Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak Sapi Bali di Peternakan Kepatang I Kabupaten Aceh Tengah

(1)

ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK

SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I

KABUPATEN ACEH TENGAH

TESIS

Oleh

Salman

117039033/MAG

PROGRAM STUDI MEGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK

SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I

KABUPATEN ACEH TENGAH

TESIS

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Master Pertanian Pada Program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatra Utara

Medan

Oleh

Salman

117039033/MAG

PROGRAM STUDI MEGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN


(3)

Judul : Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak Sapi Bali di Peternakan Kepatang I Kabupaten Aceh Tengah

Nama : Salman NIM : 117039033

Program Studi : Megister Agribisnis

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Dr. Ir. Tavi Supriana, MS)

Ketua Anggota

(Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si)

Ketua Program studi, Dekan,

Dr. Ir. Tavi Supriana, MS Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS


(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ... 7

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1Sapi Potong ... 11

2.2.2 Sapi Bali ... 12

2.2.3.Karakteristik Peternak ... 13

2.2.4.Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong ... 17

2.2.5.Produksi ... 25

2.2.6.Regresi Linier Berganda... 27

2.3. Kerangka Pemikiran ... 28

2.4.Hipotesis Penelitian ... 30

III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 32

3.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 33

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 34

3.5 Definisi dan Batasan Operasional ... 37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kawasan Peternakan Ketapang I... 39


(6)

4.3. Populasi Ternak ... 47

4.4. Hijauan Makanan Ternak (HMT) ... 49

4.5 PemberianAir . ... 51

4.6 Tingkat Mortalitas Bibit ... 53

4.7 Tingkat Mortalitas Anak ... 54

4.8 Selang Beranak (Calving Interval) ... 55

4.9 Manajemen Pemeliharaan Ternak ... 56

4.10 Alokasi Tenaga Kerja... 57

4.11 Rasio Jantan dan Betina ... 58

4.12 Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak di Peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 59

4.12.1. Uji Asumsi Klasik ... 60

1. Uji Asumsi Multikolinieritas ... 60

2. Asumsi Heteroskedastisitas ... 61

3. Uji Asumsi Normalitas ... 62

4. Uji Kolmogrov- Smirnov ... 62

4.12.2. Uji kesesuaian (tes goodnes of fit) Model dan Uji Hipotesis... 63

1. Uji Pengaruh Variabel Secara Serempak ... 66

2. Uji Pengaruh variabel Secara Parsial ... 66

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(7)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Data, sumber data dan metode penelitian ... 32

2. Jumlah populasi dan sampel di peternakan Ketapang I

Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah ... 34 3. Penilaian variabel manajemen dalam pemeliharaan sapi ... 35

4. Sarana dan Prasarana di KTM Ketapang I Linge Kabupaten

Aceh Tengah ... 41

5. Umur peternak pada berbagai tingkat keberhasilan peternak

di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 42

6. Pendidikan peternak pada berbagai tingkat keberhasilan di

peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 43

7. Jumlah tanggungan peternak pada berbagai tingkat

keberhasilan peternak di peternakan Ketapang I Kabupaten

Aceh Tengah ... 44

8. Pengalaman peternak pada berbagai tingkat keberhasilan

peternak di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 45

9. Pekerjaan sebelum beternak pada berbagai tingkat

keberhasilan peternak di peternakan Ketapang I Kabupaten

Aceh Tengah ... 46

10. Rata-rata jumlah bibit sapi di peternakan Ketapang I

Kabupaten Aceh Tengah dari Tahun 2005-2013 ... 47

11. Rata- rata penambahan populasi ternak di peternakan

Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah dari Tahun 2005-2013 ... 48

12. Jumlah pemberian hijauan pakan ternak/ hari /ekor/kg di

peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 50

13. Jumlah kebutuhan hijauan pakan ternak yang baru tersedia

dan kekurangan pakan di Ketapang I Kabupaten Aceh


(8)

14. Jumlah pemberian air/ hari/ ekor/ltr di peternakan Ketapang I

Kabupaten Aceh Tengah ... 52 15. Jumlah kebutuhan air yang baru tersedia dan kekurangan air

di peternakan Ketapang I Kabuapten Aceh Tengah ... 52

16. Tingkat mortalitas bibit sapi di peternakan Ketapang I

Kabupaten Aceh Tengah ... 53

17. Tingkat mortalitas anak sapi di peternakan Ketapang I

Kabupaten Aceh Tengah ... 54

18. Rata- rata selang calving interval sapi di peternakan

Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 55

19. Manajemen peternakan sapi di peternakan Ketapang I

Kabupaten Aceh Tengah ... 56

20. Alokasi tenaga kerja pada pemeliharaan sapi di peternakan

Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 57

21. Rasio jantan dan betina induk di peternakan Ketapang I

Kabupaten Aceh Tengah ... 59

22. Hasil uji asumsi multikolonieritas model penambahan

populasi ternak di peternakan Ketapang I ... 60

23. Uji asumsi normalitas model penambahan populasi ternak

sapi menggunakan uji kolmogrov- semirnov ... 63

24. Hasil analisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ...

2. Grafik uji heteroskedastisitas model penambahan populasi ternak... 3. Grafik asumsi normalitas dan histrogram normalitas model

penambahan populasi ternak ...

30 61

62


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Karakteristik peternak di Ketapang I Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah ... 80

2. Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi

penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang I

Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah ... 83 3. Peta Ketapang I ... 85 4. Hasil analisis dengan SPSS versi 16 For Window ... 86


(11)

ABSTRAK

SALMAN (117039033/MAG) Judul Tesis ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I KABUPATEN ACEH TENGAH penelitian ini di lakukan pada tahun 2013 di bawah bimbingan

Dr. Tavi Supriana, MS dan Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si

Peternakan Ketapang I Aceh Tengah merupakan lokasi peternakan yang sengaja didirikan oleh pemerintah daerah untuk pengembangan kawsan peternakan. Pola pengembangan yang ingin di laksanakan adalah pola pengembangan peternakan dengan cara modern. Penambahan populasi sampai saat ini mencapai 1092 ekor, dari yang seharusnya mencapai 6000-7000 ekor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan karakteristik peternak dan menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak di Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah. Data yang digunakan data primer dengan wawancara langsung dengan peternak dan oservasi dengan menggunakan kuesioner di ketapang I metode penentuan sampel dengan metode sensus dan menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda.

Berdasarkan hasil analisis diskriptif diperoleh hasil penelitian bahwa Kecenderungan peternak yang berhasil adalah peternak yang memiliki umur lebih muda (30-35 tahun), pendidikan tinggi (SMA), Jumlah tanggungan 3-4 jiwa, pengelaman pekerjaan sebelumnya adalah peternak. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pakan, air, mortalitas bibit, dan manajemen berpengaruh secara singnifikan terhadap penambahan populasi. sedangkan selang beranak, rasio jantan dengan betina mortalitas anak dan tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penambahan populasi ternak. Disarankan kepada pemerintah daerah sebelum memasukkan ternak ke lokasi peternakan, bibit ternak merupakan calon induk yang sudah dara, air, hijauan pakan ternak terlebih dahulu dipersiapkan dan peternak sudah diberi pelatihan manajemen pemeliharaan ternak, sedangkan untuk peternak di harapkan untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen pemeliharaan ternak serta meluangkan waktu yang lebih banyak untuk pemeliharaan ternaknya.

Kata Kunci : Sapi bali, penambahan populasi ternak, manajemen pemeliharaan ternak


(12)

ABSTRACT

SALMAN (117039033/MAG). Title of the Thesis: THE ANALYSIS OF THE

FACTORS WHICH INFLUENCE THE LOW INCREASE OF BALI CATTLE POPULATION AT PETERNAKAN KETAPANG 1, ACEH TENGAH DISTRICT. The research was conducted in 2013, under the supervision of Dr. Tavi Supriana, MS and Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si

Peternakan Ketapang 1, Aceh Tengah, is a location of ranch intentionally established by the local government for developing ranch area. The development pattern which is going to be carried out is a modern ranch development. Up to the present time, the population of the cattle has been 1,092 heads of cattle with the targeted goal of 6000 to 7000 heads of cattle. The objective of the research was to describe the characteristics of cattle raisers and to analyze some factors which influenced the low increase of the population of cattle in Ketapang 1, Aceh Tengah District. The primary data were gathered by conducting in-depth interviews with the cattle raisers and observation by using questionnaires at Ketapang 1. The samples were taken by using census method and analyzed descriptively with multiple linear regression analysis.

Based on the descriptive analysis, it was found that the cattle raisers who were inclined to be successful were those who were young (30 to 35 years old), high school graduates, had three to four dependents, and had previous experience as cattle raisers. The result of the estimation showed that the variables of food, water, seed mortality, and management had significant influence on the increase of the population, while the birth interval, male and female ratio, calf ratio, and manpower did not have any significant influence on the increase of the cattle population. It is recommended that the local government, before taking cattle into the ranch location, should select nubile breeding stock, water, well-prepared green animal food, and cattle raisers who have been trained in the management of cattle raising, and cattle raisers should improve their capacity in the management of cattle raising and spend much of their time in raising the cattle.

Keywords: Bali Cattle, Increasing Cattle Population, Management of Cattle Raising


(13)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, shalawat beriring salam kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul

“Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak Sapi Bali di Peternakan Ketapang 1 Kabupaten Aceh Tengah”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan Tesis ini tidak akan mungkin bisa tanpa bantuan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak. Tiada kata yang paling indah selain mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam mengatasi kesulitan-kesulitan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih ini penulis haturkan kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS. Selaku Ketua Pembimbing dan Ketua Program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara telah membantu dan mendukung dan mengarahkan penulis dalam Penelitian dan Penulisan Tesis.

2. Bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si. Selaku Anggota Pembimbing yang telah membantu dan mendukung penulis dalam pelaksanaan penyusunan Tesis ini hingga selesai.

3. Ibu Ir. Diana Chalil, M.Si, P.hD selaku Sekretaris Program Studi Magister Agribinis, Bapak Iskandar Simarmata Seluruh Staf Pengajaran dan karyawan pada lingkup Program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian USU. 4. Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas


(14)

5. Ayahanda Pulih, Ibunda tercinta Sepiah, dan Ibu Mertua Zurmiah beserta keluarga yang telah ikut serta memberikan dukungan do’a, materi serta motivasinya hingga selesainya penulisan Tesis ini.

6. Istriku tercinta Maulida dan Anakku Sanny Ulesku yang selalu memotivasi

dukungan dan Do’a hingga selesainya tesis ini.

7. Rekan-rekan Angkatan V MAG Fakultas Pertanian USU, atas segala bantuan dan kerjasamanya dan semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan Tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

8. Abdullah, Rusli dan Salmandi Putra atas tim kerjanya dalam pengambilan data di Ketapang I Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.

9. Bapak, Sukarman, S.P Selaku Kepala UPTD Ketapang Linge dan jajaranya.

10.Kepala Dinas Peternakan Perikanan serta pegawai dan Para peternak di

Ketapang 1 Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam pembahasannya. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dan mengarah kepada penyempurnaan karya tulis ini sangat penulis harapkan sehingga dapat bermanfaat bagi Peternak peternakan Ketapang I.

Akhirnya penulis berharap Tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca serta pihak-pihak lain yang memerlukannya . Amin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Medan, 28 Agustus 2013


(15)

ABSTRAK

SALMAN (117039033/MAG) Judul Tesis ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I KABUPATEN ACEH TENGAH penelitian ini di lakukan pada tahun 2013 di bawah bimbingan

Dr. Tavi Supriana, MS dan Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si

Peternakan Ketapang I Aceh Tengah merupakan lokasi peternakan yang sengaja didirikan oleh pemerintah daerah untuk pengembangan kawsan peternakan. Pola pengembangan yang ingin di laksanakan adalah pola pengembangan peternakan dengan cara modern. Penambahan populasi sampai saat ini mencapai 1092 ekor, dari yang seharusnya mencapai 6000-7000 ekor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan karakteristik peternak dan menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak di Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah. Data yang digunakan data primer dengan wawancara langsung dengan peternak dan oservasi dengan menggunakan kuesioner di ketapang I metode penentuan sampel dengan metode sensus dan menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda.

Berdasarkan hasil analisis diskriptif diperoleh hasil penelitian bahwa Kecenderungan peternak yang berhasil adalah peternak yang memiliki umur lebih muda (30-35 tahun), pendidikan tinggi (SMA), Jumlah tanggungan 3-4 jiwa, pengelaman pekerjaan sebelumnya adalah peternak. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pakan, air, mortalitas bibit, dan manajemen berpengaruh secara singnifikan terhadap penambahan populasi. sedangkan selang beranak, rasio jantan dengan betina mortalitas anak dan tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penambahan populasi ternak. Disarankan kepada pemerintah daerah sebelum memasukkan ternak ke lokasi peternakan, bibit ternak merupakan calon induk yang sudah dara, air, hijauan pakan ternak terlebih dahulu dipersiapkan dan peternak sudah diberi pelatihan manajemen pemeliharaan ternak, sedangkan untuk peternak di harapkan untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen pemeliharaan ternak serta meluangkan waktu yang lebih banyak untuk pemeliharaan ternaknya.

Kata Kunci : Sapi bali, penambahan populasi ternak, manajemen pemeliharaan ternak


(16)

ABSTRACT

SALMAN (117039033/MAG). Title of the Thesis: THE ANALYSIS OF THE

FACTORS WHICH INFLUENCE THE LOW INCREASE OF BALI CATTLE POPULATION AT PETERNAKAN KETAPANG 1, ACEH TENGAH DISTRICT. The research was conducted in 2013, under the supervision of Dr. Tavi Supriana, MS and Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si

Peternakan Ketapang 1, Aceh Tengah, is a location of ranch intentionally established by the local government for developing ranch area. The development pattern which is going to be carried out is a modern ranch development. Up to the present time, the population of the cattle has been 1,092 heads of cattle with the targeted goal of 6000 to 7000 heads of cattle. The objective of the research was to describe the characteristics of cattle raisers and to analyze some factors which influenced the low increase of the population of cattle in Ketapang 1, Aceh Tengah District. The primary data were gathered by conducting in-depth interviews with the cattle raisers and observation by using questionnaires at Ketapang 1. The samples were taken by using census method and analyzed descriptively with multiple linear regression analysis.

Based on the descriptive analysis, it was found that the cattle raisers who were inclined to be successful were those who were young (30 to 35 years old), high school graduates, had three to four dependents, and had previous experience as cattle raisers. The result of the estimation showed that the variables of food, water, seed mortality, and management had significant influence on the increase of the population, while the birth interval, male and female ratio, calf ratio, and manpower did not have any significant influence on the increase of the cattle population. It is recommended that the local government, before taking cattle into the ranch location, should select nubile breeding stock, water, well-prepared green animal food, and cattle raisers who have been trained in the management of cattle raising, and cattle raisers should improve their capacity in the management of cattle raising and spend much of their time in raising the cattle.

Keywords: Bali Cattle, Increasing Cattle Population, Management of Cattle Raising


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian di bawah Dirjen Peternakan Republik Indonesia mengupayakan untuk swasembada daging Indonesia pada tahun 2014. Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana subsektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan daging terus mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan perkapita serta taraf hidup masyarakat. Pembangunan sub sektor peternakan pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam berupa lahan, ternak dan pakan dengan faktor produksi lainnya berupa tenaga kerja dan modal. Semakin meningkatnya permintaan produk peternakan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun industri yang diiringi dengan semakin terbatasnya sumberdaya peternakan menuntut pengelolaan sumberdaya tersebut secara efisien.

Pembangunan peternakan dan kesehatan hewan, sebagai bagian integral pembangunan pertanian akan mempunyai peran penting dalam pencapaian empat target sukses kementan utamanya pencapaian swasembada kedelai, gula, dan daging sapi dan swasembada berkelanjutan untuk padi dan jagung. Pencapaian swasembada daging sapi sebagai kerangka pencapaian empat sukses kementerian pertanian diperlukan beberapa pembenahan untuk menjawab permasalahan mendasar dan isu strategis dalam pembangunan peternakan dan kesehatan hewan


(18)

antara lain : (1). Belum optimalnya sistem perbibitan nasional; (2) Terbatasnya infrastruktur peternakan dan kesehatan hewan; (3) Terbatasnya akses terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usaha ternak; (4) Masih lemahnya kelembagaan dan penyuluh; (5). Kurangnya penciptaan sistem pasar yang menguntungkan ; dan (6). Belum optimalnya pengembangan kapasitas pelaku agribisnis.

Kabupaten Aceh Tengah adalah salah satu daerah yang berpotensi untuk pengembangan peternakan sapi potong, saat ini pemda sudah berupaya untuk mendukung kegiatan swasembada daging pada tahun 2014 tersebut dengan memadukan program pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kabupaten Aceh Tengah telah mendirikan lokasi peternakan yang mengarah pada peternakan yang mandiri serta adanya kemampuan peternaknya untuk mampu mengusahakan ternak secara intensif sehingga meningkatnya pendapatan peternak dan bertambahnya populasi ternak di Kabupaten Aceh Tengah sehingga dapat memenuhi kebutuhan daging sapi di kabupaten tersebut.

Melalui Keputusan Bupati Aceh Tengah nomor 119 tahun 2004 tentang penetapan lokasi pengembanagan peternakan terpadu Ketapang Kampung Owaq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah, pemerintah ingin ikut serta dalam mewujudkan pencapain swasembada daging 2014. Tujuan lain yang ingin dicapai Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah adalah: 1, Menyeimbangkan pembangunan 2, Pemerataan jumlah penduduk 3, Meningkatkan pendapatan masyarakat di kawasan tersebut.4, Membuka peluang investasi swasta dan 5, Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Aceh Tengah.


(19)

Pola pengembanagan yang ingin di laksanakan adalah pola pengembangan peternakan dengan cara modern. Metode yang di gunakan adalah dengan sistem mini ranch dan kreman (penggemukan). Masing- masing kepala keluarga di berikan 2 ha lahan dimana dalam lahan tersebut di bangun tempat tinggal, bak penampung air, pagar, kandang, lahan penanaman pakan ternak dan lahan pengembalaan. Kandang yang di rencanakan terbuat dari papan atap seng dan lantai semen dengan ukuran 1.5 x 2 m dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. (Bapeda Aceh Tengah, 2010).

Peternakan Ketapang merupakan areal peternakan yang di dirikan oleh Pemda Kabupaten Aceh Tengah untuk pengembangan sapi potong. Peternakan tersebut merupakan untuk memberdayakan petani yang mempunyai motivasi untuk beternak. Peternak yang memenuhi syarat dengan memehuni kreteria dari karakteristik calon peternak yang dapat menjadi calon peternak yang masuk kepeternakan ketapang. Adapun peternak yang boleh menjadi calon peternak meliputi umur, pendidikan, jumlah tanggungan, pengalaman beternak dan merupakan masyarakat yang kreteria sudah di tentukan oleh Pemda Kabupaten Aceh Tengah.

Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah melalui bapeda melakukan seleksi terhadap para peternak yang akan masuk ke peternakan Ketapang I, tahapannya seleksi karakteristik dan kemampuan peternak dari kampung, kemudian dilanjutkan ke kecamatan dan trakhir di kabupaten, sehingga peternak yang masuk ini betul betul dapat terjaring dan terseleksi sehingga di harapkan peternakan Ketapang I dapat berhasil dan tercapainya penambahan populasi


(20)

ternak seperti harapan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat dalam memenuhi kekeurangan daging.

Tahun 2005 peternak yang sudah menempati lokasi peternakan yang di bangun oleh pemerintah daerah dengan bantuan dana dari provinsi maupun pusat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi daging sapi secara lokal.

Jumlah petani yang menempati lokasi peternakan Ketapang 1 adalah sebanyak 100 orang dengan luas areal 200 Ha, dengan fasilitas yang di bantu pemerintah meliputi: 1, Kandang, 2. Calon induk ternak sapi potong 15 ekor dengan jumlah ternak betina sebayak 14 ekor dan jantan 1 ekor per petani, 3, Rumah peternak, 4. Lahan hijauan pakan ternak dan pengembalaan 5. Biaya hidup (jadup) mulai dari tahun 2005 s/d tahun 2013, 6. Prasarana pengairan 7. Pelayanan kesehatan hewan 8. Penyuluhan Peternakan dan 9 listrik. Jumlah penambahan populasi ternak sampai pada saat ini adalah 1092 ekor dengan rincian anak lahir 481 ekor, di jual 155 ekor, bagi hasil 77 ekor dan jumlah induk 379 ekor, (Sumber: Dinas Peternakan dan Prikanan Kabupaten Aceh Tengah, 2013). Penambahan populasi tersebut masih jauh dari harapan sebab, Induk ternak yang produktif mulai berproduksi pada umur 2,5 tahun, sehingga dengan jumlah induk betina keseluruhan peternak sebanyak 1300 ekor di diprediksikan penambahan populasi ternak seharusnya sudah mencapai 6000-7000 ekor.


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik peternak sapi potong di peternakan Ketapang I

Kabupaten Aceh Tengah saat ini ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi

ternak sapi potong di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah?

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendiskripsikan karakteristik peternak sapi potong di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah

2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya penambahan

populasi ternak sapi potong di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah terutama Dinas

Peternakan dalam meningkatan populasi ternak bagi peternakan sapi potong agar dapat meningkatkan kesejahteraan peternak, sekaligus sebagai upaya


(22)

memenuhi produksi daging terutama daging sapi dalam memenuhi konsumsi protein hewani.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi peternak untuk meningkatkan populasi

ternak sapi potong di Peternakan Kepatang Kabupaten Aceh Tengah.

3. Sebagai referensi penelitian lebih lanjut bagi pengembangan usaha


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Trinil Susilawati dan Lukman Affandy (2004) tentang tantangan dan peluang peningkatan produktivitas sapi potong melalui teknologi reproduksi, maka disimpulkan bila dilakukan industrialisasi sapi potong maka IB merupakan hal yang penting. Untuk mendapatkan keberhasilan yang tinggi dalam pelayanan inseminasi buatan diperlukan pelayanan teknis dan perencanaan yang baik dalam hal ini melibatkan perencanaan dan pembiayaan yang memadai dari pengusaha selain itu perlu di inventarisasi data tentang lamanya birahi pada sapi hasil persilanagan.

Penelitian yang di lakukan oleh Fikri Ardhani (2006) tentang prospek dan analisa usaha penggemukan sapi potong di Kalimantan Timur ditinjau dari sosial ekonomi dengan kesimpulan agar usaha ternak sapi potong dapat lebih menguntungkan maka diperlukan sumber daya manusia petani peternak yang senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang manajemen perkembangbiakan, manajemen kesehatan, manajemen pakan, manajemen perkandangan dan manajemen sosial ekonomi.

Penelitian yang di lakukan oleh Agustina Abdullah (2012) tentang kinerja penyuluhan dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan mendukung pengembangan sapi potong dengan kesimpulan, kinerja penyuluhan pertanian dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan adalah rendah pada aspek responsivitas dan responsibilitas, namun sedang pada aspek layanan. Upaya


(24)

peningkatan adopsi teknologi pakan sapi potong diperlukan adanya perbaikan dan penyempurnaan dalam kinerja penyuluhan terutama dalam aspek responsivitas dan responsibilitas penyuluhan dalam melakukan program penyuluhan di peternak.

Penelitian yang di lakukan oleh Lukman Affandhy A. dan H.N Krishna (2010) tentang pengaruh perbaikan manajemen pemeliharaan pedet sapi potong terhadap kinerja reproduksi induk pasca beranak (studi kasus pada sapi induk PO di usaha peternakan rakyat Kabupaten Pati Jawa Tengah dengan kesimpulan bahwa dengan perlakukan pembatasan menyusui pedet pada induk pasca beranak pada sapi potong yang di sertai suplementasi akan memperpendek onestrus post partus (APP) days open (DO) dan jarak beranak dengan tidak berpengaruh negatif terhadap terhadap pertambahan badan harian pedet prasapih.

Penelitian yang di lakukan oleh Hamdi Mayulu dkk (2010) tentang kebijakan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Dengan kesimpulan isu penting dalam pengembanagan usaha ternak sapi potong adalah penurunan populasi ternak yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Rendahnya produktivitas ternak serta kompleknya masalah dalam sistem usaha ternak sapi potong merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pengembangan usaha ternak sumber pedaging tersebut. Solusi yang dijangkau adalah mengintegrasikan usaha sapi potong dengan sumber pakan. Sumber pakan yang belum termanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan yang selama ini belum di gunakan secara optimal.


(25)

Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis yaitu kebijakan input, budidaya, serta pemasaran dan perdagangan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak. Dari ketiga dimensi tersebut kebijakan pemasaran (perdagangan) memegang peranan kunci. Keberhasilan kebijakan pasar output akan berdampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang di terima pelaku agribisnis. Kondisi ini akan mendapatkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan pada akhirnya menjamin keberlanjutan investasi.

Penelitian yang di lakukan oleh Endang Romjali dan Ainur Rayid dengan judul keragaan reproduksi sapi bali pada kondisi peternakan rakyat di Kabupaten Tabanan Bali (2007) menyimpulkan keragaan reproduksi sapi bali di Kecamatan Margan dan Panebel Kebupaten Tabanan Provinsi Bali dipengaruhi oleh faktor ketersediaan pakan dan manajemen. Induk sapi bali yang memiliki rata-rata bobot badan di atas 250 kg memiliki jarak beranak lebih pendek. Jarak beranak pada sapi yang lebih panjang akibat kegagalan dalam perkawinan dapat di perbaiki dengan sistem perkawinan secara alam dengan menggunakan pejantan.

Penelitian Peni Wahyu Prihandini, D Pamungkas dan D.B Wijono dengan judul kemampuan mengelola usaha peternakan dalam usaha ternak sapi potong (studi kasus di Kelompok Tani Makmur Desa Tempel Lemahbang Kecamatan Jepon, Blora (2005) dengan kesimpulan berdasarkan potensi wilayah dinamika kelompok dan status manajerial skill peternak responden, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut; 1. Dinamika kelompok peternak dalam


(26)

kelompok usaha pembibitan menunjukan peningkatan cukup bagus dan ditunjang oleh peningkatan karakteristik pengetahuan asli (indigenus knowledge) petani terhadap aspek managerial, yaitu: bibit, pakan, perkandangan, reproduksi, dan pemasaran. 2, guna mencapai sasaran dan tujuan jangka panjang diperlukan perubahan pola pikir peternak untuk berjiwa agribisnis melalui sistem komunikasi yang lebih terbuka dalam suatu wadah kelompok.

Penelitian Matheus Sariubang, A. Nurhayu dan A. Sainap dengan judul pengkajian pembibitan sapi bali pada perternak rakyat di Kabupaten Takalar (2009), dengan kesimpulan ; 1. Tingkat kelahiran dan pendapatan pada pemeliharaan induk sapi bali secara intensif lebih tinggi dibanding pemeliharaan secara tradisional (ekstensif): 2. Induk sapi yang sudah melahirkan akan kembali estrus yang disertai kebuntingan lebih tinggi pada pemeliharaan secara intensif lebih tingi dari pada pemeliharaan secara tradisional.

Penelitian Eniza Saleh dkk, tentang analisis pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang (2006) dengan hasil penelitian dari segi manajemen pemeliharaan ternak, peternak dengan pengalaman beternak tinggi lebih menguasai tatalaksana beternak dengan baik seperti pemberian pakan, perawatan kebersihan kandang dan ternak, perawatan kesehatan, dan penanganan penyakit. Namun dilapangan diperoleh tidak terjadi pengaruh seperti yang di harapkan. Hal ini dapat di sebabkan karena peternak sapi potong di daerah ini sebagian tidak melakukan perubahan – perubahan positif dalam usaha peningkatan pendapatan menurut pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman masing–masing peternak. Banyak yang memiliki


(27)

pengalaman yang memadai namun masih mengelola usaha tersebut dengan kebiasaan – kebiasaan lama yang sama dengan waktu mereka mengawali usahanya sampai sekarang. Menurut Abidin dan Simanjuntak (1977), faktor penghambat berkembangnya peternakan pada suatu daerah dapat berasal dari faktor–faktor topografi iklim, keadaan sosial, tersedianya bahan –bahan makanan rerumputan atau penguat. Di samping itu, faktor pengetahuan yang di miliki masyarakat sangat menentukan pula perkembangan peternakan di daerah itu.

Demikian juga menurut Sudrajat (2005) bahwa tanpa ada motivasi dari diri sendiri jelas merupakan tipe orang yang sulit untuk di ajak bekerja atau berusaha. Jadi, orang-orang yang demikian perlu di berikan motivasi atau dorongan sehinggga timbul niat untuk mau berkerja.

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Sapi Potong

Sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang

memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Seekor ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama sebagai bahan makanan berupa daging di samping hasil ikutan lainya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang di ubah menjadi bahan bergizi tinggi kemudian di teruskan kepada manusia dalam bentuk daging.


(28)

Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi asal Indonesia yang mempunyai potensi untuk di kembangkan. Sapi bali mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga sering di sebut dengan ternak perintis Astuti (2009) .

Sapi bali di jumpai di Indonesia yang telah didomistikasi dari sapi liar masih di jumpai di Ujung Kulon di sebut banteng (bos sundaicus). Jantan sapi bali berwarna coklat tua pada umur 1,5 tahun, dan betina coklat muda. Kehidupan sapi bali di pulau Bali daily-gain atau pertambahan berat hidup mencapai 0,6-0,7 kg/hari/ekor, sedangkan si betina dapat beranak setiap 1,5-2 tahun/sekali. Apabila si pejantan dikebiri warnanya kembali seperti warna si betina Sitepoe (1996).

2.2.2. Sapi Bali

Sapi bali adalah keturunan sapi liar yaitu banteng yang telah mengalami proses penjinakan selain itu sapi bali banyak mempunyai keunggulan sama halnya menurut

1. Subur (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi)

2. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya,

3. Dapat hidup di lahan kritis.

4. Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan.

5. Persentase karkas yang tinggi.

6. Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.

7. Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu

jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal Fever). Sapi Nusa Penida juga dapat menghasilkan vaksin penyakit jembrana.


(29)

8. Kandungan lemak karkas rendah.

9. Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.

10.Fertilitas sapi bali berkisar 83 - 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi eropa

yang 60 %.

11.Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari,

rata-rata persentase kebuntingan 86,56 %, tingkat kematian kelahiran anak sapi

hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, dan interval penyapihan antara

15,48 - 16,28 bulan.

2.2.3 Karakteristik Peternak

Hasil penelitian Yanti (1997) menemukan bahwa karakteristik peternak dapat menggambarkan keadaan peternak yang berhubungan dengan keterlibatannya dalam mengelola usaha ternak. Karakteristik peternak bisa mempengaruhi dalam hal mengadopsi suatu inovasi.

Karakteristik peternak sebagai individu yang perlu diperhatikan untuk melihat apakah faktor-faktor ini akan mempengaruhi respon peternak terhadap inovasi yang diperkenalkan Sumarwan (2004). Simamora (2002) juga mengatakan bahwa karakteristik seseorang mempengaruhi cara dan kemampuan yang berbeda dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan, bagaimana menginterpretasi informasi tersebut.


(30)

Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri seseorang. Karakteristik ini mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lainnya Rogers dan Shoemaker, (1971) dalam Rini Sri Damihartini at All.( 2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, (2005).

2.2.3.1. Umur

Klausmeir dan Goodwin (1966) dalam Haryadi (1997) berpendapat bahwa umur pengajar maupun pelajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan efektivitas belajar dimana kapasitas belajar seseorang tidak merata, tetapi menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik sampai usia dewasa kemudian menurun dengan bertambahnya umur.

Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Haryadi (1997) juga menyatakan bahwa kapasitas belajar akan terus menaik sejak anak mengenal lingkungan dimana kenaikan tersebut berakhir pada awal dewasa yaitu umur 25 tahun sampai 28 tahun, kemudian menurun secara drastis setelah umur 50 tahun.

Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani dalam mengelola usahataninya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik dan kemampuan berpikir. Makin muda umur petani, cenderung memiliki fisik yang kuat dan dinamis dalam mengelola usahataninya, sehingga mampu bekerja lebih kuat dari petani yang umurnya tua. Selain itu petani yang lebih muda mempunyai keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi kemajuan usahataninya (Syafrudin 2003).


(31)

Menurut Wiraatmadja (1977) pendidikan merupakan upaya untuk mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui dan direstui oleh masyarakat, lebih lanjut Slamet dalam penelitian Haryadi (1977) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat pemahamannya terhadap sesuatu yang dipelajarinya.

Muhibinsyah (1995) dalam Kasup (1998) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam melakukan suatu kegiatan, karena melalui pendidikanlah pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dapat dilakukan.

Mardikanto (1990) menyatakan bahwa pendidikan petani umumnya mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Pendidikan yang relatif tinggi menyebabkan petani lebih dinamis dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, 2005.

Suhardiyono (1995) dalam Kasup (1998), juga menyatakan bahwa para ahli pendidikan mengenal tiga sumber utama pengetahuan bagi setiap orang yaitu: (1) pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang panjang yang diperoleh dan dikumpulkan seseorang berupa pengetahuan, keterampilan, sikap hidup dan segala sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari dari kehidupan di dalam masyarakat; (2) pendidikan formal, yaitu struktur dari sistem pendidikan/pengajaran yang kronologis dan berjenjang lembaga pendidikan mulai dari pra sekolah sampai ke perguruan tinggi; (3) pendidikan nonformal adalah


(32)

pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus seperti penyuluhan pertanian.

2.2.3.3. Jumlah Tanggungan Keluarga

Menurut Syafrudin (2003) jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu sumberdaya manusia yang dimiliki peternak, terutama yang berusia produktif dan ikut membantu usaha ternaknya tanggungan keluarga juga bisa menjadi beban keluarga jika tidak aktif bekerja.

2.2.3.4. Pengalam Peternak dan Jumlah Ternak

Pengalaman beternaknya cukup lama akan lebih mudah diberi pengertiannya (Margono dan Asngari, 1969). Jumlah ternak sapi yaitu ternak utama yang diusahakan peternak sebagai mata pencaharian utama oleh peternak, dihitung dalam satuan ternak (ST).

Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan sangat penting bagi petani (Mosher, 1965). dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004). dalam Rini Sri damihartini dan Amri Jahi (2005).

Padmowihardjo (1994), mengemukakan bahwa pengalaman baik yang menyenangkan maupun mengecewakan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Motivasi berusahatani motivasi merupakan usaha yang dilakukan oleh manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan tindakan.


(33)

Motivasi dapat menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan (Padmowihardjo, 2002) dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).

2.2.3.5. Ketersediaan Modal Usahatani

Modal adalah faktor penunjang utama dalam kegiatan berusahatani. Hal ini dikarenakan tanpa modal usahatani niscaya petani akan sulit mengembangkan usahatani yang dilakukan (Wolf, 1985). dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).

2.2.4. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong 2.2.4.1. Pakan

Makanan hijauan adalah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun daunan. Termaksud kelompok makanan hijauan ini adalah bangsa rumput, (grmaninae), legominosa, dan hijauan dari tumbuh tumbuhan lain. Kebutuhan hijauan makanan pada setiap jenis hewan berbeda –beda. Hewan hewan ternak seperti sapi, kerbau dan kambing memerlukan jumlah hijauan lebih banyak dari pada hewan hewan seperti babi dan bangsa unggas. Perbedaan ini terutama pasa sistem alat pencernaan yang berlainan.(AAK, 1983).

Hewan- hewan ternak yang tergolong memiliki sistem alat pencernaan ini makanan pokok hewan ini adalah hijauan. Sedangkan kebutuhan akan makanan penguat sekedar makanan tambahan saja. Pada umumnya jumlah hijauan yang di berikan pada ternak tersebut 10 % dari berat hidup, sedangkan makanan penguat


(34)

di berikan 1 % saja. Sapi potong memerlukan hijauan hijauan hampir 80 % dari seluruh makanan yang di perlukan (AKK, 1983). Menurut (Anonim, 2008) bahan dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan pakan konvensional dan bahan pakan subtitusi, yaitu:

1. Bahan pakan konvensional adalah bahan baku yang sering digunakan dalam

pakan yang biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang cukup (misalnya Protein) dan disukai ternak.

2. Bahan pakan konvensional merupakan bahan makro seperti jagung, bungkil

kedelai, gandum, tepung ikan dan bahan lainnya.

Ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat kasar dalam ransumnya agar proses pencernaanya berlansung secara optimal. Sumber utama serat kasar adalah hijauan. Oleh karena itu, ada batasan minimal pemberian hijauan dalam komponen ternak ruminansia. Untuk penggemukan ternak ruminansia misalnya, kebutuhan minimal hijauan berkisar antara 0,5-0,8 % bahan kering dari bobot badan ternak yang di gemukkan. Apabila usaha penggemukan ternak ruminansia dilakukan dalam waktu relatif singkat maka di perlukan konsentrat yang banyak dalam komponen ransumnya. Namun perlu diketahui bahwa pemberian konsentrat yang lebih dari 60% dalam komponen ransumnya tidak akan ekonomis lagi walaupun harganya murah. (Kenneth dkk, 1960 dalam Sori Basya Siregar, 1996).

2.2.4.2. Manfaat Air dalam Usaha Ternak

Menurut Abidin, Zaenal (2002), air juga berfungsi untuk memandikan sapi, karena tubuh sapi mudah sekali kotor akibat terkena tanah berair (becek) dan


(35)

daki dari keringatnya sendiri atau dari kotoran sapi sendiri, agar selalu bersih, sebaiknya sapi di mandikan sekali sehari, caranya kulit sapi di gosok- gosok dengan sikat, spon, atau bahan lain sehingga bersih.

Air minum yang di berikan pada sapi sebaiknya harus bersih dan tersedia setiap saat, tempat air minum di buat permanen berupa bak semen dan letaknya lebih tinggi dari pada permukaan lantai untuk mempermudah sapi minum, kebutuhan air minum pada sapi mencapai 70 liter / ekor / hari (Sasroamidjojo 1975).

Ketersediaan air minum perlu di perhitungkan terlebih dahulu sebelum suatu usaha pemeliharaan sapi di mulai karena air mutlak dibutuhkan. Ketersediaan air di perlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan kandang atau halaman. Distribusi air kesetiap lapang ternak atau halaman pengelolaan harus terjamin, banyaknya air yang tersedia sangat penting sekali terutama pada ladang ternak (ranch). Ladang ternak yang menampung 180 ekor sapi dan ternak minum 2 kali sehari akan memerlukan bak air minum dengan volume tidak kurang dari 4.500 liter (Parhan A.P 1969).

2.2.4.3. Selang Beranak (Calving Interval)

Lama kebuntingan adalah priode dari mulai terjadinya fertilasi sampai terjadinya kelahiran normal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Lama kebuntingan ini berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak lainnya. Lama kebuntingan sapi pada penelitian ini adalah 284,4 + 5, 7 hari dengan kisaran 278,8 sampai 290,1 hari. Lama kebuntingan untuk sapi bali telah banyak dilaporkan Davendra et.al


(36)

(1973) melaporkan lama kebuntingan sapi bali adalah 287 + 0,7 hari ; dengan kisaran 276 -295 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).lamanya kebuntingan di pengaruhi oleh jenis sapi, jenis kelamin dan jumlah anak yang dikandung dan faktor lain seperti umur induk, musim, sifat genetik dan letak giografis

Lama kebuntingan pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Davendra et

al,1973), lama kebuntingan tersebut di pengaruhi oleh jenis kelamin, iklim, kondisi makanan dan umur induk (Diagra et al 1979 ), selanjutnya di tambahkan oleh Jainudeen dan Hafez (2000) bahwa pertumbuhan dan perkembangan fetus juga di pengaruhi oleh faktor genetik (spesies, bangsa ukuran tubuh dan genotip), faktor lingkungan (industri dan plasenta) serta faktor hormonal, sementara Fane (1990) menyatakan bahwa kisaran bobot lahir sapi bali adalah 13-18 kg atau 9-20 kg (Anonimus ,1979). Bobot lahir anak ditemukan oleh bangsa industri, umur atau aripitas induk dan makanan induk sewaktu mengandung (Sutan,1988).

Jarak beranak kerbau rata- rata 2-3 Tahun (Guntoro et al ,2001), di bandingkan dengan sapi bali yang selang beratnya berkisar 350-589 hari (Darmadja,1981).dalam Suprio Guntoro dan M. Rai Yasa (2002)

Tanari (2011) menyebutkan bahwa perkembangan sapi bali sangat cepat di banding lainya karena tingkat kesuburanya yang tinggi, persentase beranak dapat mencapai 80% dengan bobot lahir berkisar antara 9-20 kg (Anomimus ,1979),

( Jainudeen dan Hafez, 2000). Pada penelitian ini, dari sejumlah 799 Kelahiran ternyata lama kebuntingan pada sapi bali antara anak jantan dan anak betina tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Lama kebuntingan pada induk yang mengandung anak jantan adalah 284 lama kebuntingan pada induk yang


(37)

mengandung anak jantan adalah 284,9 ± 5,7 hari, dan induk yang mengandung anak betina hampir sama yaitu 283,9 ± 5,6 hari.

Performans reproduktivitas yang tinggi pada sapi bali ditandai dengan aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah melahirkan (Talib et al., 2001), sehingga memberikan tingkat efisiensi reproduksi yang lebih baik dibading dengan sapi PO (Putu et al.,1998). Aktivitas ovarium pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan, tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi). Talib et al. (1998) menyatakan bahwa sapi bali rela mengorbankan anaknya dengan cara meminimkan produksi susunya agar aktivitas reproduksinya (siklus birahi) segera aktif kembali setelah melahirkan, sedangkan sapi potong lainnya kebalikannnya yaitu menghentikan aktivitas reproduksinya dan terfokus pada pembesaran anaknya. (dalam Endang Ramjali dan Ainur Rasyid 2007).

Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong, reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap tahun.

2.2.4.4. Rasio Pejantan dan Betina

Salah satu kesuksesan untuk mendapatkan anak sapi melalui kawin alam adalah kemampuan mengenal kekuatan lingkungan yang mendukung, dan bangsa ternak lokal yang telah terbukti adaftip pada lingkungan. Untuk sapi potong, sekitar 95% sistim perkawinan yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia


(38)

adalah secara alam (O'marry dan Dyer, 1978; Hafez, 1993). Teknik perkawinan dengan inseminasi buatan (IB) pada sistim penggembalaan dilaporkan pada beberapa peternakan dan hasil kebuntingan yang didapat cukup tinggi, yaitu berkisar 74-84% pada IB pertama (Wiltbank, 1970). Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian antara lain: (1) pemilihan pejantan dan (2) perbandingan pejantan dan betina .(Dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede)

1. Pemilihan Pejantan

Pemilihan pejantan yang unggul secara genetik menjadi sangat penting untuk meningkatkan produksi ternak baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengaruh bangsa ternak terhadap pertumbuhan anaknya telah dilaporkan oleh Baker (1996). Disamping pemilihan bangsa pejantan, penilaian performa pejantan yang bersangkutan juga diperlukan antara lain : kondisi kaki, testes, penis, internal genitalia melalui palpasi rektal, kualitas semen dan cacat. Testes yang kecil dan lunak merupakan indikasi produksi semen yang rendah. Hubungan antara luas testes dan kualitas semen sudah ditunjukan oleh Reddy et al. (1996). Faktor lain yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kondisi pejantan yang prima karena disamping memproduksi semen juga harus mempunyai libido yang tinggi dan fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi birahi dan mengawini betina (Chenoweth, 1981). Pemberian pakan yang baik, sehinggga total konsumsi mencapai 12-16 TDN, 1,32-2,37 protein tercerna, 35-45.000 IU carotein dan 18-20 mg phosphor per hari selama 90-100 hari sebelum penyatuan pejantan dengan kelompok betina, dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan produksi anak (O'marry dan Dyer ,1978) dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede.


(39)

2. Perbandingan Pejantan dan Betina

Disamping kualitas genetik pejantan perbandingan pejantan, dengan betina sangat mempengaruhi produktivitas. Penentuan perbandingan antara jantan dan betina dipengaruhi banyak faktor, antara lain keadaan topografi padang penggembalaan, umur pejantan, kondisi pastura, pakan dan sumber air yang tersedia dan lama perkawinan. Topografi yang jelek, keadaan pastura dan air yang terbatas, memerlukan jumlah pejantan yang lebih banyak. Perbandingan jantan dan betina antara 30-60 telah dipraktekkan secara luas (Hafez, 1993), dan nisbah yang lebih kecil yaitu 1: 25 untuk waktu perkawinan yang lebih singkat, yaitu 60-90 hari (O'marry and Dyer 1978). Disamping perbandingan jantan betina, jumlah pejantan per satu kelompok perkawinan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan daya kompetisi pejantan untuk mengawini ternak betina ataupun sistim rotasi dimana selalu satu ekor pejantan per satuan jangka waktu tertentu. Kedua sistim perkawinan alam ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistim rotasi dapat mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan dimana pejantan mendapat kesempatan untuk istirahat, pemulihan kondisi dengan

suplementasi makanan dan peningkatan produksi dan deposito semen.

Kekurangannya adalah memerlukan extra tenaga kerja, dan penanganan pejantan selama pengeluaran dari kelompok yang tidak sempurna dapat merupakan stress tambahan untuk pejantan, dan akan mempengaruhi kualitas semen (dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede).


(40)

2.2.4.5. Perkawinan Model Padang Pengembalaan (Angonan).

Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia Bagian Timur (Aryogi 2006 dalam Lukman Affandhy dkk 2007). Model ini kotoran sapi dan dapat langsung jatuh di ladang milik sendiri atau milik petani lain yang berfungsi menambah kesuburan tanah ketika musim tanam. Kapasitas areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina dan beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan (rasio betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman hutan). Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Induk bunting tua maupun setelah beranak tetap langsung diangon bersama

pedetnya.

2. Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati

keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut birahi benar, maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan ditaruh dikandang dekat rumah.

3. Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke hutan atau padang angonan (Tim Prima Tani Way Kanan, 2007).


(41)

4. Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna menghindari kawin keluarga.

5. Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya dipisah dari kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang dekat dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak.

Perbandingan anak jantan dan betina yang lahir pada kedua musim tidak menunjukkan adanya pengaruh musim tersebut. Jumlah anak yang lahir

pada musim hujan sebanyak 40 ekor dengan sex ratio 60% jantan dan 40%

betina sedangkan pada musim kemarau jumlah anak yang lahir sebanyak 30 ekor dengan 18 ekor jantan dan 12 ekor betina (60 : 40). Angka kematian antara umur 0 sampai dengan 5 bulan pada musim kemarau lebih tinggi jika di bandingkan dengan angka kematian anak yang lahir dan hidup pada musim hujan. Masing- masing jumlah anak yang lahir dan yang mati selama priode musim kemarau dan hujan dalam (Lukman Affandhy dkk 2007)

2.2.4.6. Reproduksi

(Suryana 2009) Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu memenuhi permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan sapi potong beberapa permasalahan tersebut adalah: 1) usaha bakalan atau calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena secara ekonomis kurang menguntungkan dan di butuhkan waktu pemeliharaan yang lama, 2) adanya keterbatasan pejantan unggul pada pembibitan dan


(42)

peternak, 3) ketersediaan pakan tidak kontinyu dan kualitasnya rendah terutama di musim kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan angroindustri pertanian sebagai bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan jarak beranak (calving interval) yang panjang.

2.2.5. Produksi

Meskipun banyak keunggulan dari sapi bali, tetapi ditinjau dari pengembangannya terutama usaha peternakan rakyat masih sering muncul beberapa permasalahan diantaranya pola perkawinan yang kurang benar (sering terjadi inbreeding/ perkawinan sedarah), minimnya pengetahuan tentang deteksi berahi sehingga terjadi perkawinan dengan waktu yang tidak tepat, hal ini juga dapat mempengaruhi pruduksi ternak sapi menurun drastis (Reksohadiprojo, S. 1984).

Rendahnya produksi dikarenakan angka kebuntingan sehingga menyebabkan jarak beranak (calving interval) yang terlalu panjang lebih dari 18 bulan yang berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi pertahun dan Akibatnya terjadi penurunan income petani dalam usaha ternaknya, dan dikurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi tepat guna (Sudono, A ,1969).

Faktor produksi usahatani ternak pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga kerja, modal serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa pendapat yang memasukan manajemen sebagai faktor produksi ke empat walaupun tidak langsung (Suratiah, K 2008).


(43)

Ternak sapi potong sebagai salah satu sumber makanan berupa daging, produktivitasnya masih sangat memperhatikan karena volumenya masih jauh dari target yang di perlukan konsumen, hasil ini di sebabkan oleh produksi daging masih rendah (Anwar 2002).

Beberapa faktor yang menyebapkan produksi rendah, yaitu : 1. Populasi rendah

Rendahnya populasi ternak sapi karena umumnya sebagian besar ternak sapi potong yang di pelihara oleh peternak masih dalam skala kecil, dengan lahan dan modal yang sangat terbatas.

2. Produksi rendah

Tingkat produksi rendah akibat faktor tujuan pemeliharaan dan penggunaan bibit belum memadai, serta pakan yang masih rendah.

• Faktor bibit

• Faktor pakan tersedia terbatas

Menurut Guntoro (2008), sapi bali mulai berproduksi antara 2,5 sampai 3 tahun selama 1 tahun sekali. Hal ini juga sangat bergantung pada pakan dan pemeliharaan yang baik dengan berat bakalan bekisar antara 200-300 kg dengan kisaran umur 1-2 tahun.

2.2.6. Regresi Linier Berganda

Analisis regresi menjelaskan hubungan dua atau lebih dari variabel sebab akibat. Artinya variabel yang satu akan di pengaruhi variabel lainya. Besarnya pengaruh variabel ini dapat diduga dengan besar yang ditunjukkan oleh koefisien regresi. Persamaan regresinya yaitu Y = f ( X1, X2, X3, X4 …....Xn )


(44)

dimana Y= variabel yang di jelaskan (dependent variabel) X = variabel yang menjelaskan (Indevenden variabel)

Hubungan Y dan X adalah searah, dimana X akan selalu mempengaruhi Y, dan tidak mungkin terjadi hal yang sebaliknya. Oleh karena itu dalam nodel development, maka pemilihan variabel Y dan X harus cermat dan benar (Soekartawi, 2002)

Analisis Regresi Linier Berganda merupakan sala satu metode regresi untuk mengetimasi α dan β yang disebut dengan metode ordinary least squares method

(OLS), dengan regresi linier berganda dapat mengidentifikasikan hubungan-hubungan yang terjadi antara peubah-peubah bebas dengan peubah tetap. Analisis ini juga dapat mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh peubah bebas tertentu terhadap peubah tetapnya. Dalam penelitian ekonomi dan bisnis, banyak hal yang tidak bisa dikendalikan sehingga regresi berganda sering dibutuhkan untuk menduga pengaruh yang diberikan oleh berbagai peubah secara simultan Newbold, et.al. 2003 dalam Daslina 2006. Model umum regresi linear berganda adalah :

Yi = α+ βX1i +β2X2i + …+ βnXni + ε

dengan α merupakan intercept/constanta, β

i

1, β2,……βn koefisien regresi yang

menggambarkan pengaruh yang diberikan oleh peubah bebas (X1, X2, …Xn)

terhadap peubah tak bebas (Y), dan ε merupakan galat model yang mengakomodasikan kesalahan pendugaan, sedangkan subscript i menunjukkan amatan (responden) ke-i.


(45)

Menurut Lains 2003 dalam dalam Daslina 2006 asumsi dasar OLS sering dilanggar dalam melakukan estimasi sebuah model sehingga parameter yang diperoleh menjadi bias, tidak konsisten dan tidak efisien. Asumsi dasar OLS yang harus dipenuhi menurut Gauss dalam Lains 2003 dalam Daslina 2006 diantaranya adalah tidak terdapat kolinearitas ganda (multikolineraitas) berderajat tinggi yang akan menghasilkan koefisien regresi yang tidak efisien. Yang dimaksud dengan

multicollinearity adalah situasi yang menjelaskan adanya interkorelasi yang tinggi antara variabel penduga Maddala, 1989 dalam dalam Daslina 2006. Selanjutnya disebutkan untuk mengetahui adanya multikolinearitas tersebut dapat diukur dengan nilai variance inflation factor (VIF) dengan rumus sebagai berikut :

1 VIF (βi

1 – R

) =

i2

Dimana Ri 2 adalah koefisien korelasi antara variabel Xi dengan variabel penjelas

lainnya. Dan Mechling (1997 dalam Daslina 2006 menambahkan bahwa nilai VIF yang lebih besar dari 10 memberikan indikasi adanya multikolinearitas.

2.3. Kerangka Pemikiran

Dalam rangka pengembangan kawasan peternakan Ketapang 1 Kabupaten Aceh Tengah , maka perlu di ketahui masalah yang menyebabkan rendahnya penambahan populasi ternak sehingga dapat dicarikan langkah-langkah strategis pengembangan peternakan terutama sapi potong dalam upaya pemberdayaan peternak untuk meningkatkan penambahan populasi ternak sehingga tercapainya


(46)

mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan seperti yang datang dari manusianya atau peternak yang meliputi; umur, pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan, dan pekerjaan sebelum beternak. Faktor faktor yang lainya yang bersumber dari dalam manajemen pemeliharaan ternak tersebut yang perlu di ketahui sehingga masalah yang timbul dari proses peternakan tersebut dapat perkecil. Dalam pemeliharaan ternak, ketersediaan hijauan pakan ternak akan mempengaruhi penambahan populasi ternak, semakin tersedia hijauan secara optimal dan bervariasi maka akan semakin baik pertumbuhan dan penambahan populasi ternak. Setelah pakan air adalah hal utama dalam pertumbuhan ternak, 70 % dari pertumbuhan ternak bersumber dari air, disamping untuk kebutuhan air minum, air untuk penyiraman hijauan makanan ternak, air untuk sanitasi dan lainya sehingga air ini harus tersedia secara terus menerus. Selang beranak (calving interval) merupakan selang beranak induk dari beranak I ke beranak seterusnya semakin pendek selang beranak maka penambahan populasi ternak semakin baik. Rasio jantan dengan betina merupakan perbandingan jumlah jantan dengan betina semakin banyak pejantan unggul yang siap untuk mengawini induk betina maka semakin baik. Mortalitas bibit dan mortalitas anak merupakan tingkat kematian bibit dan anak, semakin kecil nilai persentase kematian maka akan semakin baik. Pencurahan tenaga kerja merupakan ketersediaan waktu peternak dalam mengurusi ternaknya, semakin banyak waktu yang di luangkan peternak maka peternak akan lebih mengetahui permasalahan ternaknya dan solusinya sehingga pemeliharaan ternak bisa lebih optimal. Manajemen pemeliharaan ternak


(47)

merupakan kemampuan peternak dalam mengkombinasikan dan menangani ternaknya secara baik dan efisien sehingga pemeliharaan dapat lebih baik.

Konsep kerangka pemikiran dapat di lihat pada Gambar 1.

Kerangka Pemikiran

Upaya yang di lakukan untuk penambahan populasi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian

Kebijakan Pengembangan Kawasan Peternakan Ketapang 1 Kabupaten Aceh Tengah

Populasi Ternak Sapi Bali

Analisis Faktor- Faktor yang mempengaruhi penambahan populasi ternak:

1. Hijauan makanan ternak 2. Air

3. Selang beranak

4. Rasio jantan dan betina 5. Tingkat mortalitas bibit 6. Tingkat mortalitas anak 7. Pencurahan tenaga kerja

8. manajemen

Analisis karateristik peternak

1. Umur

2. Pendidikan

3. Pengalaman

4. Jumlah tanggungan

5. Pekerjaan sebelum beternak


(48)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Faktor- faktor manajemen pemeliharaan ternak sapi bali (Jumlah hijauan

makan ternak, air, selang beranak, rasio jantan dengan betina, tingkat mortalitas bibit, tingkat mortalitas anak, pencurahan tenaga kerja dan manajemen) berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang 1 Aceh Tengah.


(49)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di peternakan Ketapang I yang berada di Kampung Owaq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Propinsi Aceh yang dilakukan mulai April sampai dengan bulan Juni 2013. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara purposiv sesuai dengan tujuan penelitian bahwa Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Aceh yang mempunyai kawasan budidaya pengembangan sapi potong yang sengaja di dirikan oleh pemerintah daerah dengan sumber dana APBD, APBK dan APBN.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data yang di perlukan dapat di lihat pada Tabel 1.


(50)

Tabel 1. Data, sumber data dan metode Penelitian

No. Data Sumber Metode

a. Sekunder

1. Populasi Ternak Dinas peternakan

2. Perencanaan Bapeda

3. Jumlah Penduduk Dinas Kependudukan

4. Sarana dan Prasarana Dinas Pekerjaan Umum

5. Sarana Prairan PDAM

6. Penyuluhan Badan Penyuluhan

b. Primer

1. Karakteristik Peternak Peternak Wawancara dan Observasi

2. Ketersediaan pakan Peternak Wawancara dan Observasi

3. Ketersediaan Air Peternak Wawancara dan Observasi

4. Calving Interval Peternak Wawancara dan Observasi

5. Sex rasio Peternak Wawancara dan Observasi

6. Mortalitas Bibit Ternak Peternak Wawancara dan Observasi

7. Mortalitas Anak Peternak Wawancara dan Observasi

8. Tenaga Kerja Peternak Wawancara dan Observasi

9. Manajemen Peternak Wawancara dan Observasi

- Metode wawancara, yaitu melakukan wawancara terstuktur dengan

menggunakan kuesioner yang telah dibuat sebelumnya sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap responden yaitu peternak sapi potong

- Metode observasi, yaitu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di

lokasi penelitian yang meliputi peternak selaku objek penelitian dan melihat penambahan populasi ternak setiap tahunnya , manajemen pemeliharaan .

3.3. Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peternak sapi potong yang terdapat pada kawasan pengembangan sapi potong di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah. Besarnya populasi peternak seluruhnya adalah 100


(51)

peternak, sementara peternak yang aktip di lokasi peternakan tinggal 71 peternak, sisanya hanya pada saat tertentu saja datang ke lokasi peternakan dan ada yang sudah meninggalkan Ketapang I sehingga jumlah sampel hanya 71 peternak.

Teknik pengambilan sampel untuk responden peternak dilakukan dengan teknik sensus yaitu bila semua anggota populasi di jadikan sampel (Sugiyono 1999). Lebih lanjut menurut Arikunto Suharsimi apabila subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitian ini merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya besar dapat di ambil antara 10-15 % atau 20-25 % atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari:

a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu tenaga dan dana.

b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karna hal ini

menyangkut banyak sedikitnya data.

c. Besar kecilnya resiko yang di tanggung peneliti. Untuk penelitian yang

resikonya besar tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.

Dari sebanyak 71 orang peternak jumlah populasi dan sampel ternak berdasarkan stratumnya di peternakan Ketapang Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah dapat di lihat pada Tabel 2.


(52)

Tabel 2. Jumlah populasi dan sampel di peternakan Ketapang I Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah

No. Stratum Jumlah Populasi Jumlah Sampel

1. Startum A (5-10 Ekor) 12 12

2. Stratum B (11-15 Ekor) 25 25

3. Stratum C (16-20 Ekor ) 22 22

4. Stratum D ( > 20 Ekor) 12 12

Jumlah 71 71

Sumber: data diolah, 2013.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah populasinya adalah 71 peternak dan sampelnya adalah 71 sehingga metode pengambilan sampel penelitian ini merupakan sampel sensus yang di bagi atas 4 stratum.

3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis yang dilakukan meliputi : (1) Analisis deskriptif; (2) Analisis Faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi peternakan sapi potong dengan Regresi linier Berganda.

Dalam pengolahan data tahapan pertama yang di lakukan adalah analisi diskriftif yang meliputi : (1) Pengeditan hasil kuesioner yang telah terhimpun, (2) Tabulasi data, (3), Pengolahan data (4) Interpretasi dari hasil output secara deskriptif.

Kemudian untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi rendahnya

produksi suatu usaha peternakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses peternakan yang meliputi (1)


(53)

hijauan pakan ternak (2) air (3) selang beranak (calving interval) (4) rasio jantan dengan betina (Sex Rasio) (5) tingkat mortalitas bibit (6) tingkat mortalitas anak (7) pencurahan tenaga kerja dan (8) manajemen. Penambahan populasi ternak sapi potong yang dikelola oleh peternak di Ketapang 1 dengan melihat penambahan populasi ternak selama proses budidaya yang di lakukan oleh peternak. Untuk manajemen indikator yang di amati dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penilaian variabel manajemen dalam pemeliharaan sapi

No. Kegiatan Penilaian manajemen/ Kegiatan Standar Baik Buruk

1. Ketersediaan hijauan makanan ternak 1 0 ada 2. Ketersediaan air 1 0 ada

3. Rasio jantan dengan betina 1 0 1:30 4. Kelahiran Anak 1 0 1 ek/Thn/Induk 5. Pencatatan (Recording) 1 0 ada

Justifikasi :

a.Jika jumlah penilaian manajemen per kegiatan ≥ 3 1 - Baik

b.Jika jumlah penilaian manajemen per kegiatan < 3 - 0 Buruk Sumber data diolah 2013.

Metode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak sapi potong adalah persamaan regresi linear berganda dengan rumus :

Y = α + β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+β5X5+β6X6+β7X7+ β8D8+ ε dimana :

Y = Penambahan Populasi yang di hitung (ekor/ per tahun) X1 = Hijauan makanan ternak (Kg)

X2 = Air (Liter)

X3 = Selang beranak (calving interval) (Bulan) X4 = Rasio jantan dengan betina (%)


(54)

X5 = Tingkat mortalitas bibit (%) X6 = Tingkat mortalitas Anak (%) X7= Pencurahan tenaga kerja (HOK)

D8= Manajemen (variabel dummy 1 =baik dan 0 = buruk) α = Konstanta/Intercept

β = Koefisien regresi ε = Error (galat)

Pengujian hipotesis dengan cara :

1. Uji kesesuaian (test of goodnees of fit)

a. Koefesien determinasi (R2)

b. Uji tingkat penting (test of significant) c. Uji persial (uji statistik)

d. Uji serempak (uji statistik)

2. Uji asumsi klasik pada regredresi linier berganda

a. Uji normalitas

b. Uji multikolinieritas c. Uji heteroskedastisitas

Untuk membantu pengolahan data faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak sapi potong, digunakan bantuan program SPSS 16 for window. Agar variabel yang diduga berpengaruh tersebut dapat dianalisis dengan baik, maka perlu mendefinisikan masing-masing peubah dan pengukurannya.

3.5. Definisi dan Batasan Operasional

1. Kawasan peternakan adalah komplek peternakan yang di buat oleh

pemerintah yang di lengkapi fasilitas- fasilitas pendukung dalam peternakan tersebut.

2. Peternak adalah masyarakat atau penduduk yang tinggal pada kawasan


(55)

3. Penambahan populasi merupakan penambahan ternak yang dihitung dalam ekor/ tahun yang di mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2013.

4. Hijauan makanan ternak adalah jumlah hijauan yang diberikan ke ternak

yang di hitung dalam Kg/ hari/ ekor

5. Air merupakan jumlah yang diberikan ke ternak yang dihitung liter/ hari/ ekor.

6. Selang beranak (calving interval) merupakan selang beranak antara beranak 1 ke beranak selanjutnya yang dihung dalam perbulan.

7. Tingkat mortalitas bibit merupakan persentase tingkat kematian ternak yang di bagikan pemerintah ke peternak di hitung dalam % / dari tahun 2005-2013 8. Tingktat mortalitas anak merupakan persentase tingkat kematian ternak yang

lahir di hitung dalam %/ dari tahun 2005-2013.

9. Pencurahan tenaga kerja merupakan waktu peternak yang digunakan untuk

mengurus ternaknya yang di hitung dalam hari kerja pria.

10. Rasio jantan dan betina merupakan perbadingan antara betina dengan jantan yang di hitung dalam (%)

11. Manajemen merupakan penilaian cara pemeliharaan ternak sapi bila baik 1

dan buruk 0, dengan melihat indikator; ketersediaan hijauan makanan ternak, ketersediaan air minum, rasio jantan dengan betina, kelahiran anak, dan pencatatan (recording).


(56)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Kawasan Peternakan Terpadu Ketapang I 4.1.1. Topografi

Peternakan Ketapang I berada di Kampung Owaq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu kecamatan sebagai kawasan pengembanagan peternakan pola terpadu di Kabupaten Aceh Tengah. Luas lahan + 650 Ha. Tofografi wilayah Kecamatan Linge terletak di antara 100 hingga 2000

m diatas permukaan laut yang terletak pada 04”07”550 LS dan 98”52’5”BT

dengan ibukota kecamatan terletak di Isaq. Potensi Kecamatan Linge sebagaian besar merupakan hutan blantara, hutan pinus dan tanah tandus, semak belukar

peruweren (ladang pengembalaan ternak) yang membujur dari barat ke timur dengan wilayah keseluruhan 2.262,85 KM2

Kawasan Ketapang I terletak di ketinggian antara 500-700 meter di atas permukaan laut, tergolong wilayah beriklim sedang dengan curah hujan berkisar antara 1500-2000 mm

.

3

Topografi lahan di Ketapang I yang berada di Kampung Owaq bergelombang dan berbukit –bukit landai sama dengan wilayah sekitarnya yaitu Kampung Lumut, Owaq, Lane, Penarun, Jamat dan Serule. Vegetasi wilayah ini rumput jenis paspalum, rumput pahit dan rumput rusa serta sedikit alang-alang. Menurut Sudarmono AS. dan Bambang S ketinggian yang ideal untuk

pertahun serta memiliki musim basah 8-9 bulan dan musim kering 3-4 bulan dalam setahunya.


(57)

perkembanagan sapi berkisar 300-1600 meter diatas permukaan laut. Curah hujan dengan rata-rata 1800 mm/tahun. Bila dilihat dari keadaan Ketapang dan teori tersebut keadaan Ketapang I sangat ideal untuk perkembangan sapi bali sehingga dari keadaan topografi tidak menjadi hambatan dalam penambahan populasi ternak sapi bali di peternakan Ketapang I

4.1.2. Penduduk

Mengacu pada data Aceh Tengah dalam angka, jumlah penduduk Kecamatan Linge sampai tahun 2011 tercatat sebanyak 8.958 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 5 Jiwa/ Km2

Kegiatan ekonomi masyarakat Kecamatan Linge pada umumnya berbasis pada sumberdaya alam, dapat di katakan demikian karna unsur pokok dalam kegiatan ekonomi tergantung pada lingkungan, baik usahatani ladang/ sawah

maupun usaha peternakan yang hanya mengandalkan peruweren.

. Jumlah tersebut terdiri dari 4401 jiwa laki- laki dan 4557 jiwa perempuan dengan berbandingan sex ratio 104 % basis ekonomi masyarakat di Kecamatan Linge adalah sektor pertanian dalam arti luas, dimana mata pencaharian penduduk pada umumnya bekerja sebagai petani ladang/ sawah dan sebagai peternak. Dari sebanyak 2.160 KK jumlah rumah tangga di Kecamatan Linge tercatat jumlah rumah tangga yang berusaha di sektor pertanian dalam arti luas mencapai 94,07% atau sebanyak 2.032 KK.

4.1.3 Infrastruktur Sarana dan Prasarana

Jalan yang menghubungkan kampung-kampung ke pusat utama yaitu jalan Takengon-Gayo Lues. Kondisi jalan tersebut sampai pada saat ini dalam


(58)

perbaikan sementara jalan-jalan menuju kampung-kampung yang ada di Kecamatan Linge masih banyak yang kondisinya sangat buruk dan sulit di lalui. Infrastrukur seperti sekolah, puskesmas dan pelayanan lainya masih tergolong rendah di bandingkan dengan daerah lain. kawasan terpadu mandiri (KTM) Ketapang I masih memerlukan perhatian dan kebijakan yang serius sehingga target pemerintah bahwa daerah tersebut akan menjadi lumbung daging sapi akan tercapai.

Sarana dan prasana di KTM Ketapang I berdasarkan perencanaan awal yaitu secara keseluruhan sudah mencapai 99 % . disamping fasilitas yang di berikan per masing- masing KK juga ada fasilitas lain yang sipatnya untuk milik umum, peternak sudah menempati masing- masing 2 Ha lahan dimana peruntuhanya adalah 1 Ha untuk pengembangan HMT (hijauan makanan ternak) 0,5 Ha untuk kandang dan pengembalaan ternak dan 0,5 Ha untuk pertanian lainya. Jenis sarana dan kondisi saat ini dapat di lihat pada Tabel 4.


(59)

Tabel 4. Sarana dan prasarana KTM Ketapang I Linge Kabupaten Aceh Tengah (dari Tahun 2005-2013).

No. Perencanaan Realisasi Kondisi Saat Ini Ket

7. Rumah Sehat Sederhana 2005 Kurang Baik

8. Lahan 2 Ha 2005 Kurang Baik

9. Pagar 2005 Kurang Baik

10. Jalan Produksi dan Jembatan 2005 Kurang Baik

11. Kandang 2005 Kurang Baik

12. Prasarana Air 2005 Kurang Baik

13. HMT 2006 Kurang Baik

14. Kantor UPTD 2007 Baik Tidak ada Air

15. Puskeswan 2007 Baik Tidak ada Air

16. Rumah Petugas Teknis 2007 Baik Tidak ada Air

17. Embung 2009 Kurang baik

Sumber: Data Primer diolah, 2013.

Fasilitas yang ada di peternakan Ketapang I banyak yang sudah mulai rusak seperti jalan produksi dan jembatan yang sudah rusak dan tidak bisa di lalui seperti pada ruas 5 jembatan penghubung antar ruas yang sudah ambruk dan tidak bisa di lewati. Prasarana lain baik milik peternak seperti kandang, tempat HMT rumah peternak dan prasarana umum seperti prasarana pengairan, embung, yang kurang terawat dan kurangnya respon dan kesadaran peternak untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

4.2. Karakteristik Peternak 4.2.1. Umur Peternak

Umur peternak yang bervariasi dan jauh berbeda walaupun peternak sudah melalui tahapan seleksi. Perbedaan umur dan berdasarkan tingkat keberhasilan peternak di peternakan Ketapang I dapat di lihat pada Tabel 5.


(60)

Tabel 5. Umur peternak pada berbagai tingkat keberhasilan peternak di peternakan Ketapang I Aceh Tengah ( Tahun 2005 s/d 2013).

No. Tingkat Jumlah Umur (%) Jumlah Keberhasilan (30-35 Thn) (36-40 Thn) (41-45 Thn) (46 Thn) Peternak

1. Sangat Rendah 41,7 16,7 25,0 16,7 12 (16,90%) 2. Rendah 20,0 32,0 44,0 4,0 22 (30,99%) 3. Tinggi 31,8 36,4 31,8 0 25 (35,21%) 4. Sangat Tinggi 41,7 33,3 25,0 0 12 (16,90%)

Jumlah 22 22 24 3 71 (100%)

Sumber: Data Primer Diolah, 2013.

Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kecenderungan peternak dengan keberhasilan sangat tinggi adalah umur yang lebih muda, katagori umur lebih muda (30-35 tahun) dengan persentase 41,7 %. Sedangkan untuk umur 36-40 tahun dengan persentase 33,3% dan umur 41-45 tahun dengan persentase 25 %. Hasil penelitan tersebut sesuai dengan teori Syafrudin (2003), yang menyatakan bahwa makin muda umur petani, cenderung memiliki fisik yang kuat dan dinamis dalam mengelola usahataninya, sehingga mampu bekerja lebih kuat dari petani yang umurnya tua.

4.2.2. Pendidikan Peternak

Pendidikan peternak seharusnya seragam karna calon peternak merupakan di seleksi. Setelah di lakukan penelitian pendidikan peternak sangat rendah hampir dapat di rata ratakan merupakan tamatan sekolah dasar (SD). Pendidikan peternak di peternakan Ketapang I Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah dapat dilihat pada Tabel 6.


(1)

5.2.1. Kepada Peternak

1. Peternak di harapkan untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen pemeliharaan ternak.

2. Peternak diharapkan untuk lebih banyak meluangkan waktunya dalam memelihara ternaknya dengan meningkatkan ketersediaan pakan, air dan perawatan ternak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

---. 1985. Beberapa Sifat Produksi dan Reproduksi dari Berbagai Bangsa Sapi Potong di Ladang Ternak. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian, Bogor.

---. 1993. Seleksi Sapi Potong. Handout. Ilmu Pemuliaan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Achmad, M. 2001. Strategi Pengembangan Usaha Ternak di Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis, Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Agustian Abdullah. 2012. Kinerja Penyuluh dalam Meningkatkan Adopsi Teknologi Pakan Mendukung Pengembanagan Sapi Potong, Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Medan.

Arikonto, S 2006 Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik Rineka Cipta Jakarta

Bessant, BTW. 2005. Analisi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dalam Kaitannya dengan Kesejahteraan Peternak di Kabupaten dan Kota Bogor. Tesis, Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Blakely, J. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Terjemahan : B. Srogandono. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta

Daslina 2006. Kajian Kelayakan dan Skala Ekonomi Usaha Peternakan Sapi Potong dalam Rangka Pemberdayaan Peternak (Studi Kasus di Kawasan Budidaya Pengembangan Sapi Potong Kabupaten Kampar, Propinsi Riau) Tesis Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Endang Romjali dan Ainur Rasyid. 2007. Keragaan Reproduksi Sapi Bali pada Kondisi Peternakan Rakyat di Kabupaten Tabanan Bali Prosiding Peternakan dan Peteriner


(3)

Eniza Saleh, Dkk. 2006. Analisis Pendapatan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Agribisnis peternakan Vol.2 No.1 April 2006

Eni Siti Roehaeni dan Akmad Hamdan, 2004 Profil dan Prospek Pengembanagan Sapi Potong di Kalimantan Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat no. 4 Banjar Baru Kalimantan Selatan.

Fikri Ardhani. 2006. Prospek dan Analisa Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kalimantan Timur ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi .EPP. Vol 13.2006.21.30

Hamdi Mayulu. Dkk 2010. Kebijakan Pengembanagan Peternakan Sapi Potong di Indonesai. Jurnal Litbang Pertanian 29(1) 2010

Kusnadi, V. 1980. Pelayanan Perkebuntingan Hasik Kawin Alam dan Inseminasi Buatan di Daerah Penggalangan dan Lembang. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor.

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta.

Lukman Affandhy dkk. 2010. Pengaruh Perbaikan Manajemen Pemeliharaan Pedet Sapi Potong Terhadap Kinerja Reproduksi Induk Pascaberanak Studi Kasus Pada Sapi Induk PO di Usaha Ternak Rakyat Kabupaten Pati Jawa Timur. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterniner 2010.

Lukman Affandhy dkk. 2007. Petunjuk Teknis Manajemen Perkawinan Sapi Potong, Pusat Penelitian dan Pengembanagan Peternakan, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007

Matheus Sariubang dkk. 2009. Pengkajian Sistem Pembibitan Sapi Bali pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Taklar. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterniner 2009.

Mubiyarto, 1989. Pengantar Ilmu Ekonomi Pertanian. PT gramedia. Jakarta. 544 hlm.

Noer, TA. 2002. Strategi Pengembangan Agribisnis Sapi Potong di Kawasan Sentra Produksi Koto Hilalang, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera


(4)

Barat. Tesis, Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Peni Wahyu Prihandini dkk. 2010 Kemampuan Mengelola Usaha Peternak dalam Usaha Ternak Sapi Potong (Studi Kasus di Kelompok Tani Makmur Desa Tempel Lemahbang Kecamatan Jepon), Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005.

Purbowati, E. 2009. Penampilan Pruduksi Sapi Peternakan Ongole dengan Pakan Dasar Jerami Padi dan Kosentrat. Fakultas peternakan, UGM : Yogyakarta.

Panjono. 2004. Performans Induk dan Pedet Sapi Peranakan Ongole yang Diberi Ransum Jerami Padi Dengan Suplementasi Daun Gamal. Buletin Peternakan : Jakarta.

Polmer Situmorang dan Iputu Gede, Peningkatan Efisiensi Reproduksi Melalui Perkawinan Alam dan Pemanfaatan Inseminasi Buatan (IB) untuk Mendukung Program Pemuliaan Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Balai Penelitian Ternak PO.BOX 122, Bogor 16002.

Pohan A. C Liem dan J. Nilik. 2004 Tampilan Reproduktivitas Ternak Sapi Bali pada Dua Musim yang Berbeda di Timor Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur.

Rahardi, F dan R. Hartono. 2003. Agribisnis Peternakan. Penebar Swadaya. Jakarta

Reksohadiprojo, S. 1984, Pengantar Ilmu Peternakan Tropik, Edisi Pertama, Yogyakarta.

Rasyaf, M. 2000. Memasarkan hasil peternakan. Penebar Swadaya. Jakarta. 237 hlm.

Rosnah, U.S. 1998. Studi Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Status Faali dan Produktivitas Sapi Bali di Timor Barat. Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Saragih, Bungaran. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan, Kumpulan Pemikiran. Edisi Milenium. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembagunan IPB. Bogor.


(5)

Siregar, B.S. 20007. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta. 114 hlm. Sugiono, 1999 Metode Penelitian Bisnis Alfabeta Bandung

Sugeng, S. 1989. Hijauan makanan ternak. Penerbit yayasan kanisius. Jakarta. Hlm 334.

Sumadi, 2003. Penelitian Mutu Genetik Sapi Ongole dan Brahman. Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sulistia, I. 2007. Pola Pemeliharaan Sapi Bali di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suprio Guntoro dan M. Rai Yasa, 2002 Aplikasi Teknologi Laserpunktur untuk Gertak Birahi pada Kerbau Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.

Sutardi, B. 1997. Perlunya Pemuliaan Peternakan Jenis Sapi. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Salisbury, G.W. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh R. Djanuar. Gadjah Mada University Prees. Yogyakarta.

Tanari, M. 1999. Estimasi Dinamika Populasi dan Produktivitas Sapi Bali di Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Trinil Susilawati dan Lukman Affandhy. 2004 Tantangan dan Peluang Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Reknologi Reproduksi. Lokakarya Nasional Sapi Potong.

Yayasan Kanisius, 1983. Hijuan Makanan Ternak Potong, Kerja Dan Perah. Penerbit kanisius. Yokyakarta.

Vivi Msiriani. 2011. Hubungan Karakteristik Peternak Dan Jumlah Ternak Yang Dipelihara dengan Pendapatan pada Pembibitan Sapi Potong Rakyat di


(6)

Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas.