Definisi Lembaga Keuangan Syariah di
Definisi Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga
keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional
sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI, 2003). Definisi ini menegaskan bahwa suatu
LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur kesesuaian dengan syariah islam dan unsur legalitas
operasi sebagai lembaga keuangan.
Unsur kesesuaian suatu LKS dengan syariah Islam secara tersentralisasi diatur oleh
DSN, yang diwujudkan dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Adapun
unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan diatur oleh berbagai instasi yang memiliki
kewenangan mengeluarkan izin operasi. Beberapa institusi tersebut antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Bank Indonesia sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat.
2. Departemen Keuangan sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
koperasi.
3. Kantor Menteri Koperasi sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
koperasi.
Fatwa-fatwa DSN biasanya bersifat umum untuk semua LKS, termasuk Bank Syariah.
Adapun fatwa tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah yang dirumuskan
oleh mayoritas ulama. Beberapa prinsip dalam hukum muamalah adalah sebagai berikut.
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh
Al-Qur’an dan sunnah rasul (prinsip mubah).
2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa mengandung unsur-unsur paksaan
(prinsip sukarela).
3. Muamalah
dilakukan
atas
dasar
pertimbangan
mendatangkan
manfaat
dan
menghindarkan mudarat dalam hidup masyarakat (prinsip mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat).
4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur
penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan (prinsip
keadilan).
Hukum muamalah tersebut secara detail dibahas oleh ulama dalam bidang ilmu yang
biasa disebut dengan fikih muamalah. Dalam fikih muamalah, ulama-ulama telah
mengidentifikasi dan memfatwakan beberapa jenis transaksi yang dilarang oleh Islam.
Pelarangan beberapa transaksi secara umum disebabkan oleh tiga hal berikut:
1. Mengandung barang atau jasa yang diharamkan.
2. Mengandung system dan prosedur memperoleh keuntungan yang diharamkan (tadlis, bai’
ikhtikar, bai’ Najsy, riba, gharar, maysir).
3. Tidak sah akadnya.
Larangan terhadap Transaksi yang mengandung Barang atau Jasa yang Diharamkan
Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang diharamkan sering
dikaitkan dengan prinsip muamalah yang ketiga, yaitu keharusan menghindar dari kemadaratan.
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan
keharaman suatu barang atau jasa, menyatakan secara eksplisit berbagai jenis bahan yang
dinyatakan haram untuk dimakan, diminum, maupun dipakai oleh seorang muslim. Di antaranya
adalah meminum khamar dan menggunakan bangkai atau hewan yang dilarang seperti babi,
binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW juga secara eksplisit melarang dilakukannya berbagai jenis jasa atau tindakan,
antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang
lain, dan sebagainya.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman,
dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang dan jasa yang secara eksplisit dilarang
Al-Qur’an dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang
sama, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang memiliki substansi sama dengan zat yang
diharamkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya
tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan
aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman, dan bahan konsumsi lain yang
diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pemberiaan pembiayaan, bank syariah
dituntut untuk memastikan kehalalan jenis usaha yang dibantu pembiayaannya oleh bank syariah.
Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha
yang bergerak di bidang pertenakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya
yang diharamkan.
Larangan terhadap Transaksi yang Diharamkan Sistem dan Prosedur Perolehan
Keuntungannya
Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama islam juga melarang transaksi yang
diharamkan system dan prosedur perolehan keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori
transaksi yang diharamkan karena system dan prosedur perolehan keuntungan tersebut adalah:
1. Tadlis (ketidaktahuan satu pihak),
2. Gharar (ketidaktahuan kedua pihak),
3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan),
4. Bai’ najasy (rekayasa pasar dalam permintaan),
5. Maysir (judi), dan
6. Riba
Tadlis
Tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu
pihak (unknown to one party). Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok dalam
hal jual beli berikut.
1. Kuantitas
Salah satu pihak (penjual) misalnya mengurangi takaran bank yang telah disepakati
antara penjual dan pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh si
penjual. Sekiranya pembeli mengetahui adanya pengurangan tersebut, dapat dipastikan
pembeli tidak akan rela dengan jual-beli yang telah dilakukan.
2. Kualitas
Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual) mengetahui bahwa barang yang
dijual memiliki cacat sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual barang akan
berkurang sesuai dengan nilai barang sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja atau
lebih tinggi dari sebenarnya. Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu,
maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.
3. Harga
Paktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli
tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan harga tinggi. Sekiranya
pembeli mengetahui bahwa harga tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedang
orang lain tidak, hal ini dapat mengakibatkan rusaknya kerelaan pembeli atas transaksi
yang sudah dilakukan.
4.
Waktu Penyerahan
Praktis tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan menutupi kemampuan ia
dalam menyerahkan barang yang sebenarnya lebih lambat dari ia janjikan. Contoh praktik
tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah janji penjual bisa menyelesaikan proyek dalam
jangka waktu 1 bulan, padahal penjual tersebut memahami bahwa pada waktu yang
disepakati tersebut apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi. Kondisi ini juga
bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam muamalah. Oleh karena sekiranya pembeli
mengetahui hal demikian, maka ia tidak akan mau bertransaksi dengan penjual tersebut.
Ketiadaan informasi juga bisa terjadi pada penyedia jasa dalam transaksi sewa. Sebagai
contoh, pemberi kerja yang menyewa tenaga pekerja sengaja tidak menyebutkan bayaran yang
diterima pekerja dengan pertimbangan si pekerja akan keberatan bekerja karena tidak sesuai
dengan harga pasar. Setelah pekerja menyelesaikan pekerjaannya, barulah bayaran disampaikan
dan pekerja tidak memiliki pilihan selain menerima bayaran yang ditetapkan pemberi kerja.
Untuk menghindari praktik tadlis dalam perbankan syariah, semua transaksi yang
dilakukan oleh bank syariah, terutama yang terkait dengan jual beli barang maupun sewa jasa
antara bank syariah dengan nasabah dan pihak luar maupun antara bank syariah dengan
pegawainya, harus dilakukan secara transparan. Segala hal yang pokok dalam jual beli barang
atau sewa jasa harus terinformasikan kepada kedua belah pihak dan dijelaskan pada akad yang
disepakati kedua belah pihak.
Gharar
Transaksi gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi
pada salah satu pihak, sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah
pihak yang bertransaksi jual beli. Gharar dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok
dalam jual beli berikut.
1. Kuantitas
Gharar dalam kuantitas, misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika pohon
atau tanaman belum menunjukkan hasilnya. Dalam hal ini, pada saat jual beli, baik
penjual atau pembeli tidak tahu berapa kuatitas hasil panen yang akan diperjualbelikan.
Nilai jual hasil panen bisa lebih tinggi dan bisa lebih rendah dibanding nilai yang
diserahterimakan. Sekiranya hasil panen lebih tinggi dari nilai uang yang diberikan
pembeli, maka pembeli akan menjadi pihak yang diuntungkan, sedang penjual tidak
dapat menikmati keberhasilan panennya. Sebaliknya, jika hasil panen lebih rendah
dibanding nilai transaksi saat pembelian, pembeli akan menjadi pihak yang dirugikan.
2. Kualitas
Gharar dalam kualitas,
misalnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut
induknya. Kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, tidak mengetahui
bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya akan menjadi
pihak yang dirugikan apabila sapi yang dilahirkan nantinya adalah dapi dengan kualitas
buruk.
3. Harga
Gharar dalam harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti mengenai harga yang
dipakai dalam jual beli yang disepakati. Sebagai contoh adalah jual beli dengan
kesepakatan harga berikut, “sekiranya barang ini lunas dalam jangka waktu di bawah
satu tahun, maka marginya adalah 20%, tapi seandainya lunas antara satu atau dua tahun,
maka marginnya otomatis menjadi 40%.” Oleh karena kedua belah pihak tidak tahu
apakah pembayaran akan dilunasi dalam satu tahun atau lebih, dalam hal ini harga barang
mengalami ketidakpastian, apakah harga dengan margin 20% maupun harga dengan
margin 40%.
4. Waktu penyerahan
Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak tahu kapan
barang akan diserahterimakan. Sebagai contoh penjual mobil yang sedang hilang dicuri
dengan akad pembeli membayar seharga tertentu dan berhak atas mobil yang sedang
hilang dilarikan pencuri.
Pelarangan jual beli di atas, selain memiliki dasar syariatnya (dalil naqli), juga
didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai keadilan serta
menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempitan. Perbankan syariah wajib menghindari transaksi yang dilarang ini. Dalam
praktik, transaksi ini dihindari dengan memastikan bahwa barang yang diperjualbelikan
dapat diserahterimakan pada waktu yang disepakati sesuai dengan kuantitas dan
spesifikasi kualitas yang disepakati. Pembelian tersebut juga harus disepakati pada satu
harga yang terutang dalam akad kesepakatan jual beli.
Bai’ Ikhtikar
Bai’ Ikhtikar merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli yang dilarang oleh syariah
Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun.
Dengan demikian, penjual akan memperoleh keuntungan yang besar karena dapat
menjual dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding harga sebelum kelangkaan terjadi.
Pelarangan tindakan ini, selain memiliki dalil naqli, juga didasarkan atas kaidah fikih
terkait dengan keharusan memlihara nilai keadilan serta menghindari unsur-unsur
penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Bai’ Najasy
Bai’ najasy adalah tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak
permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk akan naik. Upaya
menciptakan permintaan palsu antaa lain dengan:
1. Penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk membeli barang,
2. Melakukan order pembelian semu untuk memunculkan efek psikologis orang lain
untuk membeli dan bersaing dalam harga
3. Melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentiment pasar. Bila harga sudah
naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi
ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli.
Bai’ najasy dapat dianalogikan dengan praktik “menggoreng” saham di pasar modal.
Pada saat harga saham yang “digoreng” jauh melampaui nilai fundamentalnya,
spekulan saham yang terlibat akan melepas saham yang dimilikinya untuk mendapat
keuntungan yang maksimal. Di lain pihak, investor yang terpancing ikut membeli
saham tersebut akan mengalami kerugian karena dalam waktu singkat saham yang
dibeli akan turun harganya.
Maysir
Ulama dan fuqaha mendefinisikan maysir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan di
mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian
(Ibnu Qudama: Al Mughni, 13/408). Contoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah
adalah larangan untuk memberikan pembiayaan pada bisnis yang mengandung unsur judi.
Contoh penerapan lain adalah larangan pada bank untuk menjadikan uang sebagai instrument
spekulasi dan mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang.
Riba
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh, atau membesar. Definisi riba yang banyak
digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah definisi yang dirumuskan oleh imam sarakhsi
dalam Mabsut juz XII, hlm. 109 sebagai berikut.
“Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan
(iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan bersinggungan langsung
dengan praktik perbankan konvensional. Pada akhir 2003, MUI secara resmi menfatwakan
haramnya bunga bank konvesional. Para ahli rakyu (ijtihad) dari kalangan Syiah berpendapat
bahwa alasan riba diharamkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah agar orang
tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga
atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjaman-pinjaman dan
sejenisnya, padahal qard bertujuan menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia
(Ja’far Ash-Shadiq dari kalangan Syiah).
Sumber hukum tentang riba didasari pada Q.S. Al-Baqarah 278-279 dengan terjemahan
sebagai berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Adapun sumber hukum yang diacu dalam menetukan kriteria riba adalah hadis Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Samit yang terdapat dalam Abu Daud
hadis 3343 dan dalam At Tirmizi hadis 2819 dengan bunyi sebagai berikut.
“Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung
gandum dengan tepung gandum dalam ukuran yang sama, kurma dengan kurma dalam ukuran
yang sama, garam dengan garam dalam ukuran yang sama. Jika seseorang memberi lebih atau
meminta lebih, ia telah berhubungan dengan riba. Tetapi tidak diharamkan penjualan emas
dengan perak dan perak dengan emas dalam berat yang tidak sama. Pembayaran dilakukan pada
saat itu juga dan janganlah menjual jika dibayar belakangan. Dan tidak diharamkan menjual
gandum dengan tepung gandum dan tepung gandum (dengan gandum) dalam ukuran yang
berbeda, pembayaran dilakukan pada saat itu juga. Jika pembayaran dilakukan kemudian,
janganlah menjualnya.”
Acuan lain yang dijadikan sebagai dasar membedakan riba dengan yang tidak riba adalah
hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut.
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham;
satu sha’ dengan dua sha’ karena aku khawatir akan terjadi riba. Seorang bertanya: Wahai Rasul,
bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta
dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi Muhammad SAW: Tidak mengapa, asal dilakukan
dengan tangan ke tangan (langsung).” (HR Muslim)
Dari kedua hadis Nabi tersebut, disimpulkan bahwa riba timbul dalam transaksi utang
piutang dan transaksi jual beli barang ribawi. Riba dalam transaksi utang piutang terbagi atas
dua kategori, yaitu riba qardh dan riba jahiliyah. Riba qardh adalah kelebihan tertentu yang
diisyaratkan terhadap yang berutang, sedang riba jahiliyah adalh riba yang timbul karena
peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba
fadhl adalah riba yang timbul karena pertukaran antarbarang ribawi yang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul karena penangguhan
penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang lainnya.
Berdasarkan hadis tersebut, juga disimpulkan bahwa hukum riba berlaku pada transaksi
antarbarang ribawi dengan jenis yang sama. Barang ribawi dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu kelompok mata uang dan kelompok pokok.
1. Kelompok mata uang dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu jenis emas dan perak
secara khusus, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk lainnya. Contoh riba
fadhl dalam hal ini adalah jika A yang sedang membutuhkan uang pecahan bersedia
membeli 10 lembar uang Rp 10.000 dengan membayar sebesar Rp 102.000 kepada B.
kelebihan Rp 2.000 untuk B dapat dikatakan sebagai riba fadhl yang dilarang
sebagaimnana dilarangnya transaksi seperti ini pada emas di zaman Rasulullah. Adapun
contoh riba nasi’ah dalam mata uang jual beli mata uang asing yang penyerahannnya
tidak dilakukan dalam waktu bersamaan. Sebagai contoh, A membeli 100 Yen Jepang
pada B yang mana A menerima uang Yen tersebut saat itu juga, sedangkan penyerahan
uang rupiah dilakukan beberapa hari, Minggu, atau bulan kemudian. Transaksi ini juga
dilarang karena adanya penundaan waktu bisa menyebabkan perbedaan harga pasar
dalam jual beli mata uang, sehingga dapat mengakibatkan salah satu pihak menjadi
diuntungkan dan pihak lain dirugikan.
2. Kelompok bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan
makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Contoh riba fadhl pada
kelompok bahan makanan pokok adalah peminjaman 10 kg beras oleh si A kepada si B,
dengan persyaratan pengembalian lebih dari 10 kg kepada si B di kemudian hari. Adapun
contoh riba nasi’ah pada bahan makanan pokok adalah penjualan 10 kg beras milik Y
dengan 20 kg biji jagung milik Z. Riba nasi’ah dalam transaksi ini terjadi jika salah satu
pihak telah menerima barang diiinginkannya, sedangkan pihak lainnya belum menerima
karena adanya penundaan waktu penyerahan. Adanya penundaan tersebut berpotensi
dirugikannya salah satu pihak karena adanya perubahan nilai tukar barang.
Larangan terhadap Transaksi yang Tidak Sah Akadnya
Suatu transaksi, kendati telah menggunakan barang atau jasa yang halal dan diperoleh dengan
mekanisme pemerolehan keuntungan yang dibolehkan agama, juga harus memenuhi syarat
beabsahan suatu akad. Akad secara bahasa berarti ikatan. Adapun akad menurut istilah adalah
ketertarikan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara memunculkan adanya
komitmen tertentu yang diisyaratkan. Hukum fikih menyatakan bahwa akad yang sah harus
dipenuhi, sedang akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi.
Q.S Al-Maidah (5):2
“Hai orang yang beriman. Penuhilah akad-akad itu...”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kabsahan suatu transaksi haruslah memenuhi
rukun-rukun akad. Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut.
1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad. Dalam hal ini, kedua pihak
diperyaratkan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, jika
tidak, akad dianggap tidak sah. Kemampuan tersebut dibuktikan dengan kemampuan
membedakan yang baik dan yang buruk (sudah baligh dan tiak dalam keadaan tercekal
seperti dinyatakan pailit) dan tidak di bawah paksaan. Dalam hal ini, suatu jual beli
barang yang halal, misalnya, dapat menjadi batal secara syari’I jika yang terlibat dalam
jual beli tersebut tidak memenuhi syarat seperti di bawah umur atau dalam kondisi gila
atau mabuk.
2. Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang dijual dalam akad jual beli,
atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Adapun syarat barang
tersebut dianggap sah bila:
a. Barang tersebut suci atau bila telah terkena najis, bisa disucikan.
b. Barang tersebut bisa digunakan dengan cara yang diisyaratkan, missal hotel atau
rumah yang tidak diperuntukkan bagi aktivitas prostitusi.
c. Komoditas harus bisa diserahterimakan (contihnya tidak sah menjual barang yang
sedang digunakan).
d. Barang yang dijual harus milik penjual
e. Bila barang dijual langsung harus diketahui wujudnya, dan bila tidak berada di lokasi,
harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya.
3. Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab kabul). Ijab adalah
ungkapan penyerahan kepemilikan oleh pemilik barang, sedangkan Kabul adalah
ungkapan penerimaan kepemilikan oleh pemilik barang berikutnya. Ijmak ilama
berpendapat tidak ada keharusan ijab Kabul harus secara lisan. Adapun sah atau tidaknya
ungkapan ijab Kabul dapat menggunakan praktik yang umu di masyarakat tempat jual
beli dilakukan. Prinsipnya, kedua belah pihak rela atas serah terima kepemilikan.
Selain faktor rukun, akad yang dibuat tidak boleh mengandung unsur ta’alluq dan unsur dua
akad untuk satu transaksi (two in one). Ta’alluq adalah dua akad yang saling berkaitan, di mana
berlakunya akad 1 bergantung pada akad 2. Sebagi contoh adalah penjualan dengan cara ‘inah
yaitu seseorang menjual barang seharga tertentu secara cicilan (misalkan Rp 11 juta) kepada
orang lain dengan syarat, orang lain tersebut kembali menjual barang tersebut secara tunai
misalkan Rp 10 juta).
Transaksi dua akad untuk satu transaksi juga tidak dibenarkan. Hal ini disebabkan karena
dapat menimbulkan ketidakpastian terhadap konsekuensi dari akad, misalnya saat transaksi sewa
modal (capital lease), yang merupakan transaksi antara dua pihak untuk menyewakan sesuatu
barang, terjadi pula transfer kepemilikan barang. Dalam transaksi ini mengandung ketidakjelasan
akad mana yang didahulukan, apakah akad sewa atau akad jual beli.
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia
Cendekia.
Al Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam.
Jakarta: Darul Haq.
DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. Jakarta: DSN-MUI dan
Bank Indonesia.
Karim, Adiwarna. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Muhammad.2004. Dasar-Dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: Ekonisia FE UII.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga
keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional
sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI, 2003). Definisi ini menegaskan bahwa suatu
LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur kesesuaian dengan syariah islam dan unsur legalitas
operasi sebagai lembaga keuangan.
Unsur kesesuaian suatu LKS dengan syariah Islam secara tersentralisasi diatur oleh
DSN, yang diwujudkan dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Adapun
unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan diatur oleh berbagai instasi yang memiliki
kewenangan mengeluarkan izin operasi. Beberapa institusi tersebut antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Bank Indonesia sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat.
2. Departemen Keuangan sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
koperasi.
3. Kantor Menteri Koperasi sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
koperasi.
Fatwa-fatwa DSN biasanya bersifat umum untuk semua LKS, termasuk Bank Syariah.
Adapun fatwa tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah yang dirumuskan
oleh mayoritas ulama. Beberapa prinsip dalam hukum muamalah adalah sebagai berikut.
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh
Al-Qur’an dan sunnah rasul (prinsip mubah).
2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa mengandung unsur-unsur paksaan
(prinsip sukarela).
3. Muamalah
dilakukan
atas
dasar
pertimbangan
mendatangkan
manfaat
dan
menghindarkan mudarat dalam hidup masyarakat (prinsip mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat).
4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur
penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan (prinsip
keadilan).
Hukum muamalah tersebut secara detail dibahas oleh ulama dalam bidang ilmu yang
biasa disebut dengan fikih muamalah. Dalam fikih muamalah, ulama-ulama telah
mengidentifikasi dan memfatwakan beberapa jenis transaksi yang dilarang oleh Islam.
Pelarangan beberapa transaksi secara umum disebabkan oleh tiga hal berikut:
1. Mengandung barang atau jasa yang diharamkan.
2. Mengandung system dan prosedur memperoleh keuntungan yang diharamkan (tadlis, bai’
ikhtikar, bai’ Najsy, riba, gharar, maysir).
3. Tidak sah akadnya.
Larangan terhadap Transaksi yang mengandung Barang atau Jasa yang Diharamkan
Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang diharamkan sering
dikaitkan dengan prinsip muamalah yang ketiga, yaitu keharusan menghindar dari kemadaratan.
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan
keharaman suatu barang atau jasa, menyatakan secara eksplisit berbagai jenis bahan yang
dinyatakan haram untuk dimakan, diminum, maupun dipakai oleh seorang muslim. Di antaranya
adalah meminum khamar dan menggunakan bangkai atau hewan yang dilarang seperti babi,
binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW juga secara eksplisit melarang dilakukannya berbagai jenis jasa atau tindakan,
antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang
lain, dan sebagainya.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman,
dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang dan jasa yang secara eksplisit dilarang
Al-Qur’an dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang
sama, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang memiliki substansi sama dengan zat yang
diharamkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya
tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan
aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman, dan bahan konsumsi lain yang
diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pemberiaan pembiayaan, bank syariah
dituntut untuk memastikan kehalalan jenis usaha yang dibantu pembiayaannya oleh bank syariah.
Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha
yang bergerak di bidang pertenakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya
yang diharamkan.
Larangan terhadap Transaksi yang Diharamkan Sistem dan Prosedur Perolehan
Keuntungannya
Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama islam juga melarang transaksi yang
diharamkan system dan prosedur perolehan keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori
transaksi yang diharamkan karena system dan prosedur perolehan keuntungan tersebut adalah:
1. Tadlis (ketidaktahuan satu pihak),
2. Gharar (ketidaktahuan kedua pihak),
3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan),
4. Bai’ najasy (rekayasa pasar dalam permintaan),
5. Maysir (judi), dan
6. Riba
Tadlis
Tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu
pihak (unknown to one party). Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok dalam
hal jual beli berikut.
1. Kuantitas
Salah satu pihak (penjual) misalnya mengurangi takaran bank yang telah disepakati
antara penjual dan pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh si
penjual. Sekiranya pembeli mengetahui adanya pengurangan tersebut, dapat dipastikan
pembeli tidak akan rela dengan jual-beli yang telah dilakukan.
2. Kualitas
Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual) mengetahui bahwa barang yang
dijual memiliki cacat sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual barang akan
berkurang sesuai dengan nilai barang sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja atau
lebih tinggi dari sebenarnya. Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu,
maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.
3. Harga
Paktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli
tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan harga tinggi. Sekiranya
pembeli mengetahui bahwa harga tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedang
orang lain tidak, hal ini dapat mengakibatkan rusaknya kerelaan pembeli atas transaksi
yang sudah dilakukan.
4.
Waktu Penyerahan
Praktis tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan menutupi kemampuan ia
dalam menyerahkan barang yang sebenarnya lebih lambat dari ia janjikan. Contoh praktik
tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah janji penjual bisa menyelesaikan proyek dalam
jangka waktu 1 bulan, padahal penjual tersebut memahami bahwa pada waktu yang
disepakati tersebut apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi. Kondisi ini juga
bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam muamalah. Oleh karena sekiranya pembeli
mengetahui hal demikian, maka ia tidak akan mau bertransaksi dengan penjual tersebut.
Ketiadaan informasi juga bisa terjadi pada penyedia jasa dalam transaksi sewa. Sebagai
contoh, pemberi kerja yang menyewa tenaga pekerja sengaja tidak menyebutkan bayaran yang
diterima pekerja dengan pertimbangan si pekerja akan keberatan bekerja karena tidak sesuai
dengan harga pasar. Setelah pekerja menyelesaikan pekerjaannya, barulah bayaran disampaikan
dan pekerja tidak memiliki pilihan selain menerima bayaran yang ditetapkan pemberi kerja.
Untuk menghindari praktik tadlis dalam perbankan syariah, semua transaksi yang
dilakukan oleh bank syariah, terutama yang terkait dengan jual beli barang maupun sewa jasa
antara bank syariah dengan nasabah dan pihak luar maupun antara bank syariah dengan
pegawainya, harus dilakukan secara transparan. Segala hal yang pokok dalam jual beli barang
atau sewa jasa harus terinformasikan kepada kedua belah pihak dan dijelaskan pada akad yang
disepakati kedua belah pihak.
Gharar
Transaksi gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi
pada salah satu pihak, sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah
pihak yang bertransaksi jual beli. Gharar dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok
dalam jual beli berikut.
1. Kuantitas
Gharar dalam kuantitas, misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika pohon
atau tanaman belum menunjukkan hasilnya. Dalam hal ini, pada saat jual beli, baik
penjual atau pembeli tidak tahu berapa kuatitas hasil panen yang akan diperjualbelikan.
Nilai jual hasil panen bisa lebih tinggi dan bisa lebih rendah dibanding nilai yang
diserahterimakan. Sekiranya hasil panen lebih tinggi dari nilai uang yang diberikan
pembeli, maka pembeli akan menjadi pihak yang diuntungkan, sedang penjual tidak
dapat menikmati keberhasilan panennya. Sebaliknya, jika hasil panen lebih rendah
dibanding nilai transaksi saat pembelian, pembeli akan menjadi pihak yang dirugikan.
2. Kualitas
Gharar dalam kualitas,
misalnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut
induknya. Kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, tidak mengetahui
bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya akan menjadi
pihak yang dirugikan apabila sapi yang dilahirkan nantinya adalah dapi dengan kualitas
buruk.
3. Harga
Gharar dalam harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti mengenai harga yang
dipakai dalam jual beli yang disepakati. Sebagai contoh adalah jual beli dengan
kesepakatan harga berikut, “sekiranya barang ini lunas dalam jangka waktu di bawah
satu tahun, maka marginya adalah 20%, tapi seandainya lunas antara satu atau dua tahun,
maka marginnya otomatis menjadi 40%.” Oleh karena kedua belah pihak tidak tahu
apakah pembayaran akan dilunasi dalam satu tahun atau lebih, dalam hal ini harga barang
mengalami ketidakpastian, apakah harga dengan margin 20% maupun harga dengan
margin 40%.
4. Waktu penyerahan
Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak tahu kapan
barang akan diserahterimakan. Sebagai contoh penjual mobil yang sedang hilang dicuri
dengan akad pembeli membayar seharga tertentu dan berhak atas mobil yang sedang
hilang dilarikan pencuri.
Pelarangan jual beli di atas, selain memiliki dasar syariatnya (dalil naqli), juga
didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai keadilan serta
menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempitan. Perbankan syariah wajib menghindari transaksi yang dilarang ini. Dalam
praktik, transaksi ini dihindari dengan memastikan bahwa barang yang diperjualbelikan
dapat diserahterimakan pada waktu yang disepakati sesuai dengan kuantitas dan
spesifikasi kualitas yang disepakati. Pembelian tersebut juga harus disepakati pada satu
harga yang terutang dalam akad kesepakatan jual beli.
Bai’ Ikhtikar
Bai’ Ikhtikar merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli yang dilarang oleh syariah
Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun.
Dengan demikian, penjual akan memperoleh keuntungan yang besar karena dapat
menjual dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding harga sebelum kelangkaan terjadi.
Pelarangan tindakan ini, selain memiliki dalil naqli, juga didasarkan atas kaidah fikih
terkait dengan keharusan memlihara nilai keadilan serta menghindari unsur-unsur
penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Bai’ Najasy
Bai’ najasy adalah tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak
permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk akan naik. Upaya
menciptakan permintaan palsu antaa lain dengan:
1. Penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk membeli barang,
2. Melakukan order pembelian semu untuk memunculkan efek psikologis orang lain
untuk membeli dan bersaing dalam harga
3. Melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentiment pasar. Bila harga sudah
naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi
ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli.
Bai’ najasy dapat dianalogikan dengan praktik “menggoreng” saham di pasar modal.
Pada saat harga saham yang “digoreng” jauh melampaui nilai fundamentalnya,
spekulan saham yang terlibat akan melepas saham yang dimilikinya untuk mendapat
keuntungan yang maksimal. Di lain pihak, investor yang terpancing ikut membeli
saham tersebut akan mengalami kerugian karena dalam waktu singkat saham yang
dibeli akan turun harganya.
Maysir
Ulama dan fuqaha mendefinisikan maysir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan di
mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian
(Ibnu Qudama: Al Mughni, 13/408). Contoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah
adalah larangan untuk memberikan pembiayaan pada bisnis yang mengandung unsur judi.
Contoh penerapan lain adalah larangan pada bank untuk menjadikan uang sebagai instrument
spekulasi dan mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang.
Riba
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh, atau membesar. Definisi riba yang banyak
digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah definisi yang dirumuskan oleh imam sarakhsi
dalam Mabsut juz XII, hlm. 109 sebagai berikut.
“Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan
(iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan bersinggungan langsung
dengan praktik perbankan konvensional. Pada akhir 2003, MUI secara resmi menfatwakan
haramnya bunga bank konvesional. Para ahli rakyu (ijtihad) dari kalangan Syiah berpendapat
bahwa alasan riba diharamkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah agar orang
tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga
atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjaman-pinjaman dan
sejenisnya, padahal qard bertujuan menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia
(Ja’far Ash-Shadiq dari kalangan Syiah).
Sumber hukum tentang riba didasari pada Q.S. Al-Baqarah 278-279 dengan terjemahan
sebagai berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Adapun sumber hukum yang diacu dalam menetukan kriteria riba adalah hadis Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Samit yang terdapat dalam Abu Daud
hadis 3343 dan dalam At Tirmizi hadis 2819 dengan bunyi sebagai berikut.
“Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung
gandum dengan tepung gandum dalam ukuran yang sama, kurma dengan kurma dalam ukuran
yang sama, garam dengan garam dalam ukuran yang sama. Jika seseorang memberi lebih atau
meminta lebih, ia telah berhubungan dengan riba. Tetapi tidak diharamkan penjualan emas
dengan perak dan perak dengan emas dalam berat yang tidak sama. Pembayaran dilakukan pada
saat itu juga dan janganlah menjual jika dibayar belakangan. Dan tidak diharamkan menjual
gandum dengan tepung gandum dan tepung gandum (dengan gandum) dalam ukuran yang
berbeda, pembayaran dilakukan pada saat itu juga. Jika pembayaran dilakukan kemudian,
janganlah menjualnya.”
Acuan lain yang dijadikan sebagai dasar membedakan riba dengan yang tidak riba adalah
hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut.
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham;
satu sha’ dengan dua sha’ karena aku khawatir akan terjadi riba. Seorang bertanya: Wahai Rasul,
bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta
dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi Muhammad SAW: Tidak mengapa, asal dilakukan
dengan tangan ke tangan (langsung).” (HR Muslim)
Dari kedua hadis Nabi tersebut, disimpulkan bahwa riba timbul dalam transaksi utang
piutang dan transaksi jual beli barang ribawi. Riba dalam transaksi utang piutang terbagi atas
dua kategori, yaitu riba qardh dan riba jahiliyah. Riba qardh adalah kelebihan tertentu yang
diisyaratkan terhadap yang berutang, sedang riba jahiliyah adalh riba yang timbul karena
peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba
fadhl adalah riba yang timbul karena pertukaran antarbarang ribawi yang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul karena penangguhan
penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang lainnya.
Berdasarkan hadis tersebut, juga disimpulkan bahwa hukum riba berlaku pada transaksi
antarbarang ribawi dengan jenis yang sama. Barang ribawi dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu kelompok mata uang dan kelompok pokok.
1. Kelompok mata uang dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu jenis emas dan perak
secara khusus, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk lainnya. Contoh riba
fadhl dalam hal ini adalah jika A yang sedang membutuhkan uang pecahan bersedia
membeli 10 lembar uang Rp 10.000 dengan membayar sebesar Rp 102.000 kepada B.
kelebihan Rp 2.000 untuk B dapat dikatakan sebagai riba fadhl yang dilarang
sebagaimnana dilarangnya transaksi seperti ini pada emas di zaman Rasulullah. Adapun
contoh riba nasi’ah dalam mata uang jual beli mata uang asing yang penyerahannnya
tidak dilakukan dalam waktu bersamaan. Sebagai contoh, A membeli 100 Yen Jepang
pada B yang mana A menerima uang Yen tersebut saat itu juga, sedangkan penyerahan
uang rupiah dilakukan beberapa hari, Minggu, atau bulan kemudian. Transaksi ini juga
dilarang karena adanya penundaan waktu bisa menyebabkan perbedaan harga pasar
dalam jual beli mata uang, sehingga dapat mengakibatkan salah satu pihak menjadi
diuntungkan dan pihak lain dirugikan.
