Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT
TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
JAKARTA PUSAT
SKRIPSI
NINDYA NURFITRIANI AZHAR
1111102000095
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2015
(2)
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT
TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
JAKARTA PUSAT
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NINDYA NURFITRIANI AZHAR
1111102000095
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2015
(3)
iii
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Nindya Nurfitriani Azhar
NIM : 1111102000095
Tanda Tangan :
(4)
(5)
(6)
vi
Nama : Nindya Nurfitriani Azhar Program Studi : Farmasi
Judul : Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat
Diabetes merupakan suatu penyakit heterogen yang gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Selain dengan obat-obatan kimia, pengembangan teknologi dilakukan untuk penyembuhan berbagai macam penyakit termasuk penyakit diabetes yaitu terapi oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi di mana pasien berada di ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal. Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pengobatan diabetes dengan menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Dalam penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan melakukan observasi pengendalian gula darah pada pasien diabetes yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien yang menggunakan obat sebesar 9,37±1,38% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 7,5± 1,109%. Dan rata-rata kadar GDS pasien yang menggunakan obat sebesar 249,21±39,71% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 158,7± 48,82%. Hal ini menunjukan terapi DM Tipe 2 dengan OAD dan oksigen hiperbarik, kadar HbA1c dan kadar GDS pasien dapat dikendalikan mendekati normal.
Kata Kunci : Diabetes mellitus, kadar HbA1c, kadar GDS, terapi oksigen hiperbarik.
(7)
vii
Name : Nindya Nurfitriani Azhar Study Program : Pharmacy
Title : Effectiveness Test of Hyperbaric Oxygen Therapy In Diabetes Mellitus Patient in Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat
Diabetes is a heterogeneous disease which characterized with the increased blood glucose that caused by the deficiency of relative insulin or absolute. Beside the use of chemical drug, the development of technology can be conducted to recover the several diseases particularly diabetes disease by using hyperbaric oxygen therapy. The hyperbaric oxygen therapy is a therapy in which the patient located in high pressure room and breathed with pure oxygen (100%) at the air pressure greater than the normal pressure atmosphere. The objective of this research is to study the effectiveness of diabetes treatment by using hyperbaric oxygen therapy. In this research is used cross sectional design that conducted the observation to control the blood glucose at the diabetes patient who used the hyperbaric oxygen therapy. The result in this research showed that the average of HbA1c patient that using the drug is 9,37±1,38%, while, after using the hyperbaric oxygen therapy is 7,5± 1,109%. The average of GDS patient by using the drug is 249,21±39,71%, whilst, after finishing the hyperbaric oxygen therapy is 158,7± 48,82%. The result indicated that the DM therapy type 2 with OAD and the hyperbaric oxygen therapy, the level of HbA1c and the level of GDS patient can be controlled related to the normal condition.
Key words: Diabetes mellitus, HbA1c levels, levels of GDS, hyperbaric oxygen therapy.
(8)
viii
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs. Fakhren Kasim, MH.Kes., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
(9)
ix
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Haryanto dan Ibunda Sari Asri serta adik yang sangat saya sayangi Kayla Amira Azhar yang selalu ikhlas memberikan dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus di setiap waktu.
8. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Elsa, Puji,Ageng, Ani, Nova, Annisa, Anissa, Anis, Ices, Ika, Aditya, Andis, Tari, Miyadah, Happy, Aci, Brasti, Hala, Syaiful, serta teman-teman Farmasi 2011 beng-beng atas semangat dan kebersamaan kita selama 4 tahun kita bersama.
9. Randi Herlambang yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan menginspirasi.
10.Tiara, Erna, Rina,Agung, yang selalu menginspirasi dan menguatkan saya. Terima kasih atas persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama ini. 11.Linda, Mba Rica, Tia, Mba Ita, Mba Nun, Tisa, Mba Dani, Firdha, Yane,
Henny, Karina, Kasa, Swara, Rani, Galih Fitri, Ari, Manda, Diah Ayu, terima kasih atas dukungan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini.
12.Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, September 2015
(10)
x
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nindya Nurfitriani Azhar
NIM : 1111102000095
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul :
UJI EFEKTIVITAS TERAPI HIPERBARIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT DR.
MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Tanggal : September 2015
Yang menyatakan,
(11)
xi
Halaman HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...
HALAMAN PENGESAHAN ………
ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ...
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN ...
1.1 Latar Belakang ... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ...
1.3.1 Tujuan Umum ... 1.3.2 Tujuan Khusus ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.4.1 Secara Teoritis ... 1.4.2 Secara Metodologi ... 1.4.3 Secara Aplikatif ... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...
2.1 Diabetes Melitus ………..………...………....
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus ………...……... 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus ………...…….….. 2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus ………...……... 2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus ………...……….. 2.1.5 Gejala Diabetes Melitus ………...……… 2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus ……… 2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus ………...…... 2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus ………...…… 2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ………...… 2.1.10Penggolongan Obat Diabetes Melitus ………... 2.2 Hiperbarik Oksigen ………...………...
ii iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xv 1 1 4 4 4 4 5 5 5 5 5 6 6 6 6 10 11 12 13 14 15 18 21 28
(12)
xii
indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ……...… 2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik …...……... 2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik ………...… 2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik ………... 2.3 Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo …….…….
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ...
3.1 Kerangka Konsep ………...………...
3.2 Definisi Operasional ………...
3.3 Hipotesis ………...
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……….
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………..
4.2 Desain Penelitian ………
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 4.3.1 Populasi ………...
4.3.2 Sampel ………...
4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel …...
4.4 Prosedur Penelitian ………...
4.4.1 Pengumpulan Data ………... 4.4.2 Pengolahan Data ………... 4.4.3 Analisis Data ………... BAB V HASIL …...……….
5.1 Hasil Penelitian ………... 5.1.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Karakteristik Pasien ... 5.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan OAD dan
Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik ... BAB VI PEMBAHASAN …...……….
6.1 Pembahasan …...………... 6.1.1 Karakteristik Pasien ... 6.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN …...………….
7.1 Kesimpulan …...………... 7.2 Saran …...………... DAFTAR PUSTAKA ……….
LAMPIRAN ... 35 36 39 40 43 43 44 46 47 47 47 47 47 48 48 48 48 49 49 51 51 51 52 59 59 59 60 65 65 65 66 70
(13)
xiii
Halaman Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 ... 20
(14)
xiv
Halaman
Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 3.2. Tabel 5.1.
Tabel 5.2.
Tabel 5.3.
Tabel 5.4.
Tabel 5.5.
Tabel 5.6.
Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa... Kriteria Pengendalian DM ... Target Pelaksanaan Diabetes Melitus ... Definisi Operasional ... Distribusi Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Karakteristik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 ... Distribusi kondisi pasien selama menggunakan OAD di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 ... Distribusi kondisi pasien sebelum dan setelah terapi OHB di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 ... Rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 ... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 …... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari
2014-Februari 2015 ……….
15 15 19 44
51
52
54
56
56
(15)
xv
Halaman
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3.
Lampiran 4.
Surat Permohonan Izin Penelitian Dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi ... Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian Dari RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ... Pasien Diabetes yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ... Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c dan GDS Pasien Sebelum dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015 ...
71 72
73 76
(16)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global yang insidennya semakin meningkat. Diabetes adalah suatu penyakit heterogen yang gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut (Mycek, J. Mary, 2001). Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa (ADA, 2011).
Sebanyak 346 juta orang di dunia menderita diabetes, dan diperkirakan mencapai 380 juta jiwa pada tahun 2025 (WHO, 2011). Dan sekitar 60% jumlah pasien tersebut terdapat di Asia. Jumlah ini diasumsikan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2030 (Hilary King et al, 2004). Prevalensi diabetes di Indonesia berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,4 persen (2013). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen (Rikesda, 2013).
Peningkatan terjadi akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut dan perubahan gaya hidup, mulai dari pola makan/jenis makanan yang dikonsumsi sampai berkurangnya kegiatan jasmani. Hal ini terjadi terutama pada kelompok usia dewasa ke atas pada seluruh status sosial-ekonomi (Zahtamal dkk, 2007). Penyakit diabetes melitus sering menimbulkan komplikasi berupa stroke, gagal jantung, nefropati, kebutaan dan bahkan harus menjalani amputasi jika
(17)
anggota badan menderita luka gangren (Nuh Huda, 2010). Prevalensi penyakit diabetes melitus yang terus menerus meningkat, mengharuskan pemerintah Indonesia untuk senantiasa tanggap dalam penanganan dan pengobatan untuk pasien diabetes melitus.
