IMPLEMENTASI KURIKULUM EECS (ENTERTAINMENT, ENTREPRENEUR, CONCEPTUALIZER AND SPIRITUALITY) DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN INTERPERSONAL SISWA

  

IMPLEMENTASI KURIKULUM EECS

(ENTERTAINMENT, ENTREPRENEUR,

CONCEPTUALIZER AND SPIRITUALITY)

DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN

  

Eva Fitriati

Dosen tetap STAI Madinatul Ilmi Depok dan Dosen tidak tetap FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

eva_fitriaty@yahoo.com

  

Sri Khasanah

ABSTRAK

  Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia diharapkan berperan

penting dalam membentuk karakter dan kepribadian peserta didik sebagai

individu sosial dan generasi penerus. Namun, faktanya hal tersebut masih

jauh dari harapan. Bahkan, dikatakan pendidikan di Indonesia ini belum

menyentuh pentingnya kecerdasan interpersonal dalam membangun

kesuksesan. Keadaan tersebut menggerakkan SMP Gelora Depok untuk

melakukan inovasi dan gebrakan baru, yaitu mengimplementasikan

Kurikulum EECS guna mendukung upaya sekolah dalam mempersiapkan

siswa menjadi generasi pemimpin yang cerdas dalam segala aspek, salah

satunya adalah cerdas dalam interpersonal. Dalam implementasinya,

kurikulum EECS di SMP Gelora Depok diintegrasikan pada setiap mata

pelajaran dan menginternalisasikannya ke dalam perilaku siswa melalui

leadership dan budaya sekolah. Dengan demikian, hal ini juga berimplikasi

pada peningkatan kecerdasan interpersonal siswa.

  Kata-kata kunci: Kurikulum, kecerdasan interpersonal.

  PENDAHULUAN

  Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan memisahkan diri dari yang lainnya. Mereka memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok, saling berinteraksi, berkomunikasi dan saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Kecenderungan-kecenderungan tersebut mengharuskan agar setiap individu sebagai makhluk sosial dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain dan juga mampu mempertahankannya, karena banyak kegiatan di dalam hidupnya yang akan selalu terkait dengan orang lain.

  Namun, dalam kenyataannya tidak semua individu mampu mem bangun relasi yang baik dengan orang lain sebagaimana yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena seseorang tidak memiliki keterampilan dalam berkomunikasi, sikap toleransi, kemampuan berinteraksi, menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan baik di dalam kehidupannya. Tentu keadaan seperti ini akan menghambat seorang individu dalam mencapai kesuksesan di kehidupan sosialnya tersebut, karena mengingat kembali bahwa faktanya di setiap situasi apa pun seorang individu pasti dan akan selalu dituntut untuk melakukan hubungan dan komunikasi dengan pihak lain.

  Karena itu, beberapa aspek keterampilan dan kemampuan yang di se butkan di atas yang pada dasarnya telah terhimpun dalam satu aspek kecerdasan manusia yang sering disebut dengan kecerdasan sosial atau kecerdasan interpersonal. Kecerdasan ini menjadi sangat penting untuk dibangun, diasah dan dikembangkan pada setiap diri individu guna mendukung dirinya untuk dapat membangun dan menciptakan hubungan yang harmonis dengan orang-orang di sekitarnya, serta untuk menunjang kesuksesan di dalam kehidupannya.

  Kecerdasan interpersonal ini tidak hanya akan memudahkan individu dalam membangun relasi dengan orang lain, tetapi juga memberikan kemudahan individu dalam mempertahankan relasinya. Dengan kata lain, kecerdasan interpersonal akan menjadikan individu mampu mempererat hubungan antara dirinya dengan orang lain, memudahkannya untuk dapat diterima dan mempertahankan keberadaan dirinya di lingkungan sekitar kehidupannya.

  Sehubungan dengan uraian-uraian tersebut, menjadi sangat perlu adanya pendidikan bagi individu-individu bahwa sebagai makhluk sosial mereka harus menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan interpersonal dalam diri mereka sedini mungkin, agar mereka mampu bersosialisasi secara nyata dengan lingkungan sosial serta mampu mempertahankan eksistensi mereka di manapun mereka berada. Selain itu, mengingat bahwa kecerdasan interpersonal tidak secara otomatis dibawa oleh individu sejak lahir, maka untuk membangun, mengasah dan mengembangkannya membutuhkan proses pembelajaran yang berkesinambungan.

  Salah satu sarana dan langkah yang dianggap tepat untuk mengem bangkan kemampuan interpersonal adalah melalui lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan dengan sistem yang sudah tertata sedemikian rupa, struktur yang jelas, visi dan misi yang mantap sangat diharapkan mampu mencetak individu-individu yang tidak hanya menge depankan kecerdasan pengetahuannya, tetapi juga mengembangkan potensi-potensi lainnya, seperti kecerdasan interpersonal. Hal itu disebab kan karena yang mendukung keberhasilan seseorang tidak hanya kecer dasan kognitifnya, tetapi juga bagaimana seseorang dapat diterima dalam kehidupan sosialnya.

  Namun faktanya, selama ini telah muncul banyak asumsi yang menya takan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di negara kita, Indonesia, yang diharapkan berperan penting dalam membentuk karakter dan kepribadian peserta didik sebagai individu sosial dan generasi penerus ternyata masih jauh dari harapan. Bahkan dikatakan pendidikan kita belum menyentuh pentingnya kecerdasan interpersonal dalam membangun kesuksesan.

  Begitu pula dengan kurikulum dan proses pembelajarannya, banyak anggapan pada saat sebelum diberlakukan Kurikulum 2013 seringkali hanya menekankan pada upaya peningkatan prestasi akademik tanpa mempertimbangkan kecerdasan emosionalnya, baik yang disebabkan karena isi kurikulumnya sendiri, maupun sistem sekolah atau tenaga kependidikannya yang tidak profesional. Akibatnya, meskipun anak ber pres tasi akademik yang mengagumkan, akan tetapi mereka memiliki hambatan dalam proses bersosialisasi.

  Berkaitan dengan hal itu, sangat menarik jika mengamati salah satu sekolah yang memiliki langkah berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya. SMP Gelora Depok kini telah menempuh langkah berbeda dengan mengadakan konsep Kelas Leader sebagai salah satu bentuk perhatian dan jawaban terhadap asumsi-asumsi yang pernah muncul tersebut. Melalui konsep Kelas Leader SMP Gelora Depok berinovasi dengan mengimplementasikan Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality), yaitu kurikulum resmi dari GDS (GHAMA D’Leader School) yang dipadukan dengan Kurikulum 2013. Dengan Kurikulum EECS inilah SMP Gelora Depok berupaya tampil sebagai lembaga pendidikan yang benar-benar tidak hanya menitikberatkan pada nilai akademik, kecerdasan otak atau intelligensi

  

quotient (IQ) saja. Akan tetapi lebih dari itu, tujuan utamanya adalah

  untuk membangun potensi leadership anak yang diimbangi dengan nilai-nilai lainnya. Hal tersebut telah dipertegas dalam visi, misi dan tujuan sekolah bahwa pada intinya sekolah ingin “Mempersiapkan siswa

  

menjadi generasi pemimpin masa depan yang berwawasan global”, cerdas,

kreatif, inovatif dan berkarakter mulia.

  Tujuan dilaksanakannya penelitian tersebut adalah untuk menge ta hui implementasi Kurikulum EECS dalam mengembangkan kecerdasan interpersonal peserta didik di SMP Gelora Depok. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan jenis penelitian ini adalah studi kasus, yaitu uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subyek (Mulyana 2006, 201). Metode studi kasus dipilih karena suatu penelitian atau suatu keadaan akan terlihat keasliannya ketika diamati dan dijelaskan atau dideskripsikan. Selain itu, dengan studi kasus akan mendorong para peneliti lain untuk dapat menelaah data sebanyak mungkin mengenai subjek dan memahami situasi sosial secara mendalam serta mampu mengungkapkan gambaran secara nyata.

  PEMBAHASAN

A. Definisi Kurikulum

  Istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata “ curir” yang artinya pelari dan “ curere”, artinya tempat berpacu. Kedua istilah tersebut pada awalnya hanya digunakan dalam dunia olahraga. Berkenaan dengan itu curriculum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali/penghargaan (Sudjana 2008, 4). Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan, sehingga kurikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal hingga akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah (Nasution 2011, 2).

  Namun, pengertian kurikulum sebagaimana yang telah disebutkan tersebut terlalu klasik dan sederhana. Kurikulum hanya dibatasi pada dua kandungan pokok di dalamnya, yaitu: (1) adanya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa dan (2) tujuan utamanya yaitu untuk memperoleh ijazah (Sudjana 2008, 4). Sehingga, dari kedua kandungan pokok tersebut implikasi kurikulum terhadap praktik pembelajaran hanya menekankan bahwa setiap siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan. Tentunya keadaan seperti itu akan mendukung adanya anggapan bahwa guru memiliki posisi dan peran yang sangat menentukan (Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran 2011, 2), karena yang bertanggung jawab menyampaikan mata pelajaran adalah guru itu sendiri. Bahkan sistem penyampaian yang digunakan oleh guru adalah sistem penuangan (imposisi). Akibatnya, dalam kegiatan belajar gurulah yang lebih bersikap aktif, sedangkan siswa hanya akan bersikap pasif (Hamalik 2007, 4). Selain itu, keberhasilan siswa juga hanya ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran tersebut dikuasai yang diukur dengan skor atau nilai setelah mengikuti tes atau ujian (Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran 2011, 2).

  Oleh karena itu, perlu dipelajari dan dipahami pengertian kurikulum secara lebih luas dan sesuai dengan perkembangan praktik pendidikan sekarang. Kurikulum itu tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi juga mencakup semua pengalaman belajar yang dialami siswa. Sebagaimana dikatakan dalam buku Dasar- Dasar Pengembangan Kurikulum Oemar Hamalik, bahwa Romine mengatakan kurikulum adalah semua kegiatan yang terorganisir, aktivitas dan pengalaman yang dimiliki oleh siswa di bawah arahan sekolah, baik di dalam kelas atau tidak.

  Pengertian kurikulum menurut Romine tersebut memiliki implikasi bahwa tafsiran tentang kurikulum bersifat luas, karena kurikulum bukan hanya terdiri atas mata pelajaran, tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman belajar yang menjadi tanggung jawab sekolah. Sesuai dengan pandangan ini pula berbagai kegiatan di luar kelas yang dikenal dengan ekstrakurikuler sudah tercakup dalam pengetian kurikulum. Selain itu, kurikulum tidak hanya dibatasi di dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Sistem penyampaian yang digunakan oleh guru pun disesuaikan dengan kegiatan atau pengalaman yang akan disampaikan, dan tujuan pendidikan bukanlah untuk menyampaikan mata pelajaran atau bidang pengetahuan yang tersusun, melainkan pembentukan pribadi anak dan belajar cara hidup di dalam masyarakat (Hamalik 2007, 4-5)

  Pendapat tersebut selanjutnya didukung oleh beberapa ahli lainnya seperti Harold B. Alberty, Saylor, Alexander dan Lewis. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam karya S. Nasution yang berjudul Asas-Asas Kurikulum, Harold B. Alberty mengatakan bahwa kurikulum merupakan semua kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah, sehingga kurikulum itu tidak hanya dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja, tetapi juga mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa di luar kelas. Pendapat senada dengan pengertian tersebut Saylor, Alexander dan Lewis juga mengatakan bahwa kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk memengaruhi siswa supaya belajar, baik di dalam kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah (Nasution 2011, 4-5). Kurikulum berupaya menggabungkan ruang lingkup, rangkaian, interpretasi, keseimbangan mata pelajaran, teknik mengajar dan hal lain yang dapat direncanakan sebelumnya. Di satu pihak, Beauchamp memandang kurikulum sebagai suatu dokumen tertulis (Hamalik 2007, 5). Beauchamp lebih memberikan tekanan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pembelajaran. Pengertian tersebut selaras dengan pandangan Mac Donald yang mengatakan, bahwa kurikulum merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar-mengajar (Sukmadinata 2010, 5). Namun, di pihak lain Taylor memandang kurikulum sebagai rencana tidak tertulis yang terdapat dalam pikiran pihak pendidik (Hamalik 2007, 5).

  Pengertian kurikulum secara lebih sempurna dan komprehensif dikemukakan oleh Said Hamid Hasan. Ia mengatakan bahwa kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, di mana satu dimensi dengan dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut, yaitu:

  Kurikulum sebagai suatu ide/gagasan, berarti kurikulum meru- pakan sekumpulan ide yang dijadikan pedoman dalam pengem bangan kurikulum selanjutnya.

  Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, yaitu perwujudan dari kurikulum sebagai ide. Makna ini mengungkapkan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan cara mengadministrasikan tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan untuk pedo- man penyelenggaraan kegiatan pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan tertentu.

  Kurikulum adalah implementasi atau aktivitas pembelajaran, di- paha mi sebagai segala aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajar- an di sekolah.

  Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan. Dalam definisi ini kurikulum dipandang sangat memerhatikan hasil yang akan dicapai oleh siswa agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan yang menjadi tujuan dari kurikulum tersebut (Arifin 2011, 8-10).

  Kurikulum memang memiliki banyak definisi yang berbeda-beda dalam pandangan para ahli sebagaimana yang telah dikemukakan tersebut. Namun, dari sekian definisi/pengertian mengenai kurikulum, pengertian yang lebih sering dipakai dalam dunia pendidikan dan persekolahan di negara kita, Indonesia adalah pengertian kurikulum yang tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” (Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran 2011, 6-8)

  Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kurikulum adalah seperangkat rencana kegiatan pendidikan tertulis (nampak jelas bentuk dokumennya) yang di dalamnya mencakup tujuan, isi, bahan pelajaran dan rancangan lainnya yang berhubungan dengan perencanaan pendidikan. Perencanaan- perencanaan yang tertulis dalam kurikulum tersebut merupakan bentuk perwujudan dari sekumpulan ide/gagasan, yang kemudian digunakan sebagai panduan bagi sekolah dan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

B. Model-Model Kurikulum

  1. Kurikulum Akademik

  Kurikulum akademik adalah model kurikulum yang sangat meng utamakan pengetahuan, sehingga pendidikannya lebih bersifat intelektual. Pada kurikulum ini, orang yang dianggap berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru. Tentunya dalam hal ini, guru sebagai penyampai bahan ajar memegang peranan penting. Guru sangat dituntut untuk menguasai materi pendidikan, selain ia berlaku sebagai model bagi para siswanya (Sukmadinata 2010, 81-84).

  2. Kurikulum Humanistik

  Kurikulum humanistik berdasar pada konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education), yaitu John Dewey dan J.J. Rousseau (Sukmadinata 2010, 86). Aliran ini menempatkan siswa sebagai subjek utama yang menjadi pusat kegiatan pendidikan (Nasution 2011, 48-49). Aliran ini mengakui bahwa siswa mempunyai potensi, kemampuan dan kekuatan untuk berkembang. Karena itu, pendidikan humanistik menekankan pada peranan siswa dan diarahkan kepada membina manusia yang utuh, tidak hanya segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai dan lain-lain) (Sukmadinata 2010, 86-87).

  Menurut humanis, kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman yang berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi siswa. Selain itu, bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, otonomi kepribadian, sikap yang sehat, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dan belajar (Sukmadinata 2010, 90).

  Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan siswa. Guru harus mampu menjadi sumber sekaligus dapat menciptakan hubungan yang hangat dengan siswa, mampu memberikan materi yang menarik dan mampu menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar. Oleh karena itu, yang diharapkan dalam hal ini adalah terciptanya suatu proses pembelajaran dengan komunikasi dua arah, bukan semata-mata guru mengajar dan siswa harus belajar.

  Selain itu, model kurikulum humanistik lebih mengutamakan proses daripada hasil. Karena, sasaran dari kurikulum ini adalah perkem bangan anak agar menjadi manusia yang lebih terbuka dan berdiri sendiri. Sehingga, kegiatan belajar yang dianggap baik adalah yang dapat memberikan pengalaman yang akan membantu anak memperluas kesadaran akan dirinya dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya (Hamalik 2007, 144-145).

  3. Kurikulum Rekonstruksi Sosial

  Kurikulum rekonstruksi sosial bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut aliran ini, pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi dan kerja sama. Kerja sama dan interaksi yang terjadi pun tidak hanya antara guru dengan siswa, tetapi juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya dan dengan sumber belajar lainnya (Sukmadinata 2010, 91). Melalui interaksi dan kerja sama siswa diharapkan dapat berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik (Nasution 2011, 47-48).

  Pada intinya, tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan (Hamalik 2007, 146) atau masalah-masalah sosial, seperti tantangan, ancaman atau hambatan-hambatan yang dihadapi dalam kehidupan (Sukmadinata 2010, 92). Sehingga, bentuk evaluasi dalam kurikulum ini mencakup spektrum yang sangat luas, yaitu kemampuan peserta didik dalam menyampaikan permasalahan, kemungkinan pemecahan masalah, pendefinisian kembali pandangan mereka tentang dunia dan kemauan mengambil tindakan atas suatu ide (Hamalik 2007, 147).

  4. Kurikulum Teknologi

  Kurikulum teknologi adalah serangkaian rencana pembelajaran yang disusun dengan mempertimbangkan penggunaan teknologi sebagai alat atau media pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien (Hamalik 2007, 147-148).

  Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan ada dua bentuk, yaitu: 1) Perangkat lunak ( software) atau disebut juga teknologi sistem

  ( system technology). Pada bentuk ini, teknologi pendidikan menekankan kepada penyusunan program pembelajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. 2) Perangkat keras ( hardware) atau sering disebut juga teknologi alat ( tools technology). Pada bentuk ini, teknologi pendidikan lebih menekankan kepada penggunaan alat- alat teknologis yang menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan. Kurikulum dalam hal ini berisi rencana- rencana penggunaan berbagai alat dan media serta model- model pembelajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat (Sukmadinata 2010, 96).

  Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi. Pengembangan dan penggunaan alat media pem- belajaran tidak hanya sebagai alat bantu, tetapi juga bersatu dengan program pembelajaran dan ditujukan pada penguasaan kompetensi tertentu.

  Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami kembali bahwa terdapat banyak model kurikulum yang dapat digunakan dalam pengem- bangan kurikulum, di antaranya yaitu model kurikulum akademik, huma nistik, rekonstruksi sosial dan teknologi. Pengembangan kuriku- lum dapat didasarkan pada satu model kurikulum atau gabungan dari setiap model kurikulum yang tercermin dari landasan filosofis, tujuan, materi, kegiatan pembelajaran dan evaluasinya.

  Pada dasarnya pengembangan kurikulum itu mengarahkan kurikulum ke tujuan pendidikan yang diharapkan. Oleh sebab itu, dalam pemilihan suatu model pengembangan kurikulum tidak bisa jika hanya didasarkan pada sisi kelebihan-kelebihannya saja. Akan tetapi, pemilihan suatu model kurikulum juga perlu disesuaikan dengan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta konsep pendidikan yang digunakan. Karena itu pula, pengembangan kurikulum hendak- nya bersifat adaptif dan dinamis. Penggunaan kurikulum harus disesuaikan dan dipertimbangkan dengan karakteristik dari setiap jenjang pendidikan, karakter perkembangan peserta didik dan kenya- taan kebutuhan masyarakat masa kini.

C. Kurikulum EECS (Entertainment, Enterpreneur,

  Conceptualizer and Spirituality)

  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep EECS ( Enter tainment, Enterpreneur, Conceptualizer and Spirituality) secara lebih luas, perlu adanya penjelasan yang mengupas satu persatu makna dari keempat konsep tersebut, yaitu entertainment, enterpreneur, conceptualizer dan spirituality.

1. Entertainment

  Entertainment dalam Kamus Inggris Indonesia memiliki arti

  hibur an, dan atau pertunjukan. Jika merujuk pada kata dasarnya, kata “ entertainment” berasal dari kata keterangan, yaitu “entertain” yang artinya menghibur. Sedangkan, kata “ entertain” dalam kata sifat menjadi “ entertaining”, artinya yang dapat memikat perhatian orang, yang menyenangkan orang dan yang menghibur (Echols dan Sadzily 1995, 215).

  Berbicara mengenai entertainment, Dryer mengatakan bahwa setiap orang mengetahui secara jelas apa itu entertainment/hiburan. Hiburan merupakan bagian kebutuhan yang masuk akal dalam kehidupan manusia, namun sulit untuk didefinisikan (Hobart & Fox 2008).

  Sementara itu, berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Torkildsen George, telah tercatat beragam definisi mengenai entertain-

  ment/hiburan, yaitu:

  a. Hiburan sebagai waktu Hiburan sebagai waktu digambarkan sebagai waktu senggang sete- lah segala kebutuhan yang mudah dilakukan telah dilakukan, sehingga memberikan waktu tambahan yang diinginkan. Pernyataan tersebut di- du kung oleh Brightbill yang beranggapan, bahwa waktu luang sangat berkaitan dengan waktu yang masuk dalam discretionary time, yaitu waktu yang digunakan menurut penilaian dan pilihan sendiri.

  b. Hiburan sebagai aktivitas Menurut Neumeyers, hiburan adalah sebuah kesempatan untuk ter libat dalam aktivitas-aktivitas, baik secara aktif maupun secara pasif yang tidak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. c. Hiburan sebagai sikap mental yang positif Yang dimaksud hiburan sebagai sikap mental yang positif, yaitu hiburan yang berisikan berbagai macam kegiatan, di mana seseorang akan mengikuti keinginannya sendiri, baik untuk beristirahat, menghibur diri sendiri, menambah pengetahuan atau mengembangkan keterampilannya secara objektif atau untuk meningkatkan kesertaan dalam bermasyarakat setelah ia melepaskan diri dari pekerjaannya, keluarga dan kegiatan sosial.

  d. Hiburan sebagai sebuah gaya hidup Hiburan adalah suatu kehidupan yang bebas dari tekanan-tekanan yang berasal dari luar kebudayaan seseorang dan lingkungannya, sehingga mampu untuk bertindak sesuai rasa kasih yang bersifat menyenangkan, pantas dan menyediakan sebuah dasar keyakinan.

  e. Hiburan sebagai sesuatu yang memiliki arti luas Torkildsen George mengatakan, bahwa dengan hiburan orang akan pulih dengan rasa bosan dan merasakan kebebasan dari apa yang biasa dilakukannya sehari-hari. Hiburan merupakan bentuk ekspresi dari aspirasi-aspirasi yang dimiliki oleh manusia dalam pencariannya akan kebahagiaan, terkait dengan kewajiban, etika, aturan dan budaya baru (George 1992, 26-28).

  Dari pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa enter tainment adalah segala sesuatu, baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda maupun perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih.

  Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami pula bahwa hiburan mencakup banyak hal, baik hiburan yang pasif maupun yang aktif. Hiburan yang pasif, seperti mendengarkan musik, menonton opera, film atau drama. Sedangkan, hiburan yang aktif misalnya bermain, olahraga, rekreasi, berwisata, membaca buku dan lain sebagainya. Mengingat hiburan bagi setiap orang berbeda-beda, karenanya hiburan yang dicari atau dilakukan disesuaikan dengan kecenderungan dan keinginan hati masing-masing individu.

  Pada dasarnya, secara sadar atau pun tidak hiburan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Terjadinya ketergantungan segala aspek kehidupan antara satu dengan yang lain mendorong sebuah perputaran di dalam ekonomi, sosial dan yang lainnya. Pada masa seperti ini, setiap orang terkadang merasa jenuh atau stres atas kegiatannya masing-masing. Berdasarkan keinginan hati dan pikiran, mereka yang menginginkan sebuah ketenangan atau sesuatu yang bisa membuat pikiran menjadi lebih fresh/segar serta membuat hati menjadi senang. Oleh karena itu, hiburan menjadi salah satu jalan keluar bagi manusia untuk menghilangkan rasa bosan, kepenatan, kesedihan atau untuk melupakan segala masalah yang menimpanya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Entrepreneur

  Untuk menjelaskan pengertian entrepreneur secara lebih luas, ada beberapa istilah yang akan selalu disinggung dalam pembahasan ini. Beberapa istilah tersebut, di antaranya: kewirausahaan, wirausaha/ wirausahawan dan karakteristik wirausaha/wirausahawan yang memiliki arti berbeda-beda, baik di antara pendapat para ahli maupun dari sumber acuan karena berbeda pula dalam titik berat dan penekanannya. Berikut ini pembahasan lebih lanjutnya mengenai beberapa hal penting yang berkaitan erat dengan pembahasan entrepreneur.

  a. Kewirausahaan Definisi kewirausahaan sebagai disiplin ilmu, yaitu suatu ilmu yang mengkaji tentang pengembangan dan pembangunan semangat kreativitas serta berani menanggung risiko terhadap pekerjaan yang dilakukan demi mewujudkan hasil karya (Fahmi 2013, 1). Kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup serta cara memperoleh peluang dengan berbagai risiko yang mungkin dihadapinya (Suryana 2013, 2).

  Kewirausahaan dalam definisi kerja, yaitu proses kemanusiaan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi dalam memahami peluang, mengorganisasi sumber-sumber, mengelola sehingga peluang itu terwujud menjadi suatu usaha yang mampu menghasilkan laba atau nilai untuk jangka waktu yang lama (Basrowi 2014, 2). Kewirausahaan merupakan suatu proses menganalisis, membangun dan mengembangkan suatu keinginan untuk mencapai tujuan melalui ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu keinginan sampai penciptaan usaha baru pada kondisi yang penuh risiko (Tando 2013, 2).

  Selanjutnya, definisi kewirausahaan menurut beberapa ahli juga berbeda-beda. Penrose mendefinisikan kewirausahaan adalah kegiatan yang mencakup cara mengidentifikasi peluang-peluang di dalam sistem ekonomi (Tando 2013, 3). John J. Kao mendefinisikan berkewirausahaan adalah usaha untuk menciptakan nilai melalui pengenalan kesempatan bisnis, manajemen pengambilan resiko yang tepat dan melalui keteram pilan komunikasi dan manajemen untuk memobilisasi manusia, uang dan bahan-bahan baku atau sumber daya lain yang diperlukan untuk meng hasilkan proyek supaya terlaksana sengan baik (Basrowi 2014, 1).

  Pengertian kewirausahaan menurut Instruksi Presiden RI No.

  4 Tahun 1995: “Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar (Basrowi 2014, 2).

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan lebih menunjuk kepada mental yang dimiliki seorang wirausahawan dalam melak- sanakan usaha. Kewirausahaan merupakan sikap, semangat dan kemam puan sese orang dalam menemukan peluang sampai mewujud- kan peluang tersebut menjadi usaha yang menghasilkan.

  b. Entrepreneur Setelah membahas kewirausahaan barulah sampai pada pembahas- an utama, yaitu entrepreneur (wirausahawan). Secara etimologis entrepreneur berasal dari kata Perancis, yaitu “ entre”, yang artinya antara dan “ pendre”, artinya mengambil. Kedua istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan orang yang berani mengambil resiko dan memulai yang baru. Secara sederhana arti entrepreneur (wirausahawan) adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesem patan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Suyogi 2013, 62-63).

  Wirausahawan dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “wira” dan “usaha”. Wira berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani dan berwatak agung. Usaha berarti per- buatan amal, bekerja dan berbuat sesuatu. Jadi, wirausahawan adalah manusia yang berani berbuat sesuatu (Basrowi 2014, 1).

  Dalam lampiran Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Peng- usahaan Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995, dicantumkan “wirausahawan adalah orang yang mempunyai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan” (Basrowi 2014, 1).

  Menurut Thomas W. Zimmer dan Norman M. Scarbrough, wira- usahawan adalah orang yang menciptakan bisnis baru dengan me ngam bil resiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan per tumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumber daya yang diperlukan untuk mendirikannya (Fahmi 2013, 2).

  Menurut pandangan seorang pemodal, wirausahawan adalah se- orang yang menciptakan kesejahteraan untuk orang lain dengan mene- mukan cara-cara baru dalam menggunakan sumber daya-sumber daya, mengurangi pemborosan dan membuka lapangan kerja yang disenangi oleh masyarakat (Basrowi 2014, 3-4).

  Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wira- usaha wan adalah orang yang melakukan usaha atau pelaku kewira- usahaan dengan segala kemampuan, kreativitas dan inovatif yang dimilikinya, se hingga mampu menggali dan menemukan peluang serta mewu judkannya menjadi usaha yang menghasilkan nilai.

  c. Conceptualizer Secara bahasa kata “ conceptualizer” berasal dari kata “conceptualize”. Kata “ conceptualize” dalam bentuk kata kerja memiliki arti di antaranya (1) to form a concept or idea (menyusun sebuah konsep atau gagasan), (2) conceive (menyusun) (Sons 2010), dan (3) menyusun konsep dan mengartikan dengan cara konseptual. Sedangkan, “ conceptualize” dalam bentuk kata benda menjadi “ conceptualization” dan “conceptualizer” (Morris 2013).

  Dengan mengetahui arti kata dasar dari “ conceptualizer”, yaitu “ conceptualize” dengan pengertian yang telah disebutkan, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kata “ conceptualizer” adalah

  

conciever, yaitu seorang konseptor. Konseptor adalah orang yang men-

  cetuskan atau mula-mula memiliki gagasan dan penyusun konsep (Bahasa 1995, 520). Sebagai konseptor, seseorang sangat dituntut untuk memiliki keterampilan konseptual.

  Benton mengatakan, keterampilan konseptual adalah kemam- puan yang berkaitan dengan gagasan dan menjabarkannya untuk mendapatkan pendekatan baru dalam menjalankan departemen- departemen atau perusahaan. Pendapat yang hampir sama dikemu- kakan oleh Kadarman dan Yusuf Udaya, keduanya mengatakan bahwa keterampilan konseptual merupakan kemampuan mental mengkoordinasi, memecahkan masalah, membuat keputusan dan pembuatan rencana (Wahyudi 2012, 69).

  Selanjutnya, Stroner, J. A. F. dan Freeman R. E. mendefinisikan keteram pilan konseptual sebagai kemampuan untuk mengkoordinasi, memadukan semua kepentingan dan kegiatan organisasi. Hal ini mencakup kemampuan manajer untuk melihat organisasi sebagai keseluruhan, memahami unsur-unsur organisasi saling berkaitan dan mengantisipasi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada tiap bagian yang dapat memengaruhi kinerja organisasi. Tidak berbeda dengan pendapat tersebut, Pidarta menjelaskan bahwa keterampilan konseptual adalah kemampuan manajer dalam menentukan strategi, kebijakan, mengkreasikan atau merencanakan suatu yang baru dan mengambil keputusan (Wahyudi 2012, 69-70).

  Handoko juga menguatkan dengan pendapatnya, bahwa keterampilan konseptual adalah kemampuan mental untuk mengkoor- dinasikan dan mengintergrasikan seluruh kepentingan dan kegiatan organisasi. Hal tersebut mencakup kemampuan seseorang untuk melihat organisasi sebagai suatu keseluruhan dan memahami hubu- ngan antara bagian yang saling bergantung, serta menganalisis dan menginterpretasikan informasi yang diterima dari bermacam-macam sumber. Dengan kemampuan konseptual, memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh daripada hanya atas dasar tujuan dan kebutuhan kelompok sendiri (Bahasa 1995, 68).

  Berdasarkan pengertian mengenai konseptor secara sederhana dan beberapa definisi mengenai keterampilan konseptual yang dijelas- kan oleh beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud conceptualizer (konseptor) adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan dan mengembangkan gagasan atau menyusun konsep, serta memiliki kemampuan dalam membuat perencanaan, membuat kebijaksanaan, mengkoordinasi, menentukan keputusan, menyusun strategi dan memecahkan masalah. d. Spirituality Secara etimologi, kata spiritualitas berasal dari kata “spirit” yang berasal dari kata benda bahasa Latin “ spiritus” dan kata kerja

  “ spirare” (Hasan 2006, 288), yang memiliki arti, di antaranya adalah: roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, napas hidup dan nyawa hidup. Kemudian, secara psikologik, ”spirit” diartikan sebagai

  

soul (ruh), suatu makhluk yang bersifat nir-bendawi dan cenderung

timeless dan spaceless” (Kurniasih 2010, 10-11).

  Dalam perkembangannya, kata “spirit” diartikan secara lebih luas. Para filsuf mengkonotasikan “spirit” dengan (1) kekuatan yang mengaminasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, dan (4) wujud ideal dari pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian) (Kurniasih 2010, 11).

  Dalam pandangan Islam, spiritual memiliki makna yang sama dengan ruh. Ruh merupakan hal tidak dapat diketahui keberadaannya (gaib). Ruh selalu berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi atau ketuhanan. Ruh mampu mengenal dirinya sendiri dan penciptanya, ia juga mampu melihat apa yang masuk akal. Ruh merupakan esensi dari hidup manusia, ia memiliki hasrat dan keinginan untuk kembali kepada Tuhan saat masih berada dan menyatu dengan tubuh manusia (Mujib dan Mudzakir 2001, 329-330).

  Sejalan dengan pandangan tersebut, Ary Ginanjar mengatakan bahwa spiritual adalah “spirit” atau murni. Spiritual berkaitan dengan sebuah upaya menyaring jiwa agar jernih seperti “spirit” dan roh yang suci. Untuk menuju pusat spiritual dapat dilakukan dengan upaya dan sikap, seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (bertanggung jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan dan sosial),

  awareness (kepedulian sosial) (Agustian 2003, 51).

  Memiliki spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan 2006, 288).

  Martsolf dan Mickey menunjukkan berbagai kata kunci yang dapat menggambarkan spritualitas, yaitu meaning (makna), values (nilai-nilai), transcendence (transedensi), connecting (bersambungan) dan becoming (menjadi). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan. Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang dihargai. Transedensi merupakan pengalaman, kesadaran diri, peng- hargaan terhadap dimensi transedensi terhadap kehidupan di atas hubungan dengan diri sendiri, orang lain, Tuhan dan alam. Menjadi adalah membuka kehidupan yang menurut refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagaimana seseorang mengetahui (Hasan 2006, 288-289).

  Spiritualitas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi, dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. Di dalamnya terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi.

  Spiritualitas dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang diper- sepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintregasi dalam pandangan hidup seseorang, serta lebih daripada hal yang bersifat indrawi.

  Salah satu aspek menjadi spiritual adalah memiliki arah tujuan yang secara terus-menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta, serta menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra, perasaan dan pikiran (Hasan 2006, 289).

  Pihak lain mengatakan, bahwa spiritualitas memiliki dua proses. Pertama, proses ke atas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan. Kedua, proses ke bawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain, perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, di mana nilai-nilai ketuhanan di dalam akan termanifestasi ke luar melalui pengalaman dan kemajuan diri (Hasan 2006, 289-290).

  Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan spirituality atau spiritualitas adalah upaya dan semangat jiwa untuk berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi dari duniawi (ketuhanan) dan untuk mencapai kedekatan kepada-Nya, agar jiwa menjadi suci, dapat mencapai tujuan, makna serta kesejahteraan yang abadi. Untuk mencapai mencapai pusat spiritual dapat dilakukan, tidak hanya dengan melakukan hal-hal yang berhubungan langsung dengan Tuhan, tetapi juga dapat dilakukan melalui perbuatan-perbuatan positif dalam kehidupan sosial.

  Berdasarkan uraian terperinci mengenai EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality) sebagaimana penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa EECS merupakan nilai-nilai kehidupan yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap manusia secara umum. Nilai-nilai yang terkandung dalam konsep EECS mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana seseorang harus bersikap sebagai seorang pemimpin, baik pemimpin bagi diri sendiri maupun pemimpin bagi orang lain. Dengan menerapkan nilai- nilai EECS seseorang dapat mencapai kesuksesan di dalam kehidupan sosialnya.

  Terlebih lagi, jika di dalam kehidupan sosial seseorang memiliki posisi dan peran sebagai seorang pemimpin bagi yang lainnya, baik di dalam sebuah lembaga, komunitas atau organisasi tertentu, maka nilai-nilai penting kehidupan (EECS/Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality) akan menjadi komponen pokok yang tidak boleh terpisah dari dalam dirinya. Dengan menumbuhkan dan menerapkan nilai-nilai EECS di dalam kehidupan sosial sehari-hari, hal tersebut akan membantu seorang individu sebagai pemimpin untuk dapat mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas/pekerjaannya dan tujuan yang diinginkan.

D. Definisi Kecerdasan Interpersonal

  Kecerdasan interpersonal dikatakan oleh Thorndike dengan istilah kecerdasan sosial pada tahun 1920, diartikan sebagai kemampuan untuk berperilaku bijaksana dalam berhubungan dengan sesama manusia (Mubayidh 2006, 5). Lebih lanjut Thorndike mengatakan kecerdasan sosial merupakan kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya, sehing ga kedua belah pihak berada dalam situasi menang- menang saling menguntungkan (Safaria 2005, 23). Istilah kecerdasan sosial tersebut kemudian dikaji lebih mendalam oleh Howard Gardner (Mubayidh 2006, 5).

  Kecerdasan interpersonal ( interpersonal intelligence) dikemu- kakan oleh Gardner dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of

  

Multiple intelligences sebagai kemampuan untuk mengamati dan

  mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka pada ekspresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap kepribadian dan karakter orang lain (Gunawan 2003, 237) dan umumnya dapat memimpin kelompok.

  Individu yang cerdas secara interpersonal memiliki kemampuan untuk mempersepsikan dan menangkap perbedaan atau perubahan mood, mengenali emosi, suasana hati, temperamen, tujuan, motivasi dan keinginan orang lain (Gardner 2013, 29).

  Howard Gardner juga mengatakan bahwa kecerdasan interpersonal berkaitan dengan hubungan antarpribadi dan sosial (Jasmine 2007, 14). Kecerdasan interpersonal biasa dicirikan dengan mudah bergaul, dapat berperan sebagai mediator dan pandai berkomunikasi (Gunawan 2003, 231). Karena itu, kecerdasan interpersonal dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam menjalin relasi dengan orang lain. Kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk memahami orang lain, bekerjasama, berempati dan bahkan memimpin sekelompok besar orang untuk menuju suatu tujuan bersama (Syurfah 2009, vii). Kecenderungan individu untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sebagaimana penjelasan yang telah dipaparkan, maka akan memudahkannya mampu bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya.

  Karakteristik anak atau seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal tinggi dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini: a. Mampu mengembangkan dan menciptakan relasi sosial baru secara efektif.

  b. Mampu berempati dengan orang lain atau memahami orang lain secara total.

  c. Mampu mempertahankan relasi sosialnya secara efektif, sehingga tidak musnah dimakan waktu dan senantiasa berkembang semakin intim, mendalam dan penuh makna.

  d. Mampu menyadari komunikasi verbal maupun non verbal yang dimunculkan orang lain, atau dengan kata lain sensitif terhadap perubahan sosial dan tuntutan-tuntutannya.

  e. Mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam relasi sosialnya dengan pendekatan win-win solution, serta yang paling penting adalah mencegah munculnya masalah dalam relasi sosialnya.

  f. Memiliki keterampilan komunikasi yang mencakup kete- ram pilan mendengarkan efektif, berbicara efektif dan menulis secara efektif. Termasuk di dalamnya mampu menampilkan penampilan fisik yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya (Safaria 2005, 25-26).

HASIL PENELITIAN

  Berdasarkan temuan penelitian, dapat dipahami bahwa kecerdasan interpersonal siswa kelas VIII Leader 1 dikembangkan dan ditingkatkan melalui internalisasi nilai-nilai karakter yang termuat dalam konsep EECS ke dalam pembelajaran dan kegiatan leadership, sekaligus diperkuat melalui budaya sehari-hari sekolah.

  Adapun nilai-nilai karakter yang terkandung dalam konsep EECS yang sangat berkaitan dengan nilai sosial/interpersonal yang dapat dikembangkan untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal siswa, yaitu sopan, ramah, humanis, berperilaku aktif dan humoris, cakap dalam berbicara dan berbahasa, apresiatif, percaya diri, kepemimpinan, disiplin, bekerjasama, bersosialisasi dan suka menolong. Lebih jelasnya, sopan, ramah dan humanis, berperilaku aktif dan humoris, cakap dalam berbicara dan berbahasa, serta apresiatif merupakan nilai-nilai karakter dari konsep entertainment. Percaya diri adalah nilai karakter dari konsep entrepenenur. Kepemimpinan dan disiplin merupakan nilai karakter dari konsep conceptualizer. Bekerjasama, bersosialisasi dan suka menolong merupakan nilai karakter dari konsep spirituality.

  Pertama, nilai-nilai karakter tersebut diinternalisasikan dan dibiasakan ke dalam diri siswa melalui pembelajaran. Dalam hal ini, menjadi tugas setiap guru bidang studi untuk selalu menyisipkan nilai-nilai karakter EECS ke dalam pembelajaran yang dilaksanakan. Dengan pembelajaran, memungkinkan nilai-nilai karakter EECS dapat diinternalisasikan dan dikembangkan ke dalam perilaku siswa secara lebih kontinu, sehingga menjadi lebih bermakna.

  Proses internalisasi dan pengembangan nilai-nilai karakter EECS di Kelas Leader tersebut, sama halnya seperti pelaksanaan pendidikan karakter yang terpadu dalam pembelajaran. Di dalam penyelenggaraan pendidikan karakter dilakukan pengenalan nilai-nilai, diperoleh kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, internalisasi nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran (Asmani 2012, 58-59).

Dokumen yang terkait

UPAYA PAKSA PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT EFFORTS TO FORCE THE IMPLEMENTATION OF THE COURT RULING THE COUNTRY IN PROVIDING LEGAL PROTECTION TO THE COMMUNITY

0 0 13

KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA (STUDI PERBANDINGAN DI INDONESIA DENGAN NEGARA- NEGARA COMMON LAW SYSTEM ) AUTHORITY OF THE BUSINESS COMPETITION SUPERVISORY COMMISSION (KPPU) IN CASE MANAGEMENT

0 0 20

SISTEM SYURO’ DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN ISLAM SYURO’ SYSTEM ‘ IN THE ORGANIZATION OF THE ISLAMIC

0 0 10

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

0 1 15

RECOVERY ASSET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM ASPEK KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

0 0 19

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT PENAL FORESTRY

0 0 23

PELAKSANAAN PRINSIP KEADILAN DALAM PEMBERIAN GANTI RUGI PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM (Studi Kasus Pelebaran Jalan Raya di Kota Praya Kabupaten Lombok Tengah) PRINCIPLES OF JUSTICE IN LAND ACQUISITION GRANT OF COMPENSATION FOR PUBLIC INTEREST (CA

0 1 17

THE APPLICATION OF THE LAW OF THE IMPOSITION OF THE BEA ACQUISITION OF RIGHTS TO LAND AND BUILDINGS (BPHTB)

0 0 14

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG CRIMINAL LAW POLICY FOR THE ERADICATION OF MONEY LAUNDERING OFFENCES

0 0 16

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENCEGAH RADIKALISME ISLAM DI SMA SEJAHTERA 0I DEPOK

1 1 36