KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT PENAL FORESTRY

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT PENAL FORESTRY

Astan Wirya

Penyidik : Polhut NTB email: wirya_astan@yahoo.com

Naskah diterima : 09/01/2015; direvisi : 023/02/2015; disetujui : 05/04/2015

Abstract

The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry on this thesis is about problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry criminal act and what competence and effort to eliminate forestry destruction institution (LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention, and elimination of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal law and supporting by law element such premier, secondary and tarsier law. Approach system in this thesis using statue approach, conceptual approach, historical approach, meanwhile an analyze research basic law interpretation with deductive and inductive concept as the explanation, logic interpretation and systematic. The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years 1990 regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41 years 1999 regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding prevention and elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement policy on the ordinance number 18 year 2013 has been divide a type of criminal case, criminal responsibilities and criminality system with minimum particularly up to maximum which criminal responsibilities distinguish into personal, person to person around forestry, corporate, and government authorities. An ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare tackling a forestry criminal act and what authority and effort to

eliminate forestry destruction institution (LP3H), those institution under president supervise, institution element including Forest Ministry, Indonesian Police, Public Persecutor and others, institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as prevention deputy broad, measures, law, and cooperation, internal supervise and community complain deputy, P3H institution has right and function for forest destruction prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource, campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit, up to court interrogation. Institution P3H also has right and function to coordinate supervise a criminal forest lawsuit act.

Key word : Criminal policy, formulation law and penal forestry.

Abstract

Kebijakan formulasi penanggulangan tindak pidana kehutanan dalam tesis ini permasalahannya adalah Bagaimana Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan dan Bagaimana Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal, penelitian ini didukung oleh bahan-bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang pendekatan

IUS 19 Kajian Hukum dan Keadilan

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m, 19~41

perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), dan pendekatan sejarah (historical approach), sedangkan analisis penelitian dengan cara penafsiran asas-asas hukum, dengan kerangka berfikir deduktif-induktif sebagai suatu penjelasan dan interpretasi logis dan sistematis. Kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor

18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kebijakan formulasi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur jenis-jenis tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sistem pemidanaan dengan ancaman pidana minimum khusus sampai dengan maksimum yang dibedakan pertanggungjawaban pidananya terhadap perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar dan/atau dalam kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H, mengamanatkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), lembaga tersebut berkedudukan di bawah Presiden, unsur-unsur kelembagaan adalah Kementerian Kehutanan, Polri, Kejaksaan dan Unsur lain yang terkait. Struktur kelembagaan dipimpin oleh seorang Kepala dibantu beberapa Deputi diantaranya, deputi bidang pencegahan, penindakan, hukum dan kerjasama serta deputi pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. Lembaga P3H memiliki kewenangan tugas dan fungsi untuk melakukan pencegahan perusakan hutan yang dilakukan peran serta masyarakat, pemenuhan kebutuhan akan sumber bahan baku, melakukan kampanye anti perusakan hutan dan lainnya. Kewenangan penindakan dilakukan proses hukum penyidikan, penuntutan sampai dengan proses pemeriksaan di persidangan. Selain kewenangan tersebut LP3H

juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi penangan perkara tindak pidana kehutanan. Kata kunci : Kebijakan formulasi, hukum pidana, dan tindak pidana kehutanan.

PENDAHULUAN

Berlandaskan pada hal itu, negara kesatuan Republik Indonesia mem bentuk

U ndang -U ndang d asar Negara Re- pe merintahan dengan menyelenggarakan publik Indonesia Tahun 1945 yang lahir pe m bangunan. Pembangunan pada dasar nya

dari proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan perubahan positif, perubahan merupakan tonggak sejarah kemerdekaan ini direncanakan dan di gerakkan oleh suatu Negara Republik Indonesia. Proklamasi ke- pandangan yang optimis berorientasi ke merdekaan Negara Republik Indonesia 17 masa depan yang mem punyai tujuan ke Agustus 1945, termaktub di dalam batang arah kemajuan serta meningkatkan taraf tubuhnya bahwa Negara Indonesia adalah kehidupan masyarakat ke arah yang lebih

negara hukum 1 . Tujuan politik hukum neg- baik. Dengan kata lain hakikat pembangunan ara Indonesia juga dinyatakan jelas dalam merupakan suatu proses per ubahan terus- alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang menerus dan berkesinambungan untuk Dasar Tahun 1945 terdapat cita-cita Negara meningkatkan kehidupan masyarakat. Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :

Perkembangan atau perubahan ter sebut

1. Untuk melindungi segenap bangsa dan secara langsung maupun tidak langsung

seluruh tumpah darah Indonesia; berpengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan.

2. Untuk memajukan kesejahteraan umum;

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Dewasa ini kegiatan perusakan hutan

4. Ikut memelihara ketertiban dunia. berjalan dengan lebih terbuka dan trans- paran, seiring dengan kemajuan pem-

bangunan disegala bidang khususnya

Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik In- donesia Tahun 1945 BAB I tentang Kedaulatan Negara,

juga kemajuan teknologi komunikasi dan

hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara

informasi. Terdapat banyak pihak yang

Indonesia adalah negara hukum.

20 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Astan Wirya | Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana .......... terlibat dan memperoleh keuntungan dari kewenangan masyarakat pada umumnya

aktifitas pembalakan liar (illegal logging), untuk bertindak dan bertingkah laku perambahan (ocuvasi), penggunaan kawasan maupun kekuasaan atau kewenangan hutan non prosedural, pertambangan tanpa penguasa atau aparat penegak hukum dalam izin (illegal mining), perkebunan dalam menjalankan tugasnya, memastikan bahwa kawasan hutan tanpa izin dan sebagainya. masyarakat taat dan patuh pada aturan Berbagai modus yang biasanya dilakukan hukum yang telah ditetapkan. Kebijakan dengan melibatkan banyak pihak dan secara hukum pidana merupa kan serangkaian sistematis dan terorganisir. Pada umumnya proses yang terdiri atas tiga tahapan yakni mereka yang berperan adalah buruh atau : a. Tahap kebijakan legislatif/ formulatif; b. penebang, masyarakat sekitar hutan, Tahap kebijakan yudikatif/ aflikatif; dan; c. pemodal (cukong), perusahaan berbadan Tahap kebijakan eksekutif/administratif hukum atau korporasi, broker, penyedia

Berdasarkan tiga uraian tahapan pe ne- angkutan dan pengaman usaha seringkali gakan hukum pidana tersebut terkandung sebagai pengaman usaha adalah dari

di dalamnya terdapat tiga kekuasaan atau kalangan pejabat politik, aparat pemerintah,

kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif .

TNI, Polisi 2

berwenang dalam hal menetapkan atau Kebijakan baru atau reformulasi dari

merumuskan perbuatan apa yang dapat di- suatu kebijakan tidak hanya berangkat dari

pidana yang berorientasi pada per masalahan

fakta-fakta kerusakan hutan (degradation) 3

pokok dalam hukum pidana meliputi, dan menurunnya fungsi-fungsi hutan

perbuatan yang bersifat melawan hukum, sebagai akibat dari ke-

(deforestration), 4

kesalahan atau per tanggung jawaban pidana bebasan individu-individu atau korporasi,

dan sanksi apa yang dapat dikenakan bahkan potensi keikutsertaan dari kom-

oleh pembuat undang-undang. Kebijakan ponen personal pemangku kebijakan dari

hukum pidana oleh Marc Ancel dan G. pemerintah atau negara ikut serta dalam

Peter Hoefnagels dikutif oleh Hj. Rodliyah 5 pelanggaran hukum khususnya per buatan

di sebutkan “merupakan usaha rasional dan perusakan hutan. Bagaimana bisa berharap

terorganisasi dari suatu ke masyarakatan jika dari pemangku kebijakan sampai

untuk menaggulangi kejahatan, kebijakan pelaksana kebijakan dari suatu peraturan

kriminal merupakan pengaturan rasional perudang-undangan sebelumnya tidak

dari reaksi sosial terhadap ke jahatan” menimbulkan efek jera akibat dari kurang

(criminal policy is the rational organization efektifnya sumber hukum materiel.

of the social re-actions to crime). Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya

mengandung politik hukum negara dalam Penanganan Pencegahan dan Pem- mengatur dan membatasi kekuasaan, baik berantasan Perusakan Hutan yang optimal

harus dilakukan dengan cara-cara yang luar

Suryanto, et. al, Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan Indonesia, (Balai Pene-

biasa (extra ordinary), salah satunya dalam

litian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - In-

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

donesia, 2005), hlm. 94-99. 3 Degradation adalah penyusustan luas produktivi-

didalamnya mengamanatkan pembentukan

tas dan fungsi hutan atau daya dukung lahan merosot akibat kegiatan yang tidak sesuai denngan ketentuan je-

Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

nis pengelolaan hutan yang ditetapkan, lihat Alam Setia

Perusakan Hutan (LP3H), lembaga khusus

Zein, ibid., hlm. 40 4 Deforestation adalah setiap perubahan yang terjadi

5 Rodliyah Hj., “Pembaharuan Hukum Pidana ten- di dalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mun-

tang Eksekusi Pidana Mati” Pokok-pokok Pikiran Revisi durnya nilai dan fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein,

Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, CV. Arti Bumi In- Op.cit, hlm. 91.

tara, Yogyakarata, 2011, hlm. 37.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 21

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m,

22 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini, selain melakukan upaya pencegahan, memiliki kewenangan juga dalam melakukan pem- berantasan atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung, tidak langsung, maupun perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan. Lembaga Pen- cegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan kewenangan tugas dan fungsi pemberantasan dengan penega- kan hukum yang konprehensif melalui penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang cepat dan terintegrasi, LP3H juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang menangani tindak pidana di- bidang kehutanan atau perusakan hutan.

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, penelitian ini menitikberatkan kajian permasalahan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan dan permasalahan mengenai Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah dalam penang- gulangan tindak pidana kehutanan.

Dalam rangka untuk penanggulangan pen cegahan dan pemberantasan pe rusa - kan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar lebih me- mahami perkembangan atau kebaruan mengenai permasalahan hukum khususnya dibidang kehutanan. Berdasarkan pada latar belakang di atas, dirumuskan kajian

permasalahan sebagai berikut : Pertama; Bagaimanakah Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan?. Kedua, Bagaimanakah Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.?

Penelitian hukum dalam ini adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut; Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan ini mengkaji dan meneliti peraturan perundang-unda- ngan yang berkaitan dengan masalah hukum kehutanan atau tindak pidana kehutanan, serta peraturan perundang- undangan lain yang terkait. Pendekatan konsep (conseptual approach), yaitu pen- dekatan ini digunakan untuk memahami unsur-unsur abstrak yang terdapat dalam pikiran dan Pendekatan sejarah (historical approach), yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui, memahami dan mengkaji bagaimana perkembangan hukum dan latar belakang lahirnya suatu perundang-undangan.

Dalam melakukan analisis bahan hukum sekunder terhadap penelitian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa penafsiran yakni, penafsiran historis, penafsiran eks- ten sif atau penafsiran memperluas, dan

penafsiran yang mempertentangkan 6 . Se- mua tipe penafsiran di atas diuraikan secara sistematis dengan mengunakan kerangka berfikir deduktif dan induktif, sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara logis dan sistematis.

A. Tinjauan umum dan kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan di indonesia

6 Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. hlm. 165

Astan Wirya | Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana ..........

1. Tinjauan Umum Pengertian Hutan, metaan dan dilakukan penetapkan kawasan Kehutanan dan Kawasan Hutan

hutan.

Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai

2. Jenis-jenis Hutan

sebutan “hutan”, misalnya hutan belukar, Berdasarkan pada pengelompokan dari

hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. jenis hutan tersebut dapat dijabarkan Kata hutan dalam bahasa Inggris disebut

sebagai berikut :

dengan forrest, sedangkan hutan rimba disebut dengan jungle. Akan tetapi pada

2.1. Status Hutan pasca putusan Mahkamah umum nya persepsi umum tentang hutan

Konstitusi (MK) RI

adalah penuh dengan pohon-pohonan yang

7 tumbuh tidak beraturan. Pembagian hutan menurut statusnya Dalam Black Law’s Dictionary hutan di definisikan

adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan)

“Forrest is a tract of land, not necessarily antara orang, badan hukum, atau insti- wooded, reserved to the king or a grantee,

tusi yang melakukan pengelolaan, pe-

for hunting deer and other game” 8 .

manfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut 9 . Hutan menurut statusnya

“Hutan adalah suatu bidang daratan, pasca putusan judicial review Mahkamah

berpohon-pohon yang dipesan olehraja Kontitusi terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang- untuk berburu rusa dan permainan lain”. undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Dalam Undang-undang Nomor 18 Kehutanan. Berdasarkan pada putusan Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pem-

Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 35/ berantasan Perusakan Hutan. Kawasan

PUU-X/2012 menyebutkan bahwa hutan Hutan sebagaimana terdapat dalam adat dikeluarkan dari hutan negara, Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor

sehingga Hutan Adat yang sebelumnya

18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan menjadi bagian dari Hutan Negara 10 , harus Pemberantasan Perusakan Hutan kawasan

dimaknai sebagai Hutan Hak. hutan adalah “wilayah tertentu yang

Berdasarkan pada status hutan dapat ditetapkan oleh pemerintah untuk diper- dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni

tahankan keberadaannya sebagai hutan

sebagai berikut :

tetap”. Dengan adanya Putusan Mahkamah

1. Hutan Negara adalah hutan yang be- Konstitusi tersebut, maka penunjukan

rada pada tanah yang tidak dibe bani kawasan hutan masih tetap berlaku, hak-hak atas tanah. Hutan negara

tetapi tidak mempunyai nilai kepastian yang pengelolaannya dapat berupa hukum dan tidak dapat dijadikan acuan

Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan dalam menentukan kawasan hutan. Dapat

Taman Industri (HTI), Hutan Tana- dikatakan sebagai kawasan hutan apabila

man Rakyat (HTR) dan pengelolaan telah dilakukan proses penetapan kawasan

lainnya diberikan pemerintah yang hutan mulai dari penunjukan kawasan

diserahkan pengelola annya kepada hutan, proses tata batas kawasan hutan, pe-

masyarakat baik dalam bentuk peroran- 7 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap

9 Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Cet. I, Erlangga, Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta, 2003, hlm. 43

Jakarta, 1995, hlm. 11. 10 http://ugm.ac.id, Pemerintah Segera Menyikapi Pu- 8 Garner, Black Law’s Dictionary, Seventh Edition,

tusan Mahkamah Konstitusi Tentang Hutan Adat, tang- West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.

gal 21 Februari 2014.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 23

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m, 19~41

gan (naturlijke person), koperasi dan hutan adat. Ter hadap hutan perusahaan berbadan hukum (recht-

negara, negara mempunyai we- sperson).

wenang penuh untuk me ngatur per untukan,

pemanfaatan dan Hutan negara yang dikelola oleh desa hubungan-hubungan hukum yang dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan ter jadi di wilayah hutan negara, masyarakat desa disekitar kawasan terhadap hutan adat, wewenang hutan disebut hutan desa. Dengan negara dibatasi sejauh mana isi demikian, hutan negara dapat ber- wewenang yang tercakup dalam bentuk : hutan adat. Hutan adat ini berada

a. Hutan Taman Industri (HTI), ialah dalam cakupan hak ulayat dalam hutan negara yang dikelola oleh

satu kesatuan wilayah (ketunggalan badan usaha milik negara maupun

wilayah) masyarakat hukum adat. swasta untuk memenuhi kebutuhan

2. suatu industri dan masyarakat. Hutan hak/hutan milik adalah

b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1

adalah hutan negara yang dikelola oleh masyarakat baik perorangan Angka 5 Undang-undang Nomor 41

maupun badan usaha. Tahun 1999 Tentang Kehutanan).

c. Hutan Desa, adalah hutan negara Hutan yang berada pada hak/milik masyarakat baik yang ditanami

yang dikelola oleh desa dan di- manfaa tkan untuk kesejahteraan

maupun yang tumbuh alami pada lahan hak/milik.

masyarakat desa

d. Hutan Kemasyarakatan (HKm),

2.2. Fungsi Hutan

ialah hutan negara yang peman- faatan utamanya ditujukan untuk

Hutan berdasarkan fungsinya adalah memberdayakan masyarakat yang penggolongan hutan yang didasarkan pada berada disekitar kawasan hutan.

kegunaanya yaitu; (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan Lindung dan, (3) Hutan Pro-

2. Hutan Hak/hutan hak milik adalah

duksi.

hutan yang dibebani alas hak/ke- pemilikan. Hutan ini dapat dimilliki

1. Hutan Konservasi

secara komunal/penguasaan bersama Hutan konservasi adalah kawasan

masyarakat hukum adat dan kepemili- kan secara personal dapat dibedakan

hutan dengan ciri khas tetentu yang mem- punyai pokok pengawetan keanekaragaman

sebagai berikut: tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya 11 .

1. Hutan Adat adalah kawasan Hutan konservasi ini terdiri atas : hutan yang berada dalam wilayah

1.1. Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu masyarakat hukum adat (rechts-

hutan dengan ciri khas tertentu, gemeenschap). Pembedaan per- mempunyai fungsi pokok pengawetan lakuan terhadap hutan negara dan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, hutan adat dibutuhkan peng aturan serta ekosistemnya yang juga berfungsi hubungan antara hak menguasai

negara pada hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap

11 Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

24 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Astan Wirya | Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana .......... sebagai wilayah penyangga 12 . Kawasan fungsi pokok untuk memproduksi hasil

hutan suaka alam terdiri dari hutan hutan. Hutan ini juga dibedakan menjadi

cagar alam dan suaka margasatwa 13 .

hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas.

1.2. Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu

3.1. Kawasan Hutan Dengan Tujuan yang mempunyai fungsi pokok per -

Khusus (KHDTK)

lindungan sistem penyangga kehidupan, Dalam ketentuan Pasal 8 Undang- pengawetan keaneka ragaman jenis undang Nomor 41 Tahun 1999 tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan ten tang Kehutanan menyatakan, secara lestari sumber daya alam hayati Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan dan ekosistemnya. Dalam ketentuan Khusus (KHDTK) yaitu hutan yang Pasal 1 ayat 11 Undang- undang Nomor diperuntukkan untuk kepentingan

41 tentang Kehutanan, dinyatakan umum seperti; penelitian dan pe- kawasan pelestarian alam ini terdiri ngembangan, pendidikan dan latihan, dari Taman Nasional, Taman Hutan

religi dan budaya.

