Gerakan Syariat Islam di Garut Gerakan S

Gerakan Pemberlakuan Syari’at Islam di Garut: GERAKAN SUPERFISIAL NEOFUNDAMENTALISME ISLAM

Moeflich Hasbullah

Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati

Gerakan reformasi politik yang telah menumbangkan pemerintahan Orde Baru Soeharto dari panggung kekuasaannya tahun 1998, telah melahirkan ‘ledakan emosi massa tak terkendali’ yang muncul dalam berbagai luapan eforia. Ledakan itu terjadi dalam masa transisi pemerintahan dari sistem represif- otoriter ke demokratis antara tahun 1998 sampai akhir 2002. Selama Orde Baru, kemerdekaan berekspresi, beragama dan berbeda pendapat yang alami terkungkung dalam angkuhnya jargon-jargon ‘bhineka tunggal ika,’ ‘stabilitas nasional,’ ‘pembangunan ekonomi,’ ‘pancasila,’ ‘dwi fungsi ABRI,‘ dan sejenisnya. Begitu Orde Baru runtuh, ledakan massa meledak tak terkendali dalam ruang publik jagat nusantara. Ledakan sosial itu meletus dalam deretan peristiwa: kerusuhan etnis antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan; Konflik atas nama agama yang berkepanjangan di Ambon dan Poso; Pembantaian massal di Situbondo; Penjarahan pusat-pusat kapitalisme (kerusuhan Mei di Jakarta) sebagai akibat dari ketimpangan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi; Kekecewaan lokal terhadap pemerintah pusat (Aceh, Riau, Tasikmalaya, Papua) dan sebagainya. Masa transisi yang meresahkan tersebut relatif mereda sampai akhir tahun 2002, dan sejak itu, walaupun belum sepenuhnya pulih, kondisi berangsur-angsur kembali ke situasi normal.

Setelah rentetan peristiwa itu berlalu, muncullah harapan-harapan baru rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri: demokratisasi politik, perbaikan ekonomi, pemberantasan korupsi, kebebasan pers, supremasi hukum dan keadilan sosial, otonomi daerah dan seterusnya. Bagi sebagian kalangan Islam yang disebut komunitas Islam politik (political Islam) yang berbasis ideologi Islam, gerakan reformasi dan jatuhnya rezim Soeharto seperti membangkitkan kenangan memori kolektif mereka yang sudah lama terkuburkan: Negara Islam, Piagam Jakarta atau pemberlakuan syari’at Islam dalam komunitas Muslim. Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, yang ditengarai sebagai “reinkarnasi” dari partai Islam Masyumi tahun 1950-60an, jelas-jelas mengagendakan diberlakukannya syari’at Islam di Indonesia. Ia bersemangat akan memperjuangkan kembali Piagam Jakarta agar menjadi bagian dari Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Walaupun dilakukan dengan cara-cara Setelah rentetan peristiwa itu berlalu, muncullah harapan-harapan baru rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri: demokratisasi politik, perbaikan ekonomi, pemberantasan korupsi, kebebasan pers, supremasi hukum dan keadilan sosial, otonomi daerah dan seterusnya. Bagi sebagian kalangan Islam yang disebut komunitas Islam politik (political Islam) yang berbasis ideologi Islam, gerakan reformasi dan jatuhnya rezim Soeharto seperti membangkitkan kenangan memori kolektif mereka yang sudah lama terkuburkan: Negara Islam, Piagam Jakarta atau pemberlakuan syari’at Islam dalam komunitas Muslim. Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, yang ditengarai sebagai “reinkarnasi” dari partai Islam Masyumi tahun 1950-60an, jelas-jelas mengagendakan diberlakukannya syari’at Islam di Indonesia. Ia bersemangat akan memperjuangkan kembali Piagam Jakarta agar menjadi bagian dari Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Walaupun dilakukan dengan cara-cara

nasionalis dan Islam. 1 Tetapi, sampai saat ini, perjuangan itu belum menemukan hasilnya. Dalam kesempatan besar ketika UUD 1945 diamandemen dalam

Sidang Istimewa MPR tahun 2000 lalu, gagasan pemberlakuan kembali Piagam Jakarta tidak mendapatkan dukungan luas. Mayoritas fraksi-fraksi dalam sidang istimewa itu menyatakan keberatannya.

Sebagai memori kolektif yang masih mengendap kuat dalam ingatan dan alam fikiran kelompok Islam politik, gagalnya memperjuangkan Piagam Jakarta dalam sidang istimewa MPR, tidak lantas menyurutkan langkah mereka. Di level grassroot di daerah-daerah, gagasan itu tetap hidup bahkan lebih kondusif untuk direalisasikan. Diinspirasikan oleh kasus Aceh, beberapa daerah di Indonesia yang pengaruh Islamnya relatif kuat seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Riau muncul ke permukaan dalam bentuk tuntutan penerapan pemberlakuan syari’at Islam di daerahnya masing-masing. Di Jawa Barat, gagasan pemberlakuan Syari’at Islam muncul di lima kabupaten: Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Gagasan penerapan Syari’at Islam di kabupaten- kabupaten ini diperjuangan dalam semangat, volume dan kekuatan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, kultur, politik dan kesiapannya masing-masing. Di Kabupaten Cianjur dan Garut, syari’at Islam sudah dideklarasikan secara formal, sementara di Sukabumi, Tasikmalaya dan Ciamis baru berupa gagasan, rencana dan sosialisasi. Diantara lima kebupaten itu, dari aspek dukungan birokrasi, pemerintahan dan unsur-unsur masyarakat yang terlibat, nampaknya Kabupaten Garut adalah yang arusnya paling kuat. Unsur-unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif di kabupaten Garut beriring bersama sepakat mengusung gagasan penerapan Syari’at Islam. 2

Mengenai tuntutan ini, menarik diajukan beberapa pertanyaan. Apakah tuntutan penegakkan Syari’at Islam di berbagai daerah di Indonesia adalah aspirasi murni atas dasar kesadaran agama ingin menjalankan sistem hukum Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia? Apakah penegakkan Syari’at Islam merupakan aspirasi umat Islam secara keseluruhan atau hanya keinginan segelintir kelompok elit agama? Bila hanya gagasan kelompok elit, apakah mereka sungguh-sungguh ingin membawa masyarakat pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan atau hanya memanfaatkan isu ini untuk kepentingan posisi dan kekuasaan karena peran mereka yang terpinggirkan? Apakah kembalinya kepada sistem Islam adalah penolakan terhadap sistem kehidupan sekuler? Apakah yang mereka fahami dan mereka maksud dengan Syari’at Islam? Sejauh mana penerapan Syari'at Islam itu telah mampu terealisir dan dimungkinkan berlaku dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia? Sejauh manakah masyarakat pendukung Syari'at Islam mengetahui bahwa Indonesia sudah banyak mengadopsi nilai-nilai hukum Islam sehingga persoalannya bukan lagi perlunya penerapan syari’at Islam melainkan komitmen, aplikasi dan tegakknya supremasi hukum? Sejauh manakah struktur Mengenai tuntutan ini, menarik diajukan beberapa pertanyaan. Apakah tuntutan penegakkan Syari’at Islam di berbagai daerah di Indonesia adalah aspirasi murni atas dasar kesadaran agama ingin menjalankan sistem hukum Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia? Apakah penegakkan Syari’at Islam merupakan aspirasi umat Islam secara keseluruhan atau hanya keinginan segelintir kelompok elit agama? Bila hanya gagasan kelompok elit, apakah mereka sungguh-sungguh ingin membawa masyarakat pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan atau hanya memanfaatkan isu ini untuk kepentingan posisi dan kekuasaan karena peran mereka yang terpinggirkan? Apakah kembalinya kepada sistem Islam adalah penolakan terhadap sistem kehidupan sekuler? Apakah yang mereka fahami dan mereka maksud dengan Syari’at Islam? Sejauh mana penerapan Syari'at Islam itu telah mampu terealisir dan dimungkinkan berlaku dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia? Sejauh manakah masyarakat pendukung Syari'at Islam mengetahui bahwa Indonesia sudah banyak mengadopsi nilai-nilai hukum Islam sehingga persoalannya bukan lagi perlunya penerapan syari’at Islam melainkan komitmen, aplikasi dan tegakknya supremasi hukum? Sejauh manakah struktur

Penelitian ini mengambil sampel di wilayah Priangan Timur dengan fokus di Kabupaten Garut. 3 Garut menjadi penting karena beberapa pertimbangan: Pertama, Kabupaten Garut dan Wilayah Priangan Timur secara umum, sepanjang sejarahnya adalah daerah dengan pergolakan politiknya yang tinggi dan dikenal sebagai daerah historik pemberontakan Islam sejak pemberontakan Cimareme (1919), perlawanan KH. Yusuf Taudjiri - Cipari terhadap Belanda, pemberontakan KH. Zenal Musthofa Singaparna (Tasikmalaya) terhadap pemerintahan pendudukan Jepang sampai gerakan DI/TII Kartosuwiryo tahun 1948. Era reformasi, geliat gerakan Islam muncul lagi dikabupaten ini dengan dideklarasikannya penerapan Syari’at Islam tahun 2002. Kedua , Garut adalah sebuah kota santri, dengan prosentase penganut Islamnya hampir 100%, dan ketiga, Garut bisa disebut miniatur Indonesia untuk keragaman gerakan dan organisasi Islam. Hampir semua gerakan Islam yang ada di Indonesia terdapat perwakilannya di Garut mulai dari ormas sosial agama dan pendidikan (NU, Muhammadiyah, Persis), ormas kader (HMI, PMII, IMM, Anshor), gerakan “sempalan” seperti Ahmadiyah, gerakan eksklusif seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Ikhwanul Muslimun, gerakan Islam garis keras semacam FPI dan Lasykar Jihad, Hizbut Tahrir, sampai gerakan bawah tanah yang misterius seperti DI dan NII. Dalam heterogenitas kelompok Islam seperti ini, adalah menarik melihat bagaimana persepsi, respon, tanggapan dan penghayatan serta dukungan mereka terhadap pemberlakuan Syari'at Islam yang sudah dideklarasikan di Kabupaten Garut. Namun sebelumnya, untuk melihat gambaran potensi, prospek dan konteks yang akurat dalam memahami gerakan Syari'at Islam, perlu digambarkan terlebih dahulu profil kontemporer kabupaten Garut.

Profil Kabupaten Garut Kondisi Penduduk

Secara historis, kota Garut pernah diwarnai oleh multi-etnis penduduknya. Sejak awal abad ke-20, kota ini sudah menunjukkan kondisinya sebagai kota yang dihuni oleh heterogenitas kelompok masyarakat. Sejak masa- masa awal abad ke-20, di kota Garut sudah terdapat ragam penduduk yang datang dari tiga wilayah penting di dunia: Eropa, Cina dan Timur Tengah (Arab/Pakistan).

Kedatangan bangsa Eropa diawali oleh Belanda sebagai kolonial, kemudian terdapat juga orang Inggris, Jerman, Itali dan Amerika Serikat. Selain

Eropa, masuk juga etnis Cina dan Arab serta Pakistan. Masuknya gelombang orang asing ini akibat urbanisasi dan kebijakan dibukanya wilayah Priangan oleh penguasa Balanda untuk kaum imigran asing. Heterogenitas penduduk ini juga ditunjang oleh dibukanya lahan-lahan perkebunan teh dan dikenalkannya daerah-daerah pariwisata di wilayah Garut. Sebagai kelompok yang secara sosial dan politik lebih berpengaruh, membicarakan perkembangan Garut dan penduduknya pada masa pra kemerdekaan, tidak bisa lepas dari membahas peranan yang dipegang orang-orang asing ini.

Pada permulaan abad ke-20, orang-orang Inggris, Jerman, Itali, juga Belanda dan Cina yang ada di Garut membuka usaha-usaha perkebunan karet, kina dan teh di daerah-daerah seperti Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cikajang,

Cisompet, Cikelet dan Pameungpeuk. 4 Kemudian, Belanda membuka lahan- lahan untuk usaha-usaha perkebunan teh di lima wilayah yaitu Giriawas, Cisaruni, Cikajang, Papandayan dan Darajat. 5 Perkebunan-perkebunan teh ini, selain areal ekonomi juga terkenal sebagai tempat rekreasi dan pariwisata yang indah karena berhawa sejuk. Tempat-tempat pariwisata lain kemudian dibuka yaitu Kawah Papandayan, Kawah Kamojang, Kawah Manuk, Kawah Talaga Bodas, Cipanas, Situ Cangkuang dan Situ Bagendit.

Perpaduan antara perkebunan-perkebunan teh yang sejuk dengan puncak-puncak gunung yang berkawah aman dan berpemandangan indah membuat pariwisata Garut pada permulaan abad ke-20 terkenal ke seluruh dunia. Dari informasi yang dikutip Kunto Sofianto dari buku The Garoet Express and Tourist Guide Geillustreerd Weekblad yang terbit tahun 1923, terlihat nuansa kemashuran parawisata Garut di dunia internasional. Pada tahun-tahun itu, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Garut datang dari Amerika, Inggris, Australia, Belanda dan Jepang. Orang-orang penting dan terkenal di masanya yang pernah berkunjung ke Garut adalah Raja Leopold dan Astrid, permaisurinya (tahun 1928). Kemudian beberapa bintang film terkenal seperti Charlie Chaplin, Renate Muller dan Hans Albers juga pernah datang. Susuhunan Pakubuwono X juga berkunjung pada tahun 1936 dan menginap di hotel Papandayan. 6

Gelombang orang-orang asing yang datang ke Garut berbeda-beda waktunya. Dari catatan orang Belanda, kaum imigran Cina diperkirakan sudah ada sejak tahun 1895. Tapi menurut Sofianto, berdasarkan kelenteng yang ada di Garut, etnis Cina diperkirakan sudah bermukim sekitar 57 tahun sebelumnya, mendiami wilayah yang ketika itu terpisah dari kaum pribumi di sekitar

Ciwalen/Sukaregang. 7 Masuknya imigran Cina ke Garut ini disebabkan oleh dibukanya wilayah Priangan (Bandung, Sumedang, Garut, Tasik dan Ciamis) oleh pemerintah Belanda untuk para pedagang Cina. Mereka datang dari berbagai tempat yaitu Hakka, Hokkien, Teo Chiu dan Kanton serta Kwangtung. Pekerjaan mereka pada umumnya berdagang.

Sementara itu, orang-orang Arab yang sudah ada di Nusantara beberapa abad sebelumnya sudah mempunyai banyak perkampungan yang berbentuk Sementara itu, orang-orang Arab yang sudah ada di Nusantara beberapa abad sebelumnya sudah mempunyai banyak perkampungan yang berbentuk

bertambah. 8 Imigran Arab ke Pulau Jawa secara besar-besaran datang sekitar abad ke-19 berasal dari daerah Hadramaut. Tetapi, Berg mencatat, imigran yang masuk ke Garut ketika itu hanya berjumlah 24 orang dan jumlah ini sedikit dibandingkan orang-orang Arab yang datang ke daerah-daerah lain di Nusantara. Kaum imigran Arab ini diperkirakan masuk sekitar tahun 1885, 9 kemudian disusul orang-orang Pakistan sekitar 40 tahun kemudian (tahun 1920- an) yang berasal dari Punjab. Hampir semua orang Pakistan di Garut, berbaur dan menikah dengan penduduk setempat dan mata pencaharian mereka pada umumnya berdagang dengan membuka toko-toko kain/tekstil.

Berbeda dengan orang-orang Arab di tempat lain, dan berbeda dengan imigran Cina, orang-orang Arab yang masuk ke Garut tidak membentuk koloni dan tidak hidup secara eksklusif dari penduduk pribumi. Hal ini disebabkan oleh dua hal: Pertama, jumlah mereka yang sedikit sehingga tidak diperlukan daerah koloni yang terpisah, kedua, status mereka sebagai Muslim sehingga merasa tidak ada hambatan psikologis-ideologis. Kesamaan agama bahkan membuat mereka menyatu, merasa bersaudara dan penduduk pribumi tidak menganggap mereka sebagai orang asing seperti halnya terhadap bangsa Eropa dan Cina. Integrasi kultural itu salah satunya itu dibuktikan oleh banyaknya tali perkawinan antara para pendatang Arab/Pakistan dengan penduduk Garut.

Dari uraian di atas, nampak bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan, Kota Garut, sebuah kota kecil di Priangan Timur sudah berfungsi sebagai kota

heterogen baik secara ras, ertnis, kultur dan agama. Sejak abad ke-19, Priangan Timur sudah menjadi tempat tujuan berbagai pendatang asing baik bangsa Eropa sebagai penjajah, orang-orang Arab dan Pakistan yang menyebarkan Islam, dan etnis Cina yang bermaksud mengembara dan mengembangkan perdagangan. Kaum pribumi sudah terbiasa dengan heterogenitas kultural.

Selain kehadiran orang-orang asing sebagai pendatang, terdapat masyarakat Garut sebagai pribumi Sunda. Berbeda dengan penjajah yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan, berbeda juga dengan etnis Cina yang hidup eksklusif dan sedikit lebih makmur, penduduk pribumi berstatus sebagai terjajah, hidup bersahaja dan seadanya. Era pasca kolonial, terjadi pola relasi yang berbeda antara penduduk pribumi Garut dengan orang- orang asing ini. Pasca kemerdekaan, orang-orang Belanda dan bangsa Eropa lainnya hengkang setelah terusir oleh pekik kemerdekaan, orang-orang Cina secara kuantitas tidak berkembang di Garut dan tetap hidup eksklusif dalam komunitas mereka, sementara pendatang Arab dan Pakistan berbaur, menikah dan menjadi bagian penduduk pribumi.

Kabupaten Garut terbagi ke dalam 31 kecamatan dengan tingkat perkembangan penduduk cukup pesat terutama setelah era kemerdekaan (lihat Kabupaten Garut terbagi ke dalam 31 kecamatan dengan tingkat perkembangan penduduk cukup pesat terutama setelah era kemerdekaan (lihat

orang penduduk pribumi, 454 orang Eropa dan 1.683 orang etnis Cina. 10 Tetapi

65 tahun kemudian (1980), jumlah angka itu melejit menjadi 1.483.035 orang. Tahun 1990 bertambah lagi menjadi 1.748.616 orang. Tahun 1999 bertambah lagi menjadi 1.901.462 jiwa dengan komposisi pemeluk Islam sebesar 99,55%, 0,25% Kristen dan pemeluk agama lainnya 0,20% yang terkonsentrasi di Kecamatan

Garut Kota. 11 Kemudian hasil sensus terakhir tahun 2000 tercatat penduduk Garut bertambah lagi mencapai jumlah 2.051.092 jiwa. Angka-angka itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Garut terus mengalami peningkatan. Selama kurun waktu 1990-2000, rata-rata perkembangan sebesar hanya 1,66 persen hampir sama dengan masa perkembangan dekade sebelumnya yaitu kurun 1980-1990. 12

Potensi Ekonomi

Perekonomian kabupaten Garut dikembangkan dari berbagai potensi seperti sumber daya alam (pertambangan dan pelabuhan laut), industri, kepariwisataan dan terutama agribisnis. Kabupaten berpenduduk lebih dari 2 juta orang lebih ini menempati urutan kedua di Jawa Barat sebagai sentra agribisnis setelah kabupaten Bandung. Hasil pertanian Garut yang menjadi unggulan adalah timun Jepang, paprika (cabe manis), cabe shisito, kapri manis, tomat cherry, radicchio dan cost lettuce (sejenis salada), kedelai Jepang (edamame), kentang dll. Selain itu juga, Garut adalah penghasil teh, karet, kelapa sawit dan kakao (cokelat). Dalam sektor industri, beberapa produk unggulan termashur juga dihasilkan dari kabupaten ini seperti industri pangan (dodol dan gule merah aren), industri sandang (kain sutra dan batik Garutan), industri kulit (penyamakan dan kerajinan kulit), industri kimia (minyak akar wangi dan minyak cengkeh) dan industri kerajinan umum (bulu mata).

Produk pertambangan dan energi dibagi kepada sumber daya logam dan non-logam. Diantaranya batu gunung, tanah urug, batu apung, kaolin, andesit, pasir gunung, belerang, obsidian, emas DMP, batu mulia, batu templek, batu gamping, pasir besi, pasir pantai, gypsum, dan panas bumi sebagai sumber daya energi. Sementara itu, potensi pariwisata yang dimiliki Garut adalah wisata gunung (Gunung Papandayan, Guntur dan Talaga Bodas), wisata air panas (Cipanas), wisata hutan (Hutan Sancang), wisata pantai (Santolo, Sayang Heulang, Ranca Buaya), wisata danau (Candi Cangkuang, Situ Bagendit), wisata purbakala (Candi Cangkuang, Makam Godog) dan geowisata (Curug Orok, Kawah Darajat).

Dari beberapa macam potensi ini, sektor yang paling dominan menyumbangkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) kabupaten Garut adalah sektor pertanian, sektor perdagangan dan sektor jasa. Dari ketiga sektor ini, pertanian adalah yang terbesar. Dari tahun ke tahun, kontribusi sektor pertanian meski Dari beberapa macam potensi ini, sektor yang paling dominan menyumbangkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) kabupaten Garut adalah sektor pertanian, sektor perdagangan dan sektor jasa. Dari ketiga sektor ini, pertanian adalah yang terbesar. Dari tahun ke tahun, kontribusi sektor pertanian meski

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) kabupaten Garut sejak 1994 sampai sebelum krisis moneter dan kejatuhan Orde Baru relatif stabil berkisar antara 6 –

7 persen. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru dan krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan berpengaruh terhadap angka pertumbuhan di kabupaten Garut. Pada tahun 1998, angka tersebut mengalami kebangkrutan sampai mencapai angka jauh dibawah nol (minus) yaitu –11,64 persen. Tahun 1999, walaupun krisis belum juga sembuh, pertumbuhan merangkak lagi mencapai 2,52 persen (lihat tabel 4 di bawah ini).

Tabel 4

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Periode 1994-1999

Tahun

Laju Pertumbuhan Ekonomi

Pada tahun terakhir (2002) laju pertumbuhan tersebut mengalami penurunan kembali. Pada triwulan pertama (Januari – Maret) tahun 2002 turun menjadi 0,63% dari 2,52% di tahun 1999. Triwulan kedua (April – Juni) tahun 2002 mengecil lagi menjadi hanya 0,31%. Penuruan tersebut menurut Kepala Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, Muhammad Koswara, karena adanya penurunan produksi tanaman bahan makanan sehubungan dengan Pada tahun terakhir (2002) laju pertumbuhan tersebut mengalami penurunan kembali. Pada triwulan pertama (Januari – Maret) tahun 2002 turun menjadi 0,63% dari 2,52% di tahun 1999. Triwulan kedua (April – Juni) tahun 2002 mengecil lagi menjadi hanya 0,31%. Penuruan tersebut menurut Kepala Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, Muhammad Koswara, karena adanya penurunan produksi tanaman bahan makanan sehubungan dengan

Tabel 5

Nilai Tambah Bruto (NTB) Kabupaten Garut Menurut Sektor pada Catur Wulan Pertama dan Kedua Tahun 2002 

No. SEKTOR Tahun 2002

Catur Wulan II 1. Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan

Catur Wulan I

198,47 miliar 2. Pertambangan dan Penggalian

201,61 miliar

1,18 miliar 3. Industri Pengolahan

1,18 miliar

47,64 miliar 4. Listrik, Gas dan Air Bersih

46,81 miliar

4,62 miliar 5. Bangunan/Konstruksi

4,56 miliar

54,44 miliar 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran

54,01 miliar

158,42 miliar 7. Angkutan dan Komunikasi

156,29 miliar

22,14 miliar 9. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

21,82 miliar

27,98 miliar 10. Jasa-jasa

Data-data di atas menunjukkan bahwa walaupun angka pertumbuhan mengalami penurunan tetapi laju pertumbuhan sebesar 0,31%, menurut Koswara, terhitung relatif besar apalagi beberapa sektor mengalami

peningkatan. 15 Misalnya, pertambangan dan penggalian meningkat sebesar 0,39%, industri pengolahan naik sebesar 1,77%, listrik dan air bersih bertambah 1%, bangunan dan konstruksi 0,78%, perdagangan, hotel dan restoran 1,36%, angkutan dan komunikasi 1,48%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0,30% serta jasa-jasa sebesar 1,33%.

Sementara itu laju pertumbuhan ekonomi tahun 1998-1999, berdasarkan sektor-sektor pembangunan dapat dilihat dalam Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Tahun 1998-1999 Berdasarkan Sektor-sektor Pembangunan

TAHUN

No. SEKTOR

1998 (%) 1999 (%) 1. Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan

9,99 5,87 2. Pertambangan dan Penggalian

49,94 3,64 3. Industri Pengolahan

0,77 0,28 4. Listrik, Gas dan Air Bersih

2,30 6,02 5. Bangunan/Konstruksi

33,58 4,34 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran

16,50 1,26 7. Angkutan dan Komunikasi

8,47 0,26 9. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

16,75 0,52 10. Jasa-jasa

Dari data-data ekonomi yang dijelaskan diatas, dapat dijelaskan bahwa, pertama , kondisi perekonomian kabupaten Garut merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi propinsial dan nasional. Kondisi perekonomian di daerah sangat tergantung pada perkembangan ekonomi nasional. Minimnya sumber-sumber ekonomi regional yang dapat dijadikan sebagai modal mandiri untuk pembangunan kabupaten agar proses pembangunan tidak bergantung pada pemerintah pusat. Kedua, andalan pembangunan ekonomi Garut lebih pada pertanian (agribisnis). Ekonomi pertanian sebagai tumpuan pembangunan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakatnya hidup dalam alam agraris dan mengandalkan roda perekonomiannya pada sektor-sektor ekonomi tradisional (sawah, perkebunan dan pemanfaat lahan lainnya).

Kondisi Pendidikan dan Sumber Daya Manusia

Banyak kondisi di daerah merupakan refleksi situasi dan kondisi di tingkat nasional. Demikian juga kondisi pendidikan di kabupaten Garut sedikit banyak merupakan refleksi dari kondisi pendidikan di tingkat nasional. Kondisi tersebut adalah rendahnya mutu pendidikan dan rendahnya jumlah lulusan sekolah dari total jumlah penduduk.

Menurut Sensus Penduduk Tahun 2000 di Kabupaten Garut, tingkat pendidikan mayoritas penduduk kabupaten tersebut adalah lulusan sekolah dasar (SD) yaitu sekitar 45,94 persen. Yang menamatkan SLTP hanya 10,27 persen, SLTA sebesar 28,28 persen dan mereka yang berhasil menamatkan tingkat perguruan tinggi hanya 1,50 persen dari total penduduk di atas usia lima tahun. Kondisi ini juga dapat terlihat dari data pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan di kabupaten Garut. Dari data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut tahun 1999, angkatan terbanyak pencari kerja adalah lulusan SLTA ke bawah. Pencari kerja lulusan SLTA sebanyak 5.385 orang Menurut Sensus Penduduk Tahun 2000 di Kabupaten Garut, tingkat pendidikan mayoritas penduduk kabupaten tersebut adalah lulusan sekolah dasar (SD) yaitu sekitar 45,94 persen. Yang menamatkan SLTP hanya 10,27 persen, SLTA sebesar 28,28 persen dan mereka yang berhasil menamatkan tingkat perguruan tinggi hanya 1,50 persen dari total penduduk di atas usia lima tahun. Kondisi ini juga dapat terlihat dari data pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan di kabupaten Garut. Dari data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut tahun 1999, angkatan terbanyak pencari kerja adalah lulusan SLTA ke bawah. Pencari kerja lulusan SLTA sebanyak 5.385 orang

Tabel 7

Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar di Kantor Depnaker Kabupaten Garut Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 1999

JENJANG PENDIDIKAN

BANYAK PENCARI KERJA (ORANG)

5.385 D1/AKTA 1

1 6 7 D2/AKTA 2

37 80 117 D3/AKTA 3

53 41 94 S1/SARJANA

Sumber: Kantor Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut Tahun 1999

Jumlah penduduk menurut golongan umur dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan juga menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan di kabupaten Garut. Dari data tahun 1999, penduduk yang berumur antara 25-65 berjumlah 864.182 orang. Dari jumlah 864.182 ini, hanya 9.235 orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi (perguruan tinggi/D IV). Dari jumlah 221.668 orang yang berusia kuliah yaitu antara 19-24, hanya 859 orang yang

menyelesaikan perguruan tinggi, 16 selebihnya hanya lulusan SD sebanyak 116.010 orang, lulusan SLTP 39.843 orang, lulusan SLTA 44.097 orang dan 16.813 orang tidak menyelesaikan SD. Kemudian dari 276.946 orang yang berusia 7-12 tahun, sudah menamatkan SD terdapat sebanyak 20.139 dan selebihnya yaitu 256.807 tidak dan belum menamatkan SD. Selengkapnya data golongan umur dan tingkat pendidikan dapat diamati dari tabel berikut ini.

Tabel 8

Penduduk Berumur 5 Tahun ke Atas menurut Golongan Umur dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Golongan

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Umur Tdk/Belum

Akademi/

Jumlah

P.T/ T.T Tamat SD

I /III

D III

D IV (1)

152 162 0 99.375 T.T

412 0 0 3 0 0 0 0 415 Sumber : Sosialisasi Hasil Sensus Penduduk 2000 Kab. Garut, BPS Kab. Garut

Penduduk yang menyelesaikan pendidikan tertinggi yang ditamatkan berdasarkan

menunjukkan gejala ketidakseimbangan pendidikan dan ketidakmerataan antar daerah. Yang paling banyak menyelesaikan pendidikan dari tamatan SLTP sampai Perguruan Tinggi berada di kecamatan Tarogong, Garut Kota dan Karangpawitan. Dari 1.797.299 orang penduduk kabupaten Garut (tahun 1999) hanya 10.256 orang yang menyelesaikan pendidikan S1. Dari 10.256 orang tersebut, 2.108 orang berada di kecamatan Tarogong, kemudian 1.563 orang berada di kecamatan Garut Kota dan 1.014 orang berasal dari kecamatan Karangpawitan. Sisanya, di 28 kecamatan lainnya, rata-rata hanya terdapat sekitar 300 orang sarjana S1 perkecamatan. Di 12 kecamatan hanya terdapat kurang dari 100 orang sarjana S1 yaitu kecamatan Pamulihan (13 orang), Peundeuy (16), Cibalong (26), Pakenjeng (39), Singajaya (42), Cisompet (45), Talegong (48), Cikelet (52), Banjarwangi (53), Cibiuk (56), Selaawi (76) dan Cisewu (88). Sementara itu, dari 611.492 orang usia SD se kabupaten Garut (1999), jumlah terbanyak yang tidak tamat dan masih sedang belajar di SD adalah di kecamatan dan Cisurupan masing-masing berjumlah 42.087 dan 41.305 anak. Dari 825.659 orang yang hanya tamat SD, jumlah terbanyak di kecamatan Malangbong (44.875 anak), kemudian Samarang dan Tarogong masing-masing 43.529 dan 43.355 anak. Data lengkap tahun 1999 dari masing-masing kecamatan tentang jumlah tamatan SD sampai perguruan tinggi dibandingkan dengan jumlah total penduduk bisa dilihat dalam tabel 9 (lihat lampiran).

Rendahnya tingkat pendidikan, menyebabkan Garut menempati posisi di bawah rata-rata kualitas SDM di Jawa Barat. Ukuran untuk mengukur kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari laporan yang diungkapkan oleh Bappeda Jabar, dimuat Harian Pikiran Rakyat 11 September 2002, IPM Jawa Barat tahun 1996 adalah 68,13 dan pada tahun 1999 mengalami penurunan menjadi 64,71. Baik pada tahun 1996 maupun 1999, IPM Garut di bawah rata-rata Jawa Barat tersebut. Tahun 1996 IPM Garut hanya 63,9 dan tahun 1999 61,7. Selain Cirebon (61,6), Indramayu (56,4) dan Kerawang (60,9), seluruh IPM kabupaten di Jawa Barat berada di atas Kabupaten Garut

yaitu 63 ke atas. 17 Perbandingan lengkap IPM seluruh kabupaten di Jawa Barat lihat tabel 10 (lampiran). Kenyataan tersebut diperburuk lagi oleh data hasil Susenas tahun 1999. Data Susenas menunjukkan bahwa persentase anak usia 6 –15 tahun yang yaitu 63 ke atas. 17 Perbandingan lengkap IPM seluruh kabupaten di Jawa Barat lihat tabel 10 (lampiran). Kenyataan tersebut diperburuk lagi oleh data hasil Susenas tahun 1999. Data Susenas menunjukkan bahwa persentase anak usia 6 –15 tahun yang

Tabel 11

Presentase Anak Usia 6-15 yang Bersekolah di 8 Kabupaten

Kerjasama UNICEF

Kota Kabupaten

Sumber: BPS, SUSENAS 1995-1999 Priangan , 7 Juni 2002

Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM yang ditunjukkan oleh kecilnya prosentase penduduk yang berpendidikan tinggi ini bertolak belakang dengan kuantitas perguruan tinggi yang ada di Garut yang hingga saat ini berjumlah 13 buah (lihat tabel 13). Jumlah ini sebenarnya lebih dari memadai berada dalam satu wilayah kabupaten. Tetapi, karena mayoritas penduduk Garut bekerja sebagai petani dan pedagang (tabel 12) , tampaknya kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat tinggi tidak terjangkau. Dari tabel 9 diketahui bahwa jumlah terbesar penduduk Garut hanya menamatkan SD (825.659 orang). Hanya sedikit yang mampu meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Jumlah lulusan SMP berkurang dari jumlah lulusan SD yaitu hanya 184.346, kemudian SLTA hanya 148.768 kemudian sarjana hanya 10.256 dari total penduduk 1.797.299 pada tahun 1999.

Dari lulusan S1 yang berjumlah 10.256 orang itu juga tidak semua merupakan lulusan perguruan tinggi di Garut. Jarak antara Garut dengan kota

Bandung yang hanya sekitar 50 km, menyebabkan banyak orang tua lebih memilih mengkuliahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi di Bandung yang sudah terkenal seperti ke ITB, UNPAD, IAIN, IKIP (UPI) dan perguruan tinggi lain yang berstatus swasta.

Kehidupan Agama dan Sosial Masyarakat

Tidak seperti Jakarta dan ibu kota-ibu kota propinsi yang cukup intensif mengalami modernisasi, kota-kota tingkat kabupaten di seluruh Indonesia umumnya tertinggal atau lambat mengalami proses itu. Garut adalah salah satu prototipe kota yang terlambat mengalami proses modernisasi. Kelambatan ini menyebabkan Garut --relatif serupa dengan kota-kota lainnya di Jawa Barat-- memiliki lingkungan sosial kultural yang khas. Kekhasan itu adalah pembangunan yang kurang intensif (dibandingkan kota-kota besar) telah menciptakan perubahan sosial, transformasi nilai-nilai, modernisasi dan westernisasi yang setengah-setengah. Di sisi lain, tradisi kehidupan keagamaan yang telah menemukan basis historis dan kulturalnya relatif berhasil mempertahankan citra masyarakat rurban (desa-kota) yang relijius. Walhasil, kebanyakan kota-kota kabupaten di Indonesia tidak termodernisasikan atau terbaratkan sepenuhnya karena harus berhadapan dengan basis relijiusitas masyarakat yang telah mengakar.

Di kota-kota kabupaten, umumnya, mudah menemukan bukti-butki adanya pengaruh modernisasi dan westernisasi dalam skalanya yang berbeda- beda, tetapi juga tradisionalitas nilai-nilai masyarakat tidak sepenuhnya terhempas dan tersingkirkan ke pojok-pojok sejarah dan sudut-sudut pembangunan. Tarik menarik antara modernisasi yang tidak sepenuh hati dengan tradisionalitas yang masih tegar di wilayah-wilayah rurban di Indonesia ini telah membentuk suatu sub-kultur baru dalam bentuk dislokasi identitas: menjadi kota sepenuhnya (lingkungan sosio-kultur modern) tidak, karena kuatnya lingkung tradisi dan sistem nilai lokal, sepenuhnya tradisional juga tidak, karena modernisasi terlalu kuat dan sedikit banyak telah membawa perubahan terutama dalam cara berfikir dan penggunaan alat-alat produksi.

Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri --umumnya dicirikan oleh mayoritas penduduk Muslim, banyaknya pesantren dan institusi-institusi pendidikan Islam serta kuatnya relijiusitas kultur masyarakat-- pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan pop (pop culture) seperti mall yang lengkap dan megah, bioskop, nite-club, pub, kafe, massages, karaoke, billiard dan lain-lain. Di Garut, sarana hiburan tersebut selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi masyarakat, beberapa bioskop misalnya bangkrut dan hanya tersisa satu dua yang tidak terurus dan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah. Oleh Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri --umumnya dicirikan oleh mayoritas penduduk Muslim, banyaknya pesantren dan institusi-institusi pendidikan Islam serta kuatnya relijiusitas kultur masyarakat-- pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan pop (pop culture) seperti mall yang lengkap dan megah, bioskop, nite-club, pub, kafe, massages, karaoke, billiard dan lain-lain. Di Garut, sarana hiburan tersebut selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi masyarakat, beberapa bioskop misalnya bangkrut dan hanya tersisa satu dua yang tidak terurus dan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah. Oleh

Di sisi lain, diuntungkan oleh lokasinya yang ‘bukan jalan lintas propinsi’ (locked area) , suasana dan nuansa relijiusitas Garut nampak cukup terjaga. Selain tidak ditemukannya pusat-pusat hiburan sekuler, saat ini di Garut terdapat 108 Raudlatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan

515 pesantren 18 (dalam tabel 14 hanya daftar 29 pesantren yang terhitung besar). Jumlah lembaga pendidikan Islam ini mungkin tidak yang terbesar dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, tetapi dengan jumlah itu saja Garut sudah lama dikenal sebagai kota santri dengan nuansa relijius yang cukup terasa.

Sebaliknya, dari sulitnya ditemukan tempat-tempat hiburan massal yang menyuguhkan nuansa Barat, hampir semua organisasi massa Islam, dari yang terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah), yang radikal dan moderat yang umum dijumpai di tempat-tempat lain di Indonesia (Lasykar Jihad, Front Pembela Islam) sampai gerakan-gerakan “bawah tanah” seperti Ikhwanul

Muslimun dan Darul Islam semuanya bisa ditemukan di Garut. 19 Kelengkapan adanya ormas-ormas Islam ini menguatkan asumsi kota Garut selama ini sebagai kota pergerakkan dan pemberontakan Islam.

Yang fantastis, seperti halnya di daerah-daerah lain di Jawa Barat, relijiusitas masyarakat Garut dicirikan oleh jumlah tempat ibadah yaitu masjid,

langgar dan mushalla. Meski tidak mutlak menunjukkan korelasi positif antara jumlah masjid dengan kesalehan (terutama kesalehan sosial) dan relijiusitas penduduknya, pendirian masjid di kalangan masyarakat Muslim selalu merupakan ekspresi religiusitas dan emosi keagamaan umatnya yang dibangun atas kesadaran dan kebutuhan bersama secara bergotong-royong. Dengan demikian, adalah proporsional mengukur tingkat relijiusitas masyarakat diantaranya oleh jumlah rumah ibadah. Hampir semua kecamatan di Kabupaten Garut memiliki masjid, langgar dan mushalla yang ratusan jumlahnya. Kecamatan Garut Kota misalnya memiliki 547 tempat ibadah yang terdiri dari 179 masjid, 266 langgar dan 102 Mushalla. Kecamatan Karangpawitan memiliki 583 buah: 162 masjid, 329 langgar dan 92 mushalla. Kecamatan Samarang memiliki 821 tempat ibadah shalat: 265 masjid, 331 langgar dan 225 mushalla. Bahkan ada yang hampir mencapai 1000 buah (963) yaitu di kecamatan Pakenjeng yang terdiri dari 185 masjid, 341 langgar dan 437 mushalla. Jumlah seluruhnya se-kabupaten Garut adalah 14.240, terdiri dari 3.992 masjid, 6.720

langgar dan 3.528 mushalla. 20 Catatan lengkap jumlah rumah ibadah di Kabupaten Garut bisa dilihat dalam tabel 15 (lampiran).

Nuansa relijius kota santri ini dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lambaga dakwah yang ada di Garut. Jumlah lembaga dan organisasi dakwah di sebuah daerah menunjukkan intensitas dakwah di daerah tersebut karena lembaga dakwah hampir dapat dipastikan dibentuk karena motivasi dan semangat keagamaan dan merupakan bentuk murni partisipasi sosial masyarakat (genuine social participation) yang bersifat non-profit dan dikelola secara swadaya masyarakat.

Lembaga dakwah yang ada di Garut bisa diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja masjid dan lembaga pendidikan al-Qur’an. Dari data yang tersedia di Seksi Penerangan Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2001, tercatat bahwa jumlah orwah di Garut ada 364 buah dengan perincian 237 orwah yang terdapat secara nasional, 14 yang khusus tingkat propinsi dan 113 khusus hanya di tingkat kabupaten Garut. Semua kecamatan di kabupaten Garut memiliki perwakilan orwah tingkat nasional (lihat tabel 16). Jumlah majelis ta’lim ada 4.791 kelompok dengan jumlah terbanyak terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu sebanyak 577 kelompok pengajian. Jumlah remaja masjid juga cukup banyak yaitu 722. Dari seluruh kecamatan, jumlah terbanyak organisasi remaja masjid juga sama terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu 162 buah.

Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur’an dari mulai tingkat taman pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan gabungan dari murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) sebanyak 22.451, Taman Kanak-kanak al-Qur’an (TKQ) sejumlah 11.304 murid dan santri pondok pesantren al-Qur’an (PPQ) sebanyak 6.327 orang. 21

Berbagai data di atas menunjukkan bahwa intensitas kehidupan sosial keagamaan masyarakat kabupaten Garut cukup tinggi dilihat dari kuantitas lembaga keagamaan yang ada seperti pesantren, institusi pendidikan Islam, tempat ibadah dan lembaga dakwah serta majelis ta’lim yang jumlahnya mencapai ratusan di setiap kecamatan. Jumlah penduduk Muslim yang hampir 100 persen di kabupaten Garut menjadi basis tersendiri dari gencarnya usaha- usaha pengembangan dakwah Islam dan pengembangan jumlah organisasi keagamaan yang cukup banyak berada dalam sebuah kabupaten. Kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan sosial ini membentuk sistem sosial yang religious -base worldview (dunia pandang relijius). Hal ini misalnya terlihat pada upaya menghadirkan agama dalam pemecahan masalah-masalah sosial kontemporer seperti upaya penerapan Syari’at Islam untuk penanganan kasus- kasus KKN dan masalah-masalah kerawanan sosial.

Masalah kerawanan sosial di Garut terhitung tidak terlalu besar. Ini disebabkan selain lingkungan sosial kultural keagamaan yang relatif kuat, dampak pembangunan, modernisasi dan westernisasi pun terutama pada aspek sosio-kultural masyarakat (transmisi kultur global dan pergaulan metropolis) tidak terlalu besar. Hal-hal yang termasuk kerawanan sosial rata-rata hanya Masalah kerawanan sosial di Garut terhitung tidak terlalu besar. Ini disebabkan selain lingkungan sosial kultural keagamaan yang relatif kuat, dampak pembangunan, modernisasi dan westernisasi pun terutama pada aspek sosio-kultural masyarakat (transmisi kultur global dan pergaulan metropolis) tidak terlalu besar. Hal-hal yang termasuk kerawanan sosial rata-rata hanya

orang. 22 Jumlah anak jalanan dan bandar narkoba kebanyakan datang dari luar Garut Kota, 23 sementara orang-orang terlantar kebanyakan datang atau dikirim dari luar Garut, seperti Jawa Tengah. 24

Latar Belakang Sosial Historis Garut Daerah Pemberontakan Islam

Diantara beberapa kota di wilayah Jawa Barat, Garut adalah daerah yang memiliki beberapa peristiwa pergolakan politik yang melibatkan peranan orang- orang Islam. Pergolakan itu berbentuk perlawanan terhadap para penguasa kolonial seperti Belanda dan Jepang, dan terhadap pemerintahan sendiri di masa kemerdekaan. Pada zaman kolonial Belanda, meletus sebuah peristiwa pemberontakan yang dikenal dengan peristiwa Pemberontakan Cimareme atau Peristiwa Garut 1919 . Peristiwa itu terjadi di Desa Cikendal Leles Garut pada tanggal 7 Juli 1919. Peristiwa tersebut muncul dari kewaspadaan berlebihan

pemerintah kolonial Balanda terhadap masyarakat pribumi. 25 Pemicu Peristiwa Garut 1919 itu bermula dari sebuah kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dalam menetapkan harga hal jual beli hasil panen antara pemerintah dengan masyarakat pribumi. Penetapan harga padi hasil panen yang murah dan merugikan petani yang ditentukan sepihak oleh pemerintah Belanda ditolak oleh Haji Hasan bersama para pengikutnya yang kemudian berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Aqib Suminto mengisahkannya sebagai berikut:

Pemerintah kolonial pada masa itu menetapkan bahwa para petani wajib menjual sejumlah tertentu hasil panen padinya kepada pemerintah. Haji Hasan yang memiliki 10 bahu sawah dengan hasil 250 pikul padi, diwajibkan menjual

42 pikul padinya kepada pemerintah, dengan harga f.4,-per pikul. Harga f.4- per pikul menurut laporan pemerintah di Volksraad lebih tinggi daripada harga setempat. Padahal Soerabajaasch Handelsblad, harga padi setempat pada saat itu sudah mencapai f.7,50 per pikul. H. Hasan (selanjutnya disingkat HH) yang setahun sebelumnya dipaksa harus memusnahkannya tanamannya dan menggantinya dengan padi, merasa berkeberatan atas ketentuan ini terutama karena HH menanggung kehidupan 84 orang anggota keluarga. Bukan tentang harga, tapi tentang ketentuan jumlah. Ia hanya menghendaki keringanan dengan hanya menjual 10 pikul. 26

Haji Hasan menolak uang muka yang diberikan oleh Wedono Leles -- sebagai utusan pemerintah Belanda-- atas harga yang ditetapkan pemerintah. Permohonan peninjauan kembali terhadap perintah penjualan padi pun diajukan Haji Hasan menolak uang muka yang diberikan oleh Wedono Leles -- sebagai utusan pemerintah Belanda-- atas harga yang ditetapkan pemerintah. Permohonan peninjauan kembali terhadap perintah penjualan padi pun diajukan

Berkaitan dengan peristiwa tersebut, juga dikenal seorang ulama pejuang yang kharismatik bernama KH. Yusuf Taujiri (1900–1982) yang kemudian ketokohannya dihormati dan mewarnai sejarah Islam Garut. Yusuf Taujiri, seorang aktifis Sarekat Islam (SI), dipenjara selama dua bulan oleh pemerintah Belanda karena terlibat dalam peristiwa pemberontakan Cimareme 1919. Tahun 1939, ketika SI pimpinan Abikusno Cokrosuyoso memecat Kartosuwiryo, Yusuf bersama Kartosuwiryo mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPK – PSII). Yusuf pun menjadi pemimpin Hizbullah –pasukan gerilya Islam dibawah Masyumi-- cabang Wanaraja. Pada masa revolusi, ia membentuk Lasykar Darussalam yang menjadi salah satu unsur BKR (Badan Keamanan Rakyat). Tetapi kemudian ia bentrok dengan Kartosuwiryo pada saat Kartosuwiryo hendak melaksanakan politik hijrah. Bagi Yusuf, belum saatnya dilakukan hijrah. Pecah dengan Kartosuwiryo, ia mendirikan pesantren Darussalam di Cipari Garut untuk melaksanakan program pendidikan masyarakat. KH. Yusuf Taujiri adalah seorang ulama mandiri yang tegas pendirian. Pesantrennya sering diserang oleh kelompok Darul Islam (DI) karena ia menolak ajakan Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Di sisi lain, Yusuf pun sering mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda dalam beberapa peristiwa. 28

Juga dari wilayah Priangan Timur dikenal seorang pejuang melawan pendudukan Jepang yaitu KH. Zaenal Mustofa. Ia memimpin pesantren Sukamanah Tasikmalaya selama 17 tahun (1927-1944) dan banyak melakukan penentangan terhadap pemerintahan pendudukan Belanda dan Jepang. Semasa kecil, ia belajar di beberapa pesantren di daerah Priangan diantaranya Pesantren Sukaraja Garut. Dalam kegiatan dakwahnya, Zaenal Mustofa sering mengungkapkan kritik tajam terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Akibatnya beberapa kali ia merasakan pengapnya ruang penjara di Tasikmalaya, penjara Sukamiskin Bandung dan di Ciamis. Dalam masa kolonial Jepang, kiayi ini adalah penentang keras kewajiban seikerei (menghormat Tenno Heika dengan membungkukkan badan, seperti orang rukuk, ke arah Tokyo). Akibat pembangkangannya ini, pada tanggal 25 Februari 1944, pesantrennya di Sukamanah diserbu oleh tentara Jepang. Kiayi Zaenal melakukan perlawanan dan akhirnya ia tertangkap beserta beberapa pengikutnya, dan ia sendiri dibunuh oleh tentara Jepang di daerah Jakarta. 29

Yang paling monumental dari sejarah Garut adalah gerakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Peristiwa proklamasi DI/TII atau gerakan Darul Islam di Garut bisa dikatakan “bermula” atau sebagai akibat dari Persetujuan Renville antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik pada bulan Januari 1948. Salah satu bunyi Persetujuan Renville adalah pasukan Republik akan ditarik dari daerah-daerah yang resmi dikuasai Belanda. Ini berarti pasukan Republik harus meninggalkan hampir seluruh Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Ini juga berarti pembatasan wilayah Republik

Indonesia di beberapa bagian Jawa termasuk Jawa Barat. 30 Bunyi persetujuan itu direspon berbeda oleh dua kelompok pasukan: pasukan tentara resmi Republik tidak punya pilihan kecuali taat terhadap persetujuan karena persetujuan itu dilakukan oleh pemerintah yang sah, termasuk ke dalam pasukan resmi ini adalah Divisi Siliwangi Jawa Barat. Masyumi sebagai partai politik juga mengikuti sikap pemerintah Republik yaitu melaksanakan isi persetujuan. Tetapi, pasukan gerilyanya, yaitu Hizbullah dan Sabilillah –pasukan bersenjata partai besar Islam Masyumi-- menolak persetujuan itu dan enggan mundur dari Jawa Barat. Kartosuwiryo sebagai politisi Masyumi yang juga tidak setuju dengan perjanjian itu, bersama dengan pasukan Hizbullah dan Sabilillah memilih tetap tinggal di Jawa Barat. Menurut keyakinan mereka perjuangan melawan Belanda harus dilanjutkan sehingga tidak ada alternatif lain kecuali tetap tinggal di Jawa Barat dan mengkoordinasikan perlawanan disitu. 31