50192645 Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

KATA PENGANTAR

Assalamu „alaikum Wr. Wb. Karya tulis yang berjudul “Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru Dalam

Menegakkan Kedaulatan Wilayah NKRI ” ini dimaksudkan untuk ikut berpartisipasi dalam Lomba Karya Tulis dalam rangka memperingati Hari Dharma Samudera Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Dinas Penerangan Angkatan Laut, Mabes TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur.

Untuk memahami semangat Pertempuran Laut Aru (PLA) secara tepat dan benar, maka diperlukan pemahaman sejarah dalam konteks pembebasan Irian Jaya. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah aktuaisasi semangat PLA dalam konteks kekinian ? Tulisan ini mencoba untuk menguraikan mengenai sejarah PLA dalam konteks pembebasan Irian Jaya. Kemudian, diuraikan pula, bahwa aktualisasi kekinian dari semangat PLA adalah pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI. Keduanya memiliki semangat yang sama, yaitu mempertahankan keutuhan wilayah dan menegakkan kedaulatan NKRI, sesuai dengan amanat UUD 1945.

Demikian, karya tulis ini disusun, dengan harapan semoga keberadaannya dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia. Akhirnya, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang saya dapatkan untuk ikut dalam Lomba ini, dan mohon maaf atas segala kekurangan. Selamat Hari Dharma Samudera Tahun 2011, semoga jasa dan semangat kepahlawanan Yos Soedarso dan prajurit TNI AL lainnya dapat selalu dikenang dan diteladani oleh kita semua. Amiin.

Wassalam. Kuningan, 08 Desember 2010

Dra. Sri Endang Susetiawati

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHALUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Maksud dan Tujuan BAB II. PERTEMPURAN LAUT ARU DALAM KONTEKS SEJARAH

3 PEMBEBASAN IRIAN JAYA

2.1. Belanda, Ternyata Ingkari KMB

2.2. Trikora : Jalan Diplomasi Buntu, Operasi Militer Ditempuh

2.3. Misi Infiltrasi Dimulai, Sang Pahlawan Gugur

2.4. Akhirnya, Belanda Menyerah Juga

20 BAB III. PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR DAN

2.5. Irian Jaya, Kembali ke NKRI

23 WILAYAH PERBATASAN RI

3.1. Perlu Perhatian Kusus dan Serius

3.2. Beragam Masalah Akibat Terabaikan

2.3. Kejahatan Tingkat Tinggi

2.4. Perpres No. 78/2005

29 BAB IV. PENUTUP

2.5. Peran TNI

4.1. Kesimpulan

4.2. Saran

BAB I PENDAHULUAN

1.2. Latar Belakang

Pertempuran Laut Aru (PLA), setiap tahun selalu diperingati sebagai hari Dharma Samudera oleh keluarga besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), termasuk para veteran, purnawirawan dan warakawuri. Peristiwa pertempuran antara tiga KRI jenis MTB dan tiga kapal perang jenis freegat, korvet dan destroyer milik Belanda, yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1962 itu dinilai memiliki makna historis yang sangat penting bagi bangsa, khususnya bagi keluarga besar TNI AL. Sehingga, peringatan Hari Dharma Samudera dianggap bukan sekedar kegiatan yang bersifat rutinitas dan seremonial belaka, tapi ada makna sejarah dan semangat juang yang dapat diambil bagi generasi berikutnya.

Untuk memahami makna sejarah atau suatu peristiwa di masa lampau, menurut Hariyono (1995), kita tidak dapat keluar dari konteks sejarah yang mengiringi atau melatarbelakanginya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi anakronisme sejarah, yakni meletakkan sejarah dan menilai suatu peristiwa, baik tokoh, rangkaian peristiwa maupun latarnya secara kurang tepat, atau bahkan salah. Akibatnya, kita akan kehilangan perspektif waktu, jiwa dan semangat jaman yang dipelajari dari

suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut. 1 Oleh karena itu, untuk memahami makna Pertempuran Laut Aru (PLA) secara

benar dan tepat, maka kita perlu memahami terlebih dahulu konteks sejarah atau peristiwa masa lampau yang melatarbelakanginya. Makna dan semangat dari PLA akan kita dapatkan secara benar dan tepat pula. Selanjutnya, agar kita tidak terjebak pada nostalgia masa lalu semata atau terkungkung pada semangat kepahlawanan yang beku dan statis, maka kita perlu memahami relevansinya atas kehidupan bangsa dan negara dalam konteks kekinian. Kita perlu memahami, bagaimana

1 Hariyono, 1995, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, hal. 17.

aktualisasi semangat PLA dalam konteks perkembangan bangsa dan negara saat sekarang dan di masa depan.

Berdasarkan atas latar belakang pemikiran tersebut diatas, maka beberapa pertanyaan yang layak diajukan, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sesungguhnya peristiwa PLA dalam konteks sejarah pembebasan Irian Jaya ?

2. Apa makna dan semangat PLA yang dapat kita petik dan diteladani ?

3. Apa relevansi makna dan semangat PLA bagi bangsa Indonesia saat ini, dan masa yang akan datang ?

4. Bagaimana aktualisasi semangat PLA dalam menegakkan kedaulatan wilayah NKRI untuk saat ini dan di masa yang akan datang ?

Karya tulis ini berusaha untuk memberikan jawaban dan penjelasan atas sejumlah pertanyaan di atas. Bab II menguraikan PLA dalam konteks sejarah pembebasan Irian Jaya, beserta makna dan semangat yang dapat dipetik dan diteladani. Sedangkan Bab III menguraikan tentang relevansi dan aktualisasi semangat PLA dalam menegakkan kedaulatan wilayah NKRI dalam bentuk pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari pembuatan karya tulis ini adalah ikut serta dalam Lomba Karya Tulis yang dielenggarakan oleh Dispenal dalam rangka memperingati Hari Dharma Samudera tahun 2011. Adapun tujuannya adalah ikut memberikan sumbangan pemikiran, pendapat atau saran terkait memaknai peristiwa PLA, dan relevansinya bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB II PERTEMPURAN LAUT ARU DALAM KONTEKS SEJARAH PEMBEBASAN IRIAN JAYA

Pertempuran Laut Aru adalah peristiwa di masa lampau dalam konteks sejarah pembebasan Irian Jaya 2 dari kekuasaan Kerajaan Belanda. Pembebasan Irian Jaya

merupakan salah satu program pemerintahan Kabinet Kerja yang terbentuk setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Program ini mengacu pada dua hal penting, yakni hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan realisasinya yang tidak sesuai dengan isi persetujuan, dimana Kerajaan Belanda secara nyata telah mengingkarinya. Pembebasan Irian Jaya pada hakikatnya merupakan tuntutan nasional secara mutlak, dimana seluruh komponen bangsa menyetujui dan mendukungnya secara penuh.

KMB yang berlangsung di Denhaag pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 berhasil mencapai persetujuan dari kedua belah pihak, yakni antara pihak

Indonesia dan pihak Belanda, mengenai “penyerahan kedaulatan 3 ” atas Indonesia. Pasal 1 Persetujuan KMB berbunyi “Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan

sepenuhnya atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan tidak bersyarat dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia

Serikat (RIS) sebagai negara yang berdaulat”. 4 Namun demikian, KMB tidak berhasil menyelesaikan salah satu masalah penting

yang masih diperdebatkan, yaitu penyerahan kekuasaan oleh Kerajaan Belanda atas Irian Jaya kepada Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut dicapailah suatu

2 Irian Jaya, dahulu Irian Barat, kini Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat. 3 Naskah resmi KMB menyebut istilah penyerahan kedaulatan. Namun, Indonesia memakai istilah pengakuan kedaulatan, karena sejak tanggal 17 Agustus 1945, RI sebagai organisasi politik bangsa

Indonesia telah memiliki kedaulatan atas seluruh Indonesia. RIS adalah penerus dari RI sebagai pemegang kedaulatan atas seluruh Indonesia. Karena itu, Belanda pada hakikatnya mengakui kedaulatan yang sudah ada pada pihak Indonesia saat itu. Lihat Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI, 1984, Jakarta : Balai Pustaka, hal. 171.

4 Notosutardjo, Dokumen Konferensi Meja Bundar, hal. 69.

kompromi di antara kedua belah pihak, yang tercantum pada pasal 2 ayat f Piagam Penyerahan Kedaulatan, yang berbunyi :

“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan azas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau timbul, diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, status-quo Irian (Nieuw-Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan-jalan perundingan

antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland.” 5 Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan upacara penandatanganan naskah

“penyerahan” kedaulatan di dua tempat. Di Amsterdam, Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen dan Ketua Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta, yang saat itu sebagai Perdana Menteri RIS, bersama-sama me mbubuhkan tandatangan pada naskah “penyerahan” kedaulatan kepada RIS. Sedangkan di Jakarta, dalam suatu upacara juga, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mewakili pemerintah RIS dan Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink mewakili pemerintah Kerajaan Belanda, membubuhkan tandatangan pada

naskah “penyerahan” kedaulatan yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara formal sejak saat itu Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui kedaulatan penuh suatu negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hinda Belanda, kecuali Irian Jaya yang pembicaraannya akan dilakukan setahun kemudian.

Pengertian “penyerahan” kedaulatan dari pihak Belanda kepada RIS, tidak mengurangi anggapan bahwa Republik Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah memiliki kedaulatan (de jure) terhadap seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Dalam perjalanan berikutnya, kedaulatan itu diserahkan oleh RI kepada RIS sesaat menjelang pelaksanaan KMB, yang kemudian kedaulatan itu dikembalikan lagi kepada RI setelah pembubaran RIS secara resmi pada tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian, pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh pihak

5 Ibid

Belanda adalah mengakui kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayah nasionalnya sendiri, yang dalam hal ini diwakili oleh RIS. 6

2.1. Belanda, Ternyata Ingkari KMB

Setelah satu tahun lebih berlalu, sejak penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, faktanya Kerajaan Belanda telah mengingkari isi persetujuan KMB yang menyangkut masalah Irian Jaya. Usaha- usaha untuk mengadakan perundingan secara bilateral telah dilakukan oleh pihak Indonesia agar Belanda mau membicarakan masalah “penyerahan” Irian Jaya sesuai isi persetujuan KMB. Namun, semua usaha tersebut ternyata telah menemui kegagalan karena pihak Belanda memang tidak bersedia untuk berunding dan membahas masalah sengketa yang belum diselesaikan.

Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan

menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan.

Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat terkesan makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk

6 Untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut mengenai pengakuan kedaulatan atas suatu negara yang baru berdiri, lihat S. Tasrif, S.H., 1990, Hukum Internasional tentang Pengakuan Kedaulatan dalam Teori dan

Praktek, Jakarta : Abardin.

menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi.

Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk m embentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut.

Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah terjadinya anarkisme dan memenuhi tuntutan aspirasi dari rakyat, maka pengambil- alihan tersebut akhirnya dilakukan dan dibawah kendali oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) selaku Penguasa Perang Pusat, untuk kemudian diserahkan

langsung kepada pemerintah. 7 Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan

Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif.

7 Antara, 14 Desember 1957

Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960, Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya :

“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral ...... Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap

kami.” 8 Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan

dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari tangan Belanda. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu sekutunya saat itu, yaitu Belanda.

Rencana pembelian senjata kemudian dialihkan kepada negara-negara Blok Komunis, terutama Uni Soviet. Pada bulan Desember 1960, sebuah misi pertama dibawah pimpinan Menteri Keamanan Nasional/KASAD Jenderal A.H. Nasution bertolak ke Moskow, dan ternyata berhasil mengadakan suatu perjanjian pembelian senjata senilai US $ 2,5 milyar dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Misi tersebut kemudian disusul dengan misi kedua dan ketiga pada tahun 1961, sebagai bentuk penyempurnaan dan tambahan dari misi yang pertama.

8 Pidato Presiden Soekarno di PBB (1957), Membangun Dunia Kembali, Panitia Pembina Djiwa Revolusi, Pantjawarsa Manipol, hal. 183-184. Dikutip dari SNI VI, hal. 333.

Dari Uni Soviet, Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain

41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-

19 ,20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni

Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat. 9 Selain dari Uni Soviet, Indonesia pun membeli sejumlah besar peralatan tempur

dari Jerman Barat, Italia dan Yugoslavia. Salah satu peralatan militer yang didatangkan untuk memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk

awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. 10 Selanjutnya, masih pada tahun 1961 juga, Jenderal A.H. Nasution melakukan

sejumlah kunjungan ke sejumlah negara, antara lain India, Pakistan, Muangthai (Thailand), Philipina, Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis dan Inggris. Misinya adalah untuk menjajagi sikap dari negara-negara tersebut, seandainya terjadi perang antara Indonesia dan Belanda. Kesimpulan dari misi ini adalah negara-negara yang dikunjungi tidak ada yang terkait dengan Belanda untuk bantuan bidang militer, meskipun mereka menekankan agar sebisa mungkin perang dapat dihindari, dan bahkan ada negara yang mendukung posisi Belanda.

9 Lihat Wikipidia, Operasi Trikora, Bahasa Indonesia. 10 Adi Patrianto, 2007, Hari Dharma Samudera Perjuangan Menegakkan Kedaulatan Negara, Artikel

Digital, Cakrawala TNI AL

Berbagai upaya dari pihak Indonesia seperti yang tersebut di atas, mulai menyadarkan pihak Belanda bahwa jika masalah Irian Barat tidak diserahkan secara damai

berusaha untuk memperjuangkannya dengan kekuatan militer. Artinya, Indonesia telah bertekad dan bersiap penuh untuk melakukan perang terhadap Belanda untuk merebut wilayah Irian Jaya. Sebagai reaksi awal, Belanda melakukan protes melalui PBB, dengan menuduh Indonesia akan melakukan agresi militer. Selanjutnya, Belanda memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan sejumlah kapal perangnya ke perairan Irian, di antaranya adalah kapal induk Karel Doorman.

Perkembangan terakhir atas sengketa Indonesia dan Belanda ini telah membuat masalah Irian Barat akhirnya memperoleh perhatian lebih serius dalam sidang Majelis Umum PBB tahun 1961. Atas insiatif Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, U Thant, yang berasal dari Birma (kini Mayanmar), maka salah seorang diplomat Amerika Serikat, bernama Ellsworth Bunker, mengajukan usul penyelesaian masalah Irian Barat kepada kedua belah pihak yang bersengketa. Inti pokok dari usul Bunker tersebut adalah “agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia 11 , melalui PBB dalam waktu dua tahun”.

Usulan Bunker ini ditanggapi secara berbeda oleh kedua belah pihak yang saling bersengketa. Pihak Indonesia, pada prinsipnya menyetujui atas usulan tersebut dengan catatan agar waktu penyerahan Irian Barat dapat diperpendek dari dua tahun. Sementara itu, pihak Belanda bersikap sebaliknya, dengan menyatakan bahwa Belanda hanya mau melepaskan Irian barat dengan terlebih dahulu membentuk perwakilan di bawah PBB, untuk kemudian membentuk sebuah Negara Papua di wilayah Irian Barat. Sikap keras kepala dari pihak Belanda inilah yang kemudian disambut oleh pihak Indonesia dengan sikap dan kebulatan tekad untuk mengadakan suatu “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang

11 Dua puluh lima tahun Dep. Luar Negeri RI, 1971, Djakarta, hal. 97. Dikutip dari SNI VI, hal. 333 11 Dua puluh lima tahun Dep. Luar Negeri RI, 1971, Djakarta, hal. 97. Dikutip dari SNI VI, hal. 333

3.2. Trikora : Jalan Diplomasi Buntu, Operasi Militer Ditempuh

Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mencanangkan gerakan pembebasan Irian Barat dengan mengucapkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta. Isi Trikora yang sebelumnya dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional itu adalah sebagai berikut :

1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua”, negara boneka bentukan kolonial Belanda.

