Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak di Kabupaten Karo Tahun 2014
ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM GIZI DALAM UPAYA PERBAIKAN GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK
DI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
TESIS
Oleh
AGUSTINA PERANGIN-ANGIN 127032108/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM GIZI DALAM UPAYA PERBAIKAN GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK
DI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
AGUSTINA PERANGIN-ANGIN 127032108/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM GIZI DALAM UPAYA PERBAIKAN GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK DI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
Nama Mahasiswa : Agustina Perangin-angin Nomor Induk Mahasiswa : 127032108
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D) (Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 07 Juli 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Ir. Etty Sudaryati, M.K.M, Ph.D Anggota : 1. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
2. Dr. Mhd. Arifin Siregar, M.S 3. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes
(5)
PERNYATAAN
ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM GIZI DALAM UPAYA PERBAIKAN GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK
DI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2014
Agustina Perangin-angin 127032108/IKM
(6)
ABSTRAK
Pelaksanaan program gizi di Kabupaten Karo belum menunjukkan hasil yang nyata dalam penanggulangan masalah gizi, yang tercermin dari masih rendahnya pencapaian cakupan program dan meningkatnya prevalensi gangguan pertumbuhan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan yang bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan program gizi meliputi komponen input, proses, output dan outcome dengan mengambil 4 puskesmas sebagai lokasi penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah Pejabat Dinas Kesehatan, TPG Puskesmas, Ibu yang mempunyai anak balita dan kelas 1 SD.
Hasil analisis menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan kekurangan dalam pelaksanaan program gizi baik dari segi komponen input, proses maupun output. Dari segi input, kurangnya tenaga gizi dan minimnya sarana dan prasarana penunjang program gizi. Dari segi proses, pelaksanaan program pemantauan pertumbuhan, pemberian ASI Eksklusif, tatalaksana gizi buruk dan pemberian kapsul vitamin A belum berjalan sebagaimana mestinya. Dari segi output, semua program, pencapaiannya masih dibawah target capaian. Berbagai keterbatasan dari semua faktor tersebut berdampak pada prevalensi gangguan pertumbuhan di Kabupaten Karo. Hal ini disebabkan masih rendahnya pengetahuan petugas, kurangnya tenaga konselor ASI, tidak adanya evaluasi program dan pembinaan dari dinas kesehatan serta tidak adanya koordinasi antar program terkait.
Diharapkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karo agar menambah tenaga gizi di puskesmas dan dukungan dana dari APBD untuk insentif kader serta melengkapi sarana dan prasarana. Kepada Dinas Kesehatan agar meningkatkan kinerja TPG Puskesmas, melatih kader posyandu, melakukan revitalisasi posyandu, menambah jumlah dan melatih tenaga konselor ASI, membentuk pos pemulihan gizi berbasis masyarakat, melakukan kampanye vitamin A, evaluasi program dan pembinaan puskesmas serta koordinasi antar program terkait.
(7)
ABSTRACT
The implementation of nutrient program in Karo District has not really resulted in coping with the problem of malnutrition because it is clearly seen that the coverage of the program is still low and the prevalence of growth disorder is increasing.
This qualitative study conducted at 4 (four) Puskesmas was aimed at analyzing the implementation of nutrient program including the components of input, process, and outcome. The informants for this study were the Official of Health Service, Puskesmas TPG Team, and the mothers with children under five-years old who sitting in the 1st
The result of analysis showed that there were alot of shortfall foundin the implementation of nutritient program either in terms of input, process or output components. In terms of input, the issues raised were the lack of nutrition experts and the minimum supporting facility and infrastructure of nutrient program. In terms of process, the problems answered are the implementation of growth monitoring program, exclusive breastfedding administration, malnutrition management and administration of Vitamin A capsules which have not been implemented properly. And in terms of output, the case discussed is that the achievement of all program is still below the coverage targeted. Various limitations of all of the factors brought an impact to the prevalence of growth disorder in Karo District. This happened because of the poor knowledge of the health workers, lack of exclusive breastfeeding councelor, the absence of program evaluation and development from Karo District health service and the absence of inter-related program coordination.
grade.
The Head of Karo District Government is expected to increase the number of nutrient experts assigned at Puskesmas and financial support from APBD (Regional Budget) fro the cadres’ incentives and to completely provide facility and infrastructure. The Head of Karo District Health Service should improve the performance of Puskesmas TPG Team, train the Posyandu (Integrated Service Post) cadres, do Posyandu revitalization, train and increase the number of exclusive breastfeeding councellors, establish the community-based nutritional recovery post, doVitamine A campaign, program evelkuiatin, do Puskemas developemt, and establish inter-related program coordination.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan Judul “Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak di Kabupaten Karo Tahun 2014”.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, semangat
dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Universitas Sumatera Utara.
4. Ir. Etty Sudaryati, M.K.M, Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan
Anggota Komisi Pembimbing Dra. Jumirah, Apt, M.Kes, atas segala
ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan,
(9)
5. dr. Arifin Siregar, M.S dan Ernawaty Nasution, SKM, M.Kes selaku Tim
Penguji yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna
penyempurnaan tesis ini.
6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karo yang telah memberikan izin
penelitian di Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan Puskesmas.
7. Kepala Puskesmas Tigapanah, Laubaleng, Berastagi dan Munte yang telah
mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerjanya.
8. Seluruh informan yaitu Kepala Bidang Bina Program, Kepala Seksi Gizi dan
Usila, TPG Puskesmas Tigapanah, Laubaleng, Berastagi dan Munte serta
Ibu-ibu balita di wilayah kerja puskesmas tempat lokasi penelitian yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini.
9. Secara khusus terima kasih buat Ayahanda Imat Perangin-angin, Kakakku Erna
Susanti Perangin-angin dan Adikku Efraim Febrinta Perangin-angin, ST, yang
telah memberikan motivasi, semangat dan dukungan doa, terima kasih yang tak
terhingga penulis ucapkan kepada suami saya Adum Ginting dan anak-anak
tercinta Mario Prananta Ginting Munte, Mabel Eyagina Ginting Munte yang
telah memberikan motivasi, pengertian, dukungan doa dan dana dalam
menyelesaikan perkuliahan ini.
10. Teman-teman seperjuangan pada minat studi Administrasi dan Kebijakan Gizi
(10)
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Untuk itu,
penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk
kesempurnaan tesis ini. Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Terima Kasih.
Medan, Juli 2014
Penulis
Agustina Perangin-angin 127032108/IKM
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Agustina Perangin-angin, perempuan berumur 41 tahun,
dilahirkan di P. Siantar pada tanggal 16 Agustus 1973, anak kedua dari lima
bersaudara. Penulis beragama Kristen Protestan, tinggal di Jalan Sudirman Complek
Conen No. 19 Kabanjahe Kabupaten Karo.
Jenjang pendidikan formal penulis dimulai di SD RK 4 P. Siantar pada tahun
1979 dan tamat pada tahun 1985. Pada tahun 1988, penulis menyelesaikan sekolah
menengah pertama di SMP Cinta Rakyat 2 P. Siantar. Pada Tahun 1991,
menyelesaikan pendidikan di SMA USI P. Siantar kemudian lanjut mengambil
pendidikan D1 di SPAG Lubuk Pakam dan selesai tahun 1992. Pada tahun 1998,
penulis melanjutkan studi D3 di Akademi Gizi Jakarta dan selesai pada tahun 2000.
Pada tahun 2004 mengambil pendidikan Strata-1 (S1) di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan selesai tahun 2006. Pada tahun 2012
diterima sebagai mahasiswa Program Sstudi S2 IKM di FKM USU dengan Minat
Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat.
Penulis mulai bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) di Puskesmas
Berastagi pada tahun 1993 sampai tahun 2000 sebagai TPG Puskesmas, kemudian
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Gangguan Pertumbuhan Anak ... 11
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pertumbuhan Anak ... 14
2.3. Program Gizi yang Berhubungan dengan Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak ... 19
2.3.1. Penanggulangan Kurang Energi dan Protein(KEP) ... 20
2.3.2. Penangulangan Kurang Vitamin A (KVA) ... 24
2.4. Landasan Teori ... 30
2.5. Kerangka Pikir ... 34
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 38
3.1. Jenis Penelitian ... 38
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38
3.3. Informan ... 39
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 40
3.4.1. Teknik Pengumpulan Data ... 41
3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data ... 42
3.5. Defenisi Istilah ... 42
3.6. Keabsahan Data ... 43
(13)
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 46
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 46
4.2. Krakteristik Informan ... 48
4.2.1. Karakteristik Pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Karo ... 49
4.2.2. Karakteristik Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas (TPG Puskesmas) ... 49 4.2.3. Karakteristik Ibu ... 50
4.3. Pelaksanaan Program Gizi ... 51
4.3.1. Masukan (Input) ... 52
4.3.1.1. Tenaga Gizi ... 52
4.3.1.2. Sarana dan Prasarana ... 54
4.3.2. Proses ... 57
4.3.2.1. Pelaksanaan Program Pemantauan Pertumbuhan.. 57 4.3.2.2. Pelaksanaan Program Pemberian ASI Eksklusif .... 66
4.3.2.3. Pelaksanaan Program Tatalaksana Gizi Buruk ... 4 69 4.3.2.4. Pelaksanaan Program Pemberian Kapsul Vit A ... 71
4.3.3. Keluaran (Output) ... 74
4.3.3.1. Program Pemantauan Pertumbuhan ... 4 74 4.3.3.2. Pemberian ASI Eksklusif ... 76
4.3.3.3. Program Tatalaksana Gizi Buruk ... 4 78 4.3.3.4. Program Pemberian Kapsul Vitamin A ... 80
4.3.4. Dampak (Outcome) ... 83
BAB 5. PEMBAHASAN ... 85
5.1. Analisis Masukan (Input) ... 85
5.1.1. Tenaga Gizi ... 85
5.1.2. Sarana dan Prasarana ... 88
5.2. Proses ... 89
5.2.1. Program Pemantauan Pertumbuhan ... 90
5.2.2. Program Pemberian ASI Eksklusif ... 93
5.2.3. Program Tatalaksana Gizi Buruk ... 4 95 5.2.4. Program Pemberian Kapsul Vitamin A ... 97
5.3. Keluaran (Output) ... 99
5.3.1. Program Pemantauan Pertumbuhan ... 4100 5.3.2. Pemberian ASI Eksklusif ... 100
5.3.3. Program Tatalaksana Gizi Buruk ... 4101 5.3.4. Program Pemberian Kapsul Vitamin A ... 101
(14)
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
6.1. Kesimpulan ... 107
6.2. Saran ... 110
DAFTAR PUSTAKA ... 113
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Indikator Kinerja dan Target Kegiatan Pembinaan Gizi Program Perbaikan Gizi Tahun 2010-2014 ...
27
3.1 Prevalensi Gangguan Pertumbuhan berdasarkan Hasil Survey
TBABS Tahun 1998, 2003 dan 2008 di Kabupaten Karo ...
39
4.1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rumah
Tangga, Desa dan Kelurahan di Kabupaten Karo Tahun 2013 ...
46
4.2 Sarana Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Karo Tahun 2013...
47
4.3 Karakteristik Informan Wawancara Mendalam TPG Puskesmas
Tigapanah, Berastagi, Munte dan Laubaleng ...
50
4.4 Karakteristik Informan Wawancara Mendalam pada Ibu yang
Mempunyai Anak Balita atau Anak Kelas 1 SD ...
51
4.5 Prevalensi Gangguan Pertumbuhan berdasarkan Hasil Survey
TBABS Tahun 1998, 2003 dan 2008 ...
(16)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Masalah Gizi menurut Siklus Kehidupan ... 15
2.2 Bagan Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya
Perbaikan Gangguan Pertumbuhan dengan Pendekatan Input, Proses, Output dan Outcome ...
33
2.3 Bagan Kerangka Pikir ... 36
4.1 Grafik Pencapaian D/S di Kabupaten Karo Tahun 2010-2013 ...
75
4.2 Grafik Pencapaian D/S per Puskesmas Tahun 2010-2013 ... 76
4.3 Grafik Pencapaian ASI Eksklusif di Kabupaten Karo Tahun
2010-2013 ...
77
4.4. Grafik Pencapaian ASI Eksklusif per Puskesmas Tahun 2010-2013 ...
78
4.5. Grafik Jumlah Kasus Gizi Buruk dan Gizi Buruk Dirawat per Puskesmas Tahun 2010-2013 ...
79
4.6. Grafik Kasus Gizi Buruk di Kabupaten Karo Tahun 2010-2013 .. 80
4.7. Grafik Pencapaian Pemberian Kapsul Vitamin A Biru dan Merah di Kabupaten Karo Tahun 2010-2013 ...
81
4.8. Grafik Pencapaian Pemberian Kapsul Vitamin A Biru per
Puskesmas Tahun 2010-2013 ...
82
4.9. Grafik Pencapaian Pemberian Kapsul Vitamin A Merah per
Puskesmas Tahun 2010-2013 ...
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Pejabat Dinas Kesehatan dan TPG Puskesmas ...
117
2. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Ibu yang mempunyai Anak
Balita atau Anak Kelas 1 SD ...
122
3. Surat Pernyataan Bersedia menjadi Informan Penelitian ... 124
4. Matriks Wawancara Mendalam Pejabat Dinas Kesehatan, TPG
Puskesmas dan Masyarakat ... 125
5. Surat Izin Penelitian ... 146
6. Surat Selesai Melakukan Penelitian ... 149
(18)
ABSTRAK
Pelaksanaan program gizi di Kabupaten Karo belum menunjukkan hasil yang nyata dalam penanggulangan masalah gizi, yang tercermin dari masih rendahnya pencapaian cakupan program dan meningkatnya prevalensi gangguan pertumbuhan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan yang bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan program gizi meliputi komponen input, proses, output dan outcome dengan mengambil 4 puskesmas sebagai lokasi penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah Pejabat Dinas Kesehatan, TPG Puskesmas, Ibu yang mempunyai anak balita dan kelas 1 SD.
Hasil analisis menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan kekurangan dalam pelaksanaan program gizi baik dari segi komponen input, proses maupun output. Dari segi input, kurangnya tenaga gizi dan minimnya sarana dan prasarana penunjang program gizi. Dari segi proses, pelaksanaan program pemantauan pertumbuhan, pemberian ASI Eksklusif, tatalaksana gizi buruk dan pemberian kapsul vitamin A belum berjalan sebagaimana mestinya. Dari segi output, semua program, pencapaiannya masih dibawah target capaian. Berbagai keterbatasan dari semua faktor tersebut berdampak pada prevalensi gangguan pertumbuhan di Kabupaten Karo. Hal ini disebabkan masih rendahnya pengetahuan petugas, kurangnya tenaga konselor ASI, tidak adanya evaluasi program dan pembinaan dari dinas kesehatan serta tidak adanya koordinasi antar program terkait.
Diharapkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karo agar menambah tenaga gizi di puskesmas dan dukungan dana dari APBD untuk insentif kader serta melengkapi sarana dan prasarana. Kepada Dinas Kesehatan agar meningkatkan kinerja TPG Puskesmas, melatih kader posyandu, melakukan revitalisasi posyandu, menambah jumlah dan melatih tenaga konselor ASI, membentuk pos pemulihan gizi berbasis masyarakat, melakukan kampanye vitamin A, evaluasi program dan pembinaan puskesmas serta koordinasi antar program terkait.
(19)
ABSTRACT
The implementation of nutrient program in Karo District has not really resulted in coping with the problem of malnutrition because it is clearly seen that the coverage of the program is still low and the prevalence of growth disorder is increasing.
This qualitative study conducted at 4 (four) Puskesmas was aimed at analyzing the implementation of nutrient program including the components of input, process, and outcome. The informants for this study were the Official of Health Service, Puskesmas TPG Team, and the mothers with children under five-years old who sitting in the 1st
The result of analysis showed that there were alot of shortfall foundin the implementation of nutritient program either in terms of input, process or output components. In terms of input, the issues raised were the lack of nutrition experts and the minimum supporting facility and infrastructure of nutrient program. In terms of process, the problems answered are the implementation of growth monitoring program, exclusive breastfedding administration, malnutrition management and administration of Vitamin A capsules which have not been implemented properly. And in terms of output, the case discussed is that the achievement of all program is still below the coverage targeted. Various limitations of all of the factors brought an impact to the prevalence of growth disorder in Karo District. This happened because of the poor knowledge of the health workers, lack of exclusive breastfeeding councelor, the absence of program evaluation and development from Karo District health service and the absence of inter-related program coordination.
grade.
The Head of Karo District Government is expected to increase the number of nutrient experts assigned at Puskesmas and financial support from APBD (Regional Budget) fro the cadres’ incentives and to completely provide facility and infrastructure. The Head of Karo District Health Service should improve the performance of Puskesmas TPG Team, train the Posyandu (Integrated Service Post) cadres, do Posyandu revitalization, train and increase the number of exclusive breastfeeding councellors, establish the community-based nutritional recovery post, doVitamine A campaign, program evelkuiatin, do Puskemas developemt, and establish inter-related program coordination.
(20)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk
mencapainya, faktor gizi memegang peranan penting. Oleh sebab itu perbaikan gizi
diperlukan pada seluruh siklus kehidupan mulai sejak masa kehamilan, bayi, anak
balita, pra sekolah, anak SD/MI, remaja dan dewasa sampai usia lanjut (Depkes RI,
2005). Dari seluruh siklus kehidupan ini, masa kehamilan merupakan periode yang
sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak
sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan.
Ibu yang dalam masa kehamilannya kurang gizi (Kurang Energi Kronis/KEK)
mempunyai resiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah/BBLR.
Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi BBLR akan tumbuh dan
berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat yang dapat
menyebabkan gagal tumbuh pada anak, terlebih lagi apabila mendapat ASI Eksklusif
yang kurang dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Jika keadaan ini
berlanjut maka akan terjadi kekurangan gizi sampai masa balita.
Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan
sumberdaya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama pasca kelahiran
(21)
perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada
masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit
diperbaiki apalagi ditambah dengan masalah kurang gizi lain yaitu kekurangan zat
gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Seperti telah diketahui
bahwa anak-anak yang kurang vitamin A meskipun pada derajat sedang mempunyai
risiko tinggi untuk mengalami gangguan pertumbuhan. Balita yang kurang gizi
biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan dan cenderung tumbuh menjadi
remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang
rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa
yang pendek dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai
risiko melahirkan bayi BBLR lagi dan seterusnya (Hadi, 2005). Tidak terlaksananya
program penanggulangan untuk masalah ini dan tidak adanya pencapaian perbaikan
pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya akan
menimbulkan dampak masalah gangguan pertumbuhan pada anak.
Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak
secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva
pertumbuhan WHO 2005 (Depkes RI, 2010). Keadaan ini dapat diketahui melalui
pemantauan Tinggi Badan Anak. Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan
anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan
(22)
pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani
(WHO, 2010).
Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek
ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis.
Penelitian Soekirman (2000) menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pertumbuhan
pada anak usia sekolah di Indonesia sebesar 30% di pedesaan dan 18% di wilayah
perkotaan. Hasil penelitian di beberapa daerah juga menunjukkan prevalensi anak
yang mengalami gangguan pertumbuhan juga masih tinggi, salah satunya di
Kabupaten Barito sebesar 36,4% (Nurhamidi, 2008).
Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus
kehidupan seperti Kurang Energi Protein pada balita, Ibu Hamil KEK, kurang zat
mikro (vitamin A, zat besi, yodium) dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pertumbuhan pada anak, maka diperlukan kebijakan dan strategi dalam perbaikan gizi
di setiap siklus kehidupan. Program perbaikan gizi merupakan salah satu strategi
yang digunakan untuk memperbaiki status gizi masyarakat. Program ini merupakan
bagian integral dari program kesehatan yang harus dilaksanakan secara sistematis
dan berkesinambungan melalui suatu rangkaian upaya mulai dari perumusan masalah,
penetapan tujuan, penentuan strategi intervensi yang tepat sasaran, identifikasi
kegiatan serta adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi (Depkes RI, 2010).
Menurut Azwar (2004), untuk meningkatkan pelayanan gizi dan pemantauan
pertumbuhan pada masyarakat, pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan
(23)
program yang efektif dalam upaya perbaikan gizi diperlukan perencanaan, monitoring
dan evaluasi yang baik. Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan sumber daya yang
berkompeten di bidangnya untuk menanggulangi masalah gizi di masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan sumber daya kesehatan dalam
program perbaikan gizi selama ini masih belum efektif (sasaran tercapai) dan efisien
dalam arti penggunaan sumber daya (input) yang minimal dapat mengahasilkan
keluaran yang optimal. Hal ini dikarenakan kebijakan penggunaan sumberdaya
kesehatan untuk kegiatan program perbaikan gizi sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor dan tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi masing-masing daerah yang
dapat mempengaruhi pencapaian efektivitas pelayanan gizi (Alibas, 2006).
Indonesia telah melaksanakan upaya perbaikan gizi sejak tiga puluh tahun
yang lalu. Upaya yang dilakukan di fokuskan untuk mengatasi masalah gizi utama
yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi
(AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) melalui intervensi yang
mencakup penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan pertumbuhan, pemberian
suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi dan tablet besi),
fortifikasi garam beryodium, pemberian makanan tambahan termasuk Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), pemantauan dan penanganan gizi buruk
(Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi
utama namun penurunannya dinilai kurang cepat.
Hasil riskesdas menunjukkan besaran masalah gizi di Indonesia seperti
(24)
terjadi peningkatan sebesar 18,4% pada tahun 2007 menjadi 19,6% pada tahun 2013,
begitu juga halnya dengan prevalensi pendek pada anak balita sebesar 36,8% pada
tahun 2007 meningkat menjadi 37,3% pada tahun 2013 tetapi untuk prevalensi kurus
terjadi penurunan dimana pada tahun 2007 sebesar 13,6% menjadi 12,1% pada tahun
2013. Untuk kunjungan ke posyandu, frekuensi kunjungan balita ke Posyandu
semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai gambaran
berdasarkan hasil riskesdas 2007, proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di
Posyandu 91,3%, pada anak usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia
24-35 bulan turun menjadi 73,3%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, terjadi peningkatan
untuk proporsi anak yang tidak pernah dipantau pertumbuhannya sebesar 34,3%.
Untuk cakupan vitamin A secara nasional meningkat menjadi 75,5% begitu juga
dengan persentase garam beryodium tingkat rumah tangga terjadi peningkatan
sebesar 77,1% demikian juga halnya prevalensi pemberian tablet tambah darah (Fe3)
pada ibu hamil dimana pada tahun 2010 sebesar 18 % meningkat pada tahun 2013
sebesar 33,2 %. Hasil riskesdas juga menunjukkan proporsi anak pendek untuk anak
baru masuk sekolah (umur 6-7 tahun) yaitu untuk anak laki-laki 27,7% dan anak
perempuan 25,5%. WHO (2010) yang dikutip dari hasil riskesdas (2013) menyatakan
bahwa masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar
30 – 39 % dan serius bila prevalensi pendek ≥ 40%. Sebanyak 14 propinsi termasuk kategori berat dan 15 propinsi termasuk kategori serius dan salah satunya adalah
(25)
Berdasarkan hasil riskesdas ini dapat dinalisis bahwa kejadian kurang gizi
pada balita dan masalah gangguan pertumbuhan anak masih mengalami peningkatan.
Ini sejalan dengan penelitian Handayani, dkk (2008) yang menyatakan bahwa masih
banyak balita yang berstatus gizi kurang sehingga status gizi anak perlu ditingkatkan
dengan mengadakan program pemberian makanan tambahan (PMT). Begitu juga
dengan pernyataan Jahari (2005) dimana penurunan masalah KEP tidak konsisten,
karena prevalensinya turun naik dan bila dipilah menjadi gizi kurang dan gizi buruk
prevalensinya masih tinggi pada tahun 2003. Selanjutnya Jahari juga menyatakan
bahwa masalah tinggi badan terutama prevalensi anak balita pendek (stunted)
menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti dan cenderung meningkat.
Meningkatnya prevalensi ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada anak sudah
merupakan masalah yang serius. Hal senada juga diungkapkan oleh Atmarita (2004)
tentang status gizi anak baru masuk sekolah yang hanya sedikit sekali peningkatan
status gizi yang terjadi, dengan kata lain masih banyak anak dikategorikan pendek
sekitar 30-40%.
Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi, Kabupaten Karo
telah melakukan kegiatan program perbaikan gizi yaitu 1) penanggulangan KEP
melalui pemantauan pertumbuhan, penanganan gizi buruk dengan Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), ASI
Eksklusif, 2) penanggulangan KVA melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi,
3) penanggulangan AGB melalui pemberian tablet tambah darah (Fe) kepada ibu
(26)
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diketahui melalui pencapaian
indikator outputnya dengan melihat capaian target yang telah ditetapkan sebelumnya
dan hasilnya menunjukkan pencapaian cakupan program gizi di Kabupaten Karo
masih dibawah target.
Berdasarkan hasil program penanggulangan KEP melaui kegiatan pemantaun
pertumbuhan di posyandu yang dilihat dari pencapaian indikator D/S selama 5 tahun
terakhir menunjukkan peningkatan yang tidak berarti dimana pada tahun 2009
sebesar 55,8%, tahun 2010 57,6% tahun 201152,7% tahun 2012 61,7% dan hanya
sedikit peningkatan pada tahun 2013 sebesar 65,4% masih jauh dibawah target yang
ditetapkan sebesar 80 %. Untuk capaian ASI Eksklusif terjadi peningkatan dimana
pada tahun 2009 sebesar 14,3% meningkat pada tahun 2013 sebesar 55% tapi masih
dibawah target pencapaian yaitu 75%. Begitu juga halnya dengan capaian pemberian
tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil masih dibawah target pencapaian yaitu
sebesar 82,9% pada tahun 2013 sedangkan target sebesar 93%. Untuk kasus gizi
buruk terjadi penurunan dimana pada tahun 2013 hanya 13 kasus tapi untuk jumlah
balita gizi kurang terjadi peningkatan dimana pada tahun 2011 sebanyak 265 balita
menderita gizi kurang menjadi 357 balita pada tahun 2013 (Dinkes Kab. Karo, 2013).
Kasus kurang gizi pada balita sering terjadi seperti fenomena gunung es yang tidak
muncul kepermukaan akibat dari pendataan yang kurang baik.
Survey Tinggi Badan Anak Baru masuk Sekolah (TBABS) di Kabupaten
Karo telah dilaksanakan sebanyak 3 kali yaitu tahun 1998, 2003 dan 2008. Dari hasil
(27)
pertumbuhan sebesar 25,2%. Pada tahun 2003 terjadi penurunan sebesar 18,8% dan
pada tahun 2008 terjadi peningkatan sebesar 25,8%. Sedangkan rata-rata tinggi badan
anak baru masuk sekolah baik pada tahun 2003 dan 2008 masih dibawah angka
nasional yaitu 110,5 cm untuk anak laki-laki dan 109,2 untuk anak perempuan.
Kabupaten Karo yang terdiri dari 17 Kecamatan dengan 19 Puskesmas, dilihat
dari ketenagaan mempunyai 25 orang Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas
berlatar belakang pendidikan gizi yang artinya semua puskesmas telah memiliki
tenaga pelaksana gizi dengan rata-rata tenaga 1 orang per puskesmas. Dengan tenaga
ini diharapkan dapat melayani penduduk Kabupaten Karo yag berjumlah 358.823
jiwa yang tersebar dalam wilayah seluas 2.127,25 km2
Menurut Hadi (2005), tenaga gizi yang bekerja di Dinas Kesehatan maupun di
Rumah Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan D1. Kompetensi
yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan
masalah gizi dan kesehatan saat ini, apalagi untuk menangani masalah gizi dan
kesehatan 10 – 20 tahun mendatang.
(Profil Dinkes Kab. Karo,
2013). Jika dilihat dari Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman
Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Tingkat Propinsi,
Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit dengan mengacu pada metode perhitungan
kebutuhan tenaga berdasarkan pendekatan rasio terhadap nilai tertentu yang
menyatakan bahwa pada tahun 2014 diharapkan tenaga gizi 24 per 100.000 penduduk
(Depkes RI, 2011) maka jumlah TPG Puskesmas di Kabupaten Karo belum
(28)
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa program gizi belum
menunjukkan hasil yang nyata dalam penanggulangan masalah gizi. Keberhasilan
program sangat ditentukan oleh ketepatan dalam melakukan intervensi. Intervensi
tidak hanya dari sisi masyarakat, tetapi juga dari sisi managemen. Masih kurang
tingginya pencapaian cakupan program gizi dan meningkatnya prevalensi gangguan
pertumbuhan kemungkinan disebabkan karena pelaksanaan program perbaikan gizi
yang tidak maksimal sementara sejauh ini belum banyak dilakukan analisis
pelaksanaan program perbaikan gizi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
masalah gizi sedangkan informasi ini sangat dibutuhkan untuk perumusan kebijakan
program perbaikan gizi. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan analisis
pelaksanaan program perbaikan gizi yang berhubungan dengan program gizi balita
dan difokuskan dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan pada anak baru
masuk sekolah. Diambil program gizi balita karena gangguan pertumbuhan
merupakan gambaran dari status gizi masa lalu yang dapat dilihat pada masa balita.
1.2. Permasalahan
Bagaimanakah pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan
pertumbuhan anak di Kabupaten Karo tahun 2014?
1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan
(29)
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai
bahan kajian guna pengembangan teori upaya perbaikan gangguan
pertumbuhan anak.
2. Bagi Puskesmas sebagai bahan informasi agar dapat dipakai sebagai evaluasi
dan perencanaan terhadap upaya penurunan prevalensi gangguan pertumbuhan
anak.
3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sebagai masukan dalam perumusan
kebijakan program perbaikan gizi untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan
(30)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Gangguan Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di ukur
dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur
tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik
(Soetjiningsih, 1995).
Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak. Secara garis besar
faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu faktor dalam (internal)
yang terdiri dari dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin,
kelainan genetik, dan kelainan kromosom dan faktor luar (eksternal/lingkungan) yang
terdiri dari gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial ekonomi.
Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses
pertumbuhan anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam
darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan
kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak Indonesia
(Sunawang, 2002) menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi
pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu
(31)
Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak
secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva
pertumbuhan WHO 2005 (Kemenkes RI, 2010).
Penilaian gangguan pertumbuhan dapat dilakukan sedini mungkin sejak anak
dilahirkan. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan pertumbuhan anak
secara dini, sehingga upaya pencegahan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas
pada masa-masa kritis proses pertumbuhan sesuai dengan umur anak, dengan
demikian dapat tercapai kondisi pertumbuhan yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan
Kesmas, 1997). Penilaian pertumbuhan dapat dilakukan melalui penilaian
pertumbuhan fisik salah satunya adalah melalui pemantauan tinggi badan anak.
Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan
dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan untuk menentukan apakah
anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada
kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani (WHO, 2010).
Penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Dasar utama
dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat baku
(standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian harus dilakukan
dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk
menilai kecepatan pertumbuhan.
Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan
(32)
atas, panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Menurut Pedoman Deteksi
Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra
(2003) macam-macam penilaian pertumbuhan fisik yang dapat digunakan adalah:
1. Pengukuran Berat Badan (BB)
Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan
keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu
Menuju Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya
dan dilakukan interfensi jika terjadi penyimpangan.
2. Pengukuran Tinggi Badan (TB)
Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan
berbaring sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri. Hasil
pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik
pertumbuhan tinggi badan.
3 Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA)
PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti
perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak
maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada
diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai
standar.
Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan di atas normal
(33)
KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui pola
pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik berat badan anak lebih
dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau kelainan hormonal.
Sedangkan, apabila grafik berat badan di bawah normal kemungkinan anak
mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal. Anak
yang kurang gizi akan berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan
perkembangan mentalnya.
2.2.Faktor-faktor yang Memengaruhi Gangguan Pertumbuhan Anak
Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan. Dari seluruh
siklus kehidupan, masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan
kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh
kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa
keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu
pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia
sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi saat lahir dan balita. Hal ini
(34)
Gambar 2.1. Masalah Gizi menurut Siklus Kehidupan (Atmarita, 2004)
Pada gambar 2.1, dijelaskan bahwa masalah gizi dapat terjadi pada seluruh
siklus kehidupan. Selajutnya untuk memberikan gambaran keadaan masalah gizi pada
masing-masing siklus dapat dijelaskan berikut ini:
Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu. Sejak itu,
manusia kecil telah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya
menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang
mengandungnya. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi maka janin
tersebut akan mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah yang
mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan berikutnya.
W US KEK W US KEK
BUM I L KEK BUM I L KEK ( KEN AI KAN ( KEN AI KAN BBBB
REN DAH) RENDAH)
BBLR
BBLR
BALI TA KEP BALI TA KEP
REM AJA & REM AJA & USI A SEKOLAH USI A SEKOLAH
GAN GGUAN GAN GGUAN PERTUM BUHAN PERTUM BUHAN USI A LAN JUT
USI A LAN JUT KURAN G GI ZI KURAN G GI ZI
I MR, perkembangan mental terhambat, risiko penyakit kronis pada usia dewasa
Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar
Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai
Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang
Tumbuh kembang terhambat
Produktivitas
fisik berkurang/ rendah Pelayanan kesehatan tidak memadai MMR Konsumsi Kurang Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang
Gi zi j an i n t i d ak b ai k
W US KEK W US KEK
BUM I L KEK BUM I L KEK ( KEN AI KAN ( KEN AI KAN BBBB
REN DAH) RENDAH)
BBLR
BBLR
BALI TA KEP BALI TA KEP
REM AJA & REM AJA & USI A SEKOLAH USI A SEKOLAH
GAN GGUAN GAN GGUAN PERTUM BUHAN PERTUM BUHAN USI A LAN JUT
USI A LAN JUT KURAN G GI ZI KURAN G GI ZI
I MR, perkembangan mental terhambat, risiko penyakit kronis pada usia dewasa
Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar
Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai
Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang
Tumbuh kembang terhambat
Produktivitas
fisik berkurang/ rendah Pelayanan kesehatan tidak memadai MMR Konsumsi Kurang Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang
Gi zi j an i n t i d ak b ai k
(35)
Krisis ekonomi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 - 2000 telah
menjadikan asupan zat gizi ibu hamil dari masyarakat kurang mampu khususnya
menurun secara signifikan dan menjadikan mereka mengalami Kurang Energi Kronis
(KEK) yang didefinisikan dengan Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm. Meskipun
tidak ada penelitian khusus yang mendokumentasikan efek dan krisis ekonomi
terhadap outcome kehamilan, tetapi penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini
menunjukkan dengan jelas bahwa bayi yang lahir dari ibu-ibu yang mengalami KEK
mempunyai rata-rata berat badan lahir 2.568 gram atau 390,9 gram lebih rendah
dibandingkan rata-rata berat badan lahir bayi yang lahir dari ibu-ibu yang tidak
mengalami KEK. Ibu Hamil yang mengalami KEK mempunyai risiko melahirkan
bayi dengan BBLR 5 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK
(Mustika 2004). Tingginya angka kurang gizi pada ibu hamil ini mempunyai
kontribusi terhadap tingginya angka BBLR di Indonesia yang diperkirakan mencapai
350.000 bayi setiap tahunnya (Depkes, 2004). Anemia merupakan masalah kesehatan
lain yang paling banyak ditemukan pada ibu hamil. Kurang lebih 50% atau 1 diantara
2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia yang sebagian besar karena kekurangan
zat besi. Konsekuensi lain dari anemia pada ibu hamil adalah tingginya risiko
melahirkan bayi prematur dan bayi BBLR. Selain KEK dan anemia defisiensi besi,
ibu hamil juga rawan terhadap kekurangan zat gizi lain seperti vitamiin A, yodium,
dan zinc. Kekurangan zat-zat gizi ini secara bersama-sama akan membawa dampak
(36)
Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah umumnya akan mengalami
kehidupan masa depan yang kurang baik. Bayi BBLR mempunyai risiko lebih tinggi
untuk meninggal dalam lima tahun pertama kehidupan. Mereka yang dapat bertahan
hidup dalam lima tahun pertama akan mempunyai risiko lebih tinggi untuk
mengalami hambatan dalam kehidupan jangka panjangnya. Bagi bayi non BBLR,
pada umumnya mereka mempunyai status gizi saat lahiryang kurang lebih sama
dengan status gizi bayi di negara lain. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya
umur, disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan
kebutuhan serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka
sebagian besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak
penurunan pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok umur inilah
prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi
(Hadi, 2001). Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya
mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita yang kurang gizi mempunyai
risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Kekurangan
gizi pada balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi
seperti vitamin A, zat besi, yodium dan zinc.
Masa balita menjadi lebih penting lagi oleh karena merupakan masa yang
kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Terlebih lagi
6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan
masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
(37)
ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang
menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah
dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF, 1998 dikutip oleh
Hadi, 2005).
Masalah kurang gizi lain yang dihadapi anak usia balita adalah kekurangan zat
gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Lebih dan 50% anak
balita mengalami defisiensi vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum retinol
<20 mcg/dl (Hadi, 2000) dan satu diantara dua (48.1%) dari mereka menderita
anemia kurang zat besi (SKRT, 2001). Seperti telah diketahui bahwa anak-anak yang
kurang vitamin A meskipun pada derajat sedang mempunyai risiko tinggi untuk
mengalami gangguan pertumbuhan, menderita beberapa penyakit infeksi seperti
campak, dan diare.
Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka BBLR dan kurang gizi pada
masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth)
yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila pada usia sekolah
banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia
sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang
merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin
meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik pada
laki-laki maupun perempuan. Jika diamati perubahan prevalensi anak pendekdari tahun ke
(38)
karena perubahan yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dan 39,8% pada tahun 1994
menjadi 36,1% pada tahun 1999 (Depkes, 2004).
Gagal tumbuh antar generasi ibu hamil yang mengalami kurang gizi
mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil
yang tidak menderita kurang gizi. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan,
bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan lebih lambat, terlebih lagi apabila mendapat ASI Ekslusif yang kurang
dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Oleh karena itu bayi BBLR
cenderung besar menjadi balita dengan status gizi yang lebih jelek. Balita yang
kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan juga terutama apabila
konsumsi makanannya tidak cukup dan pola asuh tidak benar. Oleh karena itu balita
kurang gizi cenderung tumbuh menjadi remaja yang mengalami gangguan
pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh
dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa yang pendek dan apabila itu
wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR
lagi, dan seterusnya (Hadi, 2005).
2.3. Program Gizi yang Berhubungan dengan Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak
Program perbaikan gizi merupakan bagian integral dari program kesehatan
yang mempunyai peranan penting dalam menciptakan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan tersebut, program perbaikan gizi
(39)
melalui suatu rangkaian upaya terus menerus mulai dari perumusan masalah,
penetapan tujuan yang jelas, penentuan stategi intervensi yang tepat sasaran,
identifikasi kegiatan yang tepat serta adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi
institusi yang berperan di berbagai tingkat administrasi.
Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak
tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan difokuskan untuk mengatasi
masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA),
Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) melalui
intervensi yang mencakup penyelenggaraan posyandu dengan pemantauan
pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi dan tablet besi), fortifikasi garam beryodium, pemberian makanan tambahan
termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), tatalaksana gizi buruk
(Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi
utama namun penurunannya dinilai kurang cepat. Adapun program penanggulangan
ke empat masalah gizi tersebut adalah sebagai berikut:
2.3.1. Penanggulangan Kurang Energi dan Protein (KEP)
KEP merupakan suatu bentuk masalah gizi yang termasuk dalam kategori
kurang gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor makanan yang
tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta karena infeksi, yang
berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi baik atau normal menjadi
bergizi kurang atau buruk. Untuk mengetahui ada tidaknya KEP pada anak perlu
(40)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan besaran masalah KEP
di Indonesia, yaitu gizi kurang, pendek dan kurus. Ke-tiga bentuk masalah KEP
tersebut mempunyai riwayat dan pendekatan pemecahan yang berbeda. Prevalensi
gizi kurang tahun 2007 secara nasional sebesar 18,4% sedangkan pada tahun 2013
sebesar 19,6%. Prevalensi gizi kurang juga sangat bervariasi antar perkotaan -
perdesaan, antar tingkat ekonomi, dan antar tingkat pendidikan. Selain masalah gizi
kurang riskesdas juga mengungkap tingginya prevalensi pendek pada anak balita
2007 sebesar 36,8% dan 37,2% pada tahun 2013, prevalensi kurus 2007 sebesar
13,6% dan 12,1% tahun 2013. Status gizi anak sangat terkait dengan status gizi ibu
hamil. Prevalensi ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK) 2007
diperkirakan sebesar 13,6%. Ibu hamil KEK akan beresiko melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR).
Upaya-upaya yang dilakukan berkaitan dengan penanggulangan masalah gizi
kurang antara lain penyelenggaraan posyandu dengan pemantauan pertumbuhan,
pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI serta
tatalaksana gizi buruk yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Program Pemantauan Pertumbuhan
Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukan melalui penimbangan berat
badan dan tinggi badan atau panjang badan yang dapat dilakukan baik di posyandu
maupun diluar posyandu. Kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap bulan. Tujuan
(41)
normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah
gangguan pertumbuhan yang perlu ditangani.
Anak yang mempunyai masalah pertumbuhan atau kecenderungan mengalami
masalah gangguan pertumbuhan dicari faktor penyebabnya agar dapat dilakukan
tindakan mengatasi atau memecahkan faktor-faktor yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan tersebut. Menilai pertumbuhan jika tidak didukung oleh tindak lanjut
yang sesuai tidak dapat meningkatkan status gizi dan kesehatan anak.
Hasil pemantauan dinilai melalui indikator D/S, K/S dan N/D. Indikator D/S
digunakan untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap kegiatan posyandu,
indikator K/S untuk mengetahui cakupan program penimbangan dan indikator N/D
untuk mengetahui keberhasilan program.
Berdasarkan hasil riskesdas menunjukan secara nasional cakupan
penimbangan balita (anak pernah ditimbang di posyandu sekurang-kurangnnya satu
kali selama sebulan terakhir) di posyandu sebesar 74,5%. Frekuensi kunjungan balita
ke posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai
gambaran proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di posyandu 91,3%, pada anak
usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan turun menjadi
73,3%.
Masalah yang berkaitan dengan kunjungan posyandu antara lain
tersedianya dana operasional untuk menggerakkan kegiatan posyandu, tersedianya
sarana dan prasarana serta bahan penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader
(42)
serta konseling masih lemah, masih kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat
akan manfaat posyandu serta masih terbatasnya pembinaan kader (Minarto, 2011).
2. Program ASI Eksklusif
ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan
selama 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman lain, kecuali obat, vitamin dan
mineral. Menurut Lancet (2010) yang dikutip oleh Depkes RI (2013), pemberian ASI
Eksklusif dapat menurunkan angka kematian bayi sebesar 13% dan dapat
menurunkan prevalensi balita pendek.
Upaya perbaikan gizi melalui penerapan pemberian ASI Eksklusif telah
diamanatkan melalui Undang-undang No. 36 tahun 2009 bahwa bayi berhak
mendapatkan ASI Eksklusif dan Peraturan Pemerintah RI No. 33/2012 menyebutkan
bahwa Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
bertanggungjawab dalam pemberian ASI Eksklusif. Selain itu, untuk meningkatkan
pemberian ASI Eksklusif pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI telah
menetapkan program Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM)
dan melatih tenaga konselor untuk memberikan konseling dan penyuluhan kepada ibu
menyusui. Dengan adanya tenaga konselor ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan ibu dalam pemberian ASI karena ASI merupakan makanan terbaik bayi.
Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi
dan menunjukkan kecenderungan menurun selama 3 tahun terakhir. Cakupan
pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi
(43)
sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008.
Cakupan pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih
sangat terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang
Pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan
kampanye terkait pemberian ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana
KIE ASI dan belum optimalnya membina kelompok pendukung ASI.
3. Program Tatalaksana Gizi Buruk
Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak
ditangani secara cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian.
Perawatan gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk
rawat inap di Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi
(Terapheutic Feeding Center) sedangkan Gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan
perawatan rawat jalan di Puskesmas, Poskesdes dan Pos Pemulihan Gizi berbasis
masyarakat (Community Feeding Centre/CFC).
Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau
ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk
melaksanakan tatalaksana gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan
prasana untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya
tindak lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah (Minarto, 2011).
2.3.2. Penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA)
Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Ada 3 fungsi vitamin
(44)
dan fungsi dalam proses reproduksi. Hubungan vitamin A dengan pertumbuhan
dalam fungsinya sebagai metabolisme umum yang berkaitan dengan metabolisme
protein. Pada defesiensi vitamin A terjadi hambatan pertumbuhan. Dasar hambatan
pertumbuhan ini karena hambatan sintesa protein. Gejala ini tampak terutama pada
anak-anak (balita), yang sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat.
Sintesa protein memerlukan vitamin A sehingga pada defisiensi vitamin ini terjadi
hambatan sintesa protein yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan
(Sediaoetama, 2000). Salah satu program pemerintah untuk menanggulangi masalah
kurang vitamin A adalah dengan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
1. Program Pemberian Kapsul Vitamin A
Kapsul vitamin A yang digunakan dalam kegiatan suplementasi vitamin A
adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi. Sasarannya adalah bayi
(6-11 bulan), anak balita (12-59 bulan) dan ibu nifas (0-42 hari).
Suplementasi kapsul vitamin A pada balita dan ibu nifas bertujuan tidak hanya
untuk pencegahan kebutaan tetapi juga untuk penanggulangan Kurang Vitamin A
(KVA). Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian suplementasi
kapsul vitamin A sebanyak 2 kali setahun pada balita merupakan salah satu
intervensi kesehatan yang berdaya ungkit tinggi bagi pencegahan kekurangan vitamin
A dan kebutaan serta penurunan kejadian kesakitan dan kematian pada balita (Depkes
RI, 2009).
Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah
(45)
propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13%
dan indeks serum retinol kurang dari 20 µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut
menggambarkan terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survey
vitamin A pada tahun 1992.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A
secara nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi
dengan cakupan di bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat
mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian
kapsul vitamin A pada anak umur 12-59 bulan sebesar 79,2%. Provinsi dengan
cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan
sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian kapsul
vitamin A < 60% .
Masalah manajemen dan penyediaan kapsul vitamin A, merupakan masalah
yang dihadapi dalam peningkatan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Disamping
itu belum optimal pelaksanaan kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang
administrasi.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang
Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan salah satu sasaran pembangunan yang akan
dicapai adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 15%
dan menurunkan prevalensi balita pendek menjadi setinggi-tingginya 32%. Untuk
mencapai RPJMN tersebut, dalam Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat telah
(46)
badannya, 2) Balita gizi buruk mendapat perawatan, 3) Balita mendapat kapsul
vitamin A, 4) Bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eskklusif, 5) Ibu hamil mendapat 90
tablet Fe, 6) Rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium, 7) Melaksanakan
surveilans gizi, 8) Penyediaan stock cadangan (buffer stock) MP-ASI untuk daerah
bencana.
Adapun indikator kinerja dan target kegiatan pembinaan gizi program
perbaikan gizi tahun 2010-2014 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Indikator Kinerja dan Target Kegiatan Pembinaan Gizi Program Perbaikan Gizi Tahun 2010-2014
No Indikator Kinerja Target
2010 2011 2012 2013 2014
1. Persentase balita ditimbang berat
badannya (% D/S) 65 70 75 80 85
2. Balita gizi buruk mendapat perawatan 100 100 100 100 100
3. Persentase balita 6-59 bulan mendapat
kapsul vitamin A 75 78 80 83 85
4. Persentase bayi usia 0-6 bulan mendapat
Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif 65 67 70 75 80
5. Persentase ibu haml mendapat 90 tablet
Fe 84 86 90 93 95
6. Cakupan rumah tangga yang
mengkonsumsi garam beryodium 75 77 80 85 90
7. Persentase kabupaten/kota melaksanakan
surveilans gizi 100 100 100 100 100
8.
Persentase penyediaan buffer stock Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) untuk daerah bencana
100 100 100 100 100
Sumber : Depkes RI, 2012
Selain indikator diatas yang perlu dicapai, ada juga indikator gizi lainnya yang
secara berkala diperlukan seperti: 1) prevalensi balita gizi kurang berdasarkan
(47)
prevalensi resiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur (WUS) dan
ibu hamil, 4) prevalensi anemia gizi besi dan Gangguan Akibat Kurang Yodium
(GAKY), kurang Vitamin A (KVA) dan masalah gizi mikro lainnya, 5) tingkat
konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (defisiensi zat besi dan
yodium), 6) data pendistribusian MP-ASI dan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT), 7) data terkait lainnya yang diperlukan (Depkes RI, 2012).
Menurut Azwar (1988), ada 4 unsur pokok dalam sistem pelayanan kesehatan
yang sangat berperan menentukan berhasil atau tidaknya program yang
diselenggarakan, yaitu unsur masukan (input), unsur proses (process), unsur keluaran
(output) dan unsur dampak (outcome). Adapun penjelasan masing-masing unsur
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Masukan (input) adalah semua hal yang diperlukan untuk terselenggaranya
pelayanan gizi, yang terdiri dari 6 M yaitu man (orang), money (dana), material
(sarana dan prasarana), metode (cara), market (sasaran), minute (jangka waktu
pelaksanaan kegiatan).
b. Proses adalah semua tindakan yang dilakukan dalam pelayanan gizi yang terdiri
dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, pengawasan
dan pengendalian.
c. Keluaran (output) adalah yang menunjuk pada hasil pelayanan yang dilakukan
dalam bentuk cakupan kegiatan program yaitu jumlah kelompok masyarakat
yang sudah diberikan pelayanan kesehatan dibandingkan dengan jumlah
(48)
d. Dampak (outcome) adalah akibat yang dihasilkan dari pelayanan yang
dilakukan yang dapat diukur melalui peningkatan status kesehatan masyarakat.
Keberhasilan program perbaikan gizi tidak terlepas dari peran puskesmas
sebagai organisasi pelayanan kesehatan fungsional terdepan. Kegiatan program
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat terlaksana
dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya
program gizi terdiri dari sumber daya manusia (TPG Puskesmas), sarana dan
prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan
kegiatan pokok program perbaikan gizi merupakan proses yang bertujuan untuk
menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan program dan
selanjutnya dapat memberikan dampak sesuai yang diharapkan (outcome).
Peran TPG Puskesmas menjadi sangat penting karena merekalah sebagai
pelaksana program gizi di puskesmas yang langsung menghadapi masyarakat.
Pengembangan sumber daya manusia terutama tenaga gizi puskesmas, pengetahuan
dan keterampilan merupakan kebutuhan dalam upaya pencapaian efektivitas program
gizi selain peningkatan ketersediaan tenaga gizi dan sarana. Namun demikian,
pengembangan SDM bidang gizi akan sangat tergantung dengan latar belakang
pendidikan yang dimliki, motivasi yang dimiliki serta kebijakan pimpinan puskesmas
dalam mendorong tenaganya untuk terus mengembangkan kemampuannya. Menurut
Hadi (2005), masalah gizi dan kesehatan di masa yang akan datang di Indonesia akan
semakin komplek, satu sama lain saling terkait dan oleh karena itu
(49)
Pada saat ini tenaga gizi yang bekerja di jajaran Dinas Kesehatan maupun di Rumah
Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan Dl. Kompetensi minimal
yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan
masalah gizi dan kesehatan saat ini dan apalagi untuk menangani masalah gizi dan
kesehatan 10-20 tahun mendatang. Oleh karena itu perguruan tinggi perlu mengambil
peranan dalam mendefinisikan ulang kompetensi ahli gizi Indonesia dan
memformulasikannya dalam bentuk kurikulum pendidikan tinggi yang dapat
memenuhi tuntutan zaman. Peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam
memberikan kritik maupun saran bagi pemerintah agar supaya pembangunan
kesehatan tidak menyimpang dan tuntutan masalah yang riil berada di tengah-tengah
masyarakat.
2.4. Landasan Teori
Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di
masa depan karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat
masa janin dalam kandungan. Ibu yang dalam masa kehamilannya kurang gizi
(Kurang Energi Kronis/KEK) mempunyai resiko melahirkan bayi dengan Berat
Badan Lahir Rendah/BBLR. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi
BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan lebih lambat yang dapat menyebabkan gagal tumbuh pada anak,
(50)
ASI yang tidak cukup. Jika keadaan ini berlanjut maka akan terjadi kekurangan gizi
sampai masa balita.
Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan
sumberdaya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama pasca kelahiran
merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada
masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit
diperbaiki apalagi ditambah dengan masalah kurang gizi lain yaitu kekurangan zat
gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya.Balita yang kurang gizi
biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan dan cenderung tumbuh menjadi
remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang
rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa
yang pendek, dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai
risiko melahirkan bayi BBLR lagi, dan seterusnya (Hadi, 2005). Tidak terlaksananya
program penanggulangan untuk masalah ini dan tidak adanya pencapaian perbaikan
pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna masa masa berikutnya akan
menimbulkan dampak masalah gangguan pertumbuhan pada anak.
Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak
secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva
pertumbuhan WHO 2005 (Depkes RI, 2010). Keadaan ini dapat diketahui melalui
(51)
anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan
untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah
pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani
(WHO, 2010).
Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus
kehidupan seperti KEP pada balita, ibu hamil KEK, kurang zat gizi mikro (vitamin A,
zat besi, yodium) dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak,
maka diperlukan kebijakan dan strategi baru perbaikan gizi di setiap siklus
kehidupan. Program perbaikan gizi merupakan salah satu strategi yang digunakan
untuk memperbaiki status gizi masyarakat (Depkes RI, 2010).
Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak
tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan di fokuskan untuk mengatasi
masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA),
Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
melalui intervensi yang mencakup penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan
pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi dan tablet besi), pemantauan garam beryodium, pemberian makanan tambahan
termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan tatalaksana gizi buruk
(Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi
utama namun penurunannya dinilai kurang cepat (Aswar, 2004).
Pelaksanaan program perbaikan gizi tidak terlepas dari peran puskesmas
(52)
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat terlaksana
dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya
program gizi terdiri dari sumber daya manusia (petugas gizi puskesmas), sarana dan
prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan
pelaksanaan kegiatan pokok program perbaikan gizi merupakan proses yang
bertujuan untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan
program dan selanjutnya dapat memberikan dampak sesuai yang diharapkan
(outcome). Secara ringkas dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.2. Analisis Program Gizi terhadap Dampak Gangguan Pertumbuhan dengan Pendekatan Input, Proses, Output dan Out Come
(Dikembangkan dari Depkes RI, 2006 dan Soekirman 2001)
Tenaga
Sarana dan Prasarana
Biaya
1. Kurang Energi
dan Protein (KEP)
-Pemantauan Pertumbuhan -ASI Eksklusif -Tatalaksana
Gizi Buruk
2. Kurang Vitamin
A (KVA) -Pemberian
Kapsul Vit A
1. % D/S
2. % Balita gizi buruk dirawat
3. % balita mendapat vitamin A
4. % ASI Eksklusif
Dampak Kegiatan
Sumber Daya Program Perbaikan
Gizi Hasil Kegiatan Masalah Gizi: Gangguan Pertumbuhan Anak
(53)
Pada gambar 2.2, dijelaskan bahwa tenaga pelaksana gizi merupakan
pelaksana dari program gizi di puskesmas yang perlu dikembangkan keterampilan
dan pengetahuannya.Program gizi yang dilaksanakan bertujuan untuk menanggulangi
4 masalah gizi yang menghasilkan indikator-indikator perbaian gizi. Program gizi
dinyatakan berjalan dengan baik apabila capaiannya sesuai dengan target yang telah
ditentukan dan jika sebaliknya maka akan menyebabkan masalah gizi yang salah
satunya adalah masalah gangguan pertumbuhan pada anak. Pelaksanaan program
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi diharapkan dapat
memberikan dampak terhadap penurunan prevalensi gangguan pertumbuhan.
2.5.Kerangka Pikir
Pencapaian program gizi di Kabupaten Karo yang masih rendah menunjukkan
pelaksanaan program gizi belum berjalan dengan maksimal yang diperkirakan
menjadi penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak. Kegiatan program
perbaikan gizi yang dilakukan meliputi 1) penanggulangan KEP melalui pemantauan
pertumbuhan di posyandu dan di luar posyandu, tatalaksana gizi buruk dengan
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI), 2) penanggulangan KVA melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, 3)
penanggulangan AGB melalui pemberian tablet tambah darah (Fe) kepada ibu hamil,
dan 4) peningkatan SDM bidang gizi melalui pelatihan-pelatihan. Keberhasilan
pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diketahui melalui pencapaian indikator outputnya
(54)
menunjukkan pencapaian cakupan program gizi di Kabupaten Karo masih dibawah
target yang telah ditetapkan. Selain itu, peran tenaga gizi puskesmas sangat penting
karena merekalah sebagai pelaksana program gizi di puskesmas yang langsung
berhadapan dengan masyarakat. Capaian program yang rendah salah satunya dapat
disebabkan karena kinerja petugas gizi yang kurang baik (Agustijani, 2005). Selain
itu, sarana dan prasarana juga dibutuhkan sebagi pendukung dari kegiatan program
gizi seperti posyandu, timbangan, paket gizi, dll.
Sehubungan masih rendahnya pencapaian program gzi di Kabupaten Karo
maka peneliti merasa perlu dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan program gizi
yang dilihat dari komponen input (tenaga, sarana dan prasarana), proses (yang
difokuskan pada pelaksanaan program gizi balita) yang dibandingkan dengan hasil
capaian program (output) sehingga diketahui upaya perbaikan terhadap dampak
(outcome) dari program tersebut yaitu gangguan pertumbuhan pada anak. Adapun
(55)
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pikir Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah
di Kabupaten Karo
Pada gambar 2.3, dijelaskan kegiatan program gizi balita di Kabupaten Karo
terdiri dari program pemantauan pertumbuhan, program ASI Eksklusif, program
tatalaksana gizi buruk dan program pemberian kapsul vitamin A. Pemantauan
pertumbuhan balita dilaksanakan sebulan sekali di posyandu dan diluar posyandu
mencakup penimbangan berat badan dan pengukuran panjang atau tinggi badan dan
dibandingkan dengan standar pertumbuhan. Selain itu, pemantauan juga berguna
untuk mengidentifikasi anak-anak yang kurang gizi dan yang perlu intervensi
mendesak seperti pemberian makanan tambahan dan pemulihan.
Pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif dilakukan melalui penyuluhan dan
konseling. Penyuluhan dilakukan di posyandu oleh tenaga pelaksana gizi puskesmas
kepada ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan. Untuk konseling dilakukan kepada Gangguan Pertumbuhan
pada Anak baru Masuk
Sekolah Capaian
Program Program Gizi
1. Pemantauan Pertumbuhan 2. ASI Eksklusif 3. Tatalaksana Gizi
Buruk
4. Pemberian Kapsul Vitamin A
Proses Output Outcome
Tenaga Gizi
Sarana dan Prasarana
(56)
ibu hamil dan ibu bersalin yang datang berkunjung ke puskesmas. Tatalaksana gizi
buruk dilaksanakan setelah dilakukan identifikasi balita yang menderita gizi buruk.
Jika ditemukan balita gizi buruk dilakukan perawatan dengan pendekatan tatalaksana
anak gizi buruk. Anak gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan
di puskesmas dan poskesdes melalui pemberian makanan pendamping ASI sedangkan
anak gizi buruk dengan komplikasi dirawat di rumah sakit umum. Pemberian vitamin
A dosis tinggi dilakukan 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus kepada bayi
umur 6-11 bulan (kapsul vitamin A warna biru 100.000 SI) dan anak balita umur
(57)
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
deskriptif-kualitatif karena fokusnya adalah untuk memperoleh gambaran yang
menyeluruh dan mendalam mengenai pelaksanaan program gizi di Kabupaten Karo.
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Karo dengan mengambil 4
Puskesmas dari 19 Puskesmas yang ada di Kabupaten Karo. Pemilihan puskesmas
sebagai lokasi penelitian didasari pertimbangan dari angka prevalensi gangguan
pertumbuhan berdasarkan hasil survei TBABS tahun 2008 dengan kriteria 2
puskesmas dengan angka prevalensi ≥ 3 0 % dan 2 puskesmas dengan angka prevalensi < 30 %. Adapun nama puskesmas yang menjadi lokasi penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Puskesmas Tigapanah, dan Laubaleng dengan angka prevalansi gangguan
pertumbuhan ≥ 30%
2. Puskesmas Berastagi, dan Munte dengan angka prevalensi gangguan
pertumbuhan < 30%
Angka prevalensi gangguan pertumbuhan berdasarkan hasil survey TBABS
(58)
Tabel 3.1. Prevalensi Gangguan Pertumbuhan berdasarkan Hasil Survey TBABS Tahun 1998, 2003 dan 2008 di Kabupaten Karo
No Nama Puskesmas Prevalensi Gangguan Pertumbuhan pada ABS
1998 2003 2008
1. Kabanjahe 26,7 19,0 6,9
2. Berastagi 25,9 16,2 24,3
3. Tigapanah 25,3 23,3 40,0
4. Barusjahe 2,6 13,3 23,8
5. Merek 68,2 30,8 24,0
6. SpIV 12,6 17,1 16,4
7. Tiganderket 30,7 23,8 30,0
8. Kutabuluh 42,1 19,2 10,0
9. Munte 38,6 21,3 25,7
10. Tigabinanga 24,7 11,4 22,5
11. Juhar 63,6 9,9 21,7
12. Laubaleng 31,1 26,7 60,0
13. Mardingding 0,0 11,4 38,3
14. D Rayat 15,0
15. Merdeka 45,0
16. Naman 20,0
17. Payung 6,7
18. Korpri 19. Singa
Kab 25,2 18,8 25,4
Sumber: Laporan Seksi Gizi dan Usila Dinkes Kab. Karo
Penelitian ini dilakukan bulan Januari s/d Juni 2014.
3.3.Informan
Pemilihan informan dalam penelitian ini mengacu kepada prinsip kesesuaian
(appropriateness) dan kecukupan (adequacy) sedangkan teknik pengambilan sampel
dilakukan secara purposive dan snowball.
Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan
(59)
Pejabat di Dinas Kesehatan Kabupaten Karo yang membawahi bagian perencanaan
dan gizi yang dianggap mengetahui tentang program gizi, TPG Puskesmas yang
merupakan pelaksana program gizi di puskesmas serta masyarakat sebagai dampak
atau orang yang menerima hasil dari program gizi dengan kriteria ibu yang memiliki
anak balita atau anak kelas 1 SD (Sekolah Dasar).
Teknik penentuan informan lainnya adalah snowball sampling. Teknik ini
akan digunakan bila ternyata sejumlah informan yang dalam hal ini adalah ibu yang
mempunyai anak balita atau anak kelas 1 SD belum mencukupi untuk menjawab
pertanyaan penelitian dan dihentikan apabila tidak ada lagi variasi jawaban. Informan
awal ini didapatkan dari TPG dari puskesmas terpilih. Selanjutnya melalui ibu awal
tersebut dimintakan informasi lainnya mengenai ibu-ibu yang mengetahui
pelaksanaan program gizi di wilayah terpilih.
Informan kunci dalam penelitian ini terdiri dari Pejabat Dinas Kesehatan
Kabupaten Karo yaitu Kepala Bidang Bina Program dan Kepala Seksi Gizi, TPG
Puskesmas dari Puskesmas terpilih yang merupakan penanggungjawab program gizi
di puskesmas, ibu yang memiliki anak balita atau anak kelas 1 SD.
3.4.Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan studi dokumentasi.
(60)
3.4.1. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan terhadapPejabat Dinas Kesehatan Kabupaten
Karo khususnya Kepala Bidang Bina Program dan Kepala Seksi Gizi, TPG
Puskesmas dan Ibu yang mempunyai anak balita atau anak kelas 1 SD. Selama
wawancara berlangsung digunakan tape recorder guna merekam hasil
wawancara mendalam dengan terlebih dahulu meminta izin dan
memberitahukan maksud rekaman tersebut kepada informan. Hal ini dilakukan
untuk menghindari rasa kecurigaan dari informan dalam memberikan informasi.
b. Observasi
Observasi dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan program gizi khususnya
kegiatan pemantauan pertumbuhan pada salah satu posyandu dari puskesmas
terpilih dengan kriteria posyandu yang jaraknya tidak begitu jauh dari
puskesmas. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan waktu dan tenaga.
c. Studi Dokumentasi
Data skunder diperoleh melalui teknik studi dokumentasi yaitu melalui sumber
tertulis meliputi dokumen seperti data dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas
yang menjadi sasaran penelitian meliputi data tentang gambaran umum
puskesmas, pencapaian program gizi dan prevalensi gangguan pertumbuhan
anak. Periode data yang dikumpulkan adalah data 4 tahun dari tahun 2010-2013
(61)
3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan untuk membantu pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah pedoman wawancara mendalam, alat pencatat, tape recorder,
lembar telaah dokumen dan foto-foto dokumentasi.
3.5.Defenisi Istilah
-Pemantauan pertumbuhan balita adalah kegiatan penimbangan anak usia 0- 59
bulan secara teratur yang dilakukan diposyandu maupun di luar posyandu dengan
mengukur berat badan anak untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan
-ASI Eksklusif adalah kegiatan promotif yang dilakukan oleh petugas kesehatan
dalam upaya mendorong pemberian ASI Eksklusif oleh ibu yang mempunyai
bayi termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
-Tatalaksana gizi buruk adalah penanganan balita yang mengalami gangguan gizi
berdasarkan hasil pengukuran berat badan dan panjang/tinggi badan dengan nilai
Z-Score <-3 SD dan atau terdapat tanda-tanda klinis gizi buruk diberi tindakan
perawatan baik rawat jalan maupun rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
Pemberian kapsul vitamin A adalah kegiatan pemberian kapsul vitamin A kepada
bayi berumur 6 – 11 bulan yang mendapat kapsul vitamin A satu kali dengan
dosis 100.000 SI (kapsul warna biru) dan anak umur 12 – 59 bulan yang
mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (kapsul warna merah)
(62)
- Gangguan Pertumbuhan Anak adalah gambaran hasil pengukuran Tinggi Badan
Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) yang dilakukan sebanyak 3 kali
pengukuran yaitu tahun 1993, 2003, dan 2008 yang merupakan outcome dari
hasil pelaksanaan program gizi di Kabupaten Karo.
3.6.Keabsahan Data
Penelitian ini perlu ditingkatkan kualitas dan integritas dalam proses
penelitian melalui tingkat keabsahan data. Tingkat keabsahan data yang dilakukan
pada penelitian ini adalah kredibilitas, transferability, dependability dan
konfirmability (Sugiyono, 2010). Keabsahan data dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kredibilitas
Kredibilitas dilakukan dengan cara triangulasi sumber dan triangulasi metode.
Triangulasi sumber dilakukan dengan mengcrosscek data melalui beberapa
sumber yang dalam penelitian ini triangulasi sumber dimulai dari pejabat dinas
kesehatan dilanjutkan kepada tenaga pelaksana gizi puskesmas dan ibu yang
mempunyai anak balita atau anak kelas 1SD sedangkan triangulasi metode
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan metode
yang berbeda yaitu setelah dilakukan wawancara mendalam lalu di crosscek
dengan observasi dan studi dokumentasi melalui telaah terhadap dokumen
(63)
b. Transferability
Transferability berarti bagaimana supaya orang lain dapat memahami hasil
penelitian ini sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian
tersebut ditempat lain. Pada penelitian ini dilakukan melalui penyediaan laporan
dengan jelas, terperinci, sistematis dan dapat dipercaya.
c. Dependability
Uji dependability dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan
proses penelitian. Kegiatan ini dilakukan melalui diskusi dan bimbingan oleh
pembimbing dengan mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti mulai dari awal
sampai akhir peneitian.
d. Konfirmability
Konfirmability yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan cara audit trial,
yaitu jika terdapat hal-hal yang kurang jelas maka peneliti melakukan konfirmasi
kepada informan. Audit trial diperkuat dengan peneliti menyerahkan hasil
temuan selama proses penelitian kepada pembimbing untuk dikonfirmasi
sehingga lebih objektif.
3.7.Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memulai
penelitian, selama penelitian dan setelah selesai penelitian. Untuk menganalisis data
dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif yang berfungsi memberikan
(1)
WAWANCARA MENDALAM DENGAN IBU
(2)
KMS, BUKU KIA, PENCATATAN DI POSYANDU
(3)
KEGIATAN DI POSYANDU
(4)
(5)
(6)