BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Independensi menjadi ciri khas dalam ekonomi negara demokrasi. Ketika

  independensi dicederai oleh muatan-muatan politik, maka laju pembangunan program-program pemerintah, cenderung akan didominasi oleh kepentingan-

   kepentingan tertentu sedangkan pihak lainnya akan dimarginalkan atau dipinggirkan.

  Independensi merupakan sikap untuk mempertahankan hak publik dalam pencapaian tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, adil, dan makmur.

  Bergulirnya reformasi tahun 1998, sebagai bukti nyata besarnya dominasi pemerintah absolut dengan mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan negara. Melalui reformasi pada waktu itu, rakyat Indonesia mulai bersikeras menyatakan sikap perlunya pihak independen untuk turut campur dalam mengurusi negara ini. Tuntutan demikian sebagai bukti nyata, bahwa rakyat sudah tidak percaya seutuhnya kepada para pejabat publik untuk mengelola dan mengurusi aset-aset 1 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, (London:

  

Penguin Book, 1979), hal. 397. Lihat juga: James A. Caporaso, Theories of Political Economy,

(Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 221. Lihat juga: Yunus Husein, Rahasia Bank

Privasi Versus Kepentingan Bank, (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003), hal. 65. Smith mengatakan kaitan antara ekonomi dan politik mempunyai hubungan yang erat dengan istilah ekonomi-politik (political economy). Salah satu tujuan ekonomi-politik menurutnya adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan

berbagai tugas atau fungsinya dengan baik, dimana ekonomi-politik berusaha untuk merumuskan negara, memberikan pelayanan, mengayomi, melindungi, menjalankan program- program pembangunan.

  Ketika instrumen hukum didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan politik, maka tujuannya cenderung akan berpola dan berpihak kepada pemerintah itu sendiri. Akan tetapi ketika hukum sekalipun dijalankan oleh pihak independen, bukan pula secara otomatis dapat mencapai tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, sejahtera, adil, dan makmur. Karena yang lebih penting dari itu adalah sejauh mana implementasi independensi dibarengi dengan perilaku yang menjunjung tinggi etika norma moral yang baik agar terhindar dari kepraktisan hukum.

  Berkenaan dengan kepraktisan hukum, Peter Mahmud Marzuki mengatakan, ”betapa pun praktik harus didasarkan pada teori dan prinsip yang berlaku, bukan praktik menyimpangi dari teori”. Anggapan yang menyatakan praktik tidak harus sama dengan teori merupakan suatu anggapan yang sangat naif. Penerapan suatu ilmu akademis harus didasarkan pada teori yang melandasinya sebab jika tidak demikian,

   penerapan itu akan gagal.

  Demikian pula dalam hal norma pengaturan independensi didasarkan pada teori dan prinsip dalam konteks negara kesejahteraan. Untuk menciptakan rakyat yang sejahtera, independensi mutlak diperlukan. Apabila norma independensi diterapkan dengan perilaku praktis misalnya perilaku penyimpangan dari teori,

2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005),

  norma, dan prinsip yang melandasi independensi, maka penerapan independensi itu akan gagal.

  Independensi akan dapat meminimalisir peran pemerintah absolut dalam meregulasi dan mengawasi sektor ekonomi khususnya perbankan. Sebagaimana dikatakan oleh Didik J. Rachbini, memandang pentingnya peran negara atau pemerintah dalam sistem demokrasi ekonomi pada prinsipnya hanya sebatas

  

  fungsinya sebagai penonton (in partial spectator). Dengan demikian Negara atau Pemerintah hanya boleh atau dapat mengintervensi pasar gagal untuk menyeimbangkan (stabilisator) pasar ketika sistem pasar keuangan terganggu, sebab

   bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distorsi.

   Misalnya dalam hal terjadinya praktik monopoli alamiah (natural monopoly)

  maka terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli dilakukan oleh pihak swasta dan monopoli dilakukan oleh pihak pemerintah, baik

  

  pada saat merancang regulasi maupun ketika penerapan regulasi. Oleh sebabnya, untuk menghindari monopoli tersebut, maka pihak-pihak independen perlu ditempatkan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perekonomian perbankan. 3 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 106. 4 5 Ibid.

  Monopoli alamiah dalam konteks ini diartikan sebagai tindakan-tindakan penguasaan terhadap pasar ekonomi yang dilakukan oleh satu pihak baik penguasaan pangsa pasar dengan cara- cara sendiri dan membuat aturan sendiri-sendiri atau kelompok. 6 Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”,

Pidato (Makalah berbentuk teks) yang Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap

  

Dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat

Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, Medan, Sabtu, Tanggal 17

  Setidaknya melalui pendekatan koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen, akan menjadi stabilisator dalam membuat kebijakan di pasar finansial misalnya perbankan.

  Lembaga yang independen dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Lembaga OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang

  

  pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat UU OJK). Berdasarkan ketentuan ini, salah satu amanat UU OJK adalah independensi dari lembaga OJK itu sendiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mengatur dan mengawasi perbankan.

  Lembaga OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

  

  (selanjutnya disingkat UU BI) yang tugas pokoknya untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap bank-bank dan perusahaan- perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, 7 Lihat: Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (disngkat UU OJK). 8 Istilah awalnya dikenal dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK) sebagaimana

Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan: a. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

  b.

  Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Oleh karena lembaga ini bersifat independen, maka dalam menjalankan tugas, kedudukannya berada di luar institusi pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

  Kendatipun Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak), demikian pula dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembaga yang independen. Sebab dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (UU BI) ditentukan pengecualian. Sehingga dengan

  

  pengecualian ini, keindependensian BI tidak murni berlaku. Ketentuan pengecualian itu ditentukan, ”Jika diatur secara tegas dalam UU BI”. Dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK juga terdapat ketentuan pengecualian yang menentukan,

  

”Jika diatur secara tegas menurut UU OJK”.

  9 Pasal 4 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan: a.

  Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.

  b.

  Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal- hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

  c.

  Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan undang-undang ini. 10 Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas

dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,

pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pasal 2 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:

  Ketentuan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 4 UU BI dan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK tersebut membuka peluang selebar-lebarnya kepada pemerintah untuk melakukan intervensi misalnya mengambil keputusan bisnis perbankan. Kecenderungan itu dapat terjadi misalnya ketika dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disingkat FKSSK) yang dikoordinatori oleh Kemenkeu sementara pihak Kemenkeu itu sendiri bukan pihak yang independen melainkan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor keuangan. Peluang seperti ini perlu diwaspadai karena independensi akan bisa diatur dan disesuaikan dengan kondisi di luar daripada ketentuan undang-undang atau anggota FKSSK bisa berkoordinasi karena kepentingan politik tertentu di luar ketentuan undang-undang.

  Melemahnya independensi sebagaimana yang diilustrasikan dalam FKSSK tersebut di atas, berkorelasi logis dengan pernyataan Robert W. Gordon, sebagaimana yang dikutip oleh David Kairys, yang kemudian dikutip oleh Bismar Nasution dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, disebutkan bahwa ”kegagalan pasar sebagai alasan utama pemerintah untuk mengintervensi ekonomi, sekaligus harus membuat

   hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi itu sendiri”.

  b.

  OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang- 11 Undang ini.

  Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah yang Disampaikan pada

Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan dalam UU OJK mengamanatkan

  

  pengawasan dari Lembaga Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat LJK) pada prinsipnya dibagi dalam dua jenis:

  1. Pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga ikut menyokong, menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro

  economic supervision ).

  2. Pengawasan yang mendorong agar LJK secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential

   supervision ).

  Oleh karena itu, melemahnya sikap independen pada tataran praktik, juga besar kemungkinan bisa terjadi ketika misalnya sistim ekonomi akan berurusan dengan penyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro (macro economic

  

supervision ) sebagaimana ditentukan di Pasal 39 UU OJK , di mana Dewan

  Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat DK OJK) akan

  

Lembaga Jasa Kuangan bekerjasama dengan Universitas Medan Area, di Hotel Santika Medan,

Tanggal 19 Juni 2012, hal. 7-8. Lihat juga: Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum.......”, Loc. cit.

Lihat juga: Robert W. Gordon, dalam David Kairys, ed, The Politics of Law A Progressive Critique,

(New York: Pantheon Books, 1990), hal. 418. Hal ini pernah diamati Robert W. Gordon, dan

menyimpulkan bahwa hukum adalah salah satu di antara berbagai sistem yang berarti bagi rakyat

dalam rangka pembangunan. 12 13 LJK misalnya BI dan OJK.

  Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan: Kajian Terhadap Independensi dan pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”,

Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan , Dilaksanakan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,

Medan, Tanggal 8 Juni 2011, hal. 7. 14 Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: a.

  Kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b.

  Sistem informasi perbankan yang terpadu; c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; d.

  Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan berkoordinasi dalam FKSSK sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2)

15 UU OJK.

  Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK, ketika kondisi tidak normal misalnya bank akan berdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e) yang penanganannya harus melalui FKSSK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45

  

  ayat (2) UU OJK, berpeluang bagi pemerintah (Kemenkeu) untuk mengintervensi melalui rapat dalam FKSSK tersebut. Sehingga dengan masuknya Kemenkeu ke dalam FKSSK di sini, keindependensian OJK termasuk juga BI dan LPS bisa atau cenderung melemah. Inilah yang mungkin bisa terjadi sebagai bentuk penyimpangan dari Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 39 huruf e, dan Pasal 45 ayat (2) UU OJK.

  Pelemahan sikap independensi itu bisa pula terjadi pada sektor anggaran, misalnya jika anggaran operasional OJK dipungut dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, maka akan sulit bagi anggota DK OJK untuk memerankan independensi itu. Sebab jika anggarannya di luar Anggaran Pendapatan

  

  dan Belanja Negara (APBN), maka dikhawatirkan adanya campur tangan dari pihak-pihak tertentu khususnya pihak-pihak yang turut menyokong anggaran 15 Lufti Zen Fuadi, “Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

  

Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan , di Tiara Medan Hotel & Convention Center, Medan, Tanggal 8 Juni

2012. Ada dua ruang lingkup pembagian kewenangan pengaturan dan pengawasan dalam UU No. 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yakni: masalah macro economic supervision, micro economic supervision atau prudential supervision. 16 Pasal 45 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:

  

”Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur

Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga

Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem

keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis”. operasional OJK tersebut. Sehingga keindependensian dari para anggota DK OJK

  

  bisa melemah dan tidak akuntabel serta tidak transparan ketika membuat suatu kebijakan. Padahal ciri khas dari sikap independensi pada hakikatnya harus otonom (berdiri sendiri), bebas dari pengaruh kepentingan-kepentingan lainnya, partai politik, pihak swasta, lembaga lain sebagai penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun.

  Secara ilmu hukum tata negara, BI sebagai Bank Sentral terlepas dari ketiga

  

  kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan posisi BI diatur dan dilegalitaskan tersendiri dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Sementara bagi lembaga OJK tidak diatur dalam konstitusi negara Indonesia. Tentu perbedaan ini akan menjadi bagian dari persoalan ketika masing-masing lembaga berada pada satu forum yang disebut FKSSK.

  Dalam perjalanan pembentukan DK OJK, diketahui pula bahwa Ketua DK OJK terpilih adalah Muliaman Darmasyah Hadad dari Deputi Gubernur BI dan salah

  

  satu pejabat ex officio yang menjadi anggota DK OJK dari perwakilan BI adalah

  18 Bandingkan dengan pendapat: Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut....Op. cit., hal. 3. 19 Moh. Kusnardi dan Hermailiy Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dab CV. Sinar Bakti, 1983), hal. 181-

182. UUD 1945 menganut sistem pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh

Montesquieu. Berarti secara politik Bank Indonesia berada di luar ketiga kekuasaan di atas (di luar

campur tangan eksekutif, yudikatif, dan legislatif). 20 Pasal 1 angka 20 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Ex officio adalah

jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.

  

Bandingkan juga dengan: Muslimin Anwar (Dosen Pascasarjana FE UI), ”Peran Otoritas Jasa

Keuangan Negara G-20”, Artikel Berita Kolom Probis Rakyat Indonesia, Tanggal 7 April 2009, hal. 1. Gubernur Bank Sentral Italia, Mario Draghi, diangkat menjadi Ketua Forum Stabilitas Finansial (FSF)

yang saat ini berubah nama menjadi Pengawas Sistem Keuangan Global. FSF ini bertugas

   Halim Alamsyah yang sebelumnya juga menjabat sebagai Deputi Gubernur BI,

  sehingga dengan demikian dalam mengatasi masalah macro economic supervision melalui FKSSK untuk menentukan institusi bank yang masuk kategori systemically

   important bank, dikhawatirkan independensi OJK akan melemah.

  Pelemahan itu misalnya pemerintah turut campur dalam urusan menentukan kebijakan ekonomi makro sebagaimana yang terjadi pada kasus Bank Century, sebab dalam FKSSK Menteri Keuangan berada pada posisi nilai tawar yang tinggi sebagai koordinator dan salah satu anggota ex officio DK OJK terpilih, Anny Ratnawati berasal dari Kementerian Keuangan yang sebelumnya menjabat sebagai Dirjen

23 Anggaran Kemenkeu.

  Amanat UU OJK yang menentukan suatu forum yang disebut dengan FKSSK terdiri dari: Menteri Keuangan selaku koordinator, dan Gubernur BI, DK OJK, DK LPS (sebagai anggota). Sehingga konsekuensi logis dalam forum tersebut tercantum

  

  satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan”. Untuk dapat mewujudkan hubungan kelembagaan dimaksud, OJK harus melakukannya melalui koordinasi lintas lembaga.

  21 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/19/121758/Muliaman- Hadad-Terpilih-Jadi-Ketua-DK-OJK, diakses tanggal 7 Agustus 2012. 22 Muslimin Anwar, Loc. cit. Gubernur Bank Sentral Italia, Mario Draghi, juga diangkat

menjadi Ketua Forum Stabilitas Finansial (FSF) yang telah berubah nama menjadi Pengawas Sistem

  Keuangan Global dan bertugas meningkatkan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan global. 23 Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan anggota DK OJK dibentuk terdiri dari 9 (sembilan) orang, 2 (dua) orang dari ex efficio (wakil dari BI dan Kemenkeu) dan 7 (tujuh) orang dari independen.

  Koordinasi merupakan kunci untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar lintas instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak

   yang merupakan mimpi.

  Koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil suatu lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya akan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Sebaliknya, koordinasi juga dapat memperburuk citra suatu lembaga jika para wakil-wakilnya atau para pengemban tugas dan tanggung jawab tersebut cenderung berperilaku mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga- lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.

  Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, DK OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan pihak BI sebagai Bank Sentral. Lembaga OJK berwenang membuat peraturan yang berkaitan dengan bank dan berwenang pula melakukan pengawasan terhadap bank tersebut secara berkoordinasi dengan BI misalnya untuk meminta penjelasan atau keterangan dari pihak BI mengenai data makro yang diperlukan. Sementara pihak BI juga berwenang 25 Priyanto B. Nugroho, “OJK dan Skandal Korupsinya di Korea Selatan”, http://luar-

  

negeri.kompasiana.com/2011/08/02/ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan/, diakses tanggal 15 membuat pengaturan dan melakukan pengawasannya terhadap bank-bank. Kedua lembaga ini dimaksud oleh UU OJK harus berkoordinasi secara independen dalam koridor-koridor tertentu sesuai yang ditentukan dalam undang-undang.

  Mengawasi perbankan memang bukan perkara mudah. Otoritas dituntut menciptakan sistem perbankan menjadi sehat, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat khususnya nasabah dan konsumen. Intervensi dari pihak pemerintah dan lembaga-lembaga pengawas dari BI untuk mencampuri tugas dan wewenang yang telah diamanatkan kepada OJK, misalnya arogansi, dinilai sebagai faktor kondusif kegagalan. Oleh sebab itu, tanpa mengurangi keindependensian kedua lembaga BI dan OJK, dapat dipertemukan melalui koordinasi dalam batas-batas hubungan kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang.

  Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama dari sistem pengawasan perbankan yang diamanatkan oleh UU OJK adalah untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat. Jika independensi BI dan OJK dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya dalam menjalankan tugas dan wewenang OJK, niscaya tujuan untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat tidak akan bisa tercapai. Demikian pula koordinasi yang baik antar BI dengan OJK dan lembaga-lembaga lainnya juga sebagai faktor penentu keberhasilan pengawasan sistem perbankan nasional.

  Independensi dan koordinasi antara BI dengan OJK merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar pada era pasar finansial yang semakin memburuk saat ini. OJK dan lembaga-lembaga lainnya sebagai kunci kesuksesan untuk mencapai tujuan amanat dari UU OJK agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan khususnya sektor perbankan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan (sustainable

  

develompment ) dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan nasabah/konsumen

  dan masyarakat. Dengan demikian dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang, ”Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia” sebagai judul dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

  Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut ini:

  1. Bagaimanakah independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan?

2. Bagaimanakah hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa

  Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia? 3. Bagaimanakah pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan di

1. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis independensi Otoritas

  Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan.

  2. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia.

  3. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis:

  1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat umum khususnya nasabah atau konsumen perbankan.

  2. Secara praktis bermanfaat bagi struktur/fungsional lembaga-lembaga dalam kaitannya dengan perbankan seperti Dewan Gubernur Bank Indonesia, DK OJK, DK LPS, Lembaga Jasa Keuangan lainnya, struktural Kemenkeu, bagi bank-bank konvensional dan non konvensional, serta bagi pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

E. Keaslian Penelitian

  Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap judul dan permasalahan yang sama di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran (searching) di situs-situs resmi perguruan tinggi melalui media internet dan diperoleh bahwa tidak ada judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini.

  Berdasarkan penelusuran diperoleh judul tesis dengan judul: 1. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mencegah Kejahatan Insider

  Trading di Pasar Modal, diteliti oleh: Leo Chandra Jaya Bona Parti

  Tampubolon, NIM: 107005050. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu pada kewenangan OJK di Pasar Modal yang dikhususkan pada pencegahan praktik-praktik perdagangan orang dalam (insider trading).

  2. Analisis Yuridis Kedudukan Bapepam Setelah Berlakunya UU No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, diteliti oleh: Susi Muliyanti, NIM: 107005085. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu pada: a.

  Apakah latar belakang berdirinya OJK? b. Bagaimanakah kewenangan Bapepam di Pasar Modal sebelum OJK? c. Bagaimanakah transformasi kewenangan Bapepam kepada OJK setelah berlakunya UU OJK?

3. Analisis Terhadap Fungsi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Sistem

  Perbankan, diteliti oleh Ramsul Nababan, NIM: 107005002. Tetapi sejak penelitian ini berlangsung belum diajukan draft permasalahan terhadap judul di atas.

  Penelitian ini baru pertama kali dilakukan, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian (original) dan tidak plagiat (duplikat) dari hasil karya penelitian pihak lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

  Teori menempati kedudukan yang penting sebagai pisau analisis untuk merangkum dan memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan

   mensistematiskan masalah yang dibicarakan.

  Krisis otoritas cenderung terjadi dalam suatu lembaga khususnya lembaga perbankan. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengatakan, banyak perhatian dan kontroversi seputar ilmu hukum kontemporer yang berakar pada krisis otoritas dan

  

  telah mengguncang institusi-institusi publik. Krisis otoritas bisa terjadi dalam tataran regulasi (misalnya tidak memadainya hukum dan perundang-undangan 26 27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 253.

  Philippe Nonet dan Philip Selznick, diterjemahkan oleh: Raisul Muttaqien, Hukum sebagai sarana perubahan dan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan) dan juga bisa terjadi menyangkut krisis legitimasi, terkikisnya otoritas, penyalahgunaan aktivisme hukum, dan macetnya hukum dan ketertiban serta korupsi di kalangan tertib hukum. Kesewenang-wenangan yang menonjolkan pelayanan kekuasaan

   sehingga menyebabkan bobroknya ketertiban sosial.

  Dalam karya Philippe Nonet dan Philip Selznick disebutkan, meskipun sumber-sumber kontrol yang lainnya penting, namun sumber-sumber kontrol tersebut tidak bisa bersifat tunggal diandalkan untuk menyelamatkan masyarakat dari kesewenang-wenangan, intimidasi atau hal-hal yang lebih buruk. Melainkan juga dibutuhkan penghormatan yang tertinggi terhadap otoritas dimaksud misalnya menjunjung tinggi penerapan moral dalam hukum, pemisahan hukum dari politik harus secara tegas serta penyimpangan dari hukum harus ditindak tegas serta adanya

   kontrol sosial.

  Philippe Nonet dan Philip Selznick juga memandang akan pentingnya diterapkan fleksibilitas dan keterbukaan institusi-institusi pada koridor-koridor

  

  tertentu. Ketika melemahnya otoritas, maka patut dipertanyakan validitas moral yang dianut. Dalam kondisi otoritas yang terancam, maka alternatif-alternatif menjadi

  

  pilihan nyata yang menegaskan karakter moral individu. Kekacauan tidak mungkin diciptakan oleh hukum substantif melainkan diciptakan oleh struktur hukum yang 28 29 Ibid. 30 Ibid, hal. 5-7.

  Ibid.7-8. tidak menjunjung tinggi hukum moral. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. Inilah yang disebut dengan

   pemisahan negara dengan masyarakat.

  Satjipto Rahadjo dengan hukum progresifnya menolak dan ingin mematahkan status quo karena dinilainya hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan aturan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa

  

  saja (business as usual). Kiranya apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahadjo tersebut merupakan suatu gejala yang jika dikaitkan dengan status quo secara kasat mata tampak pada masa sebelum tahun 1998. Namun walaupun status quo itu sudah direformasi pasca tahun 1998 muncul status quo jenis baru yang tidak tampak di mana status itu terselubung melalui muatan-muatan politik campur tangan pihak-

   pihak tertentu seperti misalnya menonjolkan kepentingan pemerintah.

  Independensi merupakan salah satu cara menempatkan sistem kontrol dari kesewenang-wenangan pelayan publik dan koordinasi adalah kuncinya. Tujuan UU Perbankan mustahil akan tercapai jika tidak dilakukan berdasarkan independensi, tujuan sistem pengawasan perbankan akan pincang ketika tidak dilakukan melalui koordinasi yang baik antar sesama otoritas dengan pihak lainnya yang memiliki

  32 Roberto M. Urger, diterjemahkan oleh: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern , (Bandung: Nusamedia, 2008), hal. 74 dan hal. 82. 33 Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hal. 114. 34 Dimisalkan sebagai contoh dalam hal pengambilan keputusan untuk penanganan kasus-

kasus perbankan seperi: Bank Likuiditas Bank Indonesia, Bank Century, dan lain-lain sampai saat ini kewenangan dan tanggung jawab dalam sistem perbankan untuk menciptakan perbankan yang sehat.

  Berangkat dari persoalan di atas, berdasarkan teori tujuan, pada prinsipnya hukum dibentuk bertujuan untuk mewujudkan ketertiban (order) dan ketertiban merupakan syarat mendasar dan benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat

  

  manusia yang nyata dan objektif. Para penganut paradigma hukum alam

  

  memandang tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan. Namun keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum melainkan juga bertujuan untuk mewujudkan

   kesejahteraan (welfare state).

  Ketertiban dalam pandangan Kusumaatmadja merupakan tujuan utama dari hukum (termasuk dalam konteks hukum perbankan). Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda ukurannya bergantung pada bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan

  

  masyarakat temapat ia hidup (hukum perbankan bertujuan untuk membuat adil

  35 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional , (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3. 36 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20,

Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya Ethica Nicomachea dan

Rhetorika , yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya. 37 Mochtar Kusumaatmadja, Loc. cit. Menurut teori utilities (utilities theory), hukum

bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham tahun 1748-1832, seorang ahli hukum dari Inggris. bagi nasabah dan konsumen bank). Tujuan hukum di Indonesia termaktub dalam

   Pancasila dan pada alinea IV Pembukaan UUD 1945.

  Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan), masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme (logische geschlossenheit) yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsionil (functionele rechtsleer) yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan yang kritis (gesellschatsgebunden) yang menitikberatkan pada kepastian hukum.

   Keadilan menurut Plato adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi.

  Keadilan menurut H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut

  

  pribadi (habitus animi). Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai

  

  suatu kebijakan individual. Makna keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut

43 Aristoteles sebagai keadilan korektif.

  John Rawls mengolaborasi keadilan dengan mencampur unsur-unsur keadilan menurut Aristoteles dan keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum. 39 B. Arief Sidharta, ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003, hal. 1-2. 40 41 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92. 42 Ibid.

  Ibid, hal. 93. Hasil kolaborasinya diperoleh secara tajam jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1.

  Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar; 2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu: a.

  Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah;

   b.

  Terciptanya kesempatan bagi semua orang. Pandangan John Rawls tersebut sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai oleh aliran utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi manusia dalam

   mematuhi hukum.

  Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam

   karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”. 44 45 Ibid, hal. 94. 46 Ibid, hal. 95.

  Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang

bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13, Jeremy Bentham (1748-1832 ), Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi

utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum Bentham yang

selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi

sebanyak mungkin orang. Menurut Bentham: Alam telah menempatkan umat manusia di bawah

kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu

sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura

menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada dibawah kekuasaan mereka.

Asas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk

   mencapai kesejahteraan akan tercapai.

  Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas

  

  disebut baik. Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena

   sangat berorientasi pada hasil perbuatan.

  Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai

  untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang. 47 Ibid., hal. 14. Lihat juga: Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan

Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2, hal. 14. Menyebutkan

teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith, keadaan batin yang waspada, jeli, dan

sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling

besar. Keutamaan ini menyangkut kebijakan yang ditempuh hendaknya tidak saja memperhatikan

kepentingan untuk masa kini, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakan

yang ditempuh. 48 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67.

  pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh

   kualitas moral.

  Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya

   otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.

  Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Masalahnya adalah mengapa dalam pengambilan keputusan bisnis dari otoritas suatu lembaga misalkan otoritas pengawas perbankan merupakan tanggung jawab moral induvidu dari orang-orang yang dipercaya? Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya nasabah atau konsumen bank. Jawaban ini dapat diterima untuk menciptakan suatu 50 51 K. Bertens, Loc. cit.

  Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24. Lihat juga: W. Stark, (ed), Jeremy Bentham’s Economic konsep yang sering disebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable

  

development ). Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang

   masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.

  Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarisme seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet

  

  dalam konteks bisnis. Ukuran utilitarisme menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil. Teori utilitarisme tentang hukum moral berbanding terbalik atau suatu bentuk penolakan keras terhadap tindakan aji mumpung (moral hazard) dari pengemban amanah.

  John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya Utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai tertinggi kebahagiaan yakni kesenangan heterogin dalam berbagai bidang kehidupan. Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama. Kriteria utilitas 52 53 K. Bertens, Op. cit, hal. 66.

  John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24. menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet

  

  atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan. Tindakan harus menciptakan manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis

   maupun kepada masyarakat konsumen.

  Penggunaan teori tujuan hukum sebagaimana dimaksud di atas untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang pada prinsipnya untuk menjadikan manfaat terbesar bagi masyarakat Indonesia khususnya nasabah dan konsumen bank terkait dengan masalah independensi dan koordinasi antar lembaga- lembaga perbankan dalam menciptakan perbankan yang sehat semata-mata untuk mencapai tujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU OJK. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a.

  Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c.

  Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

  Tujuan itu dimaksudkan karena bisnis bank merupakan bisnis penuh dengan risiko. Risiko-risiko usaha bank misalnya: risiko kredit (credit risk), risiko investasi 55 Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Simon & Schuster, 1997), hal. 190-192.

  James Mill (1773-1836) adalah ayah John Stuart Mill seangkatan dan menjadi pengikut Bentham yang

antusias, membesarkan anaknya, John Stuart Mill (1806-1873) dengan mendoktrinnya paham