BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Yang Berbeda Keyakinan Agama (Studi di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, Kab. Magelang)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak awal keberadaan seorang individu memiliki relasi yang mutlak dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya (keluarga inti/batih). Pada umumnya keluarga tersebut terdiri dari orang-orang yang saling berhubungan darah. Dalam setiap masyarakat pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear family), dimana keluarga batih tersebut merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dalam proses pergaulan hidup. Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan budaya dimana ia berada, karena keluarga sebagai kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial.
Menurut Hildred Geertz dalam IPBN (1990: 1) keluarga merupakan jembatan antara individu dan kebudayaannya. Melalui keluarga anak belajar mengenai nilai, peran sosial norma, serta adat istiadat yang ditanamkan oleh orang tuanya. Dengan kata lain, orangtuanya merupakan pengatur norma-norma masyarakat kepada anak-anaknya. Maka sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orangtua sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku anak, baik itu sikap, perilaku, dan kebiasaan yang di tampilkan orangtua akan senantiasa dilihat, diamati, dan ditiru oleh anak baik itu secara sadar atau tidak akan diresapi dan menjadi kebiasaan bagi anak tersebut. Sehingga pola pengasuhan anak yang ideal harus dilakukan oleh kedua orangtua. Dimana ayah dan ibu akan saling bekerjasama untuk mengasuh dan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
Dalam mengasuh anak agama merupakan salah satu faktor yang penting, artinya bahwa ibadah, berdosa, berdoa, dan lain sebagainya merupakan dasar pembentukan perilaku seorang anak. Agama dalam suatu keluarga merupakan hal yang sangat sensitif, karena tidak jarang dalam satu keluarga, agama menjadi landasan berpijak atau menjadi barometer dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua menyadari betul akan pentingnya agama dalam keluarga, karena agama merupakan pedoman hidup. Sehingga dengan menerapkan sistem pola asuh yang tepat terhadap anak maka penyerapan nilai-nilai agama oleh anak akan berjalan secara optimal. Dalam mengasuh anak orangtua perlu melakukan berbagai sosialisasi dalam memberikan pengertian tentang nilai, norma, dan berbagai aturan-aturan lainnya berkaitan dengan agama ini.
Sosialisasi agama adalah proses individu-individu untuk memeluk agama yang dipilihnya. Untuk memahami perkembangan agama pada tingkat individu- individu, kita harus mengetahui bagaimana masyarakat memilih agama, bagaimana mereka berubah, dan bagaimana pandangan mereka tentang. Dalam keluarga Orang tua dinilai sumber informasi tentang kehidupan kolektif. Orang tua mengajarkan pemahaman anak tentang hal-hal supranatural, dan ini merupakan sumber informasi yang memiliki keunggulan temporal dan afektif yang keduanya penting untuk mempengaruhi perilaku beragama.
Proses sosialisasi agama terhadap anak sangat dipengaruhi oleh sistem pola pengasuhan yang di terapkan oleh orangtua terhadap anak, dimana proses pewarisan pengetahuan mengenai agama baik itu nilai, norma, dan berbagai aturan-aturan yang terkandung didalam agama itu dapat dilihat melalui sistem pola pengasuhan anak yang diterapkan orangtua. Peran orangtua akan mendominasi terhadap keyakinan agama dan perjalanan hidup anak-anaknya terutama tentang informasi-informasi penting dalam kehidupan sosial mereka yang berpengaruh terhadap keyakinan beragama mereka.
Pola asuh anak tidak sama bentuknya pada setiap suku, bahkan keluarga, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, latar belakang pendidikan, mata pencaharian, keadaan ekonomi, dan adat-istiadat dari orang tua (IPBN 1993 : 3). Dengan kata lain, pola pengasuhan anak pada keluarga petani tentunya akan berbeda dengan pola pengasuhan anak dalam keluarga yang bukan petani ; demikian pula dengan pola pengasuhan anak pada keluarga yang berbeda keyakinan agama akan berbeda pula dengan pola pengasuhan anak pada keluarga yang menganut satu keyakinan agama tertentu.
