Studi Komparatif Hukum Acara dalam Perse

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI ...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .......................................................................................1.2 Pokok permasalahan ...............................................................................1.3 Kasus posisi.............................................................................................-

BAB II PEMBAHASAN DAN ANALISA
2.1 Alasan memilih topik.........................................................................2.2Dasar hukum dan analisis yuridis........................................................2.3 Hubungan dengan materi perkuliahan..................................................2.4 Perkembangan terbaru terkait kasus.....................................................-

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................................3.2 Saran........................................................................................................-

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................-

Page 21

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industrial Peace atau situasi dimana buruh tenang dalam bekerja dan majikan

tentram dalam berusaha adalah impian dari semua pekerja dan pengusaha. Akan
tetapi dalam prakteknya disharmonisasi antara pekerja dan pengusaha dapat saja
terjadi, hal ini biasanya dikarenakan oleh perselisihan tentang upah, pemutusan
hubungan kerja, ketidak percayaan, egois, diskriminasi, perbedaan penafsiran,
perubahan syarat-syarat pekerja, dan saling curiga. Hal tersebut tentunya dapat kita
mengerti karena situasi buruh yang sangat menggantungkan hidup dia dan
keluarganya dari penghasilan menjadi seorang buruh.
Pada dasarnya perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan buruh
sebaiknya di selesaikan secara musyawarah sehingga mendapatkan kesepakatan yang
saling menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi dalam prosesnyaterkadang
mengalami suatu jalan buntu dan tidak menemukan solusi, sehingga dalam situasi ini
diperlukan peranan Pemerintah untuk menyediakan prosedur dalam menyelesaikan
masalah tersebut secara legal dan aktual.
Di positifkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan
Hubungan Industrial merupakan langkah tepat yang dilakukan oleh Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai salah satu upaya untuk melindungi Hak para
buruh yang memang patut untuk diperjuangkan. Tujuan dibentuknya pengadilan
hubungan industrial adalah sebagai suatu forum legal untuk memproses penyelesaian
perselisihan hubungan industrial oleh pihak ketiga melalui pengadilan hubungan
industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan

pengadilan negeri.1 Adapun bentuk perselisihan yang dapat diajukan ke pengadilan
hubungan industrial hanya meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja.2
Aloysius Uwiyono,et al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Jakarta : Rajawali
Perse, 2014), hlm.141.
2
Ibid., hlm. 127
1

Page 21

Namun sebelum mengajukan gugatan ke perselisihan hubungan industrial,
maka wajib untuk melakukan beberapa proses penyelesaian sengketa diluar
pengadilan.3 Pertama-tama jika terjadi perselisihan hubungan industrial maka wajib
diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartityang menjunjung tinggi
prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Kemudian penyelesaian perselisihan
melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan, apabila dalam waktu 30 hari salah satu pihak menolak
untuk berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit
dianggap tidak berhasil.

Selanjutnya, jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi Departemen Tenaga Kerja
dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan
bipartit telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak,
Departemen Tenaga Kerja wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.Kemudian jika para
pihak tidak memilih saran untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau
arbitrase maka Departemen Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaian perselisihan
kepada mediator. Disini mediator bertugas untuk melakukan mediasi serta
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan. Setelah proses penyelesaian melalui
konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Didalam Pengadilan Hubungan Industrial, perselisihan akan diperiksa dan
diputus oleh hakim, yang terdiri dari satu Hakim Karier, dan 2 Hakim Ad-hoc yang
penangkatannya atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha.
Dari ringkasan mengenai Hukum Acara Perselisihan Hubungan Industrial
Indonesia yang sudah disinggung diatas, sangat menarik tentunya untuk
mengkomparasikannya dengan ketentuan Hukum Acara di Negara lain. Hal tersebut
tentunya akan menambah wawasan penulis dan pembaca yang berniat untuk

mendalami permasalahan Penyelesaian Hubungan Industrial. Maka dari itu dalam
3

Ibid., hlm. 142

Page 21

makalah ini penulis menjatuhkan hatinya kepada Perselisihan Hubungan Industrial di
Negara Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 antara Loke Pang Keong dengan
Subang Perdana Services SDN. BHDuntuk di kaji secara lebih mendalam
menggunakan perspektif Hukum Acara.
1.2 Pokok Permasalahan
1. Bagaimana penerapan Hukum Acara dalam Perselisihan Hubungan
Industrial di Indonesia dalam putusan Pengadilan Negeri Pontianak
Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014?
2. Bagaimana penerapan Hukum Acara dalam Perselisihan Hubungan
Industrial di Malaysia dalam putusan 24/4-270/12?
1.3 Kasus Posisi
1.3.1


Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK
Tahun 2014
Penggugat :
Salmon Pahala Simanjuntak, Pekerjaan Swasta, Alamat di Wonoyoso
Nomor 157 Pontianak.
Tergugat :
PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK, Alamat Jalan
Imam Bonjol Nomor 84 Pontianak yang diwakili oleh 3 karyawannya
yaitu Tri Yoga Kuncoro, Eka Agustini dan Makro Prasetyo.
Salmon Pahala Simanjuntak adalah mantan karyawan PT. Columbindo

Perdana Cabang Pontianak. Salmon bekerjasejak 19 Oktober 2001 hingga 11
Agustus

2014

denganjabatanterakhirsebagaikolektordenganupah

1.591.000


setiap bulannya. Akan tetapipada 28 Juni 2012, telahterjadipemecatankerja yang
dilakukanolehPerusahaansecarasepihakdenganalasan
Setelahterjadipemecetan,
JutaRupiah

yang

tidaklogis.

penggugatditawarkanuangkompensasisebesar
sebagai

5

pesangon,

Page 21

akantetapiditolakolehpenggugatkarenatidaksesuaidenganmasakerja


yang

telahialakukan kepada perusahaan
Merasa tidak puas dengan keputusan yang telah dibuat perusahaan, Salmon
memberanikan diri untuk memperjuangkan hak pesangonnya. Akhirnya pada 23
Juli 2013 Salmon melaporkepada Dinas Tenaga KerjaKota Pontianak
karenatidakjugamenemukan

kata

sepakatmengenaipemutusanhubungankerja.

Setelahmendengaradanyalaporantersebut, Dinas Tenaga Kerja Kota Pontianak
memanggilSalmon

dan

PT.

COLUMBINDO


PERDANA

CABANG

PONTIANAKuntuk melaksanakan proses mediasi. Akan tetapi proses mediasi
tersebut bermuara pada kegagalan karena tidak ada kata sepakat diantara kedua
belah pihak. Sehingga Dinas Tenaga Kerja Kota Pontianak menyimpulkan
bahwapada tanggal 29 Oktober 2013 telahputushubungankerja antara Salmon
dan PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAKkarena PHK,
dandianjurkankepada

tergugatuntukmembayaruangkompensasisebesarRp.

29.950.978 kepada Salmon.
Akan tetapitergugattidakmau menjalankan saran dariDinas Tenaga Kerja
Kota Pontianak karena merasa Salmon tidaklah di PHK akan tetapi hanya ingin
dimutasi saja ke PT. COLUMBINDO PERDANA cabang yang lain, sehingga
menurut hemat tergugat tidaklah perlu membayar uang pesangon karena Salmon
belumlah di PHK. Setelah melalui proses mediasi antara penggugat dan tergugat,

maka

dilakukanlahupayapenyelesaian

lainmelaluiupaya

bipatritdantipatrit

namun jugatakkunjungmendapatkansolusi diantara keduanya. Hingga pada
akhirnya Salmon membuat gugatan dan di masukan ke Panitera Pengadilan
tertanggal 6 maret 2014 yang telah dilampiri anjuran dan risalah penyelesaian.
Setelah menjalani proses beracara mulai dari, pengajuan gugatan,
pemanggilan para pihak, pemanggilan saksi dan ahli, eksepsi, mendengarkan
gugatan, replik duplik, dan pembuktian, pada akhirnya tanggal 19 Juni 2014,
dikeluarkanlahputusanoleh Hakim yang beranggotakanAchmad Syaripudin S.H,
Alinafiah Damanik S.H., M.HdanSyahardi Rahim, S.E. Inti dari putusan tersebut
adalah

mengabulkansebagiangugatanpenggugat


yang

menyatakanbahwapenggugattelahmelakukanperbuatanmelanggarhukum,

Page 21

bahwapenggugatdantergugatsudahtidakada lagihubungankerjakarena PHK, dan
menghukum tergugat untuk membayar uang kompensasi kepada Penggugat
sebesar Rp. 29.950.978.
1.3.2

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia 24/4-270/12
Penggugat :
Loke Pang Keong
Tergugat :
Subang Perdana Services SDN. BHD
Gugatan diajukan oleh penggugat kepada Pengadilan Industrial Malaysia
tertanggal 13 Oktober 2012. Pemanggilan para pihak di laksanakan sejumlah 8
kali, yaitu pada tanggal 24 April 2012,24 Mei 2012, 28 Juni 2012,6 Agustus 2012
,6 September 2012, 8 Oktober 2012 ,03 Desember 2012, dan16 Januari 2013.

