Penerapan Konstitusi Hijau Penegakan Huk

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/312091571

Penerapan Konstitusi Hijau, Penegakan Hukum
Lingkungan, dan Pembentukan Masyarakat
Ekologi sebagai Upaya...
Working Paper · December 2016
DOI: 10.13140/RG.2.2.27271.60326

CITATIONS

READS

0

422

1 author:
Manik Sukoco

Universitas Negeri Yogyakarta
20 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
The Problems of Implementing Scientific Approach Faced by Civics and Citizenship Education
Teacher at SMP Negeri 1 Grujugan View project

International Perspective of Civics and Citizenship Education View project

All content following this page was uploaded by Manik Sukoco on 06 January 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.

PENERAPAN KONSTITUSI HIJAU, PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN, DAN PEMBENTUKAN MASYARAKAT EKOLOGI
SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Manik Sukoco*
Marzuki**
*Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY, E-mail: itsmanik@fastmail.net
**Dosen Pengampu Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY,

Jalan Colombo No.1 Yogyakarta 55281, E-mail: marzuki@uny.ac.id
ABSTRAK
Perubahan iklim, tantangan era global, dan terjadinya krisis lingkungan di
berbagai belahan dunia, mendorong perlunya dilakukan pembentukan
masyarakat ekologi. Isu-isu global tentang lingkungan sejalan dengan upaya dan
tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengelola lingkungan. Ada tiga
tindakan pokok yang dapat dilakukan oleh negara yaitu: 1) tindakan represif, 2)
tindakan preventif, dan 3) tindakan persuasif.
Penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law) diperlukan
terkait dengan upaya represif pemerintah dalam merespon isu-isu akan polusi,
kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan, kebakaran hutan,
dan bahaya kepunahan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution)
merupakan salah satu upaya preventif pemerintah untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan. Konstitusi yang tegas dan jelas
mengatur akan pemberdayaan lingkungan akan menjadi titik tolak dari
terciptanya produk-produk hukum yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah terkait dengan lingkungan. Adapun sebagai upaya persuasif
pemerintah, maka pembentukan masyarakat ekologi (ecological citizenship)
melalui muatan kurikulum PPKn di sekolah harapannya dapat menjadi solusi
untuk mendorong nilai-nilai kesadaran akan lingkungan.

Penerapan konstitusi hijau (green constitution), penegakan hukum lingkungan
(enforcement of environmental law), dan pembentukan masyarakat ekologi
(ecological citizenship) menjadi hal yang urgen jika pemerintah serius dalam
menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya terkait dengan pelestarian
lingkungan hidup.
KATA KUNCI
Konstitusi Hijau, Penegakan Hukum Lingkungan, Pembentukan Masyarakat
ekologi, Pelestarian Lingkungan Hidup

PENDAHULUAN
Masalah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi permasalahan
global bagi seluruh negara di dunia, baik bagi negara maju maupun negara
berkembang, sehingga dalam upaya penanganannya memerlukan kerjasama
secara menyeluruh dan terpadu dari setiap negara di dunia. Permasalahan
lingkungan secara global menjadi perhatian dan kekhawatiran masyarakat
internasional pada saat kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan
Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970), guna merumuskan strategi
Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980). Dalam pengantar laporan
yang disampaikan oleh U Thant (Sekretaris Jenderal PBB), dinyatakan bahwa,

“…untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia telah terjadi krisis dengan
jangkauan seluruh dunia, termasuk baik negara maju dan negara berkembang,
mengenai hubungan antara manusia dan lingkungannya. Tanda-tanda ancaman
telah dapat dilihat sejak waktu yang lama: ledakan penduduk, integrasi yang
tidak memadai antara teknologi yang amat kuat dengan keperluan lingkungan,
kerusakan lahan budidaya, pembangunan tidak berencana dari kawasan
perkotaan, menghilangnya ruang terbuka dan bahaya kepunahan yang terus
bertambah mengenai banyak bentuk kehidupan satwa dan tumbuhan. Tidak ada
kesangsian bahwa apabila proses ini berlangsung terus maka kehidupan yang
akan datang di bumi ini akan terancam (Hardjasoemantri, 1999).”
Dalam menyikapi hal tersebut, berbagai konferensi, perjanjian, komiten dan
kerjasama internasional di bidang lingkungan diselenggarakan seperti
Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment pada
tahun 1972, United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED) pada tahun 1992 dan Johannesburg Summit the World Summit on
Sustainable Development pada tahun 2002 serta perjanjian internasional lainnya
sebagai tindak lanjut konferensi tersebut di atas seperti The Convention on
Biological Diversity (CBD) dan United Nations Framework Convention on
Climate Change.
Isu mengenai tanggung jawab negara terhadap perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup baru mulai disadari serta dilakukan oleh negara-negara di
dunia baik negara maju dan negara berkembang pasca pembangunan dunia yang
menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan secara global. Salah satu
permasalahan lingkungan global yang mendapat perhatian dan harus dihadapi
oleh masyarakat dunia saat ini adalah global warming (pemanasan global) yang
menyebabkan perubahan iklim. Pemanasan global merupakan permasalahan
modern dan rumit. Kemiskinan, ekonomi, pembangunan dan pertumbuhan
penduduk menjadi penyebabnya. Bukan hal yang mudah untuk mengatasinya
dan apabila tidak mempedulikannya akan membuat keadaan menjadi semakin
buruk. Sebagaimana pernyataan, “…. Global warming is a “modern” problemcomplicated, involving the entire world, tangled up with difficult issues such as
poverty, economic development and population growth. Dealing with it will not
be easy. Ignoring it will be worse (United Nation, 2010).
Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hal tersebut, salah satunya melalui
kerjasama internasional yang diikuti sebagian besar negara-negara didunia
seperti The United Nations Framework Convention on Climate Change (2010),

dimana disepakati bahwa masyarakat internasional mulai memikirkan hal apa
yang harus dilakukan dalam mengurangi penyebab terjadinya pemanasan global.
Salah satu ciri negara modern adalah pernyataan secara tegas mengenai hak-hak
asasi manusia dalam konstitusi negaranya dikemukakan oleh K.C. Wheare (1975)