Ada 4 hal penting yang perlu dijalankan agar pasien diabetes dapat hidup sehat kembali yang disebut dengan empat pilar pengendalian diabetes (Edukasi, pengaturan makan, olahraga, obat seperti tablet atau insulin) (Kariadi,2009). Namun pada kenyataannya angka kematian dan komplikasi dari penyakit diabetes melitus tetap saja tinggi. Upaya yang dilakukan yaitu memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang perawatan dan pengobatan penyakit diabetes melitus secara mandiri. Edukasi ini mencakup perencanaan makan (diet), kegiatan olah raga, pemakaian obat oral dan insulin secara tepat. Pemantauan kadar gula dalam darah dan urin serta meningkatnya motivasi penderita diabetes melitus untuk kontrol secara teratur yang bertujuan menghilangkan gejala, mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi komplikasi yang sudah ada, mengobati penyakit penyerta, menciptakan dan mempertahankan kesehatan tubuh, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soegondo, 1995).
Kemajuan teknologi dalam bidang ilmu pengetahuan kedokteran menghasilkan metode–metode baru dalam upaya penyembuhan penyakit, termasuk penyakit diabetes. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah terapi oksigen hiperbarik. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap metode pengobatan terapi hiperbarik dalam bidang medis.
Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada tahun 1930. Saat itu angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian terhadap terapi hiperbarik untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer. Terapi oksigen hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk menghilangkan gejala penyakit dekompresi yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam, sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh beberapa Rumah Sakit TNI AL dan Rumah Sakit yang berhubungan dengan pertambangan (Nuh Huda, 2010).
(18)
Terapi hiperbarik oksigen adalah terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal, yaitu sebesar 1 ATA (Atmosfir Absolut) sama dengan 760 mmHg. Pemberian oksigen tekanan tinggi untuk terapi dilaksanakan dalam chamber atau RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
Konsentrasi O2 yang digunakan dalam terapi oksigen hiperbarik berbeda
dengan O2 yang digunakan dalam tabung oksigen yang biasa karena pada
pemberian O2 di hiperbarik disertai tekanan tinggi yaitu 2,4 atm yang akan
membantu distribusi O2 dengan cepat dan terpenuhi dengan baik pada organ
tubuh. Sedangkan O2 dalam tabung oksigen tidak disertai tekanan tinggi.
Pada tahun 2003, The American Society of Hyperbaric Medicine (Underwater and Hyperbaric Medical Society, UHMS) mempublikasikan indikasi–indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik yang disetujui oleh komite tersebut berdasarkan bukti ilmiah yang ada, seperti emboli udara, keracunan karbon monoksida, keracunan karbon monoksida dan sianida, anemia karena pendarahan, penyakit dekompresi, abses intrakranial, infeksi nekrosis jaringan lunak, osteomyelitis refraktur, luka bakar dan lain-lain.
Tahun 2010 Rady dwipayana, dkk meneliti tentang efek hiperbarik pada cedera otot pada tikus putih dan hasilnya hiperbarik oksigen meningkatkan terjadinya jaringan granulasi dan proliferasi fibroblas pada penyembuhan cedera otot fleksor pada tikus putih. Pada tahun yang sama T. Nuh Huda meneliti tentang pengaruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren penderita diabetes melitus, hasilnya ada perubahan menjadi lebih baik pada luka tetapi tidak signifikan. Mayor Laut (K) Tituk Harnanik, dokter dan Kepala Subdepartemen Faal Penyelaman TNI AL Armada Timur mengatakan, terapi hiperbarik oksigen mampu mempercepat kesembuhan dan mengurangi dosis obat yang diminum penderita diabetes.
Secara teori terapi OHB dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada penderita diabetes melitus, di mana terapi HBO pada 2,4 atmofir absolut menimbulkan penurunan kadar gula darah (Ishihara, 2007).
(19)
Salah satu Rumah Sakit yang memiliki fasilitas terapi hiperbarik ini adalah RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo ini terapi hiperbarik banyak digunakan untuk penyembuhan pada pasien diabetes. Walaupun sudah banyak digunakan dalam penyembuhan diabetes bagi pasien di Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, tetapi belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai efektivitas dari penggunaan terapi hiperbarik bagi pasien diabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa pengobatan pada pasien diabetes melitus selama ini banyak menggunakan obat-obatan kimia. Sebagaimana diketahui obat-obatan kimia mempunyai banyak efek samping. Untuk menghindari efek samping dari penggunaan obat kimia dan mempercepat proses penyembuhan dapat dicari teknologi baru untuk pengobatan diabetes melitus. Teknologi hiperbarik sudah dikenal dapat menyembuhkan beberapa penyakit termasuk diabetes.
Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo mempunyai alat hiperbarik yang sudah digunakan untuk pengobatan diabetes, tetapi belum diketahui lebih lanjut efektivitas pengobatan diabetes dengan terapi hiperbarik dibandingkan hanya dengan penggunaan obat kimia di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas terapi hiperbarik pada pasien diabetes melitus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada bulan Januari 2014 hingga Maret 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengidentifikasi fungsi dari penggunaan terapi hiperbarik terhadap pasien diabetes.
Untuk mengetahui apakah penggunaan terapi hiperbarik lebih efektif dibandingkan hanya penggunaan obat antidiabetes.
(20)
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan tentang penggunaan terapi hiperbarik, khususnya bagi pasien diabetes melitus.
1.4.2 Secara Metodologi
Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis.
1.4.3 Secara Aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun kebijakan dalam pengobatan diabetes melitus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang berjudul “Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta”, terbatas hanya membahas pada pasien diabetes yang menggunakan obat antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik dengan mengamati kadar HbA1c dan GDS dari data rekam medis pasien di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta. Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2015 di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.
(21)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly, 2006).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
WHO (World Health Association) membagi DM menjadi dua kelas, yaitu kelas klinis dan kelas risiko statistik.
a) Kelas klinis
Jika hasil pemeriksaan kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal. Kelas klinis dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
1) Diabetes Melitus, seseorang termasuk kelompok penderita Diabetes Melitus jika kadar glukosa darah dalam keadaan puasa lebih dari 140 mg/dl, atau dua jam sesudah makan (post prandial) kadarnya lebih dari 200 mg/dl. Diabetes Melitus sendiri terbagi lagi menjadi empat, yakni sebagai berikut:
DM tipe 1 (DM tergantung insulin/DMTI) = insulin dependent
DM/IDDM. Kelompok ini adalah penderita penyakit DM yang sangat tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya
(22)
masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa anak–anak dan puncaknya pada usia remaja. Begitu penyakitnya terdiagnosis, penderita langsung memerlukan suntikan insulin karena pankreasnya sangat sedikit atau sama sekali tidak membentuk insulin. Umumnya penyakit berkembang ke arah ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. Tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi kekurangan produksi/sekresi insulin absolut. IDDM umumnya diderita oleh orang–orang di bawah umur 30 tahun, dan gejalanya mulai tampak pada usia 10–13 tahun. Penyebab IDDM belum begitu jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang menimbulkan autoimun yang berlebihan untuk membunuh virus. Akibatnya sel–sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus, tetapi juga merusak sel–sel Langerhans. Faktor genetik juga menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap infeksi virus.
DM tipe II (DM tidak tergantung insulin/DMTT) = non insulin dependent DM = NIDDM. Kelompok Diabetes Melitus tipe II tidak tergantung insulin. Kebanyakan timbul pada penderita berusia di atas 40 tahun. Penderita DM tipe II inilah yang terbanyak di Indonesia. Data sementara menyebabkan, hampir 90% penderita diabetes di Indonesia adalah penderita NIDDM dan umumnya disertai dengan kegemukan dan kegagalan pankreas mensekresi insulin (defisiensi insulin) untuk mengkompensasi resistensi insulin. Pengobatannya diutamakan dengan perencanaan menu makanan yang baik dan latihan jasmani secara teratur. NIDDM diduga disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat, tetapi munculnya terlambat. Dengan pola hidup modern saat ini, prevalensi NIDDM semakin meningkat dengan penderita yang berusia di bawah 40 tahun. DM tipe II dibagi lagi menjadi dua, penderita tidak gemuk (non obese), penderita gemuk (obese).
(23)
DM terkait malnutrisi (DMTM) = malnutrition related DM (MRDM). Diabetes Melitus yang terkait dengan malnutrisi biasanya terjadi di negara–negara berkembang di kawasan tropis yang sebagian besar penduduknya masih berpendapat perkapita rendah sehingga terjadi gangguan atau kekurangan makan (malnutrisi) dan tidak didapati adanya ketosis. DMTM dibagi lagi menjadi dua, yakni fibrocalculous pancreatic DM (FCPD) dan
protein deficient pancreatic DM (PDRD).
Diabetes Melitus tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu, misalnya penyakit pankreas, penyakit hormonal, obat-obatan atau bahan kimia lain, kelainan insulin atau reseptornya, sindrom genetik tertentu, dan penyebab lain yang belum diketahui. Diabetes Melitus tipe ini adalah penderita yang mengalami diabetes melitus akibat komplikasi penyakit yang dideritanya. Misalnya, penderita mengidap penyakit pankreas sehingga fungsi organ tersebut terganggu dan tidak mampu menghasilkan hormon insulin akibatnya kadar gula darahnya meningkat, efek samping konsumsi obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit lain, dan sebagainya.
2) Gangguan toleransi glukosa (GTG)
Penderita GTG ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang nilainya berada di daerah perbatasan, yaitu di atas normal, tetapi di bawah nilai diagnostik untuk diabetes melitus. Penderita GTG sangat berisiko untuk menjadi penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin dan terserang penyakit kardiovaskuler, seperti penyakit jantung koroner dan stroke.
3) DM pada kehamilan (Gestational DM)
Gestational Diabetes Melitus merupakan penyakit diabetes melitus yang muncul pada saat mengalami kehamilan padahal sebelumnya kadar glukosa darah selalu normal. Diabetes Melitus pada masa kehamilan dapat menimbulkan dampak yang buruk untuk janin dalam
(24)
kandungan jika tidak segera dilakukan pengobatan dengan benar. Kelainan yang dapat timbul pada bayi, misalnya kelainan bawaan, gangguan pernafasan, bahkan kematian janin. Umumnya diabetes tipe ini akan diderita selama masa kehamilan dan kembali normal setelah melahirkan. Meski begitu, terdapat sejumlah kasus yang tidak terkendali sehingga diabetes melitus dapat berkembang lebih lanjut pasca melahirkan.
Oleh karena bisa berkembang lebih lanjut, diabetes tipe ini harus ditangani secara ekstra. Caranya dengan berkonsultasi ke dokter ahli secara rutin, diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah yang tinggi, dan didukung perencanaan makan yang baik. Perencanaan makan harus memperhatikan kebutuhan kalori perhari, komposisi zat makanan, dan kebutuhan vitamin serta mineral.
Penderita Gestational DM sebaiknya melakukan pengukuran HbA1c. Kadar HbA1c yang meningkat pada 12 minggu pertama kehamilan menandakan adanya kehamilan dengan diabetes melitus yang dapat meningkatkan risiko cacat lahir (kelainan kongenital). Jika pada kehamilan dini kadar HbA1c lebih besar dari 12% risiko keguguran (abortus) juga semakin meningkat. Keracunan kehamilan yang berat, air ketuban berlebih, hipertensi, janin tumbuh besar, kematian janin dalam kandungan, dan gawat janin adalah faktor yang mempersulit persalinan ibu hamil dengan diabetes melitus. Oleh karenanya, ibu hamil yang terkena diabetes melitus harus melahirkan di Rumah Sakit untuk mengurangi risiko kematian bayi dan ibu.
b) Kelas Risiko Statistik
Kelas ini mencakup mereka yang mempunyai kadar glukosa dalam batas toleransi normal, tetapi mempunyai risiko lebih besar untuk mengidap diabetes melitus. Orang–orang yang termasuk dalam kelas ini antara lain: Toleransi glukosa pernah abnormal,
Kedua orang tua mengidap DM, dan
(25)
American Diabetes Association (ADA) juga menggolongkan penyakit Diabetes Melitus ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
DM tipe 1 (IDDM) DM tipe II (NIDDM) DM dengan kehamilan
DM tipe lain, terdiri dari defek genetik fungsi sel beta (MODY, DNA mitokondria), defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi, pankreatopati fibrokalkulus), endokrinopati (akromegali, sindroma cushing, feokromositoma, hipertiroideisme), obat zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus
Penyebab diabetes melitus menurut American College of Clinical Pharmacy berdasarkan klasifikasinya adalah:
1) Diabetes Melitus (DM) tipe 1
Diakibatkan oleh hancurnya sel β pankreas sehingga menyebabkan produksi insulin berkurang. Hampir 5%-10% yang menderita DM tipe 1. Dikenal sebagai insulin independent diabetes atau juvenile onset diabetes. Prevalensi di America 0,12% atau sekitar 340.000 penderita pasien DM. Biasanya diderita oleh anak-anak atau orang dewasa muda. Biasanya pada anak-anak, gejala onsetnya lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa tua.
2) Diabetes Melitus tipe 2
Diakibatkan karena adanya resistensi insulin akibat kerusakan eksresi insulin. Hampir 90%-95% yang mederita DM tipe 2. Dikenal sebagai insulin non insulin dependent diabetes atau adult onset diabetes. Prevalensi di Amerika 7,8% atau sekitar 23,6 juta. Penderita DM tipe 2 ini biasanya menderita obesitas.
(26)
3) MODY ( Maturity-Onset Diabetes of the Young)
Diakibatkan karena penyakit genetik yang disebabkan oleh melemahnya aksi insulin. Biasanya diderita pada umur dibawah 25 tahun dan termasuk DM tipe 1 dan tipe 2.
4) Diabetes Gestational
Terjadi intoleransi glukosa selama masa kehamilan. Prevalensi 1%-14% pada wanita hamil. Hanya terjadi pada trimester ketiga.
5) Prediabetes
Lemahnya toleransi glukosa. Lemahnya glukosa puasa. 6) Tipe DM lain
Kerusakan genetik pada fungsi sel β atau aksi insulin. Penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis, neoplasia, dan cystic fibrosis). Induksi kimia atau obat (seperti, glukokortikoid, asam nikotinat, penghambat protease, dan antipsikosis atipikal).
2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus
Secara normal insulin dihasilkan oleh sel pankreas. Dalam keadaan sehat pankreas secara spontan akan memproduksi insulin saat gula darah tinggi. Proses awalnya adalah jika kadar gula darah rendah, maka glukagon akan dibebaskan oleh sel alfa pankreas, kemudian hati akan melepaskan gula ke darah yang mengakibatkan kadar gula normal. Sebaliknya jika kadar gula darah tinggi, maka insulin akan dibebaskan oleh sel beta pankreas, kemudian sel lemak akan mengikat gula yang mengakibatkan gula darah kembali normal (Black & Hwak, 2005).
Patofisiologi DM secara klinis dibagi 2 yaitu DM tipe 1 dan 2. DM tipe 1 disebabkan kurangnya sekresi insulin. Kelainan dasar pada DM tipe 2 yaitu resistensi insulin dan kegagalan pankreas mensekresi insulin (defisiensi insulin) untuk mengkompensasi resistensi insulin.
(27)
2.1.5 Gejala Diabetes Melitus
Gejala diabetes melitus tipe I dan tipe II tidak banyak berbeda. Hanya pada diabetes melitus tipe I, gejalanya lebih ringan dan prosesnya lambat, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita diabetes melitus setelah timbul komplikasi, seperti penglihatan menjadi kabur atau bahkan mendadak buta, timbul penyakit jantung, penyakit ginjal, gangguan kulit dan saraf, atau bahkan terjadi pembusukan pada kaki (gangren). Berikut ini adalah gejala yang umumnya dirasakan penderita diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):
Sering buang air kecil. Tingginya kadar gula dalam darah yang dikeluarkan lewat ginjal selalu diiringi oleh air atau cairan tubuh maka buang air kecil menjadi lebih banyak. Bahkan tidur di malam hari kerap terganggu karena harus bolak–balik ke kamar kecil.
Haus dan banyak minum. Banyaknya urin yang keluar menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga kebutuhan akan air (minum) meningkat. Fatigue (lelah). Rasa lelah muncul karena energi menurun akibat
berkurangnya glukosa dalam jaringan/sel. Kadar gula dalam darah yang tinggi tidak bisa optimal masuk dalam sel disebabkan oleh menurunnya fungsi insulin sehingga orang tersebut kekurangan energi.
Rasa lelah, pusing, keringat dingin, ridak bisa konsentrasi, disebabkan oleh menurunnya kadar gula. Setelah seseorang mengonsumsi gula, reaksi pankreas meningkat (produksi insulin meningkat), menimbulkan hipoglikemik (kadar gula rendah).
Meningkatnya berat badan. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 yang kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita tipe 2 seringkali mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu.
Gatal. Gatal disebabkan oleh mengeringnya kulit (gangguan pada regulasi cairan tubuh) yang membuat kulit mudah luka dan gatal. Akibatnya, energi panas meningkat (damp heat) menyebabkan timbulnya iritasi di kulit (gatal).
(28)
Gangguan immunitas. Meningginya kadar glukosa dalam darah menyebabkan pasien diabetes sangat sensitif terhadap penyakit infeksi. Hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi sel–sel darah putih. Infeksi yang sering muncul pada pasien diabetes melitus ialah infeksi kandung kemih, infeksi kulit (acne), infeksi jamur (candidiasis), dan infeksi saluran pernafasan.
Gangguan mata. Penglihatan berkurang disebabkan oleh perubahan cairan dalam lensa mata. Pandangan akan tampak berbayang disebabkan adanya kelumpuhan pada otot mata.
Polyneuropathy. Gangguan sensorik pada saraf periferal (kesemutan) di kaki dan tangan.
2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus
Penyakit DM kebanyakan adalah penyakit keturunan, bukan penyakit menular. Meskipun demikian tidak berarti penyakit ini pasti menurun pada anak. Berikut ini adalah urutan yang menunjukan siapa saja yang mempunyai kemungkinan akan menderita penyakit DM yaitu (Misnadiarly, 2006):
Kedua orang tuanya mengidap penyakit DM.
Salah satu orang tuanya atau saudara kandungnya mengidap penyakit DM.
Salah satu anggota keluarga (nenek, paman, bibi, keponakan, sepupu) mengidap DM.
Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lahir >4 kg.
Pada waktu pemeriksaan kesehatan pernah ditemukan kadar glukosa darah melebihi antara 140–200 mg/dl.
Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun). Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg).
Kegemukan (BB(kg)) >120% BB idaman atau IMT >27 (kg/m2)).
Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau Trigliserida >250 mg/dl). Menderita penyakit lever (hati) kronik atau agak berat.
Terlalu lama minum obat–obatan, mendapat suntikan atau minum tablet golongan kortikosteroid (sering digunakan oleh penderita asma,
(29)
penyakit kulit, penyakit reumatik, dan lain–lain) misalnya, prednison, oradexon, kenacort, rheumacyl, kortison, hidrokortison.
Terkena infeksi virus tertentu misalnya virus morbili, virus yang menyerang kelenjar ludah, dan lain–lain.
Terkena obat–obatan antiserangga (insektisida).
2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis khas DM pada umumnya adalah bahwa terdapat keluhan khas DM yaitu, poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, dan keluhan lainnya seperti, kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria, prioritis vulva pada wanita (Misnadiarly, 2006).
Kriteria diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa menurut ahli diabetes di Surabaya tahun 1987 merupakan modifikasi dari kriteria diagnosis diabetes melitus yang ditetapkan di WHO tahun 1985 seperti berikut:
1) Diagnosis diabetes melitus apabila:
Terdapat gejala-gejala diabetes melitus ditambah dengan
Salah satu dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL, atau glukosa darah acak > 200 mg/dL.
2) Diagnosis diabetes melitus apabila:
Tidak terdapat gejala-gejala diabetes melitus, tetapi
Terdapat 2 hasil dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL atau random 200 mg/dL.
3) Diagnosis gangguan toleransi glukosa (GTG) apabila, GDP< 120 mg/dL dan 2 jam PP 140-200 mg/dL.
4) Untuk kasus meragukan dengan hasil GDP< 120 mg/dL dan 2 jam PP> 200 mg/dL, maka ulangi pemeriksaan laboratorium sekali lagi, dengan persiapan minimal 3 hari dengan diet karbohidrat lebih dari 150 gram perhari dan kegiatan fisik seperti biasa, kemungkinan hasilnya adalah:
(30)
DM, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP< 120 mg/dL dan 2 jam PP 200 mg/dL, atau apabila hasilnya memenuhi kriteria I atau II.
GTG, apabila hasilnya cocok dengan kriteria III.
Tabel 2.1. Kadar gula darah sewaktu dan puasa Bukan
DM
Belum pasti DM
DM Kadar gula darah
sewaktu (mg/dl)
Plasma vena darah kapiler
<110 <90
110 – 199 90 – 199 ≥
200 ≥200 Kadar gula darah puasa
(mg/dl)
Plasma vena darah kapiler
<110 <90
110 – 125 90 – 109 ≥
126 ≥110 [Sumber : Hendromartono, 1999]
Tabel 2.2. Kriteria pengendalian DM
Pemeriksaan glukosa darah plasma vena (mg/dl) Baik Sedang Buruk
Puasa 80 – 109 110 – 139 140
2 jam pp 110 – 159 160 – 199 >200
HbA1c % 4 – 6 6 – 8 >8
Tekanan darah < 140 / 90 < 160 / 95 >160/95 [Sumber : Hendromartono, 1999]
Hemoglobin A1c (HbA1c)/Glycosylated Haemoglobin adalah apabila hemoglobin dipisahkan secara kromatografi melalui perubahan kation akan berubah menjadi HbA0, HbAIa1, HbAIa2, HbA1b, HbA1c (Boucher, 1988 dalam Nuh Huda, 2010). Pengukuran HbA1c/Glycosylated Haemoglobin telah diterima secara obyektif dan menjadi indeks quantitative pengukuran kadar glukosa darah selama 6-10 minggu dan nilai pengukuran tersebut akan meningkat pada penderita Diabetes Melitus (Nuh Huda, 2010).
2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi penyakit diabetes melitus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu komplikasi yang bersifat akut dan kronis (menahun). Komplikasi akut merupakan komplikasi yang harus ditindak cepat atau memerlukan pertolongan dengan segera. Adapun komplikasi kronis merupakan komplikasi yang timbul setelah penderita mengindap diabetes melitus selama 5–10 tahun atau lebih (Tobing dr. Ade, 2008).
(31)
Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetika (DKA), koma nonketosis hiperglikemia. Sementara komplikasi kronis meliputi komplikasi mikrovaskuler (komplikasi di mana pembuluh–pembuluh rambut kaku atau menyempit sehingga organ yang seharusnya mendapatkan suplai darah dari pembuluh–pembuluh tersebut menjadi kekurangan suplai) dan komplikasi makrovaskuler (komplikasi yang mengenal pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga terjadi aterosklerosis) (Tobing dr. Ade, 2008).
Berikut beberapa kerusakan dan gangguan yang terjadi akibat komplikasi penyakit diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):
Kerusakan pada pembuluh darah (vasculopathy), kerusakan pada dinding pembuluh darah akan mengakibatkan masalah pada jantung dan otak, serta gangguan pada pembuluh darah di kaki. Akibatnya, makro dan mikrovaskuler sirkulasi akan terganggu, peningkatan tekanan darah, dan infark hati dan cerebral.
Gangguan fungsi jantung, gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke jantung terhambat atau terjadi iskemia (kekurangan oksigen di otot jantung), timbul angina pectoris (sakit di daerah dada, lengan, dan rahang), bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung.
Gangguan fungsi pembuluh otak, pasien sering merasakan berat di belakang kepala, leher, dan pundak, pusing (vertigo), serta pendengaran dan penglihatan terganggu. Jika hal ini dibiarkan, gangguan neurologis akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang disebabkan oleh penyumbatan atau pendarahan.
Tidak stabilnya tekanan darah, tidak stabilnya atau seimbangnya tekanan darah yakni kadang tinggi atau rendah banyak terjadi pada pasien diabetes melitus. Tekanan darah tinggi disebabkan oleh buruknya kondisi pembuluh darah dan memburuknya fungsi ginjal.
Gangguan pada sistem saraf, neuropathy adalah salah satu komplikasi diabetes melitus. Kerusakan pada sistem saraf ini lebih mengacu pada saraf sensorik (saraf perasa), menimbulkan rasa sakit, kesemutan, serta baal (mati rasa) pada kaki dan tangan. Kerusakan pada sistem motorik
(32)
memang lebih sedikit, gangguan ini termanefestasi pada berkurangnya tenaga otot dan volume dari jaringan otot.
Gangguan mata (retinopathy), disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini bahkan bisa menjadi salah satu penyebab kebutaan. Retinopathy
sebenernya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain oleh gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan adanya biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat–zat tertentu pada jaringan retina.
Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada dokter mata secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes.
Gangguan ginjal (nefropathy), sebab utama gangguan ginjal pada pasien diabetes adalah buruknya mikrosirkulasi. Gangguan ini sering muncul paralel dengan gangguan pembuluh darah di mata. Penyebab lainnya adalah proses kronis dari hipertensi yang akhirnya merusak ginjal. Kebanyakan pasien sebelumnya tidak memiliki keluhan ginjal.
