BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang Menyebabkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kalianda NO : 463/PID.SUS/2015/PN.Kla)

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap
anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak harus meminta. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh pemerintah
indonesia

melalui

mengemukakan

Keputusan
tentang

Presiden

prinsip-prinsip


Nomor
umum

36

Tahun

1990

perlindungan

yang
anak,

nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang, dan menghargai partisipasi anak.1
Negara Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konvensi
Hak-hak anak dan karena itu mempunyai komitmen menurut hukum nasional
untuk menghormati, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi Hak-hak anak
di Indonesia. Konvensi Hak-Hak Anak adalah sebuah perjanjian internasional

yang mengakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari anak-anak.
Perjanjian ini diadopsi oleh perserikatan bangsa bangsa pada tanggal 20
November 1989.

Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dengan Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Meskipun
1

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2015, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

demikian, Indonesia tidak menerima seluruh Pasal KHA (total 54 Pasal). Tujuh
Pasal kunci yang direservasi oleh Indonesia, yaitu Pasal 1 (Definisi), Pasal 14
(hak anak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama), Pasal 16 (hak
privasi), Pasal 17 (hak anak mendapatkan informasi layak anak), Pasal 21
(Adopsi), Pasal 22 (Pengungsi Anak), dan Pasal 29 (tujuan pendidikan). Ketujuh
Pasal ini ditarik oleh Indonesia (Hasan Wirayuda/Menlu Kabinet Indonesia
Bersatu


Pertama/Kabinet

SBY-JK)

pada

tanggal

11

Januari

2005.

Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan
perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara
yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang
dimaksud adalah hak asasi untuk anak.2
Dengan diratifikasinya KHA oleh Indonesia, telah memberi warna pada

berbagai kebijakan dan ketentuan terkait dengan anak. Pertama, Adanya
penambahan Pasal 28B ayat (2) pada Undang-Undang Dasar 1945 pada
Amandemen Kedua, yaitu "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan anak dari kekerasan dan
diskriminasi." Kedua, Presiden Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang kini diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014. Undang-Undang inilah secara keseluruhan menjamin, menghargai,

Hamid
Patilima,
Artikel,
“Konvensi
Hak
Anak
1989
“,
http://www.kompasiana.com/hamidpatilima/konvensi-hak-anak-1989, diakses pada tanggal 18
Maret 2017 Pukul 21:30 WIB.
2


Universitas Sumatera Utara

dan melindungi hak anak. Ketiga, Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai lembaga koordinasi
dan advokasi perlindungan anak di Indonesia. Kementerian ini bertugas menyusun
Rencana Aksi Nasional Pembangunan di Bidang Anak. Dan terakhir, Indonesia
membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebagai lembaga
independen untuk menjamin, menghargai, dan melindungi hak-hak anak
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan dan prinsip dasar KHA. Lembaga ini
secara bersama-sama bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak dalam rangka menjamin,
menghargai, dan melindungi hak anak, khususnya anak yang terlibat dalam
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, seperti anak yang bekerja di Jermal,
Pertambangan, Pabrik Sepatu, Prostitusi, dan eksploitasi seksual anak.3
Jadi jika kita melihat Sejarah dari hak anak itu sendiri tidak terlepas dari
beberapa rentang persitiwa berikut :4
a. 1923 : Seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jeb mendeklarasikan 10
pernyataan hak – hak anak yaitu hak akan nama dan kewarganegaraan, hak
kebangsaan, hak persamaan dan non diskriminasi, hak perlindungan, hak

pendidikan, hak bermain, hak rekreasi, hak akan makanan, hak kesehatan dan
hak berpartisipasi dalam pembangunan.
b. 1924 : Deklarasi hak anak diadopsi dan disahkan oleh Majelis Umum Liga
Bangsa – Bangsa.
3

Ibid.
Artikel, “Peduli Hak Anak”, https://pedulihakanak.wordpress.com/2008/11/20/sejarahhak-anak, diakses pada tanggal 18 Maret 2017 Pukul 23:30 WIB.
4

