PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENCEGAH RADIKALISME ISLAM DI SMA SEJAHTERA 0I DEPOK

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENCEGAH RADIKALISME ISLAM DI SMA SEJAHTERA 0I DEPOK

Rd. Arif Mulyadi

Dosen dan Ketua LP3M di STAI Madinatul Ilmi Depok mulyadi.arif12@gmail.com

Lativa Novidasari

Pengajar di SD Cakrabuana Depok alilatifah49@gmail.com ABSTRAK

Fakta-fakta menunjukkan bahwa ideologi radikal atau paham radikalisme telah berkembang demikian marak sehingga menembus batas-batas pendidikan formal dan nonfomal. Sekolah-sekolah menengah di perkotaan khususnya SMA merupakan target potensial yang disasar kaum radikalis melalui kegiatan ekstrakurikuler khususnya rohani Islam atau kegiatan rohis. Melalui kegiatan rohis tersebut, yang sering kali mentornya dari sesama siswa atau alumni, kaum radikalis berusaha merekrut siswa-siswa sekolah untuk dijadikan pengikut mereka. Tulisan ini berusaha mengungkapkan bagaimana peran guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam mencegah paham radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok.

Kata- kata kunci: radikalisme, rohis, guru PAI.

PENDAHULUAN

Fenomena radikalisme Islam yang sering terjadi di beberapa negara, terutama negara Timur Tengah bukanlah fenomena yang baru dalam sejarah Islam. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi munculnya fenomena tersebut, di antaranya adalah faktor budaya, teologi, sosial ekonomi dan politik.

Sepertinya dari faktor teologi itulah muncul gerakan Islam radikal pertama yang ditampilkan oleh kaum Khawarij, yaitu kaum yang membangkang perintah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan melakukan pemberontakan terhadap kepemimpinannya (Gulpaygani 2014, 340). Pembelotan ini pada akhirnya menjadi preseden buruk pada perkembangan Islam kemudian.

Di Indonesia juga terjadi hal yang demikian meskipun kita tidak boleh menyamakan antara kaum Khawarij dengan sekelompok orang yang mengadakan pemberontakan terhadap suatu sistem yang memang sudah ditetapkan oleh pemerintah yang sah karena mereka mempunyai latar belakang yang bisa dikatakan berbeda.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Kartosuwiryo yang dahulunya menjadi teman Soekarno dalam melakukan perjuangan tetapi kemudian Kartosuwiryo memisahkan diri dari Soekarno karena, beberapa alasan di antaranya perbedaan pendapat tentang hukum yang digunakan di Indonesia (Effendy dan Hadi 2007, 3).

Kemudian Kartosuwiryo dan pengikutnya berusaha membentuk sebuah kelompok organisasi seperti Hizbut Tahrir, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikhwanul Muslimin, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan lain-lain. Mereka adalah kelompok Islam garis keras yang ingin menjadikan syariat Islam sebagai hukum di Indonesia. Mereka mendakwahkan maksud dan tujuannya kepada masyarakat sekitar untuk mendukung keinginannya dalam mewujudkan pemerintahan Islam di Indonesia (Effendy dan Hadi 2007, 3).

Dalam mendakwahkan maksud dan tujuannya mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka dengan menggunakan cara kekerasan dan menampilkan aksi-aksi yang dapat merugikan banyak orang. Akan tetapi selain itu, mereka juga menggunakan cara yang halus bahkan hampir tidak kelihatan, yaitu dengan masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal (Rokhmad 2012, 10).

50 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Meskipun di dalam suatu lembaga pendidikan semua komponennya telah diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag), dalam hal ini adalah kurikulum yang sudah dipastikan tidak mengandung unsur radikalisme Islam, tetapi menurut Azyumardi Azra di dalam situs Republika Online, ternyata pendidikan dan pembelajaran juga melibatkan hidden curriculum. Rohani Islam (rohis) dan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) merupakan salah satu dari hidden curriculum yang sering ada di dalam lembaga pendidikan (Azra 2015).

Adapun rohis dan beberapa kegiatan ekstrakuler lainnya seperti halaqah atau mabit diadakan di sekolah dengan dalih untuk membentuk individu-individu yang lebih agamis dikarenakan kurangnya jam pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas. Awalnya kegiatan tersebut memang di dasari dengan niat dan tujuan yang baik namun seiring dengan berjalannya waktu kegiatan-kegiatan tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber yang paling efektif untuk menyebarkan paham radikalisme di kalangan pelajar yang kemudian memicu peserta didik untuk tidak toleran terhadap pihak lain (Rokhmad 2012, 3).

Momen dawrah, halaqah, mabit, dan juga rohis merupakan sasaran empuk bagi mereka untuk menyebarkan benih-benih radikalisme. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut terutama kegiatan rohis yang ada di sebuah sekolah terkadang tidak diawasi langsung oleh guru- gurunya, melainkan diserahkan langsung kepada alumi-alumni tersebut yang sudah dianggap mumpuni dalam masalah ilmu yang berkaitan dengan Islam, tanpa mereka ketahui di manakah para alumni tersebut mendapatkan ilmu tentang Islam.

Di sini peran guru sangat penting dalam mencegah radikalisme Islam di sekolah karena guru merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang mampu memberikan pengaruh terhadap pola pikir siswa-siswinya, terutama sekali guru Pendidikan Agama Islam (PAI), yang dipandang sebagai sosok yang sangat moderat dalam menyampaikan ajaran Agama Islam di sekolah. Pasalnya, dalam Permendikbud atau silabus yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang kemudian dijadikan acuan dasar bagi Guru Pendidikan Agama Islam, materi pengajaran tidak mengandung unsur radikalisme.

Guru PAI dituntut untuk dapat menciptakan iklim keagaman yang sehat di sekolah agar peserta didik SMA terhindar dari paham radikalisme Islam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

PAI adalah dengan melakukan praktik deradikalisasi pendidikan Islam melalui pengintegrasian nilai-nilai pendidikan antiradikalisme pada pembelajaran PAI di SMA.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian ilmiah tentang bagaimanakah peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah radikalisme Islam di sekolah yang objek penelitiannya adalah SMA Sejahtera 01 Depok Jl. Anyelir Raya, yang memiliki kegiatan Kerohanian Islam (rohis) yang sudah terindikasi sebagai salah satu cara yang digunakan oleh kelompok umat Islam tertentu untuk meyebarkan paham radikalisme.

PEMBAHASAN

A. Guru Pendidikan Agama Islam

1. Guru

Dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah (UU RI 2006, 2).

Menurut Ali Rohmadi guru merupakan tenaga profesional yang langsung melaksanakan proses pendidikan lapangan secara langsung. Jadi, gurulah yang menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan (Rohmadi 2004, 40). Adapun menurut Zamroni, guru adalah kreator proses belajar mengajar dan ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi peserta didik untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas- batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten (Zamroni 2001, 74-75).

Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru bisa disebut dengan berbagai macam sebutan seperti sebagai ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid, mudarris dan mu’addib. Kata-kata ustadz, biasa digunakan oleh profesor. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Kata mu’allim berasal dari kata ‘ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu yang mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang

52 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 52 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Dilihat dari pengertian ini tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

Kata mursyid biasa digunakan untuk guru dalam thariqah (tasawuf). Ini maknanya bahwa seorang mursyid (guru) yang berusaha menularkan penghayatan akhlak dan atau kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba lillâhi ta’âla (karena mengharap rida Allah semata).

Kata

berasal dari kata (baca dari kanan)

”, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadi usang, melatih dan mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, tugas guru adalah berusaha mencerdaskan, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat dan minat serta memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan (Muhaimin 2003, 209-213).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah seseorang yang mempunyai tenaga profesional untuk mengembangkan potensi yang ada pada anak didik. Adapun sebutan untuk guru tergantung pada objek yang dihadapinya.

2. Pendidikan Agama Islam

Di dalam GBPP PAI di sekolah umum, di elaskan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha yang dilakukan secra sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan dengan memerhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional (Muhaimain 2008, 75-76).

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Menurut Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh, lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup (Daradjat 2011, 86).

Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana untuk menyiapkan siswa guna memahami ajaran Islam secara menyeluruh dengan cara membina, mengasuh dan mengajar sebagai aktivitas asasi dan sebagai profesi dalam masyarakat.

3. Kode Etik Guru Pendidikan Agama Islam

Kode etik berfungsi untuk menjadi pedoman dalam menjalankan tugas profesinya. Menurut Kelly Young, sebagaimana dikutip oleh M. Nurdin, kode etik merupakan salah satu ciri persyaratan profesi, yang memberikan arti penting dalam penentuan, pemertahanan, peningkatan standar profesi. Kode etik menunjukkan bahwa tanggung jawab dan kepercayaan dari masyarakat telah diterima oleh profesi (Nurdin 2004, 127).

Secara harfiah kode artinya aturan dan etik artinya kesopanan, atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaaan. Jadi kode etik profesi diartikan sebagai tata susila keprofesian (NK 1998, 183-184).

Adapun kode etik pendidik dalam Pendidikan Agama Islam dibagi menjadi tiga yang pertama adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan dirinya, yang kedua berhubungan dengan pelajaran, dan yang ketiga berhubungan dengan muridnya (Ramayulis 2010, 232).

a. Syarat-syarat guru yang berhubungan dengan dirinya

1) Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan oleh Allah SWT.

2) Hendaknya guru memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkan ilmunya terhadap orang yang tidak berhak menerimanya yaitu orang-orang yang menuntut ilmu hanya untuk kepentingan dunia semata.

3) Hendaknya guru bersifat zuhud. Artinya, mengambil dari rezeki dunia hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan keluarganya

54 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 54 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

4) Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain.

5) Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga di mata orang banyak sebagaimana Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadanya kamu menyembah (2:172).

6) Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam seperti salat berjamaah di masjid, mengucap salam, serta menjalankan amar makruf nahi mungkar. Dalam melakukan semua itu hendaknya ia bersabar dalam menghadapi cobaan dan celaan, sebagaimana Allah firmankan, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar (2:153).

7) Guru hendaknya melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama baik lisan maupun perbuatan, seperti membaca Alquran, berzikir dan salat tengah malam. Hal ini sejalan dengan firman Allah, Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (11:114)

8) Guru hendaknya memlihara akhlak mulia dalam pergaulan dengan orang orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk. Sebagai pewaris nabi sudah sepantasnya seorang pendidik untuk memperlihatkan akhlak terpuji, sebagaimana peran yang dimainkan oleh Rasulullah dalam menghadapi umatnya (sebagai teladan).

9) Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal- hal yang bermanfaat seperti, beribadah, membaca dan menga rang ini berarti bahwa seorang pendidik harus selalu pandai me man faatkan segala kondisi sehingga hari-harinya tidak ada yang terbuang.

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

10) Guru hendaknya selalu belajar dan merasa malu untuk menerima ilmu yang lebih rendah darinya, baik secara kedudukan maupun usiannya. Artinya seorang pendidik hendaknya selalu bersikap terbuka terhadap masukan apa pun yang bersifat positif dan darimana pun datangnya.

11) Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan

memerhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan.

b. Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat yang berhubungan dengan pedagogis didaktis, yaitu:

1) Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya guru bersuci dari hadas dan kotoran serta menggenakan pakaian yang baik dengan niat mengagungkan syariat dan ilmu.

2) Untuk keluar rumah guru hendaknya selalu berdoa agar tidak sesat dan menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT hingga sampai ke majelis pengajaran. Ini menegaskan bahwa sebelum mengajarkan ilmunya, seorang guru sepantasnya untuk menyucikan hati dan niatnya.