Gangguan pada kaki karena diabetes melitus, kaki adalah bagian tubuh yang paling sensitif pada pasien diabetes melitus. Ada beberapa faktor yang berperan dalam perubahan ini, yaitu terhambatnya sirkulasi menimbulkan rasa sakit pada betis kaki sewaktu berjalan, gangren (gangguan makro dan mikrosirkulasi vasculopathy), gangguan pada saraf (neuropathy), yakni kerusakan pada saraf di otot, kulit, dan kerusakan saraf autonom yang mengganggu regulasi keringat, dan sensitif terhadap infeksi di kaki.
Gangguan pada otot dan sendi–sendi, terhambatnya ruang gerak sendi dan otot banyak diderita pada orang tua. Namun, kini gejala tersebut juga kerap dirasakan pada pasien usia muda yang menderita diabetes melitus tipe 2.
(33)
2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penilaian klinis pada pasien setelah menegakkan diagnosis diabetes melitus, lakukan terapi komplikasi metabolik akut dan terapi hipoglikemik seumur hidup, pemeriksaan untuk mencari kerusakan pada organ setiap 6–12 bulan penglihatan (retinopati dan katarak), sistem kardiovaskuler (denyut nadi perifer, tanda–tanda gagal jantung, hipertensi), sistem saraf (neuropati sistem saraf otonom dan saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus, gangren, dan infeksi). Fungsi ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa.
Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi dan harus memungkinkan pasien menjalani hidup normal, hal ini membutuhkan edukasi dan dukungan kepada pasien.
Usaha memaksimalkan prognosis tergantung pada kontrol glukosa darah secara optimal dan menyingkirkan faktor–faktor risiko kardiovaskuler seperti merokok, hipertensi (usahakan tekanan darah <130/80 mmHg), dan hiperlipidemia. Kontrol kadar glukosa yang optimal dengan sendirinya dapat memperbaiki kadar kolesterol, namun apabila kadar kolesterol tetap tinggi setelah ini, terapi penurunan lipid secara agresif dengan statin dapat dilakukan. Hampir semua orang yang menderita diabetes dan memiliki penyakit vaskuler seharusnya mendapat terapi statin (Davey Patrick, 2005).
Karena penting bagi pasien untuk pemeliharaan pola makan yang teratur, maka penatalaksanaan dapat dilakukan dengan perencanaan makanan. Tujuan perencanaan makanan dan dalam pengelolaan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid dalam batas normal, menjamin nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan anak dan remaja, ibu hamil dan janinnya, dan mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, dkk, 2002).
Latihan jasmani yang teratur memegang peran penting terutama pada DM tipe 2. Manfaatnya adalah memperbaiki metabolisme atau menormalkan kadar glukosa darah dan lipid darah, meningkatkan kerja insulin, membantu menurunkan berat badan, meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri, dan mengurangi risiko kardivaskuler (Waspadji, dkk, 2002).
(34)
Menggunakan obat hipoglikemik oral, dapat dijumpai dalam bentuk golongan sulfonilurea, golongan biguanida, dan inhibitor glukosidase alfa (Waspadji, dkk, 2002).
Menurut American College of Clinical Pharmacy merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM.
Tabel 2.3. Target Pelaksanaan Diabetes Melitus
Paramete r Kadar Ideal yang Diharapkan
Kadar plasma glukosa puasa 70 – 130 mg/dl Kadar plasma glukosa sete lah makan < 180 mg/dl
Kadar hemoglobin A1c <7%
Kadar HDL >45 mg/dl = pria , >50 mg/dl = wanita
Kadar LDL 100 – 129 mg/dl
(35)
Gambar 2.1. Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro Et, al,2009)
Edukasi/nutrisi/olahraga
Target:HbA1c ≤ 6,5 – 7,0 % (penurunan
0,5-1,0%), GDS : 110 – 130 mg/dl, GDPP : 140 - 180
Pilihan
monoterapi lain: Pioglitazone, Rosiglitazone, Nateglinid, Akarbose/insulin, Insuln analog Monoterapi/kombinasi
awal sulfonylurea dan atau metformin Target tercapai
Di cek HbA 1 c tiap 3-6 bulan
Target tidak tercapai setelah 3
bulan
Kombinasi lain: Metformin/sulfonilurea dengan
pioglitazone/rosiglitazon atau akarbose/miglitol
Metformin dengan
nateglinid/insulin/insulin analog
(monoterapi/kombinasi) Target tercapai
Terapi dilanjutkan atau dicek HbA 1 c tiap 3-6
bulan Kombinasi
sulfonilurea
Target tercapai
Target tidak tercapai setelah 3-6 bulan
Insulin kerja menengah atau 1x perhari glargin. Sebelum pemberian insulin kerja regular atau lispro/aspart tambah 3 kombinasi antidiabetik oral atau diganti untuk memisah dosis insulin/insulin analog terapi berkunjung ke endorinologis.
Awal Intervensi
Terapi dilanjutkan atau dicek HbA 1 c tiap 3-6 bulan
(36)
2.1.10 Penggolongan Obat Diabetes Melitus
Menurut American College of Clinical Pharmacy, 2013 dalam istiqomah, 2013, terdapat 9 golongan antidiabetes oral (ADO) DM tipe 2 dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonilurea, meglitinid, biguanid,
penghambat α-glukosidase, tiazolidindion, penghambat dipeptidyl peptidase-4, sekuestran asam empedu, bromokriptin, dan produk kombinasi. Kesembilan golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja.
1) Sulfonilurea
Mekanisme kerjanya dengan mengikat reseptor pada sel beta pankreas, membentuk membran depolarisasi dengan stimulasi sekresi insulin. Generasi pertama yaitu, tolbutamide, klorpropamid. Generasi kedua yaitu:
a) Gliburid dengan dosis 2,5-5,0 mg 1 atau 2x sehari dengan dosis maksimal per hari 20 mg, gliburid dengan dosis 1,5-3 mg 1 atau 2x sehari dengan dosis maksimal per hari 12 mg.
Contoh sediaan seperti Glibenkamid (generik), Abenon (Heroic), Clamega (Emba Megafarma), Condiabet (Armoxindo), Daonil (Aventis).
Memiliki efek hipoglikemik yang poten sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Gliburid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit di ekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburid efektif dengan pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam. Diperkirakan memiliki efek terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal dan hati (Handoko dan Suharto, 1995). b) Glipizid dengan dosis 5 mg 1 atau 2x sehari (extended release) dengan
dosis maksimal per hari 40 mg.
Contoh sediaan seperti Diamicron (Darya Varia), Glibet (Dankos), Glicab, Glidabet.
(37)
Mempunyai efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan efek hipoglikemik. Mempunyai efek antiagregasi trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal (Soegondo, 1995b).
c) Glimepirid dengan dosis 1-2 mg 1x sehari dengan dosis maksimal per hari 8 mg, contoh sediaan seperti Amaryl. Memiliki waktu mula kerja yang pendek dan waktu kerja yang lama, sehingga umum diberikan dengan cara pemberian dosis tunggal. Untuk pasien yang berisiko tinggi, yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik pada awal pengobatan (Soegondo, 1995b).
d) Glibenklamid dengan dosis 2,5-5 mg/hari dengan dosis maksimal perhari 15 mg.
e) Glikuidon dengan dosis 15 mg/hari dengan dosis maksimal perhari 60 mg. Contoh sediaan seperti Gluronerm (Boehringer ingelhem).
Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan serangan hipoglikemik. Karena hampir seluruhnya diekskresi melalui empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal dan hati yang agak berat (Soegondo, 1995b).
Efek merugikan secara umum seperti hipoglikemia, penambahan berat badan. Dan efek yang jarang terjadi seperti ruam kulit, sakit kepala, mual, muntah, dan fotosintesis.
Kontraindikasinya seperti hipersensitivitas dengan sulfonamide, pasien dengan tidak sadar menderita hipoglikemi, fungsi ginjal tidak berfungsi baik (glipizid merupakan pilihan yang lebih baik daripada gliburid atau glimepirid pada pasien yang geriatri atau memiliki kelemahan pada ginjal karena obat atau metabolit aktif tidak dapat dieliminasi di dalam ginjal).
Efikasi dari sulfonamida ini seperti reduksi 1%-2% HbA1c, dan semua pengobatan untuk mengobati hiperglikemia. Interaksi obat yang terjadi dengan obat sulfonilurea dapat meningkatkan risiko hipoglikemia
(38)
sewaktu pemberian obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain dengan: alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezide, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin, steroida anabolitik, fenfluramin, dan klofibrat.
2) Meglitinid
Mekanisme kerja dari golongan meglitinid sama dengan sulfonilurea yaitu, meningkatkan sekresi insulin dari pankreas tetapi onset lebih cepat dan waktu durasi lama.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karena itu harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara berhati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
Efek merugikan seperti hipoglikemia (lebih kecil dibandingkan dengan sulfonilurea), berat badan berkurang, infeksi pernapasan meningkat. Kontraindikasi seperti hipersensitivitas, penggunaan repaglinid dengan gemfibrozil dapat meningkatkan konsentrasi repaglinid. Efikasi seperti reduksi 0,5%-1,5% HbA1c (repaglinid menunjukan penurunan HbA1c lebih dari nateglinid), lebih efektif pada postprandial glukosa.
Obat golongan meglitinid seperti:
Repaglinid, dosis lazim 0,5-1 mg 15 menit sebelum makan. Dosis maksimum per hari 16 mg.
Contoh sediaan, Prandin/NovoNorm/GlucoNorm (Novo Novdisk). Merupakan turunan asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per oral, dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Soegondo, 1995b).
Nateglinid, dosis 120 mg sebelum makan. Dosis 60 mg jika HbA1c mendekati tujuan yang diinginkan.
(39)
Contoh sediaan, Starlix (Novartis Pharma AG).
Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja mirip dengan repaglinid. Diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas (ISPA) (Soegondo, 1995b).
3) Biguanid (Metformin)
Mekanisme kerjanya mereduksi glukoneogenesis hati, juga menimbulkan efek yang menguntungkan sehingga meningkatkan sensitivitas insulin. Dosis lazim 500 mg 1 atau 2x sehari, dengan dosis maksimum perhari 2250 mg. Dapat meningkatkan interval pemakaian mingguan. Menurunkan dosis lazim dan titrasi lambat pada gastrointestinal (GI).
Efek merugikan secara umum seperti mual, muntah, dan diare. Efek yang jarang terjadi seperti menurunkan konsentrasi vitamin B12, asidosis laktat. Gejala asidosis laktat termasuk mual, muntah, meningkatkan laju respirasi, sakit perut, syok, dan takikaardia. Kontraindikasi seperti kelemahan pada ginjal, usia 80 tahun atau lebih, risiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan hati. Efikasi yang terjadi seperti reduksi 1%-2% HbA1c, mereduksi TG dan kehilangan berat badan, dan menjadi pertimbangan terapi lini pertama karena kontraindikasi yang sedikit. Interaksi obat seperti mengganggu absorpsi vitamin B12, berinteraksi dengan simetidin dengan menurunkan klirens metformin di ginjal.
Contoh sediaan, metformin (generik), benoformin (Benofarma), bestab (Yekatria). Metformin, satu-satunya golongan biguanid yang masih digunakan sebagai obat antidiabetes oral. Bekerja menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel-sel otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-40%. Menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis (Soegondo, 1995b).
(40)
4) Penghambat α-glukosidase
Mekanisme kerja obat ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa
postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini diberikan pada waktu mulai makan dan absorpsi buruk.
Dua obat yang tergolong obat ini yaitu: a) Akarbose
Akarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan sulfonilurea, metformin, atau insulin. Interaksi obat yang terjadi seperti diperlemah oleh kolestiramin, absorben usus, enzim pencernaan. Contoh sediaan, Glucobay (Bayer), Precose.
Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila akarbose diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada pemberian sukrosa, polisakarida, dan maltosa (Departemen Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007).
b) Miglitol
Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea. Contoh sediaan, Glycet.
Dosis lazimnya 25 mg 3x sehari bersamaan dengan makan. Maksimal perhari 300 mg. Efek merugikan seperti diare dan sakit perut. Meningkatkan enzim di hati dengan meningkatnya dosis akarbosa. Kontraindikasi seperti inflamasi pada perut, ulserasi usus kecil, obstruksi
(41)
pencernaan. Efikasi yang terjadi, reduksi 0,5%-0,8% HbA1c. Tidak efektif pada pasien dengan diet karbohidrat rendah.
5) Tiazolidindion
Mekanisme kerjanya seperti proliferasi peroksisom mengaktifkan reseptor gamma antagonis. Dan meningkatkan sensitivitas insulin dan produksi metabolisme glukosa. Efek merugikan seperti kehilangan berat badan, retensi cairan, fraktur tulang, meningkatkan risiko gagal jantung, dan meningkatkan infark miokardia. Kontraindikasinya seperti kelemahan ginjal dan gagal jantung.
Efikasi seperti reduksi 0,5-1,4% HbA1c. Keduanya meningkatkan HDL-C, tetapi pioglitazon mempunyai efek yang lebih baik untuk mereduksi LDL-C dan TG bila dibandingkan dengan rosiglitazon.
Dua golongan obat ini adalah:
Pioglitazon, dosis lazim 15 mg 1x sehari dengan dosis maksimum perhari 45 mg.
Rosiglitazon, dosis lazim 1-2 mg 1x sehari dengan dosis maksimum perhari 8 mg.
6) Penghambat dipeptidyl peptidase-4
Mekanisme kerjanya seperti menghambat kerusakan glukagon like peptide (GLP 1), dapat meningkatkan sekresi insulin 1. Efek merugikan seperti infeksi saluran urin, sakit kepala, hipoglikemia. Kontraindikainya seperti hipersensitivitas dan memiliki riwayat pankreatitis. Efikasi pada reduksi 0,5-0,8% HbA1c.
Ada 2 golongan obat ini:
Sitagliptin, dosis 100 mg 1x sehari. Efek samping pada beberapa kondisi dapat menyebabkan pankreatitis akut, angioderma, sindrom steven johnson dan anafilaksis.
Saxagliptin, dosis 5 mg 1x sehari. 7) Sekuestran asam empedu
Mekanisme kerjanya menurunkan konsentrasi glukosa belum diketahui, selain itu asam empedu digunakan untuk managemen kolesterol. Dosisnya 625 mg 1x sehari atau 625 mg 2x sehari.
(42)
Efek merugikan dari obat ini seperti konstipasi, dispepsia, mual, dan muntah. Efikasi dari obat ini seperti reduksi 0,3%-0,5% HbA1c. Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien obstruksi perut, serum TG lebih besar dari 500 mg/dL. Pasien dengan keadaan tidak dapat menelan, disfasia, dan serum TG dengan konsentrasi lebih dari 300 mg/dL.
8) Bromokriptin
Mekanisme kerja dari obat ini belum diketahui dengan pasti. Dosis lazimnya 0,8 mg 1x sehari, bersamaan dengan makanan. Dan dosis maksimumnya perhari 4,8 mg. Efek merugikan obat ini mual, muntah, malas, sakit kepala, hipotensi, dan kelaparan. Kontraindikasinya sebaiknya tidak digunakan pada pasien migrain. Efikasi obat ini reduksi 0,1%-0,6% HbA1c.
9) Produk kombinasi
Metformin dengan gliburid, glipizid, sitagliptin, repaglinid, pioglitazon, dan rosiglitazon. Selain itu glimepirid dengan pioglitazon atau rosiglitazon.
Insulin
Kategori insulin menurut American College of Clinical Pharmacy dan Farmakologi & Terapi:
Insulin kerja cepat, insulin regular, onsetnya 30-60 menit, dengan waktu injeksi sebelum makan 30 menit, puncak kerja obat 2-3 jam, dengan durasi 4-6 jam. Insulin kerja sangat cepat, insulin aspart/lispro/glulisin, onsetnya 5-20 menit,
dengan waktu injeksi sebelum makan 15 menit, puncak kerja obat 1-3 jam, dengan durasi 3-5 jam.
Insulin kerja menengah, NPH Lente, onsetnya 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 4-8 jam, dengan durasi 10-20 jam.
Insulin kerja panjang, Detemir, Glargine, onsetnya 2-4 jam atau 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 6-8 jam, dengan durasi 6-24 jam.
(43)
Kebutuhan insulin pada pasien DM umumnya berkisar antara 5–150 IU sehari, tergantung keadaan pasien. Selain faktor tersebut, untuk penetapan dosis perlu diketahui kadar glukosa darah puasa dan dua jam sesudah makan serta kadar glukosa dalam urin empat porsi, yaitu antara jam 7-11, jam 12-16, jam 16-21, dan jam 21-7.
Dosis terbagi insulin digunakan pada DM: Tidak stabil dan sukar dikontrol
Bila hiperglikemi berat sebelum makan pagi tidak dapat dikoreksi dengan insulin dosis tunggal perhari
Pasien yang membutuhkan insulin lebih dari 1000 IU perhari. Pada pasien ini diet karbohidrat sebaiknya dibagi menjadi 6-7 kali pemberian.
Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5 IU/kg berat badan. Untuk terapi awal, regular insulin dan insulin kerja sedang merupakan pilihan dan diberikan 2 kali sehari. Untuk DM dewasa yang kurus 8-10 IU insulin kerja sedang diberikan 20-30 menit sebelum makan pagi dan 4 IU sebelum makan malam. Dosis ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil pemeriksaan glukosa darah dan urin (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
2.2 Hiperbarik Oksigen (HBO)
2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik
Pada tahun 1921, Dr. Cunningham mulai mengemukakan teori dasar tentang penggunaan hiperbarik oksigen untuk mengobati keadaan hipoksia. Dr. Orville Cunningham, seorang professor dalam bidang anestesi, mendirikan sebuah bangunan bernama Steel Ball Hospital pada tahun 1928. Bangunan tersebut terdiri atas 6 lantai dan diameter 64 kaki. Bangunan tersebut mempunyai tekanan 3 atmosfer. Tetapi Rumah Sakit tersebut ditutup pada tahun 1930 karena tidak mempunyai bukti ilmiah yang cukup yang mengindikasikan terapi tersebut untuk memperingan penyakit (Neuman S Tom, 2008).
Angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian terhadap terapi oksigen hiperbarik pada tahun 1930an untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer.
(44)
Karena hasil yang baik pada tahun 1940, US Navy menetapkan terapi oksigen hiperbarik sebagai terapi standar untuk para penyelam militer yang menderita penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri. Pada tahun yang sama, standar keamanan dan indikasi terapi oksigen hiperbarik dibuat. Pada tahun 1850an, Bertin dari Eropa membuat chamber hiperbariknya sendiri dan menulis buku pertama yang membahas tentang teknologi medik dengan oksigen hiperbarik. Pada tahun 1956, terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan pada penyakit yang tidak berhubungan dengan penyelaman. Pada waktu yang bersamaan, banyak peneliti yang mulai tertarik dengan penelitian terapi dengan oksigen ini. Tetapi yang pertama kali menggunakan terapi oksigen hiperbarik dan disebut dengan bapak dari terapi oksigen hiperbarik adalah seorang dokter bedah berkebangsaan Belanda, Ita Boerema, yang melakukan operasi di dalam kamar bertekanan tinggi. Pada tahun 1960 dan 1970, terapi oksigen hiperbarik mulai digunakan untuk berbagai penyakit (Neuman S Tom, 2008).
Pada tahun 1662, pendeta berkebangsaan Inggris bernama Henshaw mulai tertarik dengan pengobatan dengan terapi oksigen hiperbarik. Ia membangun sebuah struktur bernama domicillium yang digunakan untuk mengobati bermacam–macam penyakit. Kamar tersebut diberikan tekanan. Pada tahun 1875, Forlanini dari Itali yang pertama menemukan treatment oksigen hiperbarik untuk
artificial pneumothotaks; tuberkulosis. Ide mengobati pasien dibawah tekanan tinggi dikembangkan lagi oleh dokter bedah berkebangsaan Perancis bernama Fontaine pada tahun 1879. Dia memperkenalkan ruang operasi hiperbarik mobile, muat untuk 12 orang (Neuman S Tom, 2008). Sejak saat itu, terapi hiperbarik terus dikembangkan dan diperluas penggunaannya untuk bidang kesehatan.
Mengetahui besarnya manfaat terapi hiperbarik dalam penyembuhan berbagai penyakit sudah selayaknya terapi hiperbarik dijadikan salah satu terapi pengobatan baru yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Indonesia, perawatan untuk terapi oksigen hiperbarik ini masih sangat sedikit. Hanya daerah–daerah tertentu yang memiliki ruang hiperbarik. Dan masih banyak tenaga kesehatan khususnya di bidang kedokteran belum mengenal dan mengerti manfaat terapi hiperbarik.
(45)
Di Indonesia sendiri, terapi oksigen hiperbarik pertama kali dimanfaatkan pada tahun 1960 oleh Lakesla yang bekerjasama dengan RS AL Dr. Ramelan, Surabaya. Hingga saat ini fasilitas tersebut merupakan yang terbesar di Indonesia. Adapun beberapa rumah sakit lain yang memiliki fasilitas terapi oksigen hiperbarik adalah (Nuh Huda, 2010):
RS PT Arun, Aceh
RS AL Dr. Midiyatos, Tanjung Pinang RS AL Dr. MINTOHARDJO, Jakarta RS Pertamina, Cilacap
RS Panti Waluyo, Solo Lakesla TNI AL, Surabaya RSU Sanglah, Denpasar, dll
2.2.2 Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik
Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan. Dengan kata lain terapi hiperarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan yang tinggi. Pada awalnya terapi hiperbarik hanya digunakan untuk mengobati
decompression sickness, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam cairan tubuh baik dalam sel maupun di luar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan di setiap organ dalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat bergantung pada jumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik berkembang fungsinya untuk terapi bermacam–macam penyakit, beberapa diantaranya seperti, stroke, multiple sclerosis, cerebral edema, keracunan karbon monoksida dan sianida, trauma kepala tertutup, gas ganggrene, peripheral neuropathy,osteomyelitis, sindroma kompartemen, diabetic neuropathy, migraine, myocardial infarction (Guyton. A. C. & Hall. JE, 2006).
Hiperbarik oksigen (HBO) adalah suatu cara terapi di mana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (Atmosfer Absolute) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
(46)
Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi tergantung pada kondisi pasien dengan rentang satu sesi untuk keracunan ringan karbon monoksida hingga enam puluh sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki. (Hanabe, 2004).
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan dalam 10 hari untuk 1 sesi. Penentuan frekuensi terapi yang dilakukan pasien sesuai dengan pemeriksaan pada pasien setelah terapi. Apabila hasil pemeriksaan sudah sesuai target penyembuhan penyakit, maka terapi dapat dihentikan. Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi, pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen pada pasien (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
Oksigen 100% diberikan dengan menggunakan masker, sementara gas disekitar tubuh merupakan udara normal yang terkompresi pada tekanan yang sama. Di dalam RUBT posisi penderita bisa duduk/tiduran (Mahdi, 1999 dalam Samsudin, 2003). RUBT merupakan suatu tabung yang terbuat dari plat baja yang dibuat sedemikian rupa sehingga mampu diisi udara tekan mulai dari 1 ATA (Atmosfer Absolute) sampai beberapa ATA, tergantung jenis dan penggunaannya (Mahdi, 1999 dalam Samsudin, 2003).
Aspek fisika
Untuk praktisnya, komposisi udara disederhanakan menjadi 21% O2, 79%
N2. Tekanan total dari campuran gas ini pada permukaan air laut adalah 760
mmHg (Jain, 1999).
Hukum Dalton mengatakan, tekanan gas pada suatu campuran gas berbanding lurus dengan proporsi gas tersebut terhadap total volume campuran gas itu, tekanan parsial suat gas = tekanan absolut x proporsi terhadap volume total gas. Jadi tekanan parsial oksigen (PO2) di udara adalah 760 x 21 / 100 = 160
(47)
Hukum boyle: Apabila temperatur tetap, volume gas berbanding terbalik dengan tekanannya. Oleh karena itu gas-gas yang terdapat pada rongga-rongga tubuh volumenya akan terpengaruh oleh keadaan hiperbarik.
Aspek fisiologi
Aspek fisiologi dari terapi HBO mencakup beberapa hal yaitu sebagai berikut:
a. Fase Respirasi
Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi, transportasi, utilisasi, dan diffusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu organisme mendapatkan kondisi yang optimal. Efek fisiologis dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam plasma (Mahdi, 2009).
Seperti diketahui, kekurangan oksigen pada tingkat sel menyebabkan terjadinya gangguan kegiatan basal yang pokok untuk hidup suatu organisme. Untuk mengetahui kegunaan HBO dalam mengatasi hipoksia seluler, perlu dipelajari fase–fase pertukaran gas sebagai berikut:
1) Fase Ventilasi
Fase ini merupakan penghubung antara fase transportasi dan lingkungan gas di luar. Fungsi dari saluran pernafasan adalah memberikan O2 dan membuang CO2 yang tidak diperlukan dalam
metabolisme. Gangguan yang terjadi dalam fase ini akan menyebabkan hipoksia jaringan. Gangguan tersebut meliputi gangguan membran alveoli, atelektasis, penambahan ruang rugi, ketidakseimbangan ventilasi alveolar, dan perfusi kapiler paru (Pennefather, 2002).
2) Fase Transportasi
Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan organ-organ (sel dan jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas yang dibutuhkan dan membuang gas yang dihasilkan oleh proses metabolisme. Gangguan dapat terjadi pada aliran darah lokal atau
(1)
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Neuman S Tom & Stephen R. Thom. 2008.
Physiology and medicine of
hyperbaric oxygen therapy
. United States of America.
Notoatmodjo, S. 2002.
