pelanggaran HAM ditanah papua.d ocx

Pelanggaran HAM di Tanah Papua
Zahra Zara Mahasin
zahrazaramahasin@students.ac.id
DATA BUKU, terdiri dari:
Judul Buku
: Mati atau Hidup, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak asasi
manusia di Papua
Nama Pengarang : Markus Haluk
Penerbit
: Penerbit Deiyai
Tahun Terbit
: 2013
Kota Penerbit
: Jayapura, Papua
Bahasa Buku
: Bahasa Indonesia
Jumlah Halaman : 329 Halaman
ISBN Buku
: 978-602-17071-3-5
DISKUSI/PEMBAHASAN REVIEW
Dalam lima tahun terakhir konfik Papua

tak
kunjung
mereda.
Kekerasan
dan
pelanggaran hak asasi manusia terjadi di
Papua. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk
menyampaikan aspirasi rakyat malah berujung
penangkapan, penyiksaan, penahanan, dan
bahkan hingga ke pembunuhan. Kekerasan di
tanah papua seperti tak ada habisnya.
Gerakan-gerakan demokrasi terus dihentikan
dengan senjata, tokoh-tokoh masyarakat sipil
Papua dibunuh untuk menciptakan ketakutan
dan memangkas regenerasi kepemimpinan
yang tumbuh dalam gerakan sipil dan politik
rakyat Papua sendiri.
Dalam buku Mati atau Hidup, Hilangnya
Harapan Hidup dan Hak asasi manusia di
Papua ini dijelaskan bahwa pelaku kekerasan

ada yang diketahui identitasnya, minimal
kelompoknya. Namun ada juga yang belum
diketahui, dalam banyak kasus kekerasan,
pihak
kepolisian
belum
mampu
mengindentifikasi para pelaku kekerasan.
Buku ini dapat dilihat sebagai suatu dokumentasi tentang kekerasankekerasan, baik dalam bentuk aksi maupun kebijakan, yang dikategorikan oleh
penulis sebagai pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua. Buku ini memuat
berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam periode
waktu yang terbatas yakni dari tahun 2008 hingga tahun 2012.

Penulis, Markus Haluk, dalam buku ini menjelaskan bahwa “Mati atau
Hidup” dipakai sebagai judul untuk memaknai situasi hak asasi manusia yang
terjadi di Papua selama empat tahun, 2008-2012, yang ditujukan kepada
siapapun dan dimana pun yang peduli terhadap persoalan hak asasi manusia di
Papua. Hal itu juga mengandung makna suatu kondisi dari ketidak berdayaan,
antara mati atau hidup. Mati memang urusan Yang Maha Kuasa, namun yang
terjadi di Papua mati menjadi urusan pemerintah melalui aparat keamanan

(TNI/POLRI). Dengan tuduhan separatis, polisi dan tentara bisa dengan cepat
melakukan pembunuhan. Lalu hidup ini, dianggap sebagai harapan untuk bangkit
berjuang mengupayakan kehidupan itu sendiri.
Berisi tentang laporan-laporan dokumentasi hak asasi manusia di Papua
selama empat tahun terakhir, buku ini bisa menjadi pengingat adanya indikasi
kuat kejahatan kemanusiaan yang sedang terjadi di tanah Papua. Kejahatan itu
tergambar pada sektor politik, ekonomi, budaya. Hal ini tersebar juga di berbagai
daerah di Papua yang kemudian menjadi zona konfik berkelanjutan, seperti
Jayapura, Paniai, Timika, Pncak Jaya.
Buku ini mengungkapkan berbagai gejolak dan peristiwa hak asasi manusia
dari sumber-sumber terpercaya dan bisa dipertanggung jawabkan. Keunikan buku
ini adalah banyak mengungkapkan persoalan hak asasi manusia dan sumber
langsung dari lapangan. Orang-orang yang melaporkan hadir dan menjadi bagian
dari korban kejahatan hak asasi manusia. Untuk melengkspi data-dat di lapangan,
dipakai sumber dari publikasi-publikasi media massa, baikcetak maupun online,
dari media yang terbit di Papua maupun media nasional Jakarta. Sebagian besar,
fakta-fakta dikumpulkan dari hasil advokasi di tempat-tepat kejadian atau di
lapangan langsung.
Buku ini juga memperlihatkan dengan jelas bahwa baik pelanggaran
maupun penghormatan terhadap hak asasi manusia mempunyai dampaknya