Universitas Sumatera Utara

c. 1948 : Diumumkan Deklarasi Hak Asasi Manusia.
d. 1959 : PBB mengadopsi Hak – Hak Anak untuk kedua kalinya.
e. 1979 : Disebut juga tahun anak internasional dimana tahun ini juga dibentuk
satu komite untuk merumuskan Konvensi Hak Anak (KHA).
f. 1989 : KHA diadposi oleh majelis umum PBB dan pada tanggak 20
November 1989 dimana KHA berisi 54 pasal.
g. 1990 : Indonesia menandatangani KHA di markas besar PBB di New York.
h. 1990 : Indonesia meratifikasi KHA melalui Kepres No. 36 Tahuun 1990

tanggal 25 Agustus 1990.
i. 1990 : 2 September 1990, KHA disepakati sebagai hukum international.
j. 1999 : Indonesia mengeluarkan UU No.30 tahun 1990 oleh HAM.
k. 2002 : Indonesia mengeluarkan UUPA (Undang – Undang Perlindungan
Anak) No. 23 Tahun 2002 yang terdiri dari 14 Bab dan 93 Pasal.
l. 2014 : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki
orang dewasa . Jadi selayaknya hak anak mendapat perhatian dan dukungan yang
sama dengan penerapan hak asasi manusia sebagaimana dengan yang diterapkan
pada manusia dewasa. Perlindungan hak anak, tidak banyak pihak yang turut
memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya
untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang

Universitas Sumatera Utara

dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan
kepentingan masa depan anak.5
Banyak pihak yang telah mengangap bahwa hak anak itu penting demi

kelanjutan bangsa dan negara ini, tetapi pada prakteknya hal tersebut masih
merupakan sekedar wacana penghias bibir, banyak kalangan dalam masyarakat,
baik dunia pendidikan, birokrasi yang menyadari betapa pentingnya perlindungan
anak dari pengabaian hak hak mereka, tetapi dalam prakteknya kenyataan tersebut
hanya isapan jempol belaka kalaupun ada masih sebatas wacana atau basa basi
yang menyatakan anak perlu mendapat dukungan, perlindungan, anak perlu
kesempatan untuk mengekspresikan diri dan lain sebagainya, banyak anak yang
dibiarkan sendiri berjuang dalam persoalan kehidupannya, padahal dalam
konstitusi kita (UUD 1945) jelas diamanatkan pada Pasal 28b ayat (2) Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin
dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara.6
Anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset
keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di
negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti
eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja. Di
banyak

negara,


ditemukan

pelanggaran

terhadap

hak-hak

anak

akibat

pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti pekerja anak (child labor), anak
jalanan (street children), pekerja seks anak (child prostitution), penculikan dan
Artikel, “Hak Anak”, http://anakbangsa-ku.blogspot.co.id/2010/11/sayang-anakberikanhak-mereka.html, diakses pada tanggal 19 Maret 2017 Pukul 23:00 WIB
6
Ibid
5

Universitas Sumatera Utara


perdagangan anak (child trafficking), kekerasan anak (violation) dan penyiksaan
(turtore) terhadap anak. Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak
mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa
diberitakan di media masa. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini
mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18
(delapan belas ) tahun berdasarkan asas asas :7
a.

Nondiskriminasi

b.

Kepentingan terbaik bagi anak

c.

Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

d.


Penghargaan terhadap pendapat anak
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Orang tua, keluarga dan
masyarakat dan Negara bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak
anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Kasus kekerasan pada anak akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah kesenjangan ekonomi, kurangnya keharmonisan dalam
rumah tangga dan juga rendahnya rasa sosial dalam masyarakat. Tindakan
kekerasan yang dilakukan terhadap anak kebanyakan dilakukan orang dewasa dan
kekerasan tersebut terjadi di lingkungan sekitar anak tersebut yang tak
terhindarkan dan menimbulkan dampak yang negatif bagi anak diantaranya
7

Ibid

Universitas Sumatera Utara

berupa trauma bahkan juga sampai menyebabkan kematian. Oleh sebab itu perlu
adanya upaya yang serius dari para penegak hukum dalam memberantas dan
menjerat pelaku kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada
anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai
2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus
kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus. 5
kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015.
Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus.
Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan
napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus. Selain itu, anak
bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak
ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan
masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi
menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan
keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan
masyarakat. 78.3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar
karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat
kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya.8
Tahun 2016 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat
jumlah anak berhadapan dengan hukum mengalami peningkatan selama periode

Davit Styawan, Berita, “KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun
Meningkat”,
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat,
diakses pada tanggal 20 Maret 2017 Pukul 23:00 WIB
8

Universitas Sumatera Utara

Januari-25 April 2016. Data KPAI mencatat anak berhadapan hukum total di
bulan Januari-25 April 2016 ada 298 kasus. Ada meningkat 15 persen
dibandingkan dengan 2015. sebanyak 298 kasus itu menduduki peringkat paling
tinggi anak berhadapan dengan hukum, diantaranya ada 24 kasus anak sebagai
pelaku kekerasan fisik. Pada sembilan kelompok kluster, kata dia, anak pelaku
dan korban kekerasan dan pemerkosaan, pencabulan, dan sodomi mencapai
sebesar 36 kasus. Sementara itu, untuk wilayah tertinggi tingkat anak berhadapan
dengan hukum berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek).9
Tahun 2016 juga Indonesia menempati peringkat pertama tingkat
kekerasan pada anak se-Asia Tenggara menurut lembaga internasional PBB,
UNICEF. Peringkat Indonesia berada di atas Singapura dan Thailand Kepala
Program Perlindungan Anak UNICEF, Amanda Bissex mengatakan, jenis
kekerasan verbal seperti bullying di lembaga pendidikan paling mendominasi
kekerasan pada anak Indonesia. Untuk skala dunia kekerasan pada anak di
Indonesia rendah, tetapi di Asia Tenggara menjadi paling tinggi dibanding
Thailand dan Singapura, kekerasan paling banyak terjadi di sekolah seperti bully.
Menurut data yang diperoleh UNICEF, 84 persen anak-anak Indonesia berusia 1214 tahun telah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan di sekolah. Sebanyak
lebih dari setengah anak laki-laki berusia 13-15 tahun menjadi korban bullying di

Glery Lazuardi, Berita, “Angka Kekerasan Terhadap Anak Meningkat”,
http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/06/kpai-angka-kekerasan-terhadap-anak-meningkat,
diakses pada tanggal 20 Maret 2017 Pukul 23:10 WIB
9

Universitas Sumatera Utara

sekolah. Sedangkan 16 persen anak-anak mengalami kekerasa fisik dalam
keluarga.10
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat
perlindungan terhadap dirinya yang dimana dapat menimbulkan kerugian mental,
fisik, dan sosial apabila anak tersebut tidak mendapat perlindungan. Perlindungan
anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal protection).11
Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat
dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 119 negara, termasuk Indonesia
sebagai anggota PBB melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan
demikian, konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat
seluruh warga negara Indonesia. Pada tahun 1999, Indonesia mengeluarkan
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di
dalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal.
Kemudian, tiga tahun sesudahnya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA ini
dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella’s law) yang secara
generis mengatur hak-hak anak. Namun, dalam konsiderans hukumnya justru
Itsna Diah, Berita, “Hari Anak Sedunia Tingkat Kekerasan Pada Anak Indonesia
Meningkat”, http://www.muslimahdaily.com/news/item/791-hari-anak-sedunia-tingkat-kekerasanpada-anak-indonesia-meningkat.html, diakses pada tanggal 23 Maret 2017 pukul 22:39 WIB
11
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama,
2014, hal. 2
10

Universitas Sumatera Utara

tidak mencantumkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai referensi yuridis.
Sumber kesalahannya terletak pada landasan hukum ratifikasi KHA yang
menggunakan instrumen hukum keputusan presiden yang secara hierarki lebih
rendah derajatnya daripada undang-undang. Meskipun demikian, substansi KHA
dapat diadopsi sebagai materi undang-undang, seperti penggunaan asas dan tujuan
perlindungan anak yang ada dalam UUPA.12
Tindakan kekerasan terhadap anak semakin banyak terjadi belakangan ini
bahkan hingga menyebabkan kematian contoh kasus yang masih belum lama
terjadi dan sempat menghebohkan publik yakni kasus Engeline Margriet Megawe,
bocah 8 tahun ditemukan sudah terkubur di pekarangan rumahnya di Jalan Sedap
Malam, Denpasar, 10 Juni 2014. Keluarganya menyatakan anak adopsi itu hilang
sejak pertengahan Mei 2015. Belakangan, ibu angkatnya Margriet Christina
Megawe jadi tersangka bersama pembantunya, Agus Tay Hamba May. Setelah
diotopsi, diketahui bocah itu dianiaya hingga tewas. Terlepas dari kasus di atas
masih banyak lagi kasus kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian,
terutama yang dilakukan oleh orang terdekatnya yakni termasuk dari kalangan
keluarga sendiri seperti ayah atau ibunya sendiri, walaupun tidak semuanya
terekspos media. Hal ini tentu menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya
perlindungan terhadap hak hidup anak. Tidak peduli apakah itu di kota besar
ataupun di daerah pelosok, terkadang orang dewasa yang berada di lingkungan
sekitarnya kurang peka atau menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa,
sehingga tindakan kekerasan itu terus berulang-ulang terjadi pada anak. Peran

12

Rika Saraswati. Op.Cit, hal. 15

Universitas Sumatera Utara

serta masyarakat sekitar serta penegakan hukum yang tegas adalah elemen yang
utama dan

yang paling penting demi terciptanya pelaksanaan perlindungan

terhadap anak yang maksimal agar tercapainya kesejahteraan dan kehidupan
terbaik bagi anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis membuat sebuah skripsi dengan
judul : Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan
Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Putusan No.
463/Pid.SUS/2015/PN.Kla).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka
permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah :
1.

Bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam Hukum
Pidana Indonesia ?

2.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kekerasan
terhadap anak yang menyebabkan kematian dalam perkara nomor
463/Pid.SUS/2015/PN.Kla ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a.

Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan
terhadap anak dalam hukum pidana di Indonesia.

b.

Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak

pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian.
2. Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

Universitas Sumatera Utara

1) Manfaat Teoritis
Menambah wawasan serta pengetahuan mengenai tindak pidana
kekerasan,

pelaku

tindak

pidana

kekerasan,

serta

bentuk

pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana kekerasan
terhadap anak yang menyebabkan kematian kepada mahasiswa serta
memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat.
2) Manfaat Praktis
Menjadi masukan, pedoman, serta petunjuk bagi masyarakat khususnya
mahasiswa fakultas hukum dan para penegak hukum, mengenai
problematika yang terdapat dalam sistem hukum dan sistem peradilan
yang ada di indonesia. Serta dapat menjadi bahan perbandingan bagi
penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul Pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian (Studi
Putusan

Nomor

463/Pid/.SUS/2015/PN.Kla)

belum

pernah

dilakukan

sebelumnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
Hal ini didukung dengan hasil pemeriksaan dari Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU). Oleh karena itu, tujuan serta permasalahan
yang diangkat di dalam penulisan skripsi ini merupakan karya asli dari penulis
serta hasil pemikiran Penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang ada,
serta mengutip data dari buku, literatur, pendapat-pendapat ahli, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu apabila kemudian ditemukan

Universitas Sumatera Utara

skripsi dengan judul dan permasalahan yang sama, dapat dipertanggungjawabkan
oleh Penulis.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Batasan Usia Anak
Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia
anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.13
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 menyatakan, yang
dimaksudkan di dalam undang-undang ini di dalam Pasal 1 poin a. Kesejahteraan
anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani
maupun sosial; di dalam poin b. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha
kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan
Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Pasal 2,

Anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin.
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang,
sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan
belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman batasan
usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan
di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang

13

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: Refika Aditama, 2006, hal. 25

Universitas Sumatera Utara

mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini beberapa pengaturan
batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, yang juga disarikan dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan
Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan
NLRP :14

Tabel : Batasan Usia Anak Menurut Undang-Undang Yang Berlaku Di Indonesia
Batasan Usia
No

Undang-Undang
Anak/Belum dewasa

1

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

18 Tahun

Ketenagakerjaan di dalam Pasal 1 angka 8. anak
adalah setiap orang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun.
2

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 angka 8, Anak didik
pemasyarakatan adalah:
a. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan

18 Tahun

putusan pengadilan menjalani pidana di
LAPAS anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun.
b. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan

18 Tahun

Hukum Online, “Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum Dalam Peraturan
Perundang-Undangan” http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eec5db1d36b7/perbedaanbatasan-usia-cakap-hukum-dalam-peraturan-perundang-undangan, 12 Februari 2016. Diakses pada
tanggal 29 Maret 2017 pukul 20.07 WIB.
14

Universitas Sumatera Utara

putusan pengadilan diserahkan pada negara
untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS
anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun.
18 Tahun
c. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan
orang

tua

atau

walinya

memperoleh

penetapan pengadilan untuk dididik di
LAPAS anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun.
3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 3,
angka 4, dan angka 5 :
18 Tahun
a.

Anak yang berkonflik dengan Hukum
adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan

belas)

tahun

yang

diduga

melakukan tindak pidana.
18 Tahun
b.

Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana
adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak
pidana.
18 Tahun

Universitas Sumatera Utara

c.

Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana
adalah anak yang belum berumur 18
(delapan

belas)

tahun

yang

dapat

memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri.
4

18 Tahun
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5, anak adalah
setiap manusia yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila

hal

tersebut

adalah

demi

kepentingannya.
18 Tahun

5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Pasal 1 angka 1, menyatakan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.

6

18 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi Pasal 1 angka 4, anak adalah
seseorang yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun.
7

18 Tahun
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 4
huruf h, menyatakan Warga Negara Indonesia
adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang
sah dari seorang ibu warga negara asing yang
diakui oleh seorang ayah Warga Negara
Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin.

8

18 Tahun
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang Pasal 1 angka 5, anak adalah seseorang
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.

9

21 Tahun
Kitab

Undang-Undang

Hukum

Perdata

(Burgerlijk Wetboek), Pasal 330 menyatakan
Yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
tidak kawin sebelumnya.
10

21 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 ayat (1)
menyatakan batas umur anak yang mampu
berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
maupun

mental

atau

belum

pernah

melangsungkan perkawinan.

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa
seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18
(delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.15
Tiap-tiap negara tidak ada hal yang sama dalam hal menentukan batas usia
anak, misalnya di Inggris batas usia 8 tahun, Denmark 15 tahun. Memang
penentuan batas usia ini dirasakan sanggat penting sehingga pernah diadakan
seminar tahun 1953 di Rio de Janero yang mengambil batas usia 14 tahun, yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.

15

Ibid

Universitas Sumatera Utara

Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang
contohnya dikutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur
(Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur) terbitan
NLRP berikut ini:16
1.

Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli
1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No.
41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya
majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah
kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur
21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang
belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa
sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut
berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan
karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk
berbuat dalam hukum.

2.

Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/
Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan
pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis
hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah
kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur
18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada

16

Ibid

Universitas Sumatera Utara

di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21
Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi
cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47
dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di
bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18
tahun.
3.

Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim
Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa
batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum
mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat
batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan
kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali
kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data laporan tentang kasus
child abuse memang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih
terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai
persoalan internal keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk dieskpos keluar
secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo bahwa rendahnya kasus
tindak kekerasan terhadap anak yang diketahui oleh publik salah satunya

Universitas Sumatera Utara

disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara
kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang
dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai tindak pidana. Padahal kalau
mau jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak
pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota
besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon
disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di
kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga secara
normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak.17
Child Abuse didefinisikan sebagai tindakan mencederai oleh seseorang
terhadap orang lain. Child abuse dapat menimbulkan akibat yang panjang,
seorang anak yang pernah mengalami kekerasan, dapat menjadi orang tua yang
memperlakukan anaknyadengan cara yang sama. Child abuse adalah suatu
kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat anak yang
mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan
emosional, dan perkembangan anak secara umum. Sementara menurut U.S
Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi Child abuse
sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap
anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan
kesejahteraan anak terancam.18

17

Bagong Suyanto, ed.Rev, Masalah sosial anak, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 17
Fanny Chie Vierrania, Makalah, “Askep Anak Dengan Child Abuse”,
https://www.scribd.com/doc/135313413/CHILD-abuse, diakses pada tanggal 28 Maret 2017
pukul 17 : 08 WIB
18

Universitas Sumatera Utara

Berikut beberapa klasifikasi dari abuse, yaitu :19
1. Emotional Abuse
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror,
mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak
merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini
akan menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional
anak.Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan
perkembangan. Indikator perilaku kelainan kebiasaan (menghisap, mengigit,
atau memukul-mukul).
2. Physical Abuse
Cedera yang dialami anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang dapat
menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya
berupaluka memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan. Indikator fisik
luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yangtercabut, cakaran.
Indikator perilakuwaspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku
ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk
pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.
3. Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak,
seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan,

Fanny Chie Vierrania, Makalah, “Askep Anak Dengan Child Abuse”,
https://www.scribd.com/doc/135313413/CHILD-abuse, diakses pada tanggal 28 Maret 2017
pukul 17 : 08 WIB
19

Universitas Sumatera Utara

atau meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat
merawatnya. Indikator fisik kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu
mengantuk, kurangnya perhatian, masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya
perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani,
pakaian yang kurang memadai (pada musim dingin), ditinggalkan.
4. Sexual Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar
pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak.Indikator fisik
kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam,
nyeri atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital/rektal,
berpenyakit kelamin. Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual
atausentuhan seksual yang tidak sesuai, kurang bergaul dengan teman sebaya,
tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif/berperilaku
yang menggairahkan, penurun keinginan untuk sekolah, gangguan tidur,
perilaku regressif (misal: ngompol).
5. Sindroma Munchausen
Sindroma

ini

merupakan

permintaan

pengobatan

terhadap

penyakit

yangdibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong tuntutan.
6. Kelalaian
Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan
ekonomi.Bentuk kelainan ini antara lain yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Pemeliharaan

yang kurang memadai,

yang dapat mengakibatkan

gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilangan kasih sayang,
gangguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan.
b. Pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalam risiko untuk
terjadinyatrauma fisik dan jiwa.
3. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah sebuah bentuk tanggungjawab yang
harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun subyek hukum yang telah melakukan
tindak pidana. Di dalam bahasa asing, pertanggungjawaban pidana disebut
“toerekenbaarheid”, “criminal responsibility” atau “criminal liablity”. Bahwa
pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang
terjadi atau tidak. Seorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika
pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.20
Seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :
a.

Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain
harus ada unsur melawan hukum (harus ada unsur objektif)

b.

Terhadap pelakunya, terdapat unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan atau
kealpaan. Sehingga perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan (harus
ada unsur subjektif).

20

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: PT. Pradnya Paramota, 1997 , hal. 31

Universitas Sumatera Utara

Dengan kata lain apakah tersangka atau terdakwa akan dipidana atau
dibebaskan. Jika ia dipidana, tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum
dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan
kesalahan dari si petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya
tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.
Bentuk kesalahan yang diakibatkan karena kesengajaan dan kelalaian, tentulah
beda pertanggungjawaban pidananya, maka dari itu untuk memintakan
pertanggungjawaban pidana seseorang, harus memperhatikan berbagai aspek, dan
berbagai unsur. Apakah perbuatan tersebut didasari atas kehendak sendiri/sengaja,
atau perbuatan tersebut merupakan sebuah kelalaian.
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, didalamnya terkandung makna dapat
dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu
bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela
atas perbuatannya.
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.
Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

Universitas Sumatera Utara

memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan
pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).21
Moeljatno

berpendapat,

“Seseorang

tidak

mungkin

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan
pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat
dipidana”.22
Pendapat Moeljatno ini menunjukkan tidak selamanya yang melakukan
tindak pidana dapat dipidana. Hal ini menunjukkan adanya unsur “kemampuan
bertanggungjawab”

pelaku

dalam

sebuah

tindak

pidana.

Kemampuan

bertanggungjawab yang dimaksud merujuk kepada keadaan serta kemampuan
“jiwa” (geestelijke vermongens) bukan kepada keadaan serta kemampuan
“berpikir” (verstanddelijke vermongens) seseorang.23
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan
dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Untuk mendapatkan data yang
diperlukan sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal penulis
menggunakan metode penelitian yang bila dilihat dari jenisnya dapat digolongkan
kedalam penelitian hukum normatif (yuridis normative). Yaitu merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah berbagai peraturan perundangundangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang
21

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghia
Indonesia, 1982, Hal. 10.
22
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015, Hal. 167
23
E.Y. Kanter., S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia Grafika, Jakarta, 2002, Hal. 250

Universitas Sumatera Utara

diangkat dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini juga disebut dengan
penelitian hukum doctrinal. Soetandyo Wigjosoebroto membagi penelitian hukum
sebagai berikut :24
1. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah
hukum positif.
2. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.
3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak
diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
2. Sumber Bahan Hukum
Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :
a.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua dokumen
peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak berwenang, yaitu
peraturan perundang-undangan. Baik di bidang hukum pidana dan hukum
acara pidana, antara lain Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan
Peraturan Perundang-Undangan lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian.

24

Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayu
Media, 2007, hal. 300

Universitas Sumatera Utara

b.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa
buku-buku dan pendapat-pendapat para sarjana. Dan juga termasuk dokumen
yang merupakan informasi atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan
dengan kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian, seperti modul,
majalah hukum dan karya tulis ilmiah.

c.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum
primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum, ensiklopedia
dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam skripsi ini digunakan metode studi pustaka (Library research).
Yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data
sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang
terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian
yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara
deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data
sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara
sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder
terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat.

Universitas Sumatera Utara

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi secara keseluruhan terdiri dari 4 (empat) bab
dan terdiri dari beberapa sub bab yang akan menguraikan permasalahanpermasalahan dalam skripsi ini. Secara terperinci, Sistematika Penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Bab

ini menguraikan tentang

segala hal yang bersifat

umum dalam latar belakang, kemudian dilanjutkan dengan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan
ditutup dengan memberikan sistematika dari penulisan.
BAB II

PENGATURAN
TERHADAP

TINDAK

ANAK

PIDANA

DALAM

KEKERASAN

HUKUM

PIDANA

INDONESIA
Bab ini berisikan pengaturan tindak pidana kekerasan
terhadap anak dalam hukum pidana yang dibagi atas jenisjenis tindak pidana kekerasan di dalam dan di luar KUHP,
tindak pidana dan sanksi atas

kekerasan terhadap anak

menurut undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak dan undang-undang nomor 23 tahun
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA

PELAKU

TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK
YANG

MENYEBABKAN

KEMATIAN

PADA

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KALIANDA NO.
463/PID.SUS/2015/PN.KLA
Bab ini berisikan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan
kematian, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, kasus
posisi tindak pidana kekerasan terhadap anak yang
menyebabkan kematian dalam Putusan Pengadilan Negeri
Kalianda No. 463/Pid.Sus/2015/PN.Kla serta analisis
putusannya.
BAB IV

PENUTUP
Bab ini akan berisikan Kesimpulan dari pembahasan yang
diangkat dalam skripsi ini dan Saran dari Penulis terkait
dengan skripsi yang diangkat.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5