BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Autistik (Autistic Disorder) - Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme di Medan dan SLB Binjai - Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Autistik (Autistic Disorder)

  Di dalam DSM IV TR (2000) disebutkan gangguan autistik (autistic

  disorder) atau Gangguan Spektrum Autism (Autism Spectrum Disorders)/

  (ASDs) adalah suatu gangguan perkembangan saraf yang dikarakteristikkan dengan kerusakan bahasa dan sosial, defisit komunikasi, dan pola prilaku yang terbatas dan berulang (Deutsch dan Urbano, 2011). Sementara itu di dalam PPDGJ III (1993) anak dengan gangguan spektrum autisme disebut dengan Autisme Masa Kanak yaitu gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang. ASDs disebut juga dengan Pervasive Developmental Disorders (PDDs) yaitu suatu kelompok heterogen gangguan neuro-behavioral pada masa awal kanak-kanak (Abdalla et al., 2007 dan DSM IV TR, 2000).

  Gejala-gejala gangguan autistik dapat muncul dengan berbagai variasi intensitas, dari sangat ringan sampai sangat berat. Jadi gangguan autistik dikatagorikan sebagai suatu “spektrum” karena meliputi suatu kelompok gangguan dengan berbagai gejala yang bervariasi dalam keparahan (Deutsch dan Urbano, 2011; Eapen, 2011).

  Seorang psikiater anak pada Universitas dan Rumah Sakit John Hopkins Austria, Kanner (1943) pertama menggambarkan gangguan perkembangan pada gangguan autistik sebagai suatu gangguan sosial dengan ciri ketidakmampuan yang dibawa sejak lahir, memengaruhi hubungan dengan yang lain. Saat ini diketahui bahwa gangguan autistik meliputi suatu cakupan variabel yang luas dari fenotipe klinis yang telah dikelompokkan kedalam beberapa gangguan secara terpisah. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition,

  Text Revision (DSM-IV,TR) menetapkan lima gangguan dibawah payung istilah

  Autistic Spectrum Disorders (ASDs): Autistic Disorder, Asperger’s Disorder, Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDDNOS), Rett’s Disorder, and Childhood Disintegrative Disorder. Hal serupa disebutkan di dalam PPDGJ III (1993) bahwa gangguan autistik termasuk autisme masa kanak.

  Gangguan-gangguan ini berbeda pada tiap subtipe dengan memandang pada keparahan gejala, perkembangan dini bahasa, keburukan perkembangan keterampilan dan kognitif. Bagaimanapun juga, diagnostik batasan-batasan antara subtipe autisme masa kanak terdapat ketidakjelasan, gejala-gejala dan perilaku berada dalam suatu rangkaian dan dipertimbangkan sebagai heterogenitas klinis (Deutsch dan Urbano, 2011).

  Gangguan autistik (autistik disorder) merupakan bentuk paling umum dari gangguan spektrum autism (Abdalla et al., 2007), dapat terjadi pada semua ras, etnik, dan latar belakang (Johnson et al., 2011). Beberapa kelompok besar spektrum autisme yang ada, dapat dilihat dari kategori utama dibawah ini.

Tabel 2.1. Katagori-katagori ASDs

  N o KELOMPOK SPEKTRUM AUTISME

  Keterangan

  1. Autistic Disorder Tipe ASDs yang paling umum, dikarakteristikkan dengan kerusakan interaksi sosial, komunikasi dan imajinasi bermain sebelum usia 3 tahun. Prilaku meniru, berulang dan terbatas dalam minat dan lingkup aktivitas. Sampai dengan umur 3 tahun mempunyai minat dan aktivitas yang aneh dalam bermain dan berperilaku.

  2. Asperger’s Disorder Dikarakteristikkan dengan kerusakan dalam interaksi sosial dan terdapat keterbatasan minat dan aktivitas. Secara keseluruhan tidak signifikan dalam keterlambatan bahasa, meskipun mengalami kerusakan kualitatif dan keterbatasan kemampuan untuk percakapan sosial timbal balik. Dibedakan dari Autistic Disorder terutama dari kemampuan linguistik dan kapasitas kognitif dalam 3 tahun pertama kehidupan. Score uji intelegensia biasanya dalam rentang rata-rata sampai rata-rata tinggi. Komunikasi biasanya satu arah, terobsesi pada suatu subjek, misalnya pesawat (yang biasanya dikuasai secara mendetail). Kebanyakan anak SA cerdas, berdaya ingat kuat, tidak memiliki masalah dalam pelajaran sekolah.

  3. PDD - NOS (Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified)

  Biasa disebut autism yang tidak umum, juga disebut Atypical Autism. Diagnosis PDD-NOS dibuat ketika seorang anak tidak ditemukan kecukupan kriteria untuk diagnosis yang spesifik tetapi terdapat ketidakmampuan pada beberapa perilakunya. Memiliki gejala gangguan perkembangan dalam komunikasi, interaksi maupun perilaku. Kualitas gangguannya lebih ringan, misalnya masih ada kontak mata.

  

4. Rett Disorder Didefinisikan sebagai suatu ”gangguan progresif” yaitu

ketidakmampuan yang semakin hari semakin parah, dikarakteristikkan dengan periode-periode pertumbuhan dan perkembangan yang normal diikuti dengan kehilangan ketrampilan yang telah didapat sebelumnya khususnya gerakan tangan menjadi tidak terkendali dimulai pada umur 1 hingga 4 tahun. Gangguan ini hanya terdapat pada perempuan. Mulai mengalami kemunduran perkembangan sejak umur 6 bulan. Mengalami gangguan bahasa perseptif maupun ekspresif disertai kemunduran psikomotor yang hebat.

