BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gangguan Pertumbuhan Anak - Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak di Kabupaten Karo Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangguan Pertumbuhan Anak

  Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di ukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik (Soetjiningsih, 1995).

  Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu faktor dalam (internal) yang terdiri dari dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan genetik, dan kelainan kromosom dan faktor luar (eksternal/lingkungan) yang terdiri dari gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial ekonomi.

  Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses pertumbuhan anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak Indonesia (Sunawang, 2002) menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu selama hamil, pola makan bayi yang salah, dan penyakit infeksi.

  11 Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva pertumbuhan WHO 2005 (Kemenkes RI, 2010).

  Penilaian gangguan pertumbuhan dapat dilakukan sedini mungkin sejak anak dilahirkan. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan pertumbuhan anak secara dini, sehingga upaya pencegahan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses pertumbuhan sesuai dengan umur anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi pertumbuhan yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997). Penilaian pertumbuhan dapat dilakukan melalui penilaian pertumbuhan fisik salah satunya adalah melalui pemantauan tinggi badan anak.

  Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani (WHO, 2010).

  Penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Dasar utama dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat baku (standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian harus dilakukan dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk menilai kecepatan pertumbuhan.

  Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan fisik adalah tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit, lingkar lengan atas, panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Menurut Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra (2003) macam-macam penilaian pertumbuhan fisik yang dapat digunakan adalah:

  1. Pengukuran Berat Badan (BB) Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu Menuju Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya dan dilakukan interfensi jika terjadi penyimpangan.

  2. Pengukuran Tinggi Badan (TB) Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan berbaring sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri. Hasil pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik pertumbuhan tinggi badan.

  3 Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA) PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar.

  Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan di atas normal dan gangguan pertumbuhan di bawah normal. Pemantauan berat badan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik berat badan anak lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau kelainan hormonal. Sedangkan, apabila grafik berat badan di bawah normal kemungkinan anak mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal. Anak yang kurang gizi akan berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya.

2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Gangguan Pertumbuhan Anak

  Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan. Dari seluruh siklus kehidupan, masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi saat lahir dan balita. Hal ini dapat dijelaskan pada bagan berikut:

Gambar 2.1. Masalah Gizi menurut Siklus Kehidupan (Atmarita, 2004)

  Gi zi j an i n t i d ak b ai k W US KEK W US KEK BUM I L KEK BUM I L KEK

  Konsumsi Kurang Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang

  Produktivitas fisik berkurang/ rendah Pelayanan

kesehatan tidak

memadai MMR

  Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang Tumbuh kembang terhambat

  Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai

  

I MR, perkembangan

mental terhambat,

risiko penyakit kronis

pada usia dewasa

  USI A SEKOLAH USI A SEKOLAH GAN GGUAN GAN GGUAN PERTUM BUHAN PERTUM BUHAN USI A LAN JUT USI A LAN JUT KURAN G GI ZI KURAN G GI ZI

  REM AJA & REM AJA &

  ( KEN AI KAN ( KEN AI KAN BB BB REN DAH) RENDAH) BBLR BBLR BALI TA KEP BALI TA KEP

  Konsumsi Kurang Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang

  Pada gambar 2.1, dijelaskan bahwa masalah gizi dapat terjadi pada seluruh siklus kehidupan. Selajutnya untuk memberikan gambaran keadaan masalah gizi pada masing-masing siklus dapat dijelaskan berikut ini:

  Produktivitas fisik berkurang/ rendah Pelayanan

kesehatan tidak

memadai MMR

  Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang Tumbuh kembang terhambat

  Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai

  

I MR, perkembangan

mental terhambat,

risiko penyakit kronis

pada usia dewasa

  USI A SEKOLAH USI A SEKOLAH GAN GGUAN GAN GGUAN PERTUM BUHAN PERTUM BUHAN USI A LAN JUT USI A LAN JUT KURAN G GI ZI KURAN G GI ZI

  BBLR BBLR BALI TA KEP BALI TA KEP REM AJA & REM AJA &

  W US KEK W US KEK BUM I L KEK BUM I L KEK ( KEN AI KAN ( KEN AI KAN BB BB REN DAH) RENDAH)

  Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu. Sejak itu, manusia kecil telah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang mengandungnya. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi maka janin tersebut akan mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah yang mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan berikutnya.

  Gi zi j an i n t i d ak b ai k Krisis ekonomi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 - 2000 telah menjadikan asupan zat gizi ibu hamil dari masyarakat kurang mampu khususnya menurun secara signifikan dan menjadikan mereka mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) yang didefinisikan dengan Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm. Meskipun tidak ada penelitian khusus yang mendokumentasikan efek dan krisis ekonomi terhadap outcome kehamilan, tetapi penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan dengan jelas bahwa bayi yang lahir dari ibu-ibu yang mengalami KEK mempunyai rata-rata berat badan lahir 2.568 gram atau 390,9 gram lebih rendah dibandingkan rata-rata berat badan lahir bayi yang lahir dari ibu-ibu yang tidak mengalami KEK. Ibu Hamil yang mengalami KEK mempunyai risiko melahirkan bayi dengan BBLR 5 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK (Mustika 2004). Tingginya angka kurang gizi pada ibu hamil ini mempunyai kontribusi terhadap tingginya angka BBLR di Indonesia yang diperkirakan mencapai 350.000 bayi setiap tahunnya (Depkes, 2004). Anemia merupakan masalah kesehatan lain yang paling banyak ditemukan pada ibu hamil. Kurang lebih 50% atau 1 diantara 2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia yang sebagian besar karena kekurangan zat besi. Konsekuensi lain dari anemia pada ibu hamil adalah tingginya risiko melahirkan bayi prematur dan bayi BBLR. Selain KEK dan anemia defisiensi besi, ibu hamil juga rawan terhadap kekurangan zat gizi lain seperti vitamiin A, yodium, dan zinc. Kekurangan zat-zat gizi ini secara bersama-sama akan membawa dampak yang lebih serius baik bagi ibunyamaupun bagi bayi yang dikandungnya.

  Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah umumnya akan mengalami kehidupan masa depan yang kurang baik. Bayi BBLR mempunyai risiko lebih tinggi untuk meninggal dalam lima tahun pertama kehidupan. Mereka yang dapat bertahan hidup dalam lima tahun pertama akan mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami hambatan dalam kehidupan jangka panjangnya. Bagi bayi non BBLR, pada umumnya mereka mempunyai status gizi saat lahiryang kurang lebih sama dengan status gizi bayi di negara lain. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur, disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan kebutuhan serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka sebagian besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak penurunan pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok umur inilah prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi (Hadi, 2001). Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Kekurangan gizi pada balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi seperti vitamin A, zat besi, yodium dan zinc.

  Masa balita menjadi lebih penting lagi oleh karena merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Terlebih lagi 6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF, 1998 dikutip oleh Hadi, 2005).

  Masalah kurang gizi lain yang dihadapi anak usia balita adalah kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Lebih dan 50% anak balita mengalami defisiensi vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum retinol <20 mcg/dl (Hadi, 2000) dan satu diantara dua (48.1%) dari mereka menderita anemia kurang zat besi (SKRT, 2001). Seperti telah diketahui bahwa anak-anak yang kurang vitamin A meskipun pada derajat sedang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan pertumbuhan, menderita beberapa penyakit infeksi seperti campak, dan diare.

  Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka BBLR dan kurang gizi pada masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila pada usia sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik pada laki- laki maupun perempuan. Jika diamati perubahan prevalensi anak pendekdari tahun ke tahun maka prevalensi anak pendek ini praktis tidak mengalami perubahan oleh karena perubahan yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dan 39,8% pada tahun 1994 menjadi 36,1% pada tahun 1999 (Depkes, 2004).

  Gagal tumbuh antar generasi ibu hamil yang mengalami kurang gizi mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak menderita kurang gizi. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat, terlebih lagi apabila mendapat ASI Ekslusif yang kurang dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Oleh karena itu bayi BBLR cenderung besar menjadi balita dengan status gizi yang lebih jelek. Balita yang kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan juga terutama apabila konsumsi makanannya tidak cukup dan pola asuh tidak benar. Oleh karena itu balita kurang gizi cenderung tumbuh menjadi remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa yang pendek dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR lagi, dan seterusnya (Hadi, 2005).