terhadap hak hidup (the right to life). Hak hidup ini juga merupakan hak yang
paling mendasar. Apabila the right to life seseorang diharuskan, maka semua hak
yang lain tidak lagi relevan bagi orang tersebut. Penghormatan terhadap hak
asasi manusia akan menunjang dan mengembangkan hak hidup.dan
penlanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan akan menghancurkan
hak hidup (the right to life) ini.
Secara umum, bagian-bagian dalm buku ini menampilkan wajah duka dan
buram. Pada bagian Hak-Hak Sipil dan Politik, peristiwa yang menjadi perhatian
besar baik di Papua maupun tingkat nasional di Jakarta dan bahkan luar negeri
adalah aksi-aksi protes damai dibungkam dengan pendekatan kekerasan dari
aparat keamanan. Para aktivis dan masyarakat sipil diancam, diintimidasi dengan
tembakan senjata dan terror telpon dan SMS (Short Message Service) di telpon
seluler. Para aktivis didiskriminalisasi, dituduh separatis atau OPM(Organisasi
Papua Merdeka) dan teroris. Media internasional dibungkam, wartawan asing
dilarang masuk ke Papua. Bahkan, mereka yang memiliki izin masuk ke Papua
pun ditangkap, dilarang meliput, dan dideportasi.
Pada bagian Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, mengungkap kemunduran
generasi muda Papua karena negara kurang menjamin dan melindungi anak-anak
mendapatkan pendidikan yang layak. Di bidang kesehatan, munculnya wabah
korela yang mematikan yang harus diterima. Dan wabah yang paling utama


menjadi ancaman penduduk Papua adalah HIV/AIDS, yang jumlahnya mencapai
lebih dari 12 (Dua Belas) ribu orang.
Buku ini juga mengungkapkan tentang hukum dan aparat keamanan. Para
pelaku kekerasan TNI dan Kepolisian tidak diproses secara hukum yang
berkeadilan. Sebagian besar pelakunya bebas dan tidak tersentuh oleh hukum.
Pelaku yang diproses secara hukum karena kasusnya mendapatkan perhatian
yang besar oleh masyarakat luas diadili di pengadilan militer yang hukumnya
sangat ringan dan administrative.
Bisnis militer yang terkait dengan bisnis tambang, seperti tambang
emas,juga mendapatkan perhatian dalam buku ini. Dijelaskan pula aparat
keamanan yang ditugaskan di Papua menjalankan misi terselubung, bisnis emas
dan bisnis keamanan didaerah tambang. Seks diareal tambang juga menjadi
catatan penting di buku ini, karena sangat berdampak pada perkembangan
endemic virus HIV/AIDS di Papua.
Buku ini memperlihatkan dampak-dampak negatif yang terjadi karena hak
asasi manusia terhadap kehidupan manusia, bahwa suatu pelanggaran dapat
menghancurkan hak hidup seseorang atau bahkan suatu kelompok. Dalam buku
ini penulisnya (Markus Haluk) menggambarkan dengan jelas pelanggaranpelanggaran yang terjadi juga disertai dengan berbagai foto pendukung dari
pelanggaran hak asasi manusia itu yang menghancurkan hak hidup individu dan

