BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Fungsionalisme Struktural - Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Yang Berbeda Keyakinan Agama (Studi di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, Kab. Magelang)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pendekatan Fungsionalisme Struktural

  Pendekatan ini menekankan suatu keteraturan dan keseimbangan suatu sistem dalam masyarakat. Dimana masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatukan dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian memberi pengaruh pada satu bagian lainnya. Sehingga jika fungsional maka struktur itu tidak akan ada bahkan menghilang dengan sendirinya (George Ritzer, 2011: 21).

  Suatu analisis fungsional terhadap keluarga menekankan hubungan antara keluarga dan masyarakat luas, hubungan-hubungan internal di antara subsistem- subsistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara keluarga dan kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi. Keluarga merupakan fenomena yang universal. Dimana para individu anggota keluarga bertindak sesuai dengan seperangkat norma dan nilai, yang telah disosialisasikan dalam cara yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari sistem yang bersangkutan, di yakini bahwa tindakan-tindakan yang independen jarang terjadi yang sifatnya adalah asosial (T.O Ihromi, 1999 : 270).

  Mengenai hubungan antar anggota keluarga, pendekatan fungsional struktural lebih menyoroti pada peranan keluarga dalam proses sosialisasi yang dialami oleh para anggota masyarakat. Dimana kelompok kekerabatan yang berskala kecil dlaam hal ini adalah keluarga batih yang mampu secra memuaskan dapat mengasuh anak-anak yang masih kecil sehingga akan dapat menjadi anggota yang serasi untuk masyarakat luas (Parsons dan Bales dalam T.O Ihromi, 1999 : 271).

  Proses sosialisasi pada masa kanak-kanak dapat digambarkan melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcot Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial (T.O Ihromi,1999 : 37). Fase-fase proses sosialisasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  1. Fase Laten merupakan fase dimana anak-anak belum merupakan kesatua individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak sosial dengan lingkungannya. Selain itu, lingkungan juga belum melihat anak sebagai individu yang berdiri sendiri dan yang dapat mengadakan interaksi dengan mereka.

  2. Fase Adaptasi merupakan fase dimana anak mulai mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya. Pada fase ini lah peran orangtua menjadi sangat penting dan dominan, karena anak hanya akan belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. Hukuman maupun penghargaan yang diberikan orangtua atas tingkah lakunya, banyak memberikan pengertian kepada anak dalam belajar bagaimana seharusnya mereka bertindak dalam kehidupannya.

3. Fase Pencapaian Tujuan merupakan fase dimana anak tidak hanya menyesuaikan diri, tetapi sudah terarah pada maksud dan tujuan tertentu.

  Ia akan cenderung mengukangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan penghargaan tertentu.

  4. Fase Integrasi merupakan fase dimana anak sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri yang memang ingin dilakukannya sendiri. Norma dan nilai yang ditanamkan oleh orangtuanya sudah menjadi anak atau katahi dari anak, bukan lagi berasal dari luar diri anak.

  Fokus lain dari pendekan ini adalah pengaruh timbal balik antara keluarga dengan kepribadian. Dimana peranan masing-masing anggota keluarga baru dapat memperoleh makna khususnya bila dikaitan dengan struktur keluarga tertentu. Jadi keluarga membentuk jenis-jenis pribadi yang diinginkan maka dapat melaksanakan fungsi-fungsinya, dimana dalam prosesnya, setiap warga menyesuaikan kondisi-kondisi yang telah tercipta pada dirinya dimasa lampau terhadap peranannya di masa kini.

  2. 2 Struktur Sosial Masyarakat Jawa

  Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan di bidang teknologi modern telah mendatangkan kemajuan pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya kemajuan dalam bidang komunikasi. Majunya komunikasi berarti pula telah membuka kesempatan yang lebih besar kepada anggota-anggota dari golongan masyarakat, baik yang namanya suku, ras, maupun agama untuk berinteraksi dari anggota-anggota masyarakat dari luar golongannya. Interaksi tersebut bukanlah hal yang mustahil bila terlahir perkawinan antar suku, ras, bahkan antar agama (Surbakti, 2009 dalam Deassy N.Y dkk).

  Kemajuan dari berbagai aspek kehidupan menyebabkan terjadinya interaksi masyarakat dari suatu golongan ke golongan lain, dimana interaksi ini dapat pula berdampak pada terjadinya penikahan lintas agama. Fenomena keluarga berbeda keyakinan agama merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, terutama di kota-kota besar yang heterogen penduduknya, misalnya di Pulau Jawa. Di pulau Jawa fenomena keluarga berbeda keyakinan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja tetapi terjadi juga di desa-desa.

  Masyarakat Jawa merupakan kelompok yang kental dengan kehidupan religinya dan kebudayaan yang khas dan masih terjaga. Kekompleksitas masyrakat Jawa ini sendiri telah menjadi kajian yang menarik oleh Clifford Geerzt. Dimana Geerzt menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok (Muhtadi Ridwan, 2010).

  Pengamatan Geertz masyarakat Jawa merambah pada praktik hidup penduduk setempat. Geertz juga mengambil penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat jawa yang didasarkan pada kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik. Dia kemudian menemukan tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan, yakni abangan, santri dan priyayi. dimana secara ringkas tiga varian masyarakat Jawa tersebut yaitu Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi animisme sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; Santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani); dan Priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi ( Muhtadi Ridwan, 2010).

  Masyarakat suku jawa juga sangat kental dengan sistem kekerabatannya, dimana sistem kekerabatan mereka bersifat billateral atau parental. Sistem kekerabatan billateral ini artinya garis keturunan berasal dari bapak/ibu. Istilah- istilah yang digunakan dalam sistem kekerabatan Jawa sebagai berikut:

  1. Pakde dan Bude (uwa), yaitu semua kakak dari bapak dan ibu, baik laki- laki maupun perempunan beserta suami dan istrinya.

  2. Paklik (Paman) dan Bulik (bibi), yaitu semua adik dari ayah dan ibu,baik laki-laki maupun perempuan beserta suami dan istrinya.

  3. Nak Ndulur (Sepupu), yaitu anak dari pakde-bude dan paklik-bulik.

  4. Misan, yaitu anak dari saudara sepupu. Pada masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari segi keyakinan dan kesamaan adat yang menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal.

  Ukuran ideal bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, dan bobot. Sehingga masyarakat Jawa memantangkan pernikahan sedarah. Maka perlu pertimbangan yang sangat matang sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

  Melihat adanya struktur sosial dalam masyarakat Jawa yang terbagi menjadi tiga varian ini dan kentalnya kebudayaan masyarakat Jawa ini, maka pada saat ini dengan semakin meluasnya majunya zaman menjadi lebih modern kemungkinan interaksi yang terjadi diantara golongan-golongan tersebut semakin nesar.

  Sehingga pernikahan diantara golongan yang satu dengan golongan yang lain juga bisa saja terjadi. Begitu pula dengan peluang pernikahan berbeda keyakinan pada golongan tersebut juga semakin besar.

2.3 Interaksi Sosial

  Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok- kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Gilin dan Gilin dalam Soerjono Soekanto, 2006: 55). Interaksi sosial tidak terjadi jika tidak ada hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak memberikan pengaruh syaraf terhadap hubungan itu.Keberlangsungan suatu interaksi sosial dipengaruhi oleh faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

  Faktor imitasi mendorong seseorang dalam mematuhi dan memahami kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Faktor sugesti berlangsung ketika seseorang memberikan suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain, sehingga pemberian sugesti ini sebaiknya dilakukan oleh seseorang yang memiliki bagian terbesar dalam suatu kelompok yang berasangkutan. Identifikasi merupakan keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan yang lain, sehingga kepribadian seseorang dapat terbentuk dalam proses ini. Proses simpati sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Pada proses ini perasaan memegang peranan penting dalam memahami pihak lain dan bekerja sana dengannya. Sehingga proses simpati akan berkembang di dalam suatu keadaan dimana faktor dapat saling mengerti.

  Interaksi sosial akan terjadi jika adanya kontak sosial dan komunikasi (Soerjono Soekanto, 2006 : 58). Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu:

1. Antara orang-perorangan dimana kontak sosial yang terjadi pada lingkungan keluarga yaitu pada proses sosialisasi.

  2. Antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya dimana kontak sosial ini terjadi misalnya seseorang sedang merasakan bahwa tindakan yang dilakukannya telah berlawanan dengan norma-norma masyarakat.

  3. Antara suatu kelompok manusia denga kelompok manusia lainnya, dimana kontak sosial ini terjadi pada dua kelompok masyarakat yang saling bekerjasama dalam suatu kompetisi untuk memperoleh suatu kemenangan ataupun kekuasaan.

  Komunikasi merupakan ketika seseorang memberikan suatu tafsiran pada perilaku orang lain baik itu dalam berbentuk percakapan maupun sikap dan perasaan-perasaan yang ingin di sampaikan oleh seseorang. Sehingga dengan adanya komunikasi maka sikap dan perasaan seseorang atau kelompok dapat diketahui dan dipahami oleh pihak lain. Dengan demikian, komunikasi dapat memungkinkan seseorang atau kelompok melakukan kerjasama dengan kelompok pihak lain, tetapi komuniksi juga tidak selalu menghasilkan kerjasama namun dapat menghasilkan pertikaian jika terjadi kesalah pahaman.

  Suatu proses belajar ataupun sosialisasi terjadi melalui interaksi yang terjadi antara anggota keluarga yaitu dengan memberikan contoh kepada anak oleh orang tua atau nilai-nilai dimana orang yang menerima nilai-nilai tersebut adalah anak. Hubungan yang terjadi di dalam keluarga biasanya dilakukan melalui suatu kontak sosial dan komunikasi. Karena interaksi dapat diperoleh melalui kontak sosial dan komunikasi. Sehingga interaksi dan komunikasi yang terjadi di dalam keluarga akan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dan saling memberikan anggapan-anggapan yang berbeda satu sama lainnya. Melalui interaksi maka akan terbentuk gambaran-gambaran tertentu sebagai hasil dari komunikasi yang terjadi antara anak dan orangtua.

  Keberhasilan sebuah proses sosialisasi tidak terlepas dari bagaimana interaksi yang terjadi antara anak dan orangtua dalam keluarga, dimana interaksi ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung yang berfungsi mengawasi setiap kegiatan dan memberikan arahan-arahan kepada anak hingga menjadi remaja. Dengan terjalinnya interaksi yang baik antara orangtua dan anak maka proses sosialisasi akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini maka terjadi komunikasi interpersonal yang di lakukan antara anak dan orangtua ketika sosialisasi terjadi.

  Di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan antar pribadi memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan masyarakat, terutama ketika hubungan antar pribadi itu mampu memberikan dorongan kepada orang tertentu yang berhubungan dengan perasaan, pemahaman informasi, dukungan, dan berbagai bentuk komunikasi yang mempengaruhi citra diri orang serta membantu orang untuk memahami harapan-harapan orang lain (Burhan Bungin,2006: 260). Dalam proses sosialisasi dalam keluarga hubungan antara anggota dalam keluarga merupakan suatu hubungan yang terjalin melalui komunikasi interpersonal antara orangtua dan anak di mana orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak.

  Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak di sini bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman bersama terhadap sesuatu hal di mana antara orang tua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau nasehat. Sehingga komunikasi interpersonal menjadi sangat penting karena prosesnya memungkinkan berlangsungnya sebuah dialog. Dialog adalah bentuk komunikasi interpersonal yang menunjukkan terjadinya interaksi.Pada proses sosialisasi keluarga merupakan wadah dalam hubungan interpersonal antara orangtua dan anak yang membawa suatu proses aktivitas transformasi nilai yang terkait dengan perkembangan anak. Hubungan interpersonal muncul dalam bentuk komunikasi keluarga antara orangtua dan anak. Hubungan interpersonal dalam keluarga dikembangkan dalam tahapan hubungan interpersonal untuk mencapai tujuan komunikasi keluarga.

2.4 Keluarga Berbeda Keyakinan

2.4.1 Keluarga

  Keluarga merupakan bentuk kelompok terkecil dalam masyarakat yang sangat penting dalam pembentukan struktur sosial kemasyarakatan. Keluarga memiliki sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, dimana masing-masing anggota dalam keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain.

  Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi pokok dimana menurut Vembriarto (Khairuddin 1997: 48) fungsi tersebut adalah pertama, fungsi biologik yaitu dimana keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak dimana fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Kedua, fungsi afeksi yang tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai yang menjadi faktor penting bagi perkembangan kepribadian anak. Ketiga, Fungsi sosialisasi yang menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.

2.4.2 Defenisi Keluarga Berbeda Keyakinan Agama

  Pada hakikatnya, keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan suatu satuan yang khusus (Su’adah, 2005: 22). Maka dalam keluarga berbeda agama ini terdapat ikatan pernikahan, kekerabatan, dan adopsi. Menurut Alden (Afny Hanindya, 2013) keluarga berbeda keyakinan agama(Interfaith Family) merupakan sekelompok orang yang terkait melalui hubungan (penikahan, adopsi, ataupun kelahiran) yang saling berbagi satu sama lain serta para anggota keluarganya memiliki kepercayaan atau menganut agama yang berbeda.

  Keluarga berbeda keyakinan agama memiliki setidaknya dua keyakinan dalam keluargatersebut, misalnya dalam keluarga tersebut ayah beragama Islam sedangkan ibu beragama kristen. Selain pada pebedaan agama yang dianut dalam keluarga tersebut, hal yang membedakan keluarga ini dengan keluarga pada umumnya adalah ikatan pernikahan berbeda keyakinan (agama) yang disebut juga

  interfaith marriage , mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious

marriage (Robinson, 2005). Menurut Mandra & Artadi dalam Eoh (1996),

  pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa (Nine Is Pratiwi : 5).

  Menurut Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata (Rosyida Widyaningrum, 2011) menjabarkan terdapat empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan yaitu sebagai berikut: a.

  Meminta penetapan pengadilan.

  b.

  Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama. Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.

  c.

  Penundukan sementara pada salah satu hukum agama, Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama mempelai lebih sering digunakan.

  d.

  Menikah di luar negeri. Solusi terakhir adalah menikah di luar negeri.

  Banyak artis yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Jika melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.

  Keluarga berbeda keyakinan merupakan keluarga yang dibangun dengan pernikahan antar agama oleh pasangan suami dan istri. Dimana pernikahan antar agama yaitu suatu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memeluk agama dan kepercayaannya berbeda satu dengan yang lainnya.

  Maksudnya adalah perkawinan pasangan yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.

2.5 Konsep Keluarga Bahagia Menurut Pandangan Sosiologi

  Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak dan mempunyai hubungan serasi, seimbang dan selaras antar anggota keluarga serta anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Setelah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Secara sosiologis, menurut Melly (1993), keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera. Fungsi keluarga perlu diamati sebagai tugas yang harus diperankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil yang di akses pada tanggal 10 Oktober 2013 pukul 7.35 WIB).

  Di antara anggota keluarga tersebut, ayah, dan terutama ibu, menduduki posisi yang strategis. Fungsi ayah jelas tidak terbatas pada pencari nafkah dan menjadi simbol disiplin dan kewibawaan serta keadilan. Figur yang paling menentukan pribadi anak di kemudian hari adalah ibu. Ibu tetap menjadi obyek lekat (attachment object) atau tambatan hati utama si anak.

  Dalam keluarga yang berbeda keyakinan agama, tuntutan menjadi suatu keluarga yang sejahtera dan bahagia menjadi sesuatu yang berat untuk diwujudkan dibandingkan dengan keluarga pada umumnya. Konflik akan sering terjadi ditengah perbedaan bentuk konflik dalam skala kecil seperti hanya pertentangan antar orang yang bersifat pribadi. Dari kedua bentuk proses sosial yang terjadi dalam sebuah keluarga beda agama adalah proses sosial yang asosiatif yang terdiri dari kerjasama dan asimilasi. Kerjasama yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaimana seorang suami dan seorang istri yang berbeda agama berusaha secara bersama- sama untuuk dapat mempertahankan keluarganya agar dapat hidup harrmonis tanpa ada pertentangan meskipun ada perbedaan namun mereka dapat saling menyesuaikan satu sama lain. Sementara dalam proses sosial asimilasi dimana sang suami dan sang istri berusaha untuk lebih meningkatkan sikap toleransi dalamm menjalankan kehidupan sehari- hari sehingga benih- benih pertentangan dapat dicegah. Dengan demikian meski berbeda keyakinan namun keluarga beda keyakinan dapat saling mmengerti dan saling menyesuaikan satu sama lain sehingga dapat tercipta sebuah keluarga yang serasi, selaras dan seimbang atau dengan kata lain harmonis (Sulvianty, 2012 : 27). ari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosyidah Widyaningrum (2011) menemukan beberapa faktor yang menjadikan keluarga beda agama ini dapat hidup harmonis dalam menjalani kehidupan berumah tangga diantaranya: a.

  Rasa saling menyayangi antar anggota keluarga.

  b.

  Adanya komunikasi yang sehat antar anggota kelompok sehingga semua masalah dapat diselesaikan dengan baik.

  c.

  Saling menghormati dan memberikan kebebasan dalam beribadah, bahkan mendukung pasangannya untuk beribadah maka keharmonisan hidup berumah tangga akan terwujud.

  d.

  Ekonomi yang cukup juga menjadi salah satu faktor keharmonisan rumah tangga beda agama ini, beberapa keluarga mengaku takut berpisah dengan alasan tidak ada jaminan kesejahteraan jika ia memutuskan untuk berpisah.

  e.

  Hadirnya anak adalah faktor yang menjadi dasar bagi sebagian keluarga beda agama tetap mempertahankan kebersamaan mereka.

  Sehingga untuk dapat memenuhi faktor-faktor tersebut proses sosial yang terjadi dalam keluarga tersebut harus berjalan dengan baik. dimana proses sosial yang dimaksud adalah proses asimilasi dan kerjasama yang terjadi antara anggota keluarga terutama ayah dan ibu.

2.6 Pola Asuh

  Pengasuhan anak adalah bagian dari proses sosialisasi yang paling penting dan mendasar, karena cara pengasuhan anak berfungsi untuk mempersiapkan anak untuk menjadi warga masyarakat. Pengasuhana berasal dari kata asuh ( to ear) yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil. Wagne dan Funk dalam IPNB (1993 : 2) menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan kearah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster (IPNB, 1993: 2) yang intinya bahwa mengasuh itu bimbingan menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan, dan sebagainya terhadap mereka yang di asuh. Dengan demikian pengasuhan anak yang merupakan bagian dari sosialisasi pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan dalam suatu masyarakat tertentu.

  Menurut Whiting dan Child dalam IPNB (1993 :2) dalam proses pengasuhan anak harus diperhatikan yaitu orang-orang yang mengasuh dan cara- cara penerapan larangan dan keharusan yang dipergunakan. Menurut mereka cara menerapkan larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak ini setidak-tidaknya mengandung sifat pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding), dan pembujukan (inciting).

  Pengasuhan anak tidak akan sama bentuknya di setiap keluarga dan setiap suku. Pola pengasuhan ini sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang didukung pula oleh faktor pendidikan, faktor stratifikasi sosial, faktor ekonomi, dan faktor kebiasaan hidup orangtua dalam keluarga tersebut. Selain itu faktor lingkungan misalnya tempat tinggal ataupun sistem kekerabatan pada suatu masayarakat sekitarnya juga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diterapkan dalam suatu keluarga.

  Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan langsung dengan anak adalah orangtua. Pertumbuhan seorang anak berada dibawah asuhan dan perawatan orangtua. Hal ini lah yang menyebabkan orangtua merupakan dasar pertama bagi pembentukan kepribadian anak. Melalui orangtua, anak akan beradaptasi dengan lingkungannya dalam proses pengenalan lingkungan sekitarnya. Menurut Lembaga Riset Psikologi UI dalam IPNB (1990 : 1) dasar pengembangan seorang anak telah diletakkan di tangan orangtua melalui pengasuhan anak sejak anak itu memulai kehidupannya sebagai mahkluk sosial.

  Masa anak-anak merupakan sangat penting dalam pembentukan karakter seorang individu, karena pada masa ini orangtua akan menanamkan norma, nilai, kebiasaan, sifat-sifat, dan aturan-aturan yang berlaku yang akan mempentuk pola tingkah laku yang diharapkan masyarkat.

  Secara teoritis menurut Baumrind dalam Fatchiah (2009 : 85) pola pengasuhan anak terdiri dari tiga bentuk yaitu:

1. Pola Asuh Otoriter

  Dalam pengasuhan otoriter ini orang tua memiliki kaidah-kaidah dalam peraturan-peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Pola pengasuhan ini identik dengan hukuman dan tingkah laku anak akan dikekang secara kaku dan dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali perbuatan yang sudah di tetapkan oleh peraturan. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbutan- perbuatannya. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orangtua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anaknya. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan

  problem solving -nya buruk), kemampuan komunikasinya buruk serta

  mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orangtua. Anak menjadi tidak disiplin dan nakal, pola asuh seperti ini anak diharuskan untuk berdisiplin karena keputusan dan peraturan ada ditangan orangtua.

2. Pola Asuh Demokratis

  Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban orangtua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdiplin. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Orangtua menggunakan diskusi, penjelasan, dan alasan-alasan yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi semua aturan.

  Orangtua lebih menekankan aspek penididikan ketimbang aspek hukuman. Hukuman hanya diberikan ketika anak-anak menolak perbuatan yang harus dilakukan secara sengaja namun tidak menggunakan kekerasan dan ketika anak melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang patut ia laksanakan maka anak tersebut akan memperoleh pujian dari orangtua. Orangtua demokratis adalah orangtua yang berusaha untuk menumbuhkan kontrol dari dalam diri sendiri. Pola asuh demokratis dihubungkan dengan tingkah laku anak-anak yang memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan kognitif.

  3. Pola Asuh Permisif Orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak, dan tidak memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh sikap orangtua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orangtua bertindak . Pada pola asuh ini pengawasan menjadi sangat longgar.

  Orangtua belum tentu menggunakan satu pola asuh saja, ada kemungkinan menggunakan tiga pola asuh tersebut sekaligus atau pun secara bergantian. Penentuan penggunaan pola asuh ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (So’adah 2005: 56):

  1. Kenyamanan diri orangtua terhadap pola asuh itu sendiri. Artinya orangtua akan mengevaluasi pola asuh yang diterapkan oleh orangtua mereka sewaktu mengasuh mereka. Jika pola asuh yang diterima orangtua saat ia kecil dianggap benar maka pola asuh yang sama akan diterapkan kepada anak-anaknya dan sebaliknya, jika pola asuh tersebut dianggap salah maka orangtua akan menggati pola asuh yang akan diterapkan.

  2. Dipengaruhi oleh apa yang dianggap baik oleh masyarakat sekitar dari pada oleh keinginannya sendiri.

  3. Usia orangtua juga mempengaruhi pemilihan pola asuh ini, dimana orangtua yang yang berusia masih muda cenderung menerapkan pola asuh yang demokratis atau permisif dibandingkan dengan mereka yang sudah lanjut usia.

  4. Mengikuti kursus persiapan perkawinan atau kursus pemeliharaan anak memberikan pengaruh terhadap pemilihan pola asuh terhadap anak, karena orangtua akan lebih memahami apa yang dibutuhkan oleh anak sehingga mereka cenderung memilih pola asuh demokratis.

  5. Jenis kelamin orangtua yaitu wanita lebih mengerti tentang anak oleh karena itu lebih demokratis dibandingkan dengan pria.

  6. Status sosial ekonomi yang mempengaruhi orangtua dalam menggunakan pola sosialisasi mereka bagi anak-anaknya.

  7. Konsep peranan orangtua, dimana orangtua yang tradisional cenderung lebih menggunakan pola asuh yang otoriter dibandingkan dengan orangtua yang lebih modern.

  8. Pada dasarnya orangtua berkemungkinan membedakan pola asuh antara anak perempuan dan anak laki-laki.

  9. Usia anak juga mempengaruhi pola asuh orangtua, sehingga pola asuh otoriter sering diterapkan ketika anak masih kecil karena mereka belum mengerti secara pasti mana yang baik dan mana yang buruk.

  10. Kondisi anak, dimana bagi anak-anak yang agresif, lebih baik menggunakan pola asuh yang otoriter, sedangkan anak-anak yang mudah merasa takut dan cemas lebih tepat menggunakan pola asuh yang demokratis.

2.7 Sosialisasi Agama Dalam Keluarga

  Vembriarto (Khairuddin, 1997 : 63) menyimpulkan proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya.

  Keluarga merupakan kelompok pertama yang akan mengenalkan nilai- nilai kebudayaan kepada si anak dan dalam keluarga pula dialami antar aksi dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan sosial. Menurut Vebriarto (Khairuddin, 1997 : 63) pengaruh orang dewasa, pada umumnya anak bersifat patuh dan menerimanya dengan percaya, atau disebut dengan “morality of

  contraint”. Sebaliknya yang dipelajari anak melalui pergaulannya dengan teman sebaya di sebut ”morality of coorporation”.

  Vembriarto (Khairuddin 1997 : 69) menyataka bahwa kondisi-kondisi yang menyebabkan pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak yaitu: 1.

  Keluarga merupakan kelompok kecil yang saling berinteraksi secara

  face-to-face , sehingga perkembangan anak dapat diikuti dengan

  seksama oleh orangtuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan sosial lebih mudah terjadi.

2. Dalam mendidik anak orangtua harus mempunyai motivasi yang kuat.

  Dimana motivasi yang kuat ini menghasilkan hubungan emosional antara orang tua dan anak. Hubungan emosional lebih berarti dan efektif dari pada hubungan intelektual dalam proses sosialisasi.

  3. Karena hubungan sosial orangtua dan anak bersifat relatif tetap maka orangtua memainkan peran sangat penting terhadap proses sosialisasi anak. Dalam keluarga juga terdapat tiga tujuan sosialisasi keluarga yaitu

  pertama, penguasahan diri merupakan proses mengajar anak untuk menguasai

  diri dapat dimulai dengan melatih anak misalnya tentang disiplin beribadah dan penguasaan diri secara emosional. Tuntutan sosial ini merupakan pelajaran yang paling berat dalam masyarakat. Kedua, Mengajarkan mengenai nilai-nilai dapat dilakukan secara bersamaan dengan latihan penguasaan diri. Nilai-nilai merupakan dasar dalam diri seseorang sehingga keluarga memegang peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai tersebut. Ketiga, . mempelajari mengenai peranan sosial ini terjadi melalui proses interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga. Setelah anak mengalami perkembangan kesadaran diri sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain, maka anak akan mulai mempelajari peranan sosialnya yang sesuai dengan gambaran tentang dirinya.

  Bentuk sosialisasi berbeda-beda dari setiap tahap kehidupan individu dalam siklus kehidupannya. Pada masa kanak-kanak orangtua mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengajarkan tentang kehidupan kepada mereka. Kewajiban orangtua dalam proses sosialisasi di masa kanak-kanak ini adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya

  Pada masa remaja dalam proses sosialisasi ada suatu gejala yang disebut

  

Reverse socialization yang mengacu pada cara dimana orang lebih muda dapat

  menggunakan pengaruh mereka kepada seseorang yang lebih tua. Menurut Mead ( T.O Ihromi, 1999 : 40) bahwa sosialisasi pada tahap ini banyak menyebabkan perubahan sosial denga cepat. Dan pada masa dewasa sosialisasi yang dialami adalah proses dimana individu dewasa mempelajari norma, nilai, dan peranan yang baru dalam linkungan sosial yang baru pula. Prosesbelajar yang lebih intensif belum tentu sama dengan nilai dan norma yang telah diperoleh pada kesempatan sebelumnya, mungkin berbeda atau bahkan bertentangan, dan proses ini di sebut resosialisasi.

  Sosialisasi agama merupakan proses interaktif antar kelompok sosial yang mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Orang-orang berinteraksi dengan berbagai kelompok sosilal yang berbeda, dengan orang-orang , organisasi, dan prefensi agama. Prefensi ini membentuk menginformasikan komitmen terhadap organisasi keagamaan . Individu mempunyai pengaruh terhadap sosialisasi pengalaman dan pemahaman keagamaan untuk meningktkan iman dan religiositas (keberagamaan) masyarakat. Sebaliknya, individu juga memiliki hak yang cukup untuk menolak sosialisasi preferensi agama. Sosialisasi tentang preferensi agama jelas penting, terutama dalam interaksi antara masyarakat yang satu dengan yang lain serta interaksi antar individu dengan organisasi.(, di akses pada tanggal 25 Agustus 2013 pukul 23:12 WIB) Keluarga merupakan kelompok utama yang paling penting (par exellence).

