Ekokhalifah Konsep Khalifah di Muka Bumi

Ekokhalifah
(Konsep Khalifah di Muka Bumi (Khalifah fi al Ardh) sebagai
Pandangan-Dunia Ekologis Islam)

Pendahuluan
Kerusakan lingkungan di berbagai belahan bumi telah sampai pada tahapan yang
mengkhawatirkan.

Environmental Milestone

yang dikeluarkan Worldwatch Institute (2004)

menyebutkan pada 1999 lubang ozon diatas Antartika telah mencapai 25 juta kilometer persegi. Luas
yang hampir sama dengan Amerika Serikat, China dan India digabung menjadi satu. Lebih lanjut
laporan tersebut, dengan mengutip data PBB tahun 2001, menyebutkan negara-negara tropis telah
kehilangan hutannya lebih dari 15 juta hektar tiap tahunnya. Tahun 2003 disebutkan bahwa 90 persen
ikan-ikan yang bernilai ekonomis telah dibunuh oleh industri perikanan.
Di sisi lain, jurang kesenjangan penguasaan sumber daya alam antara mereka yang mampu
dengan yang tidak semakin menganga lebar. Tercatat dalam laporan UNEP (2002) seperlima penduduk
dunia menghabiskan 90 % dari total konsumsi perorangan global. Sisanya, yang mencakup sekitar 4
miliar jiwa, hanya mampu bertahan dengan tingkat pendapatan antara $ 1 hingga $ 2 setiap harinya.

Kurang lebih 1,1 miliar penduduk bumi masih kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan 2,4 miliar
jiwa kesulitan mengakses sarana sanitasi yang sehat. Kebanyakan mereka tinggal di kawasan Asia dan
Afrika.
Akar segala permasalahan lingkungan diduga berawal dari antroposentrisme (Rasmussen dalam
Tucker dan Grim, 2003: 217-219). Sonny Keraf (2002: 33) mendefinisikan antroposentrisme sebagai
teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah manusia sehingga kepentingan
manusia paling menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara langsung
maupun tidak. Dalam kalimat Gregory Bateson, sebagaimana dikutip oleh Rasmussen dalam Tucker
dan Grim (2003: 217), dijabarkan sebagai berikut,
1

“......dan bila Anda menyombongkan diri karena memiliki budi, Anda akan melihat dunia sekitar Anda sebagai yang
tak berbudi dan oleh karenanya tidak mempunyai hak pertimbangan moral atau etis. Lingkungan akan tampak menjadi milik
Anda untuk dieksploitasi. Unit kelangsungan hidup Anda adalah diri Anda dan sesama atau rekan dengan kekhususan yang
sama dengan Anda berhadapan dengan lingkungan dari unit-unit sosial lain, ras-ras dan binatang dan tumbuhan lain.......”

Antroposentrisme diduga kuat berakar pada ajaran agama-agama monotheis, seperti dalam
tradisi Yudeo-Kristen tampak pada Kitab Kejadian 1:28,
“Allah memberkati mereka (Adam dan Hawa); lalu Allah berfirman kepada mereka: 'beranakcuculah dan
bertambah banyak, dan penuhilah bumi, dan taklukkanlah itu,dan berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di

udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.

Lynn White, sebagaimana dikutip oleh Martin Harun dalam pengantar disertasi Mujiyono
Abdillah (2001: xiv-xv), menyebutkan akar permasalahan lingkungan terdapat pada ajaran Kristen,
“....manusia sedikit banyak berbagi dalam transedensi Allah terhadap alam. KeKristenan, dalam kontras mutlak
dengan agama kafir kuno dan agama-agama Asia, tak hanya menciptakan dualisme manusia dan alam tetapi juga
menegaskan bahwa telah menjadi kehendak Allah, manusia mengeruk (exploit) alam untuk tujuan manusia sendiri”.

Toynbee (Abdillah, 2001: xv) menambahkan krisis lingkungan hidup disebabkan agama-agama
monotheis telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam yang Ilahi, sehingga tak ada lagi yang dapat
menahan ketamakan manusia.
Islam, sebagai salah satu agama monotheis, tak luput dari tuduhan serupa. Akar tradisi yang
sama, dari Agama Ibrahim, dan tempat lahir, di Timur Tengah, mengakibatkan Islam sebagai suatu
agama dianggap sama dengan tradisi Yudeo-Kristen dalam mengajarkan antroposentrisme (Timm
dalam Tucker dan Grim, 2003: 100).
Sebuah tuduhan yang dibantah keras Mujiyono Abdillah (2001) dalam disertasinya. Abdillah
(2001: 157-158) mengkritik paham antroposentrisme yang menurutnya justru dekat dengan paganisme,
atau pemberhalaan diri, dalam artian penonjolan kesombongan manusia dengan hanya mengakui
kemuliaan dirinya sendiri. Kritiknya terhadap antroposentrisme disandarkan pada (QS 2: 6-11) yang
dimaknai secara luas sebagai berikut,

2

“Orang-orang paganistis antroposentris itu keras kepala, ndableg. Diingatkan atau tidak sama saja. Mata, telinga,
dan hatinya telah tertutup. Tidak segan-segan mereka bilang, 'Kami ini peduli lingkungan, padahal mereka sebenarnya tidak
peduli sama sekali'. Mereka berpura-pura, hanya untuk menipu belaka. Dasar......hatinya dekil....! bila diingatkan jangan
merusak dan mencemari lingkungan....! Mereka malah menjawab:...Kami bukan merusak dan mencemari lingkungan, justru
kami sedang membangun...'. Tidak..., sekali-kali tidak....! hakikatnya mereka adalah merusak tetapi mereka tidak sadar'.

Secara terbuka Abdillah (2001: 156) memaknai QS 17: 37-38 sebagai berikut,
“Janganlah menganut paham antroposentrisme, sebab sampai kapan pun kau tidak akan mampu membelah bumi
dan menembus gunung. Faham antroposentris itu tidak baik maka tidak disukai oleh Allah”.

Dalam ajaran Islam dapat dijumpai pernyataan manusia diciptakan Allah untuk menjadi
khalifah di muka bumi. Salah satunya dalam QS 2: 30 tentang niat Allah menjadikan manusia sebagai
khalifah yang mendapat “protes” dari malaikat karena sifat manusia yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah. Banyak ayat serupa yang menekankan tugas kekhalifahan manusia
di muka bumi.
Tulisan ini akan membahas bagaimana konsep kekhalifahan di muka bumi tersebut
diaplikasikan sebagai pandangan-dunia ekologis Islam. Bagaimana pengertian khalifah dan bagaimana
konsep tersebut dimaknai oleh para cendekiawan muslim akan dikaji pada bagian pertama tulisan.

Bagian kedua akan berisi definisi dan sedikit penjelasan tentang ekologi. Bagian ketiga akan berisi inti
tulisan yaitu aplikasi konsep khalifah sebagai pandangan-dunia ekologis Islam beserta aspek aksiologis
sebagai konsekuensi logis dari pandangan-dunia tersebut.
Konsep Khalifah dalam Islam
Machasin dalam Aminah dkk (2005: 164-165) menjelaskan secara ringkas khalifah adalah
pemegang amanat atau mandat. Lebih lanjut dijelaskan kekhalifahan berarti manusia menjadi
pemegang mandat Tuhan untuk menyelenggarakan kehidupan secara bertanggungjawab. Hakikat
khilafah menurut al Maududi (1994: 64) ialah manusia bukan pemilik, apalagi penguasa, segala yang
ada di atas bumi, namun hanya sebagai wakil dari Sang Pemilik Sejati yaitu Allah.
Abdillah (2001: 202) menemukan kata khalifah dan turunannya disebutkan dalam al Qur'an
3

sebanyak sembilan kali. Kata tersebut dalam bentuk tunggal dapat dijumpai 2 kali pada QS 2: 30 dan
QS 38: 26. dalam bentuk jamak, khalaif, ditemukan 4 kali pada QS al An'am 165, QS Yunus 14 serta
ayat 73 dan QS Fathir ayat 39. Bentuk jamaknya khulafa dituangkan sebanyak 3 kali pada QS al A'raf
ayat 69 serta 74, QS an Naml ayat 62.
Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah (2005; vol 1: 141) menengarai kata ini dapat
mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum. Beliau juga menjelaskan (2005; vol 1:
142) kata khalifah pada mulanya diartikan pengganti atau yang datang sesudah siapa yang datang
sebelumnya. Lebih lanjut diuraikan kata khalifah oleh sebagian kalangan diberi makna sebagai yang

menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya serta menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya,
tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau manusia akan dijadikan sebagai Tuhan, namun karena
Allah bermaksud memberi ujian dan memberi penghormatan kepada manusia. Sebagian kalangan
memberi makna kata tersebut sebagai pengganti makhluk lain dalam menjadi penghuni bumi.
Berdasarkan beberapa definisi diatas kata khalifah dapat dimaknai sebagai mandataris Tuhan
yang menerima kehormatan sekaligus ujian dalam melaksanakan kehendak-Nya dan menerapkan
ketetapan-Nya di muka bumi serta mempertanggungjawabkan amanat tersebut dihadapan-Nya kelak.
Sebuah definisi yang berusaha menggambarkan peran manusia sebagai wakil Tuhan sekaligus utusanNya yang kelak dimintai pertanggungjawaban.
Sebagai khalifah, manusia diberi kelebihan dibandingkan ciptaan-Nya yang lain. Kelebihan
pertama adalah adanya kemampuan manusia untuk berpikir atau pemilikan akal yang sempurna
dibandingkan makhluk lainnya. Allah telah mengajarkan pada Adam semua nama-nama (QS 2:31-34),
sesuatu yang tidak diketahui oleh para malaikat, sehingga malaikat pun bersedia bersujud kepada
manusia, atas perintah Allah, kecuali iblis yang ingkar.

Kelebihan kedua adalah keberadaan kehendak bebas pada manusia. Dalam berbagai aliran
4

teologi Islam konsep kebebasan kehendak ini telah menjadi pertentangan sengit antara kaum
Qadariyyah dengan kaum Jabbariyyah dimana yang pertama mengakui adanya kebebasan kehendak
manusia sedangkan yang kedua menafikannya. Meskipun begitu, Asy'ariah berusaha mendamaikan

dengan mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan walaupun itu hanyalah suatu kiasan karena
sebenarnya segalanya dari Tuhan (Nasution, 2006: 103-117). Bagaimanapun juga, al Qur'an (QS 35:39)
menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk beriman atau kafir dengan masing-masing pilihan
mempunyai konsekuensi tersendiri. Rahman (1996: 95) menambahkan, berbeda dengan alam semesta
ini yang “secara otomatis” mentaati Allah, manusia dapat memilih untuk taat atau ingkar kepada Allah.
Ibn Arabi (Chittick, 2001: 56-57), berangkat dari konsep yang kerap disebut dengan wahdat al
wujud, menafsirkan kalimat Allah mengajarkan Adam semua nama-nama dengan pengertian bahwa
manusia adalah manifestasi paling sempurna dari semua atribut-atribut Allah. Setiap manusia secara
individual dapat merefleksikan setiap atribut ke-Tuhan-an. Ciptaan lainnya di alam semesta sendiri
hanya mampu mewujudkan setiap atribut tertentu saja. Karena itulah dalam alam semua ciptaan
mempunyai keadaan yang bertingkat-tingkat sesuai dengan perwujudan atribut yang dipunyainya.
Manusia adalah tingkatan tertinggi karena kemampuannya tersebut. Manusia, walaupun dalam bentuk
lahirnya stabil namun labil dalam batinnya sehingga manusia dapat mencapai berbagai tingkatan
spiritual. Manusia dapat lebih mulia dari malaikat namun dapat juga jatuh ke tingkat yang lebih rendah
dari binatang ternak.
Dalam pandangan dunia Ibn Arabi, Chittick (2001: 59) menyebutkan bahwa manusia dan
kosmos adalah serupa. Ibn Arabi sering menyebutkan dengan istilah dunia kecil (mikrokosmos) bagi
manusia dan dunia besar (makrokosmos) bagi alam semesta. Istilah lain juga dipakainya yaitu manusia
kecil (microanthropos) dan manusia besar (macroanthropos). Mikrokosmos adalah sebuah kesadaran
aktif sedangkan makrokosmos hanyalah suatu instrumen pasif dalam kuasa Tuhan menurut pandangan

dunia Ibn Arabi. Dalam perumpamaan, yang sangat indah, manusia bagi alam semesta ini adalah ibarat
ruh bagi jasad manusia. Dalam al Futuhat al Makkiyah, sebagaimana dikutip Chittick (2001: 60), beliau
5

menjelaskan,
“Bedakan dirimu sendiri dari kosmos dan bedakan kosmos dari dirimu. Bedakan yang lahir dari yang batin dan
yang batin dari yang lahir. Bagi kosmos kalian adalah ruh kosmos, dan kosmos adalah bentuk lahiriah kalian. Bentuk tidak
mempunyai makna apapun tanpa ruh. Oleh karena itu, kosmos tidak memiliki arti tanpa kalian”.

Ekologi Sebagai Pandangan-Dunia
Kata ekologi pertama kali diperkenalkan sebagai suatu istilah tersendiri oleh Ernst Haeckel
(Odum, 1971: 3). Kata ini berasal dari istilah Yunani oikos yang bermakna rumah atau tempat tinggal
dan logos yang kerap diartikan sebagai ilmu. Secara harfiah Odum (1971: 3) memaknai kata ini sebagai
studi tentang organisme-organisme dalam tempat tinggalnya. Otto Soemarwoto (1997: 22), dengan
mengambil kias dari ekonomi, menyebut ekologi sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.
Oxford Advanced Learner's Dictionary (1995: 367) menyebut ekologi sebagai suatu studi tentang
hubungan antara tumbuhan dan makhluk hidup lainnya antara satu sama lain dan dengan
lingkungannya.
Salah satu kajian utama dalam ekologi adalah konsep ekosistem. Ekosistem dapat dipahami
sebagai relasi timbal balik makhluk hidup dengan lingkungannya sehingga membentuk suatu sistem

ekologis (Soemarwoto, 1997: 23). Lebih lanjut dijelaskan apa yang dimaksud dengan sistem adalah
kesatuan komponen-komponen yang bekerja dalam satu keteraturan. Odum (1971: 5) menambahkan
bahwa ekosistem adalah sistem ekologi yang tersusun dari komunitas dan lingkungan tak hidup
(abiotik) yang berfungsi secara bersama-sama dalam suatu sistem.
Capra (2005: 251) menyebutkan prinsip-prinsip utama ekologi adalah jaringan, siklus, energi
matahari, kemitraan, keragaman, dan keseimbangan dinamis. Jaringan dapat ditemukan pada semua
skala alam dimana segala sistem saling berkomunikasi dan berbagi sumber daya yang ada tanpa
memperhatikan batas-batas mereka yang lebih bersifat sebagai identitas dan bukan sebagai pemisah.
Siklus adalah perputaran materi melalui jaring-jaring kehidupan. Energi matahari adalah sumber utama
energi yang diubah menjadi energi kimia oleh tumbuhan hijau dan menjadi penggerak bagi siklus6

siklus ekologis. Kemitraan adalah suatu kerjasama yang menembus berbagai batas yang ada.
Keragaman adalah kekayaan dan kompleksitas jaringan-jaringan ekologis yang menjadikan stabilitas
dan ketahanan dalam ekosistem. Keseimbangan dinamis adlaah fluktuasi disekitar nilai optimum dari
masing-masing variabel dalam ekosistem.
Ekologi sebagai suatu pandangan dunia dapat ditemukan pada gagasan Thomas Bery, seorang
geolog, yang menyatakan kita telah memasuki zaman ecozoic dimana manusia bertempat dengan tepat
sebagai anggota komunitas yang utuh dan saling tergantung satu sama lain dengan anggota lainnya
(Metzner dalam Tucker dan Grim, 2003: 207). Perubahan paradigma tersebut membawa gelombang
perubahan di berbagai bidang mulai dari ilmu-ilmu alam hingga sistem politik, dari teknologi industri

sampai pertanian.
Pandangan dunia adalah cara pandang dan cara kita berpikir tentang jagat raya di sekitar kita
serta bagaimana berinteraksi dengannya (Witteveen, 2004: 21). Manusia tidak hanya hidup di alam dan
mempelajarinya namun juga menyusun “ide-ide” tentang alam dan memasukkannya dalam kosakata
budaya-budaya yang berbeda dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda sepanjang sejarah keberadaan
manusia (Rasmussen dalam Tucker dan Grim, 2003: 222). Suatu paham tentang alam yang kerap
disebut juga sebagai kosmologi (Kattsoff, 2004: 255).
Pandangan dunia ekologis selanjutnya dimaknai dengan suatu pandangan tentang unsur-unsur
dalam ekosistem alam, termasuk di dalamnya manusia, sebagai suatu jaringan yang saling terkait tanpa
batas-batas yang tegas dalam suatu sistem yang sinergis guna yang selalu berusaha mencapai suatu
keseimbangan dinamis. Sebuah definisi yang mencoba mencakup prinsip-prinsip pokok ekologi yang
telah diuraikan sebelumnya.

Pandangan Dunia Ekologis Islam
7

Berdasarkan uraian diatas, berikut akan disusun suatu pandangan dunia ekologis yang berangkat
dari konsep khalifah dalam Islam. Suatu pandangan dunia yang diharapkan dapat memberi cara
pandang dan cara berpikir umat Islam terhadap lingkungan dengan suatu pandangan dunia yang lebih
mendukung kelestarian alam. Suatu cara pandang yang diharapkan dapat memberi sumbangan

ideologis bagi gerakan-gerakan perjuangan lingkungan yang menyandarkan ideologi gerakannya pada
ajaran Islam.
Hal pertama yang perlu ditekankan adalah pengakuan bahwa alam semesta adalah ciptaan
Tuhan dan Dia berkuasa penuh atasnya. Meskipun dapat ditemui perbedaan penafsiran tentang
bagaimana proses penciptaan tersebut dan bagaimana Tuhan menjalankan kuasa-Nya atas alam, namun
ada kesepakatan tentang pengakuan Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa alam. Pandangan ini perlu
ditegaskan karena hal tersebut yang membedakan pandangan dunia Islam dengan paham sekuler yang
beberapa menyatakan

bahwa alam semesta ini bukan dari ciptaan Tuhan dan bukan di bawah

kekuasaan Tuhan. Percaya kepada hal tersebut juga membawa konsekuensi pengakuan tentang
kepemilikan segala sesuatu di alam ada pada Tuhan, manusia tidak mempunyai hak kepemilikan
sedikitpun atas alam sebagaimana dijelaskan oleh al Maududi (1994: 64).
Manusia, sebagai sesama ciptaan Tuhan, adalah bagian tak terpisahkan dari suatu jaringan besar
yang bersifat kompleks dari sistem ekologi alam. Manusia bernafas dengan menghirup oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida sehingga turut menjadi bagian dalam siklus oksigen di alam. Manusia
makan dan membuang kotoran sisa hasil metabolismenya ke alam sehingga turut menjadi bagian dari
aliran energi di alam yang bersumber utama dari energi matahari.
Tuhan, dalam ajaran Islam, telah menunjuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Manusia

adalah wakil Tuhan di muka bumi ini. Manusia adalah mandataris pelaksana amanat Tuhan di bumi
(Machasin dalam Aminah dkk, 2005: 164-165). Manusia adalah pengganti Tuhan di bumi dalam
melaksanakan kehendak-kehendak-Nya dan ketetapan-ketetapan-Nya (Shihab, 2005; vol 1: 142).
Kepercayaan pada konsep manusia sebagai khalifah di bumi juga membawa implikasi rasa
8

tanggung

jawab

karena

dalam

ajaran

Islam

setiap

yang

diamanati

akan

diminta

pertanggungjawabannya. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang yang
dipimpinnya.
Manusia, sebagai khalifah Tuhan di bumi, diberi kelebihan oleh Tuhan. Kelebihan pertama,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, terletak pada akal yang sempurna dibandingkan ciptaan lain.
Kelebihan kedua ada pada kebebasan berkehendak. Kelebihan ketiga, secara spiritual manusia adalah
manifestasi paling sempurna dari semua atribut Tuhan.
Dengan kemampuan berpikirnya, manusia mampu menjadi makhluk dengan kemampuan
adaptasi paling tinggi di bumi. Manusia mampu mengkonsumsi makanan dari berbagai level ekologis
mulai dari tanaman sampai sirip ikan hiu. Hal tersebut menjadikan manusia mampu menduduki level
tertinggi dalam piramida makanan di alam. Manusia mampu mengembangkan pertanian yang pada
hakikatnya, menurut Gonick dan Outwater (2004: 87), adalah penyederhaan radikal dan reorganisasi
aliran energi sehingga hampir semua energi yang diserap oleh tumbuhan dari sinar matahari pada suatu
luas tanah tertentu dapat bermuara ke mulut manusia. Manusia mampu menciptakan rumah dan
pakaian, suatu teknologi konservasi energi yang pertama. Paling spektakuler dalam tahapan awal
sejarah manusia adalah penemuan kemampuan menggunakan api, sumber energi tersembunyi di alam
yang mampu dibebaskan oleh manusia. Sumber energi yang dapat dibawa kemana-mana tersebut
menjadikan manusia mampu mengatasi salah satu faktor pembatas bagi kehidupan makhluk hidup di
bumi yaitu iklim (Gonick dan Outwater, 2004: 83).
Berbeda dengan ciptaan lain, keterlibatan manusia dalam sistem ekologi alam bersifat aktif.
Sesuatu konsekuensi dari kebebasan berkehendak yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan. Manusia
bebas untuk memilih akan makan tumbuh-tumbuhan atau hewan. Manusia bebas memilih akan tinggal
di gunung atau di tepi laut. Semua keputusan tergantung pada pilihan yang dilakukan oleh manusia itu
sendiri.
Perkembangan teknologi, hasil akal manusia, menambah luas kemungkinan yang dapat dipilih
9

oleh manusia. Mereka dapat menciptakan pakaian yang sesuai dengan iklim dua musim atau empat
musim dalam setahun. Dengan teknik arsitektur yang tepat ditunjang dengan alat pengatur suhu
ruangan, manusia dapat tinggal di kaki Himalaya yang dingin atau di tepian Gurun Sahara yang panas.
Perkembangan teknologi yang pesat membuat kemungkinan-kemungkinan tersebut makin tak terbatas.
Di masa yang tak lama lagi manusia dapat juga memilih akan tinggal di dasar Samudera Pasifik atau
hidup di luar angkasa dengan membangun perumahan di Bulan.
Kepemilikan akan kemampuan berpikir dan keaktifan yang dipunyainya menjadikan manusia,
sebagai khalifah, dituntut untuk dapat menjalankan amanat yang diembannya. Sebagai manifes
sempurna dari Tuhan, manusia harus mampu mewujudkan sifat-sifat kebaikan Tuhan di alam. Manusia
dituntut menjadi khalifah dalam artian sebagai “roh” yang membawa kehidupan bagi seluruh alam,
bukan menjadi virus yang bersifat parasit yang menggerogoti kelangsungan alam. Hal ini perlu disadari
sepenuhnya karena setiap pembawa amanat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pemberi
amanat.
Penutup
Konsep khalifah dalam Islam menekankan bahwa manusia tidak mempunyai apapun terhadap
alam, manusia hanya mendapat mandat sebagai pengelola kehidupan di bumi. Manusia bersamaan
kedudukannya sebagai bagian dari sistem ekologis yang saling terkait.

Keutamaan manusia atas

makhluk lain tidak menjadikan manusia dapat memperbudak unsur lain di alam demi kepentingan
hawa nafsunya namun menjadikan keaktifan dalam melakukan sesuatu yang perlu mengelola
kehidupan di alam demi keberlanjutan kehidupan di alam sebagai tujuan.

DAFTAR PUSTAKA
10



BUKU DAN ARTIKEL

Abdillah, Mujiyono. 2001. Agama Ramah Lingkungan; Perspektif al Qur'an. Paramadina. Jakarta
Aminah, Wiwin Siti, Haryandi, dan Alfred Benedictus (ed). 2005. Sejarah, Teologi, dan Etika Agamaagama. Dian/Interfidei. Yogyakarta
Capra, Fritjof. 2005. The Hidden Connections; Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Jalasutra.
Yogyakarta
Chittick, William C. 2001. Dunia Imajinal Ibnu 'Arabi; Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas
Agama. Risalah Gusti. Surabaya
Gonick, Larry dan Alice Outwater. 2004. Kartun Lingkungan. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta
al Maududi, Abu A'la. 1994. Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam.
Mizan. Bandung
Nasution, Harun. 2006. Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta
Odum, Eugene P. 1971. Fundamentals of Ecology. W. B. Saunders Company. Philadelphia
Shihab, Quraish. 2005. Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur'an. Lentera Hati.
Jakarta
Soemarwoto, Otto. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta
Tucker, Mary Evelyn dan John A Grim (ed). 2003. Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup. Kanisius.
Yogyakarta
Witteven, H J. 2004. Tasawuf in Action; Spiritualisasi Diri di Dunia yang Tak Lagi Ramah. Serambi.
Jakarta



INTERNET
11

Environmental

Milestone

oleh

Worldwatch

Institute

dapat

diakses

pada

alamat:

http://www.worldwatch.org/brain/features/timeline/timeline.htm
Press Release tentang laporan UNEP tahun 2002 (GEO 3) dapat dilihat pada alamat:
http://www.grid.unep.ch/geo/press.htm

12