Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme

Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme

Septiawan Santana K.

ABSTRAK Upaya penyampaian pesan jurnalistik cetak, yang ber-feed back tidak langsung, diatasi dengan

lebih mengaransir aspek “human interest” dalam susunan pelaporan. Efek medium “cetak”, yang tidak audio visual, dieliminir jurnalisme. Tiap peristiwa yang diletakkan tiap ujud fakta,

dikemas lagi ke dalam pengisahan teknik “fiksi” sastra untuk menghampiri “bayangan” pembaca akan news value (nilai berita) yang punya daya greget. Pembaca diharapkan akan asyik membayangkan rincian kisah fakta-berita yang tengah aktual terjadi, serta akan diberi ulasan yang lebih mendalam dalam perspektif yang lebih meluas. Kekuatan tulisan sastra, misalnya, menjadi alat menjiplak jurnalis: mengembangkan sebuah pelaporan yang lebih menggigit “dramatisasi”, dan pelebaran isi pesan (pemaknaan) di- enkoding masyarakat. Pencairan fakta dan fiksi, misal yang lain, juga membangun kepercayaan bahwa kenyataan “semiotis” pun memiliki daya guna bagi pelaporan fakta-berita. Kenyataan sosial dan realitas empirik ternyata bisa didekati dengan sebuah upaya membangun

penyampaian pesan lewat semiotika pencitraan.

1. Pengantar

antarmanusia yang semakin individualis. Latar sosial Muhammad Amin pun akhirnya

Penyair Afrizal Malna mengirim Muhamad membuatnya merasa menjadi “alien”. Ia tercekam Amin ke Bern, Jerman. Hal itu ia lakukan di sajak suasana perasaan alienasi sosial. Dan ia merasa “Saya Menyetrika Pakaian”, dalam buku kumpulan jadi “sapi” dan “sepeda”. Hingga, ia pun lalu

puisinya Arsitektur Hujan (1995). 1 Latar sosio memutuskan perlu membuat “negeri Muhamad Amin ialah Timur Tengah. Muhamad penyeberangan” ketika berjalan-jalan “di Amin adalah tokoh (penanda sekaligus petanda) sepanjang Sungai Rhein”. “kemerdekaan” yang menolak disetrika Hitler,

Afrizal Malna membuat dongeng “puisi” Tembok Berlin, Khomeini, dan Madonna.

macam itu ketika (sekali lagi) ia Menyetrika Amin lalu bertemu wanita Indonesia. Ia juga Pakaian. Sastra Indonesia kemudian

bertemu suasana rasialisme. Sembari menikmati mengenalinya sebagai sebuah gaya berpikir lingkungan peradaban rumah-rumah abad ke-20, “puisi” Afrizalian. di lukisan Bacon, ia berjalan-jalan di antara gereja,

Salahkah Afrizal?

kafe, dan batangan-batangan rel kereta: yang tampak jadi semacam “sosio” di mana Jerman

2. Code Penulisan Sastra

mencitrakan dirinya sebagai seonggok peradaban mutakhir.

Di pengantar kumpulan puisinya, Afrizal Sebuah struktur kehidupan modern, dengan Malna menyebut sajak-sajaknya sebagai “sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi alas fragmentaris biografis”. Ia ingin menghadirkan masyarakatnya bergerak. Di mana segala berbagai pengucapan yang “melayani kebutuhan sesuatunya pun terasa dikalkulasi oleh hitungan orang...dalam (me)rekonstruksi wacana yang belum bank, dan struktur sosial, mengelola perhubungan bisa diduga sebelumnya”. Berbagai sajaknya, ia

Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme

seakan sudah kadung jadi kodratnya, memang Biografi teks itu memiliki kekuatan hidup. Dan menolak regimentasi walau dianggap tidak objektif lahap Afrizal mengonsumsi “hidup” untuk bahan (terlalu subjektif). Dan berakibat, bahasanya pencernaan-pikiran yang, menurutnya, sehat. memiliki kekuatan personalitas yang tinggi, dan Tidak dibayang-bayangi ketakutan “menjadi” cenderung dituding membuat “gelap” para eksemplar dominasi pikiran, yang dalam pergaulan pengapresiasi/resepsi. kepenyairannya menitikberatkan pada sesuatu

Pada Afrizal: “Ia tak memakai bahasa secara yang bernama bahasa.

obyektif tapi ia memakai bahasa untuk sangat Lewat bahasa puisi, ia pun coba mensinyalkan mendeteksi dan merumuskan impuls personalnya penanda-penanda puitis yang harus dinyatakan: saat ia tenggelam dalam situasi di tengah benda- untuk mengaksentuasi kehidupan yang telah benda,” nilai Penyair Beni Setia. 3 Afrizal mencatat berada di titik-titik kritis. Penanda-penanda itu segala benda, hal, teks, dan apa pun untuk juga, dalam berbagai “dongeng” puisinya, ternyata memperoleh suasana personal. Pengalaman puitik sekaligus menjadi pertanda: sesuatu yang dijadikan personal itu ingin dihadirkan ke dalam bahasa barang atau benda oleh kehidupan masyarakat, tak “benda-benda”. Puisi Afrizal Malna menjadi bagai hanya Indonesia, telah lebur ke dalam mekanisme penulisan sebuah lakon yang menampilkan sebuah industri dan berbagai gejala pascaindustri.

panggung kecil dari benda-benda dan peristiwa- Ketika Sutardji Calzoum Bachri mengamuk peristiwa, dalam sebuah momen happening atau dalam kumpulan puisi Amuk-nya, tulis Suyatna tampakan instalasi. Puisi Afrizal bagai memakai Anirun tokoh Studiklub Teater Bandung, 2 “semula pendekatan multimedia. “Dan bukan bahasa,” tulis ia dianggap produk terputus dari benang merah Beni. kesusastraan Indonesia”. Imaji liar, lewat Kucing-

Pada bahasa personalitas itu terlihat upaya Sutardji, menumbuhkan “tanda-tanda” baru bagi kepenyairan merumuskan segala sesuatu secara persajakan Indonesia. “Ada patahan komunikasi amat personal, serta proses pengomunikasian yang perlu diraba dengan imaji morpologis”. secara amat spontan dan amat ekspresif: Kondisi yang sama dialami Afrizal Malna, lanjut “Merupakan gaya bahasa yang dihidupkan oleh Suyatna. Afrizal memasuki keliaran imajinasi penyair secara personal dengan menggarap bahasa dengan risiko, puisi-puisinya dianggap puisi gelap. ke kemungkinan personal.” Bahasa digunakan “Padahal dilihat dari proses antropologis apa yang Afrizal hanya untuk mendeteksi dan merumuskan dilahirkan Afrizal...sangat manusiawi, sangat impuls personalnya, “saat tenggelam dalam situasi menyentuh”. Afrizal tergugah oleh kehadiran di tengah benda-benda”. Afrizal hanya ingin benda-benda tertentu. Benda yang merasakan pengalaman puitik personal, lalu mengelilinginya, menstimulir “getaran-getaran atau menuangkannya ke dalam bahasa: “dengan asosiasi-asosiasi” ke dalam pikiran.

menyebutkan sebanyak mungkin hal-hal, benda- Maka, ketika Afrizal menelusuri, “tanda- benda, teks-teks, dan apa pun.” tanda”, dan menemukan kamus bahasa-

Realitas muatan bahasa kepenyairan kepenyairannya, ia pun seperti menyingkir dari Afrizalian, tampaknya, masih sama dengan “tradisi” membahasakan puisi. Ia pun menulis, kebiasaan bahasa puisi mendaur-ulang “Arsitektur sungai dan sawah/ tikus-tikus/ dan kompleksitas kenyataan. Pada Afrizal, ia bertemu batang-batang pisang/ membuat lemari pakaian/ dengan kerumitan kehadiran “benda-benda”: untukmu// Tetapi kota/ tidak diturunkan/ dari sebagai penanda, sekaligus petanda, kesesakan, situ/ Agus// Jangan bergegas//”.

dan kepengapan hidup dikelilingi sistem dan Bahasa penyair memang alat merumuskan struktur industri informatika yang mengglobal.