3) Hendaknya seorang guru mengambil tempat pada posisi yang dapat dilihat oleh semua murid. Artinya ia harus berusaha agar apa yang disampaikannya hendaklah diperkirakan dapat dinikmati oleh seluruh siswanya dengan baik.

4) Sebelum memulai mengajar hendaknya, guru hendaknya membaca sebagian dari ayat Alquran agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.

5) Guru hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hierarki nilai kemuliaan dan kepentingannya yaitu tafsir Alquran, kemudian hadis, ushuluddin, ushul fikih, dan seterusnya. Barangkali untuk seorang guru pemegang mata pelajaran umum, hendaklah mendasarkan materi pelajarannya sesuai dengan Alquran dan Hadis, dan kalau perlu meninjau dari kaca mata Islam.

6) Hendaknya guru selalu mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras, hingga membisingkan ruangan, tidak pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh murid atau siswa.

7) Hendaknya guru menjaga ketertiban majelis dengan mengarah- kan pembahasan pada objek tertentu. Artinya dalam memberi- kan materi pelajaran seorang guru memerhatikan tatacara penyampaian yang baik sistematis, sehingga apa yang disampaikan

56 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 56 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Guru hendaknya menegur murid-muridnya yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas, seperti menghina teman, tertawa keras, tidur, berbicara dengan teman atau tidak menerima kebenaran. Ini berarti bahwa seorang guru atau pendidik dituntut untuk menanamkan dasar-dasar akhlak terpuji dan sopan santun baik di dalam ruangan ataupun di luar ruangan.

9) Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan menjawab pertanyaan. Apabila dia ditanya tentang suatu yang tidak ia tahu hendaklah ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Hal ini menegaskan bahwa seorang guru tidak boleh pura-pura tahu. Sedangkan diri Rasulullah saja, tidak pernah menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu dengan jawaban yang diterka-terka tapi beliau hanya menjawab dengan la adriy (saya tidak tahu). Sebab jika seseorang mencoba menjawab dalam ketidaktahuannya ia akan dikategorikan sebagai orang yang sesat dan menyesatkan.

10) Terhadap murid baru, guru hendaknya bersikap wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.

11) Guru hendaknya menutup setiap akhir kegiatan belajar mengajar dengan kata-kata Wallahu a’lam (Allah yang Maha Mengetahui) yang menunjukan keikhlasan kepada Allah Swt. Hal ini bermaksud agar setelah proses belajar mengajar berlangsung seorang guru hendaklah menyerahkan kembali urusannya kepada Allah SWT.

12) Guru hendaknya tidak mengasuh mata pelajaran yang tidak dikuasainya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pelecehan ilmiah dan sebaliknya akan terjadi hal yang sifatnya memuliakan ilmu dalam proses belajar mengajar.

c. Kode etik guru di tengah-tengah para muridnya 1)

Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan rida Allah menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan serta memelihara kemaslahatan umum.

2) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus untuk belajar. Sebagian ulama memang pernah berkata, “Kami pernah menuntut ilmu dengan tujuan bukan karena Allah, sehingga guru menolak kecuali jika kami

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

3) Guru hendaknya mencintai muridnya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Artinya seorang hendaknya guru hendaknya menganggap bahwa muridnya itu adalah bagian dari dirinya sendiri (bukan orang lain).

4) Guru hendaknya memotivasi murid untuk menuntut ilmu seluas mungkin. Sebagaimana pernah dianjurkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “ Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”, Hadis ini menyiratkan bahwa menuntut ilmu tidak ada batasanya, kapan dan di manapun tempatnya.

5) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahsa yang mudah dan berusaha agar muridnya memahami pelajaran. Artinya seorang guru harus memahami kondisi murid-muridnya dan mengetahui tingkat kemampuannya dalam tingkat berbahasa

6) Guru hendaknya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar mengajar yang dilakukannya. Hal ini dimaksudkan agar guru selalu memerhatikan tingkat pemahaman siswanya dan pertam- bahan keilmuan yang diperolehnya.

7) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya. 8)

Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid, baik dengan kedudukan ataupun hartanya. Apabila murid sakit, hendaknya ia menjenguknya, dan apabila kehabisan bekal, hendaknya ia membantunya. Hal ini menggambarkan bahwa seorang guru dianjurkan memperlakukan muridnya dengan baik, sebagaimana ia memperlakukan anaknya sendiri, dengan penuh kasih sayang.

9) Guru hendaknya terus memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya. Murid yang saleh akan menjadi tabungan bagi guru baik di dnunia maupun di akhirat.

B. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat

58 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 58 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Tujuan terakhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun kemanusiaan pada umumnya (Daradjat 2011, 94).

C. Peran dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam

Tugas dan tanggung jawab guru sebenarnya bukan berakhir hanya di sekolah saja, tetapi tugas guru bisa dimana saja mereka berada. Peran ( role) guru, menurut Tohirin, artinya semua perilaku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mempunyai peran yang amat luas, baik di sekolah, keluarga, dan di dalam masyarakat. Di sekolah guru berperan sebagai perancang atau perencana, pengelola pengajaran dan pengelola hasil pembelajaran siswa (Tohirin 2005, 165).

Peran guru di sekolah ditentukan oleh kedudukannya sebagai orang dewasa, sebagai pengajar dan pendidik serta sebagai pegawai. Namun yang paling utama adalah kedudukannya sebagai pengajar dan pendidik. Berdasarkan kedudukannya sebagai guru, ia harus menunjukkan perilaku yang baik, sehingga bisa dijadikan teladan oleh siswanya.

Sedangkan di masyarakat guru sering dipandang sebagai tokoh teladan bagi orang-orang sekitarnya. Pandangan pendapat atau buah pikirannya sering menjadi ukuran atau pedoman bagi orang-orang sekitarnya, karena guru dianggap telah memiliki pengetahuan lebih luas dan lebih mendalam dalam berbagai hal keilmuan.

Meskipun anggapan ini terlalu berlebihan, kenyataannya banyak guru yang dipilih sebagai ketua atau pengurus di berbagai perkumpulan

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Hal itu terjadi karena guru dianggap oleh masyarakat sebagai seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan kecakapan dalam memimpin suatu organisasi di desa tersebut.

Di dalam keluarga, masih menurut Tohirin, guru berperan sebagai Family educator . Sedangkan di tengah-tengah masyarakat, guru berperan sebagai social developer (Pembina masyarakat, social motivator (pendorong masyarakat), social inovator (penemu masyarakat), dan sebagai social agent (agen masyarakat) (Tohirin 2005, 165).

Tugas dan tanggung jawab tersebut merupakan tugas pokok profesi guru, sebagai pengajar guru harus lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. tanggung jawab guru sebagai pembimbing memberikan bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah, tanggung jawab sebagai administrator kelas pada hakikatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya.

Tanggung jawab mengembangkan kurikulum membawa implikasi bahwa guru dituntut untuk selalu mencari gagasan- gagasan baru, penyempurnaan praktik pendidikan khususnya bidang pengajaran, tanggung jawab mengembangkan profesi pada dasarnya ialah tuntutan dan panggilan untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga dan meningkatkan tugas tanggung jawab profesinya dan yang keenam adalah tanggung jawab dalam membina hubungan sekolah dan masyarakat, yang itu artinya guru harus dapat berperan menempatkan sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat serta sekolah sebagai pembaharu masyarakat.

Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang baik adalah guru yang dapat memainkan peran-peran di atas secara baik. Guru harus senantiasa sadar akan kedudukannya selama dua puluh empat jam. Di mana dan kapan saja, guru akan selalu dipandang sebagai guru yang harus memperlihatkan perilaku yang dapat diteladani oleh khususnya anak didik udan masyarakat luas (Tohirin 2005, 165).

Ketiga tugas guru tersebut merupakan tugas pokok profesi guru. Guru sebagai pengajar lebih menekankan pada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis

60 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 60 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Sedangkan menurut Piet A. Sahertian dan Ida Aleida, menge- mukakan bahwa tugas guru dikategorikan ke dalam tiga hal, yaitu: tugas professional, tugas personal dan tugas sosial (Sahertian & Aleida 1990, 38).

D. Teori-Teori Tentang Radikalisme Islam

Untuk memberikan istilah terhadap gerakan Islam, yang menolak tatanan sosial yang sudah ada dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan, sampai sekarang para pengamat Islam masih belum mendapatkan kesepakatan tentang istilah tersebut.

Adapun isilah yang paling umum untuk memberikan label terhadap paham gerakan Islam tersebut adalah fundamentalisme (Taher 1998, 6). Oliver Roy menyebut gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan syariat sebagai Islam Fundamentalis, yang ditunjukkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Hizbuttahrir, Jamaah Islamiyah, dan Front Islamic Salvation (FIS).

Namun istilah fundamentalis bagi Esposito terasa lebih provokatif dan bahkan pejoratif sebagai gerakan yang pernah dilekatkan pada Kristen sebagai kelompok literalis, statis dan ekstrem. Namun pada gilirannya fundamentalisme sering merujuk kepada kehidupan masa lalu, bahkan lebih jauh lagi fundamentalisme sering disamakan sebagai ekstremisme, fanatisme politik, aktivisme politik, terorisme dan Anti Amerika. Karena itu, John L. Esposito lebih memilih menggunakan istilah revivalisme Islam atau aktivisme Islam yang memiliki akar tradisi Islam. Negarawan senior Singapura, Lee Kuan Yew, menggunakan istilah gerakan militan Islam ketika melihat militansi Islam secara global yang berasal dari Negara Islam seperti Afganistan dan Pakistan. Komentar Lee ditujukan dengan maraknya ormas Islam yang siap jihad ke Afganistan seperti FPI, Majelis Mujahidin, dan PPMI. Istilah ini juga digunakan oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad dengan menunjuk kelompok militan Islam di Malaysia (PAS dan Mujahidin). (Taher 1998, 6)

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Sedangkan Robert W. Hefner menggunakan istilah antiliberal. Hefner secara jelas menunjuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai kelompok Islam antiliberal. Kelompok ini tidak setuju dengan apa yang dianggap sebagai bias liberal di lingkungan IAIN maupun DEPAG. Muhammad Said al-Asmawi juga menggunakan istilah ekstremisme yang telah menjadi gejala global: menyebar keseluruh pelosok dunia di setiap negara timur tengah, di timur, Barat, Selatan dan Utara. Disebutkan oleh Asymawi, bahwa faktor yang paling menonjol dari kemunculan ekstremisme Islam adalah krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga politik (Zada 2002, 13).

E. Pengertian Radikalisme

Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik (Bahasa 2008, 1130).

Menurut Afif Muhammad, radikal berasal dari kata radic yang berarti akar, dan radikal adalah “(sesuatu) yang bersifat mendasar atau hingga ke akar-akarnya”. Label ini ini bisa dikenakan pada pemikiran atau paham tertentu, sehingga muncul istilah “pemikiran yang radikal” dan bisa pula “gerakan”. Berdasarkan itu, radikalisme diartikan dengan paham atau aliran keras yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis dan sikap ekstrem suatu aliran politik. (Bakri 2004, 2)

Seorang tokoh agama terkemuka, KH. Hasyim Muzadi, yang ditemui ketika mengisi seminar nasional tentang deradikalisasi agama melalu peran mubalig di Jawa Tengah, mengatakan bahwa seseorang boleh saja berpikir secara radikal (berpikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya) dan memang seharusnya seseorang seharusnya berpikir secara radikal (Rokhmad 2012, 4).

Akan tetapi hasil pemikiran tersebut akan berbahaya jika sudah menjadi isme yaitu mazhab atau ideologi, karena jika sudah menjadi mazhab seseorang tersebut akan keras dalam memaksakan hasil pemikirannya terhadap orang lain atau kelompok lain. Menurut Rokhmad, inilah yang disebut dengan radikalisme (Rokhmad 2012, 4).

62 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

F. Ciri-Ciri Radikalisme Islam

Lebih detail, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalism Islam. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya—di Timur Tengah—secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Alquran dan Hadis hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Alquran dan Hadis, maka purifikasi ini sangat berhati- hati untuk menerima segala budaya non-asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bidah. Keempat, menolak ideologi non- Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Alquran dan Hadis. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah (Rubaidi 2010, 63).

G. Akar Radikalisme Islam di Indonesia

Lahirnya Islam radikal dapat dilacak dengan munculnya Darul Islam di beberapa kota dan ditambah lagi dengan anggota partai politik Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kerap membangun jaringan transnasional dengan beberapa gerakan di Timur Tengah. Gerakan yang dimaksud beragam, misalnya Wahabi di Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di kemudian hari muncul Hizbut-Tahrir dari Yordania.

Darul Islam membangun fragmen kelompoknya dengan kekuatan militer. Beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat (Kartosuwiryo), dan Aceh (Daud Beureueh). Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada pemerintah RI secara terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rezim politik ketika itu. Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka kenegaraan di parlemen dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955 (Umar 2010, 173).

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Kata-kata Darul Islam di Indonesia digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara Islam Indonesia. Lebih spesifik Darul Islam adalah nama yang diberikan kepada sebuah gerakan pemberontakan Islam di Jawa Barat, yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru merdeka antara tahun 1948- 1962 yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905- 1962) untuk memaksakan terbentuknya Negara Islam Indonesia (NII) dibantu dengan kekuatan militer Darul Islam yang dikenal dengan Tentara Islam Indonesia (TII) yang berbasis di dataran tinggi Jawa Barat.

Benih ide berdirinya Darul Islam sendiri sebenarnya sudah tampak sejak Kartosoewirjo duduk di kursi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Selanjutnya untuk melaksanakan niatnya ia tidak bergerak sendiri tetapi ia berhubungan dengan pemberontak Islam di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh dan di Sulawesi selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada pemerintah RI secara terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rezim politik ketika itu. Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka kenegaraan di parlemen dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955.

H. Keterkaitan Gerakan Islam Garis Keras Gerakan Transnasional

Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, pendapat yang menga- takan bahwa tidak ada keterkaitan antara radikalisme Islam yang terjadi di Indonesia dengan Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir atau gerakan Hizbut Tahrir yang ada di Yordania, tetapi mereka hanya mempunyai keinginan sama yaitu ingin mewujudkan syariat Islam di dalam negara (Umar 2010, 173); kedua, pendapat yang mengatakan bahwa ada keterkaitan antara gerakan Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir. Pada tahun 1970 saat Indonesia mengalami kesulitan utuk memberikan biaya terhadap mahasiswa yang ingin belajar di luar negeri, Wahabi melalui DII (Darul Islam Indonesia) menyediakan dana yang lumayan besar untuk mereka.

Kebanyakan alumni tersebut kemudian menjadi agen penyebar paham transnasional dari Timur Tengah ke Indonesia. Tidak berhenti di situ dengan dukungan Wahabi pula DII mendirikan LIPIA yang

64 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 64 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

DII pula meletakkan dasar gerakan dakwahnya di kampus- kampus. Masih dengan dukungan dana Wahabi DII juga mengambil peran penting dalam menerjemahkan buku-buku dan gagasan tokoh- tokoh pembaharu transnasional seperti Hasan al-Banna, al-Maududi dan Yusuf Qaradhawi. Penerbitan Majalah Sabili yang (dulu) sampai 100.000 eksemplar diduga tidak lepas dari campur tangan Wahabi.

Selain DII setelah tumbangnya Orde Baru di Indonesia muncul beberapa gerakan Islam yang begitu banyak di antaranya, adalah FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, FKASWJ (Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal Jamaah) , MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) FUI (Forum Umat Islam), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), KPPSI (Komiter Persiapan Penerapan Syariat Islam).

Mereka menampakkan diri secara terbuka di Indonesia. Hingga saat ini gerakan kelompok-kelompok garis keras sudah meyebar seperti kanker yang menyebar ke seluruh tubuh bangsa. Mereka menyusup mulai dari istana sampai ke pegunungan. Adapun pola penyusupannya pun sangat beragam seperti hal-hal financial, sampai hal-hal yang tidak terpikirkan seperti pembersihan gratis di masjid bahkan dengan pola akademis dengan berbagai pengetahuan.

Penyerobotan masjid merupakan salah satu cara yang digunakan oleh gerakan Islam garis keras. Penyusupan dengan pola akademis lazim dilakukan kepada dewan penyantun, pemimpin kampus pengurus senat mahasiswa dan lain-lain bahkan mereka juga mendirikan sekolah-sekolah tersendiri di antaranya adalah Sekolah Islam Terpadu. Dari situ jelas bahwa kelompok Islam garis keras ingin menguasai dunia pendidikan dan masa depan Indonesia dengan pandangan Wahabi, Hizbut Tahrir maupun Ikhwanul Muslimin (Wahid 2009, 95-99).

I. Penyebaran Radikalisme Islam Melalui Lembaga Pendidikan SMA

Sebuah riset yang dilakukan Center for Religious and Cross- Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta dalam Politik Ruang Publik Sekolah,

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Radikalisme yang mereka anut terjadi karena peran para mentor yakni para alumni SMA tersebut dalam memberikan pemahaman tentang keislaman kepada para siswa SMA tersebut. Mereka adalah kaum muda ( youth) yang rata-rata berumur 18-19 tahun.

Mereka melakukan aktivitas keislaman di sekolah dengan mendominasi ruang publik seperti menjadi pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), sebuah organisasi resmi milik sekolah menengah atas serta mendominasi kegiatan keislaman dalam organisasi.

Unit Kerohanian Islam (Rohis) yang sejak tahun 1990 menjalar di mana-mana, hampir di setiap sekolah negeri yang ada di Yogyakarta, termasuk sekolah-sekolah unggulan bahkan sekolah berstandar internasional. Mereka menegosiasikan kepentingan keislamannya dengan melawan struktur yang dilakukan melalui agensi-agensi yang dirawat melalui jaringan alumni sekolah tersebut (Azekiyah dll 2011).

Dari hal di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa jika modal sosial tersebut terus berlangsung dan terpupuk dalam arena yang sama, akan terjadi kecenderungan untuk menjadi radikal. Karenanya, perlu mendapatkan perhatian oleh banyak pihak agar siswa-siswa SMA tidak lebih banyak dikenalkan dan direcoki dengan paham keagamaan yang disinyalir radikal. Aktivitas ekstrakurikuler semacam pengajian, pelatihan dan kelompok studi tentu saja sangat baik untuk mendukung kreativitas para siswa (Qodir 2013, 95-99). Akan tetapi, memberikan pengawasan atau pendampingan yang memadai agar mereka tetap santun dan damai sebagai tugas sekolah dan negara tidak bisa dikesampingkan.

HASIL PENELITIAN

Setelah mengumpulkan data dari hasil penelitian, peneliti men- dapat kan data berikut analisisnya sebagai berikut.

A. Analisis tentang Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Jika melihat latar belakang dari temuan penelitian Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Sejahtera 01 Depok Imran Rosyadi, MM adalah tenaga

66 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 66 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Imran Rosyadi juga tidak menyetujui adanya radikalisme dalam Islam. Dengan begitu guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang ada di SMA Sejahtera 01 Depok dapat dijadikan sebagai salah satu dari komponen PAI yang dapat mencegah radikalisme Islam. Pasalnya, jika beliau menyetujui radikalisme Islam, kemungkinan guru tersebutlah yang juga ikut mengarahkan pemikiran siswa ke dalam radikalisme Islam.

B. Analisis Bentuk Radikalisme Islam di SMA Sejahtera

01 Depok

Masalah radikalisme Islam yang terjadi di sekolah merupakan masalah yang sangat menarik jika dikaji karena masuknya paham tersebut sangat jarang diketahui oleh komponen-komponen pendidikan yang ada di sekolah.

Bahkan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diharapkan menjadi pelopor utama dalam mencegah radikalisme Islam tidak menyadari bahwa radikalisme Islam berhasil masuk di sekolah dan berhasil dalam memengaruhi atau mengarahkan pemikiran sebagian siswanya. Hal ini disebabkan kecakapan sebagian kaum muslimin dalam mengemas radikalisme Islam supaya tidak ada pihak sekolah yang menyadari keberadaan radikalisme Islam di sekolah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, peneliti dapat menyimpulkan bahwa radikalisme Islam masuk di sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler kerohanian Islam (rohis).

Miris sekali kegiatan ekstrakurikuler yang dianggap mampu menambah wawasan keagamaan siswa telah disusupi oleh paham radikal Islam. Akan tetapi, jarang sekali komponen-komponen sekolah yang menyadari karena [kegiatan] ekstrakurikuler rohis selalu menampilkan kegiatan-kegiatan yang tampak bagus dan bermanfaat dari luarnya. Bahkan siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tidak menyadari bahwa dia sedang berada dalam lingkaran radikalisme Islam. Boleh jadi jika siswa yang mengikuti rohis mengetahui bahwa dirinya sedang dijadikan alat untuk mendukung tegaknya pemerintahan Islam di Indonesia, dia akan mengundurkan diri sebagai anggota rohis.

Kegiatan ekstrakurikuler rohis memang sengaja dibuat sangat menarik dibandingkan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler lainnya yang

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017 safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Selain memikirkan ciptaan Tuhan dan mendapatkan pahala mereka juga dapat refreshing bersama teman-temannya yang mengikuti kegiatan rohis di sekolah, mabit (malam bina takwa) riyadhah, dan sebagai pelopor penyelenggara kegiatan-kegiatan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) di sekolah.

Namun karena terbatasnya waktu dan kesempatan, peneliti hanya dapat menemukan penanaman radikalisme Islam melalui tiga kegiatan yang dilakukan di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Mentoring

Dari kegiatan mentoring yang merupakan salah satu program rohis dapat dianalisis bahwasanya kegiatan mentoring merupakan langkah awal yang digunakan oleh sebagian kaum muslimin yang menginginkan tegaknya Khilafah Islam di Indonesia (Ghoffar 2016). Meskipun materi yang disampaikan masih belum terlalu menjurus kepada unsur-unsur radikalisme Islam, dari kegiatan mentoring mereka diarahkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan lain setelah kegiatan rohis di sekolah.

Begitu juga dengan mentornya, menurut Nazrah, salah satu mentor putri mengatakan bahwasanya untuk menjadi mentor tidaklah mudah. Seorang yang ingin menjadi mentor harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Merupakan alumni Sejahtera yang sedang mengikuti liqa’ diluar sekolah.

b. Mampu berkomitmen.

c. Memiliki wawasasan Islam yang luas yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah yang luas. (Nazah 2016)

Meskipun tidak ada pedoman dalam menyampaikan materi- materi mentoring, menurut ketua rohis Muhammad Fajar, materi- materi yang biasa disampaikan di antaranya sebagai berikut:

a) Makna Lâ ilâha illallâh

68 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 68 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Sirah Nabawiyah d)

Sirah shahabat Dari materi-materi yang biasa disampaikan dapat disimpulkan

bahwa tauhid, sejarah Nabi Muhammad, dan sahabat merupakan nilai penting yang harus ditanamkan di benak siswa. Dua kategori materi ini merupakan langkah awal yang digunakan oleh sebagian kaum muslimin yang menginginkan tegaknya Khilafah Islamiyah.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh ulama mereka di dalam website yang telah direferensikan oleh mantan ketua rohis. Abdul Hakim Amir Abdat mengatakan bahwa untuk menegakkan Daulah Islamiyah yang pertama adalah menanamkan tauhid dan yang kedua adalah mengikuti sunah Nabi Muhammad atas manhaj Sahabat.

Menurut Abdat, sebelum membentuk Daulah Islamiyyah, mereka mengajarkan ilmu tauhid dan memerintahkan seseorang supaya berjalan di atas manhaj sahabat yang merupakan kunci kesuksesan dalam menegakkan Daulah Islamiyah. Para anggota rohis dari kalangan SMA memang sengaja diajak untuk berorganisasi suapaya mereka mudah untuk dikoordinasikan, jika pada suatu saat mereka dibutuhkan. (Kebaikan yang tidak dikoordinasikan akan dikalahkan dengan kebatilan yang dikoordinasikan dengan baik).

2. Ceris (Cerita Islam)

Menurut observasi yang peneliti dapatkan di lapangan ceris (cerita Islam) juga merupakan sarana yang digunakan untuk mengingatkan betapa pentingnya hukum Islam dalam suatu negara.

Kesempatan para mentor untuk memasukkan unsur radikalisme Islam semakin besar karena di dalam momen itu peserta rohis dapat menemukan sendiri permasalahan-permasalahan umat Islam yang ada di Indonesia seperti konflik yang berkepanjangan antara Sunni dan Syi’ah, NU dan Muhammadiyah permasalahan ummat Islam yang cukup kompleks namun tidak pernah mendapat solusi dari pemerintah.

Keinginan untuk menegakkan syariat Islam dari siswa lebih besar karena mereka sendiri yang mengemukakan permasalahan- permasalahannya sendiri kemudian dia sendiri yang menyimpulkannya sesuai dengan materi-materi yang pernah ia dapat di dalam kegiatan mentoring.

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Selain kegiatan mentoring dan ceris ada juga kegiatan namanya JRF (Jasmani Rohani Fikriah). Sesuai dengan observasi yang peneliti dapatkan JRF digunakan untuk mengikat hubungan emosionalnya antara mentor dan anggota rohis.

Melalui kegiatan tersebut para mentor dapat mengetahui perkembangan spiritual anggota rohis. Ketika kondisi spritualnya menurun para mentor pasti memberikan wejangan-wejangan supaya meningkatkan ibadahnya terhadap Allah Swt. 1

Selain kondisi spiritualnya para mentor juga mengetahui kondisi jasmani dan fikriah atau perasaan anggota rohis yang dirasakan pada dirinya. Dari sini sebenarnya timbul permasalahan untuk apa para mentor mengetahui kondisi fikriah dan jasmaninya. Alasan yang dikemukakan oleh mereka adalah selain untuk memotivasi, kita mengetahui juga bagaimana kondisi sesama anggota rohis sehingga dari sini akan timbul rasa kepedulian terhadap sesama.

Kegiatan tersebut memang tampak mulia sekali tetapi dari kegiatan tersebut juga dapat menimbulkan pertanyaan di antaranya adalah, untuk apakah para mentor mengetahui kondisi peserta rohis terlebih lagi mengetahui hubungan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya? Untuk apakah seorang mentor menanyakan kondisi fisik seseorang? Tidak cukupkah bagi seorang mentor mengetahui dari tindakan anggota rohis saja karena kalau fisik seseorang bermasalah atau terganggu maka hal itu akan berpengaruh dengan tindakannya atau sikapnya.

Begitu pula dengan kondisi fisik. Perlukah seseorang menanyakan kepada orang lain apa yang sedang dipikirkan? Padahal tidak semua yang dipikirkan oleh seseorang boleh diketahui oleh orang lain. Jika bukan untuk mengikat hubungan emosional antara mentor dan anggota rohis, seorang mentor tidak akan melakukan hal yang semacam itu karena dengan mengikat emosional siswa, dengan mudah seseorang mengarahkan seseorang ke arah yang dia kehendaki.

Kondisi tersebut memang sengaja dimanfaatkan oleh sebagian kaum radikalis Islam. Hal ini sudah diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat melalui tulisannya mengenai ciri-ciri radikalisme Islam yaitu salah satunya adalah mengikat emosional anggota rohis dengan mentornya.

1 Buku kecil Catatan observasi rohis putri di lapangan.

70 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

3. Liqa’

Liqa’ artinya bertemu. Liqa’ dalam penelitian ini adalah pertemuan rutin yang dilakukan oleh beberapa orang dengan satu murabbi dengan waktu dan tempat yang sudah diatur dan direncanakan. Kegiatan tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan rohis di sekolah. Sebagaimana kegiatan rohis di sekolah, liqa’ dijadikan sebuah wadah

untuk mempelajari Islam secara kafah menurut pandangan mereka. 2 Di dalam liqa’ masih terbagi lagi menjadi beberapa tingkatan semakin tinggi tingkatan liqa’nya semakin tinggi pula tingkat pelajaran Islam yang kafaah. Pelan tapi pasti itulah yang dilakukan mereka dalam merekrut para kalangan muda yang berilmu ke dalam lingkaran mereka untuk mendukung cita-citanya dalam mewujudkan tujuan mereka yaitu ingin menegakkan syariat Islam di negara Indonesia atau mereka lebih suka disebut dengan menegakkan sistem khilafah yang pernah membuahkan hasil yang sangat bagus saat diterapkan pada zaman sahabat atau salaf al-shalih. 3

Karena itu, supaya tetap bisa eksis mereka tidak menampakkan keyakinannya di depan orang-orang awam. Hal ini dilakukan supaya mereka dapat leluasa merekrut siswa-siswi yang berada di sekolah yang sudah ditampung melalui rohis.

Hal ini dapat di ketahui dari hasil wawancara dengan Raihan Muhammad Goffar yang mengatakan, “Kita tidak diharuskan menyampaikan kepada orang-orang tentang apa yang kita yakini sekiranya akan menimbulkan perse lisihan di kalangan kaum muslimin umumnya. Misalnya kegiatan maulid sebenarnya ‘kan tidak ada di dalam Islam tapi kita tidak akan memaksakan keyakinan kita di lingkungan sekolah. Karena kebanyakan mereka masih belum tahu yang sebenarnya. Maka kita, terlebih saya, ketika masih menjadi ketua rohis tetap mengadakan maulid Nabi Muhammad di lingkungan sekolah.”

Selain itu mereka juga sangat tertutup. Mereka tidak ingin kegiatannya diketahui oleh selain anggotanya. Seandainya kegiatan- kegiatan tersebut tidak ada motif lain selain untuk mempelajari agama Islam dengan baik mungkin mereka akan sangat terbuka saat peneliti ingin mengikuti kegiatan liqa’.

2 Transkrip wawancara dengan mantan ketua rohis. 3 Transkrip wawancaea dengan Luluk, mentor rohis putri.

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

Nazrah mengatakan untuk mengikuti liqa’ harus ada izin dari murabbi-nya. Menurutnya, saat ia menyakan kepada murabbinya, murabbinya tidak mengizinkan orang lain selain anggota rohis untuk dapat mengikuti liqa’. 4

Kegiatan liqa’ merupakan salah satu kegiatan lanjutan dari kegiatan rohis di sekolah yang sangat efektif untuk menyebarkan radikalisme Islam di kalangan pemuda baik dari kalangan SMA bahkan mahasiswa. Karenanya sangat tidak heran jika radikalisme Islam berkembang sangat pesat di Indonesia karena setiap tahun anggota mereka selalu bertambah.

Anggota-anggota yang direkrut oleh mereka adalah para pemuda dari kalangan pelajar yang memang sudah diarahkan secara perlahan- lahan oleh kegiatan rohani Islam di sekolah, sehingga mudah sekali bagi sebagian kaum muslimin yang menghendaki tegaknya hukum Allah di negara Indonesia untuk melakukan brainwashing terhadap para pelajar SMA mengingat mereka masih berusia sekitar 21 tahun, masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa.

Peserta didik SMA berada pada tahap ketiga, yaitu tahap kepercayaan sintetik-konvensional sebagaimana teori yang telah diungkapkan oleh James W. Fowler dalam bukunya yang berjudul Stages of Faith yang dikutip oleh Desminta menyatakan bahwa pada tahapan ini peserta didik SMA patuh terhadap pendapat dan kepercayaan orang lain (Desmita 200, 37). Pada tahap ini peserta didik SMA cenderung ingin mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain di sekitarnya dan menerima sistem kepercayaan tersebut tanpa diikuti dengan sikap kritis dalam meyakininya.

Kegiatan liqa’ tidak mengenal usia. Jika sudah menjadi anggota liqa’ meskipun siswa tersebut sudah berstatus mahasiswa, kegiatan tersebut masih terus berlanjut. Semakin lama mereka mengikuti liqa’ maka semakin tinggi level liqa’nya. Jika sudah demikian mereka juga semakin mengetahui Islam yang kafah. Konsekuensi dari mengetahui mereka pasti akan berbuat seperti apa sudah diketahui.

Barangkali inilah yang menjadi alasan sebagian kaum muslimin yang ingin menanamkan radikalisme Islam di dalam otak siswa. Oleh karena itu mereka segera menyusun sistem yang sangat bagus

4 Transkrip wawancara.

72 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok 72 Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Islam di SMA Sejahtera 01 Depok

Dokumen yang terkait

UPAYA PAKSA PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT EFFORTS TO FORCE THE IMPLEMENTATION OF THE COURT RULING THE COUNTRY IN PROVIDING LEGAL PROTECTION TO THE COMMUNITY

0 0 13

KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA (STUDI PERBANDINGAN DI INDONESIA DENGAN NEGARA- NEGARA COMMON LAW SYSTEM ) AUTHORITY OF THE BUSINESS COMPETITION SUPERVISORY COMMISSION (KPPU) IN CASE MANAGEMENT

0 0 20

SISTEM SYURO’ DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN ISLAM SYURO’ SYSTEM ‘ IN THE ORGANIZATION OF THE ISLAMIC

0 0 10

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

0 1 15

RECOVERY ASSET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM ASPEK KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

0 0 19

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT PENAL FORESTRY

0 0 23

PELAKSANAAN PRINSIP KEADILAN DALAM PEMBERIAN GANTI RUGI PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM (Studi Kasus Pelebaran Jalan Raya di Kota Praya Kabupaten Lombok Tengah) PRINCIPLES OF JUSTICE IN LAND ACQUISITION GRANT OF COMPENSATION FOR PUBLIC INTEREST (CA

0 1 17

KEWENANGAN KEPALA DAERAH MENERBITKAN IZIN USAHA PERKEBUNAN DI HUTAN ADAT AUTHORITY OF THE HEAD OF PUBLISHING BUSINESS ESTATES LICENSES IN FOREST ADAT

0 0 14

KONSEP HUKUM PERTAMBANGAN RAKYAT (STUDI DI KABUPATEN LOMBOK BARAT)

1 1 14

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG CRIMINAL LAW POLICY FOR THE ERADICATION OF MONEY LAUNDERING OFFENCES

0 0 16