2. Kelompok bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan
makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Contoh riba fadhl pada
kelompok bahan makanan pokok adalah peminjaman 10 kg beras oleh si A kepada si B,
dengan persyaratan pengembalian lebih dari 10 kg kepada si B di kemudian hari. Adapun
contoh riba nasi’ah pada bahan makanan pokok adalah penjualan 10 kg beras milik Y
dengan 20 kg biji jagung milik Z. Riba nasi’ah dalam transaksi ini terjadi jika salah satu
pihak telah menerima barang diiinginkannya, sedangkan pihak lainnya belum menerima
karena adanya penundaan waktu penyerahan. Adanya penundaan tersebut berpotensi
dirugikannya salah satu pihak karena adanya perubahan nilai tukar barang.
Larangan terhadap Transaksi yang Tidak Sah Akadnya
Suatu transaksi, kendati telah menggunakan barang atau jasa yang halal dan diperoleh dengan
mekanisme pemerolehan keuntungan yang dibolehkan agama, juga harus memenuhi syarat
beabsahan suatu akad. Akad secara bahasa berarti ikatan. Adapun akad menurut istilah adalah
ketertarikan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara memunculkan adanya
komitmen tertentu yang diisyaratkan. Hukum fikih menyatakan bahwa akad yang sah harus
dipenuhi, sedang akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi.
Q.S Al-Maidah (5):2
“Hai orang yang beriman. Penuhilah akad-akad itu...”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kabsahan suatu transaksi haruslah memenuhi
rukun-rukun akad. Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut.
1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad. Dalam hal ini, kedua pihak
diperyaratkan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, jika
tidak, akad dianggap tidak sah. Kemampuan tersebut dibuktikan dengan kemampuan
membedakan yang baik dan yang buruk (sudah baligh dan tiak dalam keadaan tercekal
seperti dinyatakan pailit) dan tidak di bawah paksaan. Dalam hal ini, suatu jual beli
barang yang halal, misalnya, dapat menjadi batal secara syari’I jika yang terlibat dalam
jual beli tersebut tidak memenuhi syarat seperti di bawah umur atau dalam kondisi gila
atau mabuk.
2. Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang dijual dalam akad jual beli,
atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Adapun syarat barang
tersebut dianggap sah bila:
a. Barang tersebut suci atau bila telah terkena najis, bisa disucikan.
b. Barang tersebut bisa digunakan dengan cara yang diisyaratkan, missal hotel atau
rumah yang tidak diperuntukkan bagi aktivitas prostitusi.
c. Komoditas harus bisa diserahterimakan (contihnya tidak sah menjual barang yang
sedang digunakan).
d. Barang yang dijual harus milik penjual
e. Bila barang dijual langsung harus diketahui wujudnya, dan bila tidak berada di lokasi,
harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya.
3. Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab kabul). Ijab adalah
ungkapan penyerahan kepemilikan oleh pemilik barang, sedangkan Kabul adalah
ungkapan penerimaan kepemilikan oleh pemilik barang berikutnya. Ijmak ilama
berpendapat tidak ada keharusan ijab Kabul harus secara lisan. Adapun sah atau tidaknya
ungkapan ijab Kabul dapat menggunakan praktik yang umu di masyarakat tempat jual
beli dilakukan. Prinsipnya, kedua belah pihak rela atas serah terima kepemilikan.
Selain faktor rukun, akad yang dibuat tidak boleh mengandung unsur ta’alluq dan unsur dua
akad untuk satu transaksi (two in one). Ta’alluq adalah dua akad yang saling berkaitan, di mana
berlakunya akad 1 bergantung pada akad 2. Sebagi contoh adalah penjualan dengan cara ‘inah
yaitu seseorang menjual barang seharga tertentu secara cicilan (misalkan Rp 11 juta) kepada
orang lain dengan syarat, orang lain tersebut kembali menjual barang tersebut secara tunai
misalkan Rp 10 juta).
Transaksi dua akad untuk satu transaksi juga tidak dibenarkan. Hal ini disebabkan karena
dapat menimbulkan ketidakpastian terhadap konsekuensi dari akad, misalnya saat transaksi sewa
modal (capital lease), yang merupakan transaksi antara dua pihak untuk menyewakan sesuatu
barang, terjadi pula transfer kepemilikan barang. Dalam transaksi ini mengandung ketidakjelasan
akad mana yang didahulukan, apakah akad sewa atau akad jual beli.
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia
Cendekia.
Al Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam.
Jakarta: Darul Haq.
DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. Jakarta: DSN-MUI dan
Bank Indonesia.
Karim, Adiwarna. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Muhammad.2004. Dasar-Dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: Ekonisia FE UII.