Bab I Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pendidikan InklusifSlow Learner Di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk
mempromosikan pendidikan universal yang efektif. Tujuan
utama
pendidikan
inklusif adalah
mendidik anak yang
memiliki kebutuhan khusus seperti anak yang berkelainan
fisik,
mental,
dan
sosial
atau
sering
disebut
Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK), di kelas regular bersama-sama
dengan anak-anak lain yang normal dengan dukungan yang
sesuai
dengan
kebutuhannya
di
sekolah
yang
ada
di
lingkungan rumahnya. Pada masa lalu mendidik anak-anak
yang memiliki kebutuhan khusus di luar kelas regular
dilakukan di sekolah segregasi berupa sekolah khusus atau
sekolah luar biasa.Namun sekarang sekolah harus melakukan
segala upaya untuk memberikan inklusi untuk anak-anak
yang
memiliki
keterbatasan.
(Friend,2006;
Lewis
&
Doorslag,2006).
Penelitian tentang inklusif yang telah dilakukan di
negara-negara barat sejak 1980-an, dan penelitian yang
berskala besar yang dipelopori oleh the National Academy of
Sciences di Amerika Serikat, hasilnya menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas
atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.Sedangkan
hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980)
terhadap 50 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan
akademik maupun sosial anak yang berkebutuhan khusus
dan teman sebayanya.Begitu pula Konvensi Perserikatan
1
Bangsa-bangsa
(PBB)
yang
diadakan
tahun1989,
telah
mendeklarasikan hak anak-anak, dan ditegaskan bahwa
semua
anak
diskriminasi
berhak
dalam
memperoleh
bentuk
pendidikan
apapun.Deklarasi
tanpa
tersebut
dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework
for Action on Special Needs Education yang memberikan
kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak
termasuk
anak-anak
intelektual,sosial,
yang
memiliki
emosional,linguistik
kelainan
maupun
fisik,
kelainan
lainnya.
Di Indonesia hak memperoleh belajar tertuang dalam
Undang-undang
Nomor
20
tahun
2003
tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 1 sd 4 yang menegaskan
bahwa: 1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; 2) Warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus; 3)Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus; 4)Warga negara yang memiliki
potensial kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Secara
khusus,
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 Pasal 1
disebutkan
bahwa
Pendidikan
Inklusif
adalah
sistim
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti
pendidikan
atau
pembelajaran
dalam
satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya. Dalam pelaksanaannya pendidikan
inklusif bertujuan
untuk memberikan
2
kesempatan
yang
seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan
yang menghargai keanekaragaman kemampuan siswa dan
tidak diskriminatif.
Sejak tahun 1979, di berbagai negarasudah ada sekolah
umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama
anak-anak normal lainnya karena orang tua menginginkan
anak mereka mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah
umum bukan di sekolah luar biasa (SLB). Searah dengan
perkembangan pendidikan baik di luar maupun di dalam
negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan Surat
EdaranNomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003
tentang
pendidikan
inklusif
yang
menyatakan
bahwa
penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di
setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah
yang terdiri dari SD,SMP,SMA dan SMK. (Suyanto & Mudjito,
2012)
Saat ini seluruh sekolah inklusif di Indonesia dari
tingkat SD hingga SMA dapat menerima anak berkebutuhan
khusus di sekolah biasa dengan program khusus.Mereka
dapat mengikuti kelas biasa namun di sisi lain merekapun
harus mengikuti program khusus sesuai dengan kebutuhan
dan kapasitas mereka. Kurikulum yang digunakan adalah
kurikulum biasa, namun dengan penerapan yang disesuaikan
kemampuan mereka.
Di kota Salatiga percobaan program inklusif sudah
dilaksanakan sejak tahun 2010 terhadap enam Sekolah Dasar
(SD) dan dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan
jumlah siswa program inklusif sebanyak 115 orang. Kepala
Dinas Pendidikan Pemuda Olahraga (Disdikpora) Salatiga,
Susanto (Kedaulatan Rakyat, 2012) menjelaskan keenam SD
yang telah melaksanakan program inklusif di Kota Salatiga
adalah SD Pulutan 2, Blotongan 2, Kumpulrejo 2, Noborejo 2,
3
Dukuh 2 dan SD Sidorejo Kidul. Sedangkan untuk program
Cerdas
Istimewa
(CI)
dan
Bakat
Istimewa
(BI)
sudah
dilaksanakan di SD Lab UKSW Salatiga. Sementara dua SMP
Negeri yang telah uji coba program ini khusus CIBI, adalah
SMP Negeri 2 dan SMP Kristen 2 Salatiga.