48 M EDIA T OR, Vol. 5 No.1 2004

Dunia informasi, yang mengantarkan skema seolah enggan berdiam, segan berkerja sama.” Dan kemasyarakatan seperti itu, menampilkan benda- menilai para sastrawan, pada akhir 1996, 6 di banyak benda jadi tanda-tanda. Bukan lagi lambang.

penjuru dunia, mengalami gegar budaya di soal Ada pergeseran pemahaman, yang dirasakan bahasa karena proses dominasi “bahasa persatuan tapi belum terbakukan, akan arti “tanda” dan lingua franca”, di tingkat lokal maupun global, “lambang”. “Fungsi lambang,” menurut Goenawan menyedot “bahasa periferi masyarakat

Mohamad, 4 “adalah membatasi”. Lambang tradisional”. Serbuan “progresi peradaban”, yang memaknakan stabilitasi sesuatu yang selalu dapat ditetakkan “revolusi teknologi informasi”, telah diukur, “disepakati secara luas karena didukung menghadirkan “sejumlah raksasa kenyataan yang kekuatan lembaga atau...ideologi”. Fungsi tanda harus diwakili dan direpresentasikan oleh berbagai tidak berjalan seperti itu. Fungsi tanda tidak daya ucapnya.” Berbagai produk sastra Asia, memaknakan pada konklusi “satu realitas yang unik Afrika, Eropa, dan Amerika Latin pun kini tidak dan tunggal”. Tanda hanya menampilkan “satu dapat lagi diidentifikasi ke acuan tradisi. himpunan gambaran dan ide-ide”. Sesuatu upaya,

Gejala tersebut tampaknya dapat dilihat dalam didesak perkembangan masyarakat yang kasus bahasa puisi Afrizal Malna. Alasannya, membutuhkan pergeseran fungsi, menghadirkan mungkin, adalah seperti ketika Afrizal, di semacam asas transformasi yang meminta pengantar, menulis bertemu dengan seorang nenek “ketidaktetapan” menjadi suatu ketetapan. Dari tua di desa Schwarzwald (Hutan Hitam), Jerman perbedaan lambang ke tanda itu, muncul Selatan, yang kesengsem dengan “tomat”. Tomat pemahaman akan pentingnya “kata” diwaspadai menjadi tanda usaha melayani naluri untuk menjaga dari kemungkinan membeku. Setiap kata harus kehidupan dengan cara merawat sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk senantiasa bergerak “terdekat dengan dirinya”. Tomat nenek tua dari antara teks dan konteks, antara kamus dan realitas Hutan Hitam mengenalkan Afrizal dengan upaya bahasa. Artinya, setiap kata tidak pernah berada kepenyairan merawat “tanda-tanda” realitas, yang dalam keadaan yang stabil, tidak pernah akan 100 ditemui oleh nasibnya, di tiap fragmen-fragmen persen persis pemaknaannya. Toh, setiap kamus biografis. bahasa pun selalu memiliki kekurangan bila diajak

Ia mencoba menggarisbawahi keterdekatan- untuk membakukan kata-kata yang beredar di nya dengan “dunia”, via bacaan dan travelling, masyarakat. “Manusia tak bisa punya satu kamus,” telah memberinya tenaga hidup puisi sejalan tegas Goenawan. “Bahkan di kepalanya sendiri”.

dengan realitas kemanusiaan. Dan seusai berjalan- Pada proses ini, tampaknya, bahasa jalan dari berbagai bangsa dan negeri (yang kepenyairan Afrizal Malna bisa dipahami. Ia telah disinggahinya), atau berbagai bacaan teks melakukan penelusuran “tanda-tanda”. Ia (literatus-informasinya), ia mengangkut segala kemudian coba menghadirkan kamus-bahasa- “benda” ke rumah-puisinya. Lalu menyajikan kepenyairan di luar kamus yang sudah ada. Ia kepada tiap tamu, yang singgah ke rumah-puisinya, meminta “arti” lain menjadi “makna”, dari “benda- dengan “benda-benda” cindera mata yang tidak benda”, yang telah menggerus isi kepala orang biasa ada, paradoks, instabilitas. selama ini. Ia merujuk kemungkinan instabilitas selalu ada di tiap kata memproses pengalaman hidup keseharian.

2.1 Bahasa Sastra

Penyair Radhar Panca Dahana, pada satu esai- Bahasa bagi kesusastraan merupakan sarana puitiknya yang berjudul “Matinya Seorang “mengungkapkan nilai-nilai seni baru, cita rasa, dan Penyair” (1994), 5 menulis bahwa, “setelah de jiwa manusia.” Penyair dan budayawan Abdul Hadi Sausure dan para paska-strukturalis ... menempat- WM (1973) menegaskan hal itu – ketika realitas kan kata-kata ... ’otonom’ dari manusia, .... penyair Orde Baru masih belum begitu meregimentasi lari berkejar-kejaran, memburu kata-kata yang kemapanan “wacana kesenian dan kebudayaan”

Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme

Taman Ismail Marzuki (TIM), di Ibukota Jakarta, Ferdinand de Saussure, dan ikut memapankan sebagai tempat diskusi sastra menjelajahi berbagai strukturalisme yang menjadi salah satu isu gerakan

kemungkinan kreativitas. 7 intelektual di abad ke-20. Pandangannya menyebar Cita rasa dan jiwa manusia itu tertuju pada ke Eropa dan Amerika. Pun Indonesia. manusia modern. Yang selalu “dirongrong oleh

Style di dalam sastra memang merujuk ke kegelisahan, keterasingan, mimpi, dan harapan- arti gaya di dalam menulis (dari kata Latin stilus harapan baru”. Dan, bagi Indonesia, kegelisahan yang, di antaranya, mengartikan gaya penulisan). itu, di antaranya, muncul lewat “sajak-sajak protes Di penulisan sastra, gaya menerakan pemilikan dan gelap” yang muncul sejak awal 1960-an sampai orisinalitas dari ekspresi. Juga, kemampuan 1970-an – sewaktu Abdul Hadi menuliskan menciptakan gaya tertentu bagi seorang penulis makalahnya pada seminar Kesusastraan Nusantara atau pembicara. Stilisitik sendiri menjadi sebuah 1973. Itu menjadikan perlunya upaya pengenalan aspek studi sastra yang kemudian menganalisis kembali terhadap wacana kebahasaan sastra, adanya berbagai elemen, seperti metafor dan diksi seperti bahasa penyair.

(Merriam-Webster‘s Encyclopedia, 1995). 8 Penyair Sapardi Djoko Darmono dikutip Abdul

Gaya juga berarti pengungkapan sebuah Hadi. “Kata-kata,” dalam bahasa penyair, “tidak pikiran. Gaya Renaisans telah menjadi katalog. Para berperan sebagai alat yang menghubungkan esais dan oratornya mengerangka gagasan dengan pembaca dengan dunia intuisi penyair”. Penyair model kalimat dan tipe sajian wacana tertentu. menggunakan kata-kata sebagai “pendukung Charles Bally (1865-1947), filologis Swiss, imaji.” Hal inilah yang membedakannya dengan memperlihatkan gaya bahasa itu menyangkut “kata-kata dalam bukan puisi”. Chairil Anwar dan bentuk ekspresi personal melalui pemilihan kata- Amir Hamzah adalah contoh penyair yang kata sinonim “children, kids, youngsters, and “memperhatikan kata”. Pada Amir Hamzah, youths”, yang memiliki perbedaan distinktif di soal misalnya, terjadi upaya “menggali kemungkinan- nilai. Edward Sapir, penelusur hubungan “gaya” kemungkinan bahasa Indonesia sebagai dengan “linguistik”, membicarakan perbedaan pengucapan untuk mengungkapkan nilai-nilai sajak gaya kesusastraan antara bentuk-klasik (lewat modern”. Kreativitas itu, oleh Chairil Anwar, tertera Algernon, Charles Swinburne, Paul Verlaine, dalam “kalimat-kalimat yang padat dalam Horace, Catullus, dan Virgil, dan banyak lain lagi seruannya, tajam dalam kependekannya”.

di kesusastraan Latin) dengan isi-klasik (seperti Di dalam sastra, bahasa memang jadi Homer, Plato, Dante, dan William Shakespeare) dan pertaruhan penting. “Tata bahasa ... yang sarat bentuk-bentuk peniruan yang mendekati lainnya. dengan norma-norma,” kata Abdul Hadi, “hanyalah Tapi, gaya di sini juga bisa berarti bunyi yang pegangan buat mempermudah penyampaian terangkai dalam irama dan muncul dalam pengertian, pemikiran, pendapat dan berita-berita”. pengucapan “dental dan palatal”. Selain itu juga, Sastrawan tidak mau ditentukan mutlak oleh tata oleh bentuk dan intonasi yang sengaja bahasa, karena kepentingan “pemberian makna dimunculkan dari rangkaian kata yang terajut. selanjutnya”. Wilayah penemuan baru sastrawan, yang menyebabkannya bertemu dengan gaya penulisan sastra. Abdul Hadi lalu mengutip Roland

2.2 Konvensi

Barthes: “Gaya di dalam sastra adalah gaya yang Sebagai sebuah teks (karya tulis), sastra pribadi sifatnya, ... sebagai ragam ekspresi ....”

diwacanakan secara khusus. Berbagai unsur Sejak 1970-an, berbagai pandangan Barthes bahasanya, menurut Ida S.Hussen, menghasilkan mempengaruhi banyak diskusi sastra. Kritikus kode-kode yang khas. Dalam disertasi (1990), 9 ia sastra dan sosial Prancis ini banyak dikutip di soal kemudian mengutip Mitterand (1971), Riffarterre semiotik, pelanjut studi formal tentang berbagai (1981), dan Dembowski (1981). “simbol dan tanda” (symbols and signs) dari

Sebuah kodenya ialah struktur bahasa. Bahasa

50 M EDIA T OR, Vol. 5 No.1 2004 50 M EDIA T OR, Vol. 5 No.1 2004

Komposisi ialah keteraturan susunan pelbagai makna dari bahasa, yang umum disepakati sebagai kalimat yang membentuk keutuhan suatu wacana. tata bahasa. Berbagai pengamat menyebut tata ba- Misal, susunan pendahuluan, pokok pembicaraan hasa umum itu sebagai sistem primer. Bahasa sas- dan penutup atau kesimpulan. Namun, keteraturan tra, beranjak dari sistem bahasa primer, memodelkan itu tidak saklek. Karya sastra punya kelonggaran sistem sekunder dalam gejala kebahasaan.

memainkan susunan, misal dengan diawali Setiap makna tidak terkait dengan benda, kesimpulan disusul kilas balik dan diakhiri konsep, atau kenyataan nonverbal, melainkan lebih keterangan. berhubungan dengan konteks historis dan konteks

Makna, atau pesan yang ingin disampaikan, khas dari sastra itu sendiri: melalui penggunaan bisa dikemukakan secara eksplisit bisa juga dialek, genre, dan semacamnya. Sebuah makna implisit. Teater Mini Kata, kumpulan esai Catatan sastra merupakan sebuah kompleks pengertian, Pinggir, gaya teror cerita Putu Wijaya, daya imaji yang terjalin di sebuah atau beberapa bagian teks. puisi-puisi Perahu Kertas Sapardi Djoko Darmono, Bagai sebuah wilayah, sebuah teks sastra adalah di antara teks-teks yang mengimplisitkan merupakan sebuah “kompleks praanggapan” (pre- pemaknaan. Karya teks macam ini suppositions).

mengimplikasikan, antara lain, upaya mengartikan Dengan kata lain, strukturalisme memandang “sebuah kalimat atau ungkapan” melalui konteks sebuah teks karya tidak dari maksud penulis atau yang menyelubungi karya-karya tersebut. pembaca ataupun referensi lain. Pemaknaan jatuh

Setiap karya jadi punya banyak kemungkinan pada struktur kebahasaan dari teks itu sendiri. keterhubungan dengan banyak karya lain. Struktur: mengartikan adanya keterhubungan in- Berbagai kutipan, pungutan teks-teks lain, ternal antarelemen bahasa, sampai yang terkecil, misalnya, adalah penghubung sebuah esai dengan dalam suatu kesatuan yang mandiri.

teks lain. Genre literer satu novel dicuplik, atau Telaahan F. de Saussure, dalam Cours de diubah dan ditolak, oleh novel lain. Orisinalitas linguistique generale (1916), banyak dijadikan pa- sebuah karya kerap terumuskan lewat acuan karya tokan. Lewat bahasannya, studi bahasa tidak lagi lain yang tumbuh di ruang kebudayaan tertentu. hanya mengurus fonologi dan morfologi. Ia juga

“Genre literer adalah piranti generatif yang mengurus karya sastra, dalam arti penelahaan struk- menyebabkan sebuah komposisi mendapat tur teks dari karya-karya yang ditelaah. Dan, pende- bentuknya yang spesifik sebagai novel, cerita katan struktur kemudian berkembang menjadi alat pendek, esai, makalah ilmiah, puisi dan untuk menelusuri soal-soal kebudayaan. Manusia sebagainya,” kutip Leo dari Interpretation Theory menjadi organ dari struktur kehidupan politik, Ricoer (1976). Sifat genre kerap berkriteria statis. sosial, ekonomi, dan seterusnya. Tanda atau kode Seorang pengarang bertolak dari pola-pola literer “budaya” menjadi satu referen yang membayangi yang ia pelajari sebelum menelurkan penciptaan sebuah teks karya sastra. Fonem, morfem, kosa genre baru. Chomsky, menurut Leo, bisa dikutip kata, tata bahasa, misalnya, berhubungan dengan ketika menjelaskan dua pola kreativitas. Pertama, struktur wacana yang bergerak di perkembangan kemampuan menghasilkan karya baru dengan kehidupan manusia dalam menancapkan menggunakan pola lama yang sudah dikenal. pemaknaannya. Masing-masing mengimplikasikan Kedua, pengubahan pola dengan menggunakan “tanda atau kode” kehidupan manusia di satu pola lama sebagai sarana kreativitas. momen waktu dan ruang kemasyarakatan.

Pengenalan genre diperlukan. Pola-pola Karya sastra dibentuk oleh tiga unsur formal: aturannya memudahkan seseorang untuk komposisi, genre literer, dan gaya bahasa. Leo memahami sebuah teks karya. Genre-genre kitab Kleden, dalam Jurnal Kebudayaan KALAM, 10 suci adalah contoh. Beberapa genre besar

Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme

pernah tuntas selesaikan persoalan hidup. Gaya bahasa mengindikasikan pemakaian ba- hasa secara khas dalam komposisi dan genre literer hingga tercipta karya yang khas pula. Gaya menyi-

2.3 Estetika Teks

ratkan kemampuan individual seorang penulis da- Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak lam ukuran “pribadi dan unik”. Gaya seorang pe- tergantung pada teks semata. Karya sastra bukan ngarang yang orisinal, dengan demikian, memiliki hanya mengungkapkan kata-kata belaka. Setiap ka- temuan kreativitas yang harus dikenali secara hati- ta, dalam karya sastra, mempunyai banyak ke- hati. Karena, dalam diktum sifat intertekstual, akan mungkinan. Karya sastra juga bukan hanya me- harus dipilah secara jeli dan teliti keterhubungan- nampilkan fakta-fakta belaka. Setiap faktanya pun nya dengan karya lain. Kekhasan “pribadi dan punya banyak kemungkinan. Karya sastra memang unik”-nya sebuah karya bisa muncul lewat “kosa karya literer yang punya banyak efek tafsir. kata, bangun kalimat, ungkapan-ungkapan,

Menurut Goenawan Mohamad, 12 tafsir penggunaan genre dan alur komposisi”.

merupakan “masalah yang penting” dalam teori “Komposisi, genre literer, dan gaya bahasa dan kritik sastra di Indonesia. Punya jejak panjang merupakan unsur-unsur formal ... yang menjadikan dalam sastra, bahkan dari riwayat kemanusiaan wacana sebuah karya,” nilai Leo.

pada umumnya. Melibatkan tokoh-tokoh sejarah Sebagai karya tulis, sastra memang antara lain macam Martin Luther (sejarah agama Kristen), sampai ke pembaca melalui teks. Akan tetapi, yang Spinoza (Yudaisme Eropa), Al Hallaj (kisah sufi Is- terkandung bukan hanya tulisan belaka atau lam), Trotsky (dalam kronik komunisme). Soal tafsir tekstual semata melainkan apa yang dikandung di di sastra Indonesia berhubungan dengan dalam teks. Bila banyak pihak menilai penting fenomena kasus pengadilan cerita pendek Langit tulisan sastra disebabkan keindahannya, hal itu Makin Mendung yang menimpa HB Jassin pada cuma menyangkut sebuah segmen dari tekstualitas 1969, catatan sejarah abad ke-16 di Aceh yang

sastra. Sebab, menurut Budi Darma (1974), 11 di menyebutkan pembakaran sajak-sajak Hamzah sana ada “keberhasilan tulisan sastra tersebut Fansuri, dan buku-buku Pramoedya A.Toer yang mendekati kebenaran.”

dilarang sejak awal Orde Baru. Karya sastra merupakan medium

Dan, melahirkan diskusi sastra antara lain “pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu tentang “overinterpretasi”. Jonathan Culler, jiwa”. Penulis sastra ialah ahli ilmu jiwa dan filsafat. menurutnya, memunculkan pengertian “under- Ia tidak mengungkapkan tema psikologis atau standing” dan “overstanding” dari Wayne Both. psikiatris dan filsafat dengan cara pandang disiplin Understanding ialah “bertanya dan menemukan ilmu yang akademis melainkan “melalui tulisan jawab yang didesakan oleh teks (yang kita baca)”. sastra”. Tokoh Don Quisot, oleh Cervantes, tampil Ketika pengarang mengisahkan “di jaman dulu, ada dalam kesintingan membuka katup-katup nilai tiga ekor babi kecil”, pembaca diajak bertanya sosial masyarakat yang terlalu menghamba nilai tentang apa yang akan terjadi. Bukan kenapa yang kepahlawanan. Dari atas keledai, Don Quisot dipilih tiga ekor. Overstanding membawa pembaca membebaskan orang hukuman dari penjagaan untuk bertanya hal-ihwal latar belakang budaya pengawal kerajaan tapi, dengan kesudahan, ia dongeng, penafsiran terhadap angka tiga, serta digempur balik oleh orang-orang hukuman itu: kemungkinan tersembunyi alegori mengenai karena tindakan sinting Don Quisot yang tak lambang-lambang lain.

52 M EDIA T OR, Vol. 5 No.1 2004

Melalui diskusi macam ini, konvensi penulisan nilai estetik dikemukakan. Di sebuah bacaan sastra, sastra kian ke sini kian kompleks. Sastra tidak lagi estetika terjadi oleh sebuah hubungan. Hubungan hanya bisa diurus dengan dalil-dalil “isi semantik”. antara seorang pembaca dengan bacaannya, dalam Metafor sastra kerap ditarik “ke dalam imperialisme sebuah situasi seperti “tegangan”. Sebuah wacana”, dicoba-jelaskan dengan kepentingan tegangan yang tumbuh dari aktivitas pembaca, “pemaparan diskursif”. Walau, makna yang ketika memberi arti pada bacaannya. Estetika, diluncurkan kata-kata (sastra) sifatnya “istimewa dengan demikian, berhubungan dengan proses dan menonjol”, dan mengekspresikan sesuatu penikmatan. Dan tegangan, dengan demikian, yang baru, “yang tak mungkin kita temukan merupakan esensi dari penikmatan estetis. sendiri”, yang di dalam bahasa puisi menampilkan

Karena itulah, sebuah karya sastra dibaca “kombinasi-kombinasi syntagmatik yang tak galib berulang-kali. Proses estetis mendorong pembaca, bisa terjadi dan tetap melahirkan sebuah proses bagai sebuah proses yang terus-menerus memikat. sintesis yang tak menggagalkan proses Estetika sastra, maka itu, ditentukan di antaranya pemaknaan”: oleh karena itu, tiap karya sastra oleh dua hal: (1) tegangan antara karya seni sebagai (puisi) memiliki “getar kongkret yang mengalir” dan sesuatu yang tersedia secara tetap; (2) sikap dan kerap tak begitu saja mutlak “diurai, diisolasi, dan pengalaman seorang penikmat atau pengamat yang ditelaah” secara mutlak ke dalam konsep-konsep tetap berubah. Tegangan estetis, oleh Teeuw, abstrak.

dibagi ke dalam berbagai jenis. Salah satunya: Karya sastra, di dalam puisi, tak hanya berisi “Fungsi Puitik Bahasa”, merupakan tegangan yang kata dan kalimat. “Ia juga nada, bunyi, bahkan pertama kali dihadapi oleh pembaca; dan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran,... ungkapan ditimbulkan oleh pemakaian bahasa dalam seni yang terbentuk dari dorongan-dorongan naluri. sastra. Dalam penjelasan Teeuw: Puisi tak hanya suatu proses simbolik, melainkan

Tegangan dari Fungsi Puitik Bahasa dapat terjadi

juga semiotik ....” Sebuah karya sastra jika berhasil

karena bermacam-macam keistimewaan: karena

menyentuh pembaca karena adanya upaya

pemakaian kata-kata yang aneh, kolot, asing, kata

menghidupkan kembali “kualitas estetik”.

majemuk yang baru, atau malah paradoksal; kata

Pembaca masih dapat menemukannya, ketika

turunan yang tidak umum lagi bagi bahasa sehari-

sebuah makna dipisah dari teks acuannya: karena

hari (arkaisme) atau justru sama sekali baru

pembaca mengenali gejala kebahasaan yang

(neologisme), belum pernah dipakai walau sesuai

terdapat di dalam teks. Gejala yang tumbuh lewat

dengan potensi dari sistem bahasa, uraian kata yang

pemahaman kode tekstual. Jalinan hukum tata

aneh, menyimpang, dan seterusnya; singkatnya

bahasa khas yang kerap menyimpan magma bagi segala macam keistimewaan sastra di masyarakat

manapun juga. 15

perkembangan kebahasaan di dalam teks sastra. A.Teeuw (1984) 13 menyebut “seni bahasa”: aspek

Bahasa menjadi medium bagi sastrawan. kebahasaan sastra “dalam kaitan dan Dalam masyarakat tradisional, juga modern, tiap

pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian sastrawan memainkan bahasa. Memanfaatkan bahasa yang lain”.

kemungkinan dan potensi bahasa, yang Maka, bahasa sastra pun memunculkan diaplikasikan secara berbeda-beda. Tergantung

estetika kebahasaan tersendiri. Nilai estetis pada jenis sastra yang dipakainya -- seperti merupakan satu karakteristiknya. Estetika selalu konvensi lirik, epik, naratif, dan seterusnya. melekat pada sebuah karya sastra. Tiap ahli sastra berlain-lainan, dalam mengartikan estetika.

14 A.Teeuw merincikannya. 2.4 Perluasan Code Estetika Arti estetika, secara universal, tidak pernah ada. Setiap masyarakat, dan

Perkembangan sastra Indonesia kemudian kebudayaan, mengembangkan pengertian estetika melahirkan pelbagai wacana lain. Tenaga jurnalisme

sendiri-sendiri. Entah secara eksplisit atau implisit, terbawa, melalui pers, di dalam wacana sastra. Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme

Selain itu, terjadi pula bukan diskusi yang sastrawan Budi Darma, misalnya, kerap dilansir. menegaskan ketidakmutlakkan fiksi sebagai semata Subagio menjadi salah satu sandaran akan karya muatan karya-karya sastra.

kepenyairan yang tidak hanya berkutat di “fantasi Nirwan Dewanto (1996), 16 pada 1990, menilai dan khayal”. Imajinasi dan angan penyair, yang terjadinya peluruhan “pusat kesenian” di Indone- ditegaskan di banyak tempat dalam dua dasawarsa sia. Berbagai gerak kesenian tidak lagi tergantung terakhir, sangat berbeda dengan fantasi dan pada pusat, pada Jakarta, Taman Ismail Marzuki, khayal. Hasil kesusastraan bukan hanya jadi me- Majalah Horison, dan sebagainya. Potensi pusat dium hiburan dan keindahan hiasan hidup. kesenian akan “terkuras habis”. Di antara yang

“Dengan kata lain, dikotomi fiksi dan fakta mempretelinya, ialah media massa. Ruang-ruang untuk menandai dikotomi sastra-non-sastra lebih budaya dan ulasan seni hanya memunculkan dimoratoriumkan saja,” tegas Ahmad Sahal ketika “resensi pendek”, itu pun sekali-sekali dalam sekian mengantari diskusi “fiksi dan fakta” di Jurnal volume dan frekuensi pemberitaannya.

Kebudayaan Kalam. 17 Sejarah mencatat sebuah Jurnalisme (selain universitas, filem, dan preseden untuk hal ini. Terry Eagleton, kutip Sahal, advertensi) menjadi saluran ekspresi sastra. pernah bercerita bahwa Sastra Inggris abad ke-17 Sebagai institusi, jurnalisme lebih menarik dan ternyata bukan hanya memuat nama-nama memberi kemungkinan untuk sastra. Jurnalisme pengarang sastra macam Shakespeare dan Milton. menjadi satu saluran ekspresi literer yang lebih luas Ada nama-nama yang mewaliki dunia akademisi ketimbang penyediaan rubrik dan liputan. Kaidah yang tulisannya mempengaruhi jalannya sejarah dan nilai jurnalistik, yang terbuka dan meminta pengetahuan, seperti esai Francis Bacon dan Le- banyak pada setiap perkembangan masyarakat, viathan Thomas Hobbes. Demikian pun di Sastra memang lebih klop: dalam menyalurkan Prancis abad 16-17, tersangkut nama-nama pemikir kebergunaan sastra (“yang terpermanai”) bagi seperti Descartes dan Pascal. Teks nonsastra toh kepentingan sehari-hari masyarakat.

ternyata mengimplikasikan perubahan “kepastian Kehadiran sastra pop, yang sering disebut dan ketunggalan” kesimpulan. “Data empiris- sastra “kitsch”, juga patut diperhitungkan. Kisah- objektif” dan “pemikiran filosofis” ternyata tidak kisah human interest bermunculan di majalah- menjamin tetapnya pemikiran ilmiah memastikan majalah “leisure”: majalah bertarget pasar realitas kemasyarakatan yang panta rhei itu. Ada “spesifik”, seperti majalah wanita dan remaja dan “watak fiktif” menjemput kesimpulan saat lainnya, amat memerlukan sajian ini. Hal ini dapat berhadapan dengan kecenderungan terjadinya diparalelkan dengan terbitan novel-novel panjang “proses fluiditas dan ambiguitas” karena ataupun pendek dari bobot “kitsch”. Rubrik cerita penemuan demi penemuan akan selalu hendak pendek dan cerita bersambung menghiasi halaman memperbaharui kesimpulan lama. majalah tersebut. Bahkan menjadi satu kekuatan

Ignas Kleden, dalam sebuah tulisan di jurnal dalam menarik masyarakat untuk menjadi tersebut, 18 menyatakan adanya ketidakbedaan pelanggan. Demikian pun pada rubrik-rubrik yang “fakta” dengan “fiksi”. Sastra bukan cuma mengangkat “pengalaman individu” jadi bahan berkaitan dengan fiksi, tapi juga bisa merincikan kisah dramatis, sajian “cerita pendek” dipakai dalam data dan fakta. Sastra bisa sebanding dengan melaporkan news story-nya. Dan punya daya sedot kehebatan temuan data dari disiplin ilmu empiris. pembaca yang cukup besar.

Pun bisa menukil fakta dari catatan sejarah. Pada sisi lain, perkembangan sastra pun kian

Istilah fakta, menurut Ignas, tumbuh dari menegaskan penolakan pada satu anggapan: sastra bahasa Latin factum yang mengartikan “hasil dari cuma berada di wilayah imajiner. Kalangan apa yang sudah dilakukan dengan suatu tindakan pengamat sastra kian menolak pada penyejajaran nyata”. Satu fakta berarti berhubungan dengan sastra cuma penghasi seni berbahasa. Pandangan “tindakan yang menghasilkannya”. “Konsep fakta kepenyairan macam Subagio Sastrowardoyo dan ... berhubungan erat dengan behaviorisme”.

54 M EDIA T OR, Vol. 5 No.1 2004

Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme 55

Berpikir bukan fakta, karena merupakan “tindakan mental yang sulit disaksikan orang lain”. Tapi menempeleng orang adalah fakta, karena merupakan “suatu tindakan lahiriah yang dapat diamati”. Berbagai kenyataan alam, yang seakan diberikan, disebut data. Kenyataan sejarah, yang dipenuhi pelbagai tindakan buatan dan perlakuan manusia, disebut fakta. Fakta berhubungan dengan pandangan bahwa manusia adalah homo agens atau mahluk yang berbuat dan bertindak.

Pada amatan lanjutannya, data dan fakta merujuk pada “indra manusia”. Data adalah sesuatu yang “diterima” indra manusia, sedangkan fakta adalah sesuatu yang “dilakukan” indra manusia. Maka dari itu, istilah fiksi kemudian kerap “dikucilkan dari dunia nyata”. Fiksi lalu diartikan dengan “sesuatu yang tidak bisa ditangkap dan dilakukan oleh indra manusia”. Padahal, asal kata Latinnya fictio, dengan fingere sebagai kata kerjanya, merujuk pada pemahaman to fashion, to form, to construct, to invent, to fabricate. “Jadi fictio”, jelas Ignas, “berarti sesuatu yang dikonstruksikan, ditemukan, dibuat atau dibuat- buat .... kalaupun ada unsur khayalan ... tidak menekankan segi nonriilnya tetapi segi konstruktif, segi inventif, dan segi kreatifnya .... merujuk lebih kepada imajinasi dan angan.”

Lewat pendekatan fenomenologis, kemudian terlihat bahwa angan manusia itu tidak tertuju pada perbuatan hanya “menggantang asap” – petuah apak yang kerap disinonimkan dengan kesia-siaan perbuatan manusia. Fiksi jadi mengonsepsi adanya kemampuan mempersepsi dan merumuskan manusia dalam merespon bentukan realitas dan pikiran. Angan manusia menghasilkan sesuatu yang bersifat produktif, kreatif, inventif dan konstitutif. Ketika arti kemiskinan dan kemakmuran didiskusikan ternyata tiap orang dipenuhi dengan ciptaan fiksi yang mereferensikannya.

Dengan sangat baik Ignas Kleden lalu mencomot uraian Ben Anderson tentang nasionalisme, yang pada paruh 1970-1980-an sering dikutip cendekiawan Indonesia. Uraian nasionalisme di sana menegaskan posisi imagi- nation dipakai kalangan ilmuwan sosial dalam merealitaskan arti nasionalisme. Bangsa adalah “an

imagined political community — an imagined as both inherenly limited and sovereign”, penganganan suatu komunitas politik, yang diangankan punya keniscayaan terbatas dan berdaulat. Tiap orang membayangkan mesti adanya suatu batas ketika ia hendak memilih sebuah bangsa. Bayangan itu tertuju pada bentukan komunitas politik yang berdaulat dan merdeka. Dan penganganan terbentuk pada upaya menyatukan berbagai warga yang tidak-saling-mengenal harus menyatakan bahwa mereka adalah anggota dari sebuah bangsa. Angan tentang bangsa tersebut suatu fakta atau fiksi? Di mana kerap jutaan orang gugur dalam sejarah bangsa-bangsa yang hendak meraih kemerdekaannya.

Pada titik inilah, imajinasi (fiksi) sastra memiliki keterkaitan dengan realitas-fakta. Kekuatan “fakta” sastra diaktifkan oleh upaya sastrawan yang baik dalam membuat “polisemi kata-kata, menggalakkan konotasi, dan mempermainkan asosiasi melalui berbagai eksperimen penciptaan metafor”. Sastra lalu menumbuhkan “makna referensial dan tekstual yang baru”. Data peristiwa tidak hanya dijadikan fakta sejarah atau data ilmu sosial, tetapi lebih ditempatkan sebagai “simbol kebudayaan”. Maka, kenyataan yang ditampilkan sastra ialah “kenyataan semiotis”. Bukan kenyataan sosial atau empiris. Imajinasi menjadi satu sarana memenuhi kebutuhan manusia akan “citra”. Akal dan pikiran manusia, menurut Ignas, mutlak membutuhkan pencitraan sebagai tempat menggantungkan pengertian dan tanggapannya. “Imajinasi, dengan demikian, ... alat bantu pikiran ... yang diciptakan untuk memahami atau menyusun sebuah ide atau konsep.”

Dengan demikian, imajinasi punya daya dorong sendiri. Daya dorong imajinasi memperkuat tampilan fakta, di dalam karya sastra, menjadi sebuah representasi faktual. Tiap keping imajinasi, yang dilahirkan sastrawan ketika memproses sebuah pemaknaan, tumbuh dari cerapan realitas- faktual. Bukan hasil pekerjaan melamun yang tak memiliki konteks. Selalu ada konteks yang melatari imajinasi-fiksi karya sastra. Estetika sastra tumbuh dari kenyataan kehidupan masyarakat.

3. Kemungkinan Adopsi

suatu padanan. Di dalam suatu proses komunikasi, setiap unsur ternyata mereduplikasi keterkaitannya

Melalui imajinasi, bisa ditelusuri bagaimana dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat pencampuran sastra terjadi di dalam perkembangan dalam mengalokasikan imajinasi sosial. Bangunan kegiatan para pelaku jurnalisme. Bagaimana media terpaan media massa dihasilkan, antara lain, oleh massa kemudian mengadopsi kekuatan sastra. kehendak khalayak aktif dari komunikasi massa Berbagai perangkat imajinasi-fiksi sastra diserap, yang mencari solusi terhadap bentukan realitas dikembangkan, dan menganulir kesakralan fakta- yang diinginkannya. Keaktifan khayalak peristiwa-berita. Wartawan, beranjak dari keinginan memerikan motif-motif imajinasi sosial yang memotret realitas-berita, bekerja melakukan tumbuh dari (dan dalam) proses interaksi simbolik perekaman peristiwa. Kemudian, lahirlah sebuah mereka ketika mengadakan kegiatan komunikasi. pelaporan. Dan pelaporan tersebut Hal ini pula, yang membuat para pekerja institusi mengindikasikan adanya perspektif, yang subjektif, media massa kerap dituding sebagai pembawa dari segala referensi sosial yang melatar-belakangi ideologi dan hegemoni makna. Perangkat wartawan menyerap peristiwa-berita.

kelembagaan media massa menjadi sarana Hal itu bisa ditarik ke dalam pengkajian media mengarahkan imajinasi khalayak ke dalam

massa, sebagai bagian komunikasi massa, di dalam pencitraan tertentu. kerangka pendekatan kerja kebudayaan.

Pada titik ini, “imajinasi” merupakan sebuah Bagi kajian “Media Komunikasi faktor yang terbawa di dalam kesadaran “khalayak

Kebudayaan”, yang dijadikan judul buku James Lull 19

aktif” ketika mereka mengadakan kontak dengan – guru besar komunikasi di Universitas San media massa dalam sebuah “lingkungan budaya”.

Jose, California, AS, soal imajinasi bukan hanya Imajinasi, menurut Lull, ialah “kekuatan pikiran” dimiliki sastra. Bagi dunia komunikasi massa, yang dapat “menghasilkan citra dan skenario yang imajinasi juga punya peran penting.

hidup”.

Menggunakan imajinasi berarti mengingat Melalui Mark Johnson, dalam The Body in dan memvisikan secara simultan, menyatukan the Mind, Lull kemudian memanfaatkan gagasan

secara simbiosis persediaan representasi yang kita tentang peran penting imajinasi dalam segenap miliki (pemahaman sekarang yang kita miliki) perilaku yang dikerjakan manusia. Imajinasi dengan maksud yang kreatif (proyek imajinasi). memberi konstruksi “pengalaman bermakna” yang Pola-pola yang dihasilkan dipengaruhi secara diserap individu ke dalam “struktur dan pola tipikal oleh agen-agen sosial yang bertujuan, pengalaman badaniah”. Tampakan imajinasi yang termasuk di sini: model peran lokal, organisasi biasanya dikaitkan dengan “dorongan emosional kerja, para pemasang iklan, partai politik, dan dan artistik, fantasi, pikiran-pikiran tidak logis”, sebagainya.

ternyata “merupakan sarana manusia untuk Hal itu dikatakan Lull ketika menjelaskan mengonsepkan, menstrukturkan, dan

bagaimana proses kegiatan media, komunikasi, dan menskemakan representasi mental dengan cara- kebudayaaan – dalam tarik-menarik pengaruh yang cara yang amat rasional”. Bentuk-bentuk ikut menentukan perubahan sosial-budaya. Kerja representasi mental itu di antaranya ialah “ hal-hal media massa melibatkan kerja budaya antara yang dipersepsikan, citra-citra, dan skema” sosial sumber, lambang, dan penerima; di mana antara yang dilakukan seseorang. sumber dengan penerima saling bertukar-tafsir

Para agen sosial, “yang bertujuan” itu, lambang (menafsirkan “lambang” pesan). Setiap mencoba membuat “pola-pola” imajinasi dengan

pemakai media massa saling menukar pesan dalam tetap bersandar kepada pelbagai “peraturan proses “interaksi simbolik”.

sosial”. Jadi, “proyek imajinasinya” tidak Bila ditarik ke dalam uraian komunikologi, menyimpang dari konstruksi sosial yang telah

tataran unsur-unsur komunikasi massa memberikan diimajinasikan oleh tata nilai dan norma masyarakat.

56 M EDIA T OR, Vol. 5 No.1 2004

Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme 57

Imajinasi menjadi medium yang menghubungkan “citra-citra atau obyek-obyek sensasi di satu pihak, dengan konsep-konsep abstrak di lain pihak”.

Proses imajinasi dari para pekerja media massa, dengan kata lain, “merupakan suatu aktivitas yang mengikuti-aturan (aturan-aturan dasar) atau aktivitas yang menyerupai aturan (aturan-aturan pelaksanaannya)”. Kegiatan berimajinasi media massa ditujukan untuk “menciptakan gambar atau struktur” yang merepresentasikan “ruang dan waktu” di mana masyarakat melangsungkan kehidupannya. Dalam hal inilah, bisa diartikan, bahwa “realitas” media itu merupakan hasil persepsi, interpretasi, sinstesis, dan reproduksi ketika para pekerja me- dia massa, misalnya, melakukan kegiatan “imajinatif.”

Wartawan, sebagai pekerja media massa, pun melakukan hal itu. Melalui bahasa (kata-kata), yang tidak netral itu, mereka mengerjakan cerapan terhadap fakta-peristiwa berita, dengan melaporkan bagaimana --antara lain-- jalannya peristiwa berlangsung, pelbagai pihak terkait yang melakukan peristiwa-berita, serta korelasi peristiwa tersebut dengan bidang kehidupan lain. Ketika pengenalan wartawan dengan peristiwa-berita terjadi, kerangka imajinasi telah bermain mempengaruhi jalannya persepsi, interpretasi, sintesis, dan reproduksi “realitas” akan dilaporkan. Ketika pelaporan akan dibuat, “imajinasi” fakta mengerangka bentuk dan isi penulisan ke dalam rangkaian logika pemberitaan yang telah dipersyaratkan kaidah penulisan jurnalistik. Tiap pilihan kata jurnalis menjadi penting untuk dianalisis ke dalam kerangka “referensi dan pengalaman” sosial yang mempengaruhi masing- masing jurnalis di latar belakang. Pada momen ini, jurnalis telah “mengimajinasikan” rekaan realitas- peristiwa berita.

Imajinasi diperlukan jurnalisme untuk menyerobot kelemahan karakteristik media pers, di antaranya. Upaya penyampaian pesan jurnalistik, yang ber-feed back tidak langsung itu, diatasi dengan lebih mengaransir aspek human interest dalam susunan pelaporan. Efek medium “cetak”, yang tidak audio visual, dieliminasi jurnalisme

untuk, minimal, menyamai jurnalisme televisi. Tiap peristiwa yang diletakkan tiap ujud fakta, dikemas lagi ke dalam pengisahan teknik “fiksi” sastra untuk menghampiri “bayangan” pembaca akan news value (nilai berita) yang punya daya “greget”. Pembaca diharapkan akan asyik membayangkan rincian kisah fakta-berita yang tengah aktual terjadi, serta akan diberi ulasan yang lebih mendalam dalam perspektif yang lebih meluas.

Apalagi bila dikaitkan dengan keretakan hubungan antara jurnalisme dengan keadaan seperti pemberangusan fakta-berita oleh tekanan politis pemerintah. Juga, bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi media elektronik-digital yang mau tidak mau telah menghantam keampuhan teks-berita-cetak. Para jurnalis, secara sadar atau tidak-sadar, secara langsung atau tidak langsung, kemudian menjadi gelisah. Kegairahan menjadi tidak sekadar bertarung mencari skoop berita yang paling aktual. Para wartawan cetak mencari akal bagaimana mengatasi pemisahan jarak yang kian melebar antara jurnalisme cetak dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Imajinasi jurnalistik tumbuh, untuk mngkreasikan tampilan pesan tekstual-berita koran/majalah menjadi “seindah warna aslinya”.

Bahasa, konvensi, dan estetika, dari sastra pun dipakai. Mereka, dalam proses kreatif yang tentu saja berbeda dengan sastrawan, bergulat dengan keleluasaan pencarian “makna” pada tiap “tanda” dari wacana bahasa sastra. Komposisi, genre literer dan gaya bahasa dari sastra, mereka kutip. Penjelajahan terhadap kemungkinan perluasan “tafsir” diupayakan hadir, namun dalam bentuk yang tidak seluas kemungkinan karya sastra ditafsirkan secara “overinterpretasi”. Estetika dibangun melalui “tegangan” pembaca berita ketika, antara lain, membandingkan bacaan teks- beritanya dengan kemungkinan teks-sastra yang telah tersedia di referen dan pengalaman sosial mereka. Masyarakat pembaca berita dianggap memiliki kemungkinan tersentuh dengan penciptaan nilai puitik dan sastrawi jurnalis ketika mengelola korelasi realitas-teks-berita kepada bentukan pemaknaan “tanda-tanda” tertentu.

Beberapa asumsi ini merupakan beberapa Beberapa asumsi ini merupakan beberapa

Dalam penelusuran teori-teori dari human lebih menggigit “dramatisasi”, dan pelebaran isi communications, Littlejohn merujuk kepada pesan (pemaknaan) di-encode masyarakat. bangunan teori modern pertama dari “Tanda- Pencairan fakta dan fiksi, misal yang lain, juga tanda” (pertandaan) buatan filosof dan logician membangun kepercayaan bahwa kenyataan abad ke-19 Charles Sanders Peirce, “pendiri” “semiotis” pun memiliki daya guna bagi pelaporan Semiotik Modern, yang dikemukan Asa Berger fakta-berita. Kenyataan sosial dan realitas empirik dalam Sign in Contemporary Culture: an Intro- ternyata bisa didekati dengan sebuah upaya duction to Semiotics (1989). Peirce mendefinisi membangun penyampaian pesan lewat semiotika “semiosis” sebagai “hubungan antara tanda, pencitraan.

obyek, dan makna”. Tanda mereprensentasi obyek, Pemaknaan pada tiap keping informasi atau referen, di benak seorang interpreter. Peirce menjadi penting di sini. Ada upaya memakai merujuk presentasi obyek dari tanda sebagai pemaknaan fakta-berita menjadi ke arah yang tidak interpretasi (the interpretant). Contohnya, kata lazim. Pelbagai lambang, yang diajukan oleh anjing (dog) mengasosiasikan kepala kita dengan rangkaian “tanda dan bahasa jurnalistik”, coba sejenis hewan. Kata tersebut bukan hewan, tapi diinterpretasikan ke dalam wacana tertentu. Secara asosiasi kita membuat (interpretasi) jalur dengan semiotis, terjadi upaya melebarkan makna pada keduanya. Ketiga elemen (tanda, obyek, dan susunan pelaporan “dunia dalam berita” media pemaknaan) menghendaki bentukan keutuhan cetak berdasar “tanda dan lambang” yang lain.

segitiga beroperasi dalam “petandaan”. Dengan demikian, sebuah tanda

4. Dasar Adopsi menghubungkan diri dengan sesuatu pikiran yang

dimiliki (mereferensi) sesorang. Pemaknaan Hubungan semiotik dan intepretasi, menurut tergantung pada imaji atau pikiran seseorang dalam kalangan komunikolog, dapat ditelusuri lewat hubungan tanda dengan sebuah obyek ketika perkembangan teori tentang pelbagai tanda dan mencari petanda. bahasa. Beberapa uraiannya memberikan padanan

Semiotika merupakan jalan keluar jurnalistik untuk mencari penjelasan bagaimana gaya sastra “menjahit” ruang sosial di masyarakat. Ketika diadopsi jurnalisme. Beberapa bahasannya ajaran McLuhan ihwal berbagai bentuk media mengenalkan kita akan kemungkinan dasar pijakan mengupayakan “kehadirannya” di dalam jurnalis, sebagai pelaku media “komunikasi” massa lingkungan komunikasi massa, semiotik cetak, melakukan wacana kerja semiotika ”tanda, memisahkan secara tajam sebuah medium jurnalistik obyek, dan makna” berita.

dengan “isi”-nya (its content). Para semiotikus, Tanda-tanda adalah dasar segala komunikasi. sangat menjagokan apa yang disebut “isi”, dan Littlejohn, (1996), 20 mengeksplorasi pentingnya menyatakan bahwa sebuah “isi” tergantung pada tanda-tanda dan simbol-simbol kehidupan manusia cara pembuat atau penerimanya dalam membuat dan elaborasi penggunaannya.

pemaknaan. Fokus semiotik ialah “cara Sebuah tanda mendesain sesuatu yang lain pembuatnya mengkreasikan pelbagai tanda” dan dari dirinya. Makna (meaning) adalah penghubung “cara khalayak memaknakan pelbagai tanda antara obyek atau ide dengan sebuah tanda. Hal tersebut”. ini mengonsepsi raihan amatan dari pelbagai teori

Wartawan menjadi penjelas bagi sebuah tentang simbol, bahasa (language), wacana, dan peristiwa. Pembaca menjadi penghantar “makna”

58 M EDIA T OR, Vol. 5 No.1 2004

Septiawan S.K. Kemungkinan Bahasa Sastra Diadopsi Jurnalisme 59

yang hendak didiskusikan. Berbagai bentuk pelaporan dibuka. Wartawan mengejar bagaimana cara menulis jurnalistik cetak secara “lebih”: dalam mengungkap fakta, dalam menyatakan realitas, dalam menarik minat masyarakat, dalam mengalahkan isi medium lain. Penulisan berita pun mengalami keterbutuhan untuk mengikuti watak medium yang dimasukinya, tata cara penulisan koran harian politik “propaganda” pemerintah akan punya kelainan dengan majalah berita “politik independen” mingguan. Demikian pun bila diperbandingkan dengan media elektronik televisi dan radio atau internet.

Donald Fry dan Virginia Fry, seperti dikutip Littlejohn, pengaplikasi teoritika semiotik ke studi komunikasi massa, memasukkan tiga postulat. Pertama, medium massa macam pers mendatangkan banyak pemaknaan hingga sebuah teks bisa diartikan ke banyak arah. Walau penulisan jurnalistiknya telah disidangredaksikan untuk satu topik “laporan utama”, khalayak berita bisa mengartikan sama tapi bisa juga tidak. Postulat kedua, menegaskan bahwa makna berita pers didapat dari pengelompokan sosial bentukan berbagai audiens. Komunikasi yang terjadi merupakan hasil konsensus pemaknaan tertentu, atau dalam sebutan Charles Peirce merupakan hasil “interpretasi final (final interpretant)”. Setiap anggota khalayak mungkin menyumbang penumpukan a personal feeling untuk pemaknaan yang terjadi (emotional interpretant), mengumpulkan pelbagai kesamaan tindakan (energic interpretant), atau pemberi alasan kenapa suatu tindakan perlu dilakukan (logical interpretant). Postulat ketiga, tertuju pada pelbagai situasi yang terjadi di luar teks mempengaruhi sebuah makna berita. Pengenalan terhadap pelbagai situasi dan peristiwa di masyarakat mempengaruhi penulis dalam melaporkan satu peristiwa-berita.

5. Penutup