Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia

(1)

ANALISIS HUBUNGAN KELEMBAGAAN ANTARA OTORITAS

JASA KEUANGAN DENGAN BANK INDONESIA

TESIS

OLEH

BISDAN SIGALINGGING 107005004 / HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS HUBUNGAN KELEMBAGAAN ANTARA OTORITAS

JASA KEUANGAN DENGAN BANK INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

BISDAN SIGALINGGING 107005004 / HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : ANALISIS HUBUNGAN KELEMBAGAAN ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN BANK INDONESIA

NAMA : BISDAN SIGALINGGING

N.I.M. : 107005004

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.

Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum


(4)

Telah Lulus Diuji pada

Tanggal 12 Februari 2013

PANITIA PENGUJI

Ketua :

1. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.

Anggota:

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum

3.

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

4.

Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk bersifat independen dalam rangka untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Khusus kegiatan di sektor perbankan untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat serta melindungi kepentingan nasabah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Otoritas Jasa Keuangan erat hubungannya dengan lembaga lainnya untuk menjalankan fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perbankan secara terpadu, independen, adil, tarnsparan, dan akuntabel.

Permasalahan yang diteliti antara lain: pertama, bagaimanakah independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan? Kedua, bagaimanakah hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia? dan ketiga, bagaimanakah pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis. Diberikan argumentasi-argumentasi yuridis

dengan mengacu pada UU No.23 Tahun 1999 junto UU No.3 Tahun 2004 junto UU

No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia, UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Dalam penelitian disimpulkan: pertama, independensi Otoritas Jasa Keuangan tidak murni berstatus independen sebab mengandung unsur pemerintah sedangkan independensi Bank Indonesia secara konstitusi sama sekali tidak memasukkan unsur pemerintah. Kedua, hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam kondisi normal membuat regulasi dan saling bertukar informasi melakukan pengawasan terhadap bank terkait penanganan mikroprudensial. Dalam kondisi tidak normal dalam hal persoalan moneter maka koordinasi dilakukan melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistim Keuangan. Ketiga, pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank tidak diatur secara tersendiri karena tugas mengatur dikombinasi dengan tugas mengawasi sehingga dipandang berpotensi menimbulkan tumpang tindih pengaturan dan pengawasan terhadap bank.

Disarankan: pertama, tidak perlu dimasukkan unsur ex officio karena

mengganggu hakikat independensi atau menghilangkan status independen kepada Otoritas Jasa Keuangan. Kedua, agar Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan membuat pedoman baku terkait dengan petunjuk teknis koordinasi secara terpisah antara pedoman pengaturan dan pengawasan. Ketiga, agar pengaturan tugas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan diatur secara tersendiri dalam satu bab atau dalam bentuk pasal-pasal tertentu, tidak mesti dikombinasi antara tugas mengatur dan mengawasi baik dalam UU OJK maupun dalam UU BI.

Kata Kunci : Independensi, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Hubungan Koordinasi, Pengaturan, dan Pengawasan.


(6)

ABSTRACT

The independent Financial Service Authority was established to materialize a national economy that can sustainably grow and be stable, especially for the activities in banking sector, to materialize an healthy banking system and to protect the customers’ interest in particular and that of community members in general. The Financial Service Authority has a closed relationship with the other institutions to run its function, duty, authority of regulating and controlling banking activities integratedly, independently, fairly, transparently and accountably.

The problems studied were, among other things: first, how independent the Financial Service Authority and Bank Indonesia in regulating and controlling the banking system; second, how the the relationship of coordination between the Board of Commissioners of Financial Service Authority and the Governor of Bank Indonesia is; and third, how the supervisory duty between Financial Service Authority and Bank Indonesia towards the bank is regulated.

This analytical descriptive normative juridical study was based on the juridical argumentations referring to Law No. 23/1999 juncto Law No.3/2004 juncto Law No.6/2009 on Bank Indonesia, Law No.21/2011 on Financial Service Authority, and Law No.24/2004 on Indonesia Deposit Insurance Coorporation.

The conclusion drawn from the result of this study is that, first, the independency of Financial Service Authority is not purely independent because it contains the element of government while the independency of Bank Indonesia constitutionally does not include the element of government at all; second, the relationship of coordination between the Board of Commissioners of Financial Service Authority and the Governor of Bank Indonesia, in normal condition, make regulation and exchange information in overseeing the bank related to the micro-prudential handling. In abnormal condition, in the case of monetary issues, the coordination is implemented through the Financial System Stability Coordination Forum; and third, the regulation of supervisory duty between Financial Service Authority and Bank Indonesia towards the bank is not individually regulated because the regulating and overseeing duties are combined that it is deemed potential to foster an overlapping regulation and supervision toward the bank.

It is suggested that, first, the element of ex officio does need to be included because it disturbs the essence of independency or eliminates the independent status of Financial Service Authority; second, the Financial Service Authority and Bank Indonesia make a standard guide book related to the technical guideline coordination separately between the guidelines of regulation and supervision; and third, the regulation of supervisory duty of the Financial Service Authority is separately made in one chapter or in the forms of certain articles, and the regulating and supervisory duties either in Law on Financial Service Authority or in Law on Bank Indonesia should not be combined.

Keywords: Independency, Financial Service Authority, Bank Indonesia, Coordination Relationship, Regulation, Supervision.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan alhamdulillahirabbilalamain, puji dan syukur kepada Allah SWT, saya dapat menyelesaikan studi di Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) dengan judul penelitian, ”Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia” dan telah dinyatakan lulus ujian yudisium dengan baik pada tanggal 12 Februari 2013.

Beriring salam dan do’a, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang turut serta berpartisipasi dalam penyelesaian penelitian ini, antara lain:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H., M.Sc(CTM)., Sp.A(K).

2. Dekan Fakultas Hukum, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.H.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.,

sekaligus bertindak sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah berpartisipasi memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, dan semangat dalam menyelesaikan studi agar dapat selesai tepat waktu.

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Komisi

Pembimbing yang telah banyak memberikan koreksi dan masukan-masukan, serta motivasi dari sejak sebelum kuliah, selama perkuliahan berlangsung, hingga sampai pada saat ini selalu menjadi figur terkhusus dan tauladan yang baik bagi diri saya beserta Ibu Berlianti yang baik hati juga mengingatkan saya agar menjaga kesehatan selama studi dan penelitian.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, sebagai Anggota Komisi

Pembimbing telah memberikan koreksi-koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai pada selesainya penelitian ini.


(8)

6. Bapak Raja Bongsu Hutagalung, S.E., M.Sc., selaku Pembantu Rektor III yang dalam hal ini bagi diri saya sebagai motivator yang tak terlupakan beserta mami selalu memotivasi saya selama perkuliahan berlangsung.

7. Segenap Staf Pengajar/Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Bapak Drs. Syafrin, MA, Abangda Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., Dr. T. Keizeirina Devi A. S.H., C.N., M.Hum., Dr. Faisal Akbar, S.H., M.Hum., Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum., Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum., Muhammad Eka Putra, SH, M.Hum (CD), Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H., M.L.I., Prof. Muhammad Abduh, S.H., Prof. Chainur Arrasjid, S.H., Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., Prof. Sanwani Nasution, S.H., Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., C.N., Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan lagi satu per satu. Saya berdo’a agar bapak/ibu, abangda/kakanda yang masih Doktor mudah-mudahan cepat memperoleh gelar Profesor, amiiin.

8. Bapak H. Kusbianto, S.H., M.Hum, Rektor Universitas Dharmawangsa, selalu

mengingatkan saya agar segera diselesaikan studi.