Persidangan dengan agenda mendengar keterangan dari para pihak dan saksi
dilaksanakan pada 16 Januari 2013
Penggugat melakukan cuti dan merasa sudah mendapatkan izin dari
perusahaan, dengan membawa sejumlah barang yaitu mobil perusahaan, laptop
perusahaan, kunci kantor, dan kartu sehat AIA.
Pada tanggal 26 Mei 2010 tergugat telah mengirimkan telegram kepada
penggugat untuk segera mengembalikan aset perusahaan berupa mobil
perusahaan, laptop perusahaan, kunci kantor, dan kartu sehat AIA karena akan
digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha. Tetapi penggugat tidak membalas
telegram dari penggugat dalam jangka waktu yang cukup lama. Tergugat
melakukan pemecatan kepada penggugat, karena menilai bahwa izin cuti yang
dipakainya tidaklah tepat, karena tidak mendapatkan persetujuan dari perusahaan.
Dalam putusannya, Hakim menilai bahwa alasan penggugat untuk
memberhentikan kerja penggugat sangatlah tidak reasonable jika hanya tidak
membalas telegram. Karena alasan pemecetannya tidak tegas dan tidak jelas
maka hakim menghukum termohon dengan membayar ganti rugi sebesar
RM137,200.00 kepada pihak penggugat.

Page 21

BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISA
2.1 Alasan Memilih Topik
Dari banyaknya topik yang tersedia didalam mata kuliah Kapita Selekta
Hukum Acara Perdata, saya sepakat untuk menjatuhkan pilihan kepada topik
Penyelesaian Hubungan Industrial karena beberapa alasan.
Pertama, perlu di akui Indonesia adalah negara berkembang yang masih
banyak mengasilkan banyak pekerja, bukannya pengusaha.4 Itu artinya banyak
sekali orang Indonesia yang berada dalam hubungan kerja yang sub-ordinatif
(atas bawah) dengan orang lain, maka dari itu pemahaman mengenai hubungan
kerja dan penyelesaiannya mutlak untuk dipahami secara utuh. Sehingga apabila
terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, orang-orang Indonesia dapat
memaksimalkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.
Kedua, ketentuan mengenai hukum perburuhan dan penyelesaiannya
memiliki ciri khas yang sangat unik, yaitu memilikiunsur publik dalam
hubungan keperdataan. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme
penyelesaian secara tripatrit melalui mekanisme mediasi yang
dilakukan oleh lembaga publik berupa Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Ketiga, penulis sengaja memilih putusan Pengadilan Negeri Kota
Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014 dengan Putusan
Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 dengan
alasan, Malaysia merupakan Negara dengan sistem hukum
common law, sedangkan Indonesia adalah Negara dengan
sistem hukum civil law.5 Namun terdapat kemiripan dalam hal
Badan Pusat Statistik, “Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran,
TPAK dan TPT, 1986-2013” http://bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=5 , diunduh pada 25 Oktober 2014.
5
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : Rajawali Pers,
2012), hlm.20.
4

Page 21

kompetensi absolut penyelesaian sengketa perburuhan, yakni
dengan

peradilan

khusus

berupa

Pengadilan

Hubungan

Industrial (Indonesia), dan Industrial Court (Malaysia).Kemudian,
dengan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia dan Tenaga Kerja
Wanita yang bekerja di Malaysia6, sudah menjadi suatu
keharusan bagi para Juris untuk mengetahui ketentuan hukum
perburuhan di Negeri orang, agar saudara-saudara kita yang
ada di Malaysia tidak terus dibodohi karena alasan tidak tahu
hukum.

2.2Dasar Hukum dan Analisis Yuridis
Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK
Tahun 2014
Dasar

hukum

dari

penyelesaian

perselisihan

hubungan

industrial di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 tahun
2004Tentang

Penyelesaian

Perselisihan

Hubungan

Industrial.

Secara substansial perbedaan dari kedua Undang-Undang tersebut
yaitu Undang-Undang No.13 Tahun 2003 lebih menitikberatkan
kepada

Hukum

Materiil

tentang

ketenagakerjaan,

sedangkan

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 lebih memfokuskan mengenai
pengaturan hukum acara atau hukum formil.
Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2004Pengadilan
Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang dibentuk
di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memutus terhadap perselisihan hubungan industrial.
Wiji Nurhayat, “Tenaga Kerja Indonesia Paling Banyak Tersebar di Malaysia” ,
http://finance.detik.com/read/2012/09/26/170223/2038424/4/tenaga-kerja-indonesia-palingbanyak-tersebar-di-malaysia , diunduh pada 24 Oktober 2014
6

Page 21

Sebelum masuk ke dalam proses peradilan di Pengadilan Hubungan
Industrial terdapat mekanisme yang harus ditempuh terlebih
dahulu oleh para pihak, yaitu wajib untuk melakukan beberapa proses
penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pertama-tama jika terjadi perselisihan
hubungan industrial maka wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan
bipartityang menjunjung tinggi prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat.
Kemudian penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus diselesaikan paling
lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, apabila dalam waktu 30
hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak mencapai kesepakatan,
maka perundingan bipartit dianggap tidak berhasil.
Selanjutnya, jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi Departemen Tenaga Kerja
dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan
bipartit telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak,
Departemen Tenaga Kerja wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.Kemudian jika para
pihak tidak memilih saran untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau
arbitrase maka Departemen Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaian perselisihan
kepada mediator. Disini mediator bertugas untuk melakukan mediasi serta
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan. Setelah proses penyelesaian melalui
konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam

kasus

ini

pihak

penggugat

sudah

melakukan

mekanisme bipatrit dengan pihak tergugat membahas mengenai
pemutusan hubungan kerja dan jumlah uang pesangon yang
diberikan, akan tetapi dalam proses tersebut tidak menemukan
suatu solusi. Mengenai mekanisme bipatrit diberikan waktu selama

Page 21

30 hari untuk mencapai kata mufakat, akan tetapi jika dalam waktu
30 hari itu tidak tercapai mufakat, maka bipatrit dinyatakan gagal.

Proses selanjutnya yang harus ditempuh oleh para pihak
adalah melaporkan hasil bipatrit tersebut kepada Dinas Tenaga
Kerja setempat selaku lembaga tripatrit. Dalam kasus ini, pihak
yang melaporkan adalah pihak penggugat kepada Dinas Tenaga
Kerja Kota Pontianak tertanggal 23 Juli 2013. Selanjutnya Dinas
Tenaga Kerja diharuskan untuk menawari apakah penyelesaiannya
ingin menggunakan konsiliasi atau arbitrase. Tetapi dalam kasus ini
para pihak memilih untuk tidak menggunakan keduanya, dan lebih
memilih menggunakan mekanisme mediasi bersama mediator dari
Dinas

Tenaga

Kerja.

Kemudian

dari

hasil

mediasi

tersebut

dinyatakan bahwa pada tanggal 29 Oktober 2013 hubungan antara
penggugat dan tergugat telah berakhir karena PHK, dan tergugat
diwajibkan

untuk

membayar

uang

kompensasi

sebesar

Rp.

29.950.978 kepada penggugat.
Akan tetapi pihak tergugat tidak menerima keputusan tersebut, dan tidak
bersedia untuk membayar uang kompensasi sebesar Rp. 29.950.978 karena menilai
bahwa penggugat belumlah di PHK, ia hanya ingin dimutasi saja ke cabang
perusahaan di kota lain. Pernyataan tersebut tentunya menjadi dasar kepada
penggugat untuk mengajukan gugatan Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam mengajukan gugatan, penggugat harus mengikuti format gugatan
seperti yang diatur di dalam Hukum Acara Perdata. Dimana gugatan terdiri dari 3 hal
yaitu Persona Standi in Judicio, Posita dan Petitum. 7 Dalam petitumnya pihak
penggugat meminta 2 hal, yaitu meminta pengadilan untuk menyatakan sah putusnya
hubungan kerja antara penggugat dan tergugat, dan meminta kepada pengadilan
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2009) hlm.227.
7

Page 21

untuk menyatakan anjuran tertulis dari Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak
Nomor : 567/1350/DSTK-HI/2013 adalah sah dan berlaku.
Ketentuan mengenai kompetensi relatif diatur didalam Pasal 81 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004, bahwa dalam mengajukan gugatan harus dimasukan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang merupakan daerah
hukum tempat buruh bekerja. Dalam hal ini, buruh bekerja di PT. COLUMBINDO
PERDANA CABANG PONTIANAK, yang berlamat di Jalan Imam Bonjol Nomor
84 Pontianak. Itu artinya, sudah tepat jika gugatan tersebut diajukan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan Negeri Kota Pontianak
selaku tempat penggugat bekerja.
Ketentuan mengenai sidang pertama diatur didalam pasal 88 dan 89 ayat 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Bahwa selambat-lambatnya dalam 7 hari
kerja Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan majelis hakim yang terdiri dari
Hakim sebagai ketua majelis dan 2 orang Hakim Ad Hoc sejak gugatan diterima oleh
panitera pengadilan. Itu artinya, 7 hari kerja setelah 6 maret 2014 Pengadilan Negeri
harus sudah menetapkan Majelis Hakim. Dalam kasus ini yang menjadi ketua majelis
Hakim adalah Achmad Syaripudin S.H, dan yang menjadi Hakim Adhoc
adalahAlinafiah Damanik S.H., M.HdanSyahardi Rahim, S.E. berdasarkan Surat
Penetapan Ketua Pengadilan Hubungan Industrial nomor : 14/G/2014/PHI.PN.PTK
tanggal 7 Maret 2014. Itu artinya berdasarkan pasal 89 ayat 1, bahwa 7 hari kerja
sejak penetapan majelis (7 Maret 2014) harus sudah dilaksanakan hari sidang
pertama.
Berdasarkan pasal 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, baik pihak
penggugat maupun tergugat dapat mengajukan saksi atau saksi ahli. Akan tetapi
dalam putusan ini para pihak tidak mengajukan baik saksi maupun saksi ahli.
Selanjutnya mengenai pembuktian tidak diatur secara terperinci didalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, itu artinya berlakulah ketentuan mengenai
Hukum Acara Perdata dalam hal pembuktian. Bahwa pembuktian diatur dalam pasal
164 HIR jo 284 Rbg jo 1866 BW yang terdiri dari alat bukti tertulis,

Page 21

saksi,persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam kasus ini, bukti yang diajukan
oleh pihak penggugat adalah Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak Nomor :
567/1350/DSTK-HI/2013, sedangkan dari pihak tergugat adalah surat peringatan
kepada pihak penggugat dan peraturan perusahaan.
Yang terakhir adalah mengenai pengambilan putusan yang diatur pada pasal
100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Bahwa yang paling penting putusan
tersebut agar tidak batal demi hukum haruslah dibacakan dalam sidang yang terbuka
untuk umum. Dalam hal ini, pembacaan putusan dilaksanakan pada hari Kamis, 26
Juni 2014 yang terbuka untuk umum. Apabila terdapat pihak yang belum puas,
tersedia upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung sejak 14 hari kerja setelah
keluarnya putusan dan harus diselesaikan selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
penerimaan permohonan kasasi.

Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12
Malaysia adalah Negara jajahan Inggirs, maka dari itu sistem hukum yang
dianut adalah sistem hukum common law. Ketentuan mengenai hukum
perburuhan pada dasarnya diatur dalam 3 Undang-Undang8, Act
265 tentang Employment Tahun 1955, Act 262 tentang Trade
Unions Tahun 1959, dan Act 177 tentang Industrial Relations Tahun
1967. Ketentuan mengenai Peradilan Hubungan Industrial di
Malaysia di atur secara tegas didalam Act 177 tentang Industrial
Relations Tahun 1967 yang secara khusus dituangkan dalam Bab
ke VII. Di dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia memiliki kompetensi
absolut untuk memeriksa perkara mengenai perburuhan.

Industrial Court of Malaysia,
“Acts”http://www.mp.gov.my/index.php/en/links/acts , diunduh pada 26 Oktober 2014.
8

Page 21

Act 177 tentang Industrial Relation Tahun 1967 menyatakan
bahwa sehubungan dengan perkara pemecatan atau Dismissal,
maka para pihak diwajibkan untuk melakukan suatu mekanisme
tentang pembelaan hak terlebih dahulu. Prosedur tersebut terdiri
dari 3 bagian yaitu, Jalur Konsiliasi (Bab V), Jalur keberatan atau
Representations of Dismissal (Part VI), dan jalur litigasi di Industrial
Court (Bab VII).
Dalam Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia Nomor 24/4270/12dapat kita lihat bahwa Majelis Hakim mengabulkan gugatan
penggugat secara Verstek atau tergugat tidak hadir. Sedangkan
proses mendengar (hearing) hanya dilakukan secara ex parte
(sepihak). Karena Negara Malaysia adalah negara dengan tradisi
hukum common law, maka apabila suatu issue tidak diatur didalam
peraturan

perundang-undangan

maka

digunakanlah

suatu

Yuriprudensi dari putusan terdahulu. Dalam putusan ini digunakan
Yurisprudensi Wong Brothers Construction v. Choo Chee Siam
(2005) yang menyatakan bahwa apabila perusahaan absent atau
tidak hadir didalam persidangan, maka Majelis Hakim tetap
menjalankan

sidang

secara

In

Absentia

atau

mendengar

keterangan pemohon saja.
Meskipun pada faktanya pihak tergugat sempat hadir sekali
dalam persidangan yang digelar pada hari pertama, akan tetapi
pada sidang selanjutnya pihak tergugat tidak hadir. Kemudian
pihak Pengadilan telah melakukan pemanggilan kepada tergugat
sebanyak 8 kali yaitu pada tanggal 24 April 2012,24 Mei 2012, 28 Juni
2012,6 Agustus 2012 ,6 September 2012, 8 Oktober 2012,03 Desember 2012, dan16
Januari 2013. Akhirnya putusan dikeluarkan pada 20 Februari 2013, yang
menyatakan tergugat harus membayar sejumlah uang kepada penggugat, dan tersedia
waktu 30 hari kerja sejak putusan ini dikeluarkan untuk melaksanakannya.

Page 21

Berdasarkan amar putusan tersebut, Tergugat (dalam Act 177
disebut

Employer)

dihukum

membayar

ganti

rugi

kepada

Penggugat (Workmen) sebesar RM137,200.00 yang terdiri dari
pengembalian upah (Backwages) dan kompensasi sebagai ganti
kerugian (Compensation in lieu of reinstatement).
2.3 Hubungan dengan Materi Perkuliahan
Perselisihan Hubungan Industrial menurut Pasal 1UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat
buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan,

perselisihan

PHK,

perselisihan

antar

serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 perusahaan.
Dalam
industrial

kasus

ditempuh

ini,

penyelesaian

melalui

Pengadilan

perselisihan

hubungan

Hubungan

Industrial.

Pengadilan Hubungan Industrial adalah suatu proses penyelesaian
perselisihan

hubungan

industrial

oleh

pihak

ketiga

melalui

pengadilan hubungan industrial, yang merupakan pengadilan
khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri.9
Sebab terjadinya perselisihan perburuhan dikarenakan 2 hal,
yaitu pelanggaran, dan tanpa pelanggaran.

 Pelanggaran: Perselisihan hak
a. Beda pelaksanaan, misal perjanjian kerja menyatakan bahwa
pegawai

dikontrak

6

bulan,

setelah

6

bulan

kontrak

diperpanjang terus hingga 4 tahun, padahal kontrak kerja

9

Ulwiyono, loc.cit.

Page 21

menyatakan

setelah

3

kali

perpanjangan

tidak

boleh

diperpanjang lagi.
b. Beda perlakuan, terhadap jenis pekerjaan yang sama akan
tetapi terdapat perbedaan perlakuan antara satu individu
dengan yang lainnya.
c. Beda penafsiran, terdapat perbedaan pengartian terhadap
suatu norma hukum yang ada didalam suatu perundangundangan

untuk

menguntungkan

kepentingan

yang

bersangkutan.
 Tanpa pelanggaran : perselisihan kepentingan
a. Beda penafsiran;
b. Perubahan syarat kerja.
Mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan, antara lain:
a.

Metode

keluh

kesah/keberatan

kepada

atasan

langsung
b. Negosiasi dengan jajaran pimpinan perusahaan
c. Mediasi – Konsiliasi: Menghasilkan rekomendasi
d. Arbitrase oleh Arbiter:

Menghasilkan

Perjanjian

Bersama
e. Gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial di
Pengadilan Negeri.
Dalam

Putusan

Pengadilan

Negeri

Kota

Pontianak

Nomor

14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014 dengan Putusan Perselisihan Hubungan
Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 terdapat beberapa hal yang dapat
dicermati, yaitu :
a. Mengenai Jenis Sengketa
Sengketa
Pemutusan

yang

terjadi

hubungan

berupa

kerja

perselisihan

(PHK).Perselisihan

Page 21

pemutusan hubungan kerja adalan perselisihan yang timbul
karena

tidak

adanya

kesesuaian

pendapat

mengenai

pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak.10

Misalnya

hubungan

:

kerjanya,

Buruh
karena

menolak

untuk

pesangonnya

diputuskan

tidak

sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku atau nilainya masih
lebih rendah daripada perhitungan undang-undang.Dalam
PutusanPengadilan Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK
Tahun 2014, terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja
antara Salmon Pahala Simanjuntak dan PT. COLUMBINDO PERDANA
CABANG PONTIANAK, karena Salmon sudah merasa di PHK oleh
perusahaan, tapi perusahaan menyatakan belum mem-PHK nya karena tidak
mau membayar uang pesangon yang dibebankan. Selain itu juga, terjadi
perselisihan mengenai uang pesangon, menurut Salmon jumlah uang
pesangon berdasarkan masa kerjanya adalah sebesar Rp. 29.950.978, akan
tetapi PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK hanya
ingin memberikan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000.
Sedangkan pada

Putusan Perselisihan Hubungan Industrial

Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 terjadi PHK terhadap

Loke Pang

Keong yang dilakukan Subang Perdana Services SDN. BHD karena terdapat
perselisihan HAK. Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap suatu peraturan. Dalam kasus ini, Loke menanggap bahwa cuti yang
dilakukan olehnya telah mendapat persetujuan dari pihak perusahaan, akan
tetapi perusahaan membantah telah memberikan izin kepada Loke karena
dalam cutinya ia membawa barang-barang milik perusahan seperti mobil,
kunci kantor, dan laptop.
b. Mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan

10

Ibid., hlm. 128

Page 21

Sengketa pada Putusan Pengadilan Negeri Kota Pontianak
Nomor 14/G/2014/PHI.PN. sudah dilakukan dengan mekanisme yang tepat
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 , yakni melakukan
musyawarah internal terlebih dahulu dengan pihak tergugat
untuk mencari suatu kata mufakat. Apabila mekanisme
tersebut gagal, salah satu pihak (dalam kasus ini penggugat)
dapat mengajukan permohonan kepada Dinas Tenaga kerja
untuk

melakukan

proses

mediasi.