  

2.3. Program Gizi yang Berhubungan dengan Upaya Perbaikan Gangguan

Pertumbuhan Anak

  Program perbaikan gizi merupakan bagian integral dari program kesehatan yang mempunyai peranan penting dalam menciptakan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan tersebut, program perbaikan gizi harus dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. Hal ini dilakukan melalui suatu rangkaian upaya terus menerus mulai dari perumusan masalah, penetapan tujuan yang jelas, penentuan stategi intervensi yang tepat sasaran, identifikasi kegiatan yang tepat serta adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi institusi yang berperan di berbagai tingkat administrasi.

  Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan difokuskan untuk mengatasi masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) melalui intervensi yang mencakup penyelenggaraan posyandu dengan pemantauan pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi dan tablet besi), fortifikasi garam beryodium, pemberian makanan tambahan termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), tatalaksana gizi buruk (Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat. Adapun program penanggulangan ke empat masalah gizi tersebut adalah sebagai berikut:

2.3.1. Penanggulangan Kurang Energi dan Protein (KEP)

  KEP merupakan suatu bentuk masalah gizi yang termasuk dalam kategori kurang gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor makanan yang tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta karena infeksi, yang berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi baik atau normal menjadi bergizi kurang atau buruk. Untuk mengetahui ada tidaknya KEP pada anak perlu dilakukan pengukuran keadaan atau status gizi anak (Minarto, 2011).

  Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan besaran masalah KEP di Indonesia, yaitu gizi kurang, pendek dan kurus. Ke-tiga bentuk masalah KEP tersebut mempunyai riwayat dan pendekatan pemecahan yang berbeda. Prevalensi gizi kurang tahun 2007 secara nasional sebesar 18,4% sedangkan pada tahun 2013 sebesar 19,6%. Prevalensi gizi kurang juga sangat bervariasi antar perkotaan - perdesaan, antar tingkat ekonomi, dan antar tingkat pendidikan. Selain masalah gizi kurang riskesdas juga mengungkap tingginya prevalensi pendek pada anak balita 2007 sebesar 36,8% dan 37,2% pada tahun 2013, prevalensi kurus 2007 sebesar 13,6% dan 12,1% tahun 2013. Status gizi anak sangat terkait dengan status gizi ibu hamil. Prevalensi ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK) 2007 diperkirakan sebesar 13,6%. Ibu hamil KEK akan beresiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).

  Upaya-upaya yang dilakukan berkaitan dengan penanggulangan masalah gizi kurang antara lain penyelenggaraan posyandu dengan pemantauan pertumbuhan, pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI serta tatalaksana gizi buruk yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Program Pemantauan Pertumbuhan

  Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukan melalui penimbangan berat badan dan tinggi badan atau panjang badan yang dapat dilakukan baik di posyandu maupun diluar posyandu. Kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap bulan. Tujuan dari pemantauan pertumbuhan adalah untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah gangguan pertumbuhan yang perlu ditangani.

  Anak yang mempunyai masalah pertumbuhan atau kecenderungan mengalami masalah gangguan pertumbuhan dicari faktor penyebabnya agar dapat dilakukan tindakan mengatasi atau memecahkan faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pertumbuhan tersebut. Menilai pertumbuhan jika tidak didukung oleh tindak lanjut yang sesuai tidak dapat meningkatkan status gizi dan kesehatan anak.

  Hasil pemantauan dinilai melalui indikator D/S, K/S dan N/D. Indikator D/S digunakan untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap kegiatan posyandu, indikator K/S untuk mengetahui cakupan program penimbangan dan indikator N/D untuk mengetahui keberhasilan program.

  Berdasarkan hasil riskesdas menunjukan secara nasional cakupan penimbangan balita (anak pernah ditimbang di posyandu sekurang-kurangnnya satu kali selama sebulan terakhir) di posyandu sebesar 74,5%. Frekuensi kunjungan balita ke posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai gambaran proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di posyandu 91,3%, pada anak usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan turun menjadi 73,3%.

  Masalah yang berkaitan dengan kunjungan posyandu antara lain tersedianya dana operasional untuk menggerakkan kegiatan posyandu, tersedianya sarana dan prasarana serta bahan penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader masih rendah dan kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan serta konseling masih lemah, masih kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat posyandu serta masih terbatasnya pembinaan kader (Minarto, 2011).

2. Program ASI Eksklusif

   ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan

  selama 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman lain, kecuali obat, vitamin dan mineral. Menurut Lancet (2010) yang dikutip oleh Depkes RI (2013), pemberian ASI Eksklusif dapat menurunkan angka kematian bayi sebesar 13% dan dapat menurunkan prevalensi balita pendek.

  Upaya perbaikan gizi melalui penerapan pemberian ASI Eksklusif telah diamanatkan melalui Undang-undang No. 36 tahun 2009 bahwa bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif dan Peraturan Pemerintah RI No. 33/2012 menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab dalam pemberian ASI Eksklusif. Selain itu, untuk meningkatkan pemberian ASI Eksklusif pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan program Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM) dan melatih tenaga konselor untuk memberikan konseling dan penyuluhan kepada ibu menyusui. Dengan adanya tenaga konselor ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemberian ASI karena ASI merupakan makanan terbaik bayi.

  Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan menurun selama 3 tahun terakhir. Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi 56,2% pada tahun 2008. Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008.

  Cakupan pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan kampanye terkait pemberian ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana KIE ASI dan belum optimalnya membina kelompok pendukung ASI.

3. Program Tatalaksana Gizi Buruk

  Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak ditangani secara cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian.

  Perawatan gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk rawat inap di Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi

  

(Terapheutic Feeding Center) sedangkan Gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan

  perawatan rawat jalan di Puskesmas, Poskesdes dan Pos Pemulihan Gizi berbasis masyarakat (Community Feeding Centre/CFC).

  Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk melaksanakan tatalaksana gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan prasana untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya tindak lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah (Minarto, 2011).

2.3.2. Penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA)

  Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Ada 3 fungsi vitamin A dalam tubuh yaitu fungsi dalam proses melihat, fungsi dalam metabolisme umum, dan fungsi dalam proses reproduksi. Hubungan vitamin A dengan pertumbuhan dalam fungsinya sebagai metabolisme umum yang berkaitan dengan metabolisme protein. Pada defesiensi vitamin A terjadi hambatan pertumbuhan. Dasar hambatan pertumbuhan ini karena hambatan sintesa protein. Gejala ini tampak terutama pada anak-anak (balita), yang sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat. Sintesa protein memerlukan vitamin A sehingga pada defisiensi vitamin ini terjadi hambatan sintesa protein yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan (Sediaoetama, 2000). Salah satu program pemerintah untuk menanggulangi masalah kurang vitamin A adalah dengan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.

1. Program Pemberian Kapsul Vitamin A

  Kapsul vitamin A yang digunakan dalam kegiatan suplementasi vitamin A adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi. Sasarannya adalah bayi (6- 11 bulan), anak balita (12-59 bulan) dan ibu nifas (0-42 hari).

   Suplementasi kapsul vitamin A pada balita dan ibu nifas bertujuan tidak hanya

  untuk pencegahan kebutaan tetapi juga untuk penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA). Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian suplementasi kapsul vitamin A sebanyak 2 kali setahun pada balita merupakan salah satu intervensi kesehatan yang berdaya ungkit tinggi bagi pencegahan kekurangan vitamin A dan kebutaan serta penurunan kejadian kesakitan dan kematian pada balita (Depkes RI, 2009).

  Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat. Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13% dan indeks serum retinol kurang dari 20 µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survey vitamin A pada tahun 1992.

  Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A secara nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi dengan cakupan di bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak umur 12-59 bulan sebesar 79,2%. Provinsi dengan cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian kapsul vitamin A < 60% .

  Masalah manajemen dan penyediaan kapsul vitamin A, merupakan masalah yang dihadapi dalam peningkatan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Disamping itu belum optimal pelaksanaan kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang administrasi.

  Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan salah satu sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 15% dan menurunkan prevalensi balita pendek menjadi setinggi-tingginya 32%. Untuk mencapai RPJMN tersebut, dalam Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat telah ditetapkan 8 indikator kinerja program perbaikan gizi, yaitu: 1) Balita ditimbang berat badannya, 2) Balita gizi buruk mendapat perawatan, 3) Balita mendapat kapsul vitamin A, 4) Bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eskklusif, 5) Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe, 6) Rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium, 7) Melaksanakan surveilans gizi, 8) Penyediaan stock cadangan (buffer stock) MP-ASI untuk daerah bencana.

  Adapun indikator kinerja dan target kegiatan pembinaan gizi program perbaikan gizi tahun 2010-2014 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Indikator Kinerja dan Target Kegiatan Pembinaan Gizi Program Perbaikan Gizi Tahun 2010-2014 Target No Indikator Kinerja 2010 2011 2012 2013 2014

  Persentase balita ditimbang berat 1.

  65

  70

  75

  80

  85 badannya (% D/S)

  2. Balita gizi buruk mendapat perawatan 100 100 100 100 100 Persentase balita 6-59 bulan mendapat 3.

  75

  78

  80

  83

  85 kapsul vitamin A Persentase bayi usia 0-6 bulan mendapat 4.

  65

  67

  70

  75

  80 Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif Persentase ibu haml mendapat 90 tablet 5.

  84

  86

  90

  93

  95 Fe Cakupan rumah tangga yang 6.

  75

  77

  80

  85

  90 mengkonsumsi garam beryodium Persentase kabupaten/kota melaksanakan 7.

  100 100 100 100 100 surveilans gizi Persentase penyediaan buffer stock

  8. Makanan Pendamping Air Susu Ibu 100 100 100 100 100 (MP-ASI) untuk daerah bencana

  Sumber : Depkes RI, 2012

  Selain indikator diatas yang perlu dicapai, ada juga indikator gizi lainnya yang secara berkala diperlukan seperti: 1) prevalensi balita gizi kurang berdasarkan antropometri, 2) prevalensi status gizi anak usia sekolah, remaja dan dewasa, 3) prevalensi resiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur (WUS) dan ibu hamil, 4) prevalensi anemia gizi besi dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY), kurang Vitamin A (KVA) dan masalah gizi mikro lainnya, 5) tingkat konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (defisiensi zat besi dan yodium), 6) data pendistribusian MP-ASI dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), 7) data terkait lainnya yang diperlukan (Depkes RI, 2012).

  Menurut Azwar (1988), ada 4 unsur pokok dalam sistem pelayanan kesehatan yang sangat berperan menentukan berhasil atau tidaknya program yang diselenggarakan, yaitu unsur masukan (input), unsur proses (process), unsur keluaran (output) dan unsur dampak (outcome). Adapun penjelasan masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut: a. Masukan (input) adalah semua hal yang diperlukan untuk terselenggaranya pelayanan gizi, yang terdiri dari 6 M yaitu man (orang), money (dana), material

  (sarana dan prasarana), metode (cara), market (sasaran), minute (jangka waktu pelaksanaan kegiatan).

  b. Proses adalah semua tindakan yang dilakukan dalam pelayanan gizi yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.

  c. Keluaran (output) adalah yang menunjuk pada hasil pelayanan yang dilakukan dalam bentuk cakupan kegiatan program yaitu jumlah kelompok masyarakat yang sudah diberikan pelayanan kesehatan dibandingkan dengan jumlah kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program. d. Dampak (outcome) adalah akibat yang dihasilkan dari pelayanan yang dilakukan yang dapat diukur melalui peningkatan status kesehatan masyarakat.

  Keberhasilan program perbaikan gizi tidak terlepas dari peran puskesmas sebagai organisasi pelayanan kesehatan fungsional terdepan. Kegiatan program perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat terlaksana dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya program gizi terdiri dari sumber daya manusia (TPG Puskesmas), sarana dan prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan kegiatan pokok program perbaikan gizi merupakan proses yang bertujuan untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan program dan selanjutnya dapat memberikan dampak sesuai yang diharapkan (outcome).

  Peran TPG Puskesmas menjadi sangat penting karena merekalah sebagai pelaksana program gizi di puskesmas yang langsung menghadapi masyarakat.

  Pengembangan sumber daya manusia terutama tenaga gizi puskesmas, pengetahuan dan keterampilan merupakan kebutuhan dalam upaya pencapaian efektivitas program gizi selain peningkatan ketersediaan tenaga gizi dan sarana. Namun demikian, pengembangan SDM bidang gizi akan sangat tergantung dengan latar belakang pendidikan yang dimliki, motivasi yang dimiliki serta kebijakan pimpinan puskesmas dalam mendorong tenaganya untuk terus mengembangkan kemampuannya. Menurut Hadi (2005), masalah gizi dan kesehatan di masa yang akan datang di Indonesia akan semakin komplek, satu sama lain saling terkait dan oleh karena itu penanganannyapun membutuhkan tenaga yang mempunyai kompetensi lebih tinggi.

  Pada saat ini tenaga gizi yang bekerja di jajaran Dinas Kesehatan maupun di Rumah Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan Dl. Kompetensi minimal yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan masalah gizi dan kesehatan saat ini dan apalagi untuk menangani masalah gizi dan kesehatan 10-20 tahun mendatang. Oleh karena itu perguruan tinggi perlu mengambil peranan dalam mendefinisikan ulang kompetensi ahli gizi Indonesia dan memformulasikannya dalam bentuk kurikulum pendidikan tinggi yang dapat memenuhi tuntutan zaman. Peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam memberikan kritik maupun saran bagi pemerintah agar supaya pembangunan kesehatan tidak menyimpang dan tuntutan masalah yang riil berada di tengah-tengah masyarakat.

2.4. Landasan Teori

  Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Ibu yang dalam masa kehamilannya kurang gizi (Kurang Energi Kronis/KEK) mempunyai resiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah/BBLR. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat yang dapat menyebabkan gagal tumbuh pada anak, terlebih lagi apabila mendapat ASI Eksklusif yang kurang dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Jika keadaan ini berlanjut maka akan terjadi kekurangan gizi sampai masa balita.

  Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki apalagi ditambah dengan masalah kurang gizi lain yaitu kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya.Balita yang kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan dan cenderung tumbuh menjadi remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa yang pendek, dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR lagi, dan seterusnya (Hadi, 2005). Tidak terlaksananya program penanggulangan untuk masalah ini dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna masa masa berikutnya akan menimbulkan dampak masalah gangguan pertumbuhan pada anak.

  Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva pertumbuhan WHO 2005 (Depkes RI, 2010). Keadaan ini dapat diketahui melalui pemantauan Tinggi Badan Anak. Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani (WHO, 2010).

  Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus kehidupan seperti KEP pada balita, ibu hamil KEK, kurang zat gizi mikro (vitamin A, zat besi, yodium) dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak, maka diperlukan kebijakan dan strategi baru perbaikan gizi di setiap siklus kehidupan. Program perbaikan gizi merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk memperbaiki status gizi masyarakat (Depkes RI, 2010).

  Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan di fokuskan untuk mengatasi masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) melalui intervensi yang mencakup penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi dan tablet besi), pemantauan garam beryodium, pemberian makanan tambahan termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan tatalaksana gizi buruk (Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat (Aswar, 2004).

  Pelaksanaan program perbaikan gizi tidak terlepas dari peran puskesmas sebagai organisasi pelayanan kesehatan fungsional terdepan. Kegiatan program

  Outcome

  4. % ASI Eksklusif

  Input Proses Output

  Pertumbuhan Anak

  Masalah Gizi: Gangguan

  Gizi Hasil Kegiatan

  Sumber Daya Program Perbaikan

  Dampak Kegiatan

  1. % D/S 2. % Balita gizi buruk dirawat 3. % balita mendapat vitamin A

  2. Kurang Vitamin A (KVA)

  1. Kurang Energi dan Protein (KEP)

  Tenaga Sarana dan Prasarana Biaya

  • Pemberian Kapsul Vit A

  (Dikembangkan dari Depkes RI, 2006 dan Soekirman 2001)

Gambar 2.2. Analisis Program Gizi terhadap Dampak Gangguan Pertumbuhan dengan Pendekatan Input, Proses, Output dan Out Come

  perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat terlaksana dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya program gizi terdiri dari sumber daya manusia (petugas gizi puskesmas), sarana dan prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan pelaksanaan kegiatan pokok program perbaikan gizi merupakan proses yang bertujuan untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan program dan selanjutnya dapat memberikan dampak sesuai yang diharapkan (outcome). Secara ringkas dapat dilihat pada gambar berikut:

  • Pemantauan Pertumbuhan - ASI Eksklusif - Tatalaksana Gizi Buruk

   Pada gambar 2.2, dijelaskan bahwa tenaga pelaksana gizi merupakan

  pelaksana dari program gizi di puskesmas yang perlu dikembangkan keterampilan dan pengetahuannya.Program gizi yang dilaksanakan bertujuan untuk menanggulangi 4 masalah gizi yang menghasilkan indikator-indikator perbaian gizi. Program gizi dinyatakan berjalan dengan baik apabila capaiannya sesuai dengan target yang telah ditentukan dan jika sebaliknya maka akan menyebabkan masalah gizi yang salah satunya adalah masalah gangguan pertumbuhan pada anak. Pelaksanaan program perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi diharapkan dapat memberikan dampak terhadap penurunan prevalensi gangguan pertumbuhan.

2.5. Kerangka Pikir

  Pencapaian program gizi di Kabupaten Karo yang masih rendah menunjukkan pelaksanaan program gizi belum berjalan dengan maksimal yang diperkirakan menjadi penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak. Kegiatan program perbaikan gizi yang dilakukan meliputi 1) penanggulangan KEP melalui pemantauan pertumbuhan di posyandu dan di luar posyandu, tatalaksana gizi buruk dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP- ASI), 2) penanggulangan KVA melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, 3) penanggulangan AGB melalui pemberian tablet tambah darah (Fe) kepada ibu hamil, dan 4) peningkatan SDM bidang gizi melalui pelatihan-pelatihan. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diketahui melalui pencapaian indikator outputnya dengan melihat capaian target yang telah ditetapkan sebelumnya dan hasilnya menunjukkan pencapaian cakupan program gizi di Kabupaten Karo masih dibawah target yang telah ditetapkan. Selain itu, peran tenaga gizi puskesmas sangat penting karena merekalah sebagai pelaksana program gizi di puskesmas yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Capaian program yang rendah salah satunya dapat disebabkan karena kinerja petugas gizi yang kurang baik (Agustijani, 2005). Selain itu, sarana dan prasarana juga dibutuhkan sebagi pendukung dari kegiatan program gizi seperti posyandu, timbangan, paket gizi, dll.

  Sehubungan masih rendahnya pencapaian program gzi di Kabupaten Karo maka peneliti merasa perlu dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan program gizi yang dilihat dari komponen input (tenaga, sarana dan prasarana), proses (yang difokuskan pada pelaksanaan program gizi balita) yang dibandingkan dengan hasil capaian program (output) sehingga diketahui upaya perbaikan terhadap dampak (outcome) dari program tersebut yaitu gangguan pertumbuhan pada anak. Adapun kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Input Proses Output Outcome

  Program Gizi Gangguan

  1. Pemantauan Tenaga Gizi

  Pertumbuhan Pertumbuhan Capaian

  2. ASI Eksklusif pada Anak Program

  Sarana dan baru Masuk

  3. Tatalaksana Gizi Prasarana

  Sekolah Buruk

  4. Pemberian Kapsul Vitamin A

Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pikir Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah

  di Kabupaten Karo Pada gambar 2.3, dijelaskan kegiatan program gizi balita di Kabupaten Karo

  terdiri dari program pemantauan pertumbuhan, program ASI Eksklusif, program tatalaksana gizi buruk dan program pemberian kapsul vitamin A. Pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan sebulan sekali di posyandu dan diluar posyandu mencakup penimbangan berat badan dan pengukuran panjang atau tinggi badan dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan. Selain itu, pemantauan juga berguna untuk mengidentifikasi anak-anak yang kurang gizi dan yang perlu intervensi mendesak seperti pemberian makanan tambahan dan pemulihan.

  Pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif dilakukan melalui penyuluhan dan konseling. Penyuluhan dilakukan di posyandu oleh tenaga pelaksana gizi puskesmas kepada ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan. Untuk konseling dilakukan kepada ibu hamil dan ibu bersalin yang datang berkunjung ke puskesmas. Tatalaksana gizi buruk dilaksanakan setelah dilakukan identifikasi balita yang menderita gizi buruk.

  Jika ditemukan balita gizi buruk dilakukan perawatan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk. Anak gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan di puskesmas dan poskesdes melalui pemberian makanan pendamping ASI sedangkan anak gizi buruk dengan komplikasi dirawat di rumah sakit umum. Pemberian vitamin A dosis tinggi dilakukan 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus kepada bayi umur 6-11 bulan (kapsul vitamin A warna biru 100.000 SI) dan anak balita umur 12- 59 bulan (kapsul vitamin A warna merah 200.000 SI).