  5. Kelainan Disintegrasi Masa Kanak-kanak (Childhood Disintegratif Disorder) Dikarakteristikkan dengan keadaan normal atau perkembangan khas untuk paling sedikit dua tahun pertama, diikuti oleh kehilangan yang signifikan dalam ketrampilan yang didapat sebelumnya dalam area kognitif, sosial, bahasa dan perkembangan prilaku.Gejala biasanya muncul setelah umur 3 tahun. Anak mendadak berhenti berbicara, menarik diri, ketrampilan yang berkurang, dan gerakan berulang.

2.1.1 Etiologi

  Penyebab gangguan autistik merupakan suatu hal yang terus diteliti dengan intens. Sampai saat ini etiologinya belum di ketahui dengan pasti. Pada persentase kecil kasus berasosiasi dengan masalah genetik namun pada sebagian besar kasus penyebabnya belum diketahui (Schultz, 2010). Ketika faktor genetik diketahui sebagai komponen penting yang kuat dalam patogenesa gangguan autistik, peran faktor lingkungan telah diterima dan mendapat perhatian. Muncul bukti yang mendukung hipotesa bahwa gangguan autistik merupakan hasil suatu kombinasi kepekaan genetik dan paparan terhadap toksin lingkungan pada masa kritis perkembangan anak (Geier & Geier, 2006; Landrigan, 2010).

  Teori-teori tentang faktor pemicu lingkungan yang mungkin sebagai penyebab gangguan autistik meliputi vaksinasi, kurang mendapat ASI, penggunaan susu formula infan tanpa suplementasi asam docosahexaenoik dan asam arachidonik, penggunaan acetaminophen dan analgetik lain, inveksi virus, dan paparan lain dari lingkungan. Dalam hal ini neorotoksisitas oleh raksa (Hg) telah banyak menarik perhatian. Paparan oleh Hg seperti penggunaan thimerosal untuk pengawet vaksin dan paparan Hg dari lingkungan terutama akibat polusi pembakaran batubara dan penggunaan dental amalgam baru-baru ini telah dieksplorasi sebagai faktor resiko yang mungkin menyebabkan gangguan autistik (Schultz, 2010).

  Pada beberapa penelitian sebelumnya dijumpai beban tubuh terhadap logam-logam toksik, khususnya Hg pada subyek yang didiagnosa mengalami gangguan autistik lebih tinggi. Raksa (Hg) dikenal sebagai neorotoksin lingkungan yang tersebar di mana-mana dan terdapat bukti berhubungan dengan kerusakan neurodevelopmental, termasuk autism. Banyak hasil penelitian terbaru menunjukkan hubungan paparan Hg dengan gangguan autistik dan telah dilaporkan bahwa paparan terhadap Hg menyebabkan disfungsi imunitas, sensori, neurologis, motorik, dan prilaku yang serupa dengan ciri definisi atau berhubungan dengan gangguan autistik, dan kemiripan tersebut meluas pada perubahan neuroanatomi, neurotransmitter, dan biokimia. Lagi pula, tinjauan baru mengesankan bahwa anak dengan gangguan autistik didapatkan mengalami paparan yang tinggi terhadap Hg dibandingkan kelompok kontrol. Anak dengan gangguan autistik diketahui mempunyai peningkatan beban tubuh yang signifikan terhadap Hg akibat mekanisme biokimia dan kepekaan genomik dalam perjalanan detoksifikasi (Geier & Geier, 2006; Landrigan, 2010; Garrecht & Austin, 2011, dan Geier et al., 2012).

  Diagram dibawah ini menunjukkan gambaran hubungan antar beberapa faktor penyebab autisme pada seorang anak.

   Faktor Genetik Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan untuk detoksifikasi kapasitas metilasi dan eksresi metal Faktor Lingkungan Paparan lingkungan Penambahan terhadap logam berat (Hg) thimerosal

  Gambar. 2.1. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan menyebabkan autisme (Deth, 2012)

  Hasil penelitian terbaru oleh Geier et al. (2012), menunjukkan peningkatan konsentrasi Hg di rambut mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan keparahan gangguan autistik. Sebaliknya tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara logam toksik lain yang diperiksa dirambut dengan keparahan gangguan autistik. Hal ini membantu menyediakan mekanisme tambahan yang mendukung Hg dalam etiologi keparahan gangguan autistik, dan mendukung menambah jumlah tinjauan terbaru yang kritis bahwa faktor biologis berupa paparan terhadap Hg berperan dalam patogenesa gangguan autistik.

2.1.2 Gejala dan kriteria diagnostik

  Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke 4 (DSM-IV TR) yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika, gejala utama gangguann autistik timbul selama 3 tahun pertama kehidupan. Kelainan tingkah laku pada anak gangguan autistik terbagi atas tiga kategori yaitu: 1) gangguan kualitatif pada interaksi sosial, 2) gangguan kualitatif dalam komunikasi dan 3) pola stereotipe tingkah laku, keterbatasan minat dan aktivitas.

  Gejala-gejala gangguan autistik dapat diamati secara obyektif. Ada dua sistem klasifikasi diagnostik utama yang sekarang digunakan, ICD-10 (International Classification of Disease) tahun 1993 dari WHO dan the

  Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th edition Text Revision

  (DSM-IV TR). Keduanya mempunyai kriteria gejala serupa untuk diagnosis autisme. Kriteria DSM-IV TR untuk autisme adalah :

  A.

  Untuk dapat dikatakan bahwa seorang anak menderita gangguan spektrum autisme, maka harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3):

1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.

  Minimal harus terdapat dua gejala dari gejala-gejala dibawah ini:

  a) tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai seperti kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik yang kurang tertuju; b) tak bisa bermain dengan teman sebayanya;

  c) tak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; d) kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

  2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini: a) bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara); b) bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi;

  c) sering menggunakan bahasa aneh dan diulangulang; d) bermain kurang bervariatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

  3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan. Adapun gejala-gejalanya antara lain : a) mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara khas dan berlebihan

  b) terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas yang tak berguna

  c) ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang d) sering sangat terpukau pada bagian-bagian benda tertentu.

  B.

  Keterlambatan atau abnormal secara fungsional dalam paling sedikit 1 dari area berikut ini, dengan waktu mulai terjadi/onset sebelum usia 3 tahun : 1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) bermain simbolik atau imajinatif / cara bermain yang kurang bervariatif.

  C.

  Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak (DSM-IV TR, 2000).

  Berdasarkan DSM-IV TR mengenai kriteria diagnosis anak autisme, dapat dilihat bahwa seorang anak harus memenuhi kriteria tersebut untuk dapat disebut mengalami gangguan autisme. Namun harus diperhatikan bahwa gejala gangguan spektrum autisme sangat bervariasi dari anak yang satu dengan yang lainnya.

  Tidak semua anak menunjukkan gejala yang sama jenisnya, dan tidak semua anak menunjukkan gejala yang sama beratnya.

2.1.3 Skala pengukuran keparahan gejala autism

  Salah satu skala yang dapat dipakai untuk mengukur tingkat keparahan gejala autisme adalah Childhood Autism Rating Scale (CARS). CARS terdiri dari 15 item skala penilaian perilaku yang dikembangkan untuk mengidentifikasi gambaran kuantitas keparahan gangguan. Berdasarkan skala ini, tingkat keparahan gejala gangguan autistik dibedakan menjadi 3 katagori; skore 15-29,5 katagori nonautistik, skore 30-36,5 dipertimbangkan sebagai autisme ringan sampai menengah, dan skore 37-60 dikatagorikan sebagai tingkat keparahan menengah sampai berat. CARS telah digunakan secara luas dan dapat mengukur keparahan autisme dengan baik (Geier, et al, 2012 ; Mayes, et al., 2009, dan Kern, et al., 2011).

2.1.4. Manifestasi klinis

  Gangguan perkembangan pada gangguan autistik heterogen dan menetap, dikarakteristikkan dengan tiga gambaran klinis yaitu defisit sosial, kerusakan komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas dan berulang. Oleh karena itu gangguan perkembangan pada gangguan autistik dicirikan dengan kerusakan dalam tiga domain besar : komunikasi, sosialisasi, dan perilaku berulang. Individu dengan gangguan autistik menunjukkan kekurangan yang berat dalam semua gejala pada tiga domain fenotipe mayor dan perkembangan abnormal terjadi sebelum usia 3 tahun (Abdalla, et al., 2007 dan Johnson, et al., 2011).

  Gangguan dalam komunikasi meliputi perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada, anak tampak seperti tuli, sulit berbicara atau pernah berbicara tapi kemudian sirna, terkadang mengeluarkan kata-kata namun tidak sesuai dengan artinya (seperti mengatakan “kamu mau jus” ketika dirinya sangat haus), echolalia (senang membeo), meniru, dapat menghafal suatu kata, frase atau nyanyian tanpa mengerti artinya.

  Gangguan interaksi sosial dimanifestasikan dengan tidak melibatkan orang lain, lebih suka menyendiri, tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindar untuk bertatapan, tidak tertarik untuk bermain bersama teman, menghindar atau menjauh bila diajak bermain.

  Gangguan sensoris berupa sangat sensitif terhadap sentuhan seperti tidak suka dipeluk, bila mendengar suara keras langsung menutup telinga, senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda, tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

  Anak-anak dengan gangguan autistik tidak suka bermain seperti anak- anak pada umumnya, tidak suka bermain dengan teman sebayanya, tidak kreatif, tidak imajinatif, tidak bermain sesuai fungsi mainan (seperti sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar). Mereka dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif), memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang- goyang, mengepakkan tangan, berputar-putar, lari atau berjalan mondar mandir.

  Emosi mereka sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, temper tantrum (mengamuk tak terkendali), kadang suka menyerang dan merusak, terkadang juga suka menyakiti dirinya sendiri (Deutsch dan Urbano, 2011).

  Sekitar 50% anak gangguan autistik mempunyai ketidakmampuan intelektual, beberapa dari mereka mengalami abnormalitas peningkatan besar ukuran kepala, sepertiganya ada yang mengalami kejang epilepsi, dan sekitar setengah dari mereka mengalami kerusakan bicara yang berat (Landrigan, 2010).

2.2 Raksa (Hg) dan Efek Rraksa (Hg) terhadap Kesehatan Manusia

  Semua manusia terpapar dengan raksa (Hg) pada level rendah. Hampir semua manusia dapat dilacak jumlah Hg dari jaringan mereka. Secara umum paparan yang rendah tidak menyebabkan efek kurang baik terhadap kesehatan. Raksa (Hg) menyebabkan efek buruk yang bermakna pada kesehatan manusia jika terpapar pada level yang berlebihan dari batas aman yang telah ditetapkan (WHO, 2008). Faktor yang menentukan kejadian efek buruk terhadap kesehatan dan bagaimana keparahannya meliputi bentuk kimia raksa (Hg), dosis, usia saat terpapar, durasi paparan, rute paparan (inhalasi, saluran cerna, parenteral atau kontak kulit), dan pola diet konsumsi ikan dan seafood (WHO, 2008 dan Eapen, 2011).

  Kepekaan terhadap Hg (metabolisme, eksresi dan toksisitasnya) dipengaruhi oleh genetik, usia, jenis kelamin, dan status kesehatan. Pada percobaan binatang menunjukkan diet susu meningkatkan absropsi melalui gastrointestinal. Untuk eksresi dibutuhkan produksi empedu yang adekuat, pada bayi baru lahir sering tidak adekuat. Flora normal usus juga bermain peran dalam menghancurkan Hg untuk dieksresi, oleh karena itu paparan antibiotika menyebabkan penurunan eksresi (Autism Research Institute, 2005).

  Target utama dari toksisitas Hg adalah sistem saraf, ginjal, dan sistem kardiovaskular. Perkembangan sistem organ (seperti sistem saraf fetus) lebih sensitif terhadap efek toksik Hg. Organ tubuh lain yang dapat terpengaruh adalah sistem respirasi, gastrointestinal, hematologi, imun, dan reproduksi (WHO, 2008).

2.2.1 Patogenesa toksisitas raksa (Hg) pada anak dengan gangguan autistik

  Tinjauan literatur mengindikasikan peningkatan paparan Hg menginduksi kerusakan neurologis yang serupa dengan yang diobservasi pada penelitian patologi otak subyek yang didiagnosa gangguan spektrum autisme. Contoh tipe kerusakan neurologis akibat paparan Hg konsisten dengan kerusakan neurologis yang diobservasi pada studi patologi otak pasien autisme meliputi 1) peningkatan degenerasi neuronal, 2) peningkatan stres oksidatif lipid neuronal, 3) peningkatan

  

excitotoxicity neuronal dan kematian sel, 4) penurunan growth factor signaling neuronal, 5) gangguan pada sistem antioksidan neuronal, 6) penurunan neuronal glutation dan aktivitas acetyl cholinesterase, dan 7) nekrosis neuronal, demyelinisasi axon dan gliosis (Geier et al., 2010).

  Raksa (Hg) atau merkuri ada dalam tiga bentuk utama; uap raksa (merkuri

  2+ elemental, Hg ), merkuri inorganik divalen (Hg ), dan merkuri organik.

  Organomerkuri selain metil merkuri cepat terdekomposisi kembali menjadi merkuri anorganik. Raksa mempunyai afinitas terhadap lipid dalam tubuh organisme sehingga cenderung lebih terakumulasi dan terbiomagnefikasi dibandingkan bentuk logam berat lainnya. Oleh organisme akuatik Hg di

  2+

  akumulasi dalam bentuk metil merkuri atau ion Hg pada seluruh jejaring makanan (Suseno, dkk, 2010).

  Toksikokinetik (absrobsi, distribusi, metabolisme dan eksresi) Hg sangat tergantung pada bentuknya. Pada paparan dengan inhalasi, absrobsi Hg (uap Hg) sangat cepat dan efisien masuk ke paru-paru, melewati plasenta dan sawar darah otak. Bentuk inorganik diabsrobsi melalui saluran cerna dan kulit, dan terakumulasi di ginjal. Pada banyak jaringan tubuh Hg mengalami oksidasi

  2+

  menjadi Hg dan memungkinkan untuk direduksi oleh jaringan mamalia kembali menjadi Hg . Raksa dapat tertahan dalam bentuk ion selama beberapa minggu atau bulan pada berbagai jaringan tubuh, khususnya otak dan ginjal (WH0, 2008). Waktu paruh bentuk inorganik dalam darah adalah sekitar 20-66 hari. Bentuk ion

  2+

  (Hg ) terutama dieksresi melalui urin, ASI dan feses, begitu juga Hg terutama dieliminasi melalui urin dan feses. Banyak merkuri yang dieksresi melalui urin

  2+

  terjadi setelah Hg dioksidasi menjadi Hg meskipun beberapa diantaranya dieksresi langsung sebelum mengalami oksidasi. Umumnya banyak Hg di urin dalam bentuk ionik.

  Sumber paparan penting pada manusia adalah uap Hg yang terhirup dari dental amalgam dan metil merkuri (MeHg) dari ikan. Uap Hg dan MeHg keduanya neurotoksik. Target kritis toxisitas MeHg adalah sistem saraf, khususnya selama tahap perkembangan. MeHg diketahui mempunyai efek tidak baik terhadap perkembangan otak pada paparan in utero. Waktu paparan menentukan kritikal toksisitas. Karena konjugasi MeHg-cystein dapat melewati barier plasenta dan sawar darah otak, dan perkembangan fetus khususnya sensitif terhadap efek toksik Hg, paparan selama kehamilan menjadi perhatian yang sangat tinggi (WHO, 2008). Paparan selama masa perkembangan fetus menyebabkan 5-10 kali lebih sensitif terhadap merkuri. Otak manusia mengalami perkembangan dan maturasi yang luar biasa pada tahun pertama kehidupan. Paparan yang terjadi selama “critical windows of development” menimbulkan lebih banyak kerusakan (Autism Research Institute, 2005).

  Campuran Hg organik yang lain adalah etil merkuri (EtHg) ada pada pengawet thimerosal yang terdapat dalam vaksin dan beberapa produk pharmasetik. MeHg terdistribusi ke banyak jaringan, eliminasi utama melalui feses setelah demethylasi, rambut dan urin, dengan waktu paruh mendekati 44-80 hari (Barregard et al., 2011; WHO, 2008).

  Dalam darah metilmerkuri terikat secara eksklusif pada protein dan sulfhidril berbobot molekul rendah seperti sistein. Reaktifitas metilmerkuri yang tinggi terhadap gugus sulfhidril pada berbagai protein, menyebabkan jumlah metilmerkuri bebas dalam cairan biologis sangat kecil. Kompleks MeHg-sistein yang terbentuk beraksi sebagai analog asam amino, mempunyai struktur mirip metionin. Sistein merupakan asam amino yang penting pada rambut. Metilmerkuri yang bereaksi dan terikat dengan gugus sulfhidril pada sistein, terserap dalam rambut, menyebabkan kadar merkuri pada rambut 250-300 kali lebih tinggi dari konsentrasi dalam darah (Mercury Analysis Manual, 2004).

  Inorganic Hg (IHg) Metil Hg (MeHg) Ethil Hg (EtHg) Dental amalgam, diet Diet (fish) Vaccines Absorbed in Absorbed in Injected into Lung (as Hg) GUT after oral intake Subcutaneus tissue After inhalation

  • Blood (IHg, MeHg, and EtHg)
  • Enterohepatic Circulation of MeHg Demethylation and Kiddney Deethylation in blood (IHg) and tissue Liver, Brain, and other tissue (IHg, MeHg, and EtHg Urine (IHg)

  

Feces (MeHg and IHg)

Gambar 2.2. Garis besar secara sederhana sumber dan metabolisme dari jenis merkuri yang berbeda (Barregard et al., 2011)

  EtHg telah digunakan sebagai pengawet sejak tahun 1930, seperti dalam vaksin, immunoglobulin, obat tetes mata, dan produk kosmetik. Radikal EtHg berikatan pada grop sulfur dari thiosalisilat menghasilkan produk thimerosal. Pengawet vaksin dengan thimerosal biasanya mengandung 0,001-0,01% thimerosal. Dosis tunggal 0,5 milliliter vaksin dengan 0,01% thimerosal mengandung 50 mikrogram thimerosal atau mendekati 25 mikrogram merkuri (Barregard et al., 2011).

  Karena sedikit informasi tentang toksisitas EtHg (bentuk merkuri pada thimerosal), banyak yang memperkirakan toksisitasnya didasari pada/berdasarkan (toksisitas) metil merkuri. Penelitian oleh Burbacher (2004), pada primata mendokumentasikan bahwa etil merkuri mempunyai waktu paruh yang lebih singkat didalam darah dari metil merkuri, lebih cepat dikonversi ke bentuk inorganik, lebih toksik dan dapat berada di otak sampai bertahun-tahun. Baskin et

  

al . (2003) telah mendokumentasikan kerusakan DNA, aktivasi caspase-3,

  kerusakan membran nuklear, dan kematian sel pada kultur neuron dan fibroblast manusia dewasa yang dipapar dengan 201 mikrogram/liter etil merkuri setelah inkubasi 6 jam atau kurang, yang mana hal ini serupa dengan yang terjadi pada praktek pemberian rutin vaksinasi selama tahun 1990 yang menyebabkan kerusakan perkembangan saraf infan. Hal ini serupa dengan penelitian oleh Waly

  

et al . (2004), telah mencatat bahwa thimerosal, pada konsentrasi nanomolar yang

  rendah menghambat insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan dopamin menstimulasi methylasi pada sel neuroblastoma manusia, indikasi potensial gangguan kontrol faktor pertumbuhan normal dan methylasi (Research Autism Institute, 2005).

  Paparan merkuri telah diketahui menyebabkan kerusakan kognitif, sulit berfikir abstrak dan mengikuti perintah yang kompleks, keterbatasan sosial, cemas dan perilaku obsesive-konvulsif. Hal ini serupa dengan gejala pada autism.

  Merkuri mengganggu neorotransmiter serotonin, dopamin, glutamat dan asetilkolin. Abnormalitas yang sama dijumpai pada anak dengan autism. Target sel pada otak oleh merkuri adalah pada sel Purkinje dan lapisan granula serebelum seperti amigdala dan hipocampus. Pola ini sama dengan patologi yang dijumpai pada anakdengan gangguan autistik.

  Toksisitas merkuri menyebabkan kerusakan sistem imun dan memicu proses autoimun, meliputi pergeseran limfosit Th2. Proses autoimun yang sama telah diketahui terjadi pada gangguan autistik. Paparan terhadap merkuri menyebabkan kepekaan terhadap strain virus tertentu, yang mana hal ini mungkin berkaitan dengan penurunan fungsi NK sel. Sebagian anak gangguan autistik ditemukan bukti nyata mengalami infeksi virus kronik, termasuk virus measles.

  Keracunan merkuri mengganggu dan menghambat enzim dan peptida saluran cerna. Banyak anak gangguan autistik mempunyai masalah pencernaan dan kesulitan mencerna produk susu dan gandum atau glutein (Research Autism Institute, 2005).

  Logam berat, mencakup ethylmerkuri dari thymerosal mempunyai efek penting dalam perjalanan metabolisme yang melibatkan asam amino mengandung sulfur (seperti methionin, S-adenosylmethionin, S-adenosylhomocystein, homocystein, dan cystein), peptida yang mengandung sulfur (seperti glutathion).

  Kemampuan untuk membersihkan logam dari tubuh tergantung pada level thiol tersebut, khususnya level glutation. Rendahnya level glutation pada anak gangguan autistik beresiko lebih besar untuk toksisitas logam berat secara langsung pada organ yang menahannya. Riset oleh Deth mengungkapkan bahwa logam berat dan thimerosal sangat kuat menghambat aktivitas methionin sintase, yang mana dipakai oleh derivat folate grup methyl untuk mengkonversi homochystein menjadi methyoin. Inhibisi ini memblok kemampuan Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan dopamin untuk aktivasi enzim ini, dengan demikian bertentangan dengan peran methylasi dalam perkembangan dan mekanisme molekular. Efek inhibisi metal adalah langsung pada sintesa glutation-dependent dari methylcobalamin (methyl B12), yang mana ini dibutuhkan untuk aktivitas methionin synthase pada tipe-tipe sel tertentu (seperti lymphosit dan beberapa sel neuronal). Fungsi methylasi pada sel-sel tertentu ini akan sangat dipengaruhi oleh logam berat, khususnya pada individu yang mempunyai latar belakang genetik akan membuat mereka lebih peka (Research Autism Institute, 2005).