9. Seluruh Pegawai Ilmu Hukum USU: terutama sobatku Suhenri (mamak

kokki), Ogek Hendra, Julhiman, Kakanda Fika, Kakanda Juli, Kakanda Fitri, Kakanda Suganti, Kakanda Isniar Suci, Suherman, Udin, dan Dewan, yang telah melancarkan segala urusan yang berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung hingga saat ini.

10.Ibunda tersayang, Nur Yamin Pasaribu (Alm) dan Ayahanda tersayang,

Sartunis Sigalingging, berkat do’a Ibunda dan Ayahanda ku sehingga saya menjadi banteng di perantauan Kota Medan ini.


(9)

11.Ibu Mertua saya Nur Zaidah Rambe dan Bapak Idris Saragih (Alm), setiap datang ke Medan selalu mengingatkan saya agar tetap menjaga kesehatan dalam bekerja dan menyelesaikan studi ini.

12.Terkhusus dan teristimewa kepada Istri ku yang tercinta Risdasari Saragih, SST, dengan do’a, pengorbanan dan pengertiannya selalu hadir setiap waktu, mendampingi saya dalam kondisi walau bagaimanapun dan selalu bertanya “kapan abang wisudanya?”.

13.Anak kon hi do hamoraon di au: Bilqis Adzkia Rais Sigalingging, sebagai

penawar pikiran di saat lelah dan penawar hati di saat gundah, serta anak ku dalam kadungan mamanya, mudah-mudahan lahir dengan sehat dan sempurna, menjadi anak yang berbakti, berprestasi terbaik di antara yang terbaik dan bertaqwa kepada Allah SWT.

14.Ogek Azwardi, Iyek Syahran dan adik-adik ku: Musran, Kamal, Julfahri, Elvi, Yani, Warni, Abdul, bang Arham, Essy, Ikhwana Dewi, Daud, Tama, dan Rozi serta seluruh saudara-saudara, handai toulan beserta seluruh family dari Keluarga Ayah/Ibu dan Mertua, yang tak dapat disebut satu per satu, saya ucapkan terima kasih atas do’a dan pengertiannya.

15.Abang-abang, kakak-kakak, teman-teman, sobat-sobat, dan rekan-rekan saya, baik di Magister Ilmu Hukum USU, di Universitas Dharmawangsa, di Universitas Darma Agung, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, para

Advokat/Pengacara, di Lembaga Pemasyarakatan, Pengusaha, FORSAS

Pusat, Wilayah, dan Daerah Kabupaten/Kota antara lain Abangda Ramadhan Pohan, Abangda Survenov Sirait, Abangda Hendrita Harahap, Abangda Rusli Kamal, S.H., serta abang-abang, kakak-kakak, teman-teman, sobat-sobat yang terhimpun di dalam organisasi ISHI, saya ucapkan terima kasih atas partisipasinya dan selamat bertugas dengan baik.

16.Khusus kepada Abangda Chandra Lubis, S.P., M.Hum., dan Abangda

Tambok Nainggolan, S.H., M.Hum., semoga sehat-sehat dan sukses selalu dalam menjalankan tugas sehari-hari.


(10)

Demikianlah ucapan terima kasih ini, mudah-mudahan hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan penelitian ini ke depannya. Mudah-mudahan saya mampu menjawab tantangan hukum yang ada dan hukum yang berkembang di masa yang akan datang dalam masyarakat dan menjadikan “Hukum Sebagai Panglima”. Kiranya apa yang dikatakan Jeremy Bentham “the greatest happiness of the greatest number” di tahun 1789 menjadi bermakna dan berwarna dalam memberikan kebahagian bagi masyarakat dunia pada tahun selanjutnya.

Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, terima kasih atas partisipasinya dan perhatiannya.

Medan, 12 Februari 2013 Penulis

Bisdan Sigalingging


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(CURRICULUM VITIE)

Nama : Bisdan Sigalingging, SH, MH

Tempat/Tanggal Lahir : Sawah Lamo, (Sibolga-Tapanuli Tengah), 16 Januari 1980

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Sudah Menikah

Tinggi/Berat Badan : 163 cm/60kg

Agama : Islam

Kebangsaan/Suku : Indonesia/Batak

Hobby : Membaca, Menulis, dan Olah Raga

Alamat :

1. Rumah : Jl. Setia Budi Pasar I Gang Makmur/Anyelir 13 No.31-E

Tanjung Sari Medan

2. Kampung : Desa Ladang Tengah Kecamatan Andam Dewi Kabupaten

Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara

3. Email : [email protected]

[email protected]

4. Blog : http://bisdan-sigalingging.blogspot.com/

Tahun 1986-1994 : Sekolah Dasar (SD) Swasta Muhammadiyah Ladang

Tengah Barus Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah-Sibolga.

PENDIDIKAN FORMAL

Tahun 1994-1997 : Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta

Muhammadiyah Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah-Sibolga.

Tahun 1997-2000 : Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Pondok Pesantren Modern

Darul Hukmah Kecamatan Sirandorung Kabupaten Tapanuli Tengah-Sibolga.

Tahun 2004-2008 : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan.

Tahun 2010-2013 : Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan.

Tahun 2008 : Skripsi: ”Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang”, Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan.

KARYA TULIS ILMIAH

Tahun 2013 : Tesis: ”Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas

Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia”, Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(12)

Tahun 1998 : Peserta ”Loka Latihan Kerja Usaha Kecil dan Menengah Kejuruan Perikanan” Diselenggarakan oleh LLK Usaha Kecil dan Menengah Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja Tarutung pada tanggal 15 Desember 1998 di Komplek Pondok Pesantren Modern Darul Hikmah Kecamatan Sirandorung Kabupaten Tapanuli Tengah.

PENDIDIKAN NON FORMAL/KURSUS/SEMINAR

Tahun 1999 : Peserta ”Loka Latihan Kerja Usaha Kecil dan Menengah

Kejuruan Peternakan Unggas” Diselenggarakan oleh LLK Usaha Kecil dan Menengah Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja Tarutung pada tanggal 28 Januari 1999 di Komplek Pondok Pesantren Modern Darul Hikmah Kecamatan Sirandorung Kabupaten Tapanuli Tengah.

Tahun 2000 : Peserta ”Forum Silaturrahmi Remaja Mesjid (FSRM) Kota

Medan Up-Grading Kader Pembina Remaja Mesjid Sekota

Medan” Tanggal 10–24 September 2000 di Kelurahan Kota Matsum III Kecamatan Medan Kota.

Tahun 2003 : Panitia Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional

Republik Indonesia ”Reformasi Hukum di Indonesia

Melalui Prinsip-Prinsip Good Governance”, Kerja Sama

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia dengan Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Diselenggarakan di Hotel Tiara Medan, pada tanggal 1-2 Oktober 2003.

Tahun 2004 : Peserta Seminar ”Pemberantasan Kejahatan di Bidang

Kehutanan Melalui Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang”, Kerja Sama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), diselenggarakan pada tanggal 6 Mei 2004.

Tahun 2006 : Peserta Seminar ”Kewirausahaan”, Diselenggarakan Oleh

Kesatuan Mahasiswa Nias (KMN) Komisariat Darma Agung (UDA, ISTP, APP-DA, AKPER HERNA) Bekerjasama Dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) UDA Medan, pada Hari Kamis Tanggal 13 Juli 2006.

Tahun 2008 : Peserta Seminar ”Mengejar Pelaku Kejahatan Perpajakan

Melalui Undang-Undang Anti Pencucian Uang”, Kerja Sama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah


(13)

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, diselenggarakan pada tanggal 16 Agustus 2008.