kelompok orang Papua. Penulis sendiri menempatkan dirinya sendiri sebagai
pembela hak hidup dari warga Papua itu sendiri.
Salah satu hal utama yang diangkat dalam buku ini adalah kekhawatiran
warga papua atas hak hidup mereka di atas tanah leluhurnya sendiri. Dalam buku
ini, menjelaskan bahwa hak hidup warga Papua sedang sangat terancam. Hak
hidup yang terancam didalamnya termasuk pelanggaran hak asasi manusia,
penyebaran HIV/AIDS, dan masih banyak faktor lain yang juga menjadi bentuk
ancaman hak hidup warga Papua.
Dokumentasi yang berada dalam buku ini menyajikan bahan yang dapat
dimanfaatkan ketika dilakukan investigasi secara menyeluruh dan mendalam
tentang situasi hak asasi manusia ditanah Papua, Karena sejumlah data yang ada
dalam buku ini dapat di teliti lebih dalam oleh lembaga-lembaga yang
berkompeten. Biasanya suatu pelanggaran hak asasi manusia mempunyai
keterkaitan dengan situasi politik, ekonomi, social, dan budaya dalam negara
setempat. Maka kasus dan konfik di Papua dapat ditelaah dalam keseluruhan
konteks politik, ekonomi, social, dan budaya di negara Indonesia.
Buku ini di tulis dengan tujuan untuk “membuka mata dan mengetuk hati”
pemerintah agar memberikan jaminan hak yang sangat mendasarkan bagi setiap
manusia yaitu hak hidup. Dijelaskan pula bahwa pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi di Papua ini terjadi saat sedang memperjuangkan Papua menjadi

tanah damai. Sehingga selama pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi
maka tanah damai itu tidak akan terwujud.
Melalui buku ini penulisnya menyampaikan bahwa ada dua hal yang perlu
dilakukan, yakni, pertama, menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia, mencarikan solusi atas faktor penyebab dari berbagai pelanggaran hak
asasi manusia, serta menetapkan kebijakan-kebijakan yang mencegah
penghulangan pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.

Kedua, hal ini tidak dapat dicapai dengan kekerasan atau pemaksaan
kehendak oleh salah sau pihak kepada pihak yang lainnya.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa selama kurun waktu 4 tahun (2008-2012),
pemerintah RI telah melakukan pelanggran hak asasi manusia baik dalam hakhak sipil, ekonomi, politik, sosial-budaya, pendidikan, kesehatan terhadap
masyarakat Papua. Pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi dan secara
khusus hak-hak sipil dan politik rakyat bangsa papua yang telah dan terus
dilanggar, seperti: hak menentukan masa depan sendiri, hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa dan diperlakukan secara keji, hak atas perlindungan, hak atas
pengakuan yang sama sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan bagi warga
negara asing.
Kemudian hak atas kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan
berekspresi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat, hak

untuk mendapatkan perlindungan, ha katas kesamaan di muka hukum serta
konvensi anti-penyiksaan dan perlakuan atau hukum lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini
terdapat dalam UU No.5/1998.
Untuk persoalan di laporan bagian Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
dalam buku ini mengatakan bahwa pembangunan tidak berpihak pada orang asli
Papua adalah persoalan utamanya. Di sektor ekonomi, pembangunan lebih
menguntungkan proyek-proyek besar yang yang dikerjakan oleh pengusahapengusaha nasional yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan Papua.
Papua diperhitungkan dalam soal sumber daya alam dan sumber-sumber
energi yang terkandung di dalam perut bumi dan gunung-gunung di Papua, tetapi
yang terjadi adalah eksploitasi besar-besaran yang sangat merugikan penduduk
asli Papua. Padahal masyarakat yang tinggal di Papua tak diperhitungkan dalam
kalkulasi-kalkulasi ekonomi. Sama halnya dengan sektor sosial-budaya seperti
kesehatan dan pendidikan. System pelayanan dalam dua sector tersebut tidak
merata dan adil. Sistem pelayanan publik yang dibuat pemerintah kurang di
dukung oleh manajemen yang baik, professional dan terbuka.
Selanjutnya, buku ini mengungkapkan berbagai kekerasan yang terjadi di
areal tambang dan basis-basis gerakan bersenjata gerilyawan Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM).
Kesimpulannya adalah kekerasan yang terjadi di areal eksplorasi tambang emas