Raya dan Taman Wisata Alam dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor

3.2. Hutan Berdasarkan Kepentingan

34 Tahun 2002. Pengaturan Iklim Mikro, Estetika dan Resapan Air

1.3. Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai

Hutan jenis ini, disetiap kota ditetapkan tempat wisata berburu dalam Pasal 1

kawasan tertentu sebagai hutan ayat 12 Undang-undang Nomor 41

kota untuk kepentingan pengaturan Tahun 1999 tentang Kehutanan.

iklim mikro, estetika dan resapan air sebagaimana dalam Pasal 9 Undang-

2. Hutan Lindung undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Hutan lindung merupakan kawasan

Kehutanan.

hutan yang mempunyai fungsi pokok

3. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana sebagai perlindungan dan sistem penyangga

kehidupan untuk mengatur tata air, me- Kebijakan formulasi hukum pidana di - ncegah banjir, mengendalikan erosi, men- dasar kan pada ketentuan-ketentuan dalam

cegah instrusi air laut dan memelihara konsideran yang terdapat dalam suatu kesuburan tanah sebagaimana dalam Pasal peraturan perundang-undangan dari yang

1 ayat 8 Undang-undang Nomor 41 tahun sudah diundangkan merupakan lang- 1999 tentang Kehutanan.

kah awal dalam menentukan kebijakan baru atau mereformulasikan kebijakan-

3. Hutan Produksi kebijakan yang secara sadar dilakukan

Hutan produksi adalah hutan memiliki oleh institusi legislatif bersama dengan fungsi pokok sebagaimana dimaksud dalam eksekutif yang kemudian ditegakkan oleh Pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor lembaga yudikatif. Pengaturan kebijakan

41 tahun 1999 tetang Kehutanan, hutan hukum pidana diformulasikan untuk produksi adalah hutan yang mempunyai menanggulangi suatu kejahatan atau tindak

12 Pasal 1 ayat ayat 10 Undang-undang Nomor 41 Ta-

pidana untuk mencapai perlindungan dan

hun 1999 tentang Kehutanan.

kesejahteraan masyarakat.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 25

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m, 19~41

1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana beberapa bentuk kejahatan secara umum sebagai berikut :

Suatu perbuatan pidana atau kejahatan yang berdampak pada kerusakan hutan

1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai merupakan tindak pidana khusus yang

dengan pasal 412 KUHP) diatur dengan ketentuan hukum pidana dan

Perbuatan pengerusakan sebagaimana hukum acara pidana tersendiri. Seseorang

diatur dalam Pasal 406 sampai Pasal yang telah melakukan tindak pidana belum 412 KUHP, terhadap perkara tindak tentu dapat dipidana karena sebelum

pidana perusakan hutan atau dalam menentukan terdakwa dipidana, terlebih tindak pidana kehutanan, berkaitan dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu

dengan pengerusakan dalam ketentuan apakah perbuatan terdakwa merupakan Undang-undang Nomor 18 Tahun tindak pidana atau bukan dan apakah

2013, terdapat dalam Pasal 25 dan Pasal terdakwa dapat dipertanggungjawabkan

26 dinyatakan bahwa “setiap orang atau tidak perbuatan pidananya.

dilarang merusak sarana dan prasarana Dalam menentukan adanya suatu tindak

perlindungan hutan dan/atau merusak, pidana harus didasarkan pada asas legalitas

memindahkan atau menghilangkan pal (dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang

batas luar kawasan hutan, batas fungsi Hukum Pidana) dinyatakan “tiada suatu

kawasan hutan atau batas kawasan perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak

hutan yang berimpit dengan batas ada aturan pidananya”, sebagaimana

negara yang mengakibatkan perubahan disebutkan di atas sedangkan menentukan

bentuk dan atau luasan kawasan hutan”. adanya pertanggungjawaban pidana di-

Umumnya tindak pidana kehutanan dasar kan pada asas kesalahan. Istilah lain

hakikatnya merupakan kegiatan yang dari asas kesalahan ini adalah “asas tidak menyalahi ketentuan perizinan yang dipidana jika tidak ada kesalahan”, disebut

ada atau tidak memiliki izin secara asas culpabilitas atau dikenal dengan istilah resmi maupun yang memiliki izin bahasa Belanda “geen straf zonder schuld”

namun melanggar dari ketentuan atau “keine strafe ohne schuld” dalam bahasa yang ada dalam perizinan itu, secara Jerman.

umum adalah berkaitan dengan

a. Ketentuan pidana umum dalam KUHP penggunaan kawasan hutan dan yang terkait Tindak Pidana Kehutanan

pemanfaatan terhadap hasil hutan, Pada dasarnya tindak pidana kehutanan

contohnya pemanfaatan hasil hutan atau perbuatan yang dikategorikan

yang diberikan izin dalam bentuk sebagai perusakan hutan, secara umum

Izin Pemanfaatan Kayu Hutan Alam berkaitan langsung dengan unsur-unsur

(IPKHA) terjadi over atau penebangan tindak pidana umum yang terdapat dalam

di luar areal konsesi yang dimiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

termasuk penebangan liar, penggunaan (KUHP) 14 . Perbuatan pidana pada Buku

kawasan untuk pertambangan yang

II KUHP tentang Kejahatan, berkaitan menyalahi prosedur atau izin terdapat dengan kebijakan formulasi tindak pidana

kerugian negara artinya kerugian kehutanan dapat dikelompokkan dalam

secara materiil maupun inmateriil dari kerusakan sumber daya hutan dan

14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

ekosistemnya tersebut.

KUHP.

26 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Astan Wirya | Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana ..........

2. Pencurian (Pasal 362 -363 KUHP) sebagai penyelun dupan, dalam ketentuan- ketentuan Undang-undang Nomor 18

Kegiatan penebangan liar dalam Tahun 2013, ketetuan tersebut diatur

kawasan hutan atau sering disebut dalam Pasal 12 huruf e, f, g, h, i, j, k, l, dengan istilah illegal logging merupakan m, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, pasal ini

perbuatan pidana pencurian dilakukan berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dengan unsur kesengajaan dan kayu seara illegal atau tanpa izin atau

tujuan dari kegiatan itu adalah dengan dokumen atau tanpa dokumen untuk mengambil manfaat dari hasil SKSHH yang palsu atau tidak sesuai

hutan berupa kayu tersebut (untuk dengan dokumen terhadap penguasaan dimiliki). Dalam Pasal 362 KUHP hasil hutan. ketentuan penggunaan

disebutkan “barang siapa mengmabil kawasan hutan untuk pertambangan barang sesuatu kepunyaan orang lain dan perkebunan, diketentuan perbuatan

dengan maksud untuk dimiliki secara pidana pertambangan dalam kawasan melawan hukum dapat dipidana”, hutan pada Pasal 17 ayat 1 huruf a, b,

perbuatan tersebut dalam ketentuan

c, d dan e. Ketentuan perbuatan pidana Undang-undang Nomor 18 Tahun perkebunan dalam kawasan hutan dan 2013, terdapat dalam Pasal 12 huruf a, b Pasal 17 ayat 2 huruf a, b, c, d, e, Pasal 19 huruf dan c, “menebang pohon dalam kawasan

f “mengubah status kayu hasil pembalakan hutan tidak sesuai izin, tanpa memiliki

liar dan/atau hasil penggunaan kawasan izin atau secara tidak sah. huttan secara tidak sah.

b. Penyelundupan Pasal 121 KUHP

c. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP) Perbuatan penyelundupan hingga

Pemalsuan surat atau pembuatan saat ini, belum ada peraturan perundang-

surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 undangan yang secara khusus mengatur KUHP adalah membuat surat yang isinya tentang penyelundupan kayu hasil bukan semestinya atau membuat surat penebangan liar, bahkan dalam KUHP sedemikian rupa, sehingga menunjukkan yang merupakan ketentuan umum seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah terhadap tindak pidana belum mengatur yang dapat menerbitkan suatu hal, suatu tentang penyelundupan. Kegiatan selama perjanjian, pembebasan utang dan ini berkaitan dengan penyelundupan surat yang dapat dipakai sebagai suatu sering hanya dipersamakan dengan tindak terangan perbuatan atau peristiwa pidana. pidana pencurian oleh karena memiliki Ancaman pidana terhadap pemalsuan per samaan unsur yaitu tanpa hak me- surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah ngambil barang milik orang lain. pidana penjara paling lama 6 tahun, dan

Berdasarkan pada pemahaman ter- Pasal 264 paling lama 8 Tahun. sebut, kegiatan atau usaha penyelundupan

Perbuatan pidana Pemalsuan dalam kayu atau peredaran hasil hutan kayu KUHP direformulasikan kedalam keten- secara tidak sah atau illegal menjadi tuan Undang-undang Nomor 18 Tahun bagian dari rangkaian perbuatan yang 2013, diatur dalam ketentuan Pasal 24 dapat dikatagorikan sebagai tindak huruf a, b, dengan ketentuan memalsukan pidana kehutanan. Penyelundupan surat izin pemanfaatan hasil hutan hasil hutan ataupun pengusaan hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan tanpa izin yang sah dapat dikategorikan

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 27

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m, 19~41

hutan, menggunakan izin palsu dan/ nggunaan kawasan hutan secara tidak atau memindahtangankan atau menjual

sah, melakukan permupakatan jahat, izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang

mendanai, mengubah status pembalakan berwenang kecuali dengan persetujuan

liar dan/atau penggunaan kawasan Menteri.

hutan, bahkan pesekongkolan dalam menempatkan, mentransfer, membayar-

d. Penggelapan (Pasal 372 -377 KUHP) kan, membelanjakan, menitip kan dan/

Unsur-unsur penggelapan dalam atau menukarkan surat berharga lainnya tindak pidana dibidang kehutanan atau

serta harta kekayaan lainnya dan/atau illegal logging antara lain, seperti over

menyembunyikan atau menyamarkan cutting yaitu penebangan di luar areal

yang diketahuinya atau patut diduga konsesi yang dimiliki, penebangan yang

merupakan hasil dari pembalakan liar dan/ melebihi target kuota yang ada (over

atau penggunaan kawasan hutan secara capsity), dan melakukan penebangan

tidak sah.

sistem terbang habis sedangkan ijin yang

B. Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan dimiliki adalah sistem terbang pilih,

dalam Undang-undang dibidang Ke- pencantuman data jumlah kayu dalam

hutanan

Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

sebenarnya, penggelapan sebagimana Hayati dan Ekosistemnya

diatur dalam KUHP tesebut diatur khusus dalam ketetuan Undang-undang Nomor

Ketentuan dalam penanggulangan

18 Tahun 2013 tetang Pencegahan dan pencegahan dan pemberantasan perusakan Pemberantasan Perusakan Hutan.

hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan termasuk di dalamnya adalah

e. Penadahan (Pasal 480 KUHP) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990

Dalam Kitab Undang Undang ten tang Konservasi Sumber Daya Alam Hukum Pidana (KUHP) penadahan Hayati dan Ekosistemnya, dalam ketentuan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan Undang-undang ini, diatur dua macam lain dari perbuatan persengkokolan atau perbuatan pidana yaitu kejahatan dan sengkongkol atau pertolongan jahat. pelanggaran sedangkan sanksi pidana dapat Penadahan dalam bahasa asingnya “heling berupa pidana penjara, pidana kurungan “ (penjelasan Pasal 480 KUHP).

dan pidana denda.

Perbuatan penadahan atau per- Perbutan pidana atau tindak pidana

sekongkolan atau pertolongan jahat dalam undang-undang ini, ditentukan dalam ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 dan sistem pemidanaan atau ketentuan tetang Pencegahan dan Pemberantasan sanksi pidana diatur dalam Pasal 40 ayat Perusakan Hutan, dapat di persamakan

3 dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun

sebagai perbuatan yang diatur dalam 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Pasal 19 huruf a, c, d, f, g, h, i, dalam Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan ketentuan dinyatakan sebagai perbuatan, unsur-unsur perbuatan pidana lainya diatur menyuruh, mengorganisasi atau meng- dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi gerak kan penebangan liar dan/atau pe- pidananya ditentukan dalam pasal 40 ayat

28 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Astan Wirya | Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana ..........

18 Tahun 2013, terdapat pada tabel Formulasi Tahun 1990 tetang KSDHE.

1, 2 dan 3 dalam Undang-undang Nomor 5

Tindak Pidana Kehutanan Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Pemberantasan Perusakan Hutan (Sumber :

tentang Kehutanan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

Kegiatan penanggulangan tindak pidana tentang Pencegahan dan Pemberantasan dibidang kehutanan dengan menggunakan Perusakan Hutan) instrumen yang ada dalam ketentuan

Dalam Undang-undang ini juga diatur Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berkaitan dengan pejabat yaitu orang yang tentang Kehutanan, yang diatur pada melakukan pembiaran tidak menjalankan ketentuan pasal 50 ayat 3 huruf a sampai tugas diancam sanksi sebagaimana Pasal dengan huruf m dan ketentuan sanksi 104, dan setiap pejabat yang diperintahkan pidana yang diatur dalam pasal 77 dan 78 atau orang yang karena jabatannya sebagian besar dicabut dan dinnyatakan memiliki kewenangan dengan suatu tugas tidak berlaku. Sebagaimana dimaksud dan tanggungjawab tertentu, sebagaimana dalam Pasal 112 Undang-undang Nomor dimaksud dalam sebagaimana dimaksud

18 Tahun 2013, menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 105. Perbuatan pidana ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) tersebut dapat dikenakan dengan sanksi huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, pidana dengan ancaman sanksi pidana serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat penjara minimum khusus dan maksimum (1) mengenai ketentuan pidana terhadap khusus dan/atau denda. Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai

Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat 2013, diatur pertanggungjawaban pidana

(3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), adalah subjek hukum adalah korporasi atau ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang- badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang tindak pidana bilamana dilakukan dapat Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak dikenakan ketentuan pidana sebagaimana berlaku.

terdapat dalam Pasal 109 ayat (5) dan (6),

3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada

Kehutanan dalam Undang-undang Nomor korporasi adalah pidana denda sebagaimana

18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103, Pemberantasan Perusakan Hutan

selain itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau

Pengaturan jenis tindak pidana atau sebagian perusahaan (diatur dalam Pasal perbuatan yang dilarang, subjek hukum

10 KUHP), dan pelanggaran sebagaimana pertanggujawaban pidana dan sistem dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 18

pemidanaan atau sanksi. Pengaturan sanksi Tahun 2013, badan hukum atau korporasi pidana dibedakan antara yang dilakukan dapat dikenai sanksi administratif beruapa; oleh orang perseorangan dengan orang paksaan pemerintah, uang paksa dan/atau perseorangan yang bertempat tinggal di pencabutan izin. dalam dan/atau berada disekitar kawasan 2.

Kebijakan Formulasi Pertanggungjawa- hutan, korporasi atau badan hukum dan

ban Pidana

pejabat pemerintah. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dari sitsem 2.1.Asas pertanggungjawaban pidana ter- pemidanaan dalam Undang-undang Nomor

batas (strict liability)

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 29

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m, 19~41

Dalam asas pertanggungjawaban dikenal dengan asas “Actus non facit reum, terbatas atau absoluth liability bahwa

nisi mens sit rea” atau disingkat asas “mens pembuat atau pelaku yang melakukan

rea”, terjemahan aslinya ialah “evil mind” tindak pidana sudah dapat dipidana

atau “evil will” atau “guilty mind”. apabila telah melakukan perbuatan pidana

2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious sebagaimana dirumuskan dalam suatu

liability

Undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas pertanggungjawaban

Asas pertanggunjawaban vicarious pidana ini diartikan secara singkat sebagai

liability diartikan sebagai pertanggung - pertanggungjawaban tanpa kesalahan

jawaban menurut hukum seseorang atas (liability without faul).

perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggung-

2.2.Asas pertanggungjawaban atas kesalahan jawaban sebagai pengecualian dari asas

(geen straf zonder schuld) ke salahan. Adapun cara untuk mempidana

Seseorang yang telah melakukan korporasi adalah sebagai berikut : tindak pidana belum tentu dapat

1. Korporasi dapat dikenakan pidana dipidana karena sebelum menentukan

berdasarkan asas strict liability atas terdakwa yang dipidana, terlebih dahulu

kejahatan yang dilakukan oleh pe- harus ditetapkan dua hal yaitu apakah

gawainya.

perbuatan terdakwa merupakan tindak

2. Korporasi dapat dikenakan pidana pidana atau bukan dan apakah terdakwa

berdasarkan asas identifikasi, dimana dapat dipertanggungjawabkan atau

mengakui tindakan anggota tertentu tidak, dalam hal menentukan adanya

dari korporasi, dianggap sebagai tindak pidana maka didasarkan pada

tindakan korporasi itu sendiri. Teori asas legalitas sebagaimana disebutkan

ini menyebutkan bahwa tindakan dan di atas, sedangkan menentukan adanya

kehendak dari direktur juga merupakan pertanggung jawaban pidana didasarkan

tindakan kehendak dari korporasi. 15 pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas

Pertanggungjawaban pidana pada kesalahan ini adalah asas tidak dipidana

hakikatnya mengandung makna pen- jika tidak ada kesalahan, “asas culvabilitas”

celaan pembuat dan/atau pelaku (subjek atau “geen straf zonder schuld”

hukum) atas tindak pidana yang telah di- Berkaitan dengan asas legalitas ber-

lakukannya, pertanggung jawaban pidana kaitan dengan tindak pidana, sedang kan

mengandung di dalamnya pencelaan atau asas kesalahan berkaitan dengan orang

pertanggungjawaban seara objektif dan yang berbuat atau berkaitan dengan per-

subjektif. Masalah per tanggungjawaban tanggungjawaban pidana. Pertanggung-

pidana dan khususnya pertanggungjaw- jawaban pidana ini dalam istilah bahasa

aban pidana yang ber kaitan dengan be- asing disebut sebagai “toerekenbaarheid “,

berapa hal antara lain sebagai berikut 16 : “criminal responsibility” atau “criminal

a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia liabi lity”, pertanggungjawaban pidana

untuk menentukan kehendak. di maksud kan untuk menentukan apak-

ah seseorang tersangka atau terdakwa

15 dapat dipertanggungjawabkan atas suatu Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Kor-

porasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah seminar

tindak pidana (crime) yang terjadi atau Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas HU-

kum Universitas Diponegoro, 1989), hlm. 9.

tidak. Pada negara-negara Anglo Saxon,

16 Marjono Reksodiputro, Op.cit, hlm. 12

30 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Astan Wirya | Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana ..........

a. Tingkat kemampuan bertanggung- Pidana yang merupakan peninggalan pe- jawab; mampu, kurang mampu, tidak merintah kolonial Belanda yaitu Wetbook mampu.

van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang mulai berlaku pada tanggal 1

b. Batas umur untuk dianggap mampu Januari 1918. WvSNI merupakan turunan

atau tidak mampu bertanggung jawab dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Permasalahan pertanggungjawaban Belanda Wetbook van Strafrecht tanggal pidana dan pemidanaan bukanlah masalah

2 Maret 1881 dan mulai berlaku pada

tentang proses sederhana mempidanakan tanggal 1 September 1886 sesuai dengan seseorang dengan menjebloskannya ke ketentuan terakhir invoeringswet April penjara, pemidanaan harus mengandung 17 1886, Stb. 64 . Wetbook van Strafrecht voor unsur kehilangan atau kesengsaraan yang Nederlandsch Indie berlaku berdasarkan dilakukan oleh institusi yang berwenang asas konkordansi kolonial Belanda karenanya pemidanaan bukan merupakan

yaitu Indonesia dan/atau penambahan

balas dendam dari korban terhadap sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pelanggar hukum yang mengakibatkan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka penderitaan.

berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, pidana

3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan Indo nesia berdasarkan Undang-undang

(Punishment Syistem) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan

Kebijakan formulasi sistem pemidanaan Hukum Pidana. (punisment syistem) yang diatur dalam

a. Jenis-jenis pidana

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Dalam proses penegakan hukum Perusakan Hutan. Berkaitan dengan sistem

terhadap suatu tindak pidana atau pemidanaan terlebih dahulu dikemukakan

kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak sistem pemidanaan secara umum terdapat

bisa terlepas dari sanksi pidana dan dalam Kitab Undang-undang Hukum

sistem pemidanaan terhadap terjadinya Pidana (KUHP). Sistem pemidanaan dapat

suatu perbutan pidana. Jenis-jenis diartikan sebagai sistem pemberian atau

pidana berdasarkan ketentuan Kitab penjatuhan pidana atau sanksi pidana.

Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua

terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana sudut yaitu dari sudut fungsional dan dari

pokok dan pidana tambahan, sebagaimana sudut norma-substantif, sistem pemidanaan

ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP dari sudut fungsional dapat diartikan

dinyatakan tentang jenis pidana sebagai sebagai keseluruhan sistem konkretisasi 18 berikut terdiri atas :

pidana atau keseluruhan sistem mengatur

a. Pidana Pokok :

bagaimana hukum pidana ditegakkan atau

1. Pidana Mati

dioperasionalkan secara konkrit sehingga

2. Pidana Penjara

seseorang dijatuhi sanksi pidana.

3. Kurungan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

4. Denda

(KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal 17 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum

Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan Hasnan,

dari Kitab Undang-undang Hukum cetakan kedua, (Bandung, Binacipta, 19887), hlm. 1 18

Pasal 10 KUHP.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 31

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m, 19~41

b. Pidana Tambahan Penerapan sanksi pidana atau pe-

1. Pencabutan hak-hak tertentu midanaan tindak pidana kehutanan

2. Perampasan barang-barang tertentu dibedakan terhadap orang perorangan,

3. Pengumuman putusan hakim. orang perorangan yang berada disekitar Penjatuhan pidana oleh hakim

kawasan hutan, badan hukum atau dalam memutuskan suatu perkara tindak

korporasi dan pejabat pemerintah dalam pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan

hal tidak melaksanakan tugas sesuai hukuman selain yang dirumuskan se-

kewenangannya. Dengan dijadikannya bagaimana ditentukan dalam Pasal 10

korporasi atau badan hukum sebagai KUHP. Penjatuhan sanksi pidana secara

subjek hukum tindak pidana kehutanan, khusus juga ditentukan dalam Ketentuan

tentu sistem pemidanaannya juga se- Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

harusnya berorientasi pada korporasi ketentuan pidana tersebut diatur dalam

Penerapan sanksi tindak pidana BAB X pada Pasal 82 sampai dengan

kehutanan terhadap orang-perorangan Pasal 109, baik yang dilakukan dengan

dan korporasi atau badan hukum, unsur kesengajaan atau karena kelalaian,

sementara ini perumusan tindak pidana melingkupi tindakan-tindakan yang di-

kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam lakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum

satu rumusan pasal yang sama dengan yang berupa manusia alamiah (naturlijke

ancaman sanksi pidana atau pemidanaan person) ataupun sebagai badan hukum atau

yang berbeda antara perseorangan, orang- korporasi (rechtsperson), tindak pidana

perseorangan yang berada di sekitar perusakan hutan, baik Perorangan dan

kawasan hutan, korporasi dan pejabat Korporasi atau Pejabat Pemerintah

pemerintah dengan ancaman sanksi

b. Syarat Pemidanaan pidana atau sistem pemidanaan dengan ancaman sanksi pidana minimun khusus

Syarat pemidanaan tidak terlepas dari sampai dengan ancaman maksimum. adanya kesalahan yang digunakan untuk

menyatakan adanya unsur kesengajaan

d. Lembaga atau Instansi lain yang berwenang atau kealpaan. Artinya dikatakan ada

menangani Tindak Pidana dibidang Ke- kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat

hutanan

salah satu bentuk kesalahan ketika

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana. Dalam hukum

(POLRI)

acara pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of

Kepolisian Negara Republik Indonesia inosance), kesalahan diartikan sebagai

menurut Undang-undang Nomor 2 telah melakukan tindak pidana. Kesalahan

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara adalah dapat dilihat dari pembuat tindak

Republik Indonesia memiliki peranan pidana, karena dari segi masyarakat

dalam memelihara keamanan dan sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak

ketertiban masyarakat, menegakkan ingin melakukan perbuatan tersebut.

hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau masyarakat dalam rangka terpelihara-

pemidanaan nya keamanan dalam negeri. Adapun

tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13

32 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Astan Wirya | Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana .......... Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

perlindungan hutan dan menegakkan ada tiga yaitu ;

hukum kehutanan merupakan pe-

1. Memelihara keamanan dan laksanaan dari ketentuan Pasal 46 ketertiban masyarakat;

sampai Pasal 51, Pasal 77 dan Pasal

2. Menegakkan hukum dan,

80 Undang-undang Nomor 41 Tahun

3. Memberikan perlindungan, 1999 tetang Kehutanan. Pelaksanaan pengayoman dan pelayanan kepada

ketentuan Undang-undang ini ke- masyarakat.

mudian diatur dengan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor

Dalam melaksanakan tugas salah satu- nya menegakkan hukum Ke polisian

45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan oleh undang-

Pada ketentuan lain, Polisi Kehutanan undang sebagai penegak hukum

dijelaskan dalam Undang-undang ter hadap tidak pidana umum atau

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pe- kejahatan, termasuk penanganan tin-

ncegahan dan Pemberantasan Pe- dak pidana khusus/tertentu. Penega rusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat

kan hukum dilakukan meliputi upaya

15 bahwa Polisi Kehutanan adalah penyelidikan dan penyidikan tindak

pejabat tertentu dalam lingkup in- pidana umum sebagaimana dalam

stansi kehutanan pusat dan/atau Kitab Undang- undang Hukum Pidana

daerah yang sesuai dengan sifat pe- (KUHP) maupun tindak pidana ter-

kerjaannya menyelenggarakan dan/ tentu atau khusus yang diatur dalam

atau melaksanakan usaha pelindungan Undang-undang Khusus.

hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian

b. Polisi Kehutanan - Satuan Polisi Ke- hutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan

khusus dibidang kehutanan dan kon- servasi sumber daya alam hayati dan

PPNS Kehutanan ekosistemnya yang berada dalam satu

Sejarah panjang sejak zaman

kesatuan komando.

penjajahan sampai dengan kemerdeka-

c. Kejaksaan Republik Indonesia an pengelolaan dan perlindungan hutan

menjadi sangat strategis dan penting, Diketahui bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan kewenangan baik

kekhususan dibidang kehutanan, sumber daya alam dan ekosistemnya.

dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan juga dalam bidang

Dampak dan manfaat, sifat dan karakternya hal ini melahirkan fungsi-

ketertiban umum. Dalam Undang- undang Nomor 16 Tahun 2004

fun gsi dalam usaha pengelolaan, perlindungan hutan dan konservasi tetang Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1 kewenangan

alam. Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya satuan khusus Brigade

dibidang Pidana Kejaksaan berwenang melakukan ;

Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) 19 sebagai bagian dari upaya

a. Melakukan penuntutan,

19 Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), NAN bahwa; Satuan Khusus Polisi Kehutanan Reaksi Pasal 1 angka 2 PERATURAN DIRJEN PHKA Nomor

Cepat yang selanjutnya disingkat SPORC adalah satuan : P. 10 /IV-SET/ 2014 TTG PETUNJUK PELAKSA-

dalam polisi kehutanan yang ditingkatkan kualifikasin- NAAN OPERASIONAL SPORC dan Permenhut RI No-

ya untuk menanggulangi gangguan keamanan hutan se- mor : P.75/Menhut-II/2014 Tentang POLISI KEHUTA-

cara cepat, tepat dan akurat.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 33

J Urnal IUS | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hl m, 19~41

b. Melaksanakan penetapan hakim nya penebangan liar illegal logging dan putusan pengadilan yang telah

diseluruh wilayah Negara Kesatuan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Republik Indonesia.

c. Melakukan pengawasan terhadap

Dokumen yang terkait

PEMENUHAN HAK-HAK EKONOMI DAN MORIL MASYARAKAT ASLI ATAS PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL MELALUI SISTEM HKI INDONESIA THE FULFILLMENT OF ECONOMIC AND MORAL RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES ON TRADITIONAL KNOWLEDGE AND TRADITIONAL CULTU

0 1 21

THE GOVERNMENT CONTRACTUAL DISPUTE RESOLUTION TRUTH INTERNATIONAL COMMERCIAL ARBITRATION AND I'TS PROBLEMS

0 0 16

EKSISTENSI PERKAWINAN MASYARAKAT SUKU SASAK LOMBOK (MERARIQ) DALAM MUARA PLURALISME HUKUM EXISTENCE OF MARRIAGE IN THE SASAK TRIBE IN LOMBOK (MERARIQ) WITHIN THE ESTUARY OF LEGAL PLURALISM

2 2 18

PENERAPAN SANKSI TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE di Wilayah Hukum Polres Mataram

0 0 18

PEMBAHARUAN HUKUM KONTRAK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA THE ASPECT OF THE CONTRACT LAW REFORM WITHIN THE REGULATION OF INDONESIA

0 0 17

UPAYA PAKSA PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT EFFORTS TO FORCE THE IMPLEMENTATION OF THE COURT RULING THE COUNTRY IN PROVIDING LEGAL PROTECTION TO THE COMMUNITY

0 0 13

KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA (STUDI PERBANDINGAN DI INDONESIA DENGAN NEGARA- NEGARA COMMON LAW SYSTEM ) AUTHORITY OF THE BUSINESS COMPETITION SUPERVISORY COMMISSION (KPPU) IN CASE MANAGEMENT

0 0 20

SISTEM SYURO’ DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN ISLAM SYURO’ SYSTEM ‘ IN THE ORGANIZATION OF THE ISLAMIC

0 0 10

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

0 1 15

RECOVERY ASSET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM ASPEK KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

0 0 19