BAB II Perencanaan Wilayah

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perencanaan Wilayah

Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).

Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang terpenting yang menjadi perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Perbedaan teori pertumbuhan ekonomi wilayah dan teori pertumbuhan ekonomi nasional terletak pada sifat keterbukaan dalam proses input-output barang dan jasa maupun orang. Dalam sistem wilayah keluar masuk orang atau barang dan jasa relatif bersifat lebih terbuka, sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup (Sirojuzilam, 2007).

Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan yang terbuka untuk menaikkan pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesempatan kerja (Jhingan, 2000). Perencanaan Pembangunan Daerah adalah “Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik


(2)

umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan lainnya dengan cara:

1. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah;

2. merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah;

3. menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan

4. melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan” (Solihin, D, 2005).

Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah dapat dibagi atas empat komponen yaitu :

(a) Physical Planning (Perencanaan fisik).

Perencanan yang perlu dilakukan untuk merencanakan secara fisik pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini lebih diarahkan kepada pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota dan sub bagian kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah perencanaan wilayah yang telah dilakukan


(3)

oleh pemerintah Kota Medan dalam bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).

(b) Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro).

Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi. Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).

(c) Social Planning (Perencanaan Sosial).

Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.

(d) Development Planning (Perencanaan Pembangunan).

Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna mencapaipengembangan wilayah.


(4)

Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang professional.

b) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna).

Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.

c) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi).

Pada perencanaan ini berisikan program pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan dalam proses pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus terhadap melalui program khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.


(5)

d) Incremental Planning (Perencanaan dukungan).

Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap permasalahan-permasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif sebuah kebijakan.

Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe perencanaan terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and innovative planning, multi or single objective planning dan indicative or imperative planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top-down and bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali. Uraian di atas masing-masing jenis itu dikemukakan sebagai berikut:

1. Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi.

Pada dasarnya pembedaan ini didasarkan atas isi atau master dari perencanaan. Namun demikian, orang awam terkadang tidak bisa melihat perbedaan antara perencanaan fisik dengan perencanaan ekonomi. Perencanaan fisik (physical planning) adalah perencanaan untuk mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu wilayah misalnya perencanaan tata ruang atau tata guna, perencanaan jalur transportasi/ komunikasi, penyediaan fasilitas untuk umum, dan lain-lain. Perencanaan ekonomi (economic planning) berkenaan dengan perubahan struktur


(6)

ekonomi suatu wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu wilayah. Perencanaan ekonomi didasarkan atas mekanisme pasar daripada perencanaan fisik yang lebih didasarkan atas kelayakan teknis. Perlu dicatat bahwa apabila perencanaan itu bersifat terpadu, perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan berbagai sasaran yang ditetapkan di dalam perencanaan ekonomi. Akan tetapi, ada juga keadaan di mana hasil perencanan fisik harus dipertimbangkan perencanaan ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.

2. Perencanaan Alokatif Versus Perencanaan Inovatif.

Pembedaan ini didasarkan atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut, yaitu antara perencanaan model alokatif dan perencanaan yang bersifat inovatif. Perencanaan alokatif (alocative planning) berkenaan dengan menyukseskan rencana umum yang telah disusun pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, inti kegiatannya berupa koordinasi dan sinkronisasi agar sistem kerja untuk mencapai tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan efesien sepanjang waktu. Karena sifatnya, model perencanaan ini kadang-kadang disebut regulatory planning (mengatur pelaksanaan). Dalam perencanaan inovatif (innovative planning), para perencana lebih memiliki kebebasan, baik dalam menetapkan target maupun cara yang ditempuh untuk mencapai target tersebut. Artinya, mereka dapat menetapkan prosedur atau cara-cara, yang penting target itu dapat dicapai atau dilampaui. Perencanaan inovatif juga berlaku apabila ada kegiatan baru yang perlu dibuat prosedur atau sistem kerjanya, yang selama ini belum ada.


(7)

3. Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal.

Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang (skop) yang tercakup, yaitu antara perencanaan bertujuan jamak dan perencanaan tunggal. Perencanaan dapat mempunyai dan sasaran tunggal atau jamak. Perencanaan bertujuan tunggal apabila sasaran yang hendak dicapai adalah sesuatu yang dinyatakan dengan tegas dalam perencanaan itu dan bersifat tunggal. Misalnya, rencana pemerintah untuk membangun 100 unit rumah di suatu lokasi tertentu. Perencanaan bertujuan ini tidak mengaitkan pembangunan rumah dengan manfaat lain yang mungkin ditimbulkannya karena tidak menjadi fokus perhatian utama. Perencanaan bertujuan jamak adalah perencanaan yang memiliki beberapa tujuan sekaligus. Misalnya, rencana pelebaran dan peningkatkan kualitas jalan penghubung yang ditujukan untuk memberikan berbagai manfaat sekaligus, yaitu agar perhubungan di daerah semakin lancar, dapat menarik berdirinya permukiman baru dan mendorong bertambahnya aktivitas pasar di daerah tersebut. Terkadang ada juga sasaran lain dengan dibukanya jalan baru yang bisa saja tidak dinyatakan secara tegas dalam rencana itu sendiri. Misalnya, makin lancarnya komunikasi sehingga masyarakat setempat makin terbuka untuk pembaruan dan makin lancarnya perdagangan. Perencanaan ekonomi umumnya bertujuan jamak sedangkan perencanaan fisik ada yang bertujuan tunggal tetapi ada juga yang bertujuan jamak.


(8)

4. Perencanaan Bertujuan Jelas Versus Perencanaan Bertujuan Laten.

Pembedaan ini didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut. Perencanaan bertujuan jelas adalah perencanaan yang dengan tegas menyebutkan tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut, yang sasarannya dapat diukur keberhasilannya. Dalam perencanaan, tujuan selalu dibuat lebih bersifat umum dibandingkan dengan sasaran. Tujuan belum tentu dapat diukur walaupun bisa dirasakan, sedangkan sasaran biasanya dinyatakan dalam angka konkret sehingga bisa diukur dengan tingkat pencapaiannya. Misalnya, tujuan perencanaan adalah menaikkan taraf hidup rakyat, sasarannya adalah menaikkan pendapatan per kapita dari $ 400 menjadi $ 500 per tahun, dalam jangka waktu tiga tahun yang akan datang. Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak menyebutkan sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas sehingga sulit untuk dijabarkan. Tujuan perencanaan laten sering dikejar secara tidak sadar, misalnya ingin hidup lebih bahagia, kehidupan dalam masyarakat yang aman, nyaman, dan penuh dengan rasa kekeluargaan.

5. Perencanaan Indikatif Versus Perencanaan Imperatif.

Pembedaan ini didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat kewenangan dari institusi pelaksana. Perencanaan indikatif adalah perencanaan di mana tujuan yang hendak dicapai hanya dinyatakan dalam bentuk indikasi, artinya tidak dipatok dengan tegas. Tujuan bisa juga dinyatakan dalam bentuk indikator tertentu, namun


(9)

indikator ini sendiri bisa konkret dan bisa hanya perkiraan (indikasi). Tidak diatur bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak diatur prosedur ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yang penting indikator yang dicantumkan dapat tercapai. Dalam perencanaan itu mungkin terdapat petunjuk atau pedoman, yaitu semacam nasehat bagaimana sebaiknya rencana itu dijalankan, tetapi pedoman itu sendiri tidak terlalu mengikat.

Pelaksana di lapangan masih dapat melakukan perubahan sepanjang tujuan ingin dicapai dapat dicapai atau dilampaui dengan besaran biaya tidak melampaui yang ditentukan. Perencana imperatif adalah perencanaan yang mengatur baik sasaran, prosedur, pelaksana, waktu pelaksanaan, bahan-bahan, serta alat-alat yang dapat dipakai untuk menjalankan rencana tersebut. Itulah sebabnya mengapa perencanaan ini disebut perencanaan komando. Pelaksana di lapangan tidak berhak mengubah apa yang tertera dalam rencana. Hampir mirip dengan tipe perencanaan di atas adalah yang menggunakan bentuk kombinasi lain, yaitu induced planning versus imperative planning. Pembedaan dalam kombinasi terakhir ini lebih didasarkan atas kewenangan dari institusi terlibat. Induced planning adalah perencanaan dengan sistem rangsangan. Perencanaan dengan sistem rangsangan, yaitu apabila pemerintah pada level yang lebih tinggi memberi rangsangan kepada pemerintah yang lebih rendah. Hal ini terjadi jika pemerintah pada level yang lebih rendah mau melaksanakan program yang diinginkan oleh pemerintah pada level yang lebih tinggi.


(10)

6. Top Down Versus Bottom Up Planning.

Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan atas kewenangan dari institusi yang terlibat. Perencanaan model up-down dan bottom-up hanya berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan pemerintahan atau beberapa jenjang jabatan di perusahaan yang masing-masing tingkatan diberi wewenang untuk melakukan perencanaan. Perencanaan model top down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencana pada level yang lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi. Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana institusi yang lebih rendah. Umumnya terjadi adalah kombinasi antara kedua model tersebut. Akan tetapi dari rencana yang dihasilkan oleh kedua level institusi perencanaan tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah top-down maka perencanaan itu disebut sentralistik, sedangkan apabila yang dominan adalah bottom-up maka perencanaan itu disebut desentralistik.

7. Vertical Versus Horizontal Planning.

Pembedaan ini juga didasarkan atas perbedaan kewenangan antar institusi walaupun lebih ditekankan pada perbedaan jalur koordinasi yang diutamakan perencana. Vertical planning adalah perencanaan yang lebih mengutamakan koordinasi antar berbagai jenjang pada sektor yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi


(11)

menekankan pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi yang sama. Tidak diutamakan keterkaitan antar sektor atau apa yang direncanakan oleh sektor lainnya, melainkan lebih melihat kepada kepentingan sektor itu sendiri itu bagaimana hal ini dapat dilaksanakan oleh berbagai jenjang pada instansi yang sama di berbagai daerah secara baik dan terkoordinasi untuk mencapai sasaran sektoral. Horizontal planning menekankan keterkaitan antar berbagai sektor sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal planning melihat pentingnya koordinasi antar berbagai instansi pada level yang sama, ketika masing-masing instansi menangani kegiatan atau sektor yang berbeda. Horizontal planning menekankan keterpaduan program antar berbagai sektor pada level yang sama. Antara kedua model perencanaan itu harus terdapat arus bolak-balik sehingga dihasilkan rencana yang baik.

8. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung Versus yang tidak melibatkan masyarakat.

Pembedaan ini juga didasarkan atas kewenangan yang diberikan kepada institusi perencanaan yang sering kali terkait dengan luas bidang yang direncanakan. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung adalah apabila sejak awal masyarakat telah diberitahu dan diajak ikut serta dalam menyusun rencana tersebut. Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dan paling-paling hanya dimintakan persetujuan dari DPRD untuk persetujuan akhir. Perencanaan yang tidak melibatkan


(12)

masyarakat misalnya apabila perencanaan itu bersifat teknis pelaksanaan, bersifat internal, menyangkut bidang yang sempit, dan tidak secara langsung bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak. Persetujuan DPRD pun umumnya tidak dimintakan untuk perencanaan seperti itu. Perencanaan yang bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak mestinya melibatkan masyarakat tetapi dalam prakteknya masyarakat hanya diwakili oleh orang-orang yang dikategorikan sebagai tokoh masyarakat. Dalam praktik, kedua pembagian di atas tidaklah mutlak. Artinya, perencanaan sering mengambil bentuk diantara keduanya. Perencanaan yang melibatkan masyarakat luas hanya mungkin untuk wilayah yang kecil, misalnya lingkungan, desa atau kelurahan, dan kecamatan. Untuk wilayah yang lebih luas, biasanya hanya mungkin dengan cara mengundang tokoh-tokoh masyarakat atau pimpinan organisasi kemasyarakatan. Seringkali tokoh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan hanya dilibatkan pada diskusi awal untuk memberikan masukan dan pada diskusi akhir untuk melihat bahwa aspirasi mereka sudah tertampung. Perencanaan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak biasanya harus mendapat persetujuan DPRD sebagai perwakilan dari kepentingan masyarakat.

2.2. Sistem Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya yang ada. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.


(13)

Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing maupun peningkatan indeks manusia (Kuncoro,2005).

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2004 dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki berbagai kelemahan perencanaan pembangunan yang dirasakan dimasa lalu. Sasaran perbaikan yang diharapkan antara lain adalah mewujudkan keterpaduan dan sinergi pembangunan antar dinas dan instansi dan antar daerah, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran serta untuk lebih mengoptimal kan pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan.

Rencana pembangunan menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 terdiri dari:

1. RPJP 2. RPJM 3. RKP

4. Renstra kementrian/SKPD 5. Renja kementrian/SKPD

Ad 1. RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)

Koordinasi pembangunan jangka panjang secara nasional dilakukan melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), baik untuk pemerintah, pemerintah propinsi maupun pemerintah


(14)

kabupaten/kota untuk periode 20 tahun. RPJP-Nasional, propinsi maupun kabupaten/kota berisikan visi, misi dan arah pembangunan secara nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. RPJP ini selanjutnya dijadikan landasan utama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM untuk periode 5 tahun).

Ad 2. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)

RPJM memuat strategi pembangunan, kebijakan umum, program kementerian/ lembaga/SKPD, program kewilayahan serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian nasional/daerah secara menyeluruh, termasuk kebijakan fiskal dan kerangka pendanaan. RPJM tersebut selanjutnya dijadikan dasar utama untuk penyusunan Rencana Tahunan (Annual Planning) yang bersifat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan. Bahkan rencana tahunan yang harus dibuat tersebut telah menggunakan istilah lain yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada tingkat nasional atau RKPD untuk tingkat daerah yang mengisyaratkan bahwa rencana tahunan tersebutlah yang menjadi rencana kerja pemerintah untuk tahun yang bersangkutan. RKPD/RKP tersebut berisikan prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro, program kementerian/lembaga, program kewilayahan dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.


(15)

Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah yang telah selesai disusun, Pemerintah Daerah diwajibkan pula menyusun RPJM Daerah yang berisikan arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah dan program kerja satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas wilayah. Termasuk dalam RPJM Daerah ini adalah rencana kerja dan kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Agar perencanaan menjadi lebih kongkrit, maka target-target yang ditetapkan perlu diusahakan secara kuantitatif, walaupun disadari hal ini tidak dapat dilakukan untuk semua sektor. Target yang bersifat kuantitatif tersebut nantinya juga sangat diperlukan pada waktu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan terhadap pelaksanaan program.

Rancangan RPJM-Daerah yang telah selesai selanjutnya dijadikan dasar menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan rencana tahunan (Annual Planning) bersifat operasional. RKPD pada dasarnya merupakan jabaran dari RPJM Daerah yang berisikan rencana kerja pembangunan daerah, prioritas, dan program pembangunan daerah, berikut pendanaannya, baik yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah daerah untuk tahun yang bersangkutan (Gani, J.Y, 2005).


(16)

Ad 3. RKP (Rencana Kerja Pemerintah)

Peranan RKP demikian penting karena dokumen perencanaan ini adalah memadukan perencanaan pembangunan jangka menengah yang kurang operasional dengan perencanaan anggaran yang sangat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan. Dengan adanya RKP/D tersebut maka akan terdapat keterpaduan antara perencanaan, program dan pendanaan sesuai dengan prinsip Ilmu Perencanaan yaitu Planning, Programming and Budgetting System (PPBS).

Disini sudah jelas terlihat bahwa SPPN-2004 berupaya untuk mewujudkan perencanaan pembangunan terpadu, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah melalui keterkaitan yang erat antara RPJP, RPJM, Renstra SKPD, dan Renja SKPD dan penyusunan anggaran. Keterpaduan ini sangat penting artinya untuk mewujudkan proses pembangunan yang saling menunjang menuju kepada suatu arah pembangunan masa depan nasional yang jelas. Sementara itu, masing -masing daerah membuat perencanaan pembangunan untuk daerahnya berdasarkan visi dan misi Kepala daerahnya masing-masing tanpa melihat kaitan dengan RPJP, RPJM dan RKPD daerah sekitarnya. Pada dasarnya, RKP tersebut merupakan jabaran dari RPJM dan berisikan program dan proyek pembangunan yang kongkrit dan operasional sesuai dengan dana pembangunan yang tersedia pada tahun bersangkutan. Bahkan SPPN 2004 selanjutnya menetapkan pula bahwa RKP menjadi dasar penyusunan RAPBN dan RKPD sebagai


(17)

dasar penyusunan RAPBD. Dengan demikian, sistem penyusunan RAPBD yang biasanya dilakukan oleh Tim KUA (Kebijakan Umum Anggaran) sesuai dengan KEPMENDAGRI 29, tahun 2003 sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan PERMENDAGRI 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Undang-undang No.17, tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan bahwa dalam proses penyusunan Rencana Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), pemerintah diwajibkan menyusun Kebijaksanaan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan Rencana Kerja Anggaran (RKA). Penyusunan KUA dimaksudkan untuk dapat memilah dan menentukan program dan kegiatan yang menjadi urusan daerah sehingga dapat dibiayai dengan APBD. PPA dimaksudkan untuk dapat menentukan program dan kegiatan yang diprioritaskan untuk dibiayai pada tahun bersangkutan berikut plafon anggarannya, baik untuk tingkat program maupun untuk SKPD secara keseluruhan. Sedangkan RKA dimaksudkan untuk dapat memadukan antara program dan kegiatan yang telah diprioritaskan pelaksanaannya dengan penyusunan anggaran sesuai dengan plafon yang ditetapkan melalui Nota Kesepakatan antara Kepala Daerah dan DPRD. Dengan cara demikian, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran akan dapat terlaksana dalam praktek (Sjafrizal, 2008).


(18)

Ad 4. Renstra-SKPD (Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah) Dalam praktek di daerah kelihatannya RENSTRADA lebih banyak diperhatikan oleh Pemerintah Daerah karena Departemen Dalam Negeri mengaitkan dokumen perencanaan ini dengan pertanggungjawaban Kepala Daerah. Karena itu dalam penyusunan APBD, RENSTRADA ini lebih banyak dijadikan dasar, sedangkan PROPEDA tidak terlalu banyak diperhatikan sehingga hanya tinggal di dalam lemari. Sebenarnya kedua dokumen tersebut mempunyai sifat yang berbeda dan saling mendukung satu sama lainnya.

SPPN 2004 memberikan ketentuan yang sangat jelas tentang kedua dokumen perencanaan pembangunan ini. Di dalam SPPN dinyatakan secara tegas bahwa Rencana Strategis (RENSTRA) adalah dokumen perencanaan untuk institusi, sehingga ruang lingkupnya adalah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari institusi yang bersangkutan. Pada tingkat pusat, dokumen yang disusun adalah RENSTRA-KL karena institusi yang terlibat adalah kementerian dan lembaga. Sedangkan pada tingkat daerah dokumen yang disusun adalah RENSTRA-SKPD karena institusi yang terlibat adalah satuan kerja perangkat daerah seperti dinas dan instansi.


(19)

nama dengan RPJM adalah merupakan dokumen perencanaan yang mencakup kesatuan wilayah tertentu baik secara nasional maupun pada tingkat daerah. Dalam satu wilayah biasanya terdapat berbagai institusi baik yang tergabung dalam unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat. Karena itu, RPJM mencakup tidak hanya kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saja, baik pusat maupun daerah, tetapi juga yang dilakukan oleh 298 pihak swasta maupun kelompok masyarakat lainnya. Karena itu, dalam mengelola kegiatan pembangunan, seharusnya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lebih banyak memperhatikan RPJM yang mencakup kegiatan pembangunan secara keseluruhan. Sedangkan RENSTRA merupakan jabaran dari RPJM untuk institusi tertentu, dan juga dapat berfungsi sebagai masukan untuk penyusunan RPJM yang sudah akan final melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG).

Sesuai dengan SPPN 2004, MUSRENBANG mempunyai dua fungsi utama. Pertama, sebagai alat untuk melakukan koordinasi penyusunan perencanaan pembangunan antar berbagai pelaku kegiatan pembangunan. Tujuan koordinasi ini jelas adalah untuk dapat mewujudkan sistem pembangunan yang terpadu dan saling menunjang satu sama lainnya sehingga proses pembangunan akan menjadi lebih lancar. Kedua, sebagai alat untuk menyerap partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan dengan mengikutsertakan berbagai tokoh masyarakat, cerdik pandai, alim ulama dan pemuka adat. Tujuan utama


(20)

dalam hal ini adalah agar perencanaan yang disusun dapat disesuaikan dengan aspirasi masyarakat umum sehingga dukungan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan akan dapat dioptimalkan. Ini berarti bahwa, MUSRENBANG juga berfungsi sebagai alat untuk dapat mewujudkan Perencanaan Partisipatif (Participatory Planning) yang merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan demokrasi dalam pelaksanaan pembangunan.

Disini MUSRENBANG sebagai pengganti RAKORBANG dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dalam rangka koordinasi program dan proyek yang akan dilakukan setiap tahun, tetapi dilakukan untuk semua tingkat perencanaan, baik RPJP, RPJM dan RKP. Hal ini dilakukan agar koordinasi dan singkronisasi dapat dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, baik secara sektoral maupun menurut tingkat pemerintahan (Solihin, D, 2005).

Ad 5. Renja-SKPD (Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah) Penyusunan rencana dan kegiatan kerja ini memperhatikan hal-hal yang telah disepakati oleh masyarakat dan unsur pelaku pembangunan (stakeholder) dalam musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah dan yang telah disampaikan dalam Renja SKPD. Dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah berisikan tujuan, sasaran, program dan kegiatan. Indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD.


(21)

Dana Indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif artinya jelas sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan. Koordinasi penyusunan Renstra SKPD dan Renja SKPD dilakukan masing-masing SKPD.

2.3. Teori Kota dan Rencana Tata Guna Lahan 2.3.1 Kota

Kota adalah sebagai gabungan sel lingkungan perumahan, atau tempat di mana orang bekerja bersama untuk kepentingan umum. Jenis daerah perkotaan bisa beragam sebesar beragamnya berbagai kegiatan yang dilakukan pada wilayah perkotaan seperti perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan jasa, atau gabungan dari semua aktivitas tersebut (Gallion dan Eisner, 1992).

Sebuah kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Kota adalah salah satu ungkapan kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa, dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena permukimanperkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari kehidupan di dalamnya (Zahnd, 2006).


(22)

terdapat masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami proses interelasi antar manusia dan antar manusia dengan lingkungannya. Produk hubungan tersebut ternyata mengakibatkan terciptanya pola keteraturan daripada pengguna lahan yang menghasilkan struktur ruang kota (Yunus, 2000).

Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang struktur ruang kota, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Teori Konsentris; Menurut pengamatan Burgess, sesuatu kota akan terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini mencerminkan penggunaan lahan yang berbeda, seperti berikut:

Gambar 2.3 Teori Konsentris Sumber : Breter, 2001

Seperti terlihat pada model di atas, daerah perkotaan terdiri dari dari (I) kawasan pusat kota, (II) kawasan pabrik, (III) kawasan transisi, (IV) kawasan pemukiman pekerja, (V) kawasan pemukiman yang lebih baik, dan (VI) Kawasan pengembangan.


(23)

2. Teori Sektor; Munculnya ide untuk mempertimbangkan variabel sektor ini pertama kali dikemukan oleh Hoyt. Secara konseptual, model teori sektor menunjukkan persebaran zona-zona konsentrisnya. Jelas sekali terlihat disini bahwa jalur transportasi yang menjari (menghubungkan pusat kota ke bagian-bagian yang lebih jauh) diberi peranan yang besar dalam pembentukan pola struktur ruang kota.

3. Teori Multiple Nuclei (Teori Pusat Kegiatan Banyak); Teori ini pertama kalinya dicetuskan oleh C.D. Harris dan FL. Ulman. Menurut pendapatnya, bahwa kebanyakan kota-kota besar tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang sederhana, yang hanya ditandai oleh pusat kegiatan saja, namun terbentuk sebagai suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut dan terus menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan (multi centered theory).

Pembangunan kota terus berlanjut akibat proses urbanisasi sehingga menyebar ke bagian pinggir kota, yang berakibat pada perubahan struktur ruang dan bentuk kota (Burnley dan Murphy 1995; Davis et al. 1994; Nelson 1992). Burnley dan Murphy (1995) menjelaskan pembangunan sub urban dapat berakibat pada ketimpangan wilayah perkotaan karena wilayah sub urban yang dibangun belum dilengkapi jaringan infrastruktur yang memadai.


(24)

Menurut Herbes (1987) daerah sub urban yang baru dibangun oleh arus urbanisasi tumbuh dan berkembang mengikuti pola perkampungan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Meskipun kita menyadari sebagai proses pembangunan kota telah membawa implikasi terhadap ketimpangan wilayah, namun dengan adanya literatur tentang perencanaan wilayah dapat dijadikan sebagai dasar untuk mempersempit terjadinya ketimpangan wilayah ( Bahl dkk,1992).