Fenomena keluarga berbeda keyakinan agama merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, terutama di kota-kota besar yang heterogen penduduknya, misalnya di Pulau Jawa. Di pulau Jawa fenomena keluarga berbeda keyakinan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja tetapi terjadi juga di desa- desa. Kemajuan di berbagai aspek kehidupan telah membuka peluang yang lebih besar kepada anggota suatu golongan masyarakat untuk berinteraksi dengan anggota dari luar golongannya, dimana salah satu akibat dari interaksi tersebut adalah perkawinan lintas agama. Menurut Duvall & Miller dalam Calvina dan Adryani (2012) berbagai hal yang mendorong perkawinan beda agama terjadi antara lain meningkatnya toleransi dan penerimaan antar pemeluk agama yang berbeda dan meningkatnya mobilitas penduduk yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan orang yang berlatar belakang berbeda.
Walaupun pernikahan lintas agama ini secara tegas di larang dalam Undang-Undang, tetapi hal ini terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang di peroleh dari Achmad Nurcholish, Yayasan Harmonis Mitra Madania yang dimilikinya telah menerima konseling pasangan beda agama sebanyak lebih dari 1000 pasangan serta membentu menikahkan pasangan beda agama di Indonesia sejumlah 282 pasangan. Angka tersebut di peroleh sejak januari tahun 2004 hingga maret 2012 lalu. Daerah yang paling banyak melakukan pernikahan beda agama ini adalah daerah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. (Afny Hanindya, 2013 ).
Pada dasarnya fungsi dan karakteristik dari keluarga berbeda keyakinan ini adalah sama dengan keluarga pada umumnya, dimana keluarga berbeda keyakinan ini juga terikat dengan perikawinan, dan memiliki hubungan kekerabatan baik itu keturunan maupun adopsi. Maka yang membedakan keluarga ini dengan keluarga pada umumnya adalah hanya pada keyakinan agama pada keluarga tersebut, dimana ayah dan ibu menganut agama yang berbeda, misalnya ayah beragama Islam sedangkan Ibu beragama Kristen. Akan tetapi, walaupun perbedaan dalam keluarga tersebut hanya pada satu aspek saja yaitu agama, namun hal ini memberi pengaruh yang sangat besar dalam keluarga tersebut, dan tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini akan menjadi momok dalam keluarga yang menimbulkan berbagai konflik yang dapat merusak hubungan harmonis keluarga tersebut.
Dalam keluarga ini anak bisa mengikuti kayakinan agam ayah atau ibu, sehingga ketika dalam keluarga tersebut memiliki lebih dari satu keterunan, maka kemungkinan anak-anak tersebut akan berkeyakinan agama yang berbeda pula satu sama lain. Sehingga sosialisasi agama sebaiknya dilakukan sejak dini, maka tak jarang sepasang suami istri membuat kesepakatan tertentu mengenai keyakinan agama anaknya kelak ketika lahir. Namun bagi keluarga yang demokratis anak diberikan kebebasan dalam memilih keyakinan agamanya, namun akan berdampak pada kebimbangan dalam menentukan keyakinan agamanya ketika remaja nanti. Namun ada pula keluarga melakukan musywarah sehingga anak akan memutuskan secara langsung keyakinan agamanya sejak dini.
Kondisi-kondisi tersebut baik secara langsung atau tidak langsung tentunya akan membawa konflik batin pada anak anak dimana anak akan dalam menentukan keyakinan agamanya, karena norma dan nilai pada masa anak-anak diperoleh melalui dari kecil melalui proses imitasi, indentifikasi, asimilasi dan sosialisasi dengan orang lain seperti orang tua, teman, guru dan orang terdekat lainnya (Lute dalam Long S.B, 2007).
Dalam keluarga berbeda keyakinan agama kemungkinan untuk terjadinya konflik sosial lebih besar dibandingkan dengan keluarga pada umumnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (Afni Hanindya, 2013) bahwan konflik yang terjadi pada keluarga berbeda keyakinan ini di bagi menjadi dua yaitu konlik sebelum melakukan penikahan yaitu sulitnya memperoleh persetujuan dari masing-masing pihak untuk melakukan penikahan berbeda keyakinan. Kemudian konflik yangkedua yaitu konflik setelah melakukan penikahan berbeda keyakinan yaitu terjadi konflik batin dimana terjadi perasaan bersalah didalam diri mereka setelah pernikahan itu. Selain itu konflik dalam keluarga berbeda keyakinan ini akan benar-benar muncul ketika kelahiran seorang anak. Konflik yang terjadi tidak hanya terjadi pada diri masing-masing orang tua tetapi juga pada diri anak dan hal ini akan mempengaruhi keharmonisan dan kekuatan keluarga tersebut.
Menurut lain Rosenbaum & Rosenbaum (1999) dalam Calvina dan Elvi (2012) anak yang lahir dari perkawinan beda agama mungkin mengalami masalah dalam hidup sehubungan dengan status orang tua mereka yang berbeda agama.
Masalah-masalah yang dapat muncul antara lain bagaimana upacara ritual kehadiran anak misalnya adzan, sunat, atau pembaptisan, bagaimana pemberian nama anak, agama anak, pendidikan dan pendalaman agama anak, sekolah anak, dan lain-lain. Sehingga pemilihan agama oleh anak menjadi perhatian yang penting bagi orang tua, karena kemungkinan yang terjadi terjadi ketidak jelasan identitas agama anak yang dikarenakn kejadinya kebingungan bagi anak dalam menentukan agama yang akan di pilih.
Konflik beragama yang terjadi dalam keluarga berbeda keyakinan ini dikarenakan oleh kerluarga yang dilandasi oleh dua agama yang berbeda sehingga terjadi kesulitan bagi anak dalam meyakini satu keyakinan agama. Hal ini di karenankan adanya perasaan sungkan oleh anak terhadap orang tua karena merasa akan mengecewakan salah satu orang tuanya ketika memilih keyakinannya. Oleh sebab itu sosialisasi pengetahuan agama dari kedua orang tua sebaiknya dilakukan dengan serius dan sungguh sejak anak masih kecil, sehingga anak pun dapat secara bijak dan objektif dalam memilih keyakinannya ketika dai remaja.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nine Is Pratiwi (2010) bahwa konflik dalam keluarga berbeda keyakinan lainnya yaitu berkaitan dengan sistem pola pengasuhan anak, dimana hal ini juga berkaitan dengan sosialisasi agama yang di lakukan oleh orangtua kepada anak-anaknya dalam keluarga tersebut.
Sistem pola pengasuhan yang di terapkan oleh orang tua terhadap anak, dimana proses pewarisan pengetahuan mengenai agama baik itu nilai, norma, dan berbagai aturan-aturan yang terkandung didalam agama itu dapat dilihat melalui sistem pola pengasuhan anak yang diterapkan orangtua. Peran orangtua akan mendominasi terhadap keyakinan agama dan perjalanan hidup anak-anaknya terutama tentang informasi-informasi penting dalam kehidupan sosial mereka yang berpengaruh terhadap keyakinan beragama mereka.
Kasus keluarga berbeda keyakinan ini dapat di temukan di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, Kab. Magelang, di mana di desa ini terdapat beberapa keluarga yang berbeda keyakinan. Dimana di desa ini keluarga berbeda keyakinan pada umumnya adalah berkeyakinan agama Islam dan Kristen. Keluarga yang berbeda keyakinan agama ini mampu mempertahankan keluarga mereka hingga saat ini. Dan anak-anak mereka yang sudah remaja juga sudah memilih keyakinan agama yang mereka anut. Namun kebanyakan keturunan dari keluarga tersebut menganut agama Islam.
Berdasarkan latar belakang dan prasurvei tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti keluarga berbeda keyakinan yang ada di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, kab. Magelang, yaitu bagaimana keluarga tersebut dapat melalui konflik-konflik yang seharusnya di alami oleh keluarga berbedakeyakinan khususnya terkait dengan pemilihan dan ketetapan keyakinan agama anak. Maka dalam hal ini berkaitan dengan pola pengasuhan dalam sosialisasi agama pada anak dalam keluarga berbeda keyakinan. Sehingga anak-anak dalam keluarga berbeda ini dapat menerima perbedaan yang ada dalam keluarga tersebut dan menyelesaikan konflik-konflik dalam keluarga yang dapat mengakibatkan krisis identitas agama anak.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola asuh anak terkait dengan sosialisasi agama yang dilakukan oleh orangtua dalam keluarga yang berbeda keyakinan pada masing-masing anak?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkam perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sistem pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh orang tua di dalam keluarga yang berbeda keyakinan terkait pada proses sosialisasi agama pada anak.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih tentang pola pengasuhan anak dalam keluarga yang berbeda keyakinan khususnya proses sosialisasi agama oleh orangtua terhadap anak, kemudian dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu sosiologi khususnya ilmu sosiologi keluarga dan sosiologi agama.
b.
Manfaat Praktis Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dan mahasiswa dalam pembuatan kajian ilmiah sehingga diharapkan dapat menjadi rujukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya.