Pengaruh Pemberitaan Media Massa Tentang

Pengaruh Pemberitaan Media Massa Tentang Skandal Korupsi
Kader Partai Demokrat Terhadap Pencitraan Partai Demokrat
Menjelang Pemilu 2014
Oleh:
Akhirul Aminulloh
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
Telp. 085233467750, Email: akhirulaminulloh@gmail.com

Abstrak
Lembaga survei Pol-Tracking Institute merilis survei elektabilitas partai politik pada
pemilu 2014. Hasil survei tersebut menyebutkan bahwa elektabilitas Partai Demokrat
menurun drastis, dari 20.8 persen pada 2009 menjadi 8.8 persen pada Oktober 2013.
Menurunnya elektabilitas Partai Demokrat ini seringkali dikaitkan dengan skandal
korupsi yang menjerat kader-kader partai yaitu, Muhammad Nazaruddin, Angelina
Sondakh, Andi Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum. Para kader Demokrat yang
notabene sebagai publik figure ini telah menjadi trending topic pemberitaan media massa.
Dalam kajian komunikasi politik, tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra
politik yang posistif pada khalayak. Citra politik terbentuk berdasarkan informasi yang
diterima,baik langsung maupun melalui media politik, termasuk media sosial dan media
massa yang bekerja menyampaikan pesan politik yang aktual. Hasil analisis ini

menunjukkan bahwa salah satu faktor menurunnya citra positif Partai Demokrat di
masyarakat adalah pemberitaan massif media massa tentang skandal korupsi kader
Demokrat. Pemberitaan ini mendominasi ruang persepsi publik yang akhirnya
mempengaruhi citra positif Partai Demokrat sehingga popularitasnya melorot tajam. Hal
ini dikarenakan segala bentuk informasi dan pemberitaan di media massa, memiliki
peranan penting dalam membentuk persepsi masyarakat tentang suatu partai politik dan
mempengaruhi orientasi serta perilaku politik masyarakat pada pemilihan umum.
Keywords; Citra Politik, Elektabilitas Partai, Media Massa, Partai Demokrat.

PENDAHULUAN
Menjelang pemilu legislatif 2014, partai politik sudah riuh gemuruh
mempersiapkan berbagai strategi dalam menghadapi kompetisi antar partai politik guna
merebut hati pemilih. Pencitraan partai politik baik secara ekspilisit maupun implisit
sudah menjadi sebuah keniscayaan. Iklan politik bertebaran di semua media massa baik
cetak maupun elektronik. Kampanye terselubungpun tak luput dari sasaran strategi
pencitraan. Kondisi semacam ini hampir dilakukan oleh semua partai politik. Lantas

apakah dengan cara ini semua citra positif partai politik politik serta merta akan
terdongkrak naik? Ternyata tidak demikian realitas adanya.
Partai Demokrat sebagai salah satu kontestan pemilu 2014 dan pemenang pemilu

2009 juga tak luput dari hiruk pikuk pencitraan diri. Hasil berberapa lembaga survei
menunjukkan tingkat elektabiltas Partai Demokrat yang semakin menurun. Hasil survei
terakhir dilakukan oleh Lembaga survei Pol-Tracking Institute tentang elektabilitas partai
politik pada pemilu 2014, menyebutkan bahwa elektabilitas Partai Demokrat menurun
drastis, dari 20.8 persen pada 2009 menjadi 8.8 persen pada Oktober 2013, PKS 7.9
persen menjadi 2.9 persen, sedang elektabilitas PDIP lebih unggul atas Golkar, PDIP
meraup 18.5 persen, dan Golkar sebesar 16.90 persen. Partai Gerindra 6.60 persen, PKB
4.60 persen, Hanura 3.50 persen, PPP 3.40 persen, PKS 2.90 persen, Nasdem 2.10 persen,
PAN 2 persen, PBB 0.70 persen, dan PKPI 0.10 persen1. Hasil riset lainnya yang juga
dilakukan oleh lembaga survei Pol-Tracking Institute menunjukkan bahwa Partai
Demokrat berada di posisi kedua terkait pemberitaan dengan tone negative di media
Massa. Partai Demokrat memiliki persentase 20,53 dibawah Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), 23,87 persen. Pemberitaan negatif ini dinilai berkolerasi dengan elektabilitas
partai.
Hasil survei lainnya dilakukan oleh Kompas yang menunjukkan bahwa dukungan
responden pada Partai Demokrat terus turun sepanjang 2013, bahkan hingga ke bawah
perolehan suara pada Pemilu 2004 yaitu 7.45 persen. Konvensi capres yang dinilai
merupakan strategi Partai Demokrat untuk memulihkan citra, tak kunjung berdampak
meski sudah berjalan lewat tiga bulan2.
Dari hasil survei di atas menunjukkan bagaimana elektabilitas Partai Demokrat

sangat rendah, sehingga kondisi ini mencerminkan pencitraan partai yang rendah pula
menjelang pemilu 2014. Menurut Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda
bahwa pemberitaan kasus dugaan korupsi yang menjerat kader Partai Demokrat, dianggap
mempengaruhi elektabilitas Partai Demokrat. Hasil riset ini menunjukkan Partai
Demokrat memang lekat dengan pemberitaan mengenai kasus hukum. Kuantitas
pemberitaan tertinggi partai ini terjadi pada Februari tahun 2013 lalu. Penetapan Anas

1
2

Detiknews.com. 2013. Elektabilitas Partai Demokrat dan PKS Turun Drastis
Kompas.com. 2013. Survei "Kompas", Konvensi Gagal Dongkrak Demokrat?

sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat sorotan besar
media3.
Sebagaimana diketahui beberapa kader Partai Demokrat yang tersandung skandal
korupsi adalah Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat,
terpidana kasus suap Wisma Atlet Pelembang. Kemudian Angelina Sondakh, mantan
Wakil Sekretaris Jenderal I Partai Demokrat, juga terpidana kasus korupsi Kementerian
Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Andi Mallaranggeng,

mantan Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, juga sudah ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Berita yang paling menghebohkan
adalah Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat telah ditetapkan oleh
KPK sebagai tersangka kasus proyek Hambalang.
Kasus-kasus skandal korupsi yang telah menjerat politisi Partai Demokrat di atas
telah menghiasi wajah pemberitaan media massa di Indonesia. Segala pemberitaan di
media massa tersebut, tentu akan memberikan dampak atau respon tertentu yang muncul
dari individu yang terkena terpaan pesan dari media massa. Dampak-dampak yang
muncul tersebut dapat memicu adanya pembentukan dan perubahan citra positif terhadap
suatu partai politik. Citra bagi sebuah partai politik penting perannya dalam membangun
persepsi masyarakat untuk mau ikut serta mendukung eksistensi partai tersebut dalam
pemilihan umum4. Karena bagaimanapun juga kredibilitas personal kader suatu partai
politik akan dengan sendirinya juga dikaitkan dengan kredibilitas suatu partai politik.

TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Politik
Komunikasi politik merupakan komunikasi yang bercirikan politik yang terjadi di
dalam sebuah sistem politik. Komunikasi politik dapat berbentuk penyampaian pesanpesan yang berdampak politik dari penguasa politik kepada rakyat ataupun penyampaian
dukungan atau tuntutan oleh rakyat bagi penguasa politik. Istilah komunikasi politik lahir
dari dua istilah yaitu ”komunikasi” dan ”politik”. Hubungan kedua istilah itu dinilai

bersifat erat karena pada domain politik, proses komunikasi menempati fungsi yang
fundamental. Bagaimanapun pendekatan komunikasi telah membantu memberikan
pandangan yang mendalam dan lebih luas mengenai perilaku politik.

3
4

Republika Online. 2013. Pengamat: Berat Perbaiki Citra Demokrat
Yuristyar, 2013

Definisi mengenai komunikasi politik dapat dikemukakan oleh Denton dan
Woodward, keduanya mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan “Diskusi publik
mengenai penjatahan sumber daya publik – yakni mengenai pembagian pendapatan atau
penghasilan yang diterima oleh publik, kewenangan resmi – yakni siapa yang diberi
kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan hukum, membuat peraturan-peraturan,
dan melaksanakan peraturan-peraturan; dan sanksi-sanksi resmi – yakni apa yang negara
berikan sebagai ganjaran atau mungkin hukuman”5.
Sedangkan menurut Fagen, komunikasi politik adalah segala komunikasi yang
terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. Lain
lagi dengan Muller yang merumuskan komunikasi politik sebagai hasil yang bersifat

politik (political outcomes), dari kelas sosial, pola bahasa, dan sosialisasi. Selanjutnya
Gallnor menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan infra-struktur politik, yaitu
kombinasi dari berbagai interaksi sosial di mana informasi yang berkaitan dengan usaha
bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran6.
Rumusan Gallnor menempatkan komunikasi sebagai suatu fungsi politik
bersama-sama dengan fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi, dan rekrutmen dalam sistem
politik. Menurut Almond, komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang harus ada
dalam setiap sistem politik sehingga terbuka kemungkinan bagi para ilmuwan untuk
memperbandingkan berbagai sistem politik dengan berbagai latar belakang budaya yang
berbeda. Bagi Almond, semua sistem politik yang pernah, sedang dan akan ada
mempunyai persamaan mendasar yaitu adanya kesamaan fungsi yang dijalankannya7.
Dari pandangan di atas terungkap, bahwa disiplin ilmu yang digunakan dalam
komunikasi politik sangat multi disipliner sifatnya, sehingga dalam pengkajian yang
dinamis tentunya membutuhkan paradigma yang luas dari berbagai disiplin ilmu. Karena
itu, seperti dikatakan Rush dan Althoff, komunikasi politik memainkan peranan yang
amat penting di dalam suatu sistem politik. Ia merupakan elemen dinamis, dan menjadi
bagian yang menentukan dari proses-proses sosialisasi politik, partisipasi politik, dan
rekrutmen politik8.
Dari beberapa pengertian di atas, jelas komunikasi politik adalah suatu proses
komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. Faktor

ini pula yang membedakan dengan disiplin komunikasi lainnya seperti komunikasi
5
6

7
8

Pawito, 2009: 5
Nasution, 1990: 24

Ibid, 25
Rush dan Althoff, 1997: 24

pendidikan, komunikasi bisnis, komunikasi antar budaya, dan semacamnya. Perbedaan itu
terletak pada isi „pesan‟. Artinya komunikasi politik memiliki pesan yang bermuatan
politik, sementara komunikasi pendidikan memiliki pesan-pesan

yang bermuatan

pendidikan. Jadi untuk membedakan antara satu disiplin dengan disiplin lainnya dalam

studi ilmu komunikasi, terletak pada sifat atau pesannya.
Komunikasi politik harus dilakukan dengan intensif dan persuasif agar
komunikasi dapat berhasil dan efektif. Adapun faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dari komunikasi politik yaitu; status komunikator, kredibilitas komunikator, dan daya
pikat komunikator. Carl Hoveland, seorang ahli komunikasi mengatakan bahwa
terbentuknya sikap suatu proses komunikasi selalu berhubungan dengan penyampaian
stimuli yang biasanya dalam bentuk lisan oleh komunikator kepada komunikan guna
mengubah perilaku orang lain9. Pendapat Hoveland ini menyangkut efek dari suatu proses
komunikasi persuasif. Asumsi dasar dari Hoveland adalah bahwa sikap seseorang
maupun perubahannya tergantung pada proses komunikasi yang berlangsung apakah
komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan diterima dengan baik.

Komunikasi Politik dan Opini Publik
Dalam banyak ulasan tentang komunikasi politik diketahui adanya keterkaitan
komunikasi politik dengan proses pembentukan opini publik. Di sisi lain, opini publik
sendiri merupakan suatu kompleksitas pilihan-pilihan yang dinyatakan oleh banyak orang
berkaitan dengan sesuatu isu yang dipandang penting oleh umum10. Menurutnya, definisi
ini relatif lebih bersifat akademik dan berbeda dari definisi-definisi yang pada umumnya
digunakan oleh para politisi. Ia juga menambahkan bahwa opini publik itu selalu
melibatkan banyak orang yang tertarik untuk memikirkan sesuatu isu dalam waktu yang

cukup panjang. Meskipun demikian, istilah “publik” sendiri tidak selalu ditentukan oleh
banyaknya jumlah orang yang menganut opini tersebut. Istilah “publik” justru diukur oleh
apakah sesuatu opini itu menyangkut isu publik atau tidak.
Publik juga ditandai oleh adanya sesuatu isu yang dihadapi dan dibincangkan
oleh kelompok kepentingan yang dimaksud. Selain itu, publik juga bersifat kontroversial,
sehingga dapat mengundang terjadinya proses diskusi11. Sedangkan dalam konteks
politik, opini publik baru dikatakan relevan dan menjadi salah satu faktor politik jika

9

Nimmo, 2005;125
Hennessy, 1975: 1
11
Nasution, 1990; 94
10

dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan sesuatu
keputusan oleh para penyelenggara negara dan para politisi lainnya12. Karena itu opini
publik dapat saja bermula dari gagasan individual yang kemudian mendapat perhatian
pemerintah dan dipandang penting oleh publik.

Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan opini publik memegang peranan penting
dalam komunikasi politik terutama berkaitan dengan partai politik, meskipun pada
praktiknya tidak secara langsung menentukan kebijakan publik. Melalui proses
komunikasi politik, suatu opini dapat berubah menjadi

opini publik sesuai dengan

kepentingan pihak-pihak yang memprakarsai berlangsungnya komunikasi. Karena
sifatnya seperti media massa, ataupun tumbuh secara alamiah di tengah-tengah dinamika
sosial politik sesuatu masyarakat. Dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan
dalam arti yang luas, opini publik senantiasa menjadi pertimbangan penting bagi
masyarakat dalam menilai suatu partai politik. Sedangkan dari sisi prosesnya, opini
publik dapat terbentuk melalui kegiatan komunikasi politik, baik yang dilakukan oleh
sumber-sumber individual mapun kolektif seperti partai politik.

Citra Politik
Dalam kajian komunikasi politik, salah satu tujuan komunikasi politik adalah
membentuk citra politik yang baik pada khalayak. Citra politik terbentuk berdasarkan
informasi yang diterima, baik langsung maupun melalui media politik, termasuk media
sosial dan media massa yang bekerja menyampaikan pesan politik yang umum dan

aktual. Citra merupakan sesuatu yang abstrak dan komplek serta melibatkan aspek emosi
(afeksi) dan aspek penalaran (kognisi). Dalam kaitannya dengan dunia politik, citra
memiliki peranan dalam memberikan gambaran seseorang mengenai berbagai masalah
politik. Anwar Arifin menuliskan: “Citra politik dapat dipahami sebagai gambaran
seseorang tentang politik (kekuasaan, kewenangan, otoritas, kerjasama, konflik dan
konsensus) yang memiliki makna, kendatipun tidak selamanya sesuai dengan realitas
politik yang sebenarnya13.
Citra politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian dan
identifikasi dengan peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik. Citra membantu
memberikan alasan yang dapat diterima secara subjektif tentang mengapa segala sesuatu
hadir sebagaimana tampaknya, tentang preferensi politik, dan tentang penggabungan
12
13

Kousoulas, 1979: 110
Arifin, 2011: 177

dengan orang lain14. Citra politik memiliki peran penting bagi berbagai elemen politik
seperti lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan partai politik, serta para politikus dan
pemimpin politik sangat perlu membangun citra politik yang baik. “Di antara semua
lembaga politik tersebut, yang paling perlu melakukan upaya pencitraan adalah partai
politik, karena partai politik itu berkompetisi atau bersaing dengan sejumlah partai
lainnya, terutama dalam aktivitas memenangkan pemilihan umum yang berlangsung
secara periodik15.
Apabila suatu partai politik tidak melakukan kinerja yang baik, tidak mempunyai
konsistensi dan integritas, maka citra yang melekat di benak rakyat akan menjadi buruk.
Citra yang melekat di benak individu-individu itu akan tersimpan dalam kesadaran
kolektif rakyat, sehingga semua perilaku partai politik terutama yang disiarkan berulangulang oleh media massa atau media sosial tidak akan terhapus begitu saja. Semua
informasi mengenai perilaku partai politik yang didapatkan rakyat dari media massa dan
media sosial tersebut, akan tersusun menjadi sebuah persepsi mengenai citra partai
politik.

PEMBAHASAN
Menurunnya elektabilitas Partai Demokrat menjelang pemilu 2014 berdasarkan
hasil beberapa lembaga survei sungguh merupakan sebuah ironi dari partai penguasa yang
sekarang sedang memerintah. Pada pemilu 2009 Partai Demokrat memenangkan pemilu
legislatif, karena partai ini dianggap memiliki strategi yang baik dalam menanamkan citra
positif di benak masyarakat sehingga mampu mengantar partai tersebut pada kemenangan
telak di pemilu kemarin.
Banyak program Partai Demokrat yang mampu mengambil hati masyarakat
Indonesia untuk memberikan dukungan terhadap partai tersebut. Salah satu program dari
Partai Demokrat yang sangat terkenal adalah program pemberantasan korupsi16. Namun
program-program anti korupsi yang pada pemilu sebelumnya menjadi senjata ampuh bagi
Partai Demokrat untuk merebut simpati hati rakyat, sekarang seakan berbalik menjadi
senjata makan tuan. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh Partai Demokrat yang dulu menjadi
publik figure dalam iklan politik partai dengan slogannya “katan tidak pada korupsi”,
14

