

0.54
0.70
0.69
0.47
0.44

2.50
2.67
2.22
2.38
2.80

5.00
5.00
5.00
4.50
4.90

Perbandingan
Selisih
Nilai-t
Rerata
0.33
-7.22**
0.24
-7.54**
0.42
-7.61**
0.22
-5.34**
0.29
-9.30**

Keterangan : M = rerata, SD=deviasi standar, MIN=skor minimal, MAK=skor maksimal, ** =p0.7). Setelah
dianalisis secara mendetail, masalah keandalan pengukuran muncul pada faktor
keuletan. Meskipun varians skor murni di dalamnya cukup besar, namun di
dalamnya banyak berisi varians yang terkait dengan situasi daripada ciri sifat.
Dapat dikatakan bahwa pengukuran pada faktor keramahan dan keuletan tidak
memiliki ketahanan terhadap respons tipuan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hasil estimasi reliabilitas
yang dihasilkan dengan teknik konvensional (misalnya konsistensi internal) perlu
diverifikasi lebih lanjut. Hal ini dikarenakan di dalam nilai reliabilitas tersebut
masih terkandung komponen yang tidak terkait dengan atribut ukur yang sifatnya
stabil. Beberapa peneliti telah membandingkan reliabilitas pengukuran yang
didapatkan dari kondisi netral dan motivasional dengan menggunakan konsistensi
internal (e.g. Douglas, McDaniel, & Snell, 1996). Meskipun hasilnya didapatkan
bahwa reliabilitas pengukuran tetap tinggi namun tingginya reliabilitas tersebut
perlu diverifikasi lebih lanjut.
Analisis pada faktor kepribadian secara terpisah mendapatkan hasil yang
tidak konsisten dengan analisis secara keseluruhan. Dalam analisis secara terpisah
pengukuran terhadap dua faktor kepribadian menghasilkan porsi varians skor ciri
sifat yang lebih besar. Temuan ini menjelaskan dua hal, pertama butir-butir kedua
faktor tersebut dapat dimungkinkan tahan terhadap respons tipuan sehingga
perbedaan kondisi pengukuran tidak banyak mengurangi keandalan pengukuran.
10

Hal ini dikuatkan dengan selisih rerata skor antar kedua kondisi cukup kecil yaitu
0.21.
Kedua, butir-butir skala kurang terkait dengan pekerjaan sehingga antara
satu subjek dengan subjek lainnya memiliki strategi yang berbeda dalam
memberikan respons tipuan. Misalnya faktor keramahan memiliki varians skor
ciri sifat lima kali lipat lebih banyak dibanding varians skor situasi dikarenakan
faktor tersebut kurang terkait dengan pekerjaan dibading dengan faktor keuletan
(Premuzic & Furnham, 2010). Pada faktor keuletan yang terkait dengan erat
dengan pekerjaan, porsi varians skor ciri sifat hanya seperempat dari varians
situasi.
Analisis model situasi–ciri sifat yang dalam penelitian ini banyak
membatasi nilai awal parameter dalam model untuk mengurangi varians-varians
baru yang tidak terlibat di dalam model. Dalam teori klasik dijelaskan bahwa
meningkatnya skor murni yang dijelaskan oleh pengukuran akan meningkatkan
korelasi antar butir yang mengukur hal yang sama yang ditunjukkan dengan bobot
faktor (factor loading) yang tinggi. Sementara itu, sesatan pengukuran akan
meningkatkan korelasi antar butir yang direspons dengan tipuan sehingga korelasi
antar butir yang mengukur atribut yang sama akan menurun (Ziegler & Buehner,
2009). Pembatasan dalam analisis dilakukan pada beberapa parameter namun
masih dalam kerangka teoritik model situasi–ciri sifat sehingga estimasi yang
dihasilkan dapat menggambarkan parameter secara akurat.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dilengkapi oleh
peneliti yang akan melakukan penelitian serupa. Pertama, ada banyak alternatif
instruksi yang dapat digunakan untuk mengkondisikan subjek untuk memberikan
respons tipuan. Misalnya pemberian peringatan bahwa di dalam alat ukur terdapat
butir-butir yang dapat mendeteksi subjek memberikan respons tipuan atau tidak.
Kedua, instruksi yang diberikan dalam eksperimen kurang spesifik mengarah pada
pekerjaan tertentu sehingga respons tipuan yang diberikan oleh subjek cenderung
bervariasi. Penelitian selanjutnya perlu mempertimbangkan untuk memasukkan
pekerjaan tertentu sehingga respons tipuan yang diberikan mengarah pada tujuan
yang sama. Ketiga, analisis pemodelan situasi–ciri sifat pada penelitian ini hanya
memusatkan pada ekslorasi eksplorasi dampak respons tipuan terhadap keandalan
pengukuran tanpa menguji ketepatan model. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat
melakukan kedua hal ini sekaligus agar memperoleh gambaran yang lebih
komprehensif mengenai respons tipuan.