dipicu oleh ketidakadilan dan pelanggaran nilai-nilai adat dan kemanusiaan orang
asli Papua. Sekali lagi militer dan aparat keamanan dipakai untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang memicu konfik berkepanjangan.
Selain itu dibahas juga penyebab yang patut dicatat adalah izin
penambangan dan peraturan-peraturan pemerintah , dari bupati, gubernur,
hingga kementrian yang tidak ramah dengan lingkungan. Hak asasi manusiapir
semua kekerasan di wilayah penambangan, seperti Puncak Jaya, Intan Jaya,
Mamberano Raya, Freeport-Timika terjadi Selma bertahun-tahun dan belum ada
penyelesaiannya.
Ini disebabkan karena akar persoalan dan konfik yang tidak diselesaikan
atau dicari jalan keluarnya. Kota Jayapura, antara lain wilayah konfik yang
mengalami eskalasi kekerasan yang terus meningkatdan mendapatkan banyak
perhatian, meskipun tidak bergesekkan langsung dengan tambang, namun ini
karena gelombang demokrasi yang bergerak dan terus berkembang. Negara

dengan segala perangkatnya tidak menangani serta mencari jalan keluar atas
kekerasan di wilayah khusus seperti di Kabupaten/Kota Jayapura, Timika, Puncak
Jaya, Intan Jaya, dan Kabupaten Paniai. Pemerintah kurang tanggap dalam
menangani serta mencari jalan keluar atas kekerasan di wilayah-wilayah tersebut.
Sehingga ini menimbulkan atau mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi

manusia di kalangan warga sipilm Papua dan non-Papua.
Buku ini juga secara khusus membahas peran pemerintah RI dan aparat
keamanan dalam konfik dan kekerasan di Papua. Disimpulkan, konfik dan
kekerasan sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan. Tuduhan makar dan
separatis menjadi dasar bagi aparat keamanan untuk melakukan kekerasan dan
tindakan pembunuhan. Munculnya konfik ini juga dipicu oleh jumlah aparat
keamanan yang jumlahnya semakin bertambah, bahkan serangkaian operasioperasi khusus dilaksanakan atau dilakukan oleh kopassus dan intelijen. Dan
satuan keamanan khusus antiteror yang dibentuk oleh negara-negara ASEAN,
Amerika Serikat, Australia, yang semula dibentuk untuk memerangi terorisme kini
di operasikan di Papua untuk menghadapi para pemimpin, aktivis dan pembela
hak asasi manusia di Papua.
Operasi keamanan semacam itu terus berjalan karena tidak ada
penegakkan hukum bagi anggota keaman yang melakukan kekerasan,
penghilangan nyawa secara paksa dan pelanggaran hak asasi manusia. Aparat
keamanan yang menjadi pelaku kekerasan dan penembakkan warga Papua tidak
ditangani dengan serius dan benar. Di antara mereka ada yang tidak diajukan ke
meja pengadilan, kalaupun diproses oleh hukum pun tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat luas. Sehingga konfik dan kekerasan justru berasal dari
aparat keamanan itu sendiri.
Jika dilihat dari ulasan data dan fakta yang terdapat dalam buku Mati atau

Hidup karya Markus Haluk ini, bisa disimpulkan bahwa negara dan pemerintah
Indonesia telah gagal menjamin hak-hak dasar manusia yang telah disepakati
bersama oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah Indonesia telah
membiarkan dan menutup mata peristiwa-peristiwa yang masuk dalam
pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Strategi pembangunan dan politik yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak memberikan konstribusi yang berarti
bagi jaminan hidup rakyat Papua.
Jika dilihat buku ini merupakan buku yang bisa memberikan gambaran
dengan detail tentang pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
di Papua. Namun begitu jelas sekali buku ini tidak dibuat untuk menyerang atau
mempersalahkan kelompok atau pihak tertentu dan juga tidak dibuat untuk
mengungkapkan perasaan balas dendam, penulisnya sendiri menempatkan
dirinya sebagai pembela hak asasi manusia warga Papua. Karena isi dari buku ini
lebih mengarah ke tujuannya untuk “membuka mata dan mengetuk hati” seperti
yang telah disebutkan sebelumnya.
Buku karya Markus Haluk ini memiliki banyak kelebihan. Selain data-data
akurat yang ada didalamnya, buku ini juga mengandung hal-hal yang baik dalam
memahami perbedaan-perbedaan pandangan, keyakinan dan aspirasi politik yang
hidup di tanah Papua. Buku ini merupakan langkah kecil yang sangat berarti
untuk melahirkan semangat kemanusiaan di tengah-tengah konfik yang terjadi di
Papua. Bisa digunakan sebagai pemicu semangat memperjuangkan harapan
hidup, Karena dalam buku ini peulis sering sekali menyelipkan kata-kata yang

menggambarkan perjuangan dan kesusahan yang dialami masyarat atau warga
Papua, seperti penyampaian persembahan buku ini bagi korban kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia yang terdapat dalam sekapur pinang dari penulis,
yaitu, “Wahai Papua dalam sangkar NKRI, dapatkah kau menahan susah, tak
seorang pun mengambil tahu, luka, dan lara di hatimu. Batinmu menangis hati
patah, riwayat tertulis penuh dengan tetesan air mata, darah, dan bahkan nyawa.
Wahai, kau Papua dalam NKRI, dapatkah kau menahan susah, dari kekejaman
dunia yang tak tahu menimbang rasa”.
Kelebihan selanjutnya dari buku ini adalah disediakannya daftar singkatan
dan indeks yang bisa mempermudah pembaca dalam memahami isi buku yang
menjelaskan permasalahn secara regional. Selain itu di bagian penutup penulis
juga menambahkan daftar pustaka yang sangat lengkap yang memuat rujukan
dari berbagai buku, laporan-laporan, surat kabar, website, dan lainnya yang dapat
menambah kepercayaan pembaca terhadap buku ini. Di penutup juga memuat
kesimpulan, rekomendasi dan epilog.
Dibagian paling akhir dari buku ini penulis menambahkan lampiran-lampiran
yang berisi surat-surat intervensi (Mengirimkan prajurit suatu negara ke negara-negara yang
bertikai yang jelas bukan urusannya. Melakukan embargo pada suatu negara yang dimusuhi oleh
lembaga negara lainnya.) dari berbagai Negara, seperti, Universal Periodic Review Indonesia ( UK
Mission to the United Nation inGeneva), United Nation Human Rights Council 13 th Session of the UPR
Working Group ( German questions and recommendations to Indonesia), Intervencion de Mexico en el
dialogo Interactivo con Indonesia 13th Periodo de sesiones dei Examen Periodico Universal, UPR,
Thirteenth Session Indonesia, 23 May 2012 Statement by the Government of Norway, UPR of
Indonesi- Statement of Japan (H.E. Ambassador Kenichi SUGANUMA), Universal Periodic Review
Indonesia Statement by Australia, Intervention du Representant Permanent de la France (Geneva, le
mercredi 23 mai 2012(matin)), 13th session du Group de travall charge de l’examen periodique
universel (Geneve, le 23 mai 2012, Declaration de la Suisse), Permanent Mission of the Republic of
Korea Geneva, Congress of the United States house of representatives.
Kemudian kekurangan yang ada dalam buku ini adalah tidak adanya bagian yang memaparkan
tentang kesalahan pemerintah daerah, sebab mereka juga merupakan bagian dari subjek pelaku
pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Jika dalam bidang sosial dan politik, negara (pemerintah
pusat) memang menjadi aktor, tapi perlu diingat bahwa di bidang ekonomi, sosial dan budaya,
pemerintah daerah justru menjadi pelaku utama pelanggaran hak asasi manusia, dan dalam buku ini
penulis tidak membahas tentang kesalahan pemerintah daerah yang perlu juga diungkapkan, agar lebih
fair.