BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Menstruasi 2.1.1. Pengertian Menstruasi - Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kejadian Sindroma Pramenstruasi Di Kalangan Mahasiswa Stambuk 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Menstruasi

  2.1.1. Pengertian Menstruasi

  Menstruasi adalah pengeluaran darah, mukus, dan debris sel dari mukosa uterus secara berkala. Menstruasi terjadi dalam interval-interval kurang lebih teratur, siklis, dan dapat diperkirakan waktu-waktunya, sejak menarke sampai menopause kecuali saat hamil, menyusui, anovulasi, atau mengalami intervensi farmakologis (Cunningham, 2005).

  Haid ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid yang berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Karena jam mulainya haid tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar haid dari ostium uteri eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus mengandung kesalahan ± 1 hari. Panjang siklus haid yang normal atau dianggap siklus haid yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama. Lama haid biasanya antara 3 – 5 hari, ada yang 1 – 2 hari diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang sampai 7 – 8 hari. Pada setiap wanita biasanya lama haid itu tetap (Winkjosastro, 2008).

  2.1.2. Siklus Menstruasi

  2.1.2.1 Siklus Endometrium Menurut Ganong (2001), Cunningham et al (2005), dan Sherwood

  (2001), siklus menstruasi endometrium terdiri dari dua fase, yaitu fase proliferatif dan fase sekretorik (Cunningham, 2005; Sherwood, 2001; William, 2001). Pada fase proliferatif, di bawah pengaruh estrogen dari folikel yang sedang tumbuh, ketebalan endometrium cepat meningkat dari hari kelima sampai keempat belas siklus menstruasi. Seiring dengan peningkatan ketebalan, kelenjar-kelenjar uterus tertarik keluar sehingga memanjang tetapi kelenjar- kelenjar tersebut belum berkelok-kelok atau mengeluarkan sekresi. Fase ini juga disebut fase praovulasi atau folikular (Cunningham, 2005; Sherwood, 2001; William, 2001).

  Pada fase sekretorik, setelah terjadinya ovulasi, vaskularisasi endometrium menjadi sangat meningkat dan endometrium menjadi agak sembab di bawah pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum. Kelenjar- kelenjar mulai bergelung-gelung dan menggumpar, lalu mulai menyekresikan cairan jernih.

  Endometrium diperdarahi oleh dua jenis arteri. Stratum fungsional dipasok oleh arteri spiralis yang panjang dan berkelok-kelok dan stratum basale diperdarahi oleh arteri basilaris yang pendek dan lurus (Cunningham, 2005; Sherwood, 2001; William, 2001).

  Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang menyekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai (Cunningham, 2005; Sherwood, 2001; William, 2001).

  2.1.2.2 Peran Aksis Hipotalamus - Hipofisis Anterior – Ovarium Ovarium memiliki dua unit endokrin terkait yaitu penghasil estrogen selama paruh pertama siklus, dan korpus luteum, yang mengeluarkan progesteron dan estrogen selama paruh akhir siklus. Unit-unit ini secara sekuensial dipicu oleh hubungan hormonal siklis yang rumit antara hipotalamus, hipofisis anterior, dan kedua unit endokrin ovarium (Sherwood, 2001).

  Fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh hormon- hormon gonadotropik hipofisis anterior, yaitu follicle-stimulatin hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini pada gilirannya diatur oleh

  

gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus yang sekresinya pulsatif serta efek umpan-balik hormon-hormon gonad (Sherwood, 2001; William, 2001).

  Selama fase folikel, folikel ovarium mengeluarkan estrogen di bawah pengaruh FSH, LH dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang rendah tetapi tetap terus meningkat tersebut pertama menghambat sekresi FSH, yang menurun selama bagian terakhir fase folikel, dan kedua secara inkomplit menekan sekresi LH, yang terus meningkat selama fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi itu akan memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang. Sekresi estrogen merosot sewaktu folikel mati pada ovulasi (Sherwood, 2001).