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Jaya, tanah air Indonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum dalam mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia. 13

Dengan telah diucapkannya Trikora oleh Presiden RI, maka hubungan Indonesia – Belanda memasuki babak baru, yakni konfrontasi secara total. Hal ini berarti Indonesia telah menyatakan kesiapannya untuk berkonfrontasi secara militer berhadapan dengan kekuatan perang negara bekas penjajahnya. Sebuah situasi yang kemudian menimbulkan kekhawatiran serius dari sejumlah negara lain. Mereka menganggap situasi tersebut berpotensi akan memicu terjadinya perang baru yang melibatkan dua blok negara besar, yaitu Blok Barat (dipelopori oleh Amerika Serikat) dan Blok Timur (dipelopori oleh Uni Sovyet).

Selanjutnya, pada tanggal 2 Januari 1962, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Hasil dari rapat tersebut, Presiden RI/Pangti ABRI/Panglima Besar Koti Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan No. 1 tahun 1962, yang intinya adalah sebagai berikut :

12 Pidato Presiden Soekarno, tgl 17 Agustus 1962, Tahun Kemenangan, hal. 324. Ibid. 13 SNI VI, hal. 334.

1. Membentuk Provinsi Irian Barat gaya baru, dengan putra Irian sebagai Gubernurnya, dengan ibukota Kotabaru (kini bernama Jayapura, dulu pada zaman Belanda bernama Hollandia).

2. Membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Jaya, yang langsung memimpin kesatuan-kesatuan ABRI dalam tugas merebut Irian Jaya. 14

Sesuai dengan Trikora, maka kesiapsiagaan di semua bidang terus diperkuat. Antara lain, sistem gabungan Kepala Staf diubah dan pimpinan Angkatan Bersenjata langsung dibawah Panglima Tertinggi. Angkatan Udara RI meresmikan pembentukan Komando Regional Udara (Korud) I – IV.

Adapun susunan Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat adalah sebagai berikut :

1. Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat :

Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno.

2. Wakil Panglima Besar : Jenderal A.H. Nasution

3. Kepala Staf : Letnan Jenderal Achmad Yani. Sedangkan susunan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat adalah sebagai

berikut :

1. Panglima Mandala : Mayor Jenderal Soeharto

2. Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono

3. Wakil Panglima II : Letkol Udara Leo Wattimena

4. Kepala Staf Umum : Kolonel Achmad Taher. Panglima Komando Mandala dilantik pada tanggal 13 Januari 1962, dengan

menaikkan pangkat Brigjen Soeharto menjadi Mayjen, sekaligus merangkap sebagai Deputy KASAD untuk wilayah Indonesia bagian timur. Komando Mandala Pembebasan Irian Barat bermarkas di Makassar.

14 H.U. Merdeka, 3 Januari 1962

Pada tahap perkembangan berikutnya, Trikora diperjelas lagi dengan Instruksi Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada Panglima Mandala, yang isinya adalah sebagai berikut :

1. Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan operasi-operasi militer, dengan tujuan untuk mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan negara RI.

2. Mengembangkan situasi di wilayah Provinsi Irian Barat : (a) sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi; (b) supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya Provinsi Irian Barat dapat

secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas / atau didudukkan unsur kekuasaan / pemerintahan daerah RI.

Sebagai tindak lanjut dari Instruksi di atas, maka Panglima Mandala menyusun suatu strategi, yang disebut dengan strategi Panglima Mandala. Untuk mencapai strategi tersebut, setelah memperhitungkan kemampuan Angkatan Bersenjata pada umumnya, sesuai dengan kajian staf Gabungan Kepala Staf, maka pelaksanaan penyelesaian tugas adalah sebagai berikut :

1. Fase Infiltrasi (Sampai akhir 1962) Infiltrasi dilakukan dengan cara menyusupkan 10 kompi di sekitar sasaran-

sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas secara de facto, yang cukup ulet sehingga tidak dapat dihancurkan secara bagian demi bagian oleh kekuatan musuh. Justru, kesatuan-kesatuan infiltran (para penyusup) ini harus dapat menundukkan dan mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Jaya.

2. Fase Eksploitasi (Awal 1963) Eksploitasi dilakukan dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk

militer lawan, dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.

3. Fase Konsolidasi (Awal 1964) Konsolidasi dilakukan dengan mendudukkan kekuasaan RI secara mutlak di

seluruh wilayah Irian Jaya. 15

2.3. Misi Infiltrasi Dimulai, Sang Pahlawan Gugur

Pada tahap paling awal, misi infiltrasi dilakukan dengan menyusupkan pleton tugas ke Irian Barat (Vlakte Hoek), yang personelnya kebanyakan berasal dari Irian yang telah dilatih oleh ADRI. Sementara itu, ALRI juga mendapat tugas untuk membawa pleton tugas ini, setelah sebelumnya AURI pun telah mengantar satgas yang lain ke Letfuan. Saat awal infiltrasi ini, misi penyusupan lebih merupakan sebuah task force, dan belum menjadi sebuah operasi gabungan. Karena, pada saat itu koordinasi antar Angkatan dapat dikatakan masih kurang baik. 16

Untuk melaksanakan operasi infiltrasi ini, Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) mengerahkan 4 (empat) kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat), yaitu KRI Harimau, KRI Matjan Tutul, KRI Matjan Kumbang dan KRI Singa. Kolonel Laut Soedomo, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Operasi MBAL ditunjuk sebagai Komandan Eskader. Akan tetapi, pada saat pelaksanaan operasi, Komodor Josaphat Soedarso, - atau Yos Soedarso, - saat itu menjabat sebagai Deputi I Operasi KASAL ternyata juga ikut serta dalam operasi dengan menaiki KRI Matjan Tutul.

