BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian anak - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak

2.1.1 Pengertian anak

  Indonesia memiliki beragam persepsi yang memuat berbagai macam definisi dan kriteria tersendiri mengenai anak yang diatur dalam hukum nasional.

  Namun, secara khusus belum terdapat ketentuan yang secara jelas dan seragam yang mengatur tentang batasan usia seseorang dapat dikelompokkan sebagai anak.

  Hal itu dapat dilihat dari beberapa perumusan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengertian anak antara lain; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.

  Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefenisikan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Menurut Undang-Undang Nomor

  35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 menetapkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun (Huraerah, 2007 : 33).

2.1.2 Hak-hak anak

  Hak Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi baik oleh keluarga, masyarakat dan juga pemerintah dan negara. Dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Setiap anak berhak atas kesejahteraan, mendapatkan kelembutan, kasih sayang, perawatan, bimbingan, pengasuhan, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

  Peran anak yang strategis dalam menentukan masa depan bangsa sangat disadari oleh masyarakat dunia untuk melahirkan sebuah perjanjian internasional melalui Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children). Konvensi Hak Anak sebagai suatu instrumen internasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara khusus memberikan perlindungan akan hak-hak anak. Perjanjian ini menekankan posisi anak sebagai manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.KHA telah hampir diratifikasi oleh semua anggota badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk negara Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan hak-hak anak yang dilakukan dengan mengakui adanya hak-hak anak serta melaksanakan dan menjamin terlaksananya hak-hak anak di masyarakat.

  KHA berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara sebagai pihak yang meratifikasi peraturan tersebut. Materi hukum mengenai hak-hak anak tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu: a.

  Hak atas kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak-hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya.

  b.

  Hak perlindungan, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

  c.

  Hak untuk tumbuh kembang, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi segala bentuk pendidikan formal maupun non formal dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.

  d.

  Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak-hak dalam KHA yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.

  Adapun hak-hak dasar anak menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak meliputi : a.

  Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan b.

  Hak atas pelayanan c.

  Hak atas pemeliharaan dan perlindungan d.

  Hak atas perlindungan lingkungan hidup e. Hak mendapat pertolongan pertama f. Hak memperoleh asuhan g.

  Hak memperoleh bantuan h. Hak diberi pelayanan dan asuhan i. Hak memperoleh pelayanan khusus j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan

2.1.3 Kebutuhan anak

  Setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar.

  Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orangtua dan anak yang sehat di mana kebutuhan anak, seperti perhatian dan kasih sayang, perlindungan dan pemeliharaan harus dipenuhi oleh orangtua (Katz, dalam Huraerah, 2007: 38).

  Kebutuhan umum anak adalah mendapatkan perlindungan, kasih sayang, perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan sosial yang sehat. Sementara itu, Huttman (dalam Huraerah, 2007: 38) merinci kebutuhan anak sebagai berikut : 1.

  Kasih sayang 2. Stabilitas emosional 3. Pengertian dan perhatian 4. Pertumbuhan kepribadian 5. Dorongan kreatif

  6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar 7.

  Pemeliharaan kesehatan 8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai

  9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif 10.

  Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

  Dalam menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan kasih sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual.

  Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental dan sosial anak. Anak bukan saja rentan terhadap gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, juga akan mengalami hambatan mental, daya nalar yang lemah dan bahkan perilaku- perilaku lain seperti menjadi nakal, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia yang menyimpang dan pelaku kriminal.

  Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambatan jika anak mengalami hal sebagai berikut: a.

  Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak.

  b.

  Tanpa bimbingan dan asuhan.

  c.

  Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat.

  d.

  Diperlakukan salah secara fisik.

  e.

  Diperlakukan salah dan diekspolitasi secara seksual.

  f.

  Tidak memperoleh pengalaman norma seperti dicintai, diinginkan, merasa aman dan bermartabat. g.

  Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruhi oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi (Soetarso, dalam Huraerah, 2006: 39).

2.1.4 Perlindungan anak

  Dalam mengatasi kompleksnya permasalahan yang dihadapi anak, telah disahkan Undang-Undang Perlindungan Anak melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak dari segala bentuk perlakuan yang tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berahlak mulia dan sejahtera.

  Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

  Undang-undang Perlindungan Anak adalah salah satu bagian dari mengoperasionalkan Konvensi Hak Anak (KHA). Undang-undang ini didasari oleh empat prinsip utama KHA yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak (the

  

best interest of the child ), hak untuk hidup dan berkembang, serta penghargaan

  terhadap pendapat anak. Dalam hal ini, kepentingan terbaik bagi anak yang harus diutamakan dari kepentingan lainnya karena kepentingan terbaik untuk anak telah mencakup kepentingan lainnya.

2.2 Anak korban kekerasan

  2.2.1 Pengertian anak korban kekerasan

  Anak korban kekerasan adalahanak yang berusia 5 – 18 tahun yang terancam secara fisik dan non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial akses 18 Januari 2015 pukul 22:36WIB)

  2.2.2 Profil Anak Korban Kekerasan

  Anak yang menjadi korban tindak kekerasan tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin. Baik anak laki-laki dan perempuan berpotensial untuk diperlakukan secara tidak wajar. Namun, secara kuantitatif perlakuan salah berupa kekerasan tersebut sering terjadi pada perempuan. Hal tersebut dikarenakan, anak perempuan dalam banyak praktek kehidupan sosial sering ditempatkan sebagai individu yang lebih lemah, tergantung, mudah dikuasai dan diancam sehingga sering menjadi objek tindak kekerasan khususnya tindak kekerasan seksual (Harkrisnowo, dalam Suyanto, 2010: 49).

  Selain itu, anak yang menjadi korban tindak kekerasan memiliki usia yang bervariasi, dari usia anak-anak balita hingga sekitar 17-18 tahun. Biasanya, anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga adalah anak yang tidak diharapkan kehadirannya oleh orangtua mereka (Freeman, dalam Suyanto, 2010 : 51).

  Menurut Pelton (dalam Suyanto, 2010: 52), tindak kekerasan terhadap anak dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Namun, anak-anak yang berasal dari golongan masyarakat yang lebih rendah yang sering menjadi korban diakrenakan kondisi lingkungan dan kebutuhan hidup yang memungkinkan kasus tersebut terjadi.

  Secara umum, ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan adalah sebagai berikut: a.

  Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar.

  b.

  Tidak memperoleh batuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang seharusnya menjadi perhatian orangtua.

  c.

  Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi.

  d.

  Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain.

  e.

  Selalu mengeluh, pasif atau menghindar.

  f.

  Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir, bahkan sering tidak mau pulang ke rumah.

2.3 Keluarga

2.3.1 Pengertian keluarga

  Keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak (Su’adah, 2003:23). Pengertian keluarga juga diatur dalam Undang-undang RI Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menyatakan bahwa, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

  Dapat didefenisikan bahwa keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih yang hidup dalam satu rumah tangga, didasarkan adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah dan saling berinteraksi satu sama lain antar setiap anggota keluarga.

  2.3.2 Peranan Keluarga

  Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.

  Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

  Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :

  1. Peranan Ayah: Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

  2. Peranan Ibu: Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

  3. Peran Anak: Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

  2.3.3 Fungsi keluarga

  Adapun fungsi-fungsi pokok keluarga antara lain : a.

  Fungsi biologik Keluarga sebagai tempat melahirkan anak, menumbuh kembangkan anak, memelihara dan membesarkan anak, dan merawat anggota keluarga dan meneruskan keturunan untuk kelestarian sistem sosial yang bersangkutan.Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat.

  b.

  Fungsi afeksi Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Hubungan afeksi adalah hubungan yang tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak.

  c.

  Fungsi sosialisasi Fungsi ini menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak.Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadian anak (Khairuddin, 1997:48-49).

  Dari uraian mengenai fungsi-fungsi keluaga diatas, maka jelaslah bahwa fungsi-fungsi ini semuanya memegang peranan penting dalam keluarga, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan individu yang menjadi anggota keluarganya.

  Mengenai fungsi keluarga, khususnya tanggung jawab orangtua terhadap anaknya, Singgih D Gunarsa menyatakan bahwa tanggung jawab orangtua ialah memenuhi kebutuhan-kebutuhan si anak baik dari sudut organis psikologis, antara lain makanan, maupun kebutuhan-kebutuhan psikis seperti kebutuhan-kebutuhan akan perkembangan, kebutuhan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan rasa dikasihi, dimengerti dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, ucapan-ucapan dan perlakuan-perlakuan (Gunarsa, 2003 : 6).

  2.3.4 Karakteristik kekerasan dalam Keluarga

  Menurut Abbott (dalam Luhulima, 2000 : 55), kekerasan dalam keluarga sebagai penyalahgunaan kekerasan atau kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota lain, yang melanggar hak individu.

  Beberapa karakteristik kekerasan dalam keluarga (Soetarso, dalam Abu Huraerah, 2007:68) : a.

  Bentuk umum terjadinya kekerasan dalam keluarga menyangkut penyalahgunnaan kekuatan oleh pihak yang kuat (orangtua) terhadap yang lemah (anak). Perbedaan kekuatan ini dapat berupa ukuran dan kekuatan fisik maupun status.

  b.

  Adanya tingkatan kekerasan, dari yang ringan sampai sangat berat atau fatal c. Kekerasan dilakukan berkali-kali d. Kekerasan dalam keluarga umumya berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan eksploitasi psikologis. Misalnya, penghinaan verbal yang berupa ejekan atau sumpah serapah seringkali mengawali terjadinya kekerasan secara fisik.

  e.

  Kekerasan dalam keluarga mempunyai dampak negatif terhadap semua anggota keluarga baik yang terlibat dalam kekerasan maupun yang tidak. Setiap orang dalam keluarga akan merasa tidak tentram, dan masalah ini dapat merusak kehidupan suatu keluarga.

  2.3.5 Profil Orangtua pelaku Kekerasan terhadap Anak

  Setiap orang berpotensial menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak baik masyarakat dan juga anggota keluarga termasuk orangtua. Orangtua yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap proses perubahan sosial yang cepat biasanya lebih potensial melakukan tindakan menyimpang termasuk tindakan menganiaya anak yang seharusnya mereka lindungi.

  Kemampuan berpikir dan kematangan emosional orangtua yang labil seperti rentan mengalami depresi, stres, kekecewaan, frustasi dan sebagainya akan mudah menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak (Suyanto, 2010: 60).

  Sedangkan ciri-ciri umum orangtua yang melakukan kekerasan pada anak adalah: a.

  Tidak ada perhatian pada anak.

  b.

  Menyangkal adanya masalah pada anak di rumah dan di sekolah, dan menyalahkan anak pada setiap masalah.

  c.

  Meminta guru untuk memberi hukuman berat dan menerapkan disiplin pada anak.

  d.

  Menganggap anak sebagai anak yang bandel, tidak berharga, dan susah diatur.

  e.

  Menuntut kemampuan fisik dan akademik anak, tidak sebanding dengan kemampuan yang ada.

  f.

  Hanya memperlakukan anak pemenuhan kepuasaan akan kebutuhan emosional untuk mendapatkan perhatian dan perawatan

2.4 Kekerasan terhadap anak

  Menurut World Health Organization (WHO) (dalam Suyanto, dkk, 2010) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

  2.4.1 Pengertian Kekerasan terhadap Anak

  Kekerasan secara sederhana dapat diartikan menjadi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Kekerasan sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, fisikologis atau finansial, baik yang di alami individu maupun kelompok. Istilah kekerasan terhadap anak meliputi tindakan ancaman fisik, baik yang secara langsung dilakukan oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran akan kebutuhan-kebutuhan dasar anak (Barker, dalam Huraerah, 2007:47).

  Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat di definisikan sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang di indikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejateraan anak.

  Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun, kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik melainkan juga berupa bentuk eksploitasi, pemberian makanan yang tidak layak, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Suyanto, 2010 : 28).

  2.4.2 Bentuk-bentuk kekerasan

  Terry E Lawson (dalam Huraerah, 2007: 47) mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child Abuse) menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse, verbal

  . Sementara itu, Suharto (dalam Huraerah, 2007:

  abuse, physical abuse, sexual abuse

  47)) mengelompokkan kekerasan terhadap menjadi: kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis, kekerasan seksual, kekerasan secara sosial serta kekerasan emosional. Kelima bentuk kekerasan terhadap anak itu dapat di jelaskan sebagai berikut:

  1. Kekerasan fisik

  Kekerasan fisik adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa mengunakan benda-benda tertentu, menimbulkan luka-luka fisik, atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat sentuhan kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sudutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya di temukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak di sukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus menerus, merusak barang berharga, dan lain sebagainya.

  Tindakan kekerasan fisik yang terjadi di rumah biasanya dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya, seperti dijewer, disabet dengan menggunakan ikat pinggang, dicubit, dipukul dengan gagang sapau, ditendang, disundut rokok dan sebagainya.

  2. Kekerasan psikis

  Kekerasan psikis tidak begitu mudah di kenali, karena korban tidak akan memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Kekerasan psikis meliput penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini pada umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika di dekati, takut bertemu dengan orang lain, dan lemah dalam membuat keputusan.

  3. Kekerasan seksual

  Kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual (sexual intercourse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah melakukan setelah melakukan seksualitas. Segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun dilingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak jenis ini.

  Menurut Resna dan Darmawan tindakan kekerasan seksual terdiri dari perkosaan, eksploitasi dan incest. Perkosaan,pelaku tindakan perkosaan biasanya pria dan seringkali terjadi pada suatu saat di mana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Incest, sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat (Huraerah, 2007:71). McGuire dan L.

  Getz, juga menyatakan incest sebagai hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, dan biasanya antar anggota dalam suatu keluarga inti (Huraerah, 2007:66).

  4. Kekerasan sosial

  Kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, di asingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.

  Sedangkan eksploitasi anak merujuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang di lakukan keluarga atau masyarakat, sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik. psikis, dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai. Anak dipaksa untuk angkat senjata atau dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melebihi batas kemampuannya.

  5. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal

  Kekerasan emosional atau kekerasan verbal, biasanya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut di dengar oleh anak (Huraerah,2007:66).

  6. Kekerasan ekonomi

  Kekerasan jenis ini sangat sering terjadi di lingkungan keluarga. Contoh bentuk kekerasan ekonomi yaitu perilaku melarang pasangan untuk bekerja atau mencampuri pekerjaan pasangan, menolak memberikan uang atau mengambil uang serta mengurangi jatah belanja bulanan. Pada anak-anak, kekerasan ini terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih berusia di bawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga (Suyanto,2010:30).

  Selain bentuk kekerasan diatas, istilah kekerasan terhadap anak yang mengacu kepada bentuk penelantaran anak (Cicchetti & Blender, dalam Santrock,

  2007: 172). Kekerasan dalam bentuk penelantaran anak berupa penelantaran fisik, keamanan, mendapatkan perawatan kesehatan, pendidikan, dan emosional.

  Penelantaran fisik meliputi tindakan seperti tidak terpenuhi kebutuhan makan, pakaian atau tempat tinggal yang layak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Penelantaran keamanan mencakup tindakan seperti cedera yang disebabkan kurangnya pengawasan orangtua. Penelantaran mendapatkan perawatan kesehatan mencakup tindakan seperti mengingkari adanya penyakit serius pada anak. Penelantaran pendidikan mencakup tindakan seperti tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, tidak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, menyuruh anak mencari nafkah sehingga terpaksa putus sekolah. Penelantaran emosional mencakup tindakan seperti tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang dan menolak kehadiran anak (Rusmil, dalam Huraerah