  Neurotoksisitas merkuri dihubungkan dengan kekurangan glutation. Merkuri mengikat pada grop cystein thiol (-SH) pada protein intraselular dan menginaktivkan fungsi mereka. Grop cystein –SH dari glutation mengikat Hg dan memproteksi protein esensial dari inaktivasi fungsinya. Glutation berperan utama dalam mekanisme eksresi Hg. Individu dengan genetik defisiensi sintesa glutation, kurang mampu mengeksresi Hg, membuat mereka lebih sensitif terhadap efek yang kurang baik (Geier & Geier, 2007). Stress dan sakit juga diketahui mengurangi level glutation sehingga menurunkan kemampuan tubuh mengeksresi Hg (Autism Research Institute, 2005).

  Kekurangan atau defisiensi sistem antioksidan selular telah terlihat pada sejumlah anak gangguan autistik. Temuan yang umum pada anak gangguan spektrum autisme adalah berupa abnormalitas level glutation eritrosit (rendah)

  (Research Autism Institute, 2005). Glutation merupakan tripeptida dari cysteine, glycine, dan glutamat yang disintesa dari setiap sel tubuh. Disamping berperan dalam detoksifikasi logam berat, glutation juga berfungsi mengurangi stres oksidatif. Konsisten dengan level glutation yang rendah dan peningkatan stres oksidatif, anak gangguan autistik mengalami kesulitan resisten terhadap infeksi, inflamasi, dan detoksifikasi dari kontaminan lingkungan. Anak gangguan autistik dilaporkan mengalami infeksi kambuhan, neuroinflamasi, inflamasi gastrointestinal, dan kerusakan kapasitas antioksidan dan detoksifikasi.

  Keberadaan logam berat dalam tubuh menyebabkan stres oksidatif dan glutation cepat habis akibat peningkatan kebutuhan yang diinduksi oleh logam berat (Geier

  et al ., 2008).

  2.2.2 Batas aman raksa (Hg) dalam tubuh

  Environmental Protection Agency (EPA) telah menetapkan batas aman terhadap total paparan merkuri sebesar 0,1 microgram merkuri per kilogram berat badan per hari (µg/kg BB/hari), Agency for Toxic Substances and Desease Registry (ATSDR), 0,3 µg/kg BB/hari, dan Food and Drug Administration (FDA) membuat batas aman 0,4 µg/kg BB/hari (Autism Research Institute, 2005).

  2.2.3 Sumber paparan raksa (Hg) pada anak

  Tiga sumber utama paparan Hg pada anak di Amerika adalah konsumsi seafood , penggunaan dental amlgam, dan vaksinasi pada bayi.

  EPA telah melaporkan 1 dari 6 wanita di USA mempunyai level Hg yang memungkinkan bayi mereka beresiko mengalami kerusakan neurologis. Wanita yang teratur mengkonsumsi ikan 9 kali atau lebih setiap bulan, 7 kali lebih banyak Hg dalam darah mereka dibandingkan yang tidak mengkonsumsi ikan. Ikan hiu dan ikan todak rata-rata mengandung 1 ppm (microgram/gram) Hg, yang mana jika sekali mengkonsumsi 200 gram mengandung Hg sekitar 200 microgram.

  Sumber paparan Hg pada anak gangguan autistik bisa dalam bentuk merkuri elemental (uap merkuri elemental yang didapat saat prenatal dari ibu hamil yang menggunakan dental amalgam atau dari sumber lain), merkuri inorganik (terpapar saat prenatal, seperti ibu hamil yang mengkonsumsi ikan/makanan yang tercemar, atau setelah lahir anak mengkonsumsi ikan yang tercemar, ASI dari ibu mengkonsumsi makanan yang tercemar Hg), dan merkuri organik (terpapar saat prenatal yang didapat dari thimerosal saat ibu hamil divaksinasi atau didapat selama post natal dari thimerosal saat vaksinasi).

  Mercury-silver dental amalgam umumnya mengandung 50% Hg. Banyak

  penelitian menyebutkan mendekati 80% uap Hg yang dilepas dari dental amalgam diabsrobsi kedalam badan. Jumlah Hg yang diabsrobsi ke badan berkisar 1-10 microgram/hari, tergantung jumlah dental amalgam yang dipakai. Jumlah ini tidak berbahaya pada kebanyakan orang, namun menambah beban tubuh terhadap peningkatan resiko paparan tambahan dari sumber lain (Autism Research Institute, 2005).

  Thimerosal merupakan pengawet yang dipakai pada sejumlah obat termasuk vaksin dan produk immun globulin, mengandung 49,6% EtHg dari berat. Saat ini umum dipakai sebagai pengawet pada vaksin anak-anak. Beberapa contoh thimerosal yang terdapat dalam vaksin meliputi Hep B (12,5 microgram), DTaP (25 microgram), HiB (25 microgram), dan PCV (25 microgram). Vaksinasi HepB (dan HiB) diberikan saat lahir, 3 kali selama 6 bulan pertama kehidupan bayi (Autism Research Institute, 2005).