Dari beberapa sekolah inklusif di atas, penulis tertarik
untuk meneliti salah satu sekolah inklusif di Salatiga ini yaitu
SDNegeri Pulutan 02 Kecamatan Sidorejo Salatiga.Sekolah ini
telah
ditunjuk
berdasarkan
sebagai
Surat
sekolah
Keputusan
inklusif
Kepala
di
Salatiga
Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olah Raga No: 420/0241.a/101 pada tanggal 24
januari 2012. Jumlah murid di sekolah ini hanya sedikit yaitu
sekitar 80 siswa tetapi di setiap kelas ada anak berkebutuhan
khusus(ABK),
bahkan
ada
kelas
yang
jumlah
siswa
berkebutuhan khususnya setengah dari jumlah siswa di
kelasnya.Dari data Laporan Hasil Tes Psikologis siswa SD
Negeri Pulutan 02 Salatiga, hampir semua siswa ABK di
sekolah ini adalah siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan
(IQ) dibawah rata-rata sehingga inklusi di sekolah ini lebih
banyak menangani siswa lambat belajar atau slow learner.
Pilihan
SD
Negeri
Pulutan
02
Salatiga
menyelenggarakan pendidikan inklusi khususnya bagi siswa
slow learner tentu perlu mendapat perhatian penting baik
dalam hal penyelenggaraan pendidikan dasar dan juga dalam
melihat
latar
mendedikasikan
belakang
dirinya
sekolah
sebagai
sehingga
sekolah
yang
berani
melayani
pendidikan inklusif bagi siswa slow learner.
Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti dengan
kepala sekolah dan guru di SD Negeri Pulutan 02, dapat
dikatakan bahwa ada tiga motivasi utama yang menjadi
landasan sekolah SD Negeri Pulutan 02 Salatiga menjadi
sekolah inklusi. Pertama, kondisi siswa yang belajar di SD
4
Negeri Pulutan 02 Salatiga jumlahnya selalu menurun setiap
tahun ajaran. Hal ini akan menyebabkan sekolah terancam
tidak
bisa
menyelenggarakan
kegiatan
belajar
mengajar
sendiri dengan bergabung dengan sekolah dasar lain yang
direkomendasikan
oleh
Dinas
Pendidikan.
Kedua,
meningkatnya jumlah siswa dan calon siswa slow learneryang
tersebar di Kota Salatiga. Siswa-siswa ini kebanyakan di tolak
di sekolah dasar lain, atausiswa pindahan sekolah karena
ketidakmampuan
mengikuti
pelajaran
di
sekolah
asal
disebabkanmereka masuk dalam kategori siswaberkebutuhan
khusus.Ketiga,
adanya
peluang
bagi
sekolah
untuk
mendapatkan siswa dengan melayani kebutuhan pendidikan
inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus
serta dengan
kemampuan ekonomi orang tua yang kekurangan.
Tiga alasan mendasar itulah yang menjadikan motivasi
Kepala Sekolah serta guru-guru sekolah SD Negeri Pulutan 02
Salatiga untuk tetap bertahan dan berkembang.SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga kemudianmengubah visi dan misi sekolah
mereka menjadi sekolah yang mendidik dan menolong para
siswanya
baik
yang
ABK
maupun
yang
normal
agar
mendapatkan pelayanan pendidikan yang terbaik.
Meskipun demikian berdasarkan observasi awal peneliti,
menunjukkan bahwa ada berbagai permasalahan mendasar
dari pelaksanaan pendidikan inklusif di SD Negeri Pulutan 02
Salatiga sejak ditetapkan sebagai salah satu sekolah inklusi.
