Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Yang Berbeda Keyakinan Agama (Studi di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, Kab. Magelang)

(1)

POLA ASUH ANAK DALAM KELUARGA YANG BERBEDA

KEYAKINAN AGAMA

(Studi di Desa Bintaro Sukorejo, Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S-1)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh:

Hesti Ratnasari Karo-Karo

100901079

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas limpahan rahmat dan karunia serta nikmat-Nya, terutama nikmat kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk dapat meyelesaikan studi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul : POLA ASUH ANAK DALAM KELUARGA YANG BERBEDA KEYAKINAN AGAMA (Studi di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, Kab. Magelang). Dengan ketulusan hati penulis ingin menghanturkan terima kasih kepada kedua orang tua, abang dan adik, pimpinan universitas, pimpinan fakultas, pimpinan departemen, dosen dan staf pengajar, informan, dan kawan-kawan yang merupakan bagian dari perjalanan penulis selama menjadi mahasiswa yang menuntut ilmu sosial di Universitas Sumatera Utara, Adapun Mereka adalah

1. Kedua orang tua tercinta yang bukan sekedar membesarkan saja, namun memberikan semangat menjalani hidup dengan moral yang baik, kerja keras dan mandiri, terutama Mama yang saat ini berjuang harus sendiri yang selalu tegar dan tabah membina keluarga dan menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi kami anak-anakmu. Semoga keteladanan ini dapat dipertahankan dan bermafaat bagi semuanya.

2. Bang Yosi, Bang Yopi, dan Adek Dion terimakasi untuk doa, dukungan, dan semangat yang diberikan kepada saya.

3. Bapak Dekan FISIP USU Prof.Dr. Badaruddin, M.si, beserta segenap Staf dan jajaranya;


(3)

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi FISIP 5. Ibu Dra. Rosmiani M.A, sekalu dosen pembimbing saya yang di

tengah-tengah kesibukannya masih menyempatkan dairi untuk membimbing dan memberi banyak masukan dan dukungan guna menghasilkan skripsi yang baik dan bermanfaat bagi banyak pihak.

6. Bapak/ibu Dosen dan staf Pengajar Departemen Sosiologi Fisip USU, Bapak Junjungan S.B.P, Bapak Sismudjito, Ibu Ria Manurung, Ibu Elida Linda, Bapak Rizabuana, Bapak Henry Sitorus, ibu Marhaine, Bapak Muba Simanihuruk, Ibu Harmona Daulay dan Asisten dosen bang Rizky, bang Haris,kakak Irma, kakak Sugi, kakak Arimbi, bang Jonny Marbun S.sos terimakasih atas banyak ilmu yang diberikan semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapatmenjadikan bekal nantinya penulis terapkan dan amalkan ditengah-tengah masyarakat.

7. Teristimewa dan tercinta kepada anak-anak GBF Risoul Mament, Anastasia GBF(Pokahontas), Linda GBF (Aurore), Febri GBF (Penguasa 4 elemen dasar) yang paling menyenangkan sedunia dan tidak ada duanya dimana pun. Terimakasih karena selalu memberikan berbagai semangat, dukungan, dan berbagai cerita khayalan yang sangat menghibur ditengah-tengah kelelahan dan keterpurukan selama masa perkuliahan terutama dalam mengerjakan skripsi ini.

8. Kepada kawan-kawan seperjuangan Angkatan 2010. Terikasih kepada temen seperjuanganku yang selama menyusun skripsi yang ntah kenapa tiba-tiba serasa seperti saudara sedarah yaitu Ayu Kartika RE. Terimakasih


(4)

kepada Yati, Siti, Yuni, Terangta, Hotrina, Sugik, Destriana, Sehadinggit, Yani, Anggi, Andika, dan seluruh teman-teman Sosiologi Fisip USU 2010. 9. Buat Ikatan Mahasiswa Sosiologi (IMASI) dalam pengurusannya, semoga

tahun-ketahun semakin baik.

10. Buat Sahabat yang paling hebat dan baik Indra yang selalu memberikan banyak penghiburan diberbagai permasalahan perkuliahan yang saya hadapi. Teman-teman saya lainnya yang banyak mendukung saya.

Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh kerenanya, kritik dan saran yang konstruktif tetap penulis tunggu dari penyempurnaan dikemudian hari.

Medan, 08 April 2014 Penulis


(5)

Daftar Isi

Kata Pengantar... i

Daftar Isi... iv

Abstrak... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 8

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 10

2.1 Pendekatan Fungsionalisme Struktural ... 10

2. 2 Struktur Sosial Masyarakat Jawa... 12

2.3 Interaksi Sosial... 15

2.4 Keluarga Berbeda Keyakinan... 18

2.4.1 Keluarga... 18

2.4.2 Defenisi Keluarga Berbeda Keyakinan Agama... 19

2.5 Konsep Keluarga Bahagia Menurut Pandangan Sosiologi... 21

2.6 Pola Asuh... 23

2.7 Sosialisasi Agama Dalam Keluarga... 29

2.8 Defenisi Konsep... 33

BAB III METODE PENELITIAN... 35

3.1 Jenis Penelitian... 35

3.2 Lokasi Penelitian... 35

3.3 Unit Analisis dan Informan... 35


(6)

3.3.2 Informan... 36

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 36

3.5 Interperetasi Data... 37

3.6 Jadwal Kegiatan ... 38

3.7 Keterbatasan Penelitian... 38

BAB IV DESKRIPSI DESA DAN INTERPRETASI DATA... 40

4.1 Gambaran Umum Desa Sukorejo Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang... 40

4.2 Profil Informan dan Temuan Data... 46

4.3 Interpretasi Data... 71

4.3.1 Keluarga Berbeda Keyakinan Agama... 71

4.3.2 Keluarga Bahagia Bagi Keluarga Berbeda Keyakinan Agama... 80

4.3.3 Pola Asuh Anak Pada Keluarga Berbeda Keyakinan Agama... 84

4.3.4 Sosialisasi Agama Pada Anak Dalam Keluarga Berbeda Keyakinan... 99

4.3.5 Masalah Yang Dihadapi Keluarga Berkaitan Dengan Perbedaan Keyakinan Agama Dalam Keluarga... 120

.4.3.6 Struktur Sosial Masyarakat Jawa... 125

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 129

5.1 Kesimpulan... 129

5. 2 Saran... 133 Daftar Pustaka


(7)

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pola pengasuhan anak terkait dengan sosialisasi agama yang dilakukan oleh keluarga berbeda keyakinan agama di Desa Bintaro Sukorejo, kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan keluarga yaitu yang terdiri dari orangtua dan anak-anaknya berkarakteristik anak normal dan diatas usia 12 tahun yang merupakan berasal dari keluarga yang berbeda keyakinan agama di Desa Bintaro Sukorejo, Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara dan observasi dengan subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan anak terkait dengan sosialisasi agama yang diterapkan oleh keluarga ini cenderung pada pola pengasuhan demokratis walaupun tidak sepenuhnya demokratis. Dimana pola pengasuhan anak terkait dengan sosialisasi agama di pengaruhi oleh bagaimana komunikasi interpersonal dalam keluarga sehingga masalah-maslah yang muncul dalam keluarga baik itu konflik diri maupun konflik interpersonal dapat teratasi dengan baik. Dalam penentuan pola pengasuhan ini juga dipengaruhi oleh sistem billateral masyarakat jawa sehingga dalam mengasuh anak-anaknya keluarga-keluarga ini cenderung tidak membedakan pengasuhan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. (Kata kunci: Pola asuh anak, Keluarga berbeda keyakinan agama, sosialisasi agama, dan komunikasi interpersonal)


(8)

Abstract

The purpose of this study is to determine how parenting associated with religious socialization conducted by different religious beliefs family in Desa Bintaro Sukorejo, Kecamatan Martoyudan , Kabupaten Magelang. The subjects used in this study are eight families that are made up of parents and their children and characterized by normal children over the age of 12 years which is derived from a different religious beliefs family in the Desa Bintaro Sukorejo , Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang. Data collection techniques in this study is using interviews and observations with the subject . The results showed that parenting associated with religious socialization adopted by this family tends to nurture democratic even if not fully democratic . Where parenting associated with religious socialization is influenced by how where interpersonal communication within the family so that the issues in the family both of conflict self and interpersonal conflict can be resolved properly . In the determination of parenting is also influenced by the system so that the Java community billateral in nurturing their children these families tend not to distinguish care for their sons and doughaters.

( Kata kunci: Parenting, different religious beliefs family, religious socialization, and interpersonal communication)


(9)

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pola pengasuhan anak terkait dengan sosialisasi agama yang dilakukan oleh keluarga berbeda keyakinan agama di Desa Bintaro Sukorejo, kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan keluarga yaitu yang terdiri dari orangtua dan anak-anaknya berkarakteristik anak normal dan diatas usia 12 tahun yang merupakan berasal dari keluarga yang berbeda keyakinan agama di Desa Bintaro Sukorejo, Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara dan observasi dengan subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan anak terkait dengan sosialisasi agama yang diterapkan oleh keluarga ini cenderung pada pola pengasuhan demokratis walaupun tidak sepenuhnya demokratis. Dimana pola pengasuhan anak terkait dengan sosialisasi agama di pengaruhi oleh bagaimana komunikasi interpersonal dalam keluarga sehingga masalah-maslah yang muncul dalam keluarga baik itu konflik diri maupun konflik interpersonal dapat teratasi dengan baik. Dalam penentuan pola pengasuhan ini juga dipengaruhi oleh sistem billateral masyarakat jawa sehingga dalam mengasuh anak-anaknya keluarga-keluarga ini cenderung tidak membedakan pengasuhan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. (Kata kunci: Pola asuh anak, Keluarga berbeda keyakinan agama, sosialisasi agama, dan komunikasi interpersonal)


(10)

Abstract

The purpose of this study is to determine how parenting associated with religious socialization conducted by different religious beliefs family in Desa Bintaro Sukorejo, Kecamatan Martoyudan , Kabupaten Magelang. The subjects used in this study are eight families that are made up of parents and their children and characterized by normal children over the age of 12 years which is derived from a different religious beliefs family in the Desa Bintaro Sukorejo , Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang. Data collection techniques in this study is using interviews and observations with the subject . The results showed that parenting associated with religious socialization adopted by this family tends to nurture democratic even if not fully democratic . Where parenting associated with religious socialization is influenced by how where interpersonal communication within the family so that the issues in the family both of conflict self and interpersonal conflict can be resolved properly . In the determination of parenting is also influenced by the system so that the Java community billateral in nurturing their children these families tend not to distinguish care for their sons and doughaters.

( Kata kunci: Parenting, different religious beliefs family, religious socialization, and interpersonal communication)


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak awal keberadaan seorang individu memiliki relasi yang mutlak dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya (keluarga inti/batih). Pada umumnya keluarga tersebut terdiri dari orang-orang yang saling berhubungan darah. Dalam setiap masyarakat pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear family), dimana keluarga batih tersebut merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dalam proses pergaulan hidup. Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan budaya dimana ia berada, karena keluarga sebagai kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial.

Menurut Hildred Geertz dalam IPBN (1990: 1) keluarga merupakan jembatan antara individu dan kebudayaannya. Melalui keluarga anak belajar mengenai nilai, peran sosial norma, serta adat istiadat yang ditanamkan oleh orang tuanya. Dengan kata lain, orangtuanya merupakan pengatur norma-norma masyarakat kepada anak-anaknya. Maka sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orangtua sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku anak, baik itu sikap, perilaku, dan kebiasaan yang di tampilkan orangtua akan senantiasa dilihat, diamati, dan ditiru oleh anak baik itu secara sadar atau tidak akan diresapi dan menjadi kebiasaan bagi anak tersebut. Sehingga pola


(12)

pengasuhan anak yang ideal harus dilakukan oleh kedua orangtua. Dimana ayah dan ibu akan saling bekerjasama untuk mengasuh dan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.

Dalam mengasuh anak agama merupakan salah satu faktor yang penting, artinya bahwa ibadah, berdosa, berdoa, dan lain sebagainya merupakan dasar pembentukan perilaku seorang anak. Agama dalam suatu keluarga merupakan hal yang sangat sensitif, karena tidak jarang dalam satu keluarga, agama menjadi landasan berpijak atau menjadi barometer dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua menyadari betul akan pentingnya agama dalam keluarga, karena agama merupakan pedoman hidup. Sehingga dengan menerapkan sistem pola asuh yang tepat terhadap anak maka penyerapan nilai-nilai agama oleh anak akan berjalan secara optimal. Dalam mengasuh anak orangtua perlu melakukan berbagai sosialisasi dalam memberikan pengertian tentang nilai, norma, dan berbagai aturan-aturan lainnya berkaitan dengan agama ini.

Sosialisasi agama adalah proses individu-individu untuk memeluk agama yang dipilihnya. Untuk memahami perkembangan agama pada tingkat individu-individu, kita harus mengetahui bagaimana masyarakat memilih agama, bagaimana mereka berubah, dan bagaimana pandangan mereka tentang. Dalam keluarga Orang tua dinilai sumber informasi tentang kehidupan kolektif. Orang tua mengajarkan pemahaman anak tentang hal-hal supranatural, dan ini merupakan sumber informasi yang memiliki keunggulan temporal dan afektif yang keduanya penting untuk mempengaruhi perilaku beragama.


(13)

Proses sosialisasi agama terhadap anak sangat dipengaruhi oleh sistem pola pengasuhan yang di terapkan oleh orangtua terhadap anak, dimana proses pewarisan pengetahuan mengenai agama baik itu nilai, norma, dan berbagai aturan-aturan yang terkandung didalam agama itu dapat dilihat melalui sistem pola pengasuhan anak yang diterapkan orangtua. Peran orangtua akan mendominasi terhadap keyakinan agama dan perjalanan hidup anak-anaknya terutama tentang informasi-informasi penting dalam kehidupan sosial mereka yang berpengaruh terhadap keyakinan beragama mereka.

Pola asuh anak tidak sama bentuknya pada setiap suku, bahkan keluarga, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, latar belakang pendidikan, mata pencaharian, keadaan ekonomi, dan adat-istiadat dari orang tua (IPBN 1993 : 3). Dengan kata lain, pola pengasuhan anak pada keluarga petani tentunya akan berbeda dengan pola pengasuhan anak dalam keluarga yang bukan petani ; demikian pula dengan pola pengasuhan anak pada keluarga yang berbeda keyakinan agama akan berbeda pula dengan pola pengasuhan anak pada keluarga yang menganut satu keyakinan agama tertentu.

Fenomena keluarga berbeda keyakinan agama merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, terutama di kota-kota besar yang heterogen penduduknya, misalnya di Pulau Jawa. Di pulau Jawa fenomena keluarga berbeda keyakinan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja tetapi terjadi juga di desa-desa. Kemajuan di berbagai aspek kehidupan telah membuka peluang yang lebih besar kepada anggota suatu golongan masyarakat untuk berinteraksi dengan anggota dari luar golongannya, dimana salah satu akibat dari interaksi tersebut adalah perkawinan lintas agama. Menurut Duvall & Miller dalam Calvina dan


(14)

Adryani (2012) berbagai hal yang mendorong perkawinan beda agama terjadi antara lain meningkatnya toleransi dan penerimaan antar pemeluk agama yang berbeda dan meningkatnya mobilitas penduduk yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan orang yang berlatar belakang berbeda.

Walaupun pernikahan lintas agama ini secara tegas di larang dalam Undang-Undang, tetapi hal ini terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang di peroleh dari Achmad Nurcholish, Yayasan Harmonis Mitra Madania yang dimilikinya telah menerima konseling pasangan beda agama sebanyak lebih dari 1000 pasangan serta membentu menikahkan pasangan beda agama di Indonesia sejumlah 282 pasangan. Angka tersebut di peroleh sejak januari tahun 2004 hingga maret 2012 lalu. Daerah yang paling banyak melakukan pernikahan beda agama ini adalah daerah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. (Afny Hanindya, 2013 ).

Pada dasarnya fungsi dan karakteristik dari keluarga berbeda keyakinan ini adalah sama dengan keluarga pada umumnya, dimana keluarga berbeda keyakinan ini juga terikat dengan perikawinan, dan memiliki hubungan kekerabatan baik itu keturunan maupun adopsi. Maka yang membedakan keluarga ini dengan keluarga pada umumnya adalah hanya pada keyakinan agama pada keluarga tersebut, dimana ayah dan ibu menganut agama yang berbeda, misalnya ayah beragama Islam sedangkan Ibu beragama Kristen. Akan tetapi, walaupun perbedaan dalam keluarga tersebut hanya pada satu aspek saja yaitu agama, namun hal ini memberi pengaruh yang sangat besar dalam keluarga tersebut, dan tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini akan menjadi momok dalam keluarga yang


(15)

menimbulkan berbagai konflik yang dapat merusak hubungan harmonis keluarga tersebut.

Dalam keluarga ini anak bisa mengikuti kayakinan agam ayah atau ibu, sehingga ketika dalam keluarga tersebut memiliki lebih dari satu keterunan, maka kemungkinan anak-anak tersebut akan berkeyakinan agama yang berbeda pula satu sama lain. Sehingga sosialisasi agama sebaiknya dilakukan sejak dini, maka tak jarang sepasang suami istri membuat kesepakatan tertentu mengenai keyakinan agama anaknya kelak ketika lahir. Namun bagi keluarga yang demokratis anak diberikan kebebasan dalam memilih keyakinan agamanya, namun akan berdampak pada kebimbangan dalam menentukan keyakinan agamanya ketika remaja nanti. Namun ada pula keluarga melakukan musywarah sehingga anak akan memutuskan secara langsung keyakinan agamanya sejak dini. Kondisi-kondisi tersebut baik secara langsung atau tidak langsung tentunya akan membawa konflik batin pada anak anak dimana anak akan dalam menentukan keyakinan agamanya, karena norma dan nilai pada masa anak-anak diperoleh melalui dari kecil melalui proses imitasi, indentifikasi, asimilasi dan sosialisasi dengan orang lain seperti orang tua, teman, guru dan orang terdekat lainnya (Lute dalam Long S.B, 2007).

Dalam keluarga berbeda keyakinan agama kemungkinan untuk terjadinya konflik sosial lebih besar dibandingkan dengan keluarga pada umumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (Afni Hanindya, 2013) bahwan konflik yang terjadi pada keluarga berbeda keyakinan ini di bagi menjadi dua yaitu konlik sebelum melakukan penikahan yaitu sulitnya memperoleh persetujuan dari masing-masing pihak untuk melakukan penikahan berbeda


(16)

keyakinan. Kemudian konflik yangkedua yaitu konflik setelah melakukan penikahan berbeda keyakinan yaitu terjadi konflik batin dimana terjadi perasaan bersalah didalam diri mereka setelah pernikahan itu. Selain itu konflik dalam keluarga berbeda keyakinan ini akan benar-benar muncul ketika kelahiran seorang anak. Konflik yang terjadi tidak hanya terjadi pada diri masing-masing orang tua tetapi juga pada diri anak dan hal ini akan mempengaruhi keharmonisan dan kekuatan keluarga tersebut.

Menurut lain Rosenbaum & Rosenbaum (1999) dalam Calvina dan Elvi (2012) anak yang lahir dari perkawinan beda agama mungkin mengalami masalah dalam hidup sehubungan dengan status orang tua mereka yang berbeda agama. Masalah-masalah yang dapat muncul antara lain bagaimana upacara ritual kehadiran anak misalnya adzan, sunat, atau pembaptisan, bagaimana pemberian nama anak, agama anak, pendidikan dan pendalaman agama anak, sekolah anak, dan lain-lain. Sehingga pemilihan agama oleh anak menjadi perhatian yang penting bagi orang tua, karena kemungkinan yang terjadi terjadi ketidak jelasan identitas agama anak yang dikarenakn kejadinya kebingungan bagi anak dalam menentukan agama yang akan di pilih.

Konflik beragama yang terjadi dalam keluarga berbeda keyakinan ini dikarenakan oleh kerluarga yang dilandasi oleh dua agama yang berbeda sehingga terjadi kesulitan bagi anak dalam meyakini satu keyakinan agama. Hal ini di karenankan adanya perasaan sungkan oleh anak terhadap orang tua karena merasa akan mengecewakan salah satu orang tuanya ketika memilih keyakinannya. Oleh sebab itu sosialisasi pengetahuan agama dari kedua orang tua sebaiknya dilakukan


(17)

dengan serius dan sungguh sejak anak masih kecil, sehingga anak pun dapat secara bijak dan objektif dalam memilih keyakinannya ketika dai remaja.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nine Is Pratiwi (2010) bahwa konflik dalam keluarga berbeda keyakinan lainnya yaitu berkaitan dengan sistem pola pengasuhan anak, dimana hal ini juga berkaitan dengan sosialisasi agama yang di lakukan oleh orangtua kepada anak-anaknya dalam keluarga tersebut. Sistem pola pengasuhan yang di terapkan oleh orang tua terhadap anak, dimana proses pewarisan pengetahuan mengenai agama baik itu nilai, norma, dan berbagai aturan-aturan yang terkandung didalam agama itu dapat dilihat melalui sistem pola pengasuhan anak yang diterapkan orangtua. Peran orangtua akan mendominasi terhadap keyakinan agama dan perjalanan hidup anak-anaknya terutama tentang informasi-informasi penting dalam kehidupan sosial mereka yang berpengaruh terhadap keyakinan beragama mereka.

Kasus keluarga berbeda keyakinan ini dapat di temukan di Desa Bintaro Sukorejo, Kec. Martoyudan, Kab. Magelang, di mana di desa ini terdapat beberapa keluarga yang berbeda keyakinan. Dimana di desa ini keluarga berbeda keyakinan pada umumnya adalah berkeyakinan agama Islam dan Kristen. Keluarga yang berbeda keyakinan agama ini mampu mempertahankan keluarga mereka hingga saat ini. Dan anak-anak mereka yang sudah remaja juga sudah memilih keyakinan agama yang mereka anut. Namun kebanyakan keturunan dari keluarga tersebut menganut agama Islam.

Berdasarkan latar belakang dan prasurvei tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti keluarga berbeda keyakinan yang ada di Desa Bintaro Sukorejo,


(18)

Kec. Martoyudan, kab. Magelang, yaitu bagaimana keluarga tersebut dapat melalui konflik-konflik yang seharusnya di alami oleh keluarga berbedakeyakinan khususnya terkait dengan pemilihan dan ketetapan keyakinan agama anak. Maka dalam hal ini berkaitan dengan pola pengasuhan dalam sosialisasi agama pada anak dalam keluarga berbeda keyakinan. Sehingga anak-anak dalam keluarga berbeda ini dapat menerima perbedaan yang ada dalam keluarga tersebut dan menyelesaikan konflik-konflik dalam keluarga yang dapat mengakibatkan krisis identitas agama anak.

1.3Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola asuh anak terkait dengan sosialisasi agama yang dilakukan oleh orangtua dalam keluarga yang berbeda keyakinan pada masing-masing anak?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkam perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sistem pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh orang tua di dalam keluarga yang berbeda keyakinan terkait pada proses sosialisasi agama pada anak.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:


(19)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih tentang pola pengasuhan anak dalam keluarga yang berbeda keyakinan khususnya proses sosialisasi agama oleh orangtua terhadap anak, kemudian dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu sosiologi khususnya ilmu sosiologi keluarga dan sosiologi agama.

b. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dan mahasiswa dalam pembuatan kajian ilmiah sehingga diharapkan dapat menjadi rujukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya.


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pendekatan Fungsionalisme Struktural

Pendekatan ini menekankan suatu keteraturan dan keseimbangan suatu sistem dalam masyarakat. Dimana masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatukan dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian memberi pengaruh pada satu bagian lainnya. Sehingga jika fungsional maka struktur itu tidak akan ada bahkan menghilang dengan sendirinya (George Ritzer, 2011: 21).

Suatu analisis fungsional terhadap keluarga menekankan hubungan antara keluarga dan masyarakat luas, hubungan-hubungan internal di antara subsistem-subsistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara keluarga dan kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi. Keluarga merupakan fenomena yang universal. Dimana para individu anggota keluarga bertindak sesuai dengan seperangkat norma dan nilai, yang telah disosialisasikan dalam cara yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari sistem yang bersangkutan, di yakini bahwa tindakan-tindakan yang independen jarang terjadi yang sifatnya adalah asosial (T.O Ihromi, 1999 : 270).

Mengenai hubungan antar anggota keluarga, pendekatan fungsional struktural lebih menyoroti pada peranan keluarga dalam proses sosialisasi yang dialami oleh para anggota masyarakat. Dimana kelompok kekerabatan yang berskala kecil dlaam hal ini adalah keluarga batih yang mampu secra memuaskan


(21)

dapat mengasuh anak-anak yang masih kecil sehingga akan dapat menjadi anggota yang serasi untuk masyarakat luas (Parsons dan Bales dalam T.O Ihromi, 1999 : 271).

Proses sosialisasi pada masa kanak-kanak dapat digambarkan melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcot Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial (T.O Ihromi,1999 : 37). Fase-fase proses sosialisasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Fase Laten merupakan fase dimana anak-anak belum merupakan kesatua individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak sosial dengan lingkungannya. Selain itu, lingkungan juga belum melihat anak sebagai individu yang berdiri sendiri dan yang dapat mengadakan interaksi dengan mereka.

2. Fase Adaptasi merupakan fase dimana anak mulai mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya. Pada fase ini lah peran orangtua menjadi sangat penting dan dominan, karena anak hanya akan belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. Hukuman maupun penghargaan yang diberikan orangtua atas tingkah lakunya, banyak memberikan pengertian kepada anak dalam belajar bagaimana seharusnya mereka bertindak dalam kehidupannya.

3. Fase Pencapaian Tujuan merupakan fase dimana anak tidak hanya menyesuaikan diri, tetapi sudah terarah pada maksud dan tujuan tertentu. Ia akan cenderung mengukangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan penghargaan tertentu.


(22)

4. Fase Integrasi merupakan fase dimana anak sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri yang memang ingin dilakukannya sendiri. Norma dan nilai yang ditanamkan oleh orangtuanya sudah menjadi anak atau katahi dari anak, bukan lagi berasal dari luar diri anak.

Fokus lain dari pendekan ini adalah pengaruh timbal balik antara keluarga dengan kepribadian. Dimana peranan masing-masing anggota keluarga baru dapat memperoleh makna khususnya bila dikaitan dengan struktur keluarga tertentu. Jadi keluarga membentuk jenis-jenis pribadi yang diinginkan maka dapat melaksanakan fungsi-fungsinya, dimana dalam prosesnya, setiap warga menyesuaikan kondisi-kondisi yang telah tercipta pada dirinya dimasa lampau terhadap peranannya di masa kini.

2. 2 Struktur Sosial Masyarakat Jawa

Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan di bidang teknologi modern telah mendatangkan kemajuan pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya kemajuan dalam bidang komunikasi. Majunya komunikasi berarti pula telah membuka kesempatan yang lebih besar kepada anggota-anggota dari golongan masyarakat, baik yang namanya suku, ras, maupun agama untuk berinteraksi dari anggota-anggota masyarakat dari luar golongannya. Interaksi tersebut bukanlah hal yang mustahil bila terlahir perkawinan antar suku, ras, bahkan antar agama (Surbakti, 2009 dalam Deassy N.Y dkk).

Kemajuan dari berbagai aspek kehidupan menyebabkan terjadinya interaksi masyarakat dari suatu golongan ke golongan lain, dimana interaksi ini dapat pula berdampak pada terjadinya penikahan lintas agama. Fenomena keluarga berbeda keyakinan agama merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat


(23)

dihindari, terutama di kota-kota besar yang heterogen penduduknya, misalnya di Pulau Jawa. Di pulau Jawa fenomena keluarga berbeda keyakinan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja tetapi terjadi juga di desa-desa.

Masyarakat Jawa merupakan kelompok yang kental dengan kehidupan religinya dan kebudayaan yang khas dan masih terjaga. Kekompleksitas masyrakat Jawa ini sendiri telah menjadi kajian yang menarik oleh Clifford Geerzt. Dimana Geerzt menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok (Muhtadi Ridwan, 2010).

Pengamatan Geertz masyarakat Jawa merambah pada praktik hidup penduduk setempat. Geertz juga mengambil penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat jawa yang didasarkan pada kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik. Dia kemudian menemukan tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan, yakni abangan, santri dan priyayi. dimana secara ringkas tiga varian masyarakat Jawa tersebut yaitu Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi animisme sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; Santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut, pada umumnya


(24)

berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani); dan Priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi ( Muhtadi Ridwan, 2010).

Masyarakat suku jawa juga sangat kental dengan sistem kekerabatannya, dimana sistem kekerabatan mereka bersifat billateral atau parental. Sistem kekerabatan billateral ini artinya garis keturunan berasal dari bapak/ibu. Istilah- istilah yang digunakan dalam sistem kekerabatan Jawa sebagai berikut:

1. Pakde dan Bude (uwa), yaitu semua kakak dari bapak dan ibu, baik laki-laki maupun perempunan beserta suami dan istrinya.

2. Paklik (Paman) dan Bulik (bibi), yaitu semua adik dari ayah dan ibu,baik laki-laki maupun perempuan beserta suami dan istrinya.

3. Nak Ndulur (Sepupu), yaitu anak dari pakde-bude dan paklik-bulik. 4. Misan, yaitu anak dari saudara sepupu.

Pada masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari segi keyakinan dan kesamaan adat yang menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal. Ukuran ideal bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, dan bobot. Sehingga masyarakat Jawa memantangkan pernikahan sedarah. Maka perlu pertimbangan yang sangat matang sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

Melihat adanya struktur sosial dalam masyarakat Jawa yang terbagi menjadi tiga varian ini dan kentalnya kebudayaan masyarakat Jawa ini, maka pada saat ini dengan semakin meluasnya majunya zaman menjadi lebih modern kemungkinan interaksi yang terjadi diantara golongan-golongan tersebut semakin nesar. Sehingga pernikahan diantara golongan yang satu dengan golongan yang lain juga


(25)

bisa saja terjadi. Begitu pula dengan peluang pernikahan berbeda keyakinan pada golongan tersebut juga semakin besar.

2.3 Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia (Gilin dan Gilin dalam Soerjono Soekanto, 2006: 55). Interaksi sosial tidak terjadi jika tidak ada hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak memberikan pengaruh syaraf terhadap hubungan itu.Keberlangsungan suatu interaksi sosial dipengaruhi oleh faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

Faktor imitasi mendorong seseorang dalam mematuhi dan memahami kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Faktor sugesti berlangsung ketika seseorang memberikan suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain, sehingga pemberian sugesti ini sebaiknya dilakukan oleh seseorang yang memiliki bagian terbesar dalam suatu kelompok yang berasangkutan. Identifikasi merupakan keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan yang lain, sehingga kepribadian seseorang dapat terbentuk dalam proses ini. Proses simpati sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Pada proses ini perasaan memegang peranan penting dalam memahami pihak lain dan bekerja sana dengannya. Sehingga proses simpati akan berkembang di dalam suatu keadaan dimana faktor dapat saling mengerti.


(26)

Interaksi sosial akan terjadi jika adanya kontak sosial dan komunikasi (Soerjono Soekanto, 2006 : 58). Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu:

1. Antara orang-perorangan dimana kontak sosial yang terjadi pada lingkungan keluarga yaitu pada proses sosialisasi.

2. Antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya dimana kontak sosial ini terjadi misalnya seseorang sedang merasakan bahwa tindakan yang dilakukannya telah berlawanan dengan norma-norma masyarakat.

3. Antara suatu kelompok manusia denga kelompok manusia lainnya, dimana kontak sosial ini terjadi pada dua kelompok masyarakat yang saling bekerjasama dalam suatu kompetisi untuk memperoleh suatu kemenangan ataupun kekuasaan.

Komunikasi merupakan ketika seseorang memberikan suatu tafsiran pada perilaku orang lain baik itu dalam berbentuk percakapan maupun sikap dan perasaan-perasaan yang ingin di sampaikan oleh seseorang. Sehingga dengan adanya komunikasi maka sikap dan perasaan seseorang atau kelompok dapat diketahui dan dipahami oleh pihak lain. Dengan demikian, komunikasi dapat memungkinkan seseorang atau kelompok melakukan kerjasama dengan kelompok pihak lain, tetapi komuniksi juga tidak selalu menghasilkan kerjasama namun dapat menghasilkan pertikaian jika terjadi kesalah pahaman.

Suatu proses belajar ataupun sosialisasi terjadi melalui interaksi yang terjadi antara anggota keluarga yaitu dengan memberikan contoh kepada anak


(27)

oleh orang tua atau nilai-nilai dimana orang yang menerima nilai-nilai tersebut adalah anak. Hubungan yang terjadi di dalam keluarga biasanya dilakukan melalui suatu kontak sosial dan komunikasi. Karena interaksi dapat diperoleh melalui kontak sosial dan komunikasi. Sehingga interaksi dan komunikasi yang terjadi di dalam keluarga akan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dan saling memberikan anggapan-anggapan yang berbeda satu sama lainnya. Melalui interaksi maka akan terbentuk gambaran-gambaran tertentu sebagai hasil dari komunikasi yang terjadi antara anak dan orangtua.

Keberhasilan sebuah proses sosialisasi tidak terlepas dari bagaimana interaksi yang terjadi antara anak dan orangtua dalam keluarga, dimana interaksi ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung yang berfungsi mengawasi setiap kegiatan dan memberikan arahan-arahan kepada anak hingga menjadi remaja. Dengan terjalinnya interaksi yang baik antara orangtua dan anak maka proses sosialisasi akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini maka terjadi komunikasi interpersonal yang di lakukan antara anak dan orangtua ketika sosialisasi terjadi.

Di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan antar pribadi memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan masyarakat, terutama ketika hubungan antar pribadi itu mampu memberikan dorongan kepada orang tertentu yang berhubungan dengan perasaan, pemahaman informasi, dukungan, dan berbagai bentuk komunikasi yang mempengaruhi citra diri orang serta membantu orang untuk memahami harapan-harapan orang lain (Burhan Bungin,2006: 260). Dalam proses sosialisasi dalam keluarga hubungan antara anggota dalam keluarga merupakan suatu hubungan yang terjalin melalui


(28)

komunikasi interpersonal antara orangtua dan anak di mana orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak.

Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak di sini bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman bersama terhadap sesuatu hal di mana antara orang tua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau nasehat. Sehingga komunikasi interpersonal menjadi sangat penting karena prosesnya memungkinkan berlangsungnya sebuah dialog. Dialog adalah bentuk komunikasi interpersonal yang menunjukkan terjadinya interaksi.Pada proses sosialisasi keluarga merupakan wadah dalam hubungan interpersonal antara orangtua dan anak yang membawa suatu proses aktivitas transformasi nilai yang terkait dengan perkembangan anak. Hubungan interpersonal muncul dalam bentuk komunikasi keluarga antara orangtua dan anak. Hubungan interpersonal dalam keluarga dikembangkan dalam tahapan hubungan interpersonal untuk mencapai tujuan komunikasi keluarga.

2.4 Keluarga Berbeda Keyakinan

2.4.1 Keluarga

Keluarga merupakan bentuk kelompok terkecil dalam masyarakat yang sangat penting dalam pembentukan struktur sosial kemasyarakatan. Keluarga memiliki sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, dimana masing-masing anggota dalam keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain.

Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi pokok dimana menurut Vembriarto (Khairuddin 1997: 48) fungsi tersebut adalah pertama, fungsi biologik yaitu


(29)

dimana keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak dimana fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Kedua, fungsi afeksi yang tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai yang menjadi faktor penting bagi perkembangan kepribadian anak. Ketiga, Fungsi sosialisasi yang menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.

2.4.2 Defenisi Keluarga Berbeda Keyakinan Agama

Pada hakikatnya, keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan suatu satuan yang khusus (Su’adah, 2005: 22). Maka dalam keluarga berbeda agama ini terdapat ikatan pernikahan, kekerabatan, dan adopsi. Menurut Alden (Afny Hanindya, 2013) keluarga berbeda keyakinan agama(Interfaith Family) merupakan sekelompok orang yang terkait melalui hubungan (penikahan, adopsi, ataupun kelahiran) yang saling berbagi satu sama lain serta para anggota keluarganya memiliki kepercayaan atau menganut agama yang berbeda.

Keluarga berbeda keyakinan agama memiliki setidaknya dua keyakinan dalam keluargatersebut, misalnya dalam keluarga tersebut ayah beragama Islam sedangkan ibu beragama kristen. Selain pada pebedaan agama yang dianut dalam


(30)

keluarga tersebut, hal yang membedakan keluarga ini dengan keluarga pada umumnya adalah ikatan pernikahan berbeda keyakinan (agama) yang disebut juga interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious

marriage (Robinson, 2005). Menurut Mandra & Artadi dalam Eoh (1996),

pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa (Nine Is Pratiwi : 5).

Menurut Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata (Rosyida Widyaningrum, 2011) menjabarkan terdapat empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan yaitu sebagai berikut:

a. Meminta penetapan pengadilan.

b. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama. Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. c. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama, Penundukan diri

terhadap salah satu hukum agama mempelai lebih sering digunakan.

d. Menikah di luar negeri. Solusi terakhir adalah menikah di luar negeri. Banyak artis yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Jika melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut


(31)

mendapat akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.

Keluarga berbeda keyakinan merupakan keluarga yang dibangun dengan pernikahan antar agama oleh pasangan suami dan istri. Dimana pernikahan antar agama yaitu suatu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memeluk agama dan kepercayaannya berbeda satu dengan yang lainnya. Maksudnya adalah perkawinan pasangan yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.

2.5 Konsep Keluarga Bahagia Menurut Pandangan Sosiologi

Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak dan mempunyai hubungan serasi, seimbang dan selaras antar anggota keluarga serta anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Setelah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Secara sosiologis, menurut Melly (1993), keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera. Fungsi keluarga perlu diamati sebagai tugas yang harus diperankan oleh keluarga sebagai lembaga

sosial terkecil yang di akses pada

tanggal 10 Oktober 2013 pukul 7.35 WIB).

Di antara anggota keluarga tersebut, ayah, dan terutama ibu, menduduki posisi yang strategis. Fungsi ayah jelas tidak terbatas pada pencari nafkah dan


(32)

menjadi simbol disiplin dan kewibawaan serta keadilan. Figur yang paling menentukan pribadi anak di kemudian hari adalah ibu. Ibu tetap menjadi obyek lekat (attachment object) atau tambatan hati utama si anak.

Dalam keluarga yang berbeda keyakinan agama, tuntutan menjadi suatu keluarga yang sejahtera dan bahagia menjadi sesuatu yang berat untuk diwujudkan dibandingkan dengan keluarga pada umumnya. Konflik akan sering terjadi ditengah perbedaan bentuk konflik dalam skala kecil seperti hanya pertentangan antar orang yang bersifat pribadi. Dari kedua bentuk proses sosial yang terjadi dalam sebuah keluarga beda agama adalah proses sosial yang asosiatif yang terdiri dari kerjasama dan asimilasi. Kerjasama yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaimana seorang suami dan seorang istri yang berbeda agama berusaha secara bersama- sama untuuk dapat mempertahankan keluarganya agar dapat hidup harrmonis tanpa ada pertentangan meskipun ada perbedaan namun mereka dapat saling menyesuaikan satu sama lain. Sementara dalam proses sosial asimilasi dimana sang suami dan sang istri berusaha untuk lebih meningkatkan sikap toleransi dalamm menjalankan kehidupan sehari- hari sehingga benih- benih pertentangan dapat dicegah. Dengan demikian meski berbeda keyakinan namun keluarga beda keyakinan dapat saling mmengerti dan saling menyesuaikan satu sama lain sehingga dapat tercipta sebuah keluarga yang serasi, selaras dan seimbang atau dengan kata lain harmonis (Sulvianty, 2012 : 27).


(33)

ari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosyidah Widyaningrum (2011) menemukan beberapa faktor yang menjadikan keluarga beda agama ini dapat hidup harmonis dalam menjalani kehidupan berumah tangga diantaranya:

a. Rasa saling menyayangi antar anggota keluarga.

b. Adanya komunikasi yang sehat antar anggota kelompok sehingga semua masalah dapat diselesaikan dengan baik.

c. Saling menghormati dan memberikan kebebasan dalam beribadah, bahkan mendukung pasangannya untuk beribadah maka keharmonisan hidup berumah tangga akan terwujud.

d. Ekonomi yang cukup juga menjadi salah satu faktor keharmonisan rumah tangga beda agama ini, beberapa keluarga mengaku takut berpisah dengan alasan tidak ada jaminan kesejahteraan jika ia memutuskan untuk berpisah. e. Hadirnya anak adalah faktor yang menjadi dasar bagi sebagian keluarga

beda agama tetap mempertahankan kebersamaan mereka.

Sehingga untuk dapat memenuhi faktor-faktor tersebut proses sosial yang terjadi dalam keluarga tersebut harus berjalan dengan baik. dimana proses sosial yang dimaksud adalah proses asimilasi dan kerjasama yang terjadi antara anggota keluarga terutama ayah dan ibu.

2.6 Pola Asuh

Pengasuhan anak adalah bagian dari proses sosialisasi yang paling penting dan mendasar, karena cara pengasuhan anak berfungsi untuk mempersiapkan anak untuk menjadi warga masyarakat. Pengasuhana berasal dari kata asuh ( to ear) yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil.


(34)

Wagne dan Funk dalam IPNB (1993 : 2) menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan kearah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster (IPNB, 1993: 2) yang intinya bahwa mengasuh itu bimbingan menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan, dan sebagainya terhadap mereka yang di asuh. Dengan demikian pengasuhan anak yang merupakan bagian dari sosialisasi pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan dalam suatu masyarakat tertentu.

Menurut Whiting dan Child dalam IPNB (1993 :2) dalam proses pengasuhan anak harus diperhatikan yaitu orang-orang yang mengasuh dan cara-cara penerapan larangan dan keharusan yang dipergunakan. Menurut mereka cara-cara menerapkan larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak ini setidak-tidaknya mengandung sifat pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding), dan pembujukan (inciting).

Pengasuhan anak tidak akan sama bentuknya di setiap keluarga dan setiap suku. Pola pengasuhan ini sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang didukung pula oleh faktor pendidikan, faktor stratifikasi sosial, faktor ekonomi, dan faktor kebiasaan hidup orangtua dalam keluarga tersebut. Selain itu faktor lingkungan misalnya tempat tinggal ataupun sistem kekerabatan pada suatu masayarakat sekitarnya juga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diterapkan dalam suatu keluarga.


(35)

Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan langsung dengan anak adalah orangtua. Pertumbuhan seorang anak berada dibawah asuhan dan perawatan orangtua. Hal ini lah yang menyebabkan orangtua merupakan dasar pertama bagi pembentukan kepribadian anak. Melalui orangtua, anak akan beradaptasi dengan lingkungannya dalam proses pengenalan lingkungan sekitarnya. Menurut Lembaga Riset Psikologi UI dalam IPNB (1990 : 1) dasar pengembangan seorang anak telah diletakkan di tangan orangtua melalui pengasuhan anak sejak anak itu memulai kehidupannya sebagai mahkluk sosial. Masa anak-anak merupakan sangat penting dalam pembentukan karakter seorang individu, karena pada masa ini orangtua akan menanamkan norma, nilai, kebiasaan, sifat-sifat, dan aturan-aturan yang berlaku yang akan mempentuk pola tingkah laku yang diharapkan masyarkat.

Secara teoritis menurut Baumrind dalam Fatchiah (2009 : 85) pola pengasuhan anak terdiri dari tiga bentuk yaitu:

1. Pola Asuh Otoriter

Dalam pengasuhan otoriter ini orang tua memiliki kaidah-kaidah dalam peraturan-peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Pola pengasuhan ini identik dengan hukuman dan tingkah laku anak akan dikekang secara kaku dan dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali perbuatan yang sudah di tetapkan oleh peraturan. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbutan-perbuatannya. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orangtua tanpa merasa perlu


(36)

menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anaknya. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan problem solving-nya buruk), kemampuan komunikasinya buruk serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orangtua. Anak menjadi tidak disiplin dan nakal, pola asuh seperti ini anak diharuskan untuk berdisiplin karena keputusan dan peraturan ada ditangan orangtua. 2. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban orangtua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdiplin. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Orangtua menggunakan diskusi, penjelasan, dan alasan-alasan yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi semua aturan. Orangtua lebih menekankan aspek penididikan ketimbang aspek hukuman. Hukuman hanya diberikan ketika anak-anak menolak perbuatan yang harus dilakukan secara sengaja namun tidak menggunakan kekerasan dan ketika anak melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang patut ia


(37)

laksanakan maka anak tersebut akan memperoleh pujian dari orangtua. Orangtua demokratis adalah orangtua yang berusaha untuk menumbuhkan kontrol dari dalam diri sendiri. Pola asuh demokratis dihubungkan dengan tingkah laku anak-anak yang memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan kognitif.

3. Pola Asuh Permisif

Orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak, dan tidak memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh sikap orangtua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orangtua bertindak . Pada pola asuh ini pengawasan menjadi sangat longgar.

Orangtua belum tentu menggunakan satu pola asuh saja, ada kemungkinan menggunakan tiga pola asuh tersebut sekaligus atau pun secara bergantian. Penentuan penggunaan pola asuh ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (So’adah 2005: 56):

1. Kenyamanan diri orangtua terhadap pola asuh itu sendiri. Artinya orangtua akan mengevaluasi pola asuh yang diterapkan oleh orangtua mereka sewaktu mengasuh mereka. Jika pola asuh yang diterima orangtua saat ia kecil dianggap benar maka pola asuh yang sama akan diterapkan kepada anak-anaknya dan sebaliknya, jika pola asuh tersebut dianggap salah maka orangtua akan menggati pola asuh yang akan diterapkan.

2. Dipengaruhi oleh apa yang dianggap baik oleh masyarakat sekitar dari pada oleh keinginannya sendiri.


(38)

3. Usia orangtua juga mempengaruhi pemilihan pola asuh ini, dimana orangtua yang yang berusia masih muda cenderung menerapkan pola asuh yang demokratis atau permisif dibandingkan dengan mereka yang sudah lanjut usia.

4. Mengikuti kursus persiapan perkawinan atau kursus pemeliharaan anak memberikan pengaruh terhadap pemilihan pola asuh terhadap anak, karena orangtua akan lebih memahami apa yang dibutuhkan oleh anak sehingga mereka cenderung memilih pola asuh demokratis.

5. Jenis kelamin orangtua yaitu wanita lebih mengerti tentang anak oleh karena itu lebih demokratis dibandingkan dengan pria.

6. Status sosial ekonomi yang mempengaruhi orangtua dalam menggunakan pola sosialisasi mereka bagi anak-anaknya.

7. Konsep peranan orangtua, dimana orangtua yang tradisional cenderung lebih menggunakan pola asuh yang otoriter dibandingkan dengan orangtua yang lebih modern.

8. Pada dasarnya orangtua berkemungkinan membedakan pola asuh antara anak perempuan dan anak laki-laki.

9. Usia anak juga mempengaruhi pola asuh orangtua, sehingga pola asuh otoriter sering diterapkan ketika anak masih kecil karena mereka belum mengerti secara pasti mana yang baik dan mana yang buruk.

10.Kondisi anak, dimana bagi anak-anak yang agresif, lebih baik menggunakan pola asuh yang otoriter, sedangkan anak-anak yang mudah merasa takut dan cemas lebih tepat menggunakan pola asuh yang demokratis.


(39)

2.7 Sosialisasi Agama Dalam Keluarga

Vembriarto (Khairuddin, 1997 : 63) menyimpulkan proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya.

Keluarga merupakan kelompok pertama yang akan mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada si anak dan dalam keluarga pula dialami antar aksi dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan sosial. Menurut Vebriarto (Khairuddin, 1997 : 63) pengaruh orang dewasa, pada umumnya anak bersifat patuh dan menerimanya dengan percaya, atau disebut dengan “morality of contraint”. Sebaliknya yang dipelajari anak melalui pergaulannya dengan teman sebaya di sebut ”morality of coorporation”.

Vembriarto (Khairuddin 1997 : 69) menyataka bahwa kondisi-kondisi yang menyebabkan pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak yaitu:

1. Keluarga merupakan kelompok kecil yang saling berinteraksi secara face-to-face, sehingga perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh orangtuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan sosial lebih mudah terjadi.


(40)

2. Dalam mendidik anak orangtua harus mempunyai motivasi yang kuat. Dimana motivasi yang kuat ini menghasilkan hubungan emosional antara orang tua dan anak. Hubungan emosional lebih berarti dan efektif dari pada hubungan intelektual dalam proses sosialisasi.

3. Karena hubungan sosial orangtua dan anak bersifat relatif tetap maka orangtua memainkan peran sangat penting terhadap proses sosialisasi anak.

Dalam keluarga juga terdapat tiga tujuan sosialisasi keluarga yaitu pertama, penguasahan diri merupakan proses mengajar anak untuk menguasai diri dapat dimulai dengan melatih anak misalnya tentang disiplin beribadah dan penguasaan diri secara emosional. Tuntutan sosial ini merupakan pelajaran yang paling berat dalam masyarakat. Kedua, Mengajarkan mengenai nilai-nilai dapat dilakukan secara bersamaan dengan latihan penguasaan diri. Nilai-nilai merupakan dasar dalam diri seseorang sehingga keluarga memegang peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai tersebut. Ketiga, . mempelajari mengenai peranan sosial ini terjadi melalui proses interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga. Setelah anak mengalami perkembangan kesadaran diri sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain, maka anak akan mulai mempelajari peranan sosialnya yang sesuai dengan gambaran tentang dirinya.

Bentuk sosialisasi berbeda-beda dari setiap tahap kehidupan individu dalam siklus kehidupannya. Pada masa kanak-kanak orangtua mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengajarkan tentang kehidupan kepada mereka. Kewajiban orangtua dalam proses sosialisasi di masa kanak-kanak ini adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya


(41)

Pada masa remaja dalam proses sosialisasi ada suatu gejala yang disebut Reverse socialization yang mengacu pada cara dimana orang lebih muda dapat menggunakan pengaruh mereka kepada seseorang yang lebih tua. Menurut Mead ( T.O Ihromi, 1999 : 40) bahwa sosialisasi pada tahap ini banyak menyebabkan perubahan sosial denga cepat. Dan pada masa dewasa sosialisasi yang dialami adalah proses dimana individu dewasa mempelajari norma, nilai, dan peranan yang baru dalam linkungan sosial yang baru pula. Prosesbelajar yang lebih intensif belum tentu sama dengan nilai dan norma yang telah diperoleh pada kesempatan sebelumnya, mungkin berbeda atau bahkan bertentangan, dan proses ini di sebut resosialisasi.

Sosialisasi agama merupakan proses interaktif antar kelompok sosial yang mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Orang-orang berinteraksi dengan berbagai kelompok sosilal yang berbeda, dengan orang-orang , organisasi, dan prefensi agama. Prefensi ini membentuk menginformasikan komitmen terhadap organisasi keagamaan . Individu mempunyai pengaruh terhadap sosialisasi pengalaman dan pemahaman keagamaan untuk meningktkan iman dan religiositas (keberagamaan) masyarakat. Sebaliknya, individu juga memiliki hak yang cukup untuk menolak sosialisasi preferensi agama. Sosialisasi tentang preferensi agama jelas penting, terutama dalam interaksi antara masyarakat yang satu dengan yang lain serta interaksi antar individu dengan

organisasi.(

di akses pada tanggal 25 Agustus 2013 pukul 23:12 WIB)

Keluarga merupakan kelompok utama yang paling penting (par exellence). Semua proposisi tentang kelompok utama dan agama dalam bagian-bagian


(42)

sebelumnya merupakan suatu hipotesis yang dapat diterapkan pada keluarga. Keluarga merupakan masyarakat terpenting di dalam penyebaran agama karena penataan simbol-simbol dasar keagamaan di dalam prasadar tampaknya terjadi pada proses sosialisasi dini masa kanak-kanak. Sering terjadi juga bahwa keluargalah yang menyebarkan penafsiran dasar simbol-simbol dan rumusan-rumusan pernyataan iman yang sederhana dari warisan keagamaan. Namun demikian tidak ada jaminan akan adanya keselarasan antara penataan simbol, pernyataan iman, dan isyarat-isyarat penafsiran yang diterima seorang anak (Andrew M. Greeley, 1988: 119).

Menurut McCready (Andrew M. Greeley, 1988: 120) mengenai keabsahan pendekatan sosialisasi terhadap agama bahwa perilaku keagamaan pada orang dewasa dapat dijelaskan melalui variabel yang merefleksikan perilaku keagamaan orang tua mereka. Hal ini terulang pula pada sosialisasi agama yang dilakukan orangtua ke anak-anak remaja. Menurut McCready bahwa lambang-lambang keagamaan menjukkan bahwa suasana kegembiraan keagamaan dalam lingkungan keluarga mempengaruhi imajinasi keagamaan anggota keluarga dan melalui imajinasi tersebut terbentuk pandangan dunia doa maupun komitmen sosial. Sehingga tidak hanya perilaku orang tua saja yang dapat mempengaruhi keagamaan anak, tetapi hubungan antara ayah dan ibu juga akan mempengaruhi perilaku keagamaan anak pada masa dewasanya. Pengalaman sosialisasi keagamaan yang paling penting di massa kanak-kanak ialah pemahaman anak tentang apakah dunia ini aman atau berbahaya.

Agama sangat erat hubungannya dengan pengalaman masa kanak-kanak , sehingga pemberontakan terhadap orangtua sering mencakup pemberontakan


(43)

terhadap agama. Semakin menyenangkan suasana keagamaan dalam keluarga maka akan semakin besar pulakemungkinan seorang anak mempunyai pengalaman akan kebaikan. Sehingga citra keagamaan yang hangat muncul di dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu, keluarga merupakan lembaga utama dalam sarana sosialisasi agama yang pertama bagi seorang anak. Menurut Mc Cready (Andrew M. Greeley, 1988: 127) bahwa ayah lebih banyak mempengaruhi anak dibandingkan ibu, namun isteri lebih banyak mempengaruhi suaminya . sehingga sosok ibu dianggap figur yang paling tepat dalam proses sosialisasi agama kepada anak-anaknya. Sehingga ibu diharapkan lebih menguasai tentang keagamaan sedangkan ayah menguasai bidang politik, karena ibu merupaka sosok yag ahli dalam sosio-emosional sehingga dapat membentuk hubungan sosial agama dalam keluarga tesebut.

2.8 Defenisi Konsep

1. Keluarga berbeda keyakinan adalah keluarga yang berasal dari pasangan yang berasal dari iman yang berbeda, artinya pernikahan yang dilakukan antara dua orang yang berbeda agama tersebut masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.

2. Pola asuh anak merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) atau pun kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Namun dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pola asuh anak oleh orang tua dalam sosialisasi agama yang terjadi pada keluarga yang berbeda keyakinan.


(44)

3. Sosialisasi agama adalah merupakan proses interaktif antar kelompok sosial yang mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Dimana dalam hal ini sosialisasi agama yang di teliti adalah sosialisasi agama yang berlangsung di dalam keluarga yang berbeda keyakinan agama.

4. Interaksi sosial adalah merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Dimana interaksi sosial dapat terjadi jika adanya kontak sosial dan komunikasi.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi deskriptif. Penelitian kualitatif adalah metode yang bermaksud untuk memahami apa yang dialami oleh subjek peneliti secara holistic dengan cara deskriptif dalam kata-kata dan bahasa dalam kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah dan dengan menggunakan metode ilmiah (Moleong, 2010: 6). Menurut Kountur (2007) dalam Rochie Linda (2009) Penelitian deskiptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu masalah secara rinci, tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Bintaro Sukorejo, Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang. Alasan peneliti memilih lokasi daerah ini adalah dikarenakan di daerah ini terdapat sejumlah keluarga yang berbeda keyakinan agama, sehingga mudah bagi peneliti untuk menemukan keluarga yang akan dijadikan sebagai nara sumber untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan peneliti.

3.3Unit Analisis dan Informan


(46)

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian atau unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007:76). Unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Bintaro Sukorejo, Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang yaitu anggota keluarga dalam keluarga yang berbeda keyakinan agama.

3.3.2 Informan

Informan merupakan subjek memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin 2007 : 76). Dalam penelitian ini informan adalah yaitu anggota keluarga yang berasal dali keluarga yang berbeda keyakinan mulai dari ayah, ibu, dan anak di Desa Bintaro Sukorejo.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif amupun wawancara mendalam, oleh karena itu untuk mendapatka data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu sebagai berikut:

a. Observasi atau pengamatan kegiatan adalah pengumpulan data dengan cara mengamati kegiatan dengan melakukan pengukuran, pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti


(47)

tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, observasi berstruktur dimana peneliti memusatkan penelitian pada kegiatan sehari-hari keluarga yang berbeda keyakinan tersebut.

b. Wawancara mendalam wawancara mendalam dimana adanya proses tanya jawab dari peneliti terhadap informan mengenai masalah-masalah yang terkait secara lengkap dan mendalam. Wawancara yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan informan yang ingin diperoleh dari informan.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara ppenelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal, dan bahan dari situs-situs internet yang dianggap relevan dengan masalh yang diteliti. Dalam penelitian ini tentunya yang berkaitan dengan pola pengasuhan anak pada keluarga yang berbeda keyakinan.

3.5 Interperetasi Data

Interpretasi data adalah analisis keseluruhan data yang telah diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam lalu menyaring data-data penting dengan pembuatan inti dari data yang diperoleh lalu disajikan kembali membentuk data yang sederhana. Data-data yang terkumpul dan telah disederhanakan tadi dikembangkan dengan dukungan-dukungan konsep-konsep


(48)

dalam kajian pustaka dan kemudian akan disajikan sebagai laporan dari penelitian tersebut.

3.6 Jadwal Kegiatan

Jadwal penelitian skripsi ini dilakukan sejak Juli 2013. Secara terperinci kegiatan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

No Jenis Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 ACC Judul √

2 Proposal √ √ √

3 Seminar Proposal √

4 Revisi Proposal √ √

5 Penelitian Lapangan √

6 Pengumpulan Data dan

Interpretasi Data

√ √ √

7 Bimbingan Skripsi √ √

8 Penulisan Laporan √ √ √

9 Sidang Meja Hijau √

3.7 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menyadari masih banyak keterbatasan penelitian baik karena faktor intern dimana peneliti memiliki keterbatasan ilmu dan materi juga karena faktor eksternal seperti informan. Untuk itu bagi para


(49)

akademisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar kajian ilmiah maupun bagi praktisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan diharapkan memperhatikan keterbatasan peneliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Lokasi penelitian yang sangat jauh menyebabkan peneliti mengalami keterbatasan dalam memn]peroleh data setelah selesai melakukan penelitian di lapangan.

2. Dalam melakukan wawancara, peneliti kesulitan untuk mencari informan karena informan dalam penelitian ini adalah wanita yang sibuk bekerja, sehingga peneliti ada beberapa informan yang dijumpai pada malam hari, setelah peneliti membuat janji dengan informan.


(50)

BAB IV

DESKRIPSI DESA DAN INTERPRETASI DATA

4.1 Gambaran Umum Desa Sukorejo Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang

1. Kondisi geografis

Desa Sukorejo merupakan salah satu desa dari tiga belas desa di kecamatan Mertoyudan. Desa sukorejo juga terdiri dari 10 dusun. Desa Sukorejo terletak di dataran rendah dengan suhu rata-rata harian sekitar 360C dengan jumlah bulan hujan enam bulan setahun dengan luas wilayah sekitar 215459,60 Ha/M2.

Desa Sukorejo mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

a. Utara = Berbatasan dengan Desa Banyurojo dan berbatasan dengan Kecamatan Magelang Utara

b. Selatan = Berbatasan dengan Desa Kalinegoro dan berbatasan dengan Kecamatan Borobudur

c. Timur = Berbatasan dengan Desa Bondowoso dan berbatasan dengan Kecamatan Sawitan

d. Barat = Berbatasan dengan Desa Jogonegoro dan berbatasan dengan Kecamatan Tempuran.

Jarak desa Sukorejo dengan Ibu Kota Kecamatan 7,0 Km yang dapat di tempuh dengan kendaraan. Dimana kendaraan dari Desa Sukorejo menuju Ibu Kota Kecamatan ada 3 jenis. Dengan menggunakan kedaraan bermotor dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu jam perjalanan.


(51)

2. Penduduk

Jumlah penduduk Desa Sukorejo sekitar 6441 jiwa pada tahun 2013 dengan jumlah kepala keluarga sekitar 1942 KK. Berikut rincian jumlah penduduk Desa Sukorejo:

Laki-laki = 3232 Jiwa

Perempuan = 3209 Jiwa

Jumlah = 6441 Jiwa

Kesejahteraan keluarga masyarakat Desa Sukorejo: Jumlah keluarga Prasejahtera = 458 KK Jumlah keluarga sejahtera 1 = 598 KK Jumlah keluarga sejahtera 2 = 538 KK Jumlah keluarga sejahtera 3 = 2423 KK Jumlah keluarga sejahtera 3 plus = 2424 KK 3. Pendidikan

Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 81 Orang 83 orang Usia 3-6 tahun yang sedang TK/play

Group

98 Orang 75 orang

Usia 7-17 tahun yang tidak pernah sekolah

36 Orang 29 orang

Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 425 Orang 350 orang Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 7 Orang 18 orang Usia 18-56 tahun yang pernah SD tetapi

tidak tamat


(52)

Tamat SD/Sederajat 160 Orang 130 orang Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat

SLTP

191 Orang 49 orang

Jumlah usia 18-56 tahun yang tidak tamat SLTA

121 Orang 59 orang

Tamat SMP 161 Orang 79 orang

Tamat SMA 1827 Orang 1173 orang

Tamat D-1/sederajat 10 Orang 11 orang

Tamat D-2/sederajat 6 Orang 7 orang

Tamat D-3/sederajat 10 Orang 11 orang Tamat S-1/sederajat 70 Orang 100 orang

Tamat S-2/sederajat 3 Orang 1 orang

Tamat S-3/sederajat 0 Orang 0 orang

Tamat SLB 3 Orang 1 orang

Jumlah Total 3218 Orang 2188 orang

4. Agama

Agama Laki-laki Perempuan

Islam 3035 Orang 3028 orang

Kristen 114 Orang 98 orang

Khatolik 82 Orang 83 orang

Hindu 1 Orang 0 orang

Budha 0 Orang 0 orang


(53)

Kepercayaan Tuhan YME 0 Orang 0 orang Aliran kepercayaan ;ainnya 0 Orang 0 orang

Jumlah 3232 Orang 3209 orang

5. Mata Pencaharian

Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan

Petani 300 Orang 60 orang

Buruh tani 687 Orang 393 orang

Buruh migran Laki-laki / perempuan 6 Orang 17 orang Pengrajin industri rumah tangga 1 Orang 76 orang

Pedagang keliling 20 Orang 30 orang

Montir 17 Orang 0 orang

Dokter swasta 1 Orang 1 orang

Bidan swasta 8 Orang 16 orang

TNI 101 Orang 2 orang

POLRI 11 Orang 0 orang

Pensiunan PNS/TNI/POLRI 192 Orang 32 orang Dukun kampung terlatih 1 Orang 2 orang

Dosen swasta 1 Orang 0 orang

Arsitektur 1 Orang 1 orang

Senimab 2 Orang 0 orang

Karyawan perusahaan swasta 785 Orang 541 orang Karyawan perusahaan pemerintah 25 Orang 15 orang


(54)

PNS 92 orang 76 orang 6. Potensi Desa

a. Pertanahan

Luas persawahan = 89445,00 Ha/m2 Luas Perkebunan = 12803,00 Ha/m2 Luas Kuburan = 13135,00 Ha/m2 Luas Pekarangan = 47,00 ha/m2 Luas Pemukiman = 27,00 Ha/m2 Luas Prasarana Umum = 2,60 Ha/m2 b. Pertanian

Komoditi tanaman = Jagung, kacang tanah, kacang panjang, padi, ubi, dna kangkung

Komoditi buah-buahan = Rambutan, salak, duku, pisang, dan sirsak. c. Peternakan

Hewan yang diternakkan = Sapi, kerbau, ayam kampung, bebek, kuda, kambing, angsa, dan kelinci.

d. Perikanan

Jenis ikan yang di ternakkan = Ikan mas, mujair, nila, dan lele. 7. Potensi Lembaga

a. Kesehatan

Prasarana kesehatan

Poliklinik 1 Unit

Posyandu 9 Unit


(55)

Jumlah tempat praktek Dokter 1 Unit

Rumah bersalin 1 Unit

Balai kesehatan Ibu dan Anak 1 Unit Sarana Kesehatan

Dokter Umum 1 Orang

Pramedis 2 Orang

Bidan 1 Orang

Praktek Dokter 1 Orang

b. Peribadatan

Masjid 12 Gedung

Mushola 8 Gedung

Gereja Kristen Protestan 1 Gedung

Gereja Khatolik 1 Gedung

c. Olahraga

Lapangan Sepakbola 1 Unit

Lapangan Bulutangkis 11 Unit

Meja Pimpong 11 Unit

Lapangan Voli 11 Unit

Pusat Kebugaran 1 Unit

d. Ekonomi

Koperasi Simpan Pinjam 3 Unit Kelompok Simpan Pinjam 22 unit


(56)

Jumlah 25 Unit e. Pendidikan

Nama Jumlah Status Tenaga Pengajar

Siswa/i

TK 2 Terakreditasi 6 64

SD/Sederajat 3 Terakreditasi 53 630

SMP/SMA 0 - 0 0

4.2 Profil Informan dan Temuan Data

1. Bapak Edi Susanto dan Ibu Yuyuk Kusnifah

Bapak Edi Susanto (46) adalah seorang yang beragama Khatolik yang bekerja sebagai karyawan swasta. Dan Ibu Yuyuk Kusnifah (41) adalah istri dari Bapak Edi Susanto yang merupakan seorang beragama Muslim yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Mereka merupakan pasangan suami istri yang membangun keluarga yang berbeda keyakinan. Mereka menikah secara Islam di Meulaboh pada 06 Juli 1999 silam dan setelah sah menjadi suami istri, mereka menjalani agama mereka masing-masing seperti semula yaitu Bapak Edi tetap menjalankan agama Khtolik dan Ibu Yuyuk menjalankan agama Muslim. Mereka masih tetap hidup bersama dan rukun hingga sekarang sebagai keluarga yang bahagia dan harmonis.

Adapun yang menjadikan alasan mereka untuk membentuk sebuah keluarga yang di dasari keyakinan agama yang berbeda adalah karena keduanya sudah sama-sama yakin dan saling mencintai. Bagi mereka agama


(57)

tidak menjadi alasan untuk berpisah karena menurut mereka agama merupakan sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengajarkan kebaikan dan semua agama menyembah Tuhan yang sama hanya saja nama dan caranya saja yang berbeda.

Dalam membangun keluarga yang berbeda keyakinan agama ini Bapak Edi dan Ibu Yuyuk menghadapi sedikit konflik baik itu konflik sebelum menikah maupun setelah menikah yang berkaitan dengan perbedaan agama mereka. Dan mereka mampu menghadapi perasahan itu dengan baik. Hingga saat ini Bapak Edi dan Ibu Yuyuk telah di karuniai dua orang anak, satu perempuan telah menikah dan mempunyai anak satu dan satu laki-laki usia 14 tahun. Sebagai sebuah keluarga, Bapak Edi dan Ibu Yuyuk dituntut untuk dapat mempertahankan dan menjaga keharmonisan keluarga mereka di tengah perbedaan mereka. Namun mereka dapat melakukan hal tersebut hingga mereka masih tetap bersama hingga saat ini.

Sebagai keluarga yang berbeda keyakinan agama keluarga ini juga sangat menjujung tinggi kebebasan beragama. Sehingga dalam melakukan pengasuhan anak baik dalam mengasuh anak maupun mendidik anak-anak mereka, keluarga ini tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. 2. Agam

Agam (14) merupakan anak bungsu dari Bapak Edi Susanto dan Ibu Yuyuk Kusnifah saat ini duduk di kelas 2 SMP. Kegiatan sehari-hari Agam yaitu bersekolah dan mengikuti beberapa les tambahan yang diberikan di sekolah. Selain itu Agam aktif dalam kegiatan remaja Masjid dan berlatih futsal dari sekolah dan tim futsal yang di bentuk di dusunnya.


(58)

Sebagai anak yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda keyakinanan, bukan lah hal yang mudah bagi Agam untuk memahami dan menerima tentang perbedaan tersebut. Semuanya butuh proses hingga akhirnya dia siap memilih agama yang akan dia anut. Dan penentuan agama yang akan diyakini Agam sejak kecil pun merupakan keputusan dan pilihan Agam, karena sejak kecil orangtuanya memberikan kebebasan bagi Agam dalam memutuskan masalah agamanya.

Dalam proses memahami dan menerima perbedaan agama yang terjadi banyak permasalahan yang dihadapi oleh Agam. Begitu pula dengan memutuskan agama yang ingin dia anut bukan lah sesuatu yang mudah untuk diputuskan. Kekecewaan, rasa bingung, dan takut sempat dirasakan Agam ketika dia mencoba memutuskan agama yang ingin diajalani. Namun peran orangtua dalam mengasuhnya membantu dan mendukung Agam dalam memilih agama yang akan dianutnya.

3. Bapak Cyriacus Hendro Wantoro dan Ibu Siti Nurlaila

Bapak Cyriacus Hendro Wantoro (50) seorang beragama Khatolik yang bekerja sebagai seorang supir. Setiap hari Bapak Wantoro lebih sering berada diluar rumah karena profesinya ini, sehingga tidak banyak waktu yang dapat diberikannya kepada keluarganya. Ibu Siti Nurlaila (46) adalah istri Bapak Wantoro yang merupakan seorang beragama Islam yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Dimana kegiatan sehari-hari Ibu Siti hanya mengurus rumah dan anak-anaknya. Mereka membangun sebuah keluarga yang berbeda keyakinan agama pada tahun 1986, maka usia pernikahan mereka hingga saat ini adalah 28 tahun. Hingga saat ini mereka mempunyai empat orang anak


(59)

satu sudah menikah, satu sudah bekerja, dan selebihnya masih sekolah. Dari keenam anak Bapak Wantoro dan Ibu Siti tiga diantaranya sudah sah memilih Islam sebagai agama mereka dan tiga lainnya belum memilih agama secara sah namun mereka lebih cenderung menjalankan agama Islam.

Alasan keduanya memutuskan untuk membentuk sebuah keluarga yang berbeda keyakinan agama adalah karena mereka saling menyayangi satu sama lain dan ingin hidup bersama namun tidak ingin melepaskan agama masing-masing. Sehingga dalam mengambil keputusan ini banyak konflik yang mereka hadapi baik sebelum menikah maupun sesudah menikah yaitu berasal dari keluarga dan dari diri sendiri.

Untuk menjadi keluarga yang bahagia dan harmonis Bapak Wantoro dan Ibu Siti hanya selalu menjaga kerukunan dalam keluarga dengan memberikan kebebasan dalam beragama dan juga saling mengingatkan serta menjaga kekompakan keluarga ini. Kebebasan beragama juga berlaku pada anak-anak mereka, artinya anak-anak mereka diberikan kebebasan daam memutuskan agama yang akan mereka jalani.

Dalam memberikan pemahaman tentang agama ataupun dalam mengasuh anak-anaknya, Bapak Wantoro dan Ibu Siti tidak membedakan pola pengasuhan pada setiap anak, artinya anak laki-laki dan anak perempuan diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan. Karena memberikan pemahaman tentang agama dan perbedaan agama kepada anak menurut Bapak wantoro merupakan tanggung jawab mereka sebagai orangtua.


(60)

4. Wahyu Laras Wati

Wahyu Laras Wati (19) merupakan salah satu anak dari Bapak Wantoro dan Ibu Siti. Wahyu memutuskan untuk berhenti bersekolah ketika dia duduk di bangku SMA sehingga pada saat ini sudah tidak bersekolah lagi. Kegiatan Wahyu sehari-hari adalah membantu Ibunya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengurus adik-adiknya yang masih kecili-kecil.

Wahyu sudah memilih agamanya secara sah yaitu agama Islam. Dimana ketika memilih agama yang akan dianutnya keputusan sepenuhnya berada ditangan Wahyu. Namun pemilihan agama ini mendapat pengaruh bersar dari Ibu Siti karena menurut Wahyu Ibu Siti paling dominan dalam mengasuh dia sejak kecil, baik itu dalam mendidik maupun memberikan penjelasan dan pemahaman keagamaan kepada Wahyu. Namun dalam hal ini bukan berarti Ibu Siti memaksa Wahyu untuk memilih agama Islam sebagai agamanya. Namun dalam mengambil keputusan tersebut, diakui Wahyu banyak permasalahan yang dihadapinya. Tapi dengan bercerita dan konsultasi dengan kedua orangtuanya, Wahyu merasa mendapat banyak masukan dan dukungan sehingga dia dengan mantap memilih Islam sebagai agama yang di yakininya. Dalam mengasuh, Wahyu merasa tidak pernah dibedakan. Kedua orangtuanya memperlakukan mereka sama saja, namun yang palaing dominan mengasuh mereka adalah ibunya karena kondisi pekerjaan Ayahnya yang mengharuskan ayahnya untuk lebih lama di luar rumah.

5. Bapak Yohanes Theodorus Hani Setiawan dan Ibu Yuni Wulansari Bapak Yohanes Theodorus Hani Setiawan (32) adalah seorang beragama katolik yang bekerja sebagai pendamping supir bus antar provinsi, sehingga


(61)

membuat Bapak Hani lebih sering diluar rumah dalam waktu yang lama. Ibu Yuni Wulansari (28) adalah istri Bapak Hani yang merupakan seorang muslim yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. kegitan sehari-hari Ibu Yuni selain mengurus rumah dan anaknya, dia juga membuka warung kecil-kecilan untuk menambah pemasukan selain dari suaminya. Mereka menikah pada tahun 2000 silam secara katolik dan kemudian melaporkan pernikahan mereka pada pencatatan sipil. Selama dua tahun berkeluarga Ibu Yuni menjalani ajaran agama Khatolik, namun selama dua tahun itu Ibu Yuni merasa tidak nyaman dan dapat menjalankan ajaran agama tersebut karena keyakinannya tetap pada ajaran agama Islam. Hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk kembali menjadi seorang yang beragama Islam setelah dua tahun penikahannya dengan Bapak Hani. Sehingga mereka kembali melakukan pernikahan kemabali secara Islam, sejak saat itu lah Keluarga mereka menjadi keluarga yang berbeda keyakinan agama.

Di tengah perbedaan yang ada Bapak Hani dan Ibu Yuni di tuntut untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis, maka untuk mewujudkan hal itu mereka menyadari bahwa mereka harus sadar akan perbedaan yang ada sehingga mereka akan selalu menghargai satu sama lain, saling melengkapi satu sama lain, dan saling mengingatkan kewajiban dalam beragama mereka satu sama lain. Selain itu untuk menjaga kerukunan dan kebersamaan keluarga mereka sering berkumpul besama untuk sekedar berbincang-bincang misalnya ketika makan malam bersama atau melaukan rekreasi bersama.


(62)

Bapak Hani dan Ibu Yuni hanya memiliki satu orang anak. Berkaitan dengan keyakinan si anak mereka berdua memberikan kebebasan kepada anak tentang keyakinan yang akan dianut kedepannya. Artinya tidak ada kesepakatan-kesepakatan tertentu mengenai hal ini sebelumnya. Sebagai orangtua mereka meyadari bahwa mereka sebagai orangtua hanya bisa mengajarkan dan mengarahkan yang terbaik kepada anak dan keputusan sepenuhnya adalah hak anak tersebut. Sehingga ketika melakukan sosialisasi agama keduanya saling bergantian untuk memberikan pemahaman dan mengingatkan anak setiap harinya untuk menjalankan kewajibannya dalam beragama, karena ini akan sangat berpengaruh terhadap keputusan beragama anak kedepannya.

Anak tidak akan begitu saja memahami perbedaan agama yang terjadi dalam keluarganya maka memberikan pemahaman akan hal ini perlu dilakukan. Bapak Hani dan Ibu Yuni memberikan pemahaman tersebut secara perlahan-lahan hingga akhirnya anaknya mengerti dengan kondisi yang ada. 6. Andhika

Andhika (14) adalah anak dari Bapak hani dan Ibu Yuni yang saat ini duduk di kelas 2 SMP. Saat ini Andika lebih memilih untuk menjalani ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-harinya sehingga di sekolah pun dia mempelajari pelajaran agama Islam. Sejak kecil Andhika diberikan kebebasan dalam memilih agama yang akan dianutnya sehingga sebelum memilih agama tersebut kedua orangtua Andika bersama-sama saling memberikan pemahaman dan mengajarkan tentang ajaran agama masing-masing orangtuanya. Orangtua Andhika tidak hanya memberikan pemahaman saja


(63)

melainkan juga memberikan contoh secara langsung bagaimana ibadah dan melaksanakan apa-apa saja yang menjadi kewajiban mereka dalam menjalani agama mereka masing-masing. Sehingga Andhika melaksanakan apa yang dia pahami dan dia lihat dalam melaksanakan kewajiban beragama dari kedua agama tersebut.

Menurut Andhika dalam kehidupannya sehari-hari figur yang paling dominan dalam mengasuh dan memberikan pemahaman tentang agama adalah Ibu Yuni. Ibu Yuni menjadi lebih dominan dalam mengasuh Andhika karena Bapak Hani lebih sering bekerja di luar kota sehingga tidak memiliki waktu yang banyak tinggal bersama mereka di rumah. Hal ini lah yang menjadi salah satu faktor Andhika saat ini memilih untuk menjalani dan mendalami ajaran agama Islam.

Sebelum akhirnya Andhika memilih untuk menjalani ajaran agama Islam Andhika tidak pernah memperoleh masalah berkaitan dengan hal ini, karena dia sering berkomunikasi dan bertanya kepada orangtuanya tentang dan memperoleh masukan dan juga dukungan dari orangtunya terutama dari ibunya. Sehingga tidak sulit bagi Andhika dalam memilih agama mana yang lebih nyaman dan lebih sesuai dengan keinginan hatinya untuk di jalankan.

Andhika mengaku sangat mudah memahami dan menerima perbedaan agama yang terjadi dalam keluarganya karena kedua orangtunya menjelaskan hal tersebut dengan baik dan dengan cara yang mudah untuk di mengerti. Sehingga dalam pemilihan agama pun Andhika tidak mengalami kesulitan dalam menentukan agamanya kedepanya.


(64)

Bapak Paulus Nugraha Jati (36) merupakan seorang beragama Khatolik yang bekerja sebagai wartawan. Dan Ibu Hartanti Tri Nopi Yanti (40) merupakan seorang beragama Islam yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Keduanya menikah pada 15 Juli 2009 secara Islam di Sleman Yogyakarta. Keduanya memutuskan untuk menikah secara Islam dan menjalani agama mereka masing-masing seperti semula setelah menikah, karena meraka menganggap agama bukan lah suatu penghalang untuk mereka bisa hidup bersama. Menurut Bapak Nugraha dan Ibu Hartanti bahwa agama hanya sebagai pegangan hidup dalam bertingkah laku dan pada dasarnya setiap agama adalah sama.

Bapak Nugraha dan Ibu Hartanti selalu menjaga keharmonisan keluarga mereka dengan tidak memandang perbedaan yang ada. Sehingga sikap saling menghargai, menghormati, dan bertoleransi dapat dengan mudah di terapkan dalam keluarga. Mereka berdua juga selalu membangun komunikasi dengan baik, sehingga ketika terjadi perselisihan dan permasalah lainnya selalu dibicarakan dengan baik dengan kepala dingin untuk memperoleh solusi yang terbaik.

Berkaitan dengan agama yang akan di anut oleh anak, mereka telah membuat kesepakatan bersama sebelum mereka menjalani keluarga berbeda keyakinan ini. Dimana yang menjadi kesepakatan tersebut adalah bahwa anak pertama dalam keluarga tersebut baik itu laki-laki maupun perempuan harus beragama Khatolik sesuai dengan keyakinan dari Bapak Nugraha. Hal ini karena Bapak Nugraha ingin agar penerus pertama dalam keluarga ini adalah seorang Khatolik.


(1)

Foto Keluarga Bapak Sutara saat setela wawancara di rumahnya


(2)

Foto Bapak Toyo sebagai informan yang merupakan keturuan ningrat di desa Sukorejo Setelah awancara


(3)

Akta nikah Bapak Djodi dan Ibu Suci


(4)

Akta Nikah Ibu Sri


(5)

Akta nikah Bapak Wantoro dan Ibu Siti


(6)

Akta nikah Bapak Nugraha dan Ibu Hartanti