dalam pernyataannya bahwa “…one the other hand many modern constitution
contain declaration of the right of the subject…” Konstitusi Negara Indonesia
menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat sebagai pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945.
Pengaturan ini ini menjadi sesuatu hal yang baru mengingat dalam konstitusi
sebelum amandemen, hak asasi khususnya mengenai lingkungan hidup tidak
diatur dan dibahas secara tegas dan jelas.
Indonesia bukan merupakan Negara yang berdasarkan annex I Kyoto Protocol to
the United Nation Framework Convention on Climate Change 1997 (Protokol
Kyoto) yang memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Namun sebagai negara yang dimungkinkan terkena dampak negatif perubahan
iklim, Indonesia berkepentingan dalam menanggulangi dan mencegah dampak
negatif dari pemanasan global melalui komitmen dari negara dalam upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi warga negaranya.
Salah satu usaha preventif sekaligus represif pemerintah terkait dengan upaya
perlindungan terhadap lingkungan adalah menempatkan pengaturan hak asasi
terhadap lingkungan dalam konstitusi negara sebagai komitmen terhadap
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup. Konstitusi hijau (Green
Constitution) merupakan titik tolak dari upaya represif dan preventif pemerintah
dalam menjawab berbagai macam kekhawatiran masyarakat berkenaan dengan

penurunan fungsi lingkungan sebagaimana penyataan Jimly Asshiddiqie (2009)
bahwa, “Negeri ini sedang melihat proses kegentingan ekologi yang tak
terbendung, bencana ekologis mengancam dimana jutaan rakyat terus bertaruh
atas keselamatan diri dan keluarga mereka akibat lemahnya peran negara
didalam melindungi keselamatan warga negaranya sebagaimana yang
diamanatkan dalam Konstitusi Negara.”
Sebagai perbandingan, salah satu negara yang secara tegas mengatur mengenai
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam konstitusinya adalah
negara Republik Ekuador dengan memberikan hak kepada lingkungan
sebagaimana pernyataan, “new constitution gives nature the “right to exist,
persist, maintain and regenerate its vital cycles, structure, functions and its
processes in evolution” and mandates that the government take “precaution and
restriction measures in all the activities that can lead to the extinction of species,
the destruction of the ecosystems or the permanent alteration of the natural
cycles (United Nations, 2010).”
Empat hal yang secara tegas dijamin dalam konstitusi Ekuador adalah:


Setiap orang di Ekuador mempunyai hak-hak dasar yang dijamin UUD
dan oleh instrumen-instrumen internasional serta alam merupakan

subyek yang juga berhak atas segala hak yang dijamin dalam UUD.






Alam merupakan tempat kehidupan bersama, tumbuh dan mengalami
reproduksi, juga mempunyai hak asasinya sendiri, disamping hak asasi
manusia.
Setiap orang, masyarakat, atau bangsa membutuhkan pengakuan akan
hak-haknya atas alam dihadapan hukum dan pemerintahan.
Setiap orang pribadi, masyarakat, kelompok dan bangsa mempunyai
keuntungan dari alam dan memupuk kekayaan alam untuk kehidupan
bersama. Alam disekitarnya tidak boleh dirusak dan dikurangi daya
dukung dan fungsinya bagi kehidupan bersama (Priyanta, 2000: 113-130).

Dengan ketentuan right of nature dalam konstitusi Ekuador, dapat dikatakan
bahwa Ekuador adalah negara yang telah menerapkan konstitusi hijau di dunia
saat ini. Ketentuan mengenai hak-hak lingkungan alam yang diadopsi ke dalam

ketentuan Konstitusi Ekuador tersebut tidak lagi bersifat tempelan dan
menempatkan alam sebagai suplemen dalam hubungan dengan manusia, tetapi
justru menempatkan alam sebagai subyek hak-hak konstitusional.
Usaha represif lainnya terkait dengan upaya pelestarian lingkungan adalah
penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law). Walau
Indonesia memiliki hutan tropis terluas kedua di dunia setelah Brazil, namun
Indonesia juga tercatat dalam rekor Guinness sebagaimana yang dipublikasikan
oleh Greenpeace sebagai negara yang dilaporkan memiliki jumlah kasus
penebangan hutan (deforestation) tercepat di dunia (United Nation, 2016).
Penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law) menjadi
urgen mengingat bahwa kerusakan lingkungan memiliki dampak yang luas bagi
Negara, baik dalam bidang kesehatan publik, ekonomi, maupun sosial.
Penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law) telah
menjadi perhatian publik, bahkan menjadi topik utama dalam Fifth
International Conference on Environmental Compliance and Enforcement yang
dilaksanakan di Monterey, California (1998). Konferensi ini dilaksanakan untuk
meningkatkan pemahaman mendasar akan penegakan hukum lingkungan serta
penerapannya di berbagai negara (Gerardu & Wasserman, 1998: 3). Penegakan
hukum lingkungan (enforcement of environmental law) bukan lagi hanya
menjadi sebuah wacana namun merupakan sesuatu yang urgen dan harus

dilaksanakan setegas mungkin.
Terkait dengan upaya persuasif pemerintah dalam pemberdayaan lingkungan,
Aldo Leopold (1949) dalam artikelnya yang berjudul “The Land Ethic” yang
mengatakan bahwa hambatan paling serius terhadap usaha pelestarian
lingkungan adalah fakta bahwa sistem pemerintahan maupun sistem pendidikan
menempatkan aspek lingkungan secara terpisah dan tidak menaruh perhatian
mengenai perlunya kesadaran akan lingkungan. Pada era modern, ekologi
sepenuhnya terlepas dari kurikulum sekolah. Pada kurikulum perguruan tinggi
pun, ruang lingkup pendidikan lingkungan hanya terbatas pada ranah konseptual
dan sama sekali tidak menyentuh ranah praktikal.
Dengan berkembangnya kepedulian akan lingkungan selama beberapa dekade
terakhir, peneliti-peneliti dari berbagai bidang keilmuan yang mengulas
mengenai kesadaran lingkungan, komitmen akan pemeliharaan lingkungan, dan
usaha rehabilitasi lingkungan menyimpulkan pendapat yang sejalan dengan
pendapat Leopold. Holmes Rolston (1996) misalnya, berpendapat bahwa