Metodologi Penelitian Kesehatan.
Rineka Cipta. Jakarta.
Pennefather, J. 2002.
Hyperbaric Equipment; Diving & Subquatic Medicine.
Oxford University Press. London.
PERKENI. 2007.
Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Price ME, Stabler CM, Kemper GB, 1995.
Evaluation of glucose monitoring
devices in the hyperbaric chamber.
Military Medicine, 1995, 160 (30):
143-6.
Samsudin Moh. 2003.
Pengaruh Oksigen Hiperbarik terhadap tekanan intra
okuler mata normal.
Semarang.
Soegondo. 1995.
Penyuluhan Sebagai Komponen Terapi Diabetes, Diabetes
Melitus Penatalaksanaan Terpadu.
Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.
Soegondo S. 2005.
Prinsip Pengobatan Diabetes, Obat Hipoglikemik Oral dan
Insulin.
Balai Penerbit FK UI. Depok.
Sudoyo, Aru W, Dr.dr.2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV
.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tandra Hans. 2008.
Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang diabetes:
panduan lengkap mengenal & mengatasi diabetes dengan cepat dan
mudah.
PT: Gramedia. Jakarta.
Tjokroprawiro, A. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
. Airlangga University
Press. Surabaya.
Tobing dr. Ade, dkk. 2008.
Care Your Self : Diabetes Mellitus
. PenebarPlus
+.
Jakarta.
Wahyuni sri. 2010.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit diabetes
melitus daerah perkotaan di Indonesia tahun 2007 (analisis data sekunder
Rikesda 2007)
. Jakarta.
Waspadji, S, dkk. 2002.
Komplikasi Kronik Diabetes. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam ed 3.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(2)
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Widiyanti Prihatini. 2001.
Pengaruh Oksigen Hiperbarik Terhadap Agregasi
Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
. Surabaya.
Wijayanto Indra. 2000.
Pengaruh HBO pada diabetes melitus melalui pengukuran
HbA1c.
Surabaya.
World Health Organization. 1999.
Definition, Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus and its Complications Report of a WHO Consultation
Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
WHO
Department of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva.
World Health Organization. 2011.
Definition, Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus and its Complications Report of a WHO Consltation.
WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva.
Zahtamal, Chandra, F., Suyanto, dan Restuastuti, T. 2007.
Faktor-faktor Risiko
Pasien Diabetes Melitus.
Berita Kedokteran Masyarakat. Jakarta. Vol. 23,
(3)
73 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Pasien diabetes yang menggunakan obat antidiabetes dan terapi hiperbarik
di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat
No Nama
L / P
Usia
(thn) Obat
Antidiabetes
Dosis
Freku ensi OHB (sesi)
Se belum Terapi Hiperbarik
Setelah Terapi Hiperbarik
Keadaan Pasien Keluar (T/TT) HbA1c (%) GDS(mg
/dL)
HbA1c (%) GDS(mg/ dL) 1 Tini P 77 Metformin +
Glimepirid
3x500 mg 1x2 mg
1 8.6 215 6,4 130 T
2 Didi L 75 Metformin + Glimepirid
3x500 mg 1x2 mg
4 11.2 278 7,0 116
T
11.7 262 7,0 130
10.2 243 7,0 122
9.7 230 6,9 112
3 Umar L 70 Metformin + Glimepirid
3x500 mg 1x2 mg
2 9.4 226 6,8 130 T
8.6 210 6,4 115
4 Harto L 55 Metformin+ Glimepirid
3x500 mg 1x2 mg
2 8.1 216 7,0 129 T
9.2 218 6,7 120
5 Budhi L 55 Inj. novorapid 3x8 ui 2 8.9 240 7,0 130 T
7.8 235 6,9 129
6 Faruk L 56 Inj. novorapid 3x8 ui 2 9.5 215 7,0 128 T
8.3 220 6,8 129
7 Agus L 56 Metformin 3x500 mg 1 10.7 210 6,8 128 T
8 Iwan L 56 Metformin 3x500 mg 1 9.7 218 6,6 125 T
9 Sry P 61 Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid +
Inj. lantus
1x2 mg 3x500 mg
3x12 ui 1x12 ui
2 10.2 278 6,5 129
T
7.6 220 6,5 125
10 Teguh L 49 Metformin 3x500 mg 1 9.1 199 6,9 130 T
(4)
74 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
h 8.8 280 9,7 200
7.9 258 6,9 124
12 Djoko L 69 Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid +
Inj. lantus
1x2 mg 3x500 mg
3x12 ui 1x12 ui
2 10.1 360 8,0 227
TT
11.7 309 8,3 209
13 Imlati P 70 Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid +
Inj. lantus
1x2 mg 3x500 mg
3x12 ui 1x12 ui
2 10.7 284 9,6 219
T
8.9 207 7,0 118
14 Bamba ng P
L 61 Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid +
Inj. lantus
1x2 mg 3x500 mg
3x12 ui 1x12 ui
2 11.8 288 7,8 232
T
7.8 209 6,5 130
15 Aries L 46 Inj novorapid 3x8 ui 1 9.2 226 6,9 128 T
16 sutan miwati
L 60 Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid +
Inj. lantus
1x2 mg 3x500 mg
3x12 ui 1x12 ui
5 11.8 319 8,2 251
T
10.5 288 8,5 250
9.7 254 8,9 200
8.1 220 7,0 127
8.1 209 6,8 115
17 Sjafrie L 61 Metformin + Glimepirid
3x500 mg 1x2 mg
2 12.6 226 9,7 200 T
8.1 208 6,9 118
18 Milla P 55 Metformin + Glimepirid + Inj. novorapid
3x500 mg 1x2 mg 3x12 ui
2 9.5 284 8,9 200
T
8.1 207 6,7 120
19 Niluh L 50 Metformin + Glimepirid + Inj novorapid
3x500 mg 1x2 mg
3x8 ui
1 10.4 243 7,0 130 T
20 I gusti made
L 60 Metformin + glimepirid +
3x500 mg 1x2 mg
(5)
75 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Inj novorapid 3x8 ui 8.1 278 9,7 204
21 C.
budhi
L 61 Metformin + Glimepirid + Inj novorapid
3x500 mg 1x2 mg
3x8 ui
2 8.4 207 6,4 129
T
7.7 211 6,7 117
22 Haryo-no
L 58 Metformin + Glimepirid + Inj novorapid
3x500 mg 1x2 mg
3x8 ui
2 9.9 245 8,8 210
TT
8.9 277 8,7 212
23 Eddy L 61 Metformin + Glimepirid
3x500 mg 1x2 mg
2 9.8 211 9,8 200 T
8.1 205 7,0 124
24 Bamba ng W
L 55 Inj novorapid + Inj lantus
3x10 ui 1x12 ui
2 7.8 284 8,9 219 T
7.8 265 6,4 123
25 Adam L 58 Inj novorapid + Inj lantus
3x8 ui 1x12 ui
2 11.5 234 6,6 130 T
9.3 207 6,9 129
26 Risyof L 53 Inj novorapid + Inj lantus
3x8 ui 1x12 ui
2 8.9 270 7,0 130 T
8.7 248 6,5 128
27 Taufik L 60 Inj novorapid + Inj lantus
3x12 ui 1x12 ui
2 10.7 307 9,7 264 TT
11.2 276 8,9 208
28 Bamba ng w
L 61 Metformin + Glimepirid
3x500 mg 1x2 mg
2 8.9 360 8,0 227 TT
8.7 267 8,5 210
29 Saleh L 57 Inj novorapid + Inj lantus
3x12 ui 1x12 ui
2 11.3 319 7,9 260 T
8.4 232 7,1 119
30 Supri L 52 Inj novorapid + Inj lantus
3x12 ui 1x12 ui
2 7.8 278 6,4 121 T
7.6 219 6,3 130
Rata-rata 9,37 249,214 7,5 158,7
Standar Deviasi 1,38 39,7 1,109 48,8
Keterangan:L: laki-laki, P: perempuan, OHB: oksigen hiperbarik, atm:atmosfer absolut, thn: tahun, wkt: waktu, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, TK: terkendali, TTK: tidak terkendali, Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL (Dipiro et al, 2009)
(6)
76 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c dan GDS Pasien Sebelum dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik
di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015
Paired Samples Test Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 GDS_sbl - GDS_ssd 9.05167E1 31.95415 4.12526 82.26204 98.77130 21.942 59 .000
Keterangan:
p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik menunjukan terjadi perubahan kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik
Paired Samples Test Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 HbA1c_sbl - HbA1c_ssd 1.87000 1.32873 .17154 1.52675 2.21325 10.901 59 .000
Keterangan:
p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik menunjukan terjadi perubahan kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik