Jurnal nsional tentang apendisitis (1)

kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober
2012 – September 2015
Abstract:
Appendicitis is an infammation of vermiform appendix. Acute infammation of
the appendix needs to be treated immediately to prevent fatal complications.
The incidence among females and males is slightly comparable, however, the
incidence is higher among males than females in the age range between 20-30
years. The fundamental clinical decision in the diagnosis of a patient with
suspected appendicitis is whether to do an operation or not. The meaningful
evaluation of acute appendicitis balances early operative intervention to prevent
operative risks. This study aimed to obtain the incidence of appendicitis at Prof.
Dr. R.D Kandou Hosiptal Manado from October 2012 to September 2015. This
was a retrospective descriptive study using data of the Department of Medical
Record Prof. Dr. R.D Kandou Manado Hospital. The results showed that there
were 650 patients. Most patients had acute appendicitis as many as 412 patients
(63%) meanwhile chronic appendicitis was found in 38 patients (6%). Of 650
patients, 200 patients had complications; 193 patients (30%) with perforated
appendicitis and 7 patients (1%) with appendicular mass. The most frequent age
group to develop appendicitis was 20-29 years. The number of male patients was
higher than the females. Keywords: appendicitis, incidence Abstrak: Apendisitis
adalah adanya peradangan pada apendiks vermiformis. Peradangan akut pada

apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya. Insidens pada perempuan dan laki-laki umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun insidens pada laki-laki lebih tinggi.
Keputusan klinis mendasar dalam mendiagnosis pasien dengan dugaan
apendisitis ialah apakah perlu dilakukannya operasi atau tidak. Evaluasi yang
baik dari kasus apendisitis akut dapat mengurangi intervensi untuk operasi awal,
dengan harapan dapat mengurangi risiko operasi yang tidak diperlukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian apendisitis di RSUP
Prof. Dr. R. D, Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Metode
penelitian yang digunakan ialah deskriptif retrospektif dengan menggunakan
data di Bagian Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa selama periode Oktober 2012 – September 2015
terdapat 650 pasien. Jumlah pasien terbanyak ialah apendisitis akut yaitu 412
pasien (63%) sedangkan apendisitis kronik sebanyak 38 pasien (6%). Dari 650
pasien, yang mengalami komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri dari 193
pasien (30%) dengan komplikasi apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan
periapendikuler infltrat. Kelompok umur tersering yang menderita apendisitis
ialah 20-29 tahun. Jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Kata kunci: apendisitis, angka kejadian Apendiks atau yang lebih dikenal
masyarakat dengan istilah usus buntu, adalah salah satu organ visceral pada

sistem gastrointestinal yang sering menimbulkan masalah kesehatan.1 Adanya
peradangan pada apendiks vermiformis disebut dengan apendisitis.2
Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindak 231 Thomas, Lahunduitan,
Tangkilisan: Angka kejadian apendisitis... bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya. Peradangan pada apendiks merupakan

kausa laparotomi tersering pada anak dan orang dewasa.3 Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan karena apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya
dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini menyebabkan rendahnya insidens
kasus apendisitis pada usia tersebut.1 Setiap tahun rata-rata 300.000 orang
menjalani apendektomi di Amerika Serikat, dengan perkiraan lifetime incidence
berkisar dari 7-14% berdasarkan jenis kelamin, harapan hidup dan ketepatan
konfrmasi diagnosis.4 Perforasi lebih sering pada bayi dan pasien lanjut usia,
yaitu dengan periode angka kematian paling tinggi.5 Insidens pada perempuan
dan laki-laki umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika
insidens pada laki-laki lebih tinggi.1 Dalam bentuk tanda dan gejala fsik,
apendisitis adalah suatu penyakit prototipe yang berlanjut melalui peradangan,
obstruksi dan iskemia dalam jangka waktu yang bervariasi.6 Gejala awal
apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilikus. Gejala ini

umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri
bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai oleh anoreksia, mual dan
muntah. Dapat juga terjadi nyeri tekan disekitar titik Mc Burney. Kemudian
timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Apabila terjadi ruptur pada apendiks,
tanda perforasi dapat berupa nyeri, nyeri tekan dan spasme.7 Diagnosis
apendisitis sedikit menantang. Gejala klinis sering atipikal dan diagnosis
apendisitis cukup sulit karena gejalanya yang tumpang tindih dengan kondisi
lain. Keputusan klinis mendasar dalam mendiagnosis pasien dengan dugaan
apendisitis ialah apakah perlu dilakukannya operasi atau tidak. Evaluasi yang
baik dari apendisitis akut dapat mengurangi intervensi untuk operasi awal,
dengan harapan dapat mengurangi risiko operasi yang tidak diperlukan.8
Menurut The Lancet perkembangan mortalitas apendisitis terlihat dimana pada
tahun 1990 tingkat mortalitas pada keseluruhan umur adalah sebanyak 875.000
kematian sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 719.000
kematian.9 Secara nasional, perkembangan penyakit ini belum mendapat
perhatian yang serius. Hal ini ditunjukkan lewat minimnya data tentang penyakit
ini. Demikian halnya dengan data di tingkat lokal Sulawesi Utara, yaitu di RSUP
Prof. R.D Kandou Manado. Penelitian ini bertujuan yuntuk mendapatkan angka
kejadian pasien apendisitis yang dirawat di Bagian Bedah RSUP Prof. Dr. R.D
Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dengan menggunakan data rekam
medik (data sekunder) pasien apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Penelitian ini dilakukan di Bagian Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado. Variabel penelitian ialah jumlah kasus, umur, jenis kelamin, dan
komplikasi. Subjek penelitian ialah semua pasien apendisitis di RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado periode Oktober 2012 - September 2015, terbukti telah
dilakukan apendektomi dan tercatat dalam laporan operasi. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian secara deskriptif retrospektif di Bagian Rekam Medik
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada periode Oktober 2012 – September
2015 didapatkan 650 pasien apendisitis. Tabel 1 memperlihatkan bahwa jumlah
kasus apendisitis yang paling banyak ialah apendisitis akut sebanyak 412 kasus
(63%), diikuti oleh apendisitis perforasi sebanyak 193 kasus (30%), dan
apendisitis kronik sebanyak 38 kasus (6%). Kasus yang paling sedikit ialah

peripendikuler inflrat yang hanya ditemukan sebanyak 7 kasus (1%). Dari 650
kasus, hanya 31% yang mengalami komplikasi. 232 Jurnal e-Clinic (eCl), Volume
4, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Tabel 1. Distribusi pasien Apendisitis Diagnosa
Jumlah % Apendisitis akut 412 63 Apendisitis kronik 38 6 Apendisitis perforasi
193 30 Periapendikuler infltrat 7 1 Total 650 100 Berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh, kelompok umur 0-9 tahun terdapat 43 pasien (7%), kelompok

umur 10-19 tahun terdapat 164 pasien (25%), kelompok umur 20-29 tahun
terdapat 224 pasien (34%), kelompok umur 30-39 tahun terdapat 66 pasien
(10%), kelompok umur 40-49 tahun terdapat 56 pasien (9%), kelompok umur 5059 tahun terdapat 52 pasien (8%), dan kelompok umur >60 tahun terdapat 45
pasien (7%). Tabel 2. Distribusi pasien apendisitis berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur (Tahun) Jumlah % 0-9 43 7 10-19 164 25 20-29 224 34 30-39 66
10 40-49 56 9 50-59 52 8 >60 45 7 Berdasarkan data yang diperoleh dapat
dilihat bahwa dari 650 kasus, jenis kelamin laki-laki yang menderita apendisitis
sebanyak 363 pasien (56%), sedangkan perempuan sebanyak 287 pasien (44%).
Tabel 3. Distribusi pasien apendisitis berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin
Jumlah % Laki-laki 363 56 Perempuan 287 44 Total 650 100 Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pasien apendisitis pada kelompok umur 0- 9 tahun terdapat
30 orang laki-laki dan 13 orang perempuan; pada kelompok umur 10-19 tahun
terdapat 96 orang laki-laki dan 68 orang perempuan; pada kelompok umur 20-29
tahun terdapat 69 orang laki-laki dan 155 orang perempuan; pada kelompok
umur 30-39 tahun terdapat 66 orang lakilaki dan tidak didapatkan pasien
perempuan; pada kelompok umur 40-49 tahun terdapat 46 orang laki-laki dan 10
orang perempuan; pada kelompok umur 50- 59 terdapat 31 orang laki-laki dan
21 orang perempuan; dan pada kelompok umur >60 tahun terdapat 25 orang
laki-laki dan 20 orang perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh dapat dilihat
bahwa jenis kelamin laki-laki mendominasi dengan angka yang tinggi pada

