Selama caranya Halal Preman Islam di Ja

191

In Greg Fealey & Sally White (Penyunting) 2012, Ustadz
Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekpresi Islam
Indonesia Kontemporer, Komunitas Bambu, Depok, hlm.
191-206.

11 "Selama Caranya Halal":Preman Islam
di Jakarta
Ian Douglas Wilson

1.

PENDAHULUAN
Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Indonesia adalah tempat
yang sangat berbahaya, penuh dengan kegiatan-kegiatan terorisme. Secara
pribadi, teroris yang lebih saya khawatirkan adalah yang berada di luar, di jalanjalan, berpura-pura menjadi tukang parkir, pengamen, dan lain-lain (Pitting,

2004).

Kutipan dari harian The Jakarta Post ini memberi gambaran singkat atas

realitas suram sehari-hari yang dihadapi oleh penduduk di ibu kota Indonesia.
Rasa takut akan pemerasan, pelecehan atau kekerasan oleh preman, sebutan seharihari untuk penjahat jalanan atau gangster, bagi banyak orang Indonesia adalah
ancaman serius yang selalu membayangi keamanan diri mereka. 1 Pada saat
pemerintah-pemerintah dan media-media di Barat terus berfokus pada "ancaman
Islam" di Indonesia, saat itu pula teror harian yang lebih biasa tampak menyebar
yang berdampak lebih besar bagi kehidupan masyarakat umum di Indonesia.
Kejahatan preman jalanan menjadi bagian kehidupan yang ada di pusat-pusat,
kota di seluruh negeri.
Ada peningkatan premanisme yang kasat mata sejak tahun 1998. Namun,
preman bukanlah fenomena baru. Sepanjang Orde Baru, ada hubungan saling
menguntungkan antara unsur-unsur rezim ini dan para preman. Banyak preman
"dilembagakan" dalam organisasi-organisasi paramiliter dan pemuda seperti
Pemuda Pancasila, kelompok yang loyal pada rezim. Para preman dibiarkan
melakukan pemerasan dengan berdalih perlindungan dengan kekebalan hukum
asalkan sebagian dari keuntungan disetorkan ke jalur-jalur birokrasi negara. Mereka
pun mesti siap sedia untuk dikerahkan ketika hegemoni negara dirasa terancam.
1

Lihat "Orang Bebas yang Kian Mengganggu", Tempo, 20 Mei 2000. Preman adalah istilah normatif
dengan sejarah kompleks yang tidak dapat termuat dalam bab ini. Untuk kepentingan bab ini, istilah

preman akan digunakan untuk merujuk secara khusus kepada individu-individu yang menggunakan
strategi penuh kekerasan dan paksaan untuk mendapatkan ganjaran material, sama dengan apa yang
Blok (1988) dan Volkov (2002) telah sebut sebagai 'pengusaha kekerasan'. Lebih lanjut mengenai
makna preman, lihat Ryter (1998).

192

fan Douglas Wilson

Pada masa akhir Orde Baru, ketika citra rezim yang utuh mulai retak, ideologi
dan simbolisme kebanyakan "pengusaha di bidang kekerasan" ini mulai menjauh
dari nasionalisme reaksioner dan kesetiaan kepada Soeharto dan Golkar. Mereka
semakin banyak mengalihkan diri dengan bersumber dari Islam militan. Pergeseran
ini mencerminkan dinamika politik yang tengah berubah. Banyak preman berjudi
pada kekuatan politik tertentu yang dianggapnya akan keluar sebagai pemenang
dalam pertarungan politik. Sebagian berkumpul ke dalam satgas, sayap-sayap
paramiliter yang dibentuk oleh partai-partai politik untuk memobilisasi dukungan
dan mencari dana untuk keperluan Pemilu 1999. Sebagian yang lain menjadi
anggota beberapa organisasi Islam militan yang muncul setelah tahun 1998.
Banyak dari kelompok-kelompok ini dimobilisasi pada November 1998 sebagai

bagian dari milisi sipil (Pam-Swakarsa) yang dikerahkan oleh Jendral Wiranto. 2
Pada masa Habibie menjadi presiden, membela negara berkorelasi dengan membela
Islam. Akhirnya, kelompok-kelompok tersebut bertindak sebagai benteng yang
disponsori negara dalam melawan tuntutan-tuntutan gerakan reformasi yang
dimotori mahasiswa. Namun, banyak preman yang dapat berubah dari bawahan
negara menjadi aktor independen pada saat ada kebebasan baru untuk berorganisasi
dan elite-elite politik sedang
dalam kekacauan.
Banyak kerja dokumentatif di seluruh dunia yang mencatat bahwa gangster
sering muncul sebagai penerima warisan pemilihan politik yang demokratis,
sebagai para calon atau penggalang dana, dan sebagai makelar kekuasaan yang
mampu memobilisasi dukungan, mengintimidasi para saingan dan melaksanakan
layanan-layanan lainnya atas nama para klien. Indonesia dalam hal semacam ini
bukanlah sebuah pengecualian (Trocki, 1998). Preman sebagai kaum oportunis
abadi dan bunglon ideologi cepat menyesuaikan diri untuk berganti kostum agar
cocok dengan lingkungan sosial dan politik yang baru. Organisasi, terlepas dari
apa pun yang seolah-olah jadi tujuannya, hanya penting sejauh dapat menyediakan
perlindungan untuk memperoleh dan memelihara wilayah kekuasaan. Beberapa
kasus menyebutkan, pergantian pakaian ala militer pemuda-pemuda nasionalis
menjadi jubah putih atau surban orang-orang Islam radikal hanyalah soal

kamuflase belaka. Kita bisa simak pengakuan seorang preman yang masuk
menjadi anggota Front Pembela Islam (FPI) yang menjelaskan:
Sekarang, di era reformasi, nasionalisme, bela bangsa dan segala tetek bengeknya
sudah tidak laku lagi kelompok-kelompok (yang mengangkat isu) jihad dan yang
memerangi maksiat-lah tempat untuk dituju (wawancara, Jakarta, 2005).

Pada saat kelompok-kelompok yang lebih tua seperti Pemuda Pancasila terus
memotret diri sebagai pembela kesatuan nasional, gangster jenis baru
mengorganisasi diri mengikuti garis etnik dan keagamaan "pasca-Pancasila"
(Ryter, 2005). Kepentingan-kepentingan kriminal telah berjalin berkelindan dengan
tuntutan-tuntutan atas hak dan agendanya politik Islam yang kembali dihidupkan.
2

Lihat Gunawan dan Patria (2000: 58-63) dan "Pam-Swakarsa: Aktor atau Karban?", Tempo, 30
November 1998.

"Selama Caranya Halo/"

193


Dalam konteks ini, Islam militan telah menjadi komoditas simbolis baru atas
pertarungan untuk memperebutkan kontrol di jalan-jalan di seantero Jakarta.
Preman sebagai subkultur dapat diidentifikasi memiliki sifat pemangsa,
oportunis, menggantungkan penghidupan mereka pada perpaduan antara
penampilan garang dan reputasi kekerasaJ fisik. Hubungan dengan ara
pemegang kekuasaan juga penting untuk kesuksesan dan kelangsungan h1dup
preman, membuat mereka kebal hukum dan sanksi resmi. Menghadapi jaringan
patronase yang tidak dapat diprediksi sejak tahun 1998 dan pasar pemerasan yang
kompetitif dan tidak terpusat, alasan-alasan dan pembenaran-pembenaran baru
haruslah dibuat. Ironisnya, apa yang dianggap sebagai peningkatan kejahatanlah
yang memberikan kepada preman peluang-peluang paling menguntungkan untuk
pemerasan, umumanya dalam samaran vigilantisme anti maksiat. Komoditaskomoditas tradisional preman, seperti pelacuran, perjudian, obat-obatan dan
alkohol, dijauhi oleh jenis baru "gangster bermoral" yang terilhami oleh agama
ini, bagian dari jualan mereka kepada masyarakat adalah bahwa mereka akan
menghilangkan jenis-jenis praktik ilegal ini.
Bab ini berargumen, fenomena "preman Islam" menyarankan bahwa hasrat
untuk memperoleh akses kepada sumber daya dan keuntungan instrumental
melalui pemerasan dan patronase politik adalah faktor penting, tidak jarang juga
menjadi faktor utama, keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi
sebagai militan yang menggantikan komitmen ideologis yang sering disangkakan.

Militansi Islam mengandung ekonomi-politiknya sendiri. Proposisi ini ditelaah
melalui analisis atas praktik-praktik, politik, dan retorika dua kelompok yang
muncul di lingkungan pasca-Orde Baru yang memadukan retorika Islam militan
dengan premanisme: Forum Betawi Rempug (FBR) dan Front Perjuangan Islam
(FPI).
2.

PREMAN PRIMORDIAL: FBR

FBR dibentuk di Jakarta pada Juli 2001 untuk menanggapi meningkatnya
perebutan kekuasaan penuh kekerasan antara preman etnik Betawi dan adura di
Jakarta Timur. 3 Berdasarkan realitas sebagai produk dari keragaman etmk dan
budaya Jakarta, orang Betawi mengklaim status sebagai penduduk asli ibu kota.
FBR berbasis di wilayah semi-industrial Penggilingan di Cakung, Jakarta Timur.
FBR menyebutkan bahwa gelombang migrasi yang tak terkendali ke ibu kota bukan
saja penyebab terampasnya hak ekonomi orang Betawi asli, tetapi juga merupakan
sumber kerusakan moral. 4 Para pendatang di ibu kota dipersalahkan atas tmggmya
tingkat pengangguran dan kejahatan. Mereka itu juga dianggap sebagai pembawa
penyakit-penyakit sosial seperti pelacuran, perjudian, dan menurunnya tingkat
kesalehan agama. Semua hal ini mendorong FBR untuk melancarkan razia-razia

3

Perang memperebutkan wilayah kekuasaan ini membawa kepada pembentukan sejumlah kelompok:
kelompok Betawi juga, termasuk Ikatan Betawi Tanah Abang (IKB), Gerakan Ketahanan Betawi
Indonesia (GKBI) dan Forum Komunikasi Betawi (Forkabi). Untuk informasi Iebih lanjut meng nm
latar belakang FBR, lihat Widiyanto (2006), Wilson (2006) dan Brown dan Wilson (2007). Lihat juga
halaman berwama plat 9 dan 10.
4. Wawancara dengan Fadloli el-Muhir, Jakarta 2005.

Ian Douglas Wilson

"Selama Caranya Halal"

ke tempat-tempat yang diidentifikasi sebagai sarang kemaksiatan. Perilaku yang
dianggap ofensif terhadap Islam ditempelkan kepada orang-orang luar. Menurut
pemimpin FBR, Fadloli el-Muhir, pembangunan pesat Jakarta telah meninggalkan
orang Betawi dalam keadaan terlantar dan terpinggirkan. 5 FBR mengklaim bahwa
Jakarta tidak seperti wilayah lain, seumpama Bali, yang pelaksanaan otonomi
lokal dan desentralisasi telah membuat penduduk setempat memperoleh kursi di
parlemen dan standar hidup yang meningkat. Ibu kota bangsa ini tidak mendapat

keuntungan yang sama. 6
Namun, penekanan FBR pada kemarahan atas nama moral muncul dari konteks
perebutan wilayah kekuasaan terkait usaha perlindungan keamanan. Kelompok
ini menggunakan banyaknya jumlah anggota dan reputasi kekerasannya untuk
membangun usaha ilegal, menekan bisnis-bisnis untuk mempekerjakan anggotaanggota mereka di wilayah-wilayah kekuasaannya dengan dalih pemberdayaan
etnis Betawi. FBR tumbuh cepat dengan retorika militannya, janji akan pekerjaan,
dan penyediaan layanan-layanan sosial seperti bantuan hukum, mobil ambulans,
pelatihan kerja dan, dalam beberapa kesempatan, pendidikan bersubsidi bagi para
anggotanya. Semua ini ditopang oleh keanggotaan yang sebagian besar terdiri
dari pemuda pengangguran, preman, dan mereka yang bekerja di sektor ekonomi
informal seperti tukang ojek. Slogan mereka agresif: "yang kurang ajar ... hajar!".
Pada tahun 2003 keanggotaan FBR di wilayah DIG Jakarta telah bertambah
menjadi sekitar 60 ribu. FBR diorganisir melalui jaringan pos-pos komando yang
disebut gardu yang berjumlah sekitar 300 buah. Biasanya gardu-gardu ini terletak
di titik-titik ekonomi yang strategis, seperti pasar-pasar, terminal-terminal, dan
perempatan-perempatan yang sibuk, yang merupakan tempat yang tepat bagi para
anggota untuk mencari peluang-peluang.
Fadloli el-Muhir adalah mantan wartawan dan mantan politisi pada sayap
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-nya Soerjadi yang disokong oleh Soeharto,
pernah juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memberi

saran kepada presiden. 7 Dia mendapat pendidikan agama di Pesantren Bani Latief
di Banten dan selanjutnya nyantri selama tujuh tahun di Pesantren Lirboyo di
Kediri, yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Dia meneruskan studinya
di Universitas Islam Asy-Syafi'iyyah di Jakarta, aktif dalam Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Pada tahun 1997, dia mendirikan Gerakan Santri Indonesia (GSI)
yang salah satu dari tujuan-tujuan utamanya adalah memerangi maksiat dan
mendorong diadopsinya aturan berpakaian Islam oleh perempuan. Pada
pertengahan tahun 1990-an, dia telah bergelar kiai dan mendirikan Pesantren
Ziyadatul Mubtadi'ien dan panti yatim di Cakung.
Di samping pendidikan agamanya yang panjang dan kredibilitas keislamannya,
otoritas Fadloli el-Muhir dalam FBR bersumber terutama dari kepercayaan
pada kekuatan ilmu gaibnya. Pada tahun 2002, semasa bentrokan dengan

preman Madura di Cakung, Fadloli diceritakan selamat tanpa cedera setelah
dihujani tusukan senjata tajam. Cerita kekeb'illan tubuhnya segera tersiar dan
perlahan menjadi mitos. Di dunia prem n, ilmu kebal adalah unsur penting dalam
membangun otoritas dan siapa yang memilikinya akan cepat memperoleh pengikut.
Fadloli dipercaya tidak hanya mem1liki ilmu kebal, tetapi juga mendapat amanat
suci untuk memimpin masyarakat Betawi yang terampas haknya menuju zaman
keemasan penuh kesejahteraan. Kekebalannya dan statusnya sebagai kiai, serta

koneksi-koneksinya dengan para penguasa, termasuk hubungan dekat dengan
anak-anak Soeharto dan Gubernur Jakarta Sutiyoso, menjadikannya model jawara
sekaligus orang kuat dan makelar kekuasaan.
Jawara adalah sosok ambigu yang selalu muncul sepanjang sejarah wilayah ini
yang bertindak sebagai ( 1) agen penindasan negara dan kontrol sosial; (2) sebagai
bandit dan penjahat; (3) sebagai pemimpin informal masyarakat dan pemimpin
pemberontakan terhadap apa yang dianggap sebagai ketidakadilan. Fadloli telah
sengaja menghubungkan dirinya dengan jawara sekaligus pahlawan masyarakat
Betawi seperti Si Pitung, seorang bandit sosial seperti Robin Hood yang dipercaya
telah membagi-bagikan sebagian hasil kejahatannya kepada orang-orang miskin.
Fadloli membawa mitos lama ini ke masa sekarang, sambil berargumen bahwa
hak-hak orang Betawi telah dicuri, dan untuk mengembalikannya diperlukan jihad.
Apabila hukum menindas orang Betawi, maka ia harus dilawan dengan cara apa
pun, selama cara itu halal. 8
Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam konstruksi identitas Betawi
(FBR), yang juga bersumber dati budaya kegarangan jawara dan preman dan
tradisi pencak silat, dipadukan dengan kepemimpinan moral pemimpin agama
seperti kiai dan ulama. Ikrar keanggotaannya mengharuskan para pengikut untuk
bersumpah menjalankan hukum syariah dan berjanji memerangi maksiat. FBR
menjelaskan programnya dengan "tiga S" (salat, silat, sekolah), menggunakan tata

dunia tradisional Betawi yang ideal, suatu dunia yang didominasi oleh kiai,
institusi-institusi pesantren, dan gardu.
Dalam praktiknya, keberagamaan dalam FBR mengikuti garis tradisionalkonservatif NU yang mencerminkan latar belakang Fadloli dan juga norma-norma
agama yang ditemukan dalam masyarakat Betawi. Dia memberikan pelajaran
agama kepada para anggota yang tertarik dari kitab-kitab kuning berbahasa Arab
yang banyak dipakai di pesantren, berbarengan dengan kursus-kursus regular
membaca Al-Qur'an. Sebagian anggota FBR buta huruf sehingga mereka tidak
bisa atau tidak mau ikut serta. Kursus-kursus ini santai, sering menjadi alasan
untuk mengobrol, nongkrong, dan merokok. Kebanyakan anggotanya adalah
Muslim di KTP. Kesalehan diasumsikan menyatu dalam kebetawian mereka yang
didefinisikan berlawanan dengan orang-orang luar yang dianggap tidak saleh,
bukannya berasal dari sesuatu yang dicari dengan aktif melalui belajar, bukubuku pedoman atau pelaksanaan kewajiban agama secara rutin. 9 Acara-acara

194

5
6

7

Wawancara dengan Fadloli el-Muhir, Jakarta 2005.
Wawancara dengan Fajri Husen, Kepala Cabang FBR Jakarta Pusat, Jakarta, 2006.
. Pada 1996 PDI terbelah menjadi dua faksi setelah pemerintah, yang prihatin pada meningkatnya
popularitas pemimpin partai terpilih, Megawati Soekamoputri, menyokong suatu kongres tandingan
yang menunjuk Soerjadi sebagai ketua partai. Para pendukung faksi Megawati dikeluarkan dari kantor
pusat di Jakarta dengan menggunakan kekerasan pada tahun 1996.

8
9

195

Wawancara dengan Fadloli el-Muhir, Jakarta 2005.
Hal ini didemonstrasikan dengan jelas dalam sebuah pertemuan FBR yang saya hadiri pada tahun
2005. Fadloli menutup pertemuan, meminta ratusan anggota yang hadir untuk melaksanakan salat
Maghrib berjamaah. Sementara Fadloli dan beberapa pengurus pergi ke masjid, anggota-anggota biasa
berkelahi satu sama lainnya memperbutkan makanan yang disediakan.

197

Ian Douglas Wilson

"Selama Caranya Halal"

komunal kelompok ini selalu menjajarkan tontonan-tontonan kesalehan melalui
salat berjamaah dengan kemampuan fisik dalam bentuk seni bela diri. Keduanya
merupakan pendahuluan untuk acara utama, versi erotis dari musik dangdut
kampung. 10
Misi FBR untuk memerangi dosa dan maksiat telah berjalin berkelindan
dengan klaimnya atas hak-hak ekonomi istimewa bagi orang Betawi, telah menjadi
strategi kunci guna memperluas wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya,
maksiat didefinisikan dalam hubungannya dengan siapa yang mengendalikannya.
Tuduhan-tuduhan pelacuran dan perjudian telah dipakai sebagai dalih untuk
merebut kontrol ataswilayah-wilayah yang dipegang oleh preman saingan, seperti
di wilayah Pasar Minggu. Tetapi, di tempat-tempat di mana FBR dominan ada
bar-bar dan klub-klub, termasuk yang terkenal dengan pelacurannya, beroperasi
tanpa gangguan selama sumbangan rutin dibayarkan pada kelompok ini.
Sejak akhir tahun 2004, hasrat memperluas daerah kekuasaan dan
menggabungkan diri dengan elite-elite politik mendorong FBR mengambil dua
arah yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia mulai melonggarkan kriteria-kriteria
keanggotaannya. Awalnya ia tidak menerima anggota non-Muslim, dan untuk
non-Betawi diberi status keanggotaan sementara. Namun, FBR menghadapi
kesulitan ketika melebarkan sayapnya ke Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat karena
kebanyakan preman yang mengendalikan wilayah-wilayah itu orang-orang Ambon
Kristen dan Papua Barat. FBR dengan radikal merevisi kriteria keanggotaannya
untuk mempersatukan para preman ini tanpa harus terlibat dalam perkelahian
berkepanjangan. Akhirnya, dibuatlah ikrar non-Islam dan kebetawian yang
didefinisikan ulang menjadi sesuatu yang lebih ambigu sebagai "mereka yang
nasibnya terikat pada nasib Jakarta" . 11 Hasilnya, anggota-anggota FBR menjadi
lebih beragam dari sisi etnis dan agama, tetapi dasar sosialnya di dunia preman
Jakarta juga terkonsolidasi.
Bersamaan dengan besarnya jumlah preman non-Muslim yang bergabung ke
FBR, retorika keagamaan Fadloli menjadi semakin tanpa kompromi. Dukungan
kuat di Jakarta untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Pemilu 2004, saat itu
FBR mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar,
mendorong kepemimpinan FBR untuk memikirkan ulang aliansi-aliansi politiknya.
Kemudian, sebuah keputusan diambil untuk mendukung kekuatan politik yang
baru muncul di Jakarta. Serangan-serangan FBR terdahulu terhadap NGO-NGO
yang kritis pada Gubernur Jakarta membukakan jalan kepada aksi-aksi bersama
PKS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan FPI dalam memprotes intervensi Amerika
Serikat di Timur Tengah dan mendukung sejumlah agenda lain yang diusung
oleh kelompok-kelompok Muslim garis keras. 12 Fadloli juga bergabung dengan

kelompok-kelompok ini di depan publik untuk menyerukan penerapan hukum
Islam di Jakarta dan lobi untuk melepas Abu Bakar Ba'asyir.
Pergeseran menuju posisi yang secar'il publik lebih militan ini tidak diterima
dengan mudah oleh semua anggota FBR. Rekrutan-rekrutan non-Muslim baru
ternyata dirasa dapat mengancam ppsisi mereka di dalam kelompok dan
mengurangi otoritas mereka di jalanan. Aliansi-aliansi baru ini juga menguak
perbedaan budaya dan sosial antara aktivis keagamaan terpelajar kelas menengah
dari PKS dan HTI, juga para preman jalanan FBR, yang dalam obrolan-obrolan
menjelaskan pihak yang disebut pertama sebagai "ingin jadi orang Arab" dan
"tidak menarik". Di acara-acara FBR yang dihadiri perwakilan-perwakilan HTI
dan PKS, penampilan-penampilan dangdut digantikan dengan qasidah rebana,
yakni pertunjukan seni yang terdiri dari adaptasi-adaptasi puisi Arab yang
dinyanyikan dalam bahasa Melayu dan diiringi oleh tepokan ritmis gendang, yang
ditampilkan oleh para istri anggota FBR. Anggota-anggota non-Muslim FBR secara
umum tidak ambil bagian dalam rapat-rapat umum dengan HTI, MMI, dan PKS.
Dalam kenyataannya, para anggota baru yang non-Muslim tidak perlu
merasa khawatir. Pada akhirnya faktor-faktor seperti kejagoan, kendali atas
daerah kekuasaan, dan penerimaan atas otoritas Fadloli-lah yang menentukan
posisi di dalam organisasi. Bagi pemimpin FBR, aliansi-aliansi dengan kelompokkelompok garis keras juga akhirnya bersifat strategis dan bertujuan mengganti
hilangnya dukungan untuk FBR dari dalam pemerintah Jakarta yang semakin
kehilangan kesabaran menyaksikan terlibatnya kelompok ini dalam kontroversi
dan tuntutan-tuntutannya akan konsesi-konsesi. Dalam hal ini, strategi baru
tidaklah berhubungan pergeseran internal dalam nilai-nilai maupun prioritasprioritas.

196

10

Di acara-acara ini para penyanyi dangdut harus dilindungi oleh petugas keamanan khusus dari cumbuancumbuan penuh nafsu anggota-anggota FBR, yang mencoba memasukkan uang tip di belahan dada para
penyanyi.
0
Wawancara dengan pengurus FBR, Jakarta, 2006. Sebelumnya para anggota diminta untuk menunjukkan
garis atas keturunan keluarga di Jakarta sepanjang setidaknya dua generasi.
12
Fadloli dan pemimpin HTI bersama-sama membiayai Suara Islam,koran bulanan yang berfokus
terutamanya pada topik-topik politik Timur Tengah, seperti perjuangan Palestina, teori konspirasi
Yahudi dan ancaman imperialisme US. Koran ini dapat dilihat di .

3.

ORANG-ORANG RADIKAL SIMBOLIS: FPI

FPI (Front Pembela Islam) memiliki misi Islam yang jauh lebih jelas yang
diartikulasikan secara berbeda dari FBR. Tujuan jelasnya adalah melaksanakan
perintah Al-Qur'an, yakni amar ma'ruf nahi mungkar (memerintahkan perbuatan
baik dan menghalangi perbuatan jahat). Guna mencapai tujuan ini, FPI dibagi
ke dalam dua divisi, masing-masing melapor atau bertanggung jawab kepada
sebuah dewan penasehat pusat yang langsung melapor kepada pendiri sekaligus
pimpinan FPI, Habib Rizieq Shihab (lihat halaman berwarna, plat 11). Divisi
Jemaah bertanggung jawab atas amar ma'ruf (melaksanakan perbuatan baik) yang
tecermin dalam clakwah dan dorongan kepada masyarakat setempat untuk
mengikuti shalat berjemaah dan melaksanakan kewajiban-kewajiban dasar agama.
Nahi mungkar (mencegah perbuatan jahat) adalah tugas milisi FPI, Laskar
Pembela Islam. Prinsip ini telah menyediakan alasan atas sejumlah aksi vigilante
(mengambil tindakan hukum menurut versi sendiri) oleh FPI terhadap bar-bar di
Jakarta, klub-klub dan tempat-tempat main bilyar sejak tahun 1998.13
13

Untuk keterangan lebih terperinci mengenai aksi-aksi vigilante FPI, lihat Wilson (2006) dan AlZastrouw (2006).

Ian Douglas Wilson

"Se/ama Caranya Halal"

FPI berargumen bahwa umat Islam di Indonesia berada dalam serangan yang
serius dari dekadensi moral, sekularisme, liberalisme dan ketidaksesonohan Barat yang
dipercepat oleh reformasi demokratis. Ia menekankan bahwa meskipun membawa
pada kebebasan yang lebih besar, reformasi telah terkorupsi oleh ekses-ekses ini dan
disertai runtuhnya struktur moral masyarakat. Semua ini dibuktikan dengan penyebaran
tak terkontrol usaha-usaha yang "menjajakan maksiat", misalnya diskotik- diskotik, barbar, pusat-pusat hiburan dan berbagai bidang lainnya seperti pomografi, pelacuran, dan
obat-obatan terlarang. 14 Badan-badan penegak hukum milik negara, khususnya polisi,
dianggap tidak mau atau tidak mampu menegakkan peraturan hukum yang ada karena
rentan jeratan korupsi dan terlibat dalam kejahatan yang terorganisir sehingga usaha
menangani kemaksiatan itu dianggap menjadi kewajiban warga-warga yang saleh.
Mereka juga beranggapan bahwa Islam juga telah dikhianati oleh para pembaharu liberal
seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan para "penyimpang" lainnya seperti
sekte Ahmadiyah dan Jaringan Islam Liberal (JIL) .15
Menurut Rizieq, Nabi Muhammad tidak pemah mendiskusikan hal-hal rinci
tentang negara Islam dan hanya peduli pada penciptaan suatu masyarakat yang
berdasar pada syariah (Al-Zastrouw, 2006: 114). FPI telah menafsirkan ini sebagai
panggilan untuk mereformasi moralitas publik, mempromosikan syariah dan bukan
secara langsung menantang keberadaan negara-bangsa. Rizieq berpendapat,
"Apabila moral dan karakter tidak direformasi maka akan sia-sia membicarakan
reformasi ekonomi, urusan-urusan politik, dan hukum" (Guerin, 2004). FPI telah
menjadi penyeru yang vokal untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta yang isinya
mewajibkan pelaksanaan syariah kepada semua Muslim, yang diatur dalam konstitusi.
Partai-partai politik Islam dulu telah mengusulkan dimasukkannya Piagam Jakarta
ini ke dalam versi asli UUD 1945, tetapi batal karena ada keberatan dari kalangan
nasionalis Kristen
FPI (Front Pembela Islam) menyebut Ahlus Sunnah wal-famaah, bentuk
lama Sunni Islam konvensional sebagai orientasi keagamaannya. Kelompok ini
membedakan pemahamannya atas Ahlus Sunnah wal-famaah dari pemahaman arus
utama yang diadopsi oleh Muhammadiyah dan NU sambil mengatakan bahwa
tafsirannya lebih dekat kepada ajaran salafis. 16 Namun, FPI tidak seperti kelompok
salafis semacam Laskar Jihad. FPI tidak bersikap eksklusif terhadap masyarakat
lokal atau membuat para anggotanya menganut aturan-aturan ketat untuk perilaku
maupun cara berpakaian. Salafisme FPI sebagian besamya bersifat simbolik. Ia
tidak muncul dalam praktik sehari-hari, melainkan dalam identitas Islam yang
ditampilkannya kepada publik melalui aksi vigilante dan demonstrasi-demonstrasi
massa. Jenis keterlibatan dengan politik macam ini bukan satu kekhasan salafisme
ortodoks yang artinya dapat menggarisbawahi sifat strategisnya. FPI mencoba untuk
menciptakan sendiri aura legitimasi keagamaan melalui penekanan pada identitas
pemumi ini di ranah publik.

Rizieq lahir pada tahun 1965 dari orang tua berdarah Betawi dan Yaman,
memulai pendidikan agamanya di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahun Islam dan
Arab) yang didanai Arab Saudi di Jakarta. Rizieq dianggap oleh para tetangga sebagai
pembuat onar yang gemar berkelahi. Kemudian, dia dikirim oleh keluarganya ke
King Saud University di Arab Saudi dalam rangka "meluruskannya". Di sana dia
I'
mendapat gelar di bidang hukum Islam. Rizieq pulang kampung dalam keadaan
telah berubah dan bersama dengan sejumlah orang dari komunitas habib Jakarta
mendirikan FPI. 17
FPI tampil ke hadapan publik pertama kalinya di masa pergolakan politik
1998 sebagai bagian dari milisi Pam Swakarsa yang pro-Habibie yang dibentuk
oleh Jendral Wiranto untuk membatasi gerakan mahasiswa pro-reformasi. Setelah
itu, kelompok ini terlibat dalam bentrokan berdarah dengan gangster Ambon di
Ketapang yang berujung pada tewasnya 15 orang. Menurut kepala kepolisian
Jakarta saat itu, Noegroho Djajoesman, polisi awalnya mendukung FPI sebagai
tandingan atas keekstreman gerakan reformasi oleh mahasiswa.18 Dukungan ini
berbentuk logistik sekaligus keuangan. Nugroho menyatakan bahwa pada situasi
setelah krisis 1998, pendekatan tangan besi yang dulu dipakai untuk menghadapi
milisi sipil tidak mungkin lagi digunakan. Akhirnya, polisi mencari pengganti
melalui usaha mencoba untuk 'mengendalikan' dan berkompromi dengan FPI dan
kelompok-kelompok serupa dengan menyalurkan dana yang diperoleh sebagian
besarnya dari kalangan pengusaha di Jakarta kepada para pemimpinnya. Rencana
ini gagal. Di dunia politik yang baru dibuat demokratis dan terdesentralisasi
kesepakatan-kesepakatan "beking" macam itu tidak lagi mengikat. Seiring
berjalannya waktu, FPI semakin independen dari aparat negara yang mendanainya.
Preman dalam FPI menduduki bagian khusus dan penting yang berbeda
dengan organisasi sebagaimana di FBR. Divisi Jamaah terdiri terutama dari para
mahasiswa, aktivis keagamaan, dan pihak lain yang tertarik dengan misi FPI
untuk memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk. Kebanyakan dari
mereka adalah anggota masyarakat lokal yang mengikuti salat berjemaah FPI di
masjid-masjid lokal. Mereka tidak men.jalani proses inisiasi yang formal, namun
tetap dihitung oleh organisasi ini sebagai anggota Divisi Jemaah. Bagian terbesar
dari anggota terdiri dari preman, anak jalanan, dan pemuda pengangguran yang
telah direkrut ke dalam milisi milik kelompok ini. 19 Para anggota laskar tidak
menerima arahan keagamaan dan jarang menghadiri salat jemaah atau ceramah
agama seperti para anggota Divisi Jemaah. Pelatihan mereka berfokus terutama
pada seni bela diri dan pengembangan keterampilan-keterampilan fisik yang
dibutuhkan dalam aksi-aksi razia. 20 Semasa pelatihan, FPI mengajarkan kepada

198

14
15
16

Wawancara dengan Habib Rizieq Shihab, Jakarta, 2005.
Wawancara dengan peara pengurus FPI, Jakarta, 2005.
Orang-orang salafi mengklaim bahwa Islam sejati telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad, sahabatsahabatnya dan dua generasi sesudah mereka, para "pendahulu yang saleh" atau as-salaf as-saleh.
Dengan demikian mereka mencoba untuk mengamalkan Islam dengan mengikuti praktik-praktik
secara ketat di periode terdahulu itu.

199

Habib adalah suatu komunitas dari keturunan Timur Tengah yang mengikuti garis keluarga hingga
kepada Nabi Muhammad (lihat Mohammad, Perdana, dan Haryadi, 2000). Rizieq mengaku diturunkan
dari Suku Quraisy di Yaman, suku yang sama dengan suku Nabi Muhammad.
18 Wawancara dengan Noegroho Djajoesman, Jakarta, 2006.
'g Rekrutmen ini sering terjadi dalam konteks aksi vigilante, yakni saat para anggota Laskar FPI meminta
para preman yang melindungi target razia mereka untuk bergabung ke dalam kelompok mereka.
Dalam hal ini afiliasi dengan FPI akan memberikan perlindungan pada preman lokal dari razia-razia
pada masa yang akan datang.
20
Awalnya mereka menerima pelatihan ilmu kebal bersama dengan program "paket pelatihan ilmu
17

Ian Douglas Wilson

"Selama Caranya Halal"

anggota-anggota laskar bahwa tugas mereka adalah memerangi kejahatan dan
tindakan-tindakan mereka adalah untuk Allah. Mereka juga dapat penjelasan,
pimpinan FPI adalah cerminan sejati Islam. Kesetiaan dan kesalehan mewujud
dalam kepatuhan tanpa tanya. Mereka yang mempertanyakan (kewenangan) para
pemimpin dicap sebagai bughat, "orang yang membangkang terhadap otoritas
agama" (Al-Zastrouw, 2006: 107). Seperti Fadloli, Rizieq adalah sumber agama
tak terbantahkan dan otoritas duniawi. Hal ini tercipta dari asal-usul Timur Tengahnya yang disamakan dengan kebenaran agama. Rizieq sebagai seorang orator
kharismatik dan berapi-api dihormati layaknya orang suci (wali). Hal itu tampak
dari penjelasan oleh seorang anggota:

2006). FPI juga telah memobilisasi unjuk rasa besar melawan intervensi Amerika
di Afganistan dan Irak; mengancam akan melakukan razia-razia orang asing di
Jakarta; dan merekrut "para pejuang suci" tfntuk berperang di Irak, Lebanon, dan
Thailand Selatan. 22 Target-target dipilih untuk memaksimalkan ekspos kelompok
tersebut pada publik dan menarik perhatian kepada keberadaannya. Berdasarkan
alasan inilah aksi-aksi FPI sering seolah-seolah telah diskenario terlebih dahulu.
Di luar aksi-aksi ini, FPI memiliki sedikit kegiatan-kegiatan terstruktur selain
ceramah-ceramah mingguan. FPI telah mampu membesar-besarkan pengaruhnya
melalui penggunaan kekerasan penuh perhitungan dan kejahatan berskala kecil.
FPI juga berhati-hati agar tidak melampaui batas kekerasan yang lebih ekstrem
yang akan diidentifikasi sebagai aksi terorisme atau yang dapat memprovokasi
pemerintah untuk membubarkannya.
Setelah pemboman Bali pada Oktober 2002, meningkatnya pemeriksaan dan
kecurigaan terhadap kelompok-kelompok Islam militan membuat banyak donordonor keuangan meninggalkan FPI. Kenyataan ini memberi beban yang lebih
besar kepada para anggota untuk mencari sendiri sumber-sumber pendapatan
sehingga berpotensi meningkatkan godaan menerima gaji dan suap. Misal, seorang
pemilik bar yang ditarget razia FPI menyatakan bahwa sebelum serangan itu, dia
telah didekati dan ditawari suatu kesepakatan yang akan membuatnya membayar
sejumlah uang setiap bulannya. 23 Para pemimpin FPI telah secara serius menyikapi
tuduhan-tuduhan bahwa anggota-anggota melakukan pemerasan. Setelah Rizieq
dilepaskan dari penjara pada tahun 2003, tempat dia dikurung selama tujuh bulan
karena menyebarkan kebencian, kelompok tersebut memperketat kriteria
keanggotaannya. FPI juga mengeluarkan beberapa ulama dan anggota bawahan
yang dituduh menerima bayaran. Rizieq mengklaim bahwa FPI telah disusupi oleh
preman yang bekerja untuk mereka yang menjalankan usaha-usaha perjudian dan
pelacuran, bersama pihak-pihak lain yang berniat menghancurkan Islam. 24 Menurut
pendiri FPI dan mantan sekretaris jendralnya, Misbahul Anam, "Organisasi ini
tumbuh begitu cepat dan terlalu sedikit perhatian diberikan kepada orang-orang
rekrutan yang, sebelum kami mengetahui, penuh dengan orang-orang yang tidak
bisa menyesuaikan diri" (wawancara, Jakarta, 2003).

200

Habib Rizieq benar-benar dicintai Allah. Dia tidak menggunakan uang untuk
mencapai tujuan-tujuannya. Gaya hidupnya yang sederhana dan bersahaja
mencerminkan sifat-sifat khas Nabi Muhammad: lentur tapi tegas, siap bangkit
dan berkorban untuk kebenaran (wawancara dengan anggota milisi FPI, Jakarta,
Juni 2006).

Meskipun terlihat tanpa kompromi di kampanye-kampanye jalanan untuk
amar ma'ruf nahi mungkar, target-target yang dipilih FPI telah diperhitungkan
sebelumnya dan benar-benar terseleksi. Menurut Alawi Usman, kepala unit
investigasi FPI yang bertanggung jawab untuk menemukan tempat-tempat
maksiat/ 1 kelompok tersebut mengikuti "garis-garis prosedural yang ketat" dalam
mengidentifikasi target, menyelidiki laporan dari penduduk lokal. Kemudian,
mengonfirmasi dan mengajukan keberatan formal kepada polisi. Kekerasan hanya
digunakan sebagai jalan terakhir apabila polisi tidak bertindak. Meskipun polisi
jarang menindaklanjuti keluhan-keluhan FPI, kedatangan mereka ke kantor polisi
menyediakan kesempatan untuk memberi peringatan awal kepada usaha- usaha
yang berada dalam daftar teratas FPI. Kemudian, mereka dapat membayar untuk
perlidungan polisi, memperkuat keamanan mereka sendiri, atau memberi FPI
tawaran. Bar-bar dan klub-klub malam adalah tempat tradisional bagi para
preman. Hal ini membuat FPI mesti mempertimbangkan dengan serius kekuatan
dan koneksi-koneksi targetnya dan juga nilai-nilai simbolik potensialnya saat
merencanakan suatu serangan. Contoh, industri video porno lokal yang sangat
menguntungkan tidak terkena keganasan FPI karena ada tokoh-tokoh militer
berpangkat tinggi yang terlibat di dalamnya. Akibat-akibat yang lebih besar
mungkin muncul jika mengganggu kepentingan bisnis militer yang berpengaruh
atas perolehan material maupun simbolik apa pun juga.
Selain bar, klub dan rumah bordil, target-target kemarahan moral FPI termasuk
kompetisi Miss Indonesia dan Miss Banci, kelompok musik Dewa, sinetron
Meksiko, sekte-sekte Ahmadiyah dan Wahidiyah, JIL, dan gereja-gereja liar (Wilson,

4.

21

GERAKAN ANTI PORNOGRAFI DAN ANTI PLAYBOY:
SEBUAH FRONT ISLAM?

Pembentukan sebuah komisi khusus di DPR yang membahas Rancangan
Undang-Undang Anti Pornografi (RUU-AP) pada September 2005 memicu FPI dan
FBR bergerak lagi ke bawah sorotan publik. Naskah RUU memiliki akibat-akibat
yang jauh jangkauannya untuk pengaturan moralitas publik, melampaui aturanaturan media cetak dan elektronik karena dalam definisi "pornoaksi" sangat beragam
22

kebal" yang ditawarkan oleh kelompok ini pada eksekutif-eksekutif Jakarta dan kelompok kelas
menengah. Im berakhir etJka. Misbahul Anam, salah seorang pendiri FPI, meninggalkan kelompok
ini pada tahun. 2003. Ketika ditanya mengenai ilmu kebal, Rizieq menyatakan bahwa itu merupakan
perbuatan symk dan tJdak sesum dengan Islam (wawancara dengan Habib Rizieq Shihab Banda Aceh
Januari 2005).
'
Unit investigasi adalah divisi khusus yang terlatih dalam komite pusat FPI.

201

23

24

Beberapa lusin pelaku jihad mendaftar, tetapi karena kekurangan dana dan gaga! mendapat paspor, tidak
satu pun meninggalkan negeri ini.
Wawancara rahasia, Jakarta, 2006. Dalam kesempatan-kesempatan yang lain prosesnya dibalik dan para
korban membayar setelah serangan dilancarkan untuk menjamin bahwa mereka tidak akan ditarget
lagi. Serangan ini jadinya berfungsi sebagai bukti untuk kemampuan FPI membuat kerusakan.
Wawancara dengan Habib Rizieq Shihab, Jakarta, 2005.

202

"Selama Caranya Halal"

Ian Douglas Wilson

tetapi ambigu. Para pengkritiknya melihatnya sebagai "syariah dalam samaran"
dan serangan besar terhadap hak-hak perempuan dan kebebasan berekspresi yang
mengancam akan mengkriminalkan ungkapan-ungkapan seksualitas, serta
menyensor seni dan budaya (Suryakusuma dan Lindsey, 2006).
Bagi FPI dan FBR, RUU tersebut berpeluang menyediakan dasar hukum yang
konkret untuk kampanye-kampanye anti maksiat merek. Mereka segera turun ke
jalan sebagai para pendukungnya yang paling vokal. Kesamaan dukungan untuk
RUU tersebut menjadi penyebab terbentuknya aliansi baru antm·a FBR, FPI, dan
sejumlah kelompok lainnya di kalangan Islam pinggiran di Indonesia (HTI, MMI,
DDII) di bawah bimbingan moral MUI dan naungan politik PKS.
Debat publik mengenai RUU tersebut memanas sampai Mei 2006. Akhirnya,
debat berubah menjadi pertempuran antara kelompok-kelompok sekuler, pluralis,
dan liberal berhadapan Islam konservatif yang berada di kelompok-kelompok arus
utama dan radikal.2 5 Namun, di belakang berbagai unjuk rasa dan retorika itu,
politik yang lebih dikenal soal mencari uang, pengaruh, dan kekuasaan sedang
bermain. Bagi debat anti pornografi memudahkan penguatan hubungan
strategisnya dengan MUI. Hal ini didorong oleh pertimbangan-pertimbangan
keuangan dan ideologis. MUI sebagai produk dari upaya-upaya Orde Baru untuk
mengooptasi Islam memiliki status setengah resmi yang memberinya akses kepada
dana pemerintah. 26 MUI juga mengusahakan pendapatan sendiri dari penerbitan
sertifikat halal untuk para pembuat makanan (Sijaba, 2006). MUI dapat meminta
dana sosialisasi untuk dukungannya atas RUU AP dari Departemen Agama yang
sebagiannya dibagi-bagikan kepada organisasi-organisasi Islam yang mendukung
agendanya. 27
Akhirnya, FPI menemukan rekannya yang sempurna yaitu MUI. MUI
menyediakan sumber eksternal untuk pembenaran teologis bagi kampanye nahi
mungkar-nya FPI melalui sebuah fatwa yang dibuat pada tahun 2005. Fatwa itu
menghujat semua hal mulai dari liberalisme, sekularisme, dan pluralisme hingga
pornografi dan kawin campur. MUI menyediakan akses dana kampanye tersebut
melalui sokongan keuangannya. MUI juga mendapat untung dari aliansi tersebut.
MUI dapat bergantung pada FPI untuk memberi tekanan politik atas namanya tanpa
otoritas untuk menegakkan fatwa atau mendorong RUU AP sendiri. Dukungan
kelompok-kelompok militan seperti FPI telah menolong MUI memapankan diri
sebagai lembaga Islam independen, meski masih digaji pemerintah, mirip dengan
apa yang digambarkan oleh Ahmad Suaedy sebagai "perusahaan milik negara"
(Sijaba, 2006). Pada Juni 2006, MUI mendeklarasikan pembentukan Front Islam
Bersatu yang terdiri dari 40 organisasi yang mengikrarkan komitmen mereka untuk
"menyelaraskan" program masing-masing di bawah bimbingan MUL 28 Organisasiorganisasi tersebut termasuk FPI, FBR, MMI, dan HTI. Hubungan yang tercipta

beroperasi di satu tingkat yang tidak jauh berpindah dari dinamika usaha-usaha
ilegal. FPI menggunakan fatwa MUI untuk membenarkan aksi-aksi vigilante
menggunakan kekerasan seperti serangan a pada sekte Ahmadiyah, sementara
MUI menggunakan kekerasan ini untuk membenarkan perlunya fatwanya diikuti
agar memastikan "harmoni keagamaan" (Sijaba, 2006).
Contoh lain oportunisme yang mendasari dukungannya pada RUU AP adalah
serangan publik FBR terhadap penyanyi dangdut populer Inul Daratista. Ia terkenal
karena goyang ngebornya yang provokatif. Inul adalah anggota terkemuka dari
Aliansi Bhinneka Tunggal Ika yang menantang RUU tersebut. FBR mengklaim
bahwa goyangan Inul mengancam akan menghancurkan karakter moral pemuda
Indonesia, meskipun FBR juga menggemari versi dangdut yang sama erotisnya.
Mereka mengawasi kediaman Inul dan menutup paksa beberapa karaoke Inul. FBR
juga menuntut supaya Inul dilarang tampil, dan sebagai orang Jawa, menuntutnya
untuk pulang kampung. 29 Oposisi FBR terhadap Inul diberi kerangka moral, tetapi
Jatar belakang opsisi ini tidaklah begitu berbudi. Sebelum debat RUU AP, FBR telah
melobi Inul untuk mempekerjakan anggota-anggotanya di cabang-cabang karaoke
dangdutnya. Inul menolak tawaran tersebut. Apa yang tampak sebagai "kemarahan
moral" FBR tidak banyak berhubungan dengan goyangan pinggul Inul, tetapi pada
penolakannya untuk memberi pekerjaan pada anggota-anggota FBR. 30 Akhirnya,
FBR menemukan kesempatan untuk membalas dendam dan menekankan kembali
klaimnya pada hak-hak wilayah atas kehidupan malam Jakarta melalui debat RUU
AP.31
Ketidaksesuaian yang mirip antara posisi di publik dan pembuatan kesepakatan
diam-diam juga ada pada oposisi FBR dan FPI atas penerbitan majalah Playboy
edisi Indonesia pada tahun 2006. Ketika beredar berita mengenai permohonan
izin penerbitan majalah Playboy yang diisukan bernilai 200 ribu dollar AS, dunia
bawah tanah Jakarta ribut berebut bagian. Majalah tersebut dikepung dengan
permintaan-permintaan bayaran, termasuk dari organisasi-organisasi yang kemudian
menentangnya. 32 FPI memelopori kampanye melawan majalah tersebut dengan
menyerang kantomya di Jakarta, mengintimidasi para karyawannya, dan menyisir
agen-agen koran setempat untuk mencari kopian dari majalah Playboy. Meskipun
dengan isi yang cenderung lebih "jinak" jika dibandingkan dengan publikasi lokal
seperti Lampu Merah, FPI menyatakan Playboy "lebih berbahaya bagi anak muda
Indonesia daripada obat-obatan terlarang". 33 Playboy sebagai ikon p ornografi
adalah target yang tidak bisa ditolak. Hal ini menjadi contoh nyata kerusakan
29
30

31
25

26
27

28

Para islamis akhirnya kalah dalam debat ini, karena RUU itu kemudian ditarik dan mendapat banyak
revisi. Naskah baru RUU saat ini (2008) masih menunggu pengesahan oleh DPR
Untuk inforrnasi lebih lanjut mengenai Jatar belakang MUI, lihat Ichwan (2005).
Wawancara dengan Ahmad Suedy, Direktur Wahid Institute. Jakarta, 2006. Organisasi-organisasi ini
harus membayar mahal. Ongkos demo biasanya antara Rp 15.000 hingga Rp 100.000 per orang,
untuk menutup biaya bensin, makanan, minuman, banner dan plakat, serta "uang rokok".
Lihat "Ormas Islam Satukan Barisan", Jawa Pos, 22 Juni 2006.

203

32
33

Wawancara dengan Fadloli ei-Muhir, Jakarta, 2006.
Di rumah-rumah para anggota FBR, poster-poster Inul dan bintang dangdut lainnya adalah dekorasi
umum, dan beberapa putri dari para anggota bekerja sebagai penyanyi dangdut di perayaan-perayaan
komunitas. Besarnya popularitas Inul di kalangan FBR barangkali menjelaskan keganasan tanggapan
mereka terhadap penghinaannya.
Di televisi nasional Fadloli melanjutkan cercaannya, menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang
terlibat dalam alinasi tersebut "tidak bermoral" dan "setan". Hal ini mendorong mantan ibu negara
Sinta Nuriyah mengajukan tuntutan hukum melawan Fadloli. Kasus ini pada akhimya dihentikan
setelah ada intervensi dari suami Sinta, Abdurrahman Wahid. Namun demikian, Wahid adalah
pengkritik FBR dan FPI yang konsisten dan seorang pendukung perubahan UU yang mengatur
organisasi-organisasi sosial.
Ini dirumorkan terrnasuk FPI dan FBR (wawancara rahasia, Jakarta, 2006).
Wawancara dengan Habib Rizieq Shihab, Jakarta, 2006.

Ian Douglas Wilson

"Selama Caranya Halal"

moral dalam budaya Barat sebagaimana digambarkan oleh FPI. Alawi Usman dari
FPI menjelaskan:

lain, preman memainkan peran dengan manfaat khusus dalam kedua organisasi itu
sebagai tentara atau otot yang diperlukan untuk kampanye-kampanye
anti maksiat
?

204

Mengapa kami menyerang Playboy dan tidak melakukan hal yang sama pada
publikasi lainnya seperti For Him Magazine dan Lampu Merah? Karena mereka
mau berkompromi dan mau ber-low profil. Tetapi, Playboy bersikap arogan.
Sebagai suatu ikon Amerika majalah ini mengira dapat mengganggu Indonesia
dan menyebarkan kecabulannya dengan beba s tanpa akibat-akibat (wawancara,
Jakarta, 2006) .

FPI menjamin tidak akan mendiamkan begitu saja Playboy berdasarkan
tingginya profil Playboy, serta simbolisme politik dan penolakannya untuk memberi
konsesi-konsesi untuk FBR. Kemudian FBR juga bergabung dalam unjuk rasa
menuntut pelarangan majalah itu dalam gaya preman asli. Di belakang layar, FBR
dapat mengambil untung dari protes ini. Beberapa anggota Ambonnya dikontrak
oleh majalah tersebut sebagai keamanan privat yang menggunakan koneksi koneksi mereka untuk menolong karyawan menyingkir dari FPI dan MMI di
Jakarta sebelum majalah tersebut memindahkan kantornya ke Bali. Kontradiksi
yang tampak antara sikap FBR kepada Inul dan sikapnya terhadap Playboy dapat
dengan mudah didamaikan dengan "pandangan dunia preman". Anggota senior
FBR menjelaskan:
Sikap apa saja terhadap suatu isu diperbolehkan selama ia membawa keuntungan
bagi imggota -anggota kami dan organisasi secara keseluruhan. Dalam hal ini, kami
telah dan akan terus konsisten (wawancara, Jakarta, 2006)

Pada akhirnya, sikap-sikap politik dan moral organisasi ditentukan oleh
pertimbangan-pe rtimbangan strategis mengenai pilihan mana yang akan membawa
basil paling b sar.
5.

TAUBAT PREMAN

Motivasi preman bergabung dan direkrut ke dalam organisasi-organisasi seperti
FPI dan FBR tidak bisa direduksi seluruhnya kepada hasrat sinis untuk basil material.
Di dalam setiap kelompok ini ada sejumlah orang yang teridentifikasi idealis dan
aktivis yang termotivasi ideologi. Sebagian dari mereka terlibat organisasi-organisasi
ini adalah untuk mencari pengalaman yang akan membawa perubahan. FPI dan FBR
menolak tuduhan umum sebagai "organisasi-organisasi preman ", tetapi secara terbuka
menyatakan telah merekrut preman sebagai anggota dan menganggap ini sebagai
kebajikan. Preman dianggap "jiwa yang tersesat" yang diacuhkan oleh pemerintah dan
organisasi-organisasi Islam lainnya. Padahal, mereka membutuhkan bimbingan, arahan
agama, dan kesempatan untuk mereformasi diri. Apabila orang-orang rekrutan ini
melanggar hukum, norma sosial, atau anjuran- anjuran agama, maka dapat dijelaskan
sebagai oknum yang gagal atau belum selesai menjalani proses perubahan.
Organisasinya sendiri tetap bersih. Di sisi



205

mereka.
Bagi mereka yang mencari penghidupan melalui kekerasan, pemerasan, dan
kejahatan kecil, maka agama memang berpotensi mendorong pertaubatan dan
menyediakan suatu kerangka yang mendamaikan kontradiksi-kontradiksi internal.
Anggota-anggota Laskar FPI seringkali menjelaskan bahwa bergabung ke dalam
kelompok ini sebagai pengalaman transformatif. Seperti cerita seorang anggota:
Saya pertama kali bergabung dengan FPI sebagai jalan untuk mencari inspirasi,
khususnya saat saya tidak punya pekerjaan dan hingga saat saya bergabung hid up
saya tidak jelas arahnya. Saya hanya tam atan SD. Rea listis saja, tidak banyak yang
dapat saya lakukan.·Sekarang, saya tahu bahwa saya seorang peju ang Islam, dan
saya merasa seperti memiliki semacam tujuan dan arah. Daripada berkelahi karena
hal-hal remeh, sekarang saya berjuang untuk Islam (wawancara, Jakarta, 2005).

Seseorang yang lain menggambarkan "kebangkitan " yang serupa:
Waktu masih jadi preman dulu, jauh di lubuk hati saya mencari cara positif
untuk menyalurkan daya juang saya. Inilah yang saya temukan dalam FPI. Dulu
saya minum (alkohol), main judi dan sederhananya jadi sebuah "ancaman".
Sampai satu hari saya berhadapan dengan anggota-anggota FPI, yang mengatakan
pada saya untuk berhenti melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Awalnya saya
melawan. Saya pikir, memangnya mereka pikir mereka itu siapa? Tetapi ketika
FPI menghadapi kami, kamu bisa merasakan bahwa kekuatan mereka berasal
dari iman kepada Allah ... Saya tersentuh. Saya tak menunggu lama sampai
saya mengikuti kata hati, dan bergabung dehgan mereka (wawancara, Jakarta,
2005).

Taubat dalam hal ini tidak berarti berhenti berbuat kekerasan, tetapi mengubah
arahnya untuk tujuan yang seolah-olah religius. Laskar FPI dan preman FBR tetap
mengambil untung dari obat-obatan, pelacuran, dan pornografi. Posisi mereka
menjadi lawan publik mereka, bukannya sebagai pelindung.
FPI menanggapi tuduhan-tuduhan yang menyebutkan FBR memeras dan
premanisme dengan mengeluarkan anggota dan menyalahkan para penyusup,
tetapi FBR telah mencoba ·merasionalkan praktik tersebut. Anggota-anggota FBR
mengklaim hak-hak etis dan hukum untuk menarik "pajak" sebab mereka mengaku
sebagai perwakilan penduduk asli Jakarta. Apabila dalam rangka memerangi
maksiat, para anggota meminta atau menerima bayaran, maka itu alami saja dan
merupakan bayaran yang sah untuk layanan sosial berharga yang mereka sediakan.
Anggota FBR, dalam bahasa Fadloli, "bebas untuk meningkatkan kesejahteraan
melalui cara apa saja yang diperlukan, selama cara itu halal". Dalam konteks ini,
cara yang halal didefinisikan tidak dengan rujukan khusus kepada Al-Qur'an, Hadis,
atau teks-teks tradisi, melainkan kepada Fadloli sendiri dalam otoritasnya sebagai
seorang kiai. Fadloli menggunakan Islam sebagai tata moral dan hukum-ekstra yang
mengatasi hukum sipil dan negara.

Ian Douglas Wilson

206

6.

KESIMPULAN

Vigilantisme sebagai tindakan mengambil hukum ke tangan sendiri, seperti
dalam penjelasan Abrahams (1998), berada di "perbatasan legitimasi" negara
karena menggunakan rasa kedaulatan populer dalam rangka menciptakan suatu
order yang paralel. Pembentukan kelompok vigilante yang struktur organisasinya
besar juga mengharuskan pendapatan yang reguler. Hal ini menciptakan momentum
bagi gerakan-gerakan anti maksiat untuk bergerak lebih dekat ke pemerasan karena
preman adalah pelindung sekaligus penghisap.3 4
FPI, FBR, dan "preman Islam" pada umumnya mempraktikkan apa yang saya
sebut sebagai pemerasan moralitas. Pemerasan moralitas menyelewengkan sentimensentimen altruistik dan ideal-ideal yang dapat ditemukan baik dalam wacana Islam
arus utama maupun pinggiran dan mengambil keuntungan dari adanya celah- celah
dalam kekuasaan negara untuk memperoleh konsesi ekonomi dan politik.
Akhimya, FPI dan FBR telah menjadi oportunis dengan strategi memperjuangkan
gagasan hukum Islam dan kebajikan demi manfaat politik dan ekonomi. Preman
Islam menciptakan ancaman, dalam hal ini krisis moral, di mana mereka berada
dalam posisi strategis untuk mengatasinya. Pola ini seperti menjalankan usaha
perlindungan klasik. Gangster Islam jenis baru ini mencoba untuk mendapatkan
landasan moral yang tinggi yang menempatkan mereka sebagai barisan terdepan yang
berbudi luhur dengan menghindari kebanyakan komoditas tradisional preman, seperi
pelacuran, perjudian, dan obat-obatan. Bagi preman di jalanan, militansi simbolik in