  Semua proposisi tentang kelompok utama dan agama dalam bagian-bagian sebelumnya merupakan suatu hipotesis yang dapat diterapkan pada keluarga. Keluarga merupakan masyarakat terpenting di dalam penyebaran agama karena penataan simbol-simbol dasar keagamaan di dalam prasadar tampaknya terjadi pada proses sosialisasi dini masa kanak-kanak. Sering terjadi juga bahwa keluargalah yang menyebarkan penafsiran dasar simbol-simbol dan rumusan- rumusan pernyataan iman yang sederhana dari warisan keagamaan. Namun demikian tidak ada jaminan akan adanya keselarasan antara penataan simbol, pernyataan iman, dan isyarat-isyarat penafsiran yang diterima seorang anak (Andrew M. Greeley, 1988: 119).

  Menurut McCready (Andrew M. Greeley, 1988: 120) mengenai keabsahan pendekatan sosialisasi terhadap agama bahwa perilaku keagamaan pada orang dewasa dapat dijelaskan melalui variabel yang merefleksikan perilaku keagamaan orang tua mereka. Hal ini terulang pula pada sosialisasi agama yang dilakukan orangtua ke anak-anak remaja. Menurut McCready bahwa lambang-lambang keagamaan menjukkan bahwa suasana kegembiraan keagamaan dalam lingkungan keluarga mempengaruhi imajinasi keagamaan anggota keluarga dan melalui imajinasi tersebut terbentuk pandangan dunia doa maupun komitmen sosial.

  Sehingga tidak hanya perilaku orang tua saja yang dapat mempengaruhi keagamaan anak, tetapi hubungan antara ayah dan ibu juga akan mempengaruhi perilaku keagamaan anak pada masa dewasanya. Pengalaman sosialisasi keagamaan yang paling penting di massa kanak-kanak ialah pemahaman anak tentang apakah dunia ini aman atau berbahaya.

  Agama sangat erat hubungannya dengan pengalaman masa kanak-kanak , sehingga pemberontakan terhadap orangtua sering mencakup pemberontakan terhadap agama. Semakin menyenangkan suasana keagamaan dalam keluarga maka akan semakin besar pulakemungkinan seorang anak mempunyai pengalaman akan kebaikan. Sehingga citra keagamaan yang hangat muncul di dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu, keluarga merupakan lembaga utama dalam sarana sosialisasi agama yang pertama bagi seorang anak. Menurut Mc Cready (Andrew M. Greeley, 1988: 127) bahwa ayah lebih banyak mempengaruhi anak dibandingkan ibu, namun isteri lebih banyak mempengaruhi suaminya . sehingga sosok ibu dianggap figur yang paling tepat dalam proses sosialisasi agama kepada anak-anaknya. Sehingga ibu diharapkan lebih menguasai tentang keagamaan sedangkan ayah menguasai bidang politik, karena ibu merupaka sosok yag ahli dalam sosio-emosional sehingga dapat membentuk hubungan sosial agama dalam keluarga tesebut.

2.8 Defenisi Konsep 1.

  Keluarga berbeda keyakinan adalah keluarga yang berasal dari pasangan yang berasal dari iman yang berbeda, artinya pernikahan yang dilakukan antara dua orang yang berbeda agama tersebut masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.

  2. Pola asuh anak merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) atau pun kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Namun dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pola asuh anak oleh orang tua dalam sosialisasi agama yang terjadi pada keluarga yang berbeda keyakinan.

  3. Sosialisasi agama adalah merupakan proses interaktif antar kelompok sosial yang mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Dimana dalam hal ini sosialisasi agama yang di teliti adalah sosialisasi agama yang berlangsung di dalam keluarga yang berbeda keyakinan agama.

  4. Interaksi sosial adalah merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Dimana interaksi sosial dapat terjadi jika adanya kontak sosial dan komunikasi.

Dokumen yang terkait

Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Yang Berbeda Keyakinan Agama (Studi di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, Kab. Magelang)

19 134 153

Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau).

3 63 87

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PARADIGMA KAJIAN - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabu

0 0 35

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh - Gambaran Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja di Desa Lidah Tanah Kecamatan Perbaungan

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Pola Asuh Keluarga dengan Perilaku Remaja di SMA Negeri 14 Medan

0 0 16

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Personalitas Tokoh Utama Dalam Novel Kinanthi Karya Tasaro Gk: Analisis Struktural

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian anak - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Anak 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua - Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Anak - Gambaran Pola Asuh dan Status Gizi Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

0 0 23

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Keluarga 2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga - Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

0 0 16