kalangan intelektual dan pendidikan moral memberikan kontribusi yang sangat
minim dalam mengenalkan nilai-nilai dan tanggung jawab warga negara terkait
dengan upaya menjaga berbagai komponen yang penting dalam biosfer. Ia juga
menambahkan bahwa berbagai spesies makhluk hidup terancam punah sehingga

dalam beberapa kondisi tertentu, dunia pendidikan membutuhkan sebuah visi
baru akan tanggung jawab lingkungan. Ronald Laura dan Matthew Cotton (1999)
juga mengatakan bahwa fungsi sekolah kini cenderung untuk mendorong siswa
untuk menjadi homo economicus yang akan memanfaatkan berbagai sumber
daya alam demi kepentingan ekonomi semata. Pendidikan tentang lingkungan
seharusnya ditransfigurasikan dalam pendidikan moral sehingga siswa dapat
menumbuhkan rasa kecintaan terhadap alam sehingga mampu meningkatkan
nilai-nilai moral yang dimilikinya.
METODE
Metode yang digunakan melalui kajian pustaka dari beberapa jurnal yang
nantinya penulis gunakan sebagai landasan, pembanding, dan pelengkap untuk
melakukan review
PEMBAHASAN
Konstitusi Hijau (Green Constitution)
Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem dalam suatu negara sebagaimana
pernyataan K. C. Wheare (1975) yang menyatakan, “All it used to describe the
whole system of government of a country.” Pendapat lainnya berkenaan dengan
konstitusi menurut C. F. Strong (1963) merupakan kumpulan prinsip, asas-asas
kekuasaan pemerintah dalam arti luas sebagaimana penyataan “Constitution on
is a collection of principle ti which the power of the government, the rights of the
govern and the relation between the two are adjusted”. Pandangan Herman
Heller dalam Soemantri (2006) menyatakan bahwa pengertian konstitusi
merupakan rumusan dari tiga tahapan proses perkembangan konstitusi antara
lain:





Konstitusi dipahami sebagai refleksi kehidupan politik dalam masyarakat
sebagai suatu kenyataan politis dan sosiologis serta belum merupakan
pengertian hukum;
Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup ditengah
masyarakat dan belum merupakan suatu hukum tertulis;
Konstitusi dipahami sebagai suatu naskah tertulis, tertinggi dan berlaku
dalam suatu negara setelah orang mulai menulisnya dalam suatu bentuk
hukum tertulis.

Lebih lanjut disebutkan bermacam-macan klasifikasi dalam mengkaji konstitusi
sebagai gambaran bentuk-bentuk konstitusi negara-negara di dunia antara lain:




Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan dalam bentuk tertulis (written
constitution and no written constitution);
Konstitusi fleksible dan konstitusi rigid (written constitution and no
written constitution),





Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi (supreme
constitution)
Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and
unitary constitution), konstitusi sistem pemerintahan presidensial, dan
konstitusi sistem pemerintahan parlementer (presidential executive
constitution and parliamentary executive constitution) (Soemantri,
2006, 17-31).

Bagi sebagaian besar negara temasuk Indonesia, konstitusi termasuk klasifikasi
konstitusi derajat tinggi sebagai konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi
dalam negara. Dalam setiap negara selalu terdapat berbagai tingkat peraturan
perundang-undangan baik dilihat dari isinya maupun ditinjau dari bentuknya,
salah satunya berupa konstitusi yang termasuk dalam kategori tertinggi, apabila
dilihat dari segi bentuknya berada diatas peraturan perundang-undangan yang
lain (Seoemantri, 2006, 79-80). Lebih lanjut bagi Konstitusi negara kesatuan
pada asasnya seluruh kekuasaan negara berada di tangan pemerintah pusat.
Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada di
tangan pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi
kekuasaan ke daerah.
Sebagai kajian bagi negara Indonesia dan negara-negara lainnya di dunia yang
menganut sistem pemerintahan presidensial terdapat ciri-ciri pokok sebagai
sistem tersebut sebagai berikut:






Di samping mempunyai kekuasaan nominal (sebagai kepala negara)
Presiden juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan. Sebagai
kepala pemerintahan dia mempunyai kekuasaan yang besar;
Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, tetapi dipilih
langsung oleh rakyat;
Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif;
Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif
(Soemantri, 2006: 82).

Dalam sistem pemerintahan presidensial, terdapat secara tegas pemisahan
kekuasaan eksekutif dan legislatif sehingga masing-masing cabang kekuasaan
memiliki kekuasaan yang diatur dalam konstitusinya dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Salah satu ciri negara modern adalah pernyataan secara tegas mengenai hak-hak
asasi manusia dalam konstitusi, sejalan dengan pendapat yang menyatakan, “One
the other hand many modern constitution contain declaration of the right of the
subject.” Dalam praktek, tidak banyak negara mencamtumkan hak asasi dalam
konstitusinya, khususnya berkenaan dengan perlindungan terhadap lingkungan.
Sehingga dalam menyikapi suatu perubahan dalam ketentuan-ketentuan baru
untuk diatur dan dirumuskan dalam kontitusi memerlukan perubahan konstitusi
suatu negara melalui proses yang diatur dalam ketentuan konstitusi tersebut.
Secara umum, konstitusi dapat berubah melalui beberapa sebab antara lain:
some primary forces, formal amandement, judicial interpretation, dan usage
and convention. Bagi pencatuman konsep hak asasi berkenaan dengan
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup sebagai komitmen negara,

langkah formal amandemen menjadi salah satu cara dalam melakukan
perubahan terhadap konstitusi.
Perubahan konstitusi secara umum harus memperhatikan hal-hal antara lain
pertimbangan yang matang berkenaan dengan perubahannnya, memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk berperan serta sebagaiman pernyataan K. C.
Wheare (1975) yang menyatakan bahwa, “The first is that the constitution should
be changed only with deliberation, and not lightly or wantonly; the second is
that the people should be given an opportunity of expressing their views before a
change is made; the third is that in a federal system the power of the units and
of the central government should not be alterable by either party acting alone;
and the fourth is that individual or community right.
Lebih lanjut pendapat Sri Soemantri (2006) bahwa konstitusi dibangun diatas
kerangka pemikiran negara sebagai organisasi kekuasaan dan oleh karena itu
eksistensi konstitusi selain sebagai landasan atau dasar bagi kekuasaan, juga
merupakan pembatasan kekuasaan. Sehingga perubahannya akan merubah
landasan negara dan harus dengan pertimbangan yang matang dalam melakukan
perubahan.
Dalam perkembangan permasalahan lingkungan global dan penempatannya
dalam konstitusi, perkembangan hukum lingkungan internasional berkenaan
dengan tanggung jawab negara terhadap perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana prinsip dalam Pasal 2 Deklarasi Rio 1992 yang
menyatakan, “States have, in accordance with the Charter of the United Nations
and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own
resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and
the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do
not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the
limits of national jurisdiction. ”
Prinsip tersebut menegaskan bahwa negara berdasarkan Piagam PBB dan
prinsip-prinsip internasional mempunyai hak berdaulat dan bukan kedaulatan
(Adolf, 2002: 305). Menurut asal kata kedaulatan, dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah “souverignity” berasal dari kata latin supranus berarti yang
teratas. Kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara, bila dikatakan
bahwa negara berdaulat, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan tertinggi
(Kusumaatmadja, 1999: 11). Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh
batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan
tertinggi dalam batas wilayahnya. Sehingga pengertian kedaulatan mengandung
dua pembatasan dalam dirinya yaitu kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah
negara yang memiliki kekuasaan itu dan kekuasaan itu berakhir dimana
kekuasaan negara itu dimulai.
Mochtar Kusumaatmadja (1999) menyatakan bahwa, “Praktek hukum
internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi kesimpulan bahwa
pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini
hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional untuk
mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum
nasional itu pada hakekatnya tunduk pada hukum internasional.”

Dalam prakteknya, Indonesia memisahkan pemberlakuan hukum internasional
dan hukum nasional. Terkait dengan doktrin dualisme sistem hukum tentang
pemisahan antara hukum internasional dan hukum nasional, Hillier (1998)
menyatakan bahwa, “The dualist doctrine developed in the 19th century partly
because of the development of theories about the absolute sovereignty of states
and partly alongside the development of legal positivism. Dualist doctrine
considers international law and municipal law to be two separate legal orders
operating and existing independently of one another.”
Hukum internasional sebelum dapat diberlakukan, harus terlebih dahulu melalui
proses pengesahan. Pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah
Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional,
dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat
penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu. Oleh sebab itu,
harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan
instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas.
Dalam hal ini khususnya di Indonesia, pengaturan hukum nasional menjadi hal
yang penting apabila hal tersebut berkenaan dengan kepentingan internasional,
sehingga peran konstitusi negara sebagai suatu acuan dan pedoman menjadi
sangat penting sebagai salah satu peran dan tanggung jawab negara kepada
masyarakat internasional dan warga negaranya bagi keberlangsungan kehidupan
dan Lingkungan sebagai warisan bagi generasi yang akan datang.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) alinea keempat
menyatakan bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia,
seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Negara
mempunyai tanggung jawab terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup (sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya budaya). Lebih
lanjut Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua menegaskan bahwa
setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam upaya mencapai tujuan nasional, dilakukanlah kegiatan pembangunan
nasional sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Kegiatan
tersebut memungkinkan terjadinya pemanfaatan sumber daya secara berlebihan
sehingga mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan secara global.
Secara sistemik, dalam sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) setiap bidang hukum merupakan
bagian dari sistem nasional serta harus bersumber pada Pancasila dan UUD
1945. Setiap bidang hukum nasional itu bersumber pada Pancasila, berlandaskan
UUD 1945 dan terdiri dari sejumlah peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi maupun hukum kebiasaan termasuk hukum lingkungan. Dengan
menggunakan pola atau kerangka pemikiran tersebut, kita akan berfikir sistemik
walaupun masing-masing bidang hukum itu dapat berkembang sesuai dengan
kebutuhannya sendiri (Hartono, 1991: 64-65).
Hukum lingkungan dalam pengertian yang paling sederhana sebagai hukum yang
mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup) (Danusaputro, 1980: 67).
Sedangkan lingkungan hidup menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Berkenaan dengan hak asasi manusia tentang hak atas lingkungan hidup
sebetulnya Indonesia telah memberikan pengaturan dalam Pasal 28 H UndangUndang Dasar 1945 Amandemen Kedua Tahun 2000 menyatakan bahwa “setiap
orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.” Namun pengaturan
ini dirasakan masih terlalu abstrak dalam pelaksanaannya. apabila dibandingkan
dengan pasal 1 Chapter Right of Nature dari konstitusi Ekuador. Indonesia
sendiri bukan tidak mengatur mengenai hal tersebut, Indonesia mejabarkan lebih
lanjut ketentuan tersebut dalam bentuk undang-undang yaitu dalam UndangUndang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Berkenaan dengan Negara harus memberikan dorongan kepada setiap orang dan
badan hukum untuk melindungi alam dan harus mempromosikan sikap
penghormatan kepada semua elemen dalam satu kesatuan ekosistem tidak diatur
secara tegas dalam konstitusi dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan
diatur pula dalam berbagai Undang-Undang di bidang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dalam hal negara harus melakukan prinsip kehati-hatian dan
mengadakan pembatasan dalam semua aktivitas yang dapat mengarah kepada
pemusnahan spesies, perusakan ekosistem atau menyebabkan perubahan
permanen pada sirkuk alam di atur dalam Undang-Undang dan Peraturanperaturan pemerintah yang lebih teknis seperti ketentuan mengenai kewajiban
bagi kegiatan usaha untuk melakukan analisis mengenai dampak Lingkungan
(AMDAL).
Berkenaan dengan kegiatan dalam pemanfaatan sumber daya alam diatur dalam
Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi Air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dan hal inipun menjadi permasalahan karena
dijadikan dasar bagi sektor-sektor untuk membuat undang-undang sehingga
menjadikan tidak harmonis dan sinkron-nya peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup.
Di Indonesia konsep Lingkungan sebagai subyek hukum berkembang dalam
tataran praktis yaitu dalam tataran yurisprudensi. Lingkungan sebagai subyek
hukum mengandung arti bahwa Lingkungan mempunyai hak dan kewajiban
hukum, dalam hal ini melakukan gugatan atau tuntutan dalam konsep legal
standing. Terdapat masalah apabila konstitusi mengatur hal-hal yang bersifat
terlalu teknis, hal ini terkait dengan muatan sebuah konstitusi, namun masalah
Lingkungan bukanlah masalah yang akan selesai dalam tataran undang-undang
di Indonesia. Lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam mepunyai
hubungan yang erat dengan faktor ekonomi sehingga banyak sektor yang
berkepentingan sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam pembentukan
dan ketidaksinkronan dalam pelaksanaannnya. Sehingga tidak ada salahnya
bahwa sebuah konstitusi mengatur hak mengenai Lingkungan di dalamnya
sehingga mempunyai perhatian yang lebih, mengingat Lingkungan sebagai

common heritage of mankind dan menjadi tanggung jawab negara untuk
melestarikan dan menjaganya untuk kepentingan masa sekarang dan masa yang
akan datang.
Konstitusi di Indonesia dipahami sebagai suatu naskah tertulis, tertinggi dan
berlaku serta dijadikan dasar dalam penyelenggaraan negara. Suatu hal yang
positif apabila konstitusi memuat hal-hal maupun hak-hak berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup dalam konstitusi Penegasan Hak atas Lingkungan
akan mencegah tumpang tindih peraturan perundang-undangan serta membuat
peraturan perundang-undangan menjadi harmonis karena bersumber langsung
kepada konstitusi.
Penegakan Hukum Lingkungan (Enforcement Of Environmental
Law)
Terkait dengan usaha represif pemerintah dalam merespon isu-isu akan polusi,
kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan, kebakaran hutan,
dan bahaya kepunahan, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam penegakan
hukum lingkungan (enforcement of environmental law). Walau berbagai produk
hukum telah dibuat untuk melindungi lingkungan namun dalam kenyataannya
tidak sedikit para penegak hukum kita yang tergolong dalam catur wangsa yang
dalam melakukan tugasnya menegakkan hukum terutama dalam hukum pidana
materiil (KUHP dan peraturan perundang-undang lainnya yang mengandung
sanksi pidana) justru dilakukannya dengan jalan melanggar hukum pidana formil
(KUHAP dan Hukum Acara Pidana lainnya) baik itu disengaja ataupun “tidak
disengaja”, kenyataan ini menumbuhkan opini di masyarakat bahwa proses
penegakan hukum di negara kita masih dilakukan dengan setengah hati
sekalipun itu di jaman era reformasi ini yang katanya mengedepankan hukum
sebagai panglima. Kenyataan ini semakin memberi kesan kuat kepada
masyarakat luas bahwa penegak hukum pun di negeri ini tidak taat pada hukum
(Soekanto, 2002: 126-128).
Hal ini menjadi penting karena masyarakat merasa hukum di Indonesia masih
belum bisa memberikan jaminan terhadap mereka. Dan kebanyakan dari mereka
masih belum mengerti dan memahami bahasa dari hukum, sehingga ketaatan
masyarakat terhadap hukum, dalam hal ini hukum lingkungan, sangatlah kurang.
Aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana hukum itu sendiri masih
belum bisa untuk benar-benar menerapkan peraturan yang sudah ditetapkan.
Malah seringkali aparat penegak hukum yang seharusnya sebagai pelaksana
penegakan hukum, malah melanggar hukum atau bekerjasama melakukan
pelanggaran hukum. Hal ini membuat masyarakat memandang remeh aparat
penegak hukum. Dalam beberapa kasus, masyarakat lalu menjadi tidak taat pada
hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan
lagi. Disinilah pentingnya peran dan fungsi dari penegakan hukum (law
enforcement). Tujuan hukum untuk merealisasikan terbentuknya sebuah
masyarakat yang nyaman dan berkeadilan dengan sifat memaksa, harus benarbenar direalisasikan.
Para penegak hukum dalam melaksanakan law enforcement diharapkan dapat
lebih disiplin dan konsekuen. Pengawasan terhadap petugas penegak hukum

harus diperketat. Semakin kendornya pelaksanaan law enforcement akan
menyebabkan merosotnya kesadaran akan lingkungan hidup dan hukum yang
mengaturnya. Penegakan hukum lingkungan harus dijalankan bukan sematamata karena wacana politik atau pembentukan citra positif aparat penegak
hukum dalam masyarakat, namun harus mampu melindungi hak-hak mereka
dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum lingkungan.
Adapun ranah dari penegakan hukum lingkungan mencakup tiga aspek yaitu: 1)
penegakan hukum lingkungan harus dilaksanakan oleh lembaga yang diberi
kewenangan oleh pemerintah untuk menegakkan hukum lingkungan, 2)
penegakan hukum lingkungan harus dilaksanakan sesuai prosedur hukum yang
berlaku, 3) penegakan hukum lingkungan harus menggunakan 2 jalur
penyelesaian, litigasi dan non-litigasi (Biezeveld, 1995: 7).
Aspek-aspek yang perlu dibenahi dalam upaya penegakan hukum lingkungan
adalah upaya pengawasan (monitoring), pemberian sangsi administratif (the
application of administrative sanctions), kasus kebakaran hutan (cases of forest
fires) (Wijoyo, 2016: 3-7).
Pembentukan Masyarakat Ekologi (Ecological Citizenship)
Terkait dengan usaha provokatif pemerintah dalam upaya pembentukan
kesadaran lingkungan, pada tahun 1986, Pendidikan Lingkungan Hidup dan
Kependudukan telah dimasukkan ke dalam jenjang pendidikan formal di sekolah
dengan dibentuknya mata pelajaran Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan
Hidup (PKLH). Departemen Pendidikan merasa perlu untuk mulai
mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran. Pada jenjang
pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian
mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif
dituangkan dalam sistem Kurikulum Tahun 1984 dengan memasukkan masalahmasalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata
pelajaran. Sejak Tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang
lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional
bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan.
Di tahun 1996 juga terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara
LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan
lingkungan. Hingga Tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam
pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan. Selain itu, terbit
Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No.0142/U/1996, dan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan
dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan
dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan
pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran
guru, penggalakan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman
Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk
Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara
itu, LSM maupun perguruan tinggi mengembangkan pendidikan lingkungan
hidup melalui kegiatan seminar, sarasehan, lokakarya, penataran guru,

pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi,
dan buku-buku bacaan.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan
Nasional mengeluarkan SK bersama No.05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan
pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini,
sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara
integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.
Walau Indonesia telah berusaha untuk menerapkan kesadaran akan lingkungan
melalui pendidikan lingkungan hidup namun sebenarnya konsep pemeliharaan
lingkungan hidup yang dilakukan di Indonesia masih sangat terbatas. Belum ada
konten kurikulum yang secara jelas mengatur mengenai pentingnya kesadaran
akan lingkungan. David Orr dalam bukunya Earth in Mind: On Education,
Environment, and the Human Prospect berpendapat bahwa sumber dari
permasalahan lingkungan berawal dari tidak dimasukkannya pendidikan ekologi
dalam kurikulum sekolah. Akibatnya sistem pendidikan hanya akan menciptakan
generasi-generasi yang bersikap masa bodoh akan kondisi lingkungan yang ada
di sekitarnya, bahkan mengarah pada perilaku vandalisme lingkungan. Untuk
menerapkan ecological citizenship, hal pertama yang harus dilakukan adalah
mereformasi dan memformat ulang sistem operasional dan konten kurikulum di
sekolah.
Untuk menciptakan masyarakat ekologi (ecological citizenship) pada dasarnya
dibutuhkan dua jenis literasi yaitu literasi ekologi (ecological literacy) dan
literasi kewarganegaraan (civics literacy). Literasi ekologi dapat didefinisikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan pemahaman tentang ekologi, cara
berpikir, dan kebiasaan atau cara berpikir untuk menikmati, menghargai, atau
mempelajari lingkungan sedangkan literasi kewarganegaraan dapat didefinisikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan pemahaman akan nilai-nilai sosial
dalam masyarakat (politik, ekonomi), sistem, keahlian, kebiasaan, dan sistem
berpikir untuk berpartisipasi dan belajar akan perannya sebagai warga negara.
Sedangkan ecological citizenship dapat didefinisikan sebagai warga negara yang
memiliki motivasi, kepercayaan diri, dan kesadaran, kesadaran akan nilai-nilai,
bijaksana, dan kemampuan untuk memahami perannya sebagai warga negara
dan pengetahuan akan lingkungan dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari, termasuk di dalamnya kemampuan, keahlian, dan sikap untuk menyadari
nilai-nilai dan perannya sebagai warga masyarakat dengan sikap sadar
lingkungan, berdasarkan pengetahuan, pilihan-pilihan, serta konsekuensi yang
mereka miliki (Berkowitz, et al, 2004). Adapun kerangka integrasi antara literasi
ekologi, literasi kewarganegaraan, kesadaran diri, dan kesadaran akan nilai dapat
dilihat dalam gambar 1.
Gambar 1. Integrasi literasi ekologi dan kewarganegaraan dalam pembelajaran

Jadi ada lima komponen yang menjadi tujuan dibutuhkan dalam penerapan
ecological citizenship dalam pembelajaran yaitu







Literasi Ekologi: memahami hal-hal mendasar dalam sistem lingkungan
menggunakan cara berpikir lingkungan, juga memahami pengetahuan
mengenai ekologi serta hubungannya dengan masyarakat.
Literasi Kewarganegaraan: memahami aspek sosial, ekonomi, kultural,
dan sistem politik dengan menggunakan cara berpikir kritis.
Kesadaran akan Nilai: kesadaran akan nilai-nilai personal dengan rasa
penghargaan akan lingkungan dan kemampuan untuk menghubungkan
nilai-nilai tersebut dengan pengetahuan yang dimiliki serta kebijaksanaan
praktis dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Kesadaran Diri: memiliki kapasitas untuk belajar dan bersikap dengan
penghargaan akan nilai dan ketertarikan akan lingkungan.
Kebijaksanaan Praktis: mempengaruhi kebijaksanaan praktis, memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan, dan bersikap dengan penuh
kepedulian dan penghargaan akan lingkungan.

Oleh karena itu, jika pemerintah serius dalam menjalankan fungsinya untuk
melakukan pemberdayaan lingkungan maka setidaknya ada lima hal yang harus
dimasukkan dalam konten kurikulum yaitu: 1) Prinsip dan sistem kehidupan, 2)
Desain yang terinspirasi dari alam, 3) Sistem berpikir, 4) Literasi ekologi dan
transisi menuju ketahanan lingkungan, 5) Kolaborasi, pembentukan komunitas,
dan masyarakat ekologi. Lima hal ini diharapkan mampu mengusung komponenkomponen yang dibutuhkan dalam membentuk ecological citizenship.
1. Prinsip-Prinsip dan Sistem Kehidupan (Principles of Living
Systems)
Memberikan siswa contoh-contoh bahwa lingkungan sekitar baik hutan, sungai,
gunung, sumber mata air juga merupakan sebuah sistem kehidupan yang

berkembang. Dengan menghubungkan siswa pada alam sekitar, diharapkan
mampu terbentuk pemahaman yang lebih baik akan lingkungan.
2. Desain yang Terinspirasi dari Lingkungan (Design Inspired by
Nature)
Menjelaskan prinsip-prinsip dan karakteristik sistem kehidupan sebagai sumber
atau basis untuk membangun komunitas yang lebih baik. David Orr (2006)
berpendapat bahwa salah satu cara yang ditempuh untuk menginspirasi siswa
adalah dengan melakukan pengamatan serta mendorong siswa untuk
menemukan model, sistem, proses, elemen, maupun potensi yang bisa digali dari
lingkungan sekitar untuk mengatasi isu–isu kontemporer seperti polusi atau
global warming. Siswa harus dikenalkan dengan berbagai contoh realistis yang
mengadopsi ide-ide mengenai lingkungan, salah satunya desain-desain arsitektur
megah yang terinspirasi dari struktur dan keindahan alam dan mengusung
konsep green environment.
3. Sistem Berpikir (Systems Thinking)
Fokus dari sistem berpikir disini adalah untuk membentuk kesadaran dan sistem
berpikir siswa yang sadar akan lingkungan berdasarkan pemahaman holistik dan
pemikiran yang rasional. Banyak sekali konsep mengenai ekologi yang hanya
menjadi wacana. Konsep-konsep tersebut bahkan sulit diimplementasikan di
lapangan karena adanya keterbatasan dana, teknologi, maupun sumber daya
manusia. Oleh karena itu, konsep akan lingkungan, baik secara isi maupun
implementasi, harus mengena dan terkoneksi dengan kehidupan sehari-hari.
Linda Booth Sweeney (2003) mengatakan bahwa setidaknya ada dua belas sistem
berpikir dalam konsep ecological citizenship yaitu: 1) sees the whole (melihat
dunia sebagai sebuah kesatuan yang utuh), 2) looks for connections
(mengasumsikan bahwa tidak ada sesuatu yang sifatnya terisolasi di alam,
manusia dan segala sesuatu yang ada di sekitar kita terkoneksi satu sama lain); 3)
pays attention to boundaries (mendorong peserta didik untuk melihat sekeliling
dan mencari hubungan antara masalah-masalah yang terjadi, mengetahui sistem
yang berlaku di masyarakat, kondisi kritis apa yang bisa ditemui di lingkungan
sekitar, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, serta apa yang harus dibenahi dari
lingkungan sekitar); 4) changes perspective (merubah cara pandang,
meningkatkan pemahaman menganai peran dan kedudukan kita dalam sistem
lingkungan); 5) looks for stocks (mencari potensi dan akumulasi tersembunyi,
baik dalam hal ilmu pengetahuan, budaya, maupun aspek-aspek lain yang
berpotensi untuk merusak maupun menjaga kelestarian lingkungan); 6)
challenges mental models (menantang generasi muda mengenai asumsi tentang
bagaimana menjaga kelestarian lingkungan, apa yang bisa dilakukan dan batasbatas apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam upaya pelestarian lingkungan);
7) anticipates unintended consequences (mengantisipasi konsekuensi yang tidak
diinginkan
dengan
menyusun
skema
sebab-akibat
dan
selalu
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa terjadi
kemudian); 8) looks for change over time (melihat kejadian hari ini, sebagai hasil
dari apa yang dilakukan di masa sebelumnya, serta berusaha memprediksi apa
yang akan terjadi di masa depan; 9) sees self as part of the system (melihat apa
yang berpengaruh dalam sebuah sistem lingkungan, memfokuskan bukan kepada
pelaku yang akan dijadikan kambing hitam namun bagaimana struktur dan

sistem lingkungan dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat); 10) embraces
ambiguity (merangkul/menerima ambiguitas, paradox, atau perbedaan pendapat
maupun keyakinan tanpa berusaha untuk merubahnya secara cepat dan radikal);
11) finds leverage (meraih pengaruh, mengetahui bahwa solusi barangkali masih
sangat jauh dari masalah, dan berasumsi bahwa perubahan yang kecil dapat
menimbulkan efek yang besar dalam lingkungan secara keseluruhan); 12)
watches for win/lose attitudes (melihat sikap-sikap negatif atau positif yang
berguna dalam mengatasi situasi ketika kita dihadapkan pada dunia nyata).
4. Paradigma Lingkungan
Lingkungan (Ecological
Sustainability)

dan Transisi Menuju Ketahanan
Paradigm and The Transition to

Fokusnya dari paradigm lingkungan dan keberlanjutan ekosistem adalah
menciptakan perubahan sosial dalam skala yang lebih besar tentang bagaimana
cara kita hidup di planet ini. Pendidik diharapkan mampu mengajarkan pada
generasi muda bahwa mereka merupakan bagian dari alam. Hubungan antara
manusia dengan alam merupakan landasan perubahan paradigma lingkungan
dalam masyarakat. Masyarakat masih memandang bahwa alam dan manusia
adalah dua hal yang terpisah sehingga tidak ada kepedulian kita untuk menjaga
dan memelihara kelestariannya. Pembentukan ecological citizenship
sesungguhnya bukan hanya mengenai pendidikan akan kebutuhan dasar dan
bagaimana cara kita bertahan hidup namun juga merupakan proses untuk
menciptakan ketahanan masyarakat, baik secara fisik, emosional, intelektual,
kultural, maupun spiritual (Capra, 2011: 167-175)
David W. Orr (2009) menyatakan bahwa pembaruan lingkungan harus dimulai
dengan perubahan paradigma masyarakat mengenai ekologi, hal ini erat
kaitannya dengan melakukan perubahan fundamental moral masyarakat dengan
cara-cara yang inovatif. Hal ini merupakan sesuatu yang urgen karena kerusakan
lingkungan telah berada dalam level kritis dimana penundaan akan agenda ini
hanya akan mempercepat keruntuhan ekosistem, termasuk manusia yang ada di
dalamnya. David W. Hoelscher (2009) juga menyimpulkan bahwa harus ada
sinerji yang positif antara kebijakan pemerintah, permainan pasar, dan peran
masyarakat dalam permasalahan lingkungan supaya pembaruan lingkungan
secara berkelanjutan dapat terwujud dalam jangka waktu yang lama dan bersifat
permanen, tanpa terpengaruh oleh kondisi sosial dan politik suatu daerah.
5. Kolaborasi,
Pembentukan
Komunitas,
dan
Masyarakat
(Collaboration, Community Building, and Citizenship)
Ecological citizenship bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi dan kerjasama
sebagai bagian dari sistem kehidupan. Kemampuan untuk berasosiasi,
berhubungan, dan berbagi ilmu pengetahuan merupakan bagian dari ecoliteracy. Ecological citizenship ini sejalan dengan konsep pembangunan
komunitas dan active citizenship.
KESIMPULAN
Ketentuan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
dicantumkan secara tegas dalam konstitusi mengingat isu dan kepentingan

mengenai lingkungan yang kritis akibat kegiatan pembangunan akan menambah
parah kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan. Dengan komitmen
eksekutif dan legislatif, Indonesia dapat mengajukan perubahan konstitusi.
Pengaturan dalam konstitusi ini akan dijadikan dasar bagi peraturan perundangundangan di bawahnya sehingga seluruh ketentuan akan bersumber kepada
konstitusi yang berorientasi kepada pelestarian fungsi lingkungan hidup (green
constitution).
Perlunya usaha penegakan hukum (law enforcement) untuk merespon isu-isu
akan polusi, kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan,
kebakaran hutan, dan bahaya kepunahan. Tujuan hukum untuk merealisasikan
terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan dengan sifat
memaksa harus benar-benar direalisasikan. Para penegak hukum dalam
melaksanakan law enforcement diharapkan dapat lebih disiplin dan konsekuen,
demikian juga sistem pengawasannya. Semakin kendornya pelaksanaan law
enforcement akan menyebabkan merosotnya kesadaran akan lingkungan hidup
dan hukum yang mengaturnya.
Pemerintah perlu mereformasi dan memformat ulang sistem operasional dan
konten kurikulum di sekolah terkait dengan upaya mendorong dan menanamkan
kesadaran akan lingkungan. Adapun konten ecological citizenship yang perlu
diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah meliputi lima hal yaitu: 1) Prinsip
dan sistem kehidupan, 2) Desain yang terinspirasi dari alam, 3) Sistem berpikir,
4) Literasi ekologi dan transisi menuju ketahanan lingkungan, 5) Kolaborasi,
pembentukan komunitas, dan masyarakat ekologi.
DAFTAR RUJUKAN
Adolf, Huala. (2002). Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Edisi
Revisi, Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Asshiddiqie, Jimly. (2009). Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Press
Asshiddiqie, Jimly. (2009). Kini Saatnya Membumikan Konstitusi Hijau. Kuliah
Umum dan Diskusi Publik yang bertajuk “Konstitusi Hijau dan Hak Asasi
Manusia Sebagai Bagian Dari Hak Konstitusional Warga Negara dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kekayaan Alam di Indonesia.
Jakarta: Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Berkowitz, et al. (2004). A Framework for Integrating Ecological Literacy,
Civics Literacy, and Environmental Citizenship in Environmental
Education. London: Routledge
Biezeveld, GA. (1995). Course on Environmental Law Enforcement, Syllabus.
Surabaya, January 9-14
Capra, Fritjof. (2011). Ecology and Community. London: Cambridge University
Press
Danusaputro, Munadjat. (1980). Hukum Lingkungan, Buku 1 Umum. Jakarta:
Binacipta

Gerardu & Wasserman. (1998). Fifth International Conference on
Environmental Compliance and Enforcement: Conference Proceedings,
Vol. 1 and 2, Monterey, California.
Hardjasoemantri, Koesnadi. (1999). Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh
Cetakan Keenambelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Hartono, Sunaryati. (1991). Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni: 64-65).
Hillier, Tim. (1998). Sourcebook on Public International Law. London:
Cavendish Publishing Limited, The Glass House, & Wharton Street Ltd.
Hoelscher, David W.. (2009). Cultivating The Ecological Conscience: Smith, Orr,
and Bower on Ecological Education. Texas: University of North Texas
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.89/MENLH/5/1996 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup
Kusumaatmadja, Mokhtar. (1999). Pengantar Hukum Internasional Bagian I
Umum. Jakarta: Pusat Studi Hukum Internasional FH UI
Laura, Ronald S and Cotton, Matthew C. (1999). Empathetic Education: An
Ecological Perspective on Educational Knowledge. London: Palmer Press
Leopold, Aldo. (1949). A Sand County Almanac, and Sketches Here and There.
London: Oxford University Press p. 223.
Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No.0142/U/1996
Orr, David W. (2006). Design on the Edge: The Making of a High-Performance
Building. Cambridge: The MIT Press
Orr, David W. (2009). Down to the Wire: Confronting Climate Collapse. Oxford:
Oxford University Press
Orr, David W.. (2002). The Nature of Design: Ecology, Culture, and Human
Intention. London: Oxford University Press
Priyanta, Maret. (2000). Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 4, Agustus 2010.
Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) Di Indonesia
Sebagai Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI
Rolston, Holmes. (1996). Earth Ethics: A Challenge to Liberal Education in
Earth Summit Ethics: Toward a Reconstructive Postmodern Philosophy
of Environmental Education. Albany: State University of New York Press,
pp. 167-68.
Seoemantri, Sri. (2006). Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung:
Alumni

SK Bersama Nomor 05/VI/KB/2005 untuk Pembinaan dan Pengembangan
Pendidikan Lingkungan Hidup
Soekanto, Soerjono. (2002). Kesadaran hukum dan kepatutan hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Strong, C.F. (1963). A History of Modern Political Constitutions. London:
Sidgwick & Jackson
Sweeney, Linda Booth. (2002). Approaches to Living Sistem, Dynamic, Complex,
Cyclical Nature and Their Inherent Interconnectedness. New Mexico:
Springer
Sweeney, Linda Booth. (2003). Habits of Sistem Th