Tahun 2010 : Peserta pada kursus ”Pendidikan Khusus Profesi Advokat

(PKPA)” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Darma Agung (FH UDA) bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Advokat Indonesia (DPC AAI) Medan mulai tanggal 03 April sampai dengan 04 Juni 2010.

Tahun 2010 : Peserta pada diskusi dan koordinasi, ”Mempersatukan

Energi dalam Mencegah dan Memberantas Mafia Hukum”, yang diselenggarakan oleh Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Republik Indonesia di Hotel Tiara Medan, Tanggal 13 Oktober 2010.

Tahun 2011 : Peserta Seminar ”Divestasi Saham P.T. Newmont Nusa

Tenggara Oleh Pemerintah Indonesia”, Diselenggarakan di Gedung Dewan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Medan, Tanggal 22 Nopember 2011.

Tahun 2011 : Peserta Seminar pada acara ”Sosialisasi Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, yang diselenggarakan oleh Tim Sosialisasi Badan Pengawas Pasar Modal di Hotel Tiara Medan, Tahun 2012.

Tahun 2012 : Peserta Seminar pada ”Diseminasi Perundingan

Perdagangan Internasional Bidang Jasa”, yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan republik Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Ruang DPF, Fakultas Hukum USU, Medan, Selasa 24 April 2012.

Tahun 2012 : Peserta pada acara seminar hukum nasional, ”Mewujudkan

Strategi Pencegahan dan Efek Jera Dalam Pemberantasan Korupsi di Indoensia”, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) di Ruang Senat Universitas Darma Agung Medan, pada hari Sabtu tanggal 17 November 2012.

Tahun 2013 : Peserta Seminar Publik ”Kriminalisasi Perjanjian Kredit

Bank”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Selasa, Tanggal 23 April 2013.

Tahun 1995-1996 : Ketua OSIS SMP Swasta Muhammadiyah Kecamatan

Barus Kabupaten Tapanuli Tengah.


(14)

Tahun 1998-1999 : Ketua OSIS MAS Pondok Pesantren Modern Darul Hikmah Kecamatan Sirandorung Kabupaten Tapanuli Tengah.

Tahun 1997-1998 : Ketua Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Ladang

Tengah Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah.

Tahun 2000-2002 : Anggota Remaja Mesjid Nurul Hasanah (REMAHAS)

Gang Kamboja Padang Bulan Medan.

Tahun 2001-2002 : Anggota Ikatan Mahasiswa Mesin (IMM) Universitas

Sumatera Utara Medan.

Tahun 2001-2002 : Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.

Tahun 2004-2008 : Komisaris Tingkat (Komting) Fakultas Hukum Universitas

Darma Agung Medan.

Tahun 2005–2006 : Ketua Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) Universitas

Darma Agung Medan.

Tahun 2005-2006 : Wakil Gubernur Fakultas Hukum Universitas Darma

Agung Medan.

Tahun 2005-2006 : Anggota Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia

(ISMAHI) Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan.

Tahun 2004-2005 : Anggota Lembaga Swadaya Masyarakat Forum Peduli

Pendidikan Indonesia (LSM-FPPI) Kota Medan.

Tahun 2005-2006 : Koordinator Advokasi dan Hukum Lembaga Swadaya

Masyarakat Komite Integritas Anak Bangsa (LSM-KIRAB) Propinsi Sumatera Utara.

Tahun 2006-2007 : Kordinator Bidang Olah Raga Himpunan Mahasiswa

Muslim Sibolga dan Sekitarnya (HIMMSI) Medan.

Tahun 2009-2008 : Sekretaris Jenderal Forum Harmoni Nusantara (FORSAS)

Wilayah Propinsi Sumatera Utara.

Tahun 2009-2008 : Panitera Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)

Medan.

Tahun 2010-2013 : Anggota Pengurus Bidang Otonomi Daerah Ikatan Sarjana

Hukum Indonesia (ISHI) Dewan Pimpinan Daerah Propinsi Sumatera Utara.

Tahun 2006-2008 : Magang di Kantor Advokat Syawal A. Siregar, S.H., Sp.N,

M.M, ”PARTAHI SIREGAR LAW OFFICE” Universitas Darma Agung Medan.

PENGALAMAN KERJA

Tahun 2007- sekarang : Mengajar Private Matematika dan Fisika di Medan.

Tahun 2009-sekarang : Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 16

1. Kerangka Teori... 16

2. Landasan Konsepsional ... 31

G. Metode Penelitian ... 34

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 34

2. Sumber Data ... 35

3. Teknik Pengumpulan Data ... 36

4. Analisis Data ... 36


(16)

BAB II : INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA DALAM MENGATUR DAN MENGAWASI

SISTEM PERBANKAN ... 38

A. Hakikat Independensi ... 38

B. Independensi Bank Indonesia ... 47

C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan ... 57

BAB III : HUBUNGAN KOORDINASI ANTARA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN GUBERNUR BANK INDONESIA ... 62

A. Keberhasilan dan Kegagalan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan di Beberapa Negara ... 62

B. Pembentukan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia ... 71

C. Koordinasi Dalam Mencapai Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan ... 81

D. Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia ... 87

BAB IV : PENGATURAN TUGAS PENGAWASAN ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA TERHADAP BANK ... 97

A. Tugas Pengaturan dan Pengawasan Bank Indonesia Menurut Undang-Undang Bank Indonesia ... 97

1. Tugas Pengaturan Bank Indonesia ... 98

2. Tugas Pengawasan Bank Indonesia ... 100

B. Tugas dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ... 111


(17)

1. Tugas Pengaturan dan Pengawasan antara Otoritas Jasa

Keuangan dan Bank Indonesia ... 112

2. Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia ... 116

3. Tugas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia ... 117

4. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Tentang Penilaian Terhadap Kesehatan Bank... 120

5. Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan yang Berkaitan Dengan Pengawasan Bank ... 123

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 126

A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 128


(18)

ABSTRAK

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk bersifat independen dalam rangka untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Khusus kegiatan di sektor perbankan untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat serta melindungi kepentingan nasabah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Otoritas Jasa Keuangan erat hubungannya dengan lembaga lainnya untuk menjalankan fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perbankan secara terpadu, independen, adil, tarnsparan, dan akuntabel.

Permasalahan yang diteliti antara lain: pertama, bagaimanakah independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan? Kedua, bagaimanakah hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia? dan ketiga, bagaimanakah pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis. Diberikan argumentasi-argumentasi yuridis

dengan mengacu pada UU No.23 Tahun 1999 junto UU No.3 Tahun 2004 junto UU

No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia, UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Dalam penelitian disimpulkan: pertama, independensi Otoritas Jasa Keuangan tidak murni berstatus independen sebab mengandung unsur pemerintah sedangkan independensi Bank Indonesia secara konstitusi sama sekali tidak memasukkan unsur pemerintah. Kedua, hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam kondisi normal membuat regulasi dan saling bertukar informasi melakukan pengawasan terhadap bank terkait penanganan mikroprudensial. Dalam kondisi tidak normal dalam hal persoalan moneter maka koordinasi dilakukan melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistim Keuangan. Ketiga, pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank tidak diatur secara tersendiri karena tugas mengatur dikombinasi dengan tugas mengawasi sehingga dipandang berpotensi menimbulkan tumpang tindih pengaturan dan pengawasan terhadap bank.

Disarankan: pertama, tidak perlu dimasukkan unsur ex officio karena

mengganggu hakikat independensi atau menghilangkan status independen kepada Otoritas Jasa Keuangan. Kedua, agar Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan membuat pedoman baku terkait dengan petunjuk teknis koordinasi secara terpisah antara pedoman pengaturan dan pengawasan. Ketiga, agar pengaturan tugas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan diatur secara tersendiri dalam satu bab atau dalam bentuk pasal-pasal tertentu, tidak mesti dikombinasi antara tugas mengatur dan mengawasi baik dalam UU OJK maupun dalam UU BI.

Kata Kunci : Independensi, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Hubungan Koordinasi, Pengaturan, dan Pengawasan.


(19)

ABSTRACT

The independent Financial Service Authority was established to materialize a national economy that can sustainably grow and be stable, especially for the activities in banking sector, to materialize an healthy banking system and to protect the customers’ interest in particular and that of community members in general. The Financial Service Authority has a closed relationship with the other institutions to run its function, duty, authority of regulating and controlling banking activities integratedly, independently, fairly, transparently and accountably.

The problems studied were, among other things: first, how independent the Financial Service Authority and Bank Indonesia in regulating and controlling the banking system; second, how the the relationship of coordination between the Board of Commissioners of Financial Service Authority and the Governor of Bank Indonesia is; and third, how the supervisory duty between Financial Service Authority and Bank Indonesia towards the bank is regulated.

This analytical descriptive normative juridical study was based on the juridical argumentations referring to Law No. 23/1999 juncto Law No.3/2004 juncto Law No.6/2009 on Bank Indonesia, Law No.21/2011 on Financial Service Authority, and Law No.24/2004 on Indonesia Deposit Insurance Coorporation.

The conclusion drawn from the result of this study is that, first, the independency of Financial Service Authority is not purely independent because it contains the element of government while the independency of Bank Indonesia constitutionally does not include the element of government at all; second, the relationship of coordination between the Board of Commissioners of Financial Service Authority and the Governor of Bank Indonesia, in normal condition, make regulation and exchange information in overseeing the bank related to the micro-prudential handling. In abnormal condition, in the case of monetary issues, the coordination is implemented through the Financial System Stability Coordination Forum; and third, the regulation of supervisory duty between Financial Service Authority and Bank Indonesia towards the bank is not individually regulated because the regulating and overseeing duties are combined that it is deemed potential to foster an overlapping regulation and supervision toward the bank.

It is suggested that, first, the element of ex officio does need to be included because it disturbs the essence of independency or eliminates the independent status of Financial Service Authority; second, the Financial Service Authority and Bank Indonesia make a standard guide book related to the technical guideline coordination separately between the guidelines of regulation and supervision; and third, the regulation of supervisory duty of the Financial Service Authority is separately made in one chapter or in the forms of certain articles, and the regulating and supervisory duties either in Law on Financial Service Authority or in Law on Bank Indonesia should not be combined.

Keywords: Independency, Financial Service Authority, Bank Indonesia, Coordination Relationship, Regulation, Supervision.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Independensi menjadi ciri khas dalam ekonomi negara demokrasi. Ketika independensi dicederai oleh muatan-muatan politik, maka laju pembangunan program-program pemerintah, cenderung akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu sedangkan pihak lainnya akan dimarginalkan atau dipinggirkan.1

Bergulirnya reformasi tahun 1998, sebagai bukti nyata besarnya dominasi pemerintah absolut dengan mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan negara. Melalui reformasi pada waktu itu, rakyat Indonesia mulai bersikeras menyatakan sikap perlunya pihak independen untuk turut campur dalam mengurusi negara ini. Tuntutan demikian sebagai bukti nyata, bahwa rakyat sudah tidak percaya seutuhnya kepada para pejabat publik untuk mengelola dan mengurusi aset-aset Independensi merupakan sikap untuk mempertahankan hak publik dalam pencapaian tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, adil, dan makmur.

1

Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, (London: Penguin Book, 1979), hal. 397. Lihat juga: James A. Caporaso, Theories of Political Economy,

(Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 221. Lihat juga: Yunus Husein, Rahasia Bank

Privasi Versus Kepentingan Bank, (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas

Indonesia, 2003), hal. 65. Smith mengatakan kaitan antara ekonomi dan politik mempunyai hubungan yang erat dengan istilah ekonomi-politik (political economy). Salah satu tujuan ekonomi-politik menurutnya adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas atau fungsinya dengan baik, dimana ekonomi-politik berusaha untuk merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan pemerintah sekaligus.


(21)

negara, memberikan pelayanan, mengayomi, melindungi, menjalankan program-program pembangunan.

Ketika instrumen hukum didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan politik, maka tujuannya cenderung akan berpola dan berpihak kepada pemerintah itu sendiri. Akan tetapi ketika hukum sekalipun dijalankan oleh pihak independen, bukan pula secara otomatis dapat mencapai tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, sejahtera, adil, dan makmur. Karena yang lebih penting dari itu adalah sejauh mana implementasi independensi dibarengi dengan perilaku yang menjunjung tinggi etika norma moral yang baik agar terhindar dari kepraktisan hukum.

Berkenaan dengan kepraktisan hukum, Peter Mahmud Marzuki mengatakan, ”betapa pun praktik harus didasarkan pada teori dan prinsip yang berlaku, bukan praktik menyimpangi dari teori”. Anggapan yang menyatakan praktik tidak harus sama dengan teori merupakan suatu anggapan yang sangat naif. Penerapan suatu ilmu akademis harus didasarkan pada teori yang melandasinya sebab jika tidak demikian, penerapan itu akan gagal.2

Demikian pula dalam hal norma pengaturan independensi didasarkan pada teori dan prinsip dalam konteks negara kesejahteraan. Untuk menciptakan rakyat yang sejahtera, independensi mutlak diperlukan. Apabila norma independensi diterapkan dengan perilaku praktis misalnya perilaku penyimpangan dari teori,

2

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 38.


(22)

norma, dan prinsip yang melandasi independensi, maka penerapan independensi itu akan gagal.

Independensi akan dapat meminimalisir peran pemerintah absolut dalam meregulasi dan mengawasi sektor ekonomi khususnya perbankan. Sebagaimana dikatakan oleh Didik J. Rachbini, memandang pentingnya peran negara atau pemerintah dalam sistem demokrasi ekonomi pada prinsipnya hanya sebatas fungsinya sebagai penonton (in partial spectator).3 Dengan demikian Negara atau

Pemerintah hanya boleh atau dapat mengintervensi pasar gagal untuk menyeimbangkan (stabilisator) pasar ketika sistem pasar keuangan terganggu, sebab bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distorsi.4

Misalnya dalam hal terjadinya praktik monopoli alamiah (natural monopoly)

5

maka terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli dilakukan oleh pihak swasta dan monopoli dilakukan oleh pihak pemerintah, baik pada saat merancang regulasi maupun ketika penerapan regulasi.6

3

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 106.

Oleh sebabnya, untuk menghindari monopoli tersebut, maka pihak-pihak independen perlu ditempatkan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perekonomian perbankan.

4

Ibid.

5

Monopoli alamiah dalam konteks ini diartikan sebagai tindakan-tindakan penguasaan terhadap pasar ekonomi yang dilakukan oleh satu pihak baik penguasaan pangsa pasar dengan cara-cara sendiri dan membuat aturan sendiri-sendiri atau kelompok.

6

Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato (Makalah berbentuk teks) yang Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, Medan, Sabtu, Tanggal 17 April 2004, hal. 3.


(23)

Setidaknya melalui pendekatan koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen, akan menjadi stabilisator dalam membuat kebijakan di pasar finansial misalnya perbankan.

Lembaga yang independen dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Lembaga OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan7

Lembaga OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disingkat UU BI)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat UU OJK). Berdasarkan ketentuan ini, salah satu amanat UU OJK adalah independensi dari lembaga OJK itu sendiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mengatur dan mengawasi perbankan.

8

7

Lihat: Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (disngkat UU OJK).

yang tugas pokoknya untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap bank-bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun,

8

Istilah awalnya dikenal dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK) sebagaimana Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan:

a. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

b. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.


(24)

sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Oleh karena lembaga ini bersifat independen, maka dalam menjalankan tugas, kedudukannya berada di luar institusi pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kendatipun Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak), demikian pula dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembaga yang independen. Sebab dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (UU BI) ditentukan pengecualian. Sehingga dengan pengecualian ini, keindependensian BI tidak murni berlaku.9 Ketentuan pengecualian itu ditentukan, ”Jika diatur secara tegas dalam UU BI”. Dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK juga terdapat ketentuan pengecualian yang menentukan, ”Jika diatur secara tegas menurut UU OJK”.10

9 Pasal 4 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan:

a. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.

b. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

c. Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan undang-undang ini.

10

Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pasal 2 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:


(25)

Ketentuan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 4 UU BI dan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK tersebut membuka peluang selebar-lebarnya kepada pemerintah untuk melakukan intervensi misalnya mengambil keputusan bisnis perbankan. Kecenderungan itu dapat terjadi misalnya ketika dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disingkat FKSSK) yang dikoordinatori oleh Kemenkeu sementara pihak Kemenkeu itu sendiri bukan pihak yang independen melainkan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor keuangan. Peluang seperti ini perlu diwaspadai karena independensi akan bisa diatur dan disesuaikan dengan kondisi di luar daripada ketentuan undang-undang atau anggota FKSSK bisa berkoordinasi karena kepentingan politik tertentu di luar ketentuan undang-undang.

Melemahnya independensi sebagaimana yang diilustrasikan dalam FKSSK tersebut di atas, berkorelasi logis dengan pernyataan Robert W. Gordon, sebagaimana yang dikutip oleh David Kairys, yang kemudian dikutip oleh Bismar Nasution dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, disebutkan bahwa ”kegagalan pasar sebagai alasan utama pemerintah untuk mengintervensi ekonomi, sekaligus harus membuat hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi itu sendiri”.11

b. OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.

11

Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah yang Disampaikan pada

Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan


(26)

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan dalam UU OJK mengamanatkan

pengawasan dari Lembaga Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat LJK)12

1. Pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga ikut menyokong,

menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro

economic supervision).

pada prinsipnya dibagi dalam dua jenis:

2. Pengawasan yang mendorong agar LJK secara individual tetap sehat serta

mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential

supervision).13

Oleh karena itu, melemahnya sikap independen pada tataran praktik, juga besar kemungkinan bisa terjadi ketika misalnya sistim ekonomi akan berurusan

dengan penyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro (macro economic

supervision) sebagaimana ditentukan di Pasal 39 UU OJK14

Lembaga Jasa Kuangan bekerjasama dengan Universitas Medan Area, di Hotel Santika Medan, Tanggal 19 Juni 2012, hal. 7-8. Lihat juga: Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum...”, Loc. cit. Lihat juga: Robert W. Gordon, dalam David Kairys, ed, The Politics of Law A Progressive Critique,

(New York: Pantheon Books, 1990), hal. 418. Hal ini pernah diamati Robert W. Gordon, dan menyimpulkan bahwa hukum adalah salah satu di antara berbagai sistem yang berarti bagi rakyat dalam rangka pembangunan.

, di mana Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat DK OJK) akan

12

LJK misalnya BI dan OJK.

13

Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan: Kajian Terhadap Independensi dan pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan, Dilaksanakan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,

Medan, Tanggal 8 Juni 2011, hal. 7.

14

Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:

a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b. Sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.


(27)

berkoordinasi dalam FKSSK sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2)

UU OJK.15

Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK, ketika kondisi tidak

normal misalnya bank akan berdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e) yang

penanganannya harus melalui FKSSK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (2) UU OJK,

16

Pelemahan sikap independensi itu bisa pula terjadi pada sektor anggaran, misalnya jika anggaran operasional OJK dipungut dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, maka akan sulit bagi anggota DK OJK untuk memerankan independensi itu. Sebab jika anggarannya di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),

berpeluang bagi pemerintah (Kemenkeu) untuk mengintervensi melalui rapat dalam FKSSK tersebut. Sehingga dengan masuknya Kemenkeu ke dalam FKSSK di sini, keindependensian OJK termasuk juga BI dan LPS bisa atau cenderung melemah. Inilah yang mungkin bisa terjadi sebagai bentuk penyimpangan dari Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 39 huruf e, dan Pasal 45 ayat (2) UU OJK.

17

15

Lufti Zen Fuadi, “Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan, di Tiara Medan Hotel & Convention Center, Medan, Tanggal 8 Juni

2012. Ada dua ruang lingkup pembagian kewenangan pengaturan dan pengawasan dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yakni: masalah macro economic supervision, micro economic supervision atau prudential supervision.

maka dikhawatirkan adanya campur tangan dari pihak-pihak tertentu khususnya pihak-pihak yang turut menyokong anggaran

16

Pasal 45 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: ”Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis”.

17


(28)

operasional OJK tersebut. Sehingga keindependensian dari para anggota DK OJK bisa melemah dan tidak akuntabel serta tidak transparan18

Secara ilmu hukum tata negara, BI sebagai Bank Sentral terlepas dari ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif,

ketika membuat suatu kebijakan. Padahal ciri khas dari sikap independensi pada hakikatnya harus otonom (berdiri sendiri), bebas dari pengaruh kepentingan-kepentingan lainnya, partai politik, pihak swasta, lembaga lain sebagai penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun.

19

Dalam perjalanan pembentukan DK OJK, diketahui pula bahwa Ketua DK OJK terpilih adalah Muliaman Darmasyah Hadad dari Deputi Gubernur BI dan salah satu pejabat ex officio

bahkan posisi BI diatur dan dilegalitaskan tersendiri dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Sementara bagi lembaga OJK tidak diatur dalam konstitusi negara Indonesia. Tentu perbedaan ini akan menjadi bagian dari persoalan ketika masing-masing lembaga berada pada satu forum yang disebut FKSSK.

20

18

Bandingkan dengan pendapat: Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut....Op. cit., hal. 3.

yang menjadi anggota DK OJK dari perwakilan BI adalah

19

Moh. Kusnardi dan Hermailiy Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dab CV. Sinar Bakti, 1983), hal. 181-182. UUD 1945 menganut sistem pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu. Berarti secara politik Bank Indonesia berada di luar ketiga kekuasaan di atas (di luar campur tangan eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

20

Pasal 1 angka 20 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Ex officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. Bandingkan juga dengan: Muslimin Anwar (Dosen Pascasarjana FE UI), ”Peran Otoritas Jasa Keuangan Negara G-20”, Artikel Berita Kolom Probis Rakyat Indonesia, Tanggal 7 April 2009, hal. 1. Gubernur Bank Sentral Italia, Mario Draghi, diangkat menjadi Ketua Forum Stabilitas Finansial (FSF) yang saat ini berubah nama menjadi Pengawas Sistem Keuangan Global. FSF ini bertugas meningkatkan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan global.


(29)

Halim Alamsyah yang sebelumnya juga menjabat sebagai Deputi Gubernur BI,21

sehingga dengan demikian dalam mengatasi masalah macro economic supervision

melalui FKSSK untuk menentukan institusi bank yang masuk kategori systemically

importantbank, dikhawatirkan independensi OJK akan melemah.22

Pelemahan itu misalnya pemerintah turut campur dalam urusan menentukan kebijakan ekonomi makro sebagaimana yang terjadi pada kasus Bank Century, sebab dalam FKSSK Menteri Keuangan berada pada posisi nilai tawar yang tinggi sebagai

koordinator dan salah satu anggota ex officio DK OJK terpilih, Anny Ratnawati

berasal dari Kementerian Keuangan yang sebelumnya menjabat sebagai Dirjen

Anggaran Kemenkeu.23

Amanat UU OJK yang menentukan suatu forum yang disebut dengan FKSSK terdiri dari: Menteri Keuangan selaku koordinator, dan Gubernur BI, DK OJK, DK LPS (sebagai anggota). Sehingga konsekuensi logis dalam forum tersebut tercantum

satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan”.24

21

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/19/121758/Muliaman-Hadad-Terpilih-Jadi-Ketua-DK-OJK, diakses tanggal 7 Agustus 2012.

Untuk dapat mewujudkan hubungan kelembagaan dimaksud, OJK harus melakukannya melalui koordinasi lintas lembaga.

22

Muslimin Anwar, Loc. cit. Gubernur Bank Sentral Italia, Mario Draghi, juga diangkat menjadi Ketua Forum Stabilitas Finansial (FSF) yang telah berubah nama menjadi Pengawas Sistem Keuangan Global dan bertugas meningkatkan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan global.

23

Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan anggota DK OJK dibentuk terdiri dari 9 (sembilan) orang, 2 (dua) orang dari ex efficio

(wakil dari BI dan Kemenkeu) dan 7 (tujuh) orang dari independen.

24


(30)

Koordinasi merupakan kunci untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar lintas instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak

yang merupakan mimpi.25

Koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil suatu lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya akan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Sebaliknya, koordinasi juga dapat memperburuk citra suatu lembaga jika para wakil-wakilnya atau para pengemban tugas dan tanggung jawab tersebut cenderung berperilaku mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.

Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, DK OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan pihak BI sebagai Bank Sentral. Lembaga OJK berwenang membuat peraturan yang berkaitan dengan bank dan berwenang pula melakukan pengawasan terhadap bank tersebut secara berkoordinasi dengan BI misalnya untuk meminta penjelasan atau keterangan dari pihak BI mengenai data makro yang diperlukan. Sementara pihak BI juga berwenang

25

Priyanto B. Nugroho, “OJK dan Skandal Korupsinya di Korea Selatan”, http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/02/ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan/, diakses tanggal 15 Juni 2012.


(31)

membuat pengaturan dan melakukan pengawasannya terhadap bank-bank. Kedua lembaga ini dimaksud oleh UU OJK harus berkoordinasi secara independen dalam koridor-koridor tertentu sesuai yang ditentukan dalam undang-undang.

Mengawasi perbankan memang bukan perkara mudah. Otoritas dituntut menciptakan sistem perbankan menjadi sehat, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat khususnya nasabah dan konsumen. Intervensi dari pihak pemerintah dan lembaga-lembaga pengawas dari BI untuk mencampuri tugas dan wewenang yang telah diamanatkan kepada OJK, misalnya arogansi, dinilai sebagai faktor kondusif kegagalan. Oleh sebab itu, tanpa mengurangi keindependensian kedua lembaga BI dan OJK, dapat dipertemukan melalui koordinasi dalam batas-batas hubungan kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang.

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama dari sistem pengawasan perbankan yang diamanatkan oleh UU OJK adalah untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat. Jika independensi BI dan OJK dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya dalam menjalankan tugas dan wewenang OJK, niscaya tujuan untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat tidak akan bisa tercapai. Demikian pula koordinasi yang baik antar BI dengan OJK dan lembaga-lembaga lainnya juga sebagai faktor penentu keberhasilan pengawasan sistem perbankan nasional.

Independensi dan koordinasi antara BI dengan OJK merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar pada era pasar finansial yang semakin memburuk saat ini. Koordinasi yang baik antar lintas sektoral dalam hubungan kelembagaan BI dengan


(32)

OJK dan lembaga-lembaga lainnya sebagai kunci kesuksesan untuk mencapai tujuan amanat dari UU OJK agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan khususnya sektor perbankan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel,

mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan (sustainable

develompment) dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan nasabah/konsumen

dan masyarakat. Dengan demikian dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang, ”Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia” sebagai judul dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut ini:

1. Bagaimanakah independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia

dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan?

2. Bagaimanakah hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa

Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia?

3. Bagaimanakah pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan

dan Bank Indonesia terhadap bank?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:


(33)

1. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan.

2. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis hubungan koordinasi

antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis pengaturan tugas

pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian

penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat umum khususnya nasabah atau konsumen perbankan.

2. Secara praktis bermanfaat bagi struktur/fungsional lembaga-lembaga dalam kaitannya dengan perbankan seperti Dewan Gubernur Bank Indonesia, DK OJK, DK LPS, Lembaga Jasa Keuangan lainnya, struktural Kemenkeu, bagi bank-bank konvensional dan non konvensional, serta bagi pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif.


(34)

E. Keaslian Penelitian

Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap judul dan permasalahan yang sama di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran (searching) di situs-situs resmi

perguruan tinggi melalui media internet dan diperoleh bahwa tidak ada judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini.

Berdasarkan penelusuran diperoleh judul tesis dengan judul:

1. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mencegah Kejahatan Insider

Trading di Pasar Modal, diteliti oleh: Leo Chandra Jaya Bona Parti

Tampubolon, NIM: 107005050. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu pada kewenangan OJK di Pasar Modal yang dikhususkan pada pencegahan praktik-praktik perdagangan orang dalam (insider trading).

2. Analisis Yuridis Kedudukan Bapepam Setelah Berlakunya UU No.21 Tahun

2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, diteliti oleh: Susi Muliyanti, NIM: 107005085. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu pada:

a. Apakah latar belakang berdirinya OJK?

b. Bagaimanakah kewenangan Bapepam di Pasar Modal sebelum OJK?

c. Bagaimanakah transformasi kewenangan Bapepam kepada OJK

setelah berlakunya UU OJK?

3. Analisis Terhadap Fungsi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Sistem


(35)

penelitian ini berlangsung belum diajukan draft permasalahan terhadap judul di atas.

Penelitian ini baru pertama kali dilakukan, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian (original) dan tidak plagiat (duplikat) dari hasil karya penelitian pihak lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori menempati kedudukan yang penting sebagai pisau analisis untuk merangkum dan memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.26

Krisis otoritas cenderung terjadi dalam suatu lembaga khususnya lembaga perbankan. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengatakan, banyak perhatian dan kontroversi seputar ilmu hukum kontemporer yang berakar pada krisis otoritas dan telah mengguncang institusi-institusi publik.27

26

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 253.

Krisis otoritas bisa terjadi dalam tataran regulasi (misalnya tidak memadainya hukum dan perundang-undangan

27

Philippe Nonet dan Philip Selznick, diterjemahkan oleh: Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, (Bandung: Nusamedia, 2008), hal. 4-5.


(36)

sebagai sarana perubahan dan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan) dan juga bisa terjadi menyangkut krisis legitimasi, terkikisnya otoritas, penyalahgunaan aktivisme hukum, dan macetnya hukum dan ketertiban serta korupsi di kalangan tertib hukum. Kesewenang-wenangan yang menonjolkan pelayanan kekuasaan sehingga menyebabkan bobroknya ketertiban sosial.28

Dalam karya Philippe Nonet dan Philip Selznick disebutkan, meskipun sumber-sumber kontrol yang lainnya penting, namun sumber-sumber kontrol tersebut tidak bisa bersifat tunggal diandalkan untuk menyelamatkan masyarakat dari kesewenang-wenangan, intimidasi atau hal-hal yang lebih buruk. Melainkan juga dibutuhkan penghormatan yang tertinggi terhadap otoritas dimaksud misalnya menjunjung tinggi penerapan moral dalam hukum, pemisahan hukum dari politik harus secara tegas serta penyimpangan dari hukum harus ditindak tegas serta adanya kontrol sosial.29

Philippe Nonet dan Philip Selznick juga memandang akan pentingnya diterapkan fleksibilitas dan keterbukaan institusi-institusi pada koridor-koridor tertentu.

30 Ketika melemahnya otoritas, maka patut dipertanyakan validitas moral

yang dianut. Dalam kondisi otoritas yang terancam, maka alternatif-alternatif menjadi pilihan nyata yang menegaskan karakter moral individu.31

28

Ibid.

Kekacauan tidak mungkin diciptakan oleh hukum substantif melainkan diciptakan oleh struktur hukum yang

29

Ibid, hal. 5-7.

30

Ibid.7-8.

31


(37)

tidak menjunjung tinggi hukum moral. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. Inilah yang disebut dengan pemisahan negara dengan masyarakat.32

Satjipto Rahadjo dengan hukum progresifnya menolak dan ingin mematahkan status quo karena dinilainya hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan,

yang ada hanya menjalankan aturan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa saja (business as usual).33 Kiranya apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahadjo tersebut

merupakan suatu gejala yang jika dikaitkan dengan status quo secara kasat mata

tampak pada masa sebelum tahun 1998. Namun walaupun status quo itu sudah

direformasi pasca tahun 1998 muncul status quo jenis baru yang tidak tampak di

mana status itu terselubung melalui muatan-muatan politik campur tangan pihak-pihak tertentu seperti misalnya menonjolkan kepentingan pemerintah.34

Independensi merupakan salah satu cara menempatkan sistem kontrol dari kesewenang-wenangan pelayan publik dan koordinasi adalah kuncinya. Tujuan UU Perbankan mustahil akan tercapai jika tidak dilakukan berdasarkan independensi, tujuan sistem pengawasan perbankan akan pincang ketika tidak dilakukan melalui koordinasi yang baik antar sesama otoritas dengan pihak lainnya yang memiliki

32

Roberto M. Urger, diterjemahkan oleh: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Teori Hukum

Kritis, Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Nusamedia, 2008), hal. 74 dan hal. 82.

33

Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hal. 114.

34

Dimisalkan sebagai contoh dalam hal pengambilan keputusan untuk penanganan kasus-kasus perbankan seperi: Bank Likuiditas Bank Indonesia, Bank Century, dan lain-lain sampai saat ini tidak jelas arahnya kemana.


(38)

kewenangan dan tanggung jawab dalam sistem perbankan untuk menciptakan perbankan yang sehat.

Berangkat dari persoalan di atas, berdasarkan teori tujuan, pada prinsipnya

hukum dibentuk bertujuan untuk mewujudkan ketertiban (order) dan ketertiban

merupakan syarat mendasar dan benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat

manusia yang nyata dan objektif.35 Para penganut paradigma hukum alam

memandang tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan.36 Namun keadilan bukan

satu-satunya tujuan hukum melainkan juga bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).37

Ketertiban dalam pandangan Kusumaatmadja merupakan tujuan utama dari hukum (termasuk dalam konteks hukum perbankan). Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda ukurannya bergantung pada bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat temapat ia hidup38

35

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3.

(hukum perbankan bertujuan untuk membuat adil

36

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20, Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya Ethica Nicomachea dan

Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap

oarang yang ia berhak menerimanya.

37

Mochtar Kusumaatmadja, Loc. cit. Menurut teori utilities (utilities theory), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham tahun 1748-1832, seorang ahli hukum dari Inggris.

38


(39)

bagi nasabah dan konsumen bank). Tujuan hukum di Indonesia termaktub dalam

Pancasila dan pada alinea IV Pembukaan UUD 1945.39

Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan), masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme (logische geschlossenheit) yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan

fungsionil (functionele rechtsleer) yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan

pandangan yang kritis (gesellschatsgebunden) yang menitikberatkan pada kepastian

hukum.

Keadilan menurut Plato adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi.40

Keadilan menurut H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut pribadi (habitus animi).41 Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai

suatu kebijakan individual.42 Makna keadilan yang dikemukakan tersebut pada

prinsipnya bertujuan sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di

dalam kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut

Aristoteles sebagai keadilan korektif.43

John Rawls mengolaborasi keadilan dengan mencampur unsur-unsur keadilan menurut Aristoteles dan keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum.

39

B. Arief Sidharta, ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003, hal. 1-2.

40

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

41

Ibid.

42

Ibid, hal. 93.

43


(40)

Hasil kolaborasinya diperoleh secara tajam jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar;

2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu:

a. Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang

termasuk bagi setiap yang lemah;

b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang.44

Pandangan John Rawls tersebut sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai oleh aliran utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari

manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur

dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi manusia dalam

mematuhi hukum.45

Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.

46

44

Ibid, hal. 94.

45

Ibid, hal. 95.

46

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13, Jeremy Bentham (1748-1832 ), Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation,

pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Menurut Bentham: Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada dibawah kekuasaan mereka. Asas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba


(41)

Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.47

Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas

disebut baik.48 Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan

manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin

banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.49

Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai

untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.

47

Ibid., hal. 14. Lihat juga: Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan

Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2, hal. 14. Menyebutkan teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith, keadaan batin yang waspada, jeli, dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar. Keutamaan ini menyangkut kebijakan yang ditempuh hendaknya tidak saja memperhatikan kepentingan untuk masa kini, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang ditempuh.

48

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67.

49


(42)

pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh kualitas moral.50

Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.

51

Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Masalahnya adalah mengapa dalam pengambilan keputusan bisnis dari otoritas suatu lembaga misalkan otoritas pengawas perbankan merupakan tanggung jawab moral induvidu dari orang-orang yang dipercaya? Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya nasabah atau konsumen bank. Jawaban ini dapat diterima untuk menciptakan suatu

50

K. Bertens, Loc. cit.

51

Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24. Lihat juga: W. Stark, (ed), Jeremy Bentham’s Economic Writings, (London : George Allen & Unwin, 1954), hal. 113.


(43)

konsep yang sering disebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable

development).52 Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.53

Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang

dimaksudkan utilitarisme seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.54

John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya Utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill

mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai tertinggi kebahagiaan yakni kesenangan heterogin dalam berbagai bidang kehidupan. Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama. Kriteria utilitas

Ukuran utilitarisme menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil. Teori utilitarisme tentang hukum moral berbanding terbalik atau suatu bentuk penolakan keras terhadap tindakan aji

mumpung (moral hazard) dari pengemban amanah.

52

K. Bertens, Op. cit, hal. 66.

53

John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24.

54


(44)

menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan.55 Tindakan harus menciptakan manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis

maupun kepada masyarakat konsumen.56

Penggunaan teori tujuan hukum sebagaimana dimaksud di atas untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang pada prinsipnya untuk menjadikan manfaat terbesar bagi masyarakat Indonesia khususnya nasabah dan konsumen bank terkait dengan masalah independensi dan koordinasi antar lembaga-lembaga perbankan dalam menciptakan perbankan yang sehat semata-mata untuk mencapai tujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU OJK. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan

stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Tujuan itu dimaksudkan karena bisnis bank merupakan bisnis penuh dengan risiko. Risiko-risiko usaha bank misalnya: risiko kredit (credit risk), risiko investasi

55

Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Simon & Schuster, 1997), hal. 190-192. James Mill (1773-1836) adalah ayah John Stuart Mill seangkatan dan menjadi pengikut Bentham yang antusias, membesarkan anaknya, John Stuart Mill (1806-1873) dengan mendoktrinnya paham utilitarianisme. Teori Utiliarianisme eudaemonistik yang dipopulerkan oleh John Stuart Mill memiliki kriteria tindakan utilitarianisme yang berbeda dengan teori utilitarianisme hedonistic yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham yang mempertahankan hasil terakhir haruslah kesenangan individual atau ketiadaan sakit. Kriteria utilitas hedonistik adalah kesenangan.

56

O.P. Simorangkir, Etika: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal, 55.


(1)

Simorangkir, O.P., Etika: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Sitompul, Zulkarnain, Problematika Perbankan, Jakarta: BooksTerrace & Library, 2005.

______Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002.

Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, London: Penguin Book, 1979.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983.

______Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

Soesatyo, Bambang, Skandal Gila Bank Century, Mengungkap Yang Tak Terungkap Skandal Keuangan Terbesar Pasca Reformasi, Jakarta: Ufuk Publishing House, 2010.

Stark, W., (ed), Jeremy Bentham’s Economic Writings, London : George Allen & Unwin, 1954.

Syahrani, H. Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta: Kencana, 2011.

Tjager, I Nyoman, dkk, Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Jakarta: Prenhallindo, 2003.

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975. ______Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1961. Wibisono, Yusuf, Membedah Konsep & Aplikasi CSR, Gresik: Fascho Publishing,


(2)

Widoatmodjo, Sawidji, Mencari Kebenaran Objektif Dampak Sistemik Bank Century, Kajian Teoritis dan Empiris, Jakarta: Alex Media Komputindo, 2010.

B. Perundang-Undangan

UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (UU BI).

UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). UU No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). C. Makalah, Jurnal, dan Artikel

Anwar, Muslimin, ”Peran Otoritas Jasa Keuangan Negara G-20”, Artikel Berita Kolom Probis Rakyat Indonesia, Tanggal 7 April 2009.

Fuadi, Lufti Zen, “Pokok-Pokok Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Tiara Medan Hotel & Convention Center, Medan, Tanggal 8 Juni 2012. ______“Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, di Tiara Medan Hotel & Convention Center, Medan, Tanggal 8 Juni 2012.

Ibrahim, Johannes, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2.

Lubis, M. Solly, “Politik Hukum”, Modul Perkuliahan Politik Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006.

Mahendra, Oka, ”Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan”, Artikel dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010.

Mongid, Ec Abdul, “Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Artikel yang ditulis dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010.


(3)

Nasution, Bismar, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato (Makalah berbentuk teks) yang Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, Medan, Sabtu, Tanggal 17 April 2004.

______”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah yang Disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan Industri Jasa Keuangan Yang Terintegrasi, Dilakasanakan Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Jasa Kuangan bekerjasama dengan Universitas Medan Area, di Hotel Santika Medan, Tanggal 19 Juni 2012.

______“Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan: Kajian Terhadap Independensi dan pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Dilaksanakan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Medan, Tanggal 8 Juni 2011.

______”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

______”Kajian Terhadap RUU Tentang Otoritas Jasa Keuangan” Artikel dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010.

______“Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan”, Artikel yang ditulis di dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010.

______“Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari: Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan


(4)

Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008.

Pramono, Nindyo, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Artikel yang ditulis di dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010.

Sidharta, B. Arief, ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003.

Supraptomo, Heru, ”Analisis Ekonomi Terhadap Sistem Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, Tahun 1997, Jakarta.

D. Internet

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/19/121758/Muliama n-Hadad-Terpilih-Jadi-Ketua-DK-OJK, diakses tanggal 7 Agustus 2012.

http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/02/ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan/, diakses tanggal 15 Juni 2012.

http://www.infobanknews.com/2012/11/misteri-besaran-iuran-ojk-dan-pengaruhnya-terhadap-independensi/, diakses tanggal 27 Desember 2012. Artikel Ditulis Angga Bratadharma di Infobanknews.com, dengan judul “Misteri Besaran Iuran OJK dan Pengaruhnya Terhadap Independensi”.

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/369488-perbanas-kritik-iuran-pengawasan-perbankan-di-ojk, diakses tanggal 27 Desember 2012. Artikel ditulis oleh Antique dan Nina Rahayu dnegan judul “Perbanas Kritik Iuran Pengawasan Perbankan di OJK”. Sigit Pramono adalah Ketua Umum Perbanas.

http://pialangnews.com/read-news-4-12-1441-ojk-bisa-sukses-jika-ada-koordinasi-yang-baik.pialang.news, diakses tanggal 13 Juni 2012.

http://si-andri.blogspot.com/2012/05/otoritas-jasa-keuangan-ojk_25.html, diakses tanggal 8 Agustus 2012.

http://analisis.news.viva.co.id/news/read/292622-menggagas-ojk--pelajaran-dari-inggris, diakses tanggal 8 Agustus 2012.


(5)

http://fadilabidin08.blogspot.com/2011/11/menyoal-peran-otoritas-jasa-keuangan.html, diakses tanggal 15 Juni 2012. Oleh Fadil Abidin, “Menyoal Peran OJK”.

http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/02/ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan/, diakses tanggal 15 Juni 2012.

http://www.politikindonesia.com/index.php?k=pendapat&i=32510-OJK,-Sebuah-Optimisme-, diakses tanggal 16 Juni 2012.

http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Berita/br_240512_12.htm, diakses tanggal 13 Juni 2012.

http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/02/ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan/, diakses tanggal 13 Juni 2012.

http://berita.plasa.msn.com/bisnis/antara/muliaman-jangan-ulangi-kegagalan-ojk-negara-lain, diakses tanggal 11 Agustus 2012.

http://www.setjen.depkeu.go.id/data/mkeuangan/juli2010/files/search/searchtext.xml, diakses tanggal 17 Juni 2012.

http://www.apra.gov.au/Pages/default.aspx, diakses tanggal 17 Juni 2012.

http://idsaham.com/news-saham-Yusril-OJK-Bisa-Lebih-Dahsyat-dari-KPK-173470.html, diakses tanggal 12 Agustus 2012.

http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/02/ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan/, diakses tanggal 15 Juni 2012.

http://www.apra.gov.au/AboutAPRA/Publications/Documents/CorporateGovernance. pdf, diakses tanggal 30 Januari 2013. Oleh: Mr. Steve Somogyi, dengan judul: “Corporate Governance”.

http://www.apra.gov.au/AboutAPRA/Documents/Corporate%20governance.pdf, diakses tanggal 30 Januari 2013.

http://www.apra.gov.au/Search/Pages/Results.aspx?k=ex%20officio, diakses tanggal 30 Januari 2013. Diambil dari kumpulan makalah dan artikel di dalam situs resmi APRA.

http://www.apra.gov.au/AboutAPRA/Documents/Corporate%20governance.pdf, diakses tanggal 30 Januari 2013.


(6)

http://www.fsa.gov.uk/about/who/board, diakses tanggal 30 Januari 2013. Situs Resmi FSA.

http://www.infobanknews.com/2010/03/inggris-dan-korea-selatan-gagal-terapkan-ojk/, diakses tanggal 30 Januari 2013. Oleh: infobank.news.com, “Inggris dan Korea Selatan Gagal Terapkan OJK”.