BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Balita - Perilaku Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Balita di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Balita

  Supariasa (2001), menyatakan bahwa pertumbuhan berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Pertumbuhan fisik merupakan hal yang kuantitatif, yang dapat diukur.

  Indikator ukuran pertumbuhan meliputi perubahan tinggi dan berat badan, gigi, struktur skelet, dan karakteristik seksual.

  Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang bervariasi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki. Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih dahulu, kemudian secara berangsur- angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah.

  Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara teratur (Nursalam dkk, 2005).

  Hidayat (2008) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mengalami pertumbuhan bila terjadi perubahan ukuran dalam hal bertambahnya ukuran fisik, seperti berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar dada, perubahan proporsi yang terlihat pada proporsi fisik atau organ manusia yang muncul mulai dari masa konsepsi sampai dewasa, terdapat ciri baru yang secara perlahan mengikuti proses kematangan seperti adanya rambut pada daerah aksila, pubis atau dada, hilangnya ciri-ciri lama yang ada selama masa pertumbuhan seperti hilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu, atau hilangnya refleks tertentu.

2.1.1. Parameter Pertumbuhan Balita

  Parameter untuk mengukur kemajuan pertumbuhan biasanya yang dipergunakan adalah berat badan dan panjang badan (Hidayat, 2008).

  1. Berat Badan Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, misalnya tulang, otot, lemak, organ tubuh, dan cairan tubuh sehingga dapat diketahui status keadaan gizi atau tumbuh kembang anak (Hidayat, 2008). Selain itu, berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dosis dan makanan yang diperlukan dalam tindakan pengobatan (Supariasa, 2001).

  Pada usia beberapa hari, berat badan bayi mengalami penurunan yang sifatnya normal, yaitu sekitar 10% dari berat badan waktu lahir. Hal ini disebabkan karena keluarnya mekonium dan air seni yang belum diimbangi dengan asupan yang mencukupi, misalnya produksi ASI yang belum lancar dan berat badan akan kembali

  Pertumbuhan berat badan bayi usia 0-6 bulan mengalami penambahan 150- 210 gram/minggu dan berdasarkan kurva pertumbuhan yang diterbitkan oleh National

  

Center for Health Statistics (NCHS), berat badan bayi akan meningkat dua kali lipat

  dari berat lahir pada akhir usia 4-7 bulan (Wong dkk, 2008). Berat badan lahir normal bayi sekitar 2.500-3.500 gram, apabila kurang dari 2.500 gram dikatakan bayi memiliki berat badan lahir rendah (BBLR), sedangkan bila lebih dari 3.500 gram dikatakan makrosomia. Pada masa bayi-balita, berat badan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan fisik dan status gizi. Status gizi erat kaitannya dengan pertumbuhan, sehingga untuk mengetahui pertumbuhan bayi, status gizi diperhatikan (Susilowati, 2008).

  Di Indonesia, baku rujukan yang digunakan sebagai pembanding penilaian satus gizi dan pertumbuhan perorangan maupun masyarakat adalah baku rujukan WHO-NCHS (Supariasa, 2001). Baku rujukan WHO-NCHS ini membedakan antara laki-laki dan perempuan, agar diperoleh perbedaan yang lebih mendasar.

  Pembagiannya dikategorikan menjadi gizi baik, kurang, buruk, dan lebih (Soekirman, 2000)

  2. Panjang Badan Istilah panjang dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak telentang (Wong dkk, 2008). Pengukuran panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi. Selain itu, panjang badan merupakan indikator yang baik untuk pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan untuk perbandingan terhadap perubahan relatif, seperti nilai berat badan dan lingkar lengan atas (Nursalam dkk,

2.1.2. Pemantauan Pertumbuhan Balita

  Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu yang merupakan salah satu kegiatan utama perbaikan gizi, menitik beratkan pada upaya pencegahan dan peningkatan gizi balita. Selain dilakukan penilaian pertumbuhan secara teratur melalui penimbangan juga dilakukan penilaian hasil penimbangan dengan KMS. Dari hasil KMS akan terlihat apakah balita mengalami gangguan pertumbuhan atau tidak. Apabila terjadi kasus gangguan pertumbuhan maka perlu dilakukan upaya berupa konseling dan rujukan guna mencegah memburuknya keadaan gizi masyarakat.

  Tindak lanjutan berupa kebijakan dan program ditingkat masyarakat, serta meningkatkan motivasi untuk memberdayakan keluarga (Depkes RI, 2006).

  PELAYANAN GIZI N = NAIK 6. DAN KESEHATAN KONSELING

  5. DINILAI STATUS DASAR

  T = TIDAK

  PERTUMBUHAN

  NAIK BERDASARKAN

  KURVA BB ANAK TIDAK GIBUR KONFIRMASI

BGM, PERTAMA

  BB/TB DITIMBANG DIRUJUK GIZI BURUK/ SANGAT KURUS

Gambar 2.1 Alur Kegiatan Posyandu

  Sumber: Buku Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu, Depkes RI, 2006

  Pada kegiatan meja 4 (empat) pertumbuhan balita dapat dipantau dengan menimbang berat badan anak balita setiap bulan. Hasil penimbangan anak balita diterjemahkan ke dalam KMS/buku KIA yang menghasilkan status pertumbuhan balita(Naik/Tidak Naik).

  Kesehatan seorang anak dapat dilihat dari beberapa hal, khususnya untuk anak usia 0-5 tahun kesehatannya dapat dilihat dari berat badan setiap bulan melalui KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS adalah kartu yang memuat kurva pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan menurut umur. Dengan KMS gangguan pertumbuhan atau risiko kelebihan gizi dapat diketahui lebih dini, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan secara lebih cepat dan tepat sebelum masalahnya lebih berat KMS di Indonesia telah digunakan sejak tahun 1970-an, sebagai instrumen utama kegiatan pemantauan pertumbuhan. Pemantauan pertumbuhan adalah serangkaian kegiatan yang terdiri dari: 1) Penilaian pertumbuhan anak secara teratur melalui penimbangan setiap bulan, pengisian KMS, menentukan status pertumbuhan berdasarkan kenaikan berat badan; dan 2) Menindaklanjuti setiap kasus gangguan pertumbuhan. Tindak lanjut hasil pemantauan pertumbuhan biasanya berupa konseling, pemberian makanan tambahan, pemberian suplementasi gizi dan rujukan.

  Pada saat ini pemantauan pertumbuhan merupakan kegiatan utama Posyandu yang jumlahnya mencapai lebih dari 260 ribu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 74.50/0 (sekitar 15 juta) balita pernah ditimbang minimal 1 kali selama 6 bulan terakhir, 60,9% diantaraanya ditimbang lebih dari 4 kali. Sebanyak 65% (sekitar 12 juta) balita memiliki KMS. Bentuk dan pengembangan KMS ditentukan oleh rujukan atau standar antropometri yang dipakai, tujuan pengembangan KMS serta sasaran dikembangkan pada tahun 1974 dengan menggunakan rujukan Harvard. Pada tahun 1990 KMS revisi dengan menggunakan rujukan WHO-NCHS. Pada tahun 2008, KMS balita direvisi berdasarkan Standar Antropometri WHO 2000.

2.2. Kader Posyandu

  Kader kesehatan dinamakan juga promotor kesehatan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dari masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat. Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat Depkes RI memberikan batasan kader: “Kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela” (Zulkifli, 2003)

  Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat, serta bekerja di tempat yang dekat dengan pemberian pelayanan kesehatan. (Syafrudin, dan Hamidah, 2006)

  Kader kesehatan adalah adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat. Dalam hal ini kader disebut juga sebagai penggerak atau promoter kesehatan. (Yulifah, dan Yuswanto, 2005)

2.2.1. Tugas Kader di Posyandu 1. Persiapan hari buka posyandu.

  a. Menyiapkan alat dan bahan, yaitu : alat penimbangan bayi, KMS, alat pengukur LILA, alat peraga dll

  b. Mengundang dan menggerakkan masyarakatuntuk datang ke posyandu

  c. Menghubungi pokja posyandu, yaitu menyampaikan rencana kegiatan kepada

  d. Melaksanakan pembagian tugas, yaitu menentukan pembagian tugas diantara kader posyandu baik untuk persiapan maupun pelaksanaan kegiatan

  2. Melaksanakan pelayanan 5 meja.

  a. Meja 1: Pendaftaran bayi, balita, bumil, menyusui dan PUS.

  b. Meja 2: Penimbangan balita dan mencatat hasil penimbangan

  c. Meja 3: Mengisi buku KIA / KMS d. Meja 4:

  − Menjelaskan data KIA / KMS berdasarkan hasil timbang

− Menilai perkembangan balita sesuai umur berdasarkan buku KIA. Jika

  ditemukan keterlambatan, kader mengajarkan ibu untuk memberikan rangsangan dirumah

  − Memberikan penyuluhan sesuai dengn kondisi pada saat itu − Memberikan rujukan ke Puskesmas, apabila diperlukan

  e. Meja 5: Bukan merupakan tugas kader, melainkan pelayanan sector yang dilakukan oleh petugas kesehatan, PLKB, PPL, antara lain :

  − Pelayanan imunisasi − Pelayanan KB

− Pemeriksaan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu nifas dan ibu

  menyusui

  

− Pemberian Fe / pil tambah darah, vitamin A (kader dapat membantu

  pemberiannya), kapsul yodium dan obat-obatan lainnya Untuk meja 1-4 dilaksanakan oleh kader kesehatan dan untuk meja 5 dilaksanakan oleh petugas kesehatan diantaranya dokter, bidan, perawat, juru imunisasi dan sebagainya. 3). Tugas kader setelah hari buka posyandu.

  1. Memindahkan catatan dalam KMS ke dalam buku register atau buku bantu kader

  2. Mengevaluasi hasil kegiatan dan merencanakan kegiatan dari posyandu yang akan datang

  3. Melaksanakan penyuluhan kelompok (kelompok dasa wisma)

  4. Melakukan kunjungan rumah (penyuluhan perorangan) bagi sasaran posyandu yang bermasalah antara lain : a) Tidak berkunjung ke posyandu karena sakit; b) Berat badan balita tetap Selama 2 bulan berturut turut; c) Tidak melaksanakan KB padahal sangat perlu; dan d) Anggota keluarga sering terkena penyakit menular (Dinkes RI, 2005).

2.2.2. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita oleh Kader

  Hal-hal yang boleh dilakukan kader dalam deteksi dini tumbuh kembang anak/balita antara lain :

  1. Penimbangan berat badan

  2. Pengukuran tinggi badan

  3. Pengukuran lingkar kepala

  4. Pengukuran lingkar lengan Adapun 3 jenis deteksi dini tumbuh kembang yang dapat dikerjakan oleh tenaga kesehatan di tingkat puskesmas dan jaringannya dan tidak boleh dilakukan kader, antara lain : status gizi kurang atau buruk dan mikrosefali

  2. Deteksi dini penyimpangan perkembangan, yaitu untuk mengetahui gangguan perkembangan anak (keterlambatan), gangguan daya lihat, gangguan daya dengar

  3. Deteksi dini penyimpangan mental emosional, yaitu untuk mengetahui adanya masalah mental emosional, dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (Depkes RI, 2005).

2.3. Perilaku

  Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku ini tidak sama dengan sikap. Sikap adalah suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda- tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi obyek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.

  Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku ke dalam tiga domain, yaitu 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain ini diukur dari pengetahuan dan sikap.

2.3.1. Pengetahuan

  Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

  b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.

  c. (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut

  Evaluation bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

  d. Trial , di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

  e. Adoption , di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

  Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers dalam Notoatmodjo (2007), menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama. pengetahuan dengan tingkat keaktifan kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Sikumana. Tingginya tingkat pengetahuan kader menjadikan kinerja kader baik dan berdampak terhadap pelaksanaan program posyandu tersebut. Secara teoritis, pengetahuan dan keterampilan kader posyandu diperoleh dengan cara melalui latihan yang diberikan pada waktu awal dari masa kekaderannya serta latihan penyegaran yang diberikan secara berkala. Selanjutnya melalui supervise yang dilakukan oleh petugas puskesmas menjadikan pengetahuan dan keterampilan kader meningkat.

  Nofriadi (2005), menyatakan bahwa pengetahua kader gizi lebih baik, jika: a) Dasar pendidikan kader tamat Sekolah Dasar (SD) atau lebih tinggi; b) Kader pernah mengikuti kursus; c) Kader mengikuti kegiatan gizi; d) Kader aktif selama 12-17 bulan; e) Kader diajarkan 5 macam modul dalam kurus gizi; f) Kader mendapat kunjungan pembinaan selama 3 bulan terakhir, dan g) Kader mendapat lebih sering pembinaan.

  Hasil penelitian Rosphita (2007), menunjukkan bahwa pengetahuan kader terhadap interpretasi hasil penimbangan (N dan T) didapatkan hasil dengan nilai rata- rata adalah 13,06, sedangkan nilai tertinggi adalah 17 (94,4%) dan nilai terendah adalah 9 (50%). Rosphita (2007), menyimpulkan bahwa apabila kader mempunyai pengetahuan yang baik terhadap penilaian hasil penimbangan maka kader semakin terampil dalam menginterpretasi hasil penimbangan tersebut dan menggambar grafik pertumbuhan anak dalam KMS sebagai modal dasar dalam deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak balita.

  Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue. Sikap juga merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang satu sama lain yaitu (Notoatmodjo, 2007): a. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.

  b. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional.

  Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

  c. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.

  Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo, 2007):

  a. Menerima (receiving); Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan.

  Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.

  c. Menghargai (valuing); Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

  d. Bertanggung jawab (responsible); Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi.

  Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

2.4. Perilaku Berdasarkan Karakteristik Kader

2.4.1. Umur Kader

  Menurut hasil penelitian yang yang pernah dilakukan oleh Adjab (1990), di Palembang menemukan sebagian besar kader di daerah penelitian berumur 25 tahun ke atas, ternyata yang aktif 58% sedangkan kader yang berumur dibawah 25 tahun yang aktif 42%. Kemungkinan besar keadaan ini penyebabnya berkaitan dengan adat ketimuran yang tidak membenarkan bagi yang muda mengajari yang lebih tua dan menimbulkan perasaan segan pada kader yang lebih muda untuk memberikan nilai-nilai yang menganggap umur yang lebih tua harus dihormati dan sebaiknya ditunjuk sebagai pimpinan yang dianggap lebih banyak pengalaman bila dibandingkan dengan yang muda. Kader yang muda kelihatannya masih labil dalam memutuskan sesuatu dan masih ragu-ragu.

  Banyak studi yang membuktikan bahwa kepuasan kerja yang tinggi dipengaruhi oleh umur. (Handoko (2000), menjelaskan semakin tua umur pekerja, mereka cenderung lebih terpuaskan. Menurutnya ada sejumlah alas an yang melatarbelakangi kepuasan kerja mereka, seperti pengharapan-pengharapan yang lebih rendah dan penyesuaian-penyesuaian yang lebih baik terhadap situasi kerja karena mereka lebih berpengalaman. Para pekerja yang lebih muda dilain pihak cenderung kurang terpuaskan karena berbagai pengharapan yang lebih tinggi, kurangnya penyesuaian dan penyebab-penyebab lainnya. Demikian pula Robbins (1998), menyatkan bahwa semakin lanjut usia pekerja semakin mampu menunjukkan kematangan pikiran, mampu mengendalikan emosi, dan semakin terampil menjalankan tugasnya. Lebih lanjut ia menjelaskan pekerja yang lebih tua kecil kemungkinan akan berhenti, karena masa kerja mereka yang lebih tinggi dan tunjangan pension yang lebih menarik.

2.4.2. Pendidikan Kader

  Faktor pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan selanjutnya dapat mempengaruhi kemampuan dan berproduktivitas individu. Tingkat pengetahuan seseorang mempengaruhi perilaku individu, yaitu makin tinggi pendidikan atau pengetahuan seseorang, maka makin tinggi kesadaran untuk berperan serta dibidang tingkat pendidikan yang relative tinggi dan penghargaan yang diterima serta latihan yang diikuti (Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1990).

  Hasil penelitian Rosphita (2007), memperoleh gambaran tingkat pendidikan kader posyandu yaitu sebagian besar kader berpendidikan SD (55,1%), SMP (22,4%), dan SMA (16,3%), Tidak Tamat SD (4%) dan yang paling kecil memiliki tingkat pendidikan Perguruan Tinggi (2%). Hubungan pendidikan kader dengan interpretasi hasil penimbangan (N dan T) dan menggambar grafik pertumbuhan anak dalam KMS, menunjukkan hubungan yang bermakna dengan derajat keeratan sedang dan berpola positif.

  2.4.3. Lama Tugas Jadi Kader

  Telah dilakukan tinjauan ulang yang meluas terhadap hubungan senioritas dengan produktivitas. Tidak ada alas an untuk menyakini bahwa orang-orang yang telah lebih lama berada pada suatu pekerjaan akan lebih produktif dibandingkan mereka yang tingkat senioritasnya lebih rendah (Robbins, 1998). Menurutnya bukti menandakan bahwa lama tugas pada suatu pekerjaan sebelumnya dari seorang karyawan, merupakan suatu peramal yang mapuh dari keluarnya karyawan itu di masa depan. Hal ini berkaitan dengan pendapat Siagian (1997), yakni bila usia dan lama kerja diperlakukan secara terpisah, tampaknya lama kerja akan merupakan peramal yang lebih konsisten dan mantap dari kepuasan kerja dari pada usia kronologis.

  2.4.4. Pelatihan Kader

  Pelatihan kader adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan pelayanan dan penyuluhan gizi di posyandu, di luar Posyandu maupun pada kunjungan rumah (Depkes RI, 2006).

  Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (2001), mendefinisikan pelatihan kader adalah suatu usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sekaligus dedikasi kader agar timbul kepercayaan diri untuk dapat melaksanakan tugas sebagai kader dalam melayani masyarakat, baik di posyandu maupun saat melakukan kunjungan rumah.

  Menurut Green (1980), pelatihan adalah termasuk dalam factor pemungkin, yaitu factor yang memungkinkan kader bias bekerja. Tujuan diadakan pelatihan kader adalah agara kader mengerti, bersedia dan mampu berperan dalam pelaksanaan kegiatan program-program kesehatan. Peserta pelatihan adalah kader kesehatan yang dipilih oleh masyarakat dengan criteria yang telah ditentukan.

  Materi dalam pelatihan kader dititikberatkan pada keterampilan teknis menyusun rencana kerja kegiatan di Posyandu speerti : a. Cara menimbang kelompok sasaran yang menjadi tanggung jawab posyandu.

  b. Cara menimbang.

  c. Cara menilai pertumbuhan anak.

  d. Cara menyiapkan kegiatan pelayanan sesuai kebutuhan anak dan ibu.

  e. Cara menyiapkan peragaan.

  f. Cara pemberian MP-ASI (Makanan Pendamping ASI)

  g. Cara PMT (Pemberian Makanan Tambahan) untuk anak yang pertumbuhannya tidak naik.

  h. Cara memantau perkembangan ibu hamil dan ibu menyusui.

  Agar pelatihan kader dapat berjalan efektif, maka diperlukan unsure pelatihan kader yang mampu dan berdedikasi tinggi dalam memberikan materi pelatihan secara efektif dan berkesinambungan, yakni melalui pendampingan dan bimbingan. Pelatihan kader diberikan secara berkelanjutan berupa pelatihan dasar berjenjang yang berpedoman pada modul pelatihan kader.

2.5. Kartu Menuju Sehat (KMS)

  2.5.1. Penjelasan Umum Kartu Menuju Sehat (KMS) Balita

  Kartu Menuju Sehat (KMS) balita dibedakan antara KMS anak laki-laki dengan KMS anak perempuan. KMS untuk anak laki-laki berwarna dasar biru dan terdapat tulisan Untuk Laki-Laki. KMS anak perempuan berwarna dasar merah muda dan terdapat tulisan Untuk Perempuan. KMS terdiri dari 1 lembar (2 halaman) dengan 5 bagian didalamnya.

Gambar 2.2 Kartu Menuju Sehat (KMS)

  Sumber: PP Menkes RI. No.155, 2010

  2.5.2. Fungsi Kartu Menuju Sehat (KMS)

  Kartu Menuju Sehat sebagai alat penyuluhan gizi menurut Mudjianto (2001) belum efektif. Ketidakefektifan ini terjadi karena masih rendahnya pemahaman kader Posyandu dan ibu balita terhadap arti dari grafik pertumbuhan anak. Rendahnya pengetahuan kader untuk memberikan nasihat gizi kepada ibu balita ikut berpengaruh juga terhadap kekurangefektifan KMS. Selain itu, pesan-pesan gizi yang ada di dalam KMS seringkali tidak dimanfaatkan oleh ibu balita karena seringkali KMS disimpan pada kader dengan alasan takut hilang.

  KMS yang diisi lengkap oleh kader bisa dijadikan indikator bahwa anak rajin dibawa ke posyandu. Semakin rajin anak dibawa ke posyandu maka keadaan tumbuh kembangnya semakin terkontrol dan lebih cepat dilakukan penanggulangan apabila tumbuh kembang anak terhambat. Beberapa hal yang dapat menghambat tumbuh kembang anak diantaranya dikarenakan kurang gizi atau penyakit tertentu pada anak.

  Kurva yang ada di dalam KMS ditetapkan berdasarkan berat badan menurut usia. Hal ini dikarenakan berat badan merupakan indikator yang sensitif terhadap pengaruh infeksi dibandingkan dengan ukuran-ukuran antropometri lainnya. Anak yang sehat dan dikatakan normal akan menunjukkan kenaikan berat badan seiring

2.5.3. Kegunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)

  Menurut Depatemen Kesehatan RI (2006), KMS adalah alat yang sederhana dan murah yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak.

  Istilah KMS adalah pengganti istilah Kartu Jalan Kesehatan yang dianjurkan pada tahun 1975 oleh seminar antropometri. Tujuan utama dibuatnya KMS di antaranya: a. Sebagai alat untuk pemantauan pertumbuhan anak. Pada KMS dicantumkan grafik pertumbuhan normal anak, yang dapat digunakan untuk menentukan apakah seorang anak tumbuh normal, atau mengalami gangguan pertumbuhan. Bila grafik berat badan anak mengikuti grafik pertumbuhan pada KMS, artinya anak tumbuh baik, kecil risiko anak untuk mengalami gangguan pertumbuhan.

  Sebaliknya bila grafik berat badan tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan, anak kemungkinan berisiko mengalami gangguan pertumbuhan. Sebagai catatan pelayanan kesehatan anak. Di dalam KMS dicatat riwayat pelayanan kesehatan dasar anak terutama berat badan anak, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI pada bayi 0-6 bulan dan imunisasi. Sebagai alat edukasi. Di dalam KMS dicantumkan pesan-pesan dasar perawatan anak seperti pemberian makanan anak, perawatan anak bila menderita diare.

  b. Bagi orang tua balita Orang tua dapat mengetahui status pertumbuhan anaknya. Dianjurkan agar setiap bulan membawa balita ke Posyandu untuk ditimbang. Apabila ada indikasi gangguan pertumbuan (berat badan tidak naik) atau kelebihan gizi, orang tua banyak atau membawa anak ke fasilitas kesehatan untuk berobat. Orang tua balita juga dapat mengetahui apakah anaknya telah mendapat imunisasi tepat Waktu dan lengkap dan mendapatkan kapsul vitamin A secara rutin sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

  c. Bagi kader

  Kartu Menuju Sehat digunakan untuk mencatat berat badan anak dan pemberian kapsul vitamin A serta menilai hasil penimbangan. Bila berat badan tidak naik l kali kader dapat memberikan penyuluhan tentang asuhan dan pemberian makanan anak. Bila tidak naik 2 kali atau berat badan berada di bawah garis merah kader perlu merujuk ke petugas kesehatan terdekat, agar anak mendapatkan pemerikasaan lebih lanjut. KMS juga digunakan kader untuk memberikan pujian kepada ibu bila berat badan anaknya naik serta mengingatkan ibu untuk menimbangkan anaknya di posyandu pada bulan berikutnya.

  d. Bagi petugas kesehatan Petugas dapat menggunakan KMS untuk mengetahui jenis pelayanan kesehatan yang telah diterima anak, seperti imunisasi dan kapsul vitamin A. Bila anak belum menerima pelayanan maka petugas harus memberikan imunisasi dan kapsul vitamin A sesuai dengan jadwalnya. Petugas kesehatan juga dapat menggerakkan tokoh masyarakat dalam kegiatan pemantauan pertumbuhan. KMS pertumbuhan anak, manfaat imunisasi dan pemberian kapsul vitamin A, cara pemberian makan, pentingnya ASI eksklusif dan pengasuhan anak Petugas dapat menekankan perlunya anak balita ditimbang setiap bulan untuk memantau pertumbuhannya.

2.6. Kerangka Konsep

  Berdasarkan latar belakang masalah, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  Variabel Independen Variabel Dependen Karakteristik Kader :

  Umur

  − − Pendidikan − Lama tugas Menjadi Kader − Pekerjaan

  Tindakan Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Balita Pengetahuan Sikap

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sosial Budaya 2.1.1. Pengertian Sosial Budaya - Gambaran Sosial Budaya Terhadap Diabetes Mellitus pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Gunungtua Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2014

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Gambaran Sosial Budaya Terhadap Diabetes Mellitus pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Gunungtua Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2014

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik 2.1.1 Umur - Gambaran Karakteristik dan Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat 2014

1 12 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Gambaran Karakteristik dan Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat 2014

0 2 9

II. RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA - Analisis Risiko Pajanan Gas SO2 dan NO2 Sumber Transportasi terhadap Gangguan Saluran Pernafasan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terpadu Amplas Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 50

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Udara 2.1.1. Definisi Pencemaran Udara - Analisis Risiko Pajanan Gas SO2 dan NO2 Sumber Transportasi terhadap Gangguan Saluran Pernafasan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terpadu Amplas Kecamatan Medan Ampla

0 0 34

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Risiko Pajanan Gas SO2 dan NO2 Sumber Transportasi terhadap Gangguan Saluran Pernafasan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terpadu Amplas Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Vulva Hygiene terhadap pH Organ Genitalia Internal pada Siswi SMAN 1 Tiga Panah Kabupaten Karo Tahun 2013

0 0 35

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Vulva Hygiene terhadap pH Organ Genitalia Internal pada Siswi SMAN 1 Tiga Panah Kabupaten Karo Tahun 2013

0 0 10

d) Penyuluhan e) Lampiran 1 - Perilaku Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Balita di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung

0 0 26