Bebeberapa masalah tersebut adalah pertama, SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga belum pernah menyelenggarakan evaluasi
menyeluruh atas program pendidikan inklusif yang telah
mereka jalankan selama dua tahun. Evaluasi yang saat ini
dijalankan
masih
terfokus
pada
hasil
kegiatan
belajar
mengajar siswadan belum menyeluruh pada input, proses dan
output
pendidikan
yang
telah
5
diselenggarakan.Berbagai
alasan yang mendasari belum dijalankan evaluasi menyeluruh
program pendidikan inklusif, salah satunya adalah belum
tersedianya waktu dan instrumen evaluasi untuk melihat
perkembangan
sekolah.
Kedua,mengenali
kemampuan
beradaptasi sekolah dalam memaksimalkan sumber daya yang
dimiliki untuk mencapai tujuan pendidikan inklusif yang telah
ditetapkan. Keraguan utama justru pada kemampuan sekolah
menyelenggarakan sekolah inklusi bukan pada kemampuan
siswa
didik. Kemampuan
adaptasi sekolah
yang sudah
“mapan” menjalankan pendekatan pendidikan sebagaimana
kebanyakan
sekolah
dasar,
tentu
menjadi
kelemahan
sekaligus kekuatan sekolah yang perlu diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka peneliti
tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program
pendidikan
inklusif di
SD Negeri Pulutan
02 Salatiga.
Pertanyaan utama yang dikembangkan adalah apakahprogram
pendidikan inklusif sudah berjalan dengan semestinya sesuai
dengan visi dan misi yang telah ditetapkan oleh sekolah. Oleh
sebab itu peneliti merasa perlu dilakukan evaluasi terhadap
program pendidikan inklusif yang diselenggaran oleh SD
Negeri
Pulutan
02
Salatiga.Evaluasi
dilakukan
untuk
mengetahui tingkat mutu atau kondisi pendidikan inklusif di
SD Negeri Pulutan 02 sebagai hasil pelaksanaan program
pendidikan
inklusif
dibandingkan
dengan
kriteria
atau
standar tertentu.Peneliti menggunakan pendekatan evaluasi
model evaluasi kesenjangan (Discrepancy Model Evaluation)
yang dikembangkan oleh Malcolm Provus.Model evaluasi ini
dipilih
karena
model
yang
dikembangkan
Provus
ini
merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya
kesenjangan di dalam pelaksanaan program, yaitu dengan
mengukur besarnya kesenjangan yang seharusnya dicapai
dengan kondisi riil.Kesenjangan yang diukur pada program
6
pendidikan inklusif adalah kesenjangan antara program yang
dilaksanakan dibandingkan dengan standar program yang
telah ditetapkan sebagai acuan.
Aspek dan dimensi obyek yang akan dievaluasi adalah
evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi output. Obyek
sasaran evaluasi program model kesenjangan ini memiliki 4
tahap.Pertama,tahap Desain adalah rancangan kegiatan atau
program
kerja.Fokus
adalahmerumuskan
kegiatan
tujuan,
pada
proses
atau
tahap
ini
aktifitas,
serta
pengalokasian sumberdaya untuk melakukan aktifitas dan
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.Kedua,tahap
Instalasi yaitu penyediaan perangkat dan perlengkapan yang
dibutuhkan
program.Evaluasi
pada
tahapan
iniadalah
ketepatan berbagai sumber daya, perangkat dan perlengkapan
yang tersedia untuk pelaksanaan program.Ketiga,tahap Proses
yaitu proses dalam pelaksanaan program. Evaluasi pada
tahapan
ini
perangkat
adalah
keterkaitan
dan
antara
perlengkapan
sumber
dengan
daya,
kegiatan
proses.Keempat,tahap Produk yaitu hasil program.Evaluasi
pada tahapan iniadalahhasil akhir/tujuan program.
Jika ditemukan kesenjangan pada keempat bagian
tersebut
diatas,
maka
kesenjangan,
upaya
rekomendasi
yang
penelitian
ini
akan diteliti pula
apa
yang
mungkin
dibutuhkan.Prinsip
adalah
bagaimana
mengapa
ada
dilakukan
dan
utama
dari
menghasilkan
hasil
laporan
penelitian yang dapat digunakan untuk perbaikan program
pendidikan inklusif di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga.