11

DAFTAR PUSTAKA
Boon, J., Gozna, L., & Hall, S. (2008). Detecting faking bad on the Gudjonsson
Suggestibility Scales. Personality and Individual Differences, 44(1), 263272.
Douglas, E. F., McDaniel, M. A., & Snell, A. F. (1996). The validity of noncognitive measures decays when applicants fake. Paper presented at the
Paper presented at the meeting of Academy of Management. Nashville,
TN
Eid, M., & Zickar, M. J. (2007). Detecting response styles and faking in
personality and organizational assessments by mixed Rasch models (pp.
255-270).
Ferrando, P. J., & Carrasco, A. C. (2009). The interpretation of the EPQ Lie scale
scores under honest and faking instructions: A multiple-group IRT-based
analysis. Personality and Individual Differences, 46(4), 552-556.
Fleeson, W. (2004). Moving Personality Beyond the Person-Situation Debate.
Current directions in psychological science, 13(2), 83-87.
Holden, R. R., & Evoy, R. A. (2005). Personality inventory faking: A fourdimensional simulation of dissimulation. Personality and Individual
Differences, 39(7), 1307-1318.
John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The Big Five trait taxonomy: History,
measurement, and theoretical perspectives. In L. A. Pervin & O. P. John
(Eds.), Handbook of personality: Theory and research. New York:
Guilford.
Komar, S., Brown, D. J., Komar, J. A., & Robie, C. (2008). Faking and the
Validity of Conscientiousness: A Monte Carlo Investigation. Journal of
Applied Psychology, 93, 14.
Martin, B. A., Bowen, C. C., & Hunt, S. T. (2002). How effective are people at
faking on personality questionnaires? Personality and Individual
Differences, 32(2), 247-256.
McFarland, L. A., & Ryan, A. M. (2000). Variance in faking across noncognitive
measures. Jounal of Applied Psychology, 85(5), 812-821.
Premuzic, T. C., & Furnham, A. (2010). The psychology of personnel selection.
Cambridge: Cambridge University Press.
Robie, C. (2006). Effects of perceived selection ratio on personality test faking.
Social Behavior and Personality, 4(10), 1233-1244.
Steyer, R., & Schmitt, M. J. (1990). Latent state-trait models in attitude research.
Quality & Quantity, 24(4), 427-445.
Viswesvaran, C., & Ones, D. S. (1999). Meta-analysis of fakability estimates:
Implications for personality measurement. Educational and Psychological
Measurement, 59, 197-210.
Winkelspecht, C., Lewis, P., & Thomas, A. (2006). Potential Effects of Faking on
the NEO-PI-R: Willingness and Ability to Fake Changes Who Gets Hired
in Simulated Selection Decisions. Journal of Business and Psychology,
21(2), 243-259.

12

Ziegler, M., & Buehner, M. (2009). Modeling Socially Desirable Responding and
Its Effects. Educational and Psychological Measurement, 69(4), 548-565.

13