  Sel-sel folikel lama diubah menjadi korpus luteum, yang mengeluarkan progesteron serta estrogen selama fase luteal. Progesteron sangat menghambat FSH dan LH, yang terus menurun selama fase luteal. Korpus luteum bergenerasi dalam waktu sekitar dua minggu apabila ovum yang dikeluarkan tidak dibuahi atau tertanam di uterus. Kadar progesteron dan estrogen menurun secara tajam pada saat korpus luteum berdegenerasi, sehingga pengaruh inhibitorik pada sekresi FSH dan LH lenyap. Kadar kedua hormon hipofisis anterior ini kembali meningkat dan merangsang berkembangnya folikel-folikel baru seiring dengan dimulainya fase folikel (Sherwood, 2001).

  Fase-fase di uterus yang terjadi pada saat yang bersamaan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium pada uterus. Pada awal fase folikel, lapisan endometrium yang kaya akan nutrien dan pembuluh darah terlepas. Pelepasan ini terjadi akibat merosotnya estrogen dan progesteron ketika korpus luteum tua dan berdegenerasi pada akhir fase luteal sebelumnya. Pada akhir fase folikel, kadar estrogen yang meningkat menyebabkan endometrium menebal. Setelah ovulasi, progesteron dari korpus luteum menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik di endometrium yang telah dirangsang oleh estrogen untuk menghasilkan lingkungan yang ideal untuk implantasi. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi, dimulailah fase folikel dan fase haid uterus yang baru (Sherwood, 2001).

Gambar 2.1 : Hubungan antara kadar hormon dan perubahan siklus ovarium dan uterus (Sherwood, 2001)

2.1.3. Aspek hormonal dalam siklus menstruasi

  Dari artikel penelitian yang ditulis oleh Razi Maulana (2008) mengutip dari sumber Syahrum et. al. (1994), Greenspan et. al. (1998), dan (Deuster et.,al. (1999), menyatakan bahawa hormon adalah zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang langsung dialirkan dalam peredaran darah dan mempengaruhi organ tertentu yang disebut organ target. Hormon-hormon yang berhubungan dengan siklus menstruasi ialah :

  2.1.3.1 Hormon-hormon yang dihasilkan gonadotropin hipofisis meliputi :

  1. Luteinizing Hormon (LH) LH dihasilkan oleh sel-sel asidofilik (afinitas terhadap asam), bersama dengan FSH berfungsi mematangkan folikel dan sel telur, merangsang terjadinya ovulasi, pembentukan korpus luteum, serta sintesis steroid seks. Folikel yang melepaskan ovum selama ovulasi disebut korpus rubrum yang disusun oleh sel- sel lutein dan disebut korpus (Maulana, 2008).

  2. Folikel Stimulating Hormon (FSH) FSH dihasilkan oleh sel-sel basofilik (afinitas terhadap basa). Hormon ini mempengaruhi ovarium sehingga dapat berkembang dan berfungsi pada saat pubertas. FSH mengembangkan folikel primer yang mengandung oosit primer dan keadaan padat (solid) tersebut menjadi folikel yang menghasilkan estrogen (Maulana, 2008).

  3. Prolaktin Releasing Hormon (PRH) Secara pilogenetis, prolaktin adalah suatu hormon yang sangat tua serta memiliki susunan yang sama dengan hormon pertumbuhan (Growth hormone,

  

Somatogotropic hormone , thyroid stmulating hormone, Somatotropin). Secara

  sinergis dengan estradia, prolaktin mempengaruhi payudara dan laktasi, serta berperan pada pembentukan dan fungsi korpus luteum(Maulana, 2008).

  2.1.3.2 Steroid ovarium Ovarium menghasilkan progesteron, androgen, dan estrogen. Banyak dari steroid yang dihasilkan ini juga disekresi oleh kelenjar adrenal atau dapat dibentuk di jaringan perifer melalui pengubahan prekursor-prekursor steroid lain; konsekuensinya, kadar plasma dari hormon-hormon ini tidak dapat langsung mencerminkan aktivitas steroidogenik dari ovarium (Maulana, 2008).

  1. Estrogen Fase pubertas terjadi perkembangan sifat seks primer. Kemudian juga terjadi perkembangan sifat seks sekunder. Selanjutnya akan berlangsung siklus pada uterus, vagina dan kelenjar mammae. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hormon estrogen. Terhadap uterus, hormon estrogen menyebabkan endometrium mengalami proliferasi, yaitu lapisan endometrium berkembang dan menjadi lebih tebal. Hal ini diikuti dengan lebih banyak kelenjar-kelenjar, pembuluh darah arteri maupun vena. Hormon estrogen dihasilkan oleh teka interna folikel. Estradiol (E2) merupakan produk yang paling penting yang disekresi oleh ovarium karena memiliki potensi biologik dan efek fisiologik yang beragam terhadap jaringan perifer sasaran (Maulana, 2008).

  Peninggian kadar estradiol plasma berkorelasi erat dengan peningkatan ukuran folikel pra-ovulasi. Setelah lonjakan LH, kadar estradiol serum akan mencapai kadar terendah selama beberapa hari dan terjadi peningkatan kedua kadar estradiol plasma yang akan mencapai puncaknya pada pertengahan fase luteal, yang akan mencerminkan sekresi estrogen oleh korpus luteum. Studi kateterisasi telah menunjukkan bahwa peningkatan kadar estradiol plasma pada fase pra-evolusi dan pertengahan fase luteal dari siklus (Maulana, 2008).

  2. Progesteron Kadar progesteron adalah rendah selama fase folikuler, kurang dari 1 ng/ml (3,8 nmol/l) dan kadar progesteron akan mencapai puncak yaitu antara 10-

  20 mg/ ml (32-64 nmol) pada pertengahan fase luteal. Selama fase luteal, hampir semua progesteron dalam sirkulasi merupakan hasil sekresi langsung korpus luteum (Maulana, 2008).

  Pengukuran kadar progesteron plasma banyak dimanfaatkan untuk memantau ovulasi. Kadar progesteron di atas 4-5 ng/ml (12,7-15.9 nmol/l) mengisyaratkan bahwa ovulasi telah terjadi. Perkembangan uterus yang sudah dipengaruhi hormon estrogen selanjutnya dipengaruhi progesteron yang dihasilkan korpus luteum menjadi stadium sekresi, yang mempersiapkan endometrium mencapai optimal. Kelenjar mensekresi zat yang berguna untuk makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi. Pembuluh darah akan menjadi lebih panjang dan lebar (Maulana, 2008).

  3. Androgen Androgen merangsang pertumbuhan rambut di daerah aksila dan pubes serta mampu meningkatkan libido. Androgen terbentuk selama sintesis steroid di ovarium dan adrenal, sebagai pembekal estrogen. Androgen pada wanita dapat berakibat maskulinisasi, maka pembentukan yang berlebih akan menyebabkan gangguan yang berarti. Fase folikuler dan fase luteal kadar rata-rata testosteron plasma berkisar antara 0,2 ng/mg-0,4ng/mg (0,69-1,39 nmol/l) dan sedikit meningkat pada fase pra-ovulasi (Maulana, 2008).

2.2. Konsep Sindroma Pramenstruasi (PMS)

2.2.1. Definisi PMS

  Sindroma pramenstruasi merupakan keluhan-keluhan yang biasanya mulai satu minggu sampai beberapa hari sebelum datangnya haid, dan menghilang sesudah haidnya datang, walau pun kadang-kadang berlangsung terus sampai haid berhenti (Winkjosastro, 2008).

  Menurut kamus kedokteran, PMS merujuk kepada tanda dan gejala yang terjadi antara waktu ovulasi dan sebelum terjadinya menstruasi. Gejala yang ditunjukkan berupa perubahan fisik, psikologis dan perilaku (Anon (b), 2008).

  Kejadian PMS terjadi beberapa hari sehingga 2 minggu sebelum haid dan menghilang saat haid. Walaupun kebanyakan wanita akan mengalami tanda dan gejala yang berhubungan dengan siklus menstruasi, kebanyakan tanda dan gejala ini hanya ringan yang merupakan reflek dari perubahan fisiologi tubuh. Walaubagaimanapun, sedikit wanita mengalami gejala yang mengganggu kerja, hubungan, dan aktivitas sosial mereka (Anon (a), 2007) .

2.2.2. Etiologi PMS

  Etiologi PMS tidak jelas, akan tetapi mungkin satu faktor yang memegang peranan ialah ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron dengan akibat retensi cairan dan natrium, penambahan berat badan, dan kadang- kadang dengan edema (Winkjosastro, 2008).

  Faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lain-lain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita PMS ialah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan terhadap faktor-faktor psikologis (Winkjosastro, 2008).

  Terdapat bukti adanya hubungan sebab-akibat antara sekresi dan penarikan progesteron dengan timbulnya PMS, walaupun begitu, dasar biologis dari keterkaitan ini belum dipastikan. Di luar kehamilan, progesteron dihasilkan dalam jumlah besar hanya selama fase luteal siklus ovarium. Akan tetapi tidak dijumpai perbedaan nyata dalam kecepatan sekresi progesteron oleh korpus luteum dari wanita yang menderita PMS dengan tidak. Berdasarkan anggapan ini, tidak diketahui adanya efek progesteron yang jelas menunjukkan bahwa hormon ini berperan dalam kejadian PMS, apalagi menjelaskan perbedaan yang besar dalam tingkat keparahan dalam gejala-gejala yang dialamai wanita ini (Cunningham, 2005).

  Sebagian wanita mengalami gejala-gejala PMS selama 7 – 10 hari terakhir siklus menstruasi mereka yang diperkirakan disebabkan oleh retensi garam dan air. Namun kecil kemungkinannya bahwa hal ini atau perubahan hormonal lain yang terjadi selama fase luteal akhir berperan sebagai penyebab karena perjalanan waktu dan keparahan gejala tidak berubah bila fase luteal dihentikan secara dini dan menstruasi ditimbulkan dengan pemberian obat-obat (William, 2001).

  Batas tertentu estrogen menyebabkan retensi garam dan air serta berat badan bertambah. Mereka yang mengalami akan menjadi mudah tersinggung, tegang dan perasaan tidak enak. Gejala-gejala dapat dicegah bila pertambahan berat badan dapat dicegah. Peranan estrogen pada PMS tidak nyata, sebab ketegangan ini timbul terlambat pada siklus tidak pada saat ovulasi waktu sekresi estrogen berada pada saat puncaknya. Kenaikan sekresi vasopresin kemungkinan berperan pada retensi cairan pada saat pramenstruasi (William, 2001).

  Berbagai faktor gaya hidup tampaknya menjadikan gejala-gejala lebih buruk, termasuk stres, kurangnya kegiatan fisik dan diet yang mengandung gula, karbohidrat yang diolah, garam, lemak, alkohol dan kafein yang tinggi (Anon (e), 2011).

2.2.3. Faktor Risiko Terjadinya PMS

  Gejala ini biasanya terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid. Di bawah ini dinyatakan beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya PMS (Anon (c), 2010, Anon (d), 2010).

  1. Riwayat ibu kandung penderita yang pernah mengalami PMS.

  2. Wanita yang pernah melahirkan (PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi).

  3. Status perkahwinan (wanita yang sudah menikah lebih banyak mengalami PMS dibandingkan yang belum).

  4. Usia (PMS semakin sering dan mengganggu dengan bertambahnya usia, terutama antara usia 30 – 45 tahun).

  5. Stres (faktor stres memperberat gangguan PMS).

  6. Diet (faktor kebiasaan makan seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minuman bersoda, produk susu, makanan olahan akan memperberat gejala PMS).

  7. Kekurangan zat-zat gizi seperti kurang vitamin B (terutama vitamin B6), vitamin E, Vitamin C, magnesium, zat besi, seng, mangan, asam lemak linoleat.

  8. Kebiasaan merokok dan minum alkohol dapat memperberat gejala PMS.

  9. Kegiatan fisik (kurang berolahraga dan aktivitas fisik menyebabkan semakin beratnya PMS).

  Menurut Vliet, E.L., (2003), terdapat beberapa faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan kejadian PMS seperti :

  1. Wanita yang menunda kehamilan dan menjalani sedikit kehamilan – mengakibatkan lebih banyak siklus ovulasi.

  2. Peningkatan obesitas yang signifikan, yang mengubah rasio estrogen dan progesteron di dalam tubuh. Majoritas wanita yang menderita PMS adalah dalam golongan obes.

  3. Diet tinggi lemak, protein, garam, gula, alkohol dan minuman kafein yang memperparah PMS.

  4. Kekurangan magnesium dalam diet yang merupakan kofaktor penting dalam sintesa neurotransmiter yang meningkatkan afek.

  5. Kekurangan masukan B6 yang juga merupakan kofaktor penting dalam sintesa neurotransmiter yang meningkatkan afek dan berhubungan dengan metabolisma estrogen dan progesteron.

2.2.4. Gejala PMS

  Gejala PMS sangat berbeda dari seorang wanita ke wanita yang lain dan dari satu siklus ke siklus yang lain, dan dapat terjadi antara ringan hingga berat. Sebagian wanita sadar akan gejala yang mereka hadapi itu menjadi semakin memberat pada waktu meningkatnya stres dalam bentuk emosional dan fisikal. Lebih dari 150 gejala telah dihubungkan dengan PMS, dan sebagiannya dinyatakan seperti dibawah.

  1. Gejala fisik:

  • Pembengkakan dan nyeri payudara
  • Kembung, retensi cairan, penambahan berat badan
  • Perubahan kebiasaan buang air besar
  • Jerawatan • Rasa ingin makan yang berlebihan terutama makanan manis atau masin
  • Perubahan pola tidur

  • Keletihan • Penurunan nafsu seks
  • Sakit. Yang biasa dikeluhkan adalah sakit kepala atau migrain, nyeri payudara, nyeri sendi dan otot, nyeri punggung bawah oleh karena perdarahan menstruasi

  2. Gejala perilaku:

  • Agresif • Menjauhkan diri dari keluarga dan teman
  • Gejala emosional dan kognitif
  • Depresi, sedih, dan perasaan tidak berguna
  • Mudah marah
  • Perubahan mood yang cepat
  • Penurunan waspada dan tidak upaya untuk konsentrasi (Anon (e),

  2011)

2.2.5. Diagnosis PMS

  Dalam penuntun diagnosis dari American Psychiatry Association (APA), menyatakan kriteria mendiagnosis PMS sebagai berikut :

  1. Gejala berhubungan dengan siklus menstruasi dan gejala muncul mulai minggu terakhir fase luteal siklus menstruasi dan menghilang setelah muncul menstruasi.

  2. Diagnosis PMS ditegakkan bila ditemukan 5 gejala PMS dengan minimal terdapat 1 gejala mayor. Gejala-gejala mayor PMS tersebut adalah : labilitas afektif seperti menarik diri, semangat kerja menurun, tiba-tiba marah atau sedih; iritabilitas seperti mudah marah dan tersinggung, tegang dan cemas; perubahan suasana hati dan putus asa. Gejala minor PMS adalah : pembengkakan pada anggota badan, nyeri/kembung pada perut, perubahan nafsu makan, lekas lelah, nyeri kepala, mual/muntah, payudara nyeri/tegang, gangguan tidur, gangguan buang air besar, dan susah berkonsentrasi. Gejala fisik seperti edema, nyeri persendian atau nyeri otot, dan pertambahan berat badan.

  Dalam DSM-IV diagnosa PMS pula ditegakkan hanya bila gangguan itu secara nyata mengganggu pekerjaan atau fungsi peran. DSM-IV memasukkan kriteria diagnostik PMS ini seperti berikut :

  A. Pada sebagian besar siklus menstruasi selama tahun terakhir, lima (atau lebih) gejala berikut ditemukan untuk sebagian besar waktu selama minggu terakhir fase luteal, mulai menghilang dalam beberapa hari setelah onset fase folikular, dan menghilang dalam minggu pascar menstruasi, dengan sekurang-kurangnya salah satu gejala adalah(1),(2), (3), atau (4) : 1.

  Mood terdepresi yang jelas, perasaan putus asa, pikiran mencela diri sendiri.

  2. Kecemasan yang jelas, ketegangan, perasaan “bersemangat” atau “tidak tenang”.

  3. Labilitas afektif yang tidak jelas (misalnya, perasaan tiba-tiba sedih atau menangis atau meningkatnya kepekaan terhadap penolakan)

  4. Kemarahan atau iritabilitas yang menetap dan jelas atau meningkatnya konflik interpersonal.

  5. Menurunnya minat dalam aktivitas seharian (misalnya pekerjaan, sekolah, teman, kegemaran).

  6. Perasaan subjektif adalah kesulitan dalam berkonsentrasi.

  7. Letargi, mudah lelah, atau kehilangan tenaga.

  8. Perubahan yang jelas dalam nafsu makan, makan berlebihan atau kecanduan makanan tertentu.

  9. Hipersomnia atau insomnia.

  10. Perasaan subjektif sedang terlanda atau keluar kendali.

  11. Gejala fisik lain, seperti nyeri atau pembengkakan payudara, nyeri kepala, nyeri sendi atau otot, sensasi “kembung”, kenaikan berat badan. Catatan : pada perempuan yang sedang menstruasi, fase luteal berhubungan dengan periode antara ovulasi dan onset menstruasi, dan fase folikuler dimulai saat menstruasi. Pada perempuan yang tidak menstruasi (misalnya yang telah menjalani histerektomi), penentuan waktu fase luteal dan folikuler mungkin memerlukan pengukuran hormon reproduktif dalam sirkulasi.

  B. Gangguan dengan jelas mengganggu pekerjaan, sekolah, atau aktivitas sosial biasanya dan hubungan dengan orang lain (misalnya, menghindari aktivitas sosial, menurunnya produktivitas dan efisiensi di pekerjaan atau sekolah).

  C. Gangguan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gejala dari gangguan lain, seperti gangguan depresif berat, gangguan panik, gangguan distimik, atau gangguan kepribadian (walaupun mungkin bertumpang tindih dengan salah satu gangguan tersebut).

  D. Kriteria A, B, dan C harus ditegakkan oleh pencatatan harian prospektif selama sekurang-kurangnya dua siklus simptomatik yang berturut-turut (Diagnosa dapat dibuat sementara sebelum penegakan ini)

2.3. Konsep Indeks Massa Tubuh (IMT)

2.3.1. Definisi indeks massa tubuh

  Indeks massa tubuh merupakan ukuran standar berhubungan dengan berat badan dengan tinggi badan. IMT juga membantu dalam pengukuran resiko terjadinya kelainan kesehatan dalam populasi dengan IMT yang berbeda. Ukuran

  IMT adalah dengan menghitung berat badan dalam kilogram per tinggi badan dalam meter kuadrat. Batas atas IMT normal merupakan indikasi peningkatan resiko untuk menghidapi gangguan kesehatan (LeBlond, R., Brown, D., DeGowin, R., 2009).

  Indeks massa tubuh (IMT) merupakan pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan. IMT merupakan perhitungan nilai akhir yang diambil antara berat badan dalam kilogram (kg) per tinggi badan

  2

  dalam meter kuadrat (m ). IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan (Anon F, 2012). IMT merupakan alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta merupakan metode skrining kategori berat badan dan tinggi badan yang mudah dilakukan.

2.3.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Tabel 2.1 : Klasifikasi IMT Asia menurut IOTF

  2 Klasifikasi

  IMT (kg/m )

  Berat badan kurang <18.5 Berat badan normal 18.5 – 22.9

  Berisiko Untuk Obesitas 23.0 – 24.9 Obes I 25.0 – 29.9

  Obes II ≥30.0

  (Sumber dari : IOTF, International Obesity Taskforce)

2.4. Hubungan IMT dan PMS

  Pengukuran nilai IMT adalah untuk mengetahui secara kasar kandungan lemak tubuh seseorang dimana yang sangat mempengaruhi perubahan dalam hitungan IMT adalah berat badan.

  Elizabeth R. Berton-Johnson dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap kandungan lemak tubuh yang menjadi pencetus terjadinya PMS menyatakan bahawa terdapat hubungan yang positif antara IMT dan terjadinya PMS. IMT juga berhubungan dengan risiko terjadinya gejala fisik dan emosi pada penderita PMS (Berton-Johnson, 2010).

  Sindroma pramenstruasi kemungkinan disebabkan oleh interaksi antara faktor hormonal dan neurokimia, dan adipositas meningkatkan resiko itu melalui

  2

  beberapa mekanisme. Perbandingan dengan wanita IMT <20 kg/m , pada wanita

  2

  dengan IMT mempunyai 39% lebih rendah estradiol folikular, 20% ≥30 kg/m estradiol luteal lebih rendah, dan 20% lebih rendah level progesteron. Siklus estrogen dan progesteron yang berfluktuasi dengan jelas memberi kesan terhadap onset PMS (Berton-Johnson, 2010).

  Obesitas juga berperan dalam mengubah fungsi neurotransmitter melalui efeknya terhadapt estrogen dan progesteron. Dalam beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan, kejadian PMS menunjukkan abnormalitas serotonin, gamma-aminobutyric acid (GABA), dan sistem lain dibandingkan dengan kontrol yang bebas gejala. Estrogen meningkatkan aksi serotonin dengan meningkatkan sintesa, transportasi, dan pengambilan kembali serta ekspresi reseptor, dan respon pada postsinaps. Dinyatakan juga jumlah estradiol yang rendah berhubungan dengan adipositas akan mengganggu fungsi serotonin dan menyumbang kepada terjadinya PMS (Berton-Johnson, 2010).

  Prevalensi kejadian PMS di Virginia adalah sebesar 10.3 persen. Wanita obes (IMT > atau = 30) mempunyai peningkatan resiko hampir tiga kali lipat berbanding kejadian PMS pada wanita non-obes (Masho. S.W., 2005)

2.5. Kerangka Teori

  Di bawah ini disertakan kerangka teori terhadap kejadian sindroma pramenstruasi pada wanita usia reproduktif.

  Wanita usia reproduktif Sindroma Pramenstruasi

  (PMS) 1. Ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron 2.

  Retensi garam dan air 3. Faktor gaya hidup 4. Faktor kejiwaan

Dokumen yang terkait

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

4 58 80

Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kejadian Sindroma Pramenstruasi Di Kalangan Mahasiswa Stambuk 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2012

4 63 73

Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Tekanan Darah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

1 33 57

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Massa Tubuh - Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 0 18

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Massa Tubuh (IMT) - Gambaran Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2014

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan - Perbandingan Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Stambuk 2014 Dengan Stambuk 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara mengenai Basic Life Support

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Massa Tubuh (IMT) - Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada Angkatan 2010, 2011 dan 2012

0 0 16

Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kejadian Sindroma Pramenstruasi Di Kalangan Mahasiswa Stambuk 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2012

0 0 24