Keikutsertaan Komodor Yos Sudarso secara langsung dalam operasi infiltrasi ini sebenarnya merupakan suatu ketidaklaziman dalam suatu operasi militer. Mengingat, dari segi kepangkatan Komodor Yos Soedarso memiliki pangkat setingkat lebih tinggi di atas Kolonel Soedomo, yang menjadi Komandan Eskader dalam operasi. Komodor adalah pangkat yang setingkat dengan Laksamana Pertama, atau perwira tinggi AL bintang satu. Saat itu, Kolonel Soedomo

berpendapat bahwa keikutsertaan Komodor Yos Soedarso secara langsung dalam

15 Brigdjen Achmad Tahir, “Soal Mandala dan Irian Barat”, karja Wira Djati, No. 9/1963, hal. 360. Dikutip dari SNI VI, hal. 338.

16 Budhi Achmadi, 2008, Pertempuran Laut Aru, Artikel Digital. Pernah dimuat di Majalah Intisari, bulan Juli 2000, hasil wawancara dengan Marsekal (Purn) Saleh Basarah.

operasi infiltrasi dapat mengacaukan chain of command (rantai komando) dalam sebuah operasi militer. 17

Namun, dikarenakan semangat bertempur yang sangat tinggi dimiliki oleh Komodor Yos Soedarso, maka beliau tetap saja ikut serta secara langsung dalam operasi infiltrasi. Saat itu, Komodor Yos Soedarso berkata kepada Kolonel Soedomo, “Kalau kamu ikut, aku juga akan ikut”. Selanjutnya, Kolonel Soedomo menjelaskan bahwa Komodor Yos Soedarso bertekad akan menancapkan bendera merah putih secara langsung dengan tangannya sendiri di atas tanah Irian Jaya. Komodor Yos Soedarso juga akan membawa segenggam tanah langsung dari

asalnya, Irian Jaya, untuk ditunjukkan kepada anggota Dewan. 18 Persiapan keempat KRI untuk melaksanakan operasi segera dimulai di

Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Karena operasi ini dipersiapkan untuk mengangkut pasukan, maka diputuskan bahwa persenjataan utama yang merupakan andalan kapal perang jenis MTB ini, yaitu Torpedo 12 inchi, terpaksa

harus “dikorbankan” atau dipreteli terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kapal memiliki ruang yang lebih besar sehingga dapat mengangkut pasukan lebih banyak

dan sejumlah perahu karet untuk melakukan pendaratan. Sebuah keputusan yang kemudian berakibat fatal saat mereka terpaksa harus berhadapan dengan kapal

perang milik musuh di tengah lautan. 19 Misi operasi ini bersifat sangat rahasia agar tidak diketahui oleh pihak musuh,

dalam hal ini angkatan perang Kerajaan Belanda. Sehingga, untuk keperluan pengisian bahan bakar dan tambahan logistik lainnya dalam perjalanan dari Tanjung Priok ke Irian Jaya, keempat KRI harus melakukannya di saat tengah malam hari. Mereka tidak diperkenankan untuk berlabuh di semua pelabuhan yang dilewati. Bahkan, mereka pun dilarang menggunakan radio komunikasi untuk berkomunikasi

17 Wawancara Soedomo (kini Laksamana TNI AL Purn.) dengan MetroTV, Ibid. 18 Ibid 19 Loc.cit. Adi Patrianto.

dengan pihak lain, kecuali dengan sesama KRI MTB peserta operasi (taktik radio silent). 20

Dari keempat KRI itu, ternyata KRI Singa tidak dapat melanjutkan perjalanan sebelum mencapai perairan Irian Barat dikarenakan adanya kerusakan mesin. Sementara itu, sekitar pukul 17.00 waktu setempat, ketiga KRI lainnya terus melanjutkan perjalanan dengan formasi KRI Harimau berada di depan, kemudian KRI Matjan Tutul di tengah dan KRI Matjan Kumbang di belakang. Kol. Soedomo bersama Kol. Mursyid dan Kapten Tondomulyo sebagai kapten kapal berada di KRI Harimau. Sedangkan Komodor Yos Soedarso bersama kapten kapal Wiratno berada di KRI Matjan Tutul.

Hari Senin malam, menjelang pukul 21.00 waktu setempat, tanggal 15 Januari 1962 di perairan Laut Aru, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan yang akan dilewati iringan ketiga kapal KRI. Tanda blips tidak bergerak, yang berarti kapal-kapal perang Belanda itu dalam keadaan berhenti, siap menanti. Ketiga KRI tetap saja melaju ke depan. Lalu, dua pesawat intai maritim AL Belanda jenis Neptune dan Firefly melintas, sambil menjatuhkan flare (merah menyala terang) yang tergantung pada parasut. Keadaan menjadi terang benderang dalam waktu yang cukup lama.

Tepat pada posisi 4,49 derajat Lintang Selatan dan 135,2 derajat Bujur Timur, ketiga KRI dihadang oleh tiga kapal perang AL Kerajaan Belanda. Dua kapal perang jenis Fregat Hr.Ms. Eversten dan Korvet Hr.Ms. Kortenaer mencegat di sebelah kanan KRI. Sementara satu kapal perang lagi, yakni jenis Destroyer Klas Province

Hr. Ms. Utrecht berada di sebalah kiri KRI. 21 Tiba-tiba, kapal perang Belanda melepaskan tembakan peringatan yang jatuh di

samping KRI Harimau. Kol. Soedomo memerintahkan untuk memberi tembakan balasan. KRI Matjan Tutul pun mengikuti untuk melakukan tembakan balasan, namun tidak mengenai sasaran. Selanjutnya, kapal musuh berhasil menembakkan tepat ke arah sasaran mengenai lambung kapal dan ruang kendali KRI Matjan Tutul.

20 Op.cit. 21 Op. Cit

Akibatnya, beberapa anggota pasukan, termasuk kapten kapal Wiratno mengalami luka cukup serius. Dalam keadaan darurat inilah, komando KRI Matjan Tutul kemudian diambil alih langsung oleh Komodor Yos Soedarso.

Untuk beberapa saat lamanya, kontak senjata masih terus berlanjut, yang memperlihatkan suatu pertempuran antara dua kekuatan AL yang tidak seimbang. Ketiga KRI tidak membawa senjata andalannya, yakni Torpedo yang telah dilucuti sebelum berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok. Senjata yang ada hanya berupa senapan mesin anti pesawat terbang, dengan senjata ukuran 12,7 mm dan meriam ukuran 40 mm. Senjata ini tidak akan dapat menjangkau target kapal-kapal perang Belanda, yang dilengkapi dengan persenjataan yang jauh lebih kuat, dengan

meriam berukuran 4,7 inchi (12 cm). 22 Kol. Soedomo menyadari keadaan yang semakin genting sebagai akibat dari

situasi pertempuran yang tidak seimbang. Menurutnya, bertahan dengan formasi apapun dipastikan akan percuma dan ketiga KRI pasti akan mengalami kekalahan. Oleh karena itu, selanjutnya ia memerintahkan ketiga KRI untuk berputar ke kanan arah 239 derajat. Maksudnya adalah jelas untuk menghindar dari sasaran tembakan kapal musuh yang jauh lebih kuat.

KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang berhasil berbalik arah, dan berusaha segera menghindar. Namun, KRI Matjan Tutul justru melakukan manuver dengan tetap bergerak lurus ke depan, agak sedikit ke kanan untuk berusaha mendekati kapal Belanda Fregat HR. Ms. Eversten. Manuver ini dipandang sangat berbahaya oleh kapal musuh, karena dianggap sebagai pertanda KRI Matjan Tutul akan meluncurkan senjata andalannya, yakni Torpedo, yang sebenarnya sudah tidak ada lagi. Maka, tak pelak lagi, untuk selanjutnya KRI yang kini dikomandoi oleh Komodor Yos Soedarso itu langsung dihujani banyak tembakan oleh ketiga kapal perang Belanda.

22 Loc. Cit

Dalam kondisi yang sangat genting seperti itu, Komodor Yos Soedarso terus memerintahkan anggotanya agar terus maju. 23 Akibatnya, ketiga kapal perang

Belanda makin berkonsentrasi untuk terus menembaki KRI Matjan Tutul yang telah banyak terkena tembakan, dengan kondisi ruang kendali yang sudah rusak. Namun demikian, melalui radio, Komodor Yos Soedarso masih tetap memerintahkan anggotanya untuk terus bertempur. Perintahnya yang lantang “kobarkan semangat pertempuran” terus saja beliau teriakkan hingga KRI Matjan Tutul itu kemudian telah benar-benar tenggelam sebagai akibat terkena banyak tembakan.

Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 25 ABK KRI Matjan Tutul dan Komodor Yos Soedarso sendiri dinyatakan telah gugur. Sedangkan sisa ABK yang selamat, kemudian ditawan oleh tentara Belanda. KRI Matjan Tutul telah melakukan manuver yang membahayakan bagi dirinya sendiri hingga tenggelam, namun telah berhasil menyelamatkan kedua KRI yang lainnya. KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang berhasil menghindar dan lolos dari sergapan musuh, kemudian dapat kembali ke pangkalannya dengan selamat.

Tenggelamnya KRI Matjan Tutul sempat menimbulkan kontroversi, baik terkait dengan “kenekadan” KRI ini untuk terus maju bertempur, maupun mengenai

koordinasi dan dukungan dari sesama Angkatan yang lainnya. Meski sempat terjadi kesalahpahaman antar angkatan terkait peristiwa tersebut, khususnya antar ALRI dan AURI, namun pada akhirnya Presiden Soekarno mampu meredamnya dan justru berhasil mengubah keadaan. Peristiwa Pertempuran Laut Aru telah dijadikan oleh Presiden Soekarno sebagai bagian dari perjuangan dengan semangat heroik, kepahlawanan. Teriakan Komodor Yos Soedarso “kobarkan semangat pertempuran”

kemudian dimanfaatkan secara maksimal untuk memperoleh kemenangan secara politis dan psikologis menuju kemenangan peperangan dalam merebut kembali

kedaulatan atas Irian Jaya. 24

23 Ibid. Melalui sebuah wawancara, salah seorang kelasi bernama Soeharmadji masih sempat mendengar teriakan tersebut. .

24 Pada tanggal 20 Januari 1962, Presiden Soeakarno memimpin rapat di Istana Bogor untuk membahas peristiwa Pertempuran Laut Aru, yang melibatkan unsur-unsur dari ALRI dan AURI.

Ibid.

2.4. Akhirnya, Belanda Menyerah Juga

Pada mulanya, Belanda menganggap sepele dan bahkan terkesan mencemoohkan atas segala usaha dan persiapan yang dilakukan oleh Komando Mandala dalam merebut Irian Barat. Belanda beranggapan bahwa pasukan Indonesia tidak akan mungkin dapat memasuki ke wilayah Irian. Suatu anggapan yang jelas-jelas sangat meremehkan atas kemampuan dan kekuatan militer Indonesia saat itu.

Namun, pada beberapa bulan kemudian fakta-fakta baru menunjukkan suatu kenyataan yang sebaliknya. Infiltrasi makin diintensifkan, terutama melalui udara, setelah melalui laut telah banyak diketahui oleh musuh dan terkendala oleh faktor alam, antara lain oleh gelombang laut yang tinggi. Sementara itu, terkait dengan perkembangan terakhir dari upaya diplomasi yang terjadi, maka jadwal penyelesaian tugas operasi militer berdasarkan tahapannya yang telah ditetapkan, menjadi tidak dapat diikuti lagi. Jadwal target operasi militer harus dipercepat hingga enam bulan, yang membuat pelaksanaan operasi menjadi kian intensif lagi.

Pada tanggal 18 dan 20 Maret 1962 telah berhasil didaratkan 4 peleton sukarelawan di pulau-pulau Gag, Waigeo dan Sansapor. Tanggal 23 Maret berhasil mendaratkan para sukarelawan di Sungai Jera. Tanggal 24 April dilakukan Operasi Banteng Ketaton dengan menerjunkan Tim Garuda Merah di sekitar Fak-fak dan Garuda Putih di sekitar Kaimana. Selain itu, Operasi Serigala mendaratkan pasukannya di sekitar Sorong dan di sekitar Teminabuan. Pada tanggal 15 Mei Detasemen Pelopor Brimob Polisi didaratkan di Fak-fak. Operasi Naga ini

menerjunkan 214 orang. 25 Selanjutnya, pada tanggal 1 Agustus 1962 dilancarkan Operasi Jatayu yang

bertugas menerjunkan pasukan-pasukan untuk memperkuat kesatuan yang lebih dahulu didaratkan. Diantaranya adalah pasukan Elang di Sorong, pasukan Gagak di sekitar Kaimana dan pasukan Alap-Alap di sekitar Merauke. Tanggal 7 Agustus Detasemen Pelopor 1232 Brimob didaratkan melalui laut dengan sasaran Pulau

25 SNI VI, hal 339

Misool. Dengan sasaran yang sama, kemudian disusul oleh Pasukan Raiders dari Kodam XV pada tanggal 9 dan 12 Agustus 1962. Dengan demikian, hingga tanggal

15 Agustus 1962, Indonesia telah berhasil menyusupkan sekitar 10 kompi pasukan. 26

Sementara itu, operasi penentuan yang bernama Operasi Jaya Wijaya telah dipersiapkan pula oleh pihak Indonesia. Operasi ini direncanakan untuk melaksanakan serangan terbuka dalam merebut daerah Irian Jaya. Operasi Jaya Wijaya dengan target date bulan Agustus tahun itu juga, direncanakan terbagi atas : Operasi Jaya Wijaya I untuk merebut keunggulan di udara dan di laut. Operasi Jaya Wijaya II untuk merebut Biak, Operasi Jaya Wijaya III untuk merebut Hollandia (Jayapura) dari laut, Operasi Jaya Wijaya IV untuk merebut Hollandia dari udara. Untuk melaksanakan operasi tersebut, Angkatan Laut Mandala dibawah Kol. Laut Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17 yang terdiri atas tujuh gugus tugas. Sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru. 27

Adanya peristiwa pertempuran di Laut Aru, kemudian ditambah dengan keberhasilan sejumlah misi infiltrasi yang telah mendaratkan banyak pasukan dan sukrelawan di beberapa tempat di Irian Barat telah mengubah pandangan Belanda terhadap kemampuan operasi militer Indonesia. Jatuhnya sejumlah daerah ke tangan pasukan Indonesia, antara lain di Teminabuan, misalnya, telah berhasil untuk memaksa Belanda agar bersedia duduk di meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian Barat. Hal ini dikarenakan oleh posisi Belanda yang kian sulit, saat negara-negara lain yang sebelumnya selalu mendukungnya di forum PBB, kini mulai semakin mengerti bahwa Indonesia tidak dalam posisi main-main dalam masalah sengketa Irian Barat.

Ditambah lagi, ketika Amerika Serikat pun ternyata mulai melakukan tekanan kepada Belanda untuk bersedia berunding dengan Indonesia. Hal ini dilakukan untuk dapat mencegah agar Uni Soviet dan Amerika Serikat tidak terseret dalam konfrontasi langsung di wilayah Pasifik barat daya, dengan memberikan bantuan

26 Ibid. 27 Ibid.

bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam soal Irian Barat. Maka, pada tanggal 15 Agustus 1962, suatu perjanjian antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda berhasil ditandatangani di New York, yang kemudian dikenal dengan Perjanjian New York. Perjanjian ini didasarkan atas prinsip-prinsip yang pernah diusulkan oleh Ellsworth Bunker, yang setahun lalu sempat ditolak oleh pihak

Belanda. 28 Hal terpenting dari Perjanjian New York adalah mengenai penyerahan

pemerintahan di Irian dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut, PBB membentuk United Nations Temporary Excecutive Authority (UNTEA), yang pada gilirannya nanti akan menyerahkan pemerintahan di Irian Barat itu kepada pihak Republik Indonesia, sebelum tanggal 1 Mei 1963. Sedangkan di pihak Indonesia diwajibkan untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat

(Pepera) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak, yakni Indonesia dan Belanda, akan menerima apapun hasil dari Pepera tersebut.

2.5. Irian Jaya, Kembali ke NKRI

Adanya Perjanjian New York telah berdampak pada rencana Operasi Jaya Wijaya yang belum sempat terlaksana. Pada tanggal 18 Agustus 1962, pukul 09.31 waktu Irian Jaya, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Jaya mengeluarkan perintah kepada Panglima Mandala untuk menghentikan tembak- menembak di daerah pembebasan. Selanjutnya, oleh Panglima Mandala, perintah itu diteruskan kepada seluruh pasukan yang berada di Irian Jaya agar mentaati perintah penghentian tembak-menembak dan mengadakan kontak dengan perwira- perwira peninjau PBB yang disertai oleh Achmad Wiranatakusumah, Kolonel Udara

I. Dewanto dan Letkol Laut Nizam Zachman. 29

28 Ibid. hal 335. 29 Ibid. hal 336.

Dengan ditandatanganinya Perjanjian New York berarti perjuangan Trikora dianggap telah berhasil berkat kerja sama segenap komponen bangsa di bidang diplomasi dan militer. Tanpa dukungan operasi militer, maka perjuangan diplomasi akan mengalami kebuntuan seperti yang pernah dialami oleh Indonesia sebelum perjuangan Trikora dilaksanakan. Bagian akhir dari perjuangan Trikora adalah pelaksanaan Operasi Wisnu Murti, yakni operasi untuk menghadapi penyerahan Irian Jaya dari PBB (UNTEA) kepada RI pada tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal penyerahan tersebut, tugas Komando Mandala dianggap telah selesai dengan sukses, dan pada hari itu juga, Komando Mandala secara resmi dinyatakan bubar oleh pemerintah Indonesia.

Selanjutnya, dalam memenuhi kewajiban Indonesia sesuai dengan Perjanjian New York, maka pada tahun 1969 diadakan Pepera di Irian Jaya yang diselenggarakan melalui tiga tahap. Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 Maret 1969 berupa konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera. Setelah tata cara disetujui, maka diselenggarakan tahap kedua, yaitu pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969, dengan dipilihnya 1.026 anggota dari delapan Kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita. Tahap ketiga adalah pelaksanaan Pepera yang dilakukan di Kabupaten-Kabupaten, mulai tanggal 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil akhirnya adalah Dewan Musyawarah Pepera memutuskan dengan suara bulat

bahwa Irian Barat merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. 30

Pelaksanaan Pepera dalam setiap tingkatannya disaksikan oleh utusan Sekjen PBB, yakni Duta Besar Ortis Senz. Sedangkan sidang-sidang Dewan Musyawarah Pepera dihadiri pula oleh beberapa Duta Besar asing di Jakarta, antara lain Duta Besar Belanda dan Australia. Hasil-hasil Pepera ini, kemudian dibawa oleh Ortis Senz ke New York untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke-24. Tepat pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB menyetujui resolusi Belanda, Malaysia, Muangthai, Belgia, Luxemburg, serta Indonesia agar menerima hasil-hasil

30 Setneg RI, 1986, 30 Tahun Indonesia Merdeka, hal. 200

Pepera yang telah dilaksanakan sesuai dengan jiwa dan isi Persetujuan New York. 31 Dengan persetujuan dari Sidang Umum PBB ini, maka perjuangan RI untuk

memperoleh pengakuan kedaulatan atas Irian Jaya dianggap telah selesai dan berhasil dengan tuntas, baik secara de facto maupun secara de jure.

31 Ibid.

BAB III PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR DAN WILAYAH PERBATASAN RI

Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan dua pertiga wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung-tanjung terluar dan di wilayah pantai.

Wilayah daratan NKRI berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan tersebut berada di pulau Kalimantan, Irian dan Timor. Terdapat empat provinsi perbatasan dan 15 Kabupaten/Kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Australia dan Timor Leste. Kawasan –kawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai berdasarkan keberadaan pulau-pulau terluar, dimana Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tersebut. Dari 92 pulau terluar yang tersebar di 20 Provinsi dan 36 Kabupaten, ada 12 pulau di antaranya yang terdapat di 7 Provinsi dan 9 Kabupaten yang perlu mendapat perhatian khusus karena memiliki potensi rawan konflik di bidang geografis, ekonomi, dan keamanan . Ke-12 Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Australia dan Timor Leste. Kawasan –kawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai berdasarkan keberadaan pulau-pulau terluar, dimana Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tersebut. Dari 92 pulau terluar yang tersebar di 20 Provinsi dan 36 Kabupaten, ada 12 pulau di antaranya yang terdapat di 7 Provinsi dan 9 Kabupaten yang perlu mendapat perhatian khusus karena memiliki potensi rawan konflik di bidang geografis, ekonomi, dan keamanan . Ke-12

3.1. Perlu Perhatian Khusus dan Serius

Perlunya perhatian khusus atas masalah pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI, terkait sekurangnya oleh tiga hal penting. Pertama, masalah tersebut memiliki kaitan langsung dengan keutuhan wilayah NKRI. Kedua, masalah ini pun merupakan amanat UUD 1945 dalam mempertahankan tiap jengkal tanah dan tumpah darah Indonesia. Ketiga, masalah tersebut sangat berhubungan langsung dengan upaya mempertahankan dan menegakkan kedaulatan atas seluruh wilayah NKRI, sebagaimana yang tercermin pula dalam semangat Pertempuran Laut Aru.