2.3.2 Rencana Tata Guna Lahan

Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang. Dalam rencana itu ditentukan daerah-daerah yang akan digunakan bagi berbagai jenis, kepadatan dan intensitas kategori penggunaan, misalnya penggunaan untuk pemukiman, perdagangan, industri dan berbagai kebutuhan umum. Ditentukan pula azas dan standar yang harus diterapkan pada pembangunan atau pelestarian di daerah itu. Di dalam suatu rencana tata guna lahan biasanya tercantum naskah uraian dan beberapa peta. Di dalam uraiannya terkandung kebijaksanaan-kebijaksanaan, sedangkan peta-peta menggambarkan penerapan rencana pada ruang yang tersedia, baik secara umum maupun terperinci, dengan menetapkan jenis penggunaan tertentu untuk daerah-daerah tertentu pula.


(25)

Suatu rencana tata guna lahan biasanya merupakan bagian dari suatu rencana menyeluruh. Dalam bagian-bagian lain dibahas persoalan transportasi, utilitas umum; seperti listrik, gas dan air; berbagai macam prasarana masyarakat dan masalah-masalah khusus yang membutuhkan perhatian, misalnya pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sifat rencana tata guna lahan bias berlainan karena jenis dan luas lingkungan, struktur pemerintahan serta peraturan-peraturan negara bagian dan kotamadya atau kabupaten yang mengatur soal perlahanan. Misalnya, suatu rencana tata guna lahan untuk sebuah dusun di pedesaan barangkali akan lain sekali ruang lingkupnya dan tidak begitu mendesak seperti rencana tata guna lahan di sebuah kota industri yang besar.

Sebuah rencana tata guna lahan di daerah pemukiman sekitar pusat kota mungkin berorientasi lain daripada rencana tata guna lahan di daerah pusat kota. Suatu rencana tata guna lahan untuk suatu wilayah yang dikelola beberapa pemerintahan, misalnya suatu wilayah metropolitan, mungkin akan dilandasi rancangan pelaksanaan yang lain sama sekali daripada rencana sejenis untuk suatu wilayah kotamadya atau kabupaten dengan pemerintahan tunggal. Dan suatu rencana tata guna lahan untuk suatu lingkungan di dalam wilayah pemerintahan yang memiliki sedikit saja atau sama sekali tidak memiliki peraturan-peraturan mengenai perencanaan lingkungan barangkali akan lain sekali bila dibandingkan dengan rencana tata guna lahan untuk wilayah pemerintahan yang memiliki perencanaan yang kuat serta peraturan-peraturan pelaksanaan rencana tata guna lahan.


(26)

Jangka waktu rencana tata guna lahan juga berbeda-beda, tergantung berapa jauh jangkauannya ke masa depan. Suatu rencana jangka panjang biasanya menuju ke sasaran yang terletak 20 atau 25 tahun yang akan datang, sedangkan suatu rencana tata guna lahan yang dimaksudkan untuk melaksanakan program pembangunan tertentu mungkin hanya menjangkau sasaran 5 tahun atau kurang. Misalnya, kota Atlanta di Negara bagian Georgia, Amerika Serikat, memiliki peraturan yang mengharuskan penyusunan rencana-rencana tata guna lahan berjangka waktu 1,5 dan 15 tahun yang masing-masing harus diperbaharui tiap tahun.

Oleh sebab perencanaan perkotaan bersifat menyeluruh dan integral, maka suatu rencana tata guna lahan biasanya hanya merupakan unsur fungsional dari suatu proses menyeluruh. Sekalipun merupakan unsur yang paling menentukan, perencanaan perkotaan dilengkapi dengan unsur-unsur fungsional dan hasil-hasil penelitian yang bersifat mendukungnya.

Undang-undang negara bagian Florida mengandung contoh tentang hal itu. Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-undang tentang Pengaturan Perencanaan Menyeluruh serta Pengembangan Lahan Pemerintah Daerah Negarabagian Florida, tiap kotamadya dan kabupaten harus menyusun serta mensahkan rencana menyeluruh yang mencakup unsur-unsur sebagai berikut:


(27)

1. Perbaikan modal

2. Rencana tata guna lahan untuk masa depan 3. Sirkulasi lalu lintas

4. Saluran pembuangan limbah manusia, sampah padat, saluran pembuangan air hujan dan air minum

5. Pelestarian alam

6. Rekreasi dan ruang terbuka 7. Perumahan

8. Pengelolaan daerah pantai (hanya untuk kewenangan hukum daerah pantai)

9. Koordinasi antar instansi pemerintah

Unsur-unsur tambahan berikut ini bersifat mana suka tetapi yang

pertama dan

kedua merupakan keharusan bagi pemerintah daerah yang berpenduduk lebih dari 50.000 jiwa:

a. Perjalanan Masal (Mass Transit)

b. Pelabuhan, penerbangan dan rencana-rencana fasilitas terkait c. Kendaraan tidak bermotor (misalnya sepeda) dan lalu lintas

pejalan-kaki

d. Parkir halaman

e. Bangunan umum dan fasilitas-fasilitas terkait f. Pola kemasyarakatan

g. Pembangunan kembali daerah-daerah secara umum h. Keselamatan


(28)

i. Pelestarian tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat dengan pemandangan indah

j. Pembangunan ekonomi

k. Unsur-unsur yang bersifat khas dan merupakan kebutuhan bagi daerah itu

Rencana tata guna lahan juga membuka kesempatan bagi pembangunan perumahan, daerah perbelanjaan dan pembangunan ekonomi yang memadai, di samping memberikan perlindungan bagi daerah-daerah serta sumber daya lingkungan yang menentukan.

Hal-hal itu diusahakan untuk mencapainya secara mencoba menciptakan suatu pola pengembangan lahan yang masuk akal dan bukan pola pengembangan dan penyebaran yang acak-acakan, tidak teratur, tidak mantap dan mahal yang akan terjadi jika tidak diciptakan pola pengembangan yang masuk akal, melainkan konfigurasi khusus yang logis dan bertahap, didasarkan pada kebijakan-kebijakan yang sudah disahkan.

Beberapa penelitianyang biasanya mendahului persiapan penyusunan rencana tata guna lahan, yaitu:

1. Penelitian kependudukan 2. Penelitian ekonomi 3. Analisis lingkungan


(29)

Unsur-unsur rencana menyeluruh yang bukan rencana tata guna lahan (seperti unsur-unsur mengenai transportasi, listrik, air bersih dan gas, serta fasilitas umum) mungkin mendahului, menyertai atau menyusuli persiapan perencanaan tata guna lahan. Hal itu tergantung pada struktur, jadwal dan kendala-kendala yang terdapat dalam proses perencanaan menyeluruh. Unsur-unsur rencana menyeluruh yang biasanya menyusul sesudah tersusun rencana tata guna lahan meliputi: a. Rencana-rencana untuk daerah yang lebih kecil, seperti daerah

pemukiman, pusat pusat bisnis, lingkungan industri atau daerah-daerah pelestarian

b. Rencana-rencana fungsional untuk tujuan-tujuan khusus, seperti rencana untuk perumahan atau tempat-tempat rekreasi.

Sekalipun mungkin ada tahapan analitis yang ideal (tentunya sampai batas-batas tertentu bias terwujud) pertimbangan praktis mengenai anggaran, ketentuan hukum dan hal-hal yang menimbulkan keresahan masyarakat yang sering menjadi faktor penentu mengenai bagaimana dan kapan pelaksanaan rencana tata guna lahan harus dilaksanakan (Catenese dan Snyder, 1988).

2.3.3 Proses Perencanaan Tata Guna Lahan

Dalam pengertian yang paling sederhana, proses itu meliputi tiga tahap (lihat segi empat di tengah) : (1) dimana tempat anda, (2) kemana anda hendak pergi dan (3) bagaimana cara pencapaiannya.

Dalam mempelajari bagian ini mungkin akan bermanfaat bila melihat lagi diagram dasar pada gambar untuk mengetahui bagian mana saja


(30)

yang tepat untuk berbagai bagian perencanaan tata guna lahan dan proses implementasinya.

2.4. Teori Pembangunan Wilayah

Pembangunan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Kebijakan pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi fisik geografis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga penerapan kebijakan pengembangan wilayah itu sendiri harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan isu permasalahan di wilayah bersangkutan.

Pembangunan, menurut Schumpeter, adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan


(31)

adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk. Menurut Boner,“ pembangunan memerlukan dan melibatkan semacam pengarahan, pengaturan, dan pedoman dalam rangka menciptakan kekuatan-kekuatan bagi perluasan dan pemeliharaan, sedang ciri pertumbuhan spontan merupakan ciri perekonomian maju dengan kebebasan usaha (Sjafrizal, 2008).

Menurut Todaro (2006) bahwa pembangunan harus berlangsung pada satu tingkat perubahan secara menyeluruh sehingga suatu sistem sosial yang telah diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan dasar pribadi dan kelompok yang beraneka ragam dalam sistem tersebut akan bergerak menjauhi kondisi hidup yang secara umum dianggap kurang memuaskan dan mengarah ke situasi atau kondisi hidup yang secara material dianggap lebih baik.

Pembangunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha yang memajukan kehidupan masyarakat dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang lebih baik. Siagian (1983) mendefinisikan bahwa pembangunan itu adalah sebagai usaha atau rangkaian usaha yang pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Pembangunan ekonomi didefinisikan dalam tiga pengertian sebagai berikut:

1. Pembangunan ekonomi harus diukur dalam arti kenaikan pendapatan nasional riil dalam suatu jangka waktu yang panjang. Definisi ini tidak


(32)

memuaskan, karena tidak mempertimbangkan berbagai perubahan misalnya pertumbuhan penduduk. Jika suatu kenaikan dalam pendapatan nasional riil dibarengi dengan pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka yang terjadi bukan kemajuan tetapi adalah sebaliknya yaitu kemunduran.

2. Meier dalam Siagian (1983) bahwa pembangunan ekonomi “sebagai proses kenaikan pendapatan riil per kapita dalam suatu jangka waktu yang panjang”. Baran dalam Siagian (1983) membenarkan “pertumbuhan (pembangunan) ekonomi adalah kenaikan output perkapita barang-barang material dalam suatu jangka waktu”. Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan ekonomi dicerminkan oleh tingkat kenaikan pendapatan riil lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi tersebut mengabaikan masalah yang bertalian dengan struktur masyarakat, struktur penduduk, lembaga dan budaya masyarakat, dan bahkan distribusi output di antara anggota masyarakat.

3. Ada kecenderungan untuk mendefinisikan pembangunan ekonomi dilihat dari tingkat kesejahteraan ekonomi. Misalnya pendapatan nasional riil per kapita naik dibarengi dengan penurunan kesenjangan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Definisi ini mempunyai beberapa keterbatasan,

a) kenaikan pendapatan nasional atau per kapita riil, si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin, berarti kesenjangan


(33)

bertambah lebar;

b) dalam mengukur kesejahteraan ekonomi harus hati-hati, output dapat dinilai dengan kenaikan pendapatan nasional riil, dan

c) harus dipertimbangkan tidak saja barang apa yang diproduksi, tetapi juga bagaimana barang tersebut diproduksi.

Pembangunan nasional didukung oleh pembangunan yang terjadi di wilayah. Untuk itu diperlukan pendekatan yang penting didalami adalah teori yang berkaitan dengan pengembangan wilayah, dan adapun teori tersebut adalah sebagai berikut:

2.4.1 Teori Lokasi dan Aglomerasi

Teori Lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan sistematis mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta analisa interaksi antar wilayah. Teori Lokasi menjadi penting dalam analisa ekonomi karena pemilihan lokasi yang baik akan dapat memberikan penghematan yang sangat besar untuk ongkos angkut sehingga mendorong terjadinya efisiensi baik dalam bidang produksi maupun pemasaran. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat pula mempengaruhi perkembangan bisnis yang pada gilirannya akan dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2008).

Untuk menganalis pembangunan kota dan wilayah, kita harus memahami sepenuhnya mengenai kekuatan-kekuatan aglomerasi dan deaglomerasi. Kekuatan-kekuatan tersebut dapat menjelaskan terjadinya


(34)

konsentrasi dan dekonsentrasi atau dispersi kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Manfaat-manfaat yang ditinbulkan oleh kegietan-kegiatan di atas dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, antara lain: yaitu penghematan skala (scale economies), penghematan lokasi (localization economies). dan penghematan urbanisasi (urbanization economies).

1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan dalam produksi secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar sebagai akibat investasi dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala besar dapat membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit terdapat dalam sistem produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi lebih rendah sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain.

Produksi pada skala besar dimaksudkan untuk menghundari unit biaya operasi yang eksesif. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani pendudukdalam jumlah besar, atau dengan perkataan lain mempunyai suatu pasar yang luas. Jadi dapat disimpulkan bahwa terjadinya penghematan skala internal memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk dalam jumlah besar daripada jumlah penduduk yang sedikit, industri dan kegiatan-kegiatan lainnya.


(35)

(36)

2. Penghematan lokalisasi (lokalization economies). Jenis kedua, kekuatan yang terpenting konsentrasi industri diasosiasikan dengan penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu.

3. Penghematan urbanisasi (urbanization economies). Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri, pendapatan, dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan yang dilakukan bersama-sama.

Keuntungan aglomerasi baru dapat muncul bilamana terdapat keterkaitan yang erat antara kegiatan ekonomi yang ada pada konsentrasi tersebut baik dalam bentuk keterkaitan dengan input (Backward Linkages) atau keterkaitan output (Forward Linkages). Dengan adanya keterkaitan ini akan menimbulkan berbagai bentuk keuntungan eksternal bagi para pengusaha, baik dalam bentuk penghematan biaya produksi, ongkos angkut bahan baku, dan hasil produksi serta penghematan biaya penggunaan fasilitas karena beban dapat ditanggung bersama. Penghematan tersebut selanjutnya akan dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha sehingga daya saingnya menjadi semakin meningkat. Penurunan biaya inilah yang selanjutnya mendorong terjadinya peningkatan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang berada dalam kawasan pusat pertumbuhan tersebut.


(37)

(38)

2.4.2 Teori tempat Sentral (Central Place Theory)

Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusat-pusat kota atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola georafis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dapat dikatakan tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Dengan demikian teori tersebut dapat dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral mampu menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah. Salah satu diantaranya adalah teori Perroux (kutub pertumbuhan) yang membahas perubahan-perubahan struktural pada tata ruang geografis. Atau dapat dikatakan teori tempat sentral merupakan dasar dari teori kutub pertumbuhan.

Teori tempat sentral sebagian brsifat positif karena berusaha menjelaskan pola aktual arus pelayanan jasa, dan sebagian lagi bersifat normatif karena berusaha menentukan pola optimal distribusi tempat-tempat sentral. Teori tempat sentral mempunyai kontribusi pada pemahaman interrelasi spasial dan kota-kota sebagai sistem di dalam sistem perkotaan.

Teori tempat sentral tidak memberikan pejelasan secara lengkap mengenai pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan berdasarkan pembangunan daerah pertanian yang tersusun secara herarkis dan berpenduduk merata. Dengan tumbuhnya kota-kota maka


(39)

muncullah jasa-jasa yang tidak berkanaan dengan pasar wilayah belakang. Sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat mencipakan kebutuhan-kebutuhan sendiri (internal), misalnya peningkatan penyediaan fasilitas penyediaan air minum, listrik, angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas parkir. Persoalan-persoalan yang dihadapai dalam pertumbuhan kota ternyata tidak sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barangdan jasa-jasa yang dihasilkan oleh tempat sentral. Analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor perdagangan dan kegiatan-kegiatan jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur.

Kegiatan manufaktur dianggap sebagai kegiatan produktif non tempat sentral. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak kota-kota besar dan kota-kota lainnya sering kali mengalami perluasan dalam hal lokasi manufaktur karena kota-kota yang bersangkutan merupakan pasar tenaga kerja yang luas dan pada umumnya memberikan keuntungan-keuntungan aglomerasi, dimana perusahaan-perusahaan manufaktur lebih banyak melayani pasar nasional daripada pasar-pasar regional. Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan timbulnya kecendrungan yang kuat dalam masyarakat mengenai pengelompokkan perusahaan-perusahaan karena pertim bangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan ketergantungan.


(40)

2.4.3 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)

Sebagaimana diketahui bahwa potensi dan kemampuan masing-masing wilayah berbeda-beda satu sama lainnya, demikian pula masalah pokok yang dihadapinya tidak sama. Sehingga usaha-usaha pembangunan sektoral yang akan dilaksanakan harus disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional. Hirschman mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi, terdapat keharusan untuk membangun sebuah atau beberapa buah pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara, atau yang disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole).

Terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep kutub pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut semata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis dan dimensi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis dan dimensi tata ruang (geographic space and space dimension). Proses pertumbuhan adalah konsisten dengan teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimanaindustri pendorong (propulsive industries atau industries motrice) dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya. Nampaknya Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan (Adisasmita, 2005).


(41)

Hirschman berdalil bahwa pertumbuhan awalnya terbatas pada wilayah-wilayah yang disukai, meskipun ketimpangan menyebar berdasarkan letak geografis, meliputi terpencil dan pertumbuhan ini terjadi melalui dampak hubungan dengan kutub-kutub pertumbuhan. Teori kutub pertumbuhan menyajikan dua fungsi baik fungsi idiologi maupun fungsi politik. Di dalam suatu arti idiologis dan pada suatu tingkat teoritis yang tidak dapat diambil melalui pertanyaan-pertanyaan sosial yang lebih mendalam. Teori kutub pertumbuhan bersandar terhadap mekanisme harga sebagai faktor penengah dan retribusi sumberdaya. Perroux menetapkan bahwa sektor-sektor pertumbuhan didefinisikan dengan hubungan-hubungan ekonomi dengan unit-unit lain di dalam ekonomi.

Asumsi Perroux adalah tujuan sosial dari perkembangan wilayah yang dimanfaatkan oleh agen-agen yang ingin memperoleh keuntungan pribadi. Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendefenisikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized development pole). Teori Boudeville dapat dianggap sebagai pelengkap terhadap teori tempat sentral yang diformulasikan oleh Chirstaller dan kemudian diperluas oleh Losch. Boudeville mengemukakan aspek “kutub fungsional” dan memberikan pula perhatian pada aspek geografis (Piche, 1982).


(42)

2.4.4 Teori Konvergen (Convergence Theory)

Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Teori Konvergen dapat terjadi jika negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang (Convergence). Dari pandangan neo-klasik, ketimpangan wilayah dapat dihubungan dengan faktor ketidaksempurnaan pasar dan sifat kelambanan proses pembangunan. Menyamaratakan faktor harga antara wilayah dalam suatu wilayah melalui integrasi akan meningkatkan faktor mobilitas sehingga dengan demikian akan ada pencapaian keseimbangan atau pola pertumbuhan wilayah konvergen. Hal tersebut juga ditanggapi rendahnya pendapatan wilayah akan meningkatkan para pekerja melalui migrasi, sehingga menarik investor dengan biaya pekerja yang rendah.

Teori konvergen akan terus berlanjut sampai para pekerja dan penghasilan seimbang. Karena wilayah yang produktivitas dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi kedepannya akan lebih sulit menghitung hasil pengurangnya. Akibatnya, untuk dapat menyeimbangkan perekonomian dapat dilakukan jika perekonomian berada pada posisi yang lemah. Teori harga Factor Price Equalization (FPE) sudah menjadi dasar pemikiran yang kuat dalam perdagangan bebas internasional sejak Heckscher berpendapat bahwa pada kondisi tertentu membuka perdagangan yang akan menyamakan hasil-terhadap kesamaan faktor-faktor pada negara-negara lain, dan Ohlin


(43)

pada awal abad ini, dan disempurnakan oleh Paul Samuelson menyempurnakan secara matematis.

Dalam analisa integrasi perekonomian dunia, beberapa ahli seperti Porter dan Krugman mulai melihat pentingnya jarak geografis. Bertil Ohlin membuat asumsi bahwa dua faktor produksi merupakan hal yang penting di setiap negara, yang sebahagian faktor tersebut merupakan hal yang tidak penting pada beberapa negara. Komoditas bergerak dengan baik di perdagangan internasional, tanpa didukung pajak atau biaya transportasi. Dari pandangannya, perdagangan bebas telah cukup mampu menggantikan mobilitas internasional sehingga pergerakan terhadap perdagangan bebas akan menyebabkan harga pada negara -negara menjadi sama. Dan jika kedua negara melanjutkan untuk menghasilkan barang-barang pada perdagangan bebas, faktor harganya sebenarnya akan menjadi sama tanpa pergerakkan. Kesamaan faktor harga ini (FPE) dibuktikan secara matematis oleh Samuelson. Teori konvergen masih digunakan sebagai model dalam literatur teori pertumbuhan, yang menyatakan bahwa liberalisasi dalam asas dasar dapat meningkatkan proses konvergen melalui wilayah (Hwang, 1996).

2.4.5 Teori Divergen (Divergence theory)

Divergence terjadi pada saat modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Ketimpangan wilayah yang tinggi menyebabkan pengangguran atau tingkat pendapatan


(44)

yang cenderung menurun pada sebahagian masyarakat. Untuk mengatasi ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang akan mengurangi ketimpangan wilayah (Jeong, 1995). Bila wilayah miskin mampu untuk menaikkan pendapatan per kapita masyarakat secara terus menerus, maka ketimpangan wilayah dapat dipersempit secara perlahan (Dapeng, 1998).

Ada tiga strategi dasar dimana para pembuat kebijakan bisa membantu variasi basis ekonomi wilayah. Masing-masing strategi ini memiliki tingkat risiko berbeda, antara lain:

a) jangkauan industri melibatkan perluasan hubungan ke depan dan ke belakang untuk menambah rangkaian nilai wilayah;

b) pengaruh industri melibatkankan kolaborasi industri dengan sektor perindustrian lain di mana ada kemungkinan besar sinergi bisnis berdasarkan potensi pengembangan wilayah di wilayah yang belum pernah di sentuh (white space); serta

c) jangkauan dan pengaruh industri melibatkan kombinasi satu industri atau lebih dalam penambahan nilai dan pengembangan wilayah yang belum pernah disentuh (white space development).

2.4.6 Pendapatan

Secara lengkap terdapat empat pelaku ekonomi yakni sektor rumah tangga, sektor perusahaan (swasta), sektor pemerintah (publik), dan sektor luar negeri (internasional). Untuk menggambarkan bagaimana keempat pelaku ekonomi tersebut berinteraksi dalam perekonomian


(45)

dapat dilihat dalam diagram melingkar (circular flow diagram) David Egg berikut ini:

Gambar 2.9 Sirkulasi Aliran Pendapatan dan Pengeluaran

Aliran tersebut menggambarkan aliran pendapatan dari sektor perusahaan kearah sektor rumah tangga sebagai akibat dari penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Aliran itu meliputi (1) gaji dan upah, yang merupakan pendapatan tenaga kerja, (2) sewa yang merupakan pendapatan dari tanah dan bangunan, (3) bunga, yang merupakan pendapatan dari modal dan (4) keuntungan yang merupakan pendapatan pemilik perusahaan.


(46)

Sebagian dari pendapatan ini tidak diterima oleh rumah tangga. Keuntungan-keuntungan perusahaan harus membayar pajak keuntungan, sedangkan pendapatan rumah tangga yang lain harus membayar pajak perseorangan. Setelah dikurangi pajak, pendapatan rumah tangga akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan pembelanjaan aatau ditabung. Yang paling penting untuk membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Sisa pendapatan rumah tangga, yaitu setelah dikurangi pajak, pengeluaran untuk konsumsi dan pengeluaran untuk membeli barang impor akan ditabung di lembaga keuangan, yang kemudian lembaga keuangan akan meminjamkan dana yang didapat dari tabungan rumah tangga kepada penanam modal.

Menurut Sukirno ( 2007 ) untuk menghitung nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan oleh sesuatu perekonomian tiga cara penghitungan dapat digunakan, yaitu:

1. Cara pengeluaran. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan nilai pengeluaran/perbelanjaan ke atas barang-barang dan jasa yang diproduksikan di dalam negara tersebut.

2. Cara produksi atau produk neto. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan nilai produksi barang dan jasa yang diwujudkan oleh berbagai sektor (lapangan usaha) dalam perekonomian. 3. Cara pendapatan. Dalam penghitungan ini pendapatan nasional diperoleh dengan cara menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional.


(47)

Di dalam penghitungan pendapatan nasional digunakan istilah pendapatan, yang dimaksud adalah pendapatan pribadi dan pendapatan disposebel. Pendapatan pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apa pun, yang diterima oleh penduduk sesuatu negara. Pendapatan disposebel adalah pendapatan pribadi dikurangi oleh pajak yang harus dibayar oleh para penerima pendapatan. Dengan demikian hakikatnya pendapatan disposebel adalah pendapatan yang dapat digunakan oleh para penerimanya, yaitu rumah tangga yang ada dalam perekonomian, untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa yang mereka ingini. Tetapi biasanya tidak semua pendapatan disposebel itu digunakan untuk tujuan konsumsi, sebagian darinya ditabung dan sebagian lainnya digunakan untuk membayar bunga, untuk pinjaman yang digunakan untuk membeli barang-barang secara menyicil.

Untuk memudahkan mengingat hubungan di antara (i) pendapatan disposebel (Yd) dan pendapatan pribadi (Yp), dan (ii) pendapatan disposebel (Yd)

dengan konsumsi dan tabungan, di bawah ini dinyatakan formula (rumus) dari hubungan tersebut :

(i) Yd = Yp - T

(ii) Yd = C + S

Pendapatan Nasional merupakan gabungan dari pendapatan wilayah - wilayah yang ada dilingkup perekonomian naisional. Peningkatan perekonomian wilayah berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi Nasional. Untuk itu


(48)

diperlukan pembangunan disetiap wilayah guna menunjang perekonomian nasional.

Gambar 2.10 Tabungan dan investasi

Keadaan di pasaran modal pada mulanya adalah bersifat: keinginan untuk melakukan investasi dan meminjam modal digambarkan oleh kurva I0 dan

penawaran tabungan adalah SF. Maka pasaran modal akan seimbang apabila

investasi = I0 sama dengan suku bunga = r0. Tabungan yang dilakukan oleh

rumah tangga adalah S0=I0, dan pengeluaran rumah tangga adalah C0.

Pada keseimbangan ini pengeluaran agregat adalah: C0 + I0 dan nilainya

sama dengan YF (oleh karena YF = C0 + I0, sedangkan S0 = I0, maka YF = C0

+ S0 = C0 + I0). Dalam perekonomian dua sektor yang mencapai

keseimbangan berlaku keadaan: I = S.

2.4.7 Distribusi Pendapatan

Kemakmuran masyarakat tidak semata-mata hanya didasarkan pada tolok ukur besarnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita saja, namun juga bagaimana pendapatan nasional itu didistribusikan, apakah pendapatan nasional didistribusikan secara lebih merata ataukah timpang.


(49)

Distribusi pendapatan dianggap kurang adil jika sebagian besar output nasional dikuasai oleh sebagian kecil penduduk.

Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianggap sebagai salah satu indikator perbaikan ekonomi tidak bisa mengukur tingkat kesejahteraan dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tergantung dari mana sumber-sumber pertumbuhan itu berasal. Kesenjangan ekonomi atau ketidakmerataan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) (Tambunan, 2001).

Keyakinan mengenai adanya efek menetes ke bawah (trickle down effects) dalam proses pembangunan telah menjadi pijakan bagi sejumlah pengambil kebijakan dalam pembangunannya. Dengan keyakinan tersebut maka strategi


(50)

pembangunan yang dilakukan akan lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, konsekuensi negatif yang dapat muncul sebagai akibat jalan pintas yang diambil berdasarkan pengalaman masa lalu adalah pusat pembangunan ekonomi nasional dan daerah dimulai pada wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur lebih memadai terutama Jawa. Selain itu pembangunan akan difokuskan pada sektor-sektor yang secara potensial memiliki kemampuan besar dalam mengasilkan nilai tambah yang tinggi terutama sektor industri dan jasa.

Diantara para pengeritik pola pembangunan ekonomi yang telah ditempuh oleh kebanyakan Negara berkembang, termasuk Indonesia, terdapat banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketidakmerataan distribusi pendapatan atau ketimpangan relatif. Dengan perkataan lain, para pengeritik ini, termasuk banyak ekonom, beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade-off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam distribusi pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketidakmerataan relatif.

Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi perhatian di negara-negara sedang berkembang (Arsyad, 2004). Banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi


(51)

yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak dirasakan orang tidak memberikan pada pemecahan masalah kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang.

Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak negara sedang berkembang, terutama negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang pesat atau dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan -akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi (Tambunan, 2001). Semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dengan kaum kaya. Studi Ahuja (1997) mengenai negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama periode 1970-an dan 1980-an, pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi (Asian miracle), pada awal dekade 1990-an ketimpangan distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali.


(52)

Menurut Sirojuzilam (2008) Pembangunan dilaksanakan secara umum menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang ekonomi, sosial, kelembagaan, dan aspek lingkungan. Akan tetapi di dalam proses pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Hal ini sekaligus menolak pendapat kaum neoklasik yang terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal pembangunan memang akan dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan tetapi pada akhirnya akan dicapai suatu keseimbangan atau kemerataan. Pada prinsipnya ada beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi antara lain distribution income disparities, urban rural income disparities, dan regional income disparities

Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat umum dipergunakan adalah Gini Indeks.

(1) Gini Indeks

Dimana:

Pi = % kumulatif jumlah penduduk Qi = % kumulatif jumlah pendapatan Gi = 0, Perfect Equality


(53)

(2) Kurva Lorenz

Kurva Lorenz secara umum sering dipergunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Kurva Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi bujur sangkar dengan bantuan garis diagonalnya. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan yang terjadi semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi. Bentuk Kurva Lorenz biasanya digambarkan berdasarkan data yang diperoleh setelah menghitung angka Gini atau seperti terlihat pada gambar berikut ini:


(54)

(3) Kriteria Bank Dunia

Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

a. 20% Penduduk pendapatan tinggi b. 40% Penduduk pendapatan sedang c. 40% Penduduk pendapatan rendah

dengan kriteria ketimpangan.

1. Tinggi, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional < 12%,

2. Sedang, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional 12%- 17%, dan

3. Rendah, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional > 17%.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan Williamson Index dan ukuran ketimpangan lainnya. Selanjutnya dilanjutkan pula dengan pembahasan tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia yang dilanjutkan dengan faktor-faktor utama yang menentukan ketimpangan tersebut. Terakhir dilakukan pembahasan tentang beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk penanggulangan ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut (Sjafrizal, 2008).


(55)

Ketimpangan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemiskinan merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang mendalam akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan dapat memberikan dasar yang baik untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih khusus agar permasalahan pembangunan ini bisa dipecahkan dengan perencanaan pembangunan yang lebih baik (Arsyad, 2004).

Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi sosial dalam pembangunan itu sediri. Konsekuensi dari ketimpangan pembangunan ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan kemiskinan (Colclough, 1990). Ketimpangan pembangunan ekonomi dari waktu kewaktu telah banyak dianalisis secara empiris dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang ada (Harrison, 1984).

Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.


(56)

Ketimpangan pembangunan antar kecamatan dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):

Dimana:

IW = Indeks ketimpangan wilayah kecamatan Yi = Pendapatan per kapita di kecamatan i

Y = Pendapatan per kapita rata-rata Kabupaten / Kota i fi = jumlah penduduk di kecamatan i

n = jumlah penduduk Kabupaten / Kota i

Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan perekonomian Pulau Jawa melainkan juga antar Kawasan Barat Indonesia (Kabarin) dan Kawasan Timur Indonesia (Katimin). Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani ketimpangan antar daerah selama ini ternyata belum mencapai hasil yang memadai. Alokasi penganggaran pembangunan sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi tersebut tampaknya perlu lebih diperhatikan di masa mendatang. Strategi alokasi anggaran itu harus mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (Majidi, 1997).

Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu


(57)

daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,1999).

Menurut Kuncoro (2002), konsep entropi Theil dari distribusi pada dasarnya merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi dan konsentrasi industri. Studi empiris yang dilakukan Theil dengan menggunakan indeks entropi menawarkan pandangan yang tajam mengenai pendapatan regional per kapita dan kesenjangan pendapatan, kesenjangan internasional, serta distribusi produk domestik bruto dunia. Untuk mengukur ketimpangan pendapatan regional bruto provinsi, Ying menggunakan indeks entropi Theil. Indeks entropi Theil tersebut dapat dibagi/diurai menjadi dua subindikasi, yaitu ketimpangan regional dalam


(58)

wilayah dan ketimpangan regional antarwilayah atau regional (Ying, 2000). Dengan menggunakan alat analisis indeks entropi Theil akan diketahui ada tidaknya ketimpangan yang terjadi di kabupaten/kota. Rumus dari indeks entropi Theil adalah sebagai berikut (Ying, 2000):

I(y) = Σ (yj / Y)x log [(yj / Y) / ( xj / X) ]

Di mana:

I(y) = indeks entropi Theil

yj = PDRB per kapita kecamatan j

Y = rata-rata PDRB per kapita Kabupaten / kota j xj = jumlah penduduk kecamatan j

X = jumlah penduduk Kabupaten / Kota j

Indeks entropi Theil memungkinkan kita untuk membuat perbandingan selama kurun waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil juga dapat menyediakan pengukuran ketimpangan secara rinci dalam subunit geografis yang lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk menganalisis kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu; sedang yang kedua juga penting ketika kita mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai ketimpangan spasial. Sebagai contoh ketimpangan antar daerah dalam suatu negara dan antar subunit daerah dalam suatu kawasan (Kuncoro, 2002).

2.4.8 Penyebab Ketimpangan Pendapatan

Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan GNP


(59)

per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan tingkat hidup rakyat banyak. Bahkan pertumbuhan GNP per kapita di beberapa negara sedang berkembang seperti Pakistan, India, Kenya, dan lain-lain telah menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup orang miskin di perkotaan dan pedesaan. Apa yang disebut dengan proses penetesan ke bawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi orang miskin tidak terjadi.

Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan di negaranegara sedang berkembang, yaitu:

a. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;

b. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;

c. Ketimpangan pembangunan antar daerah;

d. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;

e. Rendahnya mobilitas sosial;

f. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;


(1)

dapat membayar nilai produk marginal (value of marginal product) dari faktor-faktor produksi (inputs).

Model struktur kota yang bersifat lebih umum dikembangkan oleh Dixit. Tema utama dari karya Dixit adalah ukuran kota optimum (optimum city size) yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in production) dan disekonomi (diseconomies) transportasi disebabkan oleh kemacetan lalulintas (congestion). Dixit membuat asumsi bahwa hanya terdapat satu perusahaan yang memproduksi komoditi tunggal dan skala hasil yang meningkat. Seperti model yang dikembangkan oleh Mills, model yang dikembangkan oleh Mills, Dixit beramsusi produsen barang adalah monopoli beralokasi di PDB. Namun dibandingkan dengan model Mills, model yang dikembangkan oleh Dixit bersifat umum. Dixit mengintegrasikan manfaat sebagai fungsi dari barang industri dan perumahan (tanah). Model Dixit memperlihatkan analitis bahwa tingkat skala peningkatan (degree of increasing returns) sama dengan rasio sewa tanah terhadap nilai output.

Sekalipun model Dixit memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita mengenai ekonomi aglomerasi dalam suatu rangka yang lebih umum, namun kritik keras terhadap model ini adalah pemberlakuan skala ekonomi dalam sistem monopoli dianggap terlalu sederhana. Skala peningkatan internal (internal returns to scale) bagi produsen yang memiliki kekuatan monopoli susah untuk diterima sebagai penyebab ekonomi aglomerasi. Model ini tidak memberikan banyak penjelasan terhadap keadaan kota modern


(2)

sebenarnya. Fenomena suatu kota modern adalah terdapat banyak produsen dan terjadi perdagangan antarkota, keadaan ini jauh berbeda dari keadaan pasar monopoli. Kritik ini juga berlaku pada model yang dikembangkan oleh Mills.

Ketidakpuasan terhadap proposisi bahwa ekonomi skala besar merupakan penentu konsentrasi industri di daerah perkotaan besar mengarah pada usaha-usaha untuk mengembangkan model teoritis yang dapat menjelaskan keberadaan ekonomi lokalisasi. Ekonomi aglomerasi dalam pengertian ekonomi lokalisasi dianalisa, antara lain, oleh Henderson. Ciri utama dari model Henderson adalah mengasumsikan terdapat banyak perusahaan kecil di daerah perkotaan yang masing-masing memandang dirinya berhadapan dengan teknologi berskala hasil yang konstan (constant returns to scale), sementara itu industri secara keseluruhan memperoleh peningkatan hasil (increasing returns) yaitu skala ekonomi bersifat eksternal terhadap perusahaan. Kita dapat menyebut jenis eksternalitas seperti ini sebagai skala ekonomi ala Chipman, karena Chipman yang mengusulkan pendekatan ini. Karena itu, produk marginal tenaga kerja pribadi (private marginal product of labor) dalam industri berbeda dengan produk marginal sosial (social marginal product). Keadaan ini mempertahankan keberlakuan habisnya (exhaustion) penerimaan perusahaan untuk pembayaran faktor-faktor produksi atau penerimaan sama dengan pengeluaran.


(3)

Pasar dicirikan oleh persaingan sempurna karena setiap perusahaan yang ikut serta dalam persaingan (entering) diuntungkan oleh eksternalitas skala ekonomi industri. Henderson mengintegrasikan faktor eksternalitas pada peubah (variable) output dari fungsi produksi, karena itu kita anggap model Henderson memperlihatkan ekonomi lokalisasi (Juoro, 1989).

Pendapatan merupakan salah satu variabel yang menentukan pengembangan wilayah. Dalam proses pembangunan wilayah terjadi ketimpangan pendapatan (Nishiola 1994).

Menurut Kim dkk (2003) ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh empat variabel yaitu pendidikan, kesempatan kerja, infrastruktur dan jaringan informasi. Menurut Song dkk (2000) terdapat lima variabel yang menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan pendapatan yaitu investasi, infrastruktur, modal manusia, jumlah penduduk dan letak geografis. Menurut hasil penelitian Rahman (2002) ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh skill dan penggunaan teknologi dalam proses produksi. Menurut Wilder dkk. (1999) perbedaan tingkat pendidikan dan budaya masyarakat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan, sedangkan hasil penelitian Ding (2002) pendapatan yang didekati dengan pengeluaran per kapita akan memberikan petunjuk aspek pemerataan pendapatan yang telah tercapai. Walaupun hal ini tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya namun paling tidak memberikan petunjuk untuk melihat arah dari perkembangan yang terjadi. Selama ini untuk mendapatkan informasi mengenai


(4)

pendapatan sebenarnya menemui bermacam kendala diantaranya: tidak terus terangnya responden memberikan informasi yang sebenarnya, ada yang membesarkan ada pula yang mengecilkan. Selain itu terkadang menjadi tidak etis pada sebagian orang untuk meminta informasi mengenai pendapatan yang sebenarnya.

Sulitnya mendapatkan tingkat pendapatan yang sebenarnya menjadi alasan penggunaan pendekatan pengeluaran untuk mengetahui distribusi pendapatan masyarakat. Dalam realitanya tingkat pengeluaran akan berbanding lurus dengan tingkat pendapatan. Semakin besar pendapatan masyarakat maka akan semakin besar tingkat pengeluaran. Asumsi ini menjadi acuan dalam kajian untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat.

Sementara itu penelitian yang menyangkut pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di daerah di Indonesia antara lain di Kutai Kartanegara oleh BPS (2005) yang menemukan koefisien Gini sebesar 0,31. Koefisien Gini ini mengindikasikan ketimpangan distribusi yang cukup rendah. Hal ini didukung dengan keberhasilan kebijakan dalam menurunkan kemiskinan di kabupaten tersebut. Penelitian lain khususnya di Kabupaten Banyumas pernah dilakukan oleh Suroso dkk (2005) yang menemukan ketimpangan distribusi pendapatan di Banyumas tahun 2005 dengan koefisien Ginisebesar 0,432. Koefisien Gini tersebut mengindikasikan ketimpangan pendapatan yang cukup besar. Hasil ini juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dibanding keadaan


(5)

sebelumnya. Dibandingkan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, maka Kabupaten Banyumas yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah menujukkan ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif tinggi.

Pendapatan masyarakat yang merata, sebagai suatu sasaran merupakan masalah yang sulit dicapai, namun berkurangnya kesenjangan adalah salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan. Indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan masyarakat adalah distribusi pendapatan masyarakat diantara golongan penduduk (golongan pendapatan). Pendapatan masyarakat sangat tergantung dari lapangan usaha, pangkat dan jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan umum, produktivitas, prospek usaha, permodalan dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab perbedaan tingkat pendapatan penduduk. Indikator distribusi menanggapi tentang kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi ketimpangan. Shangkar dan Shah (2003) kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan alokasi dana pembangunan yang tidak berimbangan dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan. Menurut Mukhopadhaya (2003) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah terhadap kaum imigran dapat menyebabkan terjadi ketimpangan pendapatan di masyarakat.

Sejumlah studi empirik berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab ketimpangan distribusi pendapatan dari berbagai tinjauan. Beberapa studi menyampaikan beberapa variabel makro-ekonomi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan seperti inflasi dan pengangguran


(6)