1.2 Rumusan Masalah
7
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimanakah kesenjangan desainProgram Pendidikan
Inklusifslow learner di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga?
2.
Bagaimanakah
kesenjangan
instalasi
pelaksanaan
Program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga?
3.
Bagaimanakah
kesenjangan
proses
pelaksanaan
Program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga?
4.
Bagaimanakah kesenjangan produk Program Pendidikan
Inklusif slow learner di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian Evaluasi Program Pendidikan Inklusif
slow learner ini adalah:
1.
Mendeskripsikan
kesenjangan
desain
Program
Pendidikan Inklusif slow learnerdi SD Negeri Pulutan 02
Salatiga.
2.
Mendeskripsikan
kesenjangan
instalasi
pelaksanaan
program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga
3.
Mendeskripsikan
kesenjangan
proses
pelaksanaan
Program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga.
4.
Mendeskripsikan produk Program Pendidikan Inklusif
slow learner di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga.
1.4 Manfaat Penelitian
8
Pertama, manfaat dari penelitian ini adalah dapat
menambah pengetahuan tentang evaluasi program pendidikan
inklusif
slow
learner
dengan
model
evaluasi
kesenjangan/discrepancy evaluation model.
Kedua, disamping itu melalui penelitian ini dapat
memberikan sumbangan atau kontribusi rekomendasi dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusif slow learner di
SD
Negeri
Pulutan
02
Salatiga
guna
perbaikan
dan
peningkatan pelayanan pendidikan inklusif slow learner di
sekolah ini.
Ketiga, hasil penelitian ini menjadi salah satu model
pendekatan
evaluasi
bagi
sekolah-sekolah
lain
yang
menetapkan dirinya sebagai sekolah inklusi maupun pada
level kebijakan pengelolaan sekolah inklusi ditingkat kota
Salatiga.
Keempat, bagi peneliti lain, dapat menjadi rujukan
penelitian yang berminat dibidang pengembangan sekolah dan
evaluasi program khususnya pada tema sekolah inklusi.
9
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk
mempromosikan pendidikan universal yang efektif. Tujuan
utama
pendidikan
inklusif adalah
mendidik anak yang
memiliki kebutuhan khusus seperti anak yang berkelainan
fisik,
mental,
dan
sosial
atau
sering
disebut
Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK), di kelas regular bersama-sama
dengan anak-anak lain yang normal dengan dukungan yang
sesuai
dengan
kebutuhannya
di
sekolah
yang
ada
di
lingkungan rumahnya. Pada masa lalu mendidik anak-anak
yang memiliki kebutuhan khusus di luar kelas regular
dilakukan di sekolah segregasi berupa sekolah khusus atau
sekolah luar biasa.Namun sekarang sekolah harus melakukan
segala upaya untuk memberikan inklusi untuk anak-anak
yang
memiliki
keterbatasan.
(Friend,2006;
Lewis
&
Doorslag,2006).
Penelitian tentang inklusif yang telah dilakukan di
negara-negara barat sejak 1980-an, dan penelitian yang
berskala besar yang dipelopori oleh the National Academy of
Sciences di Amerika Serikat, hasilnya menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas
atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.Sedangkan
hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980)
terhadap 50 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan
akademik maupun sosial anak yang berkebutuhan khusus
dan teman sebayanya.Begitu pula Konvensi Perserikatan
1
Bangsa-bangsa
(PBB)
yang
diadakan
tahun1989,
telah
mendeklarasikan hak anak-anak, dan ditegaskan bahwa
semua
anak
diskriminasi
berhak
dalam
memperoleh
bentuk
pendidikan
apapun.Deklarasi
tanpa
tersebut
dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework
for Action on Special Needs Education yang memberikan
kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak
termasuk
anak-anak
intelektual,sosial,
yang
memiliki
emosional,linguistik
kelainan
maupun
fisik,
kelainan
lainnya.
Di Indonesia hak memperoleh belajar tertuang dalam
Undang-undang
Nomor
20
tahun
2003
tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 1 sd 4 yang menegaskan
bahwa: 1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; 2) Warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus; 3)Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus; 4)Warga negara yang memiliki
potensial kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Secara
khusus,
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 Pasal 1
disebutkan
bahwa
Pendidikan
Inklusif
adalah
sistim
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti
pendidikan
atau
pembelajaran
dalam
satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya. Dalam pelaksanaannya pendidikan
inklusif bertujuan
untuk memberikan
2
kesempatan
yang
seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan
yang menghargai keanekaragaman kemampuan siswa dan
tidak diskriminatif.
Sejak tahun 1979, di berbagai negarasudah ada sekolah
umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama
anak-anak normal lainnya karena orang tua menginginkan
anak mereka mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah
umum bukan di sekolah luar biasa (SLB). Searah dengan
perkembangan pendidikan baik di luar maupun di dalam
negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan Surat
EdaranNomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003
tentang
pendidikan
inklusif
yang
menyatakan
bahwa
penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di
setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah
yang terdiri dari SD,SMP,SMA dan SMK. (Suyanto & Mudjito,
2012)
Saat ini seluruh sekolah inklusif di Indonesia dari
tingkat SD hingga SMA dapat menerima anak berkebutuhan
khusus di sekolah biasa dengan program khusus.Mereka
dapat mengikuti kelas biasa namun di sisi lain merekapun
harus mengikuti program khusus sesuai dengan kebutuhan
dan kapasitas mereka. Kurikulum yang digunakan adalah
kurikulum biasa, namun dengan penerapan yang disesuaikan
kemampuan mereka.
Di kota Salatiga percobaan program inklusif sudah
dilaksanakan sejak tahun 2010 terhadap enam Sekolah Dasar
(SD) dan dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan
jumlah siswa program inklusif sebanyak 115 orang. Kepala
Dinas Pendidikan Pemuda Olahraga (Disdikpora) Salatiga,
Susanto (Kedaulatan Rakyat, 2012) menjelaskan keenam SD
yang telah melaksanakan program inklusif di Kota Salatiga
adalah SD Pulutan 2, Blotongan 2, Kumpulrejo 2, Noborejo 2,
3
Dukuh 2 dan SD Sidorejo Kidul. Sedangkan untuk program
Cerdas
Istimewa
(CI)
dan
Bakat
Istimewa
(BI)
sudah
dilaksanakan di SD Lab UKSW Salatiga. Sementara dua SMP
Negeri yang telah uji coba program ini khusus CIBI, adalah
SMP Negeri 2 dan SMP Kristen 2 Salatiga.
Dari beberapa sekolah inklusif di atas, penulis tertarik
untuk meneliti salah satu sekolah inklusif di Salatiga ini yaitu
SDNegeri Pulutan 02 Kecamatan Sidorejo Salatiga.Sekolah ini
telah
ditunjuk
berdasarkan
sebagai
Surat
sekolah
Keputusan
inklusif
Kepala
di
Salatiga
Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olah Raga No: 420/0241.a/101 pada tanggal 24
januari 2012. Jumlah murid di sekolah ini hanya sedikit yaitu
sekitar 80 siswa tetapi di setiap kelas ada anak berkebutuhan
khusus(ABK),
bahkan
ada
kelas
yang
jumlah
siswa
berkebutuhan khususnya setengah dari jumlah siswa di
kelasnya.Dari data Laporan Hasil Tes Psikologis siswa SD
Negeri Pulutan 02 Salatiga, hampir semua siswa ABK di
sekolah ini adalah siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan
(IQ) dibawah rata-rata sehingga inklusi di sekolah ini lebih
banyak menangani siswa lambat belajar atau slow learner.
Pilihan
SD
Negeri
Pulutan
02
Salatiga
menyelenggarakan pendidikan inklusi khususnya bagi siswa
slow learner tentu perlu mendapat perhatian penting baik
dalam hal penyelenggaraan pendidikan dasar dan juga dalam
melihat
latar
mendedikasikan
belakang
dirinya
sekolah
sebagai
sehingga
sekolah
yang
berani
melayani
pendidikan inklusif bagi siswa slow learner.
Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti dengan
kepala sekolah dan guru di SD Negeri Pulutan 02, dapat
dikatakan bahwa ada tiga motivasi utama yang menjadi
landasan sekolah SD Negeri Pulutan 02 Salatiga menjadi
sekolah inklusi. Pertama, kondisi siswa yang belajar di SD
4
Negeri Pulutan 02 Salatiga jumlahnya selalu menurun setiap
tahun ajaran. Hal ini akan menyebabkan sekolah terancam
tidak
bisa
menyelenggarakan
kegiatan
belajar
mengajar
sendiri dengan bergabung dengan sekolah dasar lain yang
direkomendasikan
oleh
Dinas
Pendidikan.
Kedua,
meningkatnya jumlah siswa dan calon siswa slow learneryang
tersebar di Kota Salatiga. Siswa-siswa ini kebanyakan di tolak
di sekolah dasar lain, atausiswa pindahan sekolah karena
ketidakmampuan
mengikuti
pelajaran
di
sekolah
asal
disebabkanmereka masuk dalam kategori siswaberkebutuhan
khusus.Ketiga,
adanya
peluang
bagi
sekolah
untuk
mendapatkan siswa dengan melayani kebutuhan pendidikan
inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus
serta dengan
kemampuan ekonomi orang tua yang kekurangan.
Tiga alasan mendasar itulah yang menjadikan motivasi
Kepala Sekolah serta guru-guru sekolah SD Negeri Pulutan 02
Salatiga untuk tetap bertahan dan berkembang.SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga kemudianmengubah visi dan misi sekolah
mereka menjadi sekolah yang mendidik dan menolong para
siswanya
baik
yang
ABK
maupun
yang
normal
agar
mendapatkan pelayanan pendidikan yang terbaik.
Meskipun demikian berdasarkan observasi awal peneliti,
menunjukkan bahwa ada berbagai permasalahan mendasar
dari pelaksanaan pendidikan inklusif di SD Negeri Pulutan 02
Salatiga sejak ditetapkan sebagai salah satu sekolah inklusi.
Bebeberapa masalah tersebut adalah pertama, SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga belum pernah menyelenggarakan evaluasi
menyeluruh atas program pendidikan inklusif yang telah
mereka jalankan selama dua tahun. Evaluasi yang saat ini
dijalankan
masih
terfokus
pada
hasil
kegiatan
belajar
mengajar siswadan belum menyeluruh pada input, proses dan
output
pendidikan
yang
telah
5
diselenggarakan.Berbagai
alasan yang mendasari belum dijalankan evaluasi menyeluruh
program pendidikan inklusif, salah satunya adalah belum
tersedianya waktu dan instrumen evaluasi untuk melihat
perkembangan
sekolah.
Kedua,mengenali
kemampuan
beradaptasi sekolah dalam memaksimalkan sumber daya yang
dimiliki untuk mencapai tujuan pendidikan inklusif yang telah
ditetapkan. Keraguan utama justru pada kemampuan sekolah
menyelenggarakan sekolah inklusi bukan pada kemampuan
siswa
didik. Kemampuan
adaptasi sekolah
yang sudah
“mapan” menjalankan pendekatan pendidikan sebagaimana
kebanyakan
sekolah
dasar,
tentu
menjadi
kelemahan
sekaligus kekuatan sekolah yang perlu diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka peneliti
tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program
pendidikan
inklusif di
SD Negeri Pulutan
02 Salatiga.
Pertanyaan utama yang dikembangkan adalah apakahprogram
pendidikan inklusif sudah berjalan dengan semestinya sesuai
dengan visi dan misi yang telah ditetapkan oleh sekolah. Oleh
sebab itu peneliti merasa perlu dilakukan evaluasi terhadap
program pendidikan inklusif yang diselenggaran oleh SD
Negeri
Pulutan
02
Salatiga.Evaluasi
dilakukan
untuk
mengetahui tingkat mutu atau kondisi pendidikan inklusif di
SD Negeri Pulutan 02 sebagai hasil pelaksanaan program
pendidikan
inklusif
dibandingkan
dengan
kriteria
atau
standar tertentu.Peneliti menggunakan pendekatan evaluasi
model evaluasi kesenjangan (Discrepancy Model Evaluation)
yang dikembangkan oleh Malcolm Provus.Model evaluasi ini
dipilih
karena
model
yang
dikembangkan
Provus
ini
merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya
kesenjangan di dalam pelaksanaan program, yaitu dengan
mengukur besarnya kesenjangan yang seharusnya dicapai
dengan kondisi riil.Kesenjangan yang diukur pada program
6
pendidikan inklusif adalah kesenjangan antara program yang
dilaksanakan dibandingkan dengan standar program yang
telah ditetapkan sebagai acuan.
Aspek dan dimensi obyek yang akan dievaluasi adalah
evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi output. Obyek
sasaran evaluasi program model kesenjangan ini memiliki 4
tahap.Pertama,tahap Desain adalah rancangan kegiatan atau
program
kerja.Fokus
adalahmerumuskan
kegiatan
tujuan,
pada
proses
atau
tahap
ini
aktifitas,
serta
pengalokasian sumberdaya untuk melakukan aktifitas dan
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.Kedua,tahap
Instalasi yaitu penyediaan perangkat dan perlengkapan yang
dibutuhkan
program.Evaluasi
pada
tahapan
iniadalah
ketepatan berbagai sumber daya, perangkat dan perlengkapan
yang tersedia untuk pelaksanaan program.Ketiga,tahap Proses
yaitu proses dalam pelaksanaan program. Evaluasi pada
tahapan
ini
perangkat
adalah
keterkaitan
dan
antara
perlengkapan
sumber
dengan
daya,
kegiatan
proses.Keempat,tahap Produk yaitu hasil program.Evaluasi
pada tahapan iniadalahhasil akhir/tujuan program.
Jika ditemukan kesenjangan pada keempat bagian
tersebut
diatas,
maka
kesenjangan,
upaya
rekomendasi
yang
penelitian
ini
akan diteliti pula
apa
yang
mungkin
dibutuhkan.Prinsip
adalah
bagaimana
mengapa
ada
dilakukan
dan
utama
dari
menghasilkan
hasil
laporan
penelitian yang dapat digunakan untuk perbaikan program
pendidikan inklusif di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga.
1.2 Rumusan Masalah
7
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimanakah kesenjangan desainProgram Pendidikan
Inklusifslow learner di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga?
2.
Bagaimanakah
kesenjangan
instalasi
pelaksanaan
Program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga?
3.
Bagaimanakah
kesenjangan
proses
pelaksanaan
Program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga?
4.
Bagaimanakah kesenjangan produk Program Pendidikan
Inklusif slow learner di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian Evaluasi Program Pendidikan Inklusif
slow learner ini adalah:
1.
Mendeskripsikan
kesenjangan
desain
Program
Pendidikan Inklusif slow learnerdi SD Negeri Pulutan 02
Salatiga.
2.
Mendeskripsikan
kesenjangan
instalasi
pelaksanaan
program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga
3.
Mendeskripsikan
kesenjangan
proses
pelaksanaan
Program Pendidikan Inklusif slow learner di SD Negeri
Pulutan 02 Salatiga.
4.
Mendeskripsikan produk Program Pendidikan Inklusif
slow learner di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga.
1.4 Manfaat Penelitian
8
Pertama, manfaat dari penelitian ini adalah dapat
menambah pengetahuan tentang evaluasi program pendidikan
inklusif
slow
learner
dengan
model
evaluasi
kesenjangan/discrepancy evaluation model.
Kedua, disamping itu melalui penelitian ini dapat
memberikan sumbangan atau kontribusi rekomendasi dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusif slow learner di
SD
Negeri
Pulutan
02
Salatiga
guna
perbaikan
dan
peningkatan pelayanan pendidikan inklusif slow learner di
sekolah ini.
Ketiga, hasil penelitian ini menjadi salah satu model
pendekatan
evaluasi
bagi
sekolah-sekolah
lain
yang
menetapkan dirinya sebagai sekolah inklusi maupun pada
level kebijakan pengelolaan sekolah inklusi ditingkat kota
Salatiga.
Keempat, bagi peneliti lain, dapat menjadi rujukan
penelitian yang berminat dibidang pengembangan sekolah dan
evaluasi program khususnya pada tema sekolah inklusi.
9