Nimmo, 2005: 8
Arifin, Op. Cit. 179
16
Yuristyar, 2013
15

sekarang satu-persatu pemeran dalam iklan politik itu menjadi tersangka kasus korupsi,
bahkan sudah ada yang divonis hukuman.
Menurut hasil survei Nasional yang bertajuk "Membaca Kecenderungan Sikap
dan Perilaku Pemilih dalam Pemilu Legislatif 2014", sebanyak 49 persen dari 2010
responden menyebut korupsi sebagai faktor kegagalan terbesar partai politik17. Hal ini
menunjukkan sikap apatisme masyarakat kepada partai politik yang mana para politisinya
banyak tersandung kasus korupsi.
Kasus-kasus skandal korupsi yang menjerat kader-kader Partai Demokrat dalam
setahun ini sangat mendominasi wacana perbincangan publik. Perbincangan publik terjadi
karena dipicu oleh pemberitaan media massa tentang skandal korupsi kader demokrat
secara massif. Pemberitaan media massa inilah yang memberikan informasi kepada
masyarakat bagaimana perilaku kader-kader demokrat diberitakan ke ranah publik.
Informasi-informasi media maasa ini yang nantinya akan membentuk pandangan dan
persepsi masyarakat terhadap Partai demokrat akan berubah.
Lawrance dan Wilbur Schramm mengemukakan bahwa informasi adalah setiap
hal yang membantu kita dalam menyusus atau menukar pandangan tentang kehidupan.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa informasi adalah semua hal yang dapat dipakai
dalam bertukar pengalaman. Jadi, informasi dalam komunikasi politik dapat berarti: sikap
politik, dan pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu kader partai
politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua hal harus dianalisis
sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung sebuah kemungkinan alternatif.
Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan berkomunikasi (melakukan
komunikasi politik)18. Informasi yang diberitakan oleh media massa tentang skandal
korupsi kader Partai Demokrat bisa juga dimaknai sebagai tindakan politik.
Dalam kajian ilmu komunikasi banyak teori yang membahas tentang efek media
massa, salah satunya adalah teori kultivasi. Teori ini mengemukakan bahwa terpaan
pesan dan informasi dari media massa yang secara terus-menerus diterima oleh
seseorang, lambat laun dapat menimbulkan efek-efek tertentu pada seseorang. Efek-efek
tersebut meliputi perubahan kognitif, afektif, dan konatif. Menurunnya persepsi publik
terhadap Partai Demokrat tidak terlepas dari terus-menerusnya pemberitaan skandal
korupsi yang menjerat para kader Partai Demokrat. Pemberitaan media massa tentang
suatu isu secara massif mampu memperkuat persepsi khalayak terhadap realitas sosial.
17
18

Detiknews.com, 2013. Faktor Utama Kegagalan Parpol karena Korupsi Bukan Berita
Arifin, Op. Cit. 179

Walaupun, pada kenyataannya, realitas sosial itu tidak sama dengan realitas media massa,
karena realitas sosial acapkali direkonstruksi oleh media massa. Namun demikian,
khalayak masih cenderung mempercayai realitas yang telah direkonstruksi oleh media
massa.
Perubahan persepsi masyarakat terhadap Partai Demokrat akan membentuk citra
partai. Karena pada hakikatnya citra adalah konstruksi atas representasi dan persepsi
khalayak terhadap individu, kelompok, atau lembaga yang terkait dengan kiprahnya
dalam masyarakat19. Partai Demokrat sebagai lembaga yang berkiprah dalam masyarakat
tidak terlepas dari pandangan individu-individu maupun kelompok-kelompok yang ada di
masyarakat yang selalu mengikutinya. Citra masyarakat tentang Partai Demokrat terjalin
melalui pikiran, perasaan, dan sikap.
Dalam upaya memenangkan pemilu 2014 Partai Demokrat memiliki urgensi
memperoleh citra positif di mata masyarakat. Namun, dalam realitasnya citra dan persepsi
negatif publik terhadap Partai Demokrat telah mereduksi potensi dukungan suara
masyarakat menjelang pemilu 2014. Oleh karenanya, Partai Demokrat perlu membuat
strategi baru agar citra negatif partai di masyarakat tidak semakin buruk, dan elektabilitas
partai bisa naik lagi. Secara esensial, citra partai politik termasuk Partai Demokrat itu bisa
diciptakan, dimanipulasi, dan diperkuat dengan komunikasi politik yang intensif.

KESIMPULAN
Pemberitaan media massa baik cetak dan elektronik tentang skandal korupsi para
kader Partai Demokrat telah berdampak terhadap citra positif partai menjelang pemilu
2014. Penurunan citra positif partai ini terlihat dari makin rendahnya elektabilitas Partai
Demokrat di mata masyarakat di banding partai-partai politik lainnya. Hal ini didasarkan
pada hasil beberapa lembaga survei yang melakukan pengamatan secara periodeik di
lapangan.
Salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya elektabilitas Partai Demokrat
adalah skandal korupsi yang menjerat kader partai. Pemberitaan media massa secara
massif tentang skandal korupsi ini telah memberi informasi kepada masyarakat untuk
mengubah pandangan dan persepsinya terhadap citra Partai Demokrat. Masyarakat
seringkali mempersepsikan kredibilitas individu seseorang sangat berkaitan dengan
tindakan partai sebagai lembaga yang berkiprah dalam masyarakat.

19

Arifin. Op. Cit. 180

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. (2011). Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi
dan Komunikasi Politik Indonesia. Yogyakarta, Graha Ilmu.
Dan Nimmo. (1905). Komunikasi Politik, Khalayak, dan Efek. Bandung, Remadja Karya.
Detiknews. (2013). Survei Pol-Tracking: Elektabilitas Partai Demokrat dan PKS Turun
Drastis. Diakses 22 Januari 2014 dari
http://news.detik.com/read/2013/12/20/073459/2447307/10/survei-pol-trackingfaktor-utama-kegagalan-parpol-karena-korupsi-bukan-berita
_______. (2013). Survei Pol-Tracking: Faktor Utama Kegagalan Parpol karena Korupsi
Bukan Berita. Diakses 22 Januari 2014 dari
http://news.detik.com/read/2013/12/22/161434/2448884/10/survei-pol-trackingelektabilitas-partai-demokrat-dan-pks-turun-drastis
Hennessy, Bernard. (1975). Essentiaoof Public Opinion. Massachusetts: Duxbury Press
Kompas.com. (2013). Survei "Kompas", Konvensi Gagal Dongkrak Demokrat?. Diakses
tanggal 21 Januari 2014 dari
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/10/0603542/Survei.Kompas.
Konvensi.Gagal.Dongkrak.Demokrat
Kousoulas, D. George. (1979). On Goverment and Politics. Massachusetts: Duxbury
Press
Nasution, Zulkarimein. (1990). Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Pawito. (2009). Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan.
Yogyakarta: Jalasutra
Republika Online. (2014). Pengamat: Berat Perbaiki Citra Demokrat. Diakses tanggal 21
Januari 2014 dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/01/15/mzeqfl-pengamatberat-perbaiki-citra-demokrat
Rush dan Althoff. (1997). Pengantar Sosial Politik. Jakarta: Raja Grafindo
Yuristyar, Nisya Annisa. (2013). Terpaan Pemberitaan Tentang Partai Demokrat Di
Televisi, Persepsi Dan Orientasi Mahasiswa Terhadap Partai Demokrat. Diakses
23 Januari 2014 dari
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=31165

Lampiran Curriculum Vitae Penulis

Akhirul Aminulloh, S.Sos., M.Si merupakan dosen tetap Program Studi Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi
Malang sejak tahun 2005. Mengenyam pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah
Malang, Jurusan Ilmu Komunikasi dan lulus tahun 2002, kemudian melanjutkan magister
Ilmu Komunikasi di Universitas Sebelas Maret Surakarta, lulus tahun 2010. Selama
menjadi dosen di Unitri Malang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi mulai tahun 2005 sampai 2013, lalu menjadi pengurus ASPIKOM wilayah
Jawa Timur. Sekarang, masih di kampus Unitri Malang menjabat Kepala Laboratorium
Jurnalistik.