setiap kelompok umur kecuali pada kelompok umur 20-29 tahun dimana jenis
kelamin perempuan memiliki jumlah yang lebih banyak daripada jenis kelamin
lakilaki. Tabel 4. Distribusi pasien Apendisitis berdasarkan kelompok umur dan
jenis kelamin Kelompok umur (Tahun) Lakilaki Perempuan 0-9 30 13 10-19 96 68
20-29 69 155 30-39 66 - 40-49 46 10 50-59 31 21 >60 25 20 Tabel 5
menunjukkan bahwa pada kelompok umur 0-9 tahun terdapat 16 pasien
apendisitis akut, 26 pasien apendisitis perforasi dan 1 pasien periapendikuler
infltrat. Pada kelompok umur 10-19 tahun terdapat 87 pasien apendisitis akut, 8
pasien apendisitis kronik dan 69 pasien apendisitis perforasi. Pada kelompok
umur 20-29 tahun terdapat 191 pasien apendisitis akut, 3 pasien apendisitis
kronik, 28 pasien apendisitis perforasi, dan 2 pasien periapendikuler infltrat.
Pada kelompok umur 30-39 tahun terdapat 37 pasien apendisitis akut, 8 pasien
apendisitis kronik dan 21 pasien apendisitis perforasi. Pada kelompok umur 4049 tahun terdapat 233 Thomas, Lahunduitan, Tangkilisan: Angka kejadian
apendisitis... 31 pasien apendisitis akut, 9 pasien apendisitis kronik, 15 pasien
apendisitis perforasi, dan 1 pasien periapendikuler infltrat. Pada kelompok umur
50-59 tahun terdapat 30 pasien apendisitis akut, 4 pasien apendisitis kronik, 15
pasien apendisitis perforasi dan 3 pasien periapendikuler infltrat. Pada kelompok
umur >60 tahun terdapat 20 pasien apendisitis akut, 6 pasien apendisitis kronik
dan 19 pasien apendisitis perforasi. Tabel 5. Distribusi pasien Apendisitis


berdasarkan kelompok umur dan diagnosa Kelompok umur (Tahun) Apendisitis
akut Apendisitis kronik Apendisitis perforasi Periapendiku ler infltrat 0-9 16 - 26
1 10-19 87 8 69 - 20-29 191 3 28 2 30-39 37 8 21 - 40-49 31 9 15 1 50-59 30 4
15 3 >60 20 6 19 - BAHASAN Hasil penelitian di bagian Rekam Medik RSUP Prof.
Dr. R.D Kandou Manado selama periode Oktober 2012 – September 2015
menunjukkan bahwa jumlah pasien terbanyak ialah apendisitis akut yaitu
sebanyak 412 pasien (63%) sedangkan apendisitis kronik sebanyak 38 pasien
(6%). Dari 650 pasien, yang mengalami komplikasi adalah sebanyak 200 pasien
yang terdiri dari 193 pasien (30%) dengan komplikasi apendisitis perforasi dan 7
pasien (1%) dengan periapendikuler infltrat. Jumlah kasus apendisitis akut lebih
tinggi daripada apendisitis kronik, apendisitis perforasi dan periapendikuler
infltrat. Diagnosis apendisitis cukup menantang karena gejalanya yang sering
tumpang tindih dengan kondisi lain, namun adanya tanda dan gejala yang khas
membuat para klinisi dapat mendiagnosa lebih awal adanya apendisitis. Jumlah
kasus apendisitis perforasi tergantung dari banyaknya kasus apendisitis akut
karena apendisitis perforasi adalah komplikasi dari apendisitis akut yang tidak
tertangani dengan cepat. Perforasi pada apendiks dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti jangka waktu antara gejala dan penanganan, umur dan status
imunitas.10 Adanya evaluasi yang bermakna serta intervensi operatif awal dapat
mencegah komplikasi perforasi yang umumnya berbahaya.11 Apendisitis kronik

yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebesar 6% dari 657 pasien.
Apendisitis kronik lebih jarang terjadi daripada apendisitis akut. Gejala yang
dialami tidak jelas dan progresinya bersifat lambat. Di Amerika, insidens
apendisitis kronik hanya sebesar 1% diantara apendisitis yang lain.12 Distribusi
pasien apendisitis berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa kelompok
umur yang paling banyak menderita apendisitis ialah kelompok umur 20-29
tahun yaitu sebanyak 224 pasien (34%). Jumlah pasien yang paling sedikit
ditemukan pada kelompok umur 0-9 tahun yaitu 43 pasien (7%). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Körner bahwa apendisitis jarang terjadi
pada anakanak.13 Diagnosa apendisitis pada anak sedikit sulit karena anak yang
kurang komunikatif dan sukar untuk menentukan ada tidaknya rasa nyeri pada
perut. Meskipun jarang ditemukan, namun harus tetap diawasi terutama pada
anak-anak dengan riwayat nyeri kolik, muntah dan 234 Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016 demam.14,15 Kelompok umur 20-29 tahun
memiliki persentase yang paling tinggi diantara kelompok umur yang lain yaitu
sebesar 34%. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Rumah Sakit Immanuel
Bandung pada tahun 2013 ditemukan bahwa kelompok umur terbanyak yang
menderita apendisitis ialah kelompok umur 26-35 tahun.12 Gearhart dan Silen4
dalam bukunya mengatakan bahwa insidens puncak apendisitis akut ialah pada
dekade kedua dan ketiga kehidupan. Hal ini sesuai dengan temuan bahwa

insidens apendisitis tertinggi adalah pada umur 20-29 tahun. Berdasarkan jenis
kelamin dari 650 kasus, jenis kelamin laki-laki memiliki persentase sebesar 56%,
sedangkan jenis kelamin perempuan hanya sebesar 44%. Ahmad10 dalam
penelitiannya menemukan bahwa insidens pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Infamasi pada apendiks lebih umum
ditemukan pada laki-laki, diduga karena adanya perubahan anatomis.16
Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, jenis kelamin laki-laki

mendominasi pada setiap kelompok umur disbandingkan dengan jenis kelamin
perempuan, kecuali pada kelompok umur 20-29 tahun dimana jenis kelamin
perempuan lebih banyak daripada jenis kelamin laki-laki. Dalam beberapa
penelitian dikatakan bahwa pada orang dewasa angka kejadian Apendisitis 1,4
kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan. Adapula yang
menjelaskan bahwa insidens tertinggi adalah pada kelompok umur 20-30 tahun
dimana jenis kelamin laki-laki lebih mendominasi.1,12 Temuan penelitian ini
berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, khususnya pada kelompok
umur 20-29 tahun dimana pada kelompok umur ini dari 224 pasien yang
didiagnosis apendisitis terdapat 31% jenis kelamin laki-laki (69 pasien) dan 69%
jenis kelamin perempuan (155 pasien). Berdasarkan kelompok umur dan
diagnosa, pada kelompok umur 0-9 tahun, apendisitis perforasi memiliki jumlah

kasus yang lebih banyak dibandingkan dengan apendisitis akut. Insidens
perforasi tinggi pada anak disebabkan karena dinding apendiks anak yang masih
tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan
proses perdindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat
dan omentum anak belum berkembang.1 Pada kelompok umur 10-19 tahun
insidens apendisitis akut lebih tinggi daripada apendisitis perforasi. Adanya
perkembangan maksimal dari jaringan limfoid di masa remaja menjadi faktor
meningkatnya insidens apendiks untuk tersumbat, sehingga sumbatan yang
sedikit saja akan menyebabkan tekanan intraluminal yang tinggi.16 Jumlah
kasus apendisitis akut yang paling tinggi ditemukan pada kelompok umur 20-29
tahun (191 pasien). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa insidens
tertinggi adalah pada kelompok umur 20-30 tahun dan setelah itu menurun.
Pada kelompok umur >60 tahun ditemukan bahwa apendisitis akut masih lebih
banyak daripada apendisitis kronik, apendisitis perforasi, dan periapendikuler
infltrat. Meskipun angka komplikasi apendisitis perforasi tidak terlalu tinggi,
namun harus dievaluasi resiko terjadinya perforasi. Insidens perforasi pada
pasien di atas 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi
tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa
penyempitan lumen dan arteriosklerosis yang dapat menyebabkan gangguan

aliran arteri dan vena ke apendiks. Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa usia
di atas 60 tahun sudah tidak didapatkan lagi jaringan limfoid pada apendiks,
terdapat perubahan pada lapisan serosa yang kurang elastik dibanding dengan
lapisan mukosa sehingga menyebabkan respon terhadap tekanan intraluminal
berbeda dengan pasien yang lebih muda. Kemampuan peregangan akibat
akumulasi sekret intraluminal yang kurang baik dapat berlanjut menjadi iskemia
dan gangrene stadium awal.1,17 235 Thomas, Lahunduitan, Tangkilisan: Angka
kejadian apendisitis... SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian secara deskriptif
retrospektif di bagian Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado selama
periode Oktober 2012 – September 2015 dapat disimpulkan: 1. Angka kejadian
apendisitis di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado selama periode Oktober 2012 –
September 2015 sebanyak 650 kasus, yang paling banyak ialah apendisitis akut
dan yang paling sedikit ialah Periapendikuler infltrat. 2. Kelompok umur yang
paling banyak menderita apendisitis ialah kelompok umur 20-29 tahun dan yang
paling sedikit ialah kelompok umur 0-9 tahun. 3. Pada kelompok umur 20-29

tahun yang paling banyak dijumpai ialah apendisitis akut dan yang paling sedikit
ialah periapendikuler infltrat. 4. Pada keseluruhan kelompok umur, jenis kelamin
laki-laki lebih banyak menderita apendisitis daripada jenis kelamin perempuan
kecuali pada kelompok umur 20-29.

APPENDISITIS AKUT
BAB I
PENDAHULUAN
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering

ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus
appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama
terjadi pada anak usia 6-10 tahun1 . Appendicitis dapat mengenai semua
kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir
1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan
operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan
antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia
prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifkan2 . Diagnosis
appendicitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat
hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka
appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan
penyakit pasien dan pemeriksaan fsik merupakan hal yang paling penting dalam
mendiagnosis appendicitis2 Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan
pengangkatan dari appendix yang terinfamasi, baik dengan laparotomy maupun
dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka
kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan shock.
Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut
abdomen di seluruh dunia 3 . BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI Apendiks
merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 315cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65%
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya4 . Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal,
yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon
ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks4 .
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilicus5. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami gangren5 . Gambar 1. Variasi
lokasi Appendix 2.2 FISIOLOGI Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari.
Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada
pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh5 . 2.3
INSIDENSI Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan

perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan
kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi
lelaki lebih tinggi6 2.4 ETIOLOGI Appendicitis disebabkan karena adanya
obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik
nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena
infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith
ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari
obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor
lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit 1 Penyebab lain yang diduga
menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E.
histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
appendicitis yaitu7 : Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia coli
Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus Bacteroides fragilis
Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species 2.5
PATOGENESIS Appendicitis terjadi dari proses infamasi ringan hingga perforasi,
khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari Appendicitis dapat terjadi karena
berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor,
atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering
disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan.
Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan
30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid
appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya
appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia.
Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat
infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fbrosis
memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar
yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi
appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari
200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan
dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendicitis5 Awalnya, pasien akan merasa gejala
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan
BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak5. Distensi appendiks
menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai

nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul,
berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual
muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain5.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator infamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat infamasi dari
dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan
bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal
atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat infamasi tidak
mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran
infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau
pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah
testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Infamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine5.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi
appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000,
dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fsik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa
perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak
adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya
massa pada pemeriksaan fsik5 Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus
sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu
sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat
mengindikasikan adanya abscess pelvis5 2.6 GAMBARAN KLINIS Appendicitis
dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus
dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis
appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang
pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di
periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di
abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan
perkembangan penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah
gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang
retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa
diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada fank, nyeri punggung, dan nyeri
alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan

appendicitis retrocecal arau pelvis1. Jika infamasi dari appendiks terjadi di dekat
ureter atau bladder, gejal dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak
nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia,
mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya
nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan
iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang
terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain
appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau
perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis1. Pada
appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu
tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis
kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan
paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong.
Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak
dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut
difexikan 1 . Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita
appendicitis, kecuali pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti
kolik renal akibat perangsangan ureter. 2.7 PEMERIKSAAN FISIK Pada Apendicitis
akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan
jenis ini biasa ditemukan distensi perut9. Secara klinis, dikenal beberapa
manuver diagnostik4 Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan
pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan
iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifk4 Psoas sign: dilakukan
dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan
diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan
dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau
abscess.Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang
terinfamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada
saat dilakukan manuver ini Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien
terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial.
Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga
pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi
Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.Dasar anatomis
terjadinya Obturator sign Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di
LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ) Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di
segitiga Scherren menurun. Baldwin test: nyeri di fank bila tungkai kanan
ditekuk. Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak
Appendix. Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga
abdomen atau Appendix letak pelvis. Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
Dunphy sign: nyeri ketika batuk10. Skor Alvarado Semua penderita dengan
suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifkasikan menjadi 2
kelompok yaitu: skor 6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi
dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya
diklasifkasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1 Anoreksia 1 Mual/muntah 1 Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1 Febris 1 Laboratorium Leukositosis 2 Shift to the left 1 Total poin
10 Keterangan: 0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis
Appendicitis 7-8 : kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita
Appendicitis Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor
>6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan11. 2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar
antara 12.000- 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofl (shift to
the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis.
Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan
appendicitis1. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan
appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika infamasi appendiks terjadi di
dekat ureter1. Ultrasonograf Ultrasonograf sering dipakai sebagai salah satu
pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitiftas USG lebih dari
85% dan spesiftasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria
diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7
mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa
periappendix1. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder
appendix sebagai hasil dari salphingitis atau infammatory bowel disease. False
negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga
usus yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix1. CT-Scan CT scan
merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis appendicitis
akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitiftas dan spesifsitasnya kira-kira 9598%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test
diagnostik1. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang
terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo” 2.9 DIAGNOSIS
BANDING Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari
usia dan jenis kelamin Pada anak-anak balita àntara lain intususepsi,
divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada
anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika
dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis,
tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan
dapat diketahui adanya infammatory mass di daerah abdomen tengah.
Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut,
karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual,
muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. Pada anak-anak usia sekolah à
gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan
gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya
leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada
anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat
dijumpai pada anak-anak dan gejalagejalanya dapat menyerupai appendicitis.
Pada infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak
berpindah Pada pria dewasa muda Diagnosis banding yang sering pada pria

dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis.
Pemeriksaan fsik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis
epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya. Pada
wanita usia muda Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih
banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic
infammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID,
nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium,
nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi. Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding
yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus
gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih
lambat daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk
dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen
kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya
tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti
dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium. 2.10 KOMPLIKASI 1.
Appendicular infltrat: Infltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum,
usus halus atau usus besar. 2. Appendicular abscess: Abses yang terbentuk
akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian
ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar. 3. Perforasi 4. Peritonitis 5.
Syok septik 6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar 7. Gangguan
peristaltik 8. Ileus 2.11 PENATALAKSANAAN Untuk pasien yang dicurigai
Appendicitis : Puasakan dan Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan
untuk mengurangi gejala n Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik
tidak akan menyamarkan gejala saat pemeriksaan fsik. n Pertimbangkan DD/
KET terutama pada wanita usia reproduksi. n Berikan antibiotika IV pada pasien
dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan Laparotomy Perawatan
appendicitis tanpa operasi n Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika
intravena dapat berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit
mendapat intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi
mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi Rujuk ke dokter
spesialis bedah. Antibiotika preoperative n Pemberian antibiotika preoperative
efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post opersi. n Diberikan antibiotika
broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob n Antibiotika
preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah. n Antibiotik proflaksis
harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan antibiotik
kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan
Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat,
termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,
Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides. Teknik operasi
Appendectomy 2,,5 A. Open Appendectomy 1. Dilakukan tindakan aseptik dan
antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal Oblique 3. Dibuat sayatan otot, ada
dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus
abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan
vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada

waktu penjahitan karena bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia
cicatricalis. 2 lapis M.rectus abd. sayatan b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle
splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot. Lokasi insisi yang sering
digunakan pada Appendectomy B. Laparoscopic Appendectomy Pertama kali
dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis dan
terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis
acuta. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita
dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi
dari Appendicitis acuta sangat mudah dengan menggunakan laparoskop

Faktor Prediksi Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis Akut Dewasa di RS
Al-Ihsan Kabupaten
Bandung Periode 2013–2014
Abstrak

Morbiditas dan mortalitas apendisitis akut disebabkan oleh perkembangan
apendisitis akut menjadi perforasi apendiks. Hal-hal yang menyebabkan
kerentanan apendiks belum banyak diteliti dan belum diketahui penyebab
pastinya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor apa saja yang
dapat memprediksi terjadinya perforasi apendiks. Penelitian dengan desain
kasus kontrol menggunakan data sekunder berupa rekam medis penderita
apendisitis akut dewasa di RS Al-Ihsan Kabupaten Bandung tahun 2013–2014
dengan jumlah kasus (perforasi apendiks) 36 kasus dan kontrol (nonperforasi) 93
kasus. Analisis data yang dilakukan meliputi deskriptif, chi-square, receiver
operating characteristic, dan regresi logistik multivariat. Dua faktor prediksi yang
bermakna sebagai faktor prediksi perforasi apendiks dalam analisis regresi
logistik multivariat adalah suhu badan di atas 37,50C dengan odds ratio (OR)
7,54 (IK 95%: 2,01–28,33), jumlah leukosit di atas 11.500/mm3 dengan OR 12,12
(IK 95%: 4,03–36,48). Perlu validasi pemeriksaan suhu badan di RS, penelitian
lebih lanjut untuk mencari faktor prediksi lainnya, persiapan operasi segera
untuk pencegahan komplikasi perforasi apendiks, dan pemberian informasi ke
masyarakat bahwa sakit perut dapat bersifat gawat darurat. Kata kunci:
Apendisitis akut, faktor prediksi, perforasi apendiks Predictive Factors for
Perforated Appendix in Acute Appendicitis Adult Patients in Al-Ihsan Hospital
Bandung Regency 2013–2014 Abstract Appendix perforation is the causation for
acute appendicitis morbidity and mortality. Factors that may cause appendix
vulnerability has not been extensively studied before and the main cause is still
yet unknown. The goal of this study was to analyze what factors that could be
used to predict appendix perforation. This study was a case control study using
2013–2014 medical records in Al-Ihsan Hospital Bandung Regency as data. Case
group pooled from 36 perforated appendix adult (above 15 years old) patients,
while control group pooled from 93 non perforated appendix adult patients. Data
analysis conducted were descriptive, chi-square, receiver operating
characteristic, and multivariate logistic regression. There were two prediction
factors which signifcantly associated with perforated appendix. Those were body
temperature above 37.5°C with odds ratio (OR) 7.54 (95% CI: 2.01–28.33), and
leucocytes count above 11,500/mm3 with OR 12.12 (95% CI: 4.03–36.48).
Further studies and body temperature validation on each hospital are needed to
fnd other prediction factors, preparing pre operative equipment for immediate
defnite measure like surgery to prevent the complication of perforated
appendix, and education to people that abdominal pain is not always causing by
gastric problem and it might be a case of emergency. Key words: Acute
appendicitis, perforated appendix, predictive factors Global Medical and Health
Communication, Vol. 4 No. 2 Tahun 2016 115 Pendahuluan Apendisitis akut
merupakan peradangan yang terjadi di apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab tersering nyeri akut abdomen serta menghasilkan jenis operasi yang
paling sering dilakukan di dunia.1 Apendisitis akut mampu berkembang menjadi
perforasi apendiks yang nantinya dapat mengakibatkan 67% kematian pada
kasus-kasus apendisitis akut.2 Apendektomi yang dini telah lama
direkomendasikan sebagai pengobatan apendisitis akut dikarenakan risiko
progresivitas apendisitis menuju pada perforasi.3 Perforasi apendiks akan
menyebabkan sepsis yang tidak terkontrol (akibat peritonitis), abses intra-

abdomen atau septikemia gram negatif.4 Penelitian ini bertujuan mengetahui
hubungan antara faktor-faktor yang dapat memberikan prediksi perforasi
apendiks terhadap penderita apendisitis akut berusia di atas 15 tahun di RS AlIhsan Kabupaten Bandung. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian
analitik dengan rancangan desain studi kasus kontrol. Populasi sumber
penelitian ini adalah pasien apendisitis akut dewasa (≥15 tahun) di RS AlIhsan
Kota Bandung periode Januari 2013 sampai Juni 2014. Sampel diambil dari rekam
medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi, diambil dari tahun terdekat ke
tahun terjauh. Kriteria inklusi kasus adalah pasien dewasa yang berusia di atas
15 tahun yang didiagnosis apendisitis akut, mendapatkan terapi apendektomi,
dan didiagnosis pascaoperasi perforasi apendiks. Kriteria inklusi pada grup
kontrol adalah pasien dewasa di atas 15 tahun, didiagnosis apendisitis akut,
telah mendapatkan terapi apendektomi, dan didiagnosis pascaoperasi bukan
sebagai perforasi apendiks. Kriteria eksklusi kedua grup adalah data rekam
medis yang tidak lengkap. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara
konsekutif dengan jumlah yang minimal sampel berdasarkan rumus penentuan
hipotesis odds ratio tidak sama dengan satu. Jumlah subjek yang diperlukan
dalam penelitian ini pada grup kasus minimal sebanyak 28 subjek dan grup
kontrol minimal sebanyak 84 subjek. Variabel yang diukur terdiri atas variabel
tergantung, yaitu integritas apendiks (perforasi atau tidak) yang dinilai secara
makroskopis lewat temuan operasi. Variabel bebas yang diukur adalah Gambar 1
Teknik Pengambilan Sampel Populasi sumber Rekam Medis Kriteria Inklusi Kasus:
1. Pasien dewasa (usia ≥15 tahun) 2. Diagnosis apendisitis akut 3. Apendektomi
4. Diagnosis perforasi apendiks Kriteria Inklusi Kontrol: 1. Pasien dewasa (usia
≥15 tahun) 2. Diagnosis apendisitis akut 3. Apendektomi 4. Diagnosis bukan
perforasi apendiks Populasi eligible Eksklusi 28 kasus 84 kontrol Consecutive
sampling - Usia? - Jenis kelamin? - Pendidikan terakhir? - Kelas rawat? - Bagian? Antibiotik? - Jarak rumah? - Demam 55 1 3 4 4 ≤55 35 97 89 96 Jenis kelamin
Laki-laki 18 50 34 37 Perempuan 18 50 59 63 Kelas rawat Kelas di atas kelas III
15 42 45 48 Kelas III 21 58 48 52 Masuk melalui Poliklinik 5 14 49 53 UGD 31 86
44 47 Pemberian antibiotik Ya 24 67 34 37 Tidak 12 33 59 63 Suhu badan
Demam (>37,5°C) 16 44 4 4 Tidak demam (12 jam 18 50 56 60 ≤12 jam 18 50
37 40 perforasi apendiks terjadi, timbul kontaminasi dalam dinding perut
sehingga waktu operasi akan menjadi lebih lama. Karena lama operasi
merupakan akibat dari perforasi maka lama operasi dieliminasi secara substansi.
Pembahasan Hasil analisis tidak menunjukkan hubungan yang signifkan antara
usia dan perforasi apendiks. Perbedaan karakteristik subjek penelitian yang
dilakukan Jafe dan Berger4 dibanding dengan penelitian ini kemungkinan
menyebabkan hasil yang berbeda. Penelitian yang dilakukan di RS Al-Ihsan di
Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa penderita apendisitis akut lebih
banyak berjenis kelamin perempuan dibanding dengan laki-laki, sedangkan
perbandingan jenis kelamin pada perforasi apendiks terdapat dalam jumlah yang
sama. Teknik pengambilan sampel secara konsekutif (non-probability) dalam
penelitian ini tidak mencerminkan kemungkinan sebenarnya mengenai
perbandingan jenis kelamin dalam grup perforasi dan grup nonperforasi.
Perforasi Faktor Prediksi Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis Akut
Dewasa di RS Al-Ihsan Global Medical and Health Communication, Vol. 4 No. 2

Tahun 2016 118 apendiks yang diteliti dalam penelitian ini tidak menunjukkan
hubungan dengan kelas rawat secara langsung maupun status ekonomi secara
tidak langsung. Kemungkinan terdapat faktor lain yang lebih menentukan
perforasi apendiks dibandingkan dengan status ekonomi dalam penelitian ini.
Penundaan apendektomi menjadi faktor risiko terjadi perforasi apendiks seperti
yang diteliti oleh Busch dkk. di Swiss.7 Penundaan >12 jam meningkatkan odds
untuk terkena perforasi apendiks sebanyak 1,4 kali bila dibanding dengan
penundaan ≤12 jam.7 Berbeda dengan penundaan apendektomi di RS Al-Ihsan
tidak berhubungan dengan risiko Tabel 3 Hubungan antara Faktor Prediksi
dengan Perforasi Apendiks Faktor Prediksi Kasus Kontrol OR IK 95% p Usia
(tahun) >55 1 4 0,64 0,01–6,74 1,00 ≤55 35 89 Jenis kelamin Laki-laki 18 34
1,74 0,74–4,05 0,17 Perempuan 18 59 Masuk lewat Poliklinik 5 49 0,14 0,04–0,43
0,0001 UGD 31 44 Antibiotik Ya 24 23 3,47 1,43–8,58 0,0029 Tidak 12 42 Kelas
rawat Kelas di atas kelas III 15 45 0,76 0,32–1,77 0,56 Kelas III 21 48 Lama
masuk RS–operasi >12 jam 18 56 0,66 0,28–1,54 0,36 ≤12 jam 18 37 Suhu
badan >37,5°C 16 4 17,8 4,89–78,63 0,00 ≤37,5°C 20 89 Jumlah leukosit
≥11.500 31 23 18,6 6,04–66,69 0,0000 11.500/mm3 memiliki risiko 12,12 kali
untuk mengalami perforasi apendiks setelah dikontrol oleh faktor peningkatan
suhu badan. Penderita apendisitis akut dengan suhu >36,5°C memiliki risiko
7,54 kali mengalami perforasi apendiks sesudah dikontrol oleh peningkatan
jumlah sel leukosit. Perforasi apendiks menimbulkan reaksi berupa infamasi
peritoneal lewat kebocoran isi dari usus ke sekitar peritoneum. Peritoneum
dipersaraf cabang saraf yang sama dengan yang mempersaraf dinding
abdomen, sangat sensitif terhadap nyeri, panas, sentuhan, dan tekanan.8 Rasa
nyeri hebat yang muncul ini akan membuat penderita untuk segera datang ke
UGD. Jumlah leukosit yang tinggi menjadi pertimbangan bagi dokter untuk
memberikan antibiotik pada saat admisi di UGD. Peningkatan suhu yang terjadi
merupakan mekanisme adaptif untuk kontrol infeksi. Fenomena ini disebabkan
oleh stimulus eksternal (biasanya mikrob) yang memicu fagosit untuk
mengeluarkan hormon penyebab demam (pirogen endogen). Pirogen tersebut
bersirkulasi ke area hipotalamus anterior dan preoptik yang meningkatkan setpoint temperatur tubuh.9 Apendisitis berdasarkan atas patofsiologi akan
menyebabkan disfungsi mukosa yang nantinya akan meningkatkan
pertumbuhannya bakteri dan menimbulkan mekanisme adaptif berupa
peningkatan suhu badan.4,9 Peningkatan suhu badan >37,5°C memiliki risiko
4,84 kali untuk mengalami perforasi apendiks bila dibanding dengan suhu badan
di bawahnya. Simpulan Proporsi faktor prediksi perforasi apendiks yang lebih
banyak terdapat pada grup kasus adalah usia 11.500/mm3 , dan lama operasi
>50 menit. Faktor prediksi yang paling dominan untuk per