  

2.3 Rambut sebagai Biomarker Toksisitas Raksa (Hg) pada Anak Gangguan

Autistik

  Paparan terhadap suatu zat dapat diperkirakan dengan mengukur level polutan pada beberapa jaringan tubuh. Pengukuran ini, juga dikenal dengan

  

biological marker (biomarker), merupakan alat yang bermanfaat untuk

  mengetahui paparan pada manusia. Media biologis yang dapat digunakan sebagai biomarker untuk paparan Hg pada manusia meliputi rambut, urine, darah, darah umbilikus dan jaringan umbilikus, ASI dan kuku (WHO, 2008).

  Untuk mengkaji kepantasan biomarker tertentu dari paparan Hg, penting dipertimbangkan beberapa faktor; 1) seberapa baik biomarker berkorelasi dengan dosis (paparan eksternal) untuk berbagai bentuk merkuri, 2) seberapa baik biomarker berhubungan dengan konsentrasi merkuri dalam jaringan target, 3) bagaimana variabilitas waktu suatu biomarker berkaitan dengan perubahan dosis efektif pada jaringan target, 4) apa tipe biomarker yang paling sesuai untuk memberikan karakteristik populasi, dan 5) apa teknologi yang tersedia (WHO, 2008).

  Banyak media biologis dapat dikumpulkan secara non invasiv (kecuali darah), dan sampelnya dapat mudah disimpan. Keberadaan Hg dalam urin umumnya ada karena paparan oleh Hg inorganik dan atau elemental sehingga level Hg urine umumnya dipertimbangkan sebagai ukuran yang baik terhadap paparan Hg inorganik atau uap Hg elemental. Hg inorganik terakumulasi di ginjal dan secara perlahan-lahan dieksresi melalui urin. Oleh karena itu level merkuri urine dapat juga menilai keberadaan paparan oleh Hg yang terjadi pada suatu waktu di masa lampau (WHO, 2008). Namun, sampel urin tidak tepat sebagai biomarker pada individu gangguan autistik karena berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya terbukti level glutatiaon dan methionin yang berperan dalam eksresi Hg melalui urin rendah pada anak gangguan autistik ( Giear et al., 2012).

  Konsentrasi Hg dalam rambut sering digunakan sebagai biomarker untuk paparan oleh methylmerkuri karena merefleksikan konsentrasi Hg dalam darah saat rambut dibentuk. Konsentrasi merkuri di rambut 250-300 kali lebih tinggi dari konsentrasi dalam darah. Level Hg normal di rambut 1-2 ppm (atau 1-2 mikrogram/gram), tetapi pada orang yang mengkonsumsi ikan 1 atau lebih sering per hari dapat mempunyai level Hg di rambut lebih dari 10 ppm. Pertumbuhan rambut rata-rata sekitar 1 cm per bulan. Level Hg di rambut dapat meningkat jika terjadi paparan dengan uap Hg atau berkurang jika diberi perlakuan yang permanen (WH0, 2008 dan Public Health Guidance Note, 2002).

  Ethyl merkuri mempunyai waktu paruh yang lebih singkat di dalam darah dari methyl merkuri, bersifat toksik dan dapat berada di otak selama bertahun- tahun (Autism Research Institute, 2005). Total (organic + inorganik) konsentrasi Hg di rambut berkorelasi positif tinggi dengan total konsentrasi merkuri darah, tetapi konsentrasi merkuri inorganik rambut kerelasinya lemah terhadap konsentrasi merkuri inorganik darah. Hal ini mungkin karena rambut mempunyai persense yang lebih besar terhadap methylmerkuri dibandingkan merkuri inorganik dalam darah (Patch et al., 2009).

  Analisa Hg pada sampel biologis dapat dipersulit oleh perbedaan bentuk organik atau inorganik logam yang ada. Oleh karena itu, semua Hg dalam sampel biasanya direduksi ke bentuk elemental, merupakan bentuk utama untuk dianalisis. Beberapa metode diperlukan sebelum sampel dianalisa, yang utama adalah di reduksi.

  Banyak metode yang tersedia untuk menganalisa total Hg dalam rambut seperti menggunakan atomic absroption spectrometry (AAS), cold vapour

  

inductively coupled plasma atomic emission (CV-ICP-AES), atomic emission

spectrometry (AES), inductively coupled plasma mass specrometry (ICP MS)

  atau inductively coupled plasma optical emission spectrometry (ICP-OES). Diantara beberapa metode tersebut, metode AAS dan ICP sering dipakai untuk biomarker rambut (WHO, 2008).

2.3.1 Pemeriksaan raksa (Hg) dalam rambut dengan ICP-OES

  Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry – (ICP –

  OES) merupakan alat yang digunakan untuk menganalisa unsur-unsur logam dalam suatu bahan. Bahan yang dianalisa dengan alat ini harus dalam bentuk larutan yang homogen. Alat ini merupakan alat analisis kimia kuantitatif yang mempunyai kemampuan menganalisa 80% unsur yang ada. Kelebihan alat ini adalah sangat selektif dan dapat digunakan untuk mengukur beberapa unsur sekaligus secara berurutan dalam setiap kali pengukuran (Seiler et al., 1994).

  a.

  Komponen alat ICP - OES Alat ICP-OES tersusun atas komponen berikut : penghantar sampel, ICP torch, generator pengatur gelombang, optik spektrometer, detektor dan pengatur kompeterisasi instrumen, pengumpulan dan analisis data (Seiler et al., 1994 dan Noviarty, 2007).

  b.

  Cara kerja ICP-OES Prinsip umum pengukuran menggunakan ICP-OES adalah mengukur intensitas energi atau radiasi yang dipancarkan oleh unsur-unsur yang mengalami perubahan tingkat energi atom (eksitasi atau ionisasi). Larutan sampel dihisap dan dialirkan melalui capilarry tube ke nebulizer. Nebulizer akan mengubah larutan sampel ke bentuk aerosol yang kemudian akan diinjeksikan ke ICP-OES. Pada

  o

  temperatur plasma 6000-8000 C sampel-sampel akan teratomisasi dan tereksitasi. Atom yang tereksitasi akan kembali ke keadaan awal (ground state) sambil memancarkan sinar radiasi. Sinar radiasi ini akan didispersi oleh komponen optik. Sinar yang terdispersi berurutan muncul pada bagian masing- masing panjang gelombang unsur dan diubah dalam bentuk sinyal listrik, besarnya sebanding dengan sinar yang dipancarkan oleh besarnya konsentrasi unsur. Sinyal listrik ini kemudian diproses oleh sistem pengolah data (Seiler, et al ., 1994 dan Noviarty, 2007).

Gambar 2.3. Bagan alat ICP OES spectrometer

  Dengan mengamati intensitas yang dihasilkan oleh larutan sampel dan memasukkan nilai intensits tersebut kedalam kurva kalibrasi larutan standar, maka konsentrasi unsur yang terkandung dalam larutan sampel dapat diketahui. Besarnya kandungan unsur dapat diketahui dari hubungan antara konsentrasi unsur dengan intensitas yang dihasilkan oleh unsur tersebut dengan menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari pembuatan kurva kalibrasi, yaitu : y = ax +

  b, dimana : y = intensitas larutan, a = slope y/x, b = intercept, dan x = konsentrasi.

  Pembuatan kurva kalibrasi larutan standar dilakukan dengan mengukur intensitas standar pada setiap konsentrasi yang berbeda, dan besarnya tingkat ketelitian pengukuran yang lebih tinggi dapat dilihat dari nilai koefisien linier regresi yang mendekati 100% atau 1 (Seiler et al., 1994; Noviarty, 2007).

2.3.2. Destruksi

  Destruksi merupakan suatu cara perlakuan perombakan senyawa menjadi unsur-unsurnya sehingga dapat dianalisa, atau dengan kata lain perombakan bentuk logam organik menjadi bentuk logam anorganik. Dikenal dua jenis destruksi; destruksi basah (oksidasi basah) dan destruksi kering (oksidasi kering). Ke dua destruksi ini memiliki teknik pengerjaan dan lama pemanasan yang berbeda atau pendestruksian yang berbeda (Darmono, 1995).

  Destruksi basah merupakan perombakan sampel dengan menggunakan asam kuat baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi menggunakan zat oksidator. Pada metode ini menggunakan pelarut asam nitrat, asam sulfat, asam perkhlorat, asam klorida yang dapat digunakan secara tunggal atau campuran.

  Tahap perlakuan metode destruksi basah adalah sebagai berikut : sampel dimasukkan dalam labu takar, kemudian ditambahkan 8 milliliter asam nitrat 65% (HNO

  3 ) pekat. Setelah itu sampel disaring dengan kertas saring Whatman 42, dan

  dimasukkan ke dalam labu takar 50 milliliter menggunakan corong plastik polytilen. Selanjutnya ditambahkan aquabides sampai vulome mencapai 50 milliliter (Darmono, 1995).

2.4. Kerangka Konsep Penelitian Faktor genetik

  Faktor lingkungan Paparan neurotoxikan logam berat ; Hg (elemental, inorganik, organik) Paparan zat neurotoxikan lain

  • Abnormalitas kromosom (duplikasi, delesi, isodisentric, dll)
  • Faktor yang mempengaruhi kapasitas methylasi

  Post natal ; Vaksinasi yang mengandung thimerosal (EtHg), ASI, makanan /ikan yang tercemar Hg (MeHg)

  Prenatal ; Uap

  Hg elemental dari dental amalgam ibu, MeHg yang dikonsumsi ibu dari ikan yang tercemar, vaksinasi, dll

  • Kemampuan detoksifikasi & eksresi metal

  Level methionin Level glutation Beban tubuh terhadap Hg

  Gangguan metabolisme & eksresi Hg [Hg] darah Jumlah Hg yang berikatan dengan sistein sulfidril >>

  Efek neurotoxikan Gangguan perkembangan saraf Gangguan metabolisme heme Gangguan imunitas

  Gangguan neurodevelopmental sebelum usia 3 tahun dengan berbagai tingkat keparahan dalam gejala (diukur dengan CARS ); Gangguan komunikasi verbal & nonverbal Gangguan interaksi sosial Prilaku stereotipe Level Hg dalam rambut Autistic Disorders/ Autism Spectrum Disorders

Dokumen yang terkait

Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme di Medan dan SLB Binjai - Sumatera Utara

5 71 107

Pemerolehan Sinonim Kebendaan Pada Anak Autistik di Pematangsiantar

1 28 94

Hubungan Kejadian Penyakit Autistik pada Anak dengan Usia Maternal dan Paternal di Kota Medan

0 27 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Definisi - Pengaruh Laju Aliran Saliva terhadap Kondisi Periodontal pada Penderita Gangguan Jiwa yang Mengkonsumsi Obat-Obatan Antipsikosis di Rumah Sakit Tuntungan

0 1 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Karakteristik Penderita Gangguan Jiwa Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara tahun 2014

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.Sistem Saraf - Gambaran Psikologis dan Kognitif pada Pasien Gangguan Sistem Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan

0 1 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down - Gambaran Status Karies Gigi dan Status Gizi pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa - Kondisi Kebersihan Mulut dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Penderita Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Tuntungan

0 1 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Perkembangan Pervasif - Pengalaman Dan Kebutuhan Perawatan Karies Pada Anak Autis Umur 6-18 Tahun Di Slb Dan Yayasan Terapi Kota Medan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 50