Kenyataanya

proses

mediasi itu pun tidak dijalankan oleh pihak tergugat, maka
dari itu penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Kota
Pontianak, dan gugatannya dikabulkan untuk sebagian.
Dalam hal ini pihak penggugat telah menjalankan amanat
Undang-Undang No. 02 Tahun 2004 dengan baik, yakni
dengan menjalani proses bipatrit dan tripatrit terlebih dahulu,
dan kemudian baru menempuh upaya hukum melalui jalur
litigasi kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Pada Putusan Peradilan Hubungan Industrial Malaysia
Nomor

:

24/4-270/12,

pihak

penggugat

telah

melakukan

prosedur yang tepat dengan mengajukan perkara tersebut
kepada Peradilan Hubungan Industrial Malaysia, hal ini sesuai
dengan Act 177 Tentang Industrial Relations Act 1967 yang
menyatakan bahwa peradilan hubungan industrial Malaysia
memiliki

kompetensi

absolut

dalam

menyelesaikan

perselisihan suatu hubungan Industrial. Berdasarkan Pasal 30
ayat

3

Undang-Undang

tersebut,

dinyatakan

bahwa

pengadilan harus mengeluarkan putusan terhitung sejak 30
hari setelah gugatan itu dimasukan ke pengadilan. Jadi dalam
kasus ini, dihitung sejak 30 hari setelah 13 Oktober 2012.

Page 21

c. Mengenai Sebab terjadinya sengketa
Sengketa

pada

Putusan

Pengadilan

Negeri

Kota

Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN diawali oleh adanya
sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh tergugat tentang
perselisihan hak mengenai uang pesangon dan defnisi
pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan oleh adanya
beda pelaksanaan antara penggugat dan tergugat mengenai
jumlah

uang

pesangon,

penggugat

menyatakan

bahwa

jumlah uang pesangon harus sesuai dengan Undang-Undang
dan saran dari Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak,
akan tetapi tergugat hanya ingin memberikan jumlah uang
sesuai nominal orang yang di mutasi saja.
Sedangkan dalam putusan Peradilan Hubungan
Industrial Malaysia Nomor 24/4-270/12 terdapat pelanggaran
tentang perselisihan hak yang disebabkan oleh terjadinya
perbedaan penafsiran oleh kedua belah pihak. Penggugat
mengklaim bahwa cuti yang ia lakukan telah mendapatkan
persetujuan dari perusahaan, sedangkan tergugat mengklaim
bahwa cuti yang penggugat lakukan tidaklah mendapat
persetujuan karena membawa barang-barang milik tergugat
seperti mobil,laptop, dan kunci kantor. Alasan tersebutlah
yang

mendasari

tergugat

untuk

melakukan

pemutusan

hubungan kerja kepada penggugat.
2.4 Perkembangan Terbaru Terkait Kasus
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 di
Indonesia , hal tersebut merupakan cerminan progresivitas pembaruan di
dalam konteks hukum perburuhan. Hal tersebut kiranya patut kita apresiasi

Page 21

terlebih dahulu.Didalam ketentuan tersebut terdapat 4 hal yang menarik untuk
dikaji lebih mendalam, yaitu mengenai kewenangan Pengadilan Hubungan
Industrial dan mengenai pengangkatan hakim ad Hoc.
Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tugas dan
wewenang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa, mengadili dan
memutus :
 Perselisihan Hak sebagai pengadilan tingkat pertama.
 Perselisihan Kepentingan sebagai pengadilan tingkat pertama sekaligus
terakhir.
 Perselisihan PHK sebagai pengadilan tingkat pertama.
 Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan
sebagai pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir.
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, tentunya terdapat isu yang
menarik untuk kita cermati. Terhadap Perselisihan Hak dan Perselisihan PHK
disediakan upaya hukum berupa kasasi kepada Mahkamah Agung, itu artinya
tidak ada proses banding terlebih dahulu. Sedangkan untuk perkara mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja tidak terdapat
upaya hukum yang disediakan kepada para pihak, itu artinya putusan tersebut
bersifat final dan mengikat. Menjadi pertanyaan mengapa terdapat diskriminasi
pemberlakuan upaya hukum didalam masing-masing perselisihan? Bukankah
sebaiknya upaya hukum disediakan di setiap bentuk perselisihan sebagai sarana
bagi pihak yang belum puas untuk mencapai keadilan yang substantif?
Isu menarik lainnya adalah komposisi Majelis Hakim dalam Pengadilan
Hubungan Industrial. Komposisi Majelis Hakim pada Pengadilan Hubungan
Industrial

terdiri

dari

satu

orang

Hakim

Pengadilan

Negeri

yang

pengangkatannya langsung oleh Ketua Mahkamah Agung, satu orang Hakim Ad
hoc dari kalangan serikat pekerja/buruh, dan satu orang Hakim Ad hoc dari
kalangan organisasi pengusaha. Meskipun terdapat kekurangan dalam hal
rekrutmen Hakim Adhoc terkait akuntabilitas dan prosedur penangkatannya,

Page 21

tetapi ide tersebut boleh dicoba pada pengadilan jenis lainnya. Komposisi Hakim
di Pengadilan Hubungan Industrial sangatlah merepresentasikan para pihak yang
bersinggungan, yaitu buruh, pengusaha dan negara.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 tahun 2004Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, kompetensi absolut
Pengadilan Indonesia dalam hal Perselisihan Hubungan Industrial
terletak pada Kompetensi absolut Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri. Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk
melawan putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah kasasi
kepada Mahkamah Agung.
2. Di Malaysia kompetensi Absolut mengenai sengketa
perburuhan terletak di Industrial Court of Malaysia, hal ini sesuai
Act 177 tentang Industrial Relation Tahun 1967 yang menyatakan
bahwa sehubungan dengan perkara pemecatan atau Dismissal,
maka para pihak diwajibkan untuk melakukan suatu mekanisme
tentang pembelaan hak terlebih dahulu. Prosedur tersebut terdiri
dari 3 bagian yaitu, Jalur Konsiliasi (Bab V), Jalur keberatan atau
Representations of Dismissal (Part VI), dan jalur litigasi di Industrial
Court (Bab VII).
3..Sengketa pada

Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor

14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014 sudah dilakukan

sesuai dengan

Page 21

mekanisme dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004,yaitu
melewati proses bipatrit terlebih dahulu untuk mencari mufakat
antara buruh dan pengusaha. Apabila proses tersebut gagal,
dilanjutkan

dengan

mekanisme

mediasi

dengan

mengajukan

permohonan kepada Dinas Tenaga kerja di wilayah kota setempat,
namun dalam proses ini juga gagal, karena pihak tergugat tidak
mau untuk menjalankan saran dari Dinas Tenaga Kerja untuk
membayar uang pesangon sebesar Rp. 29.950.978. Setelah itu pihak
penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Kota Pontianak, dan
ternyata gugatannya dikabulkan untuk sebagian.
4.

Pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia

24/4-270/12 pihak penggugat telah melakukan prosedur yang tepat
dengan mengajukan sengketa kepada Industrial Court. Karena
berdasarkan Act 177, Industrial Court memiliki kompetensi Absolut
untuk mengadili sengketa perburuhan di Malaysia.
5.

Hubungan antara putusan dan materi perkuliahan

dapat ditinjau dari 3 hal, yaitu mengenai jenis sengketa, mengenai
penyelesaian

sengketa

perburuhan,

dan

mengenai

sebab

terjadinya sengketa
6.

Terdapat isu unik didalam ketentuan putusan tersebut,

yaitu Komposisi Majelis Hakim dengan 2 Hakim Ad-hoc dan upaya
hukum yang tersedia hanya dikhususkan bagi masalah tertentu
saja.
3.2 Saran
Perlu di akui Indonesia adalah negara berkembang yang masih banyak
mengasilkan banyak pekerja, bukannya pengusaha. Itu artinya banyak sekali
orang Indonesia yang berada dalam hubungan kerja yang sub-ordinatif (atas
bawah) dengan orang lain atau warga negara lain, maka dari itu pemahaman

Page 21

mengenai hubungan kerja dan penyelesaiannya mutlak untuk dipahami secara
utuh. Sehingga apabila terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, orangorang Indonesia dapat memaksimalkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.
Kemudian, dengan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia dan
Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di Negeri Jiran Malaysia,
sudah

menjadi

suatu

keharusan

bagi

para

Juris

untuk

mengetahui ketentuan hukum perburuhan di Negeri orang, agar
saudara-saudara kita yang ada di Malaysia tidak terus dibodohi
karena alasan tidak tahu hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aloysius Uwiyono, Siti Hajati Hoesin, Widodo Suryandono, Melania Kiswandari,
.........2014, Asas-Asas _____Hukum Perburuhan, Jakarta : Rajawali Pers.
Goenawan Oetomo, 2004, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan
di _____Indonesia, Jakarta: Grhadika Binangkit Press.
Imam Soepomo, 1999. Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan.

Regulasi
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003 , LN No.39
Tahun 2003, TLN. 4279

Page 21

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, cetakan ke 23,1990, Jakarta : Pradnya Paramitha
Malaysia, Act 177 tentang Industrial Relations Tahun 1967

Website
Badan Pusat Statistik. “Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK
..........dan_TPT,_1986-2013”

.........http://bps.go.id/tab_sub/view.php?

kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=5......... Diunduh pada 25 Oktober 2014.

Nurhayat, Wiji. “Tenaga Kerja Indonesia Paling Banyak Tersebar di Malaysia” , .........http://
finance.detik.com/read/2012/09/26/170223/2038424/4/tenaga-kerja-indonesia- .........palingbanyak-tersebar-di-malaysia . Diunduh pada 24 Oktober 2014.

DISCLAIMER : Tulisan ini diperuntukan Penulis untuk kepentingan tugas
perkuliahan sehingga apabila terdapat kekeliruan mohon dikoreksi. Sebagai insan
akademis yang taat. jika ingin men Copy-Paste harap izin ke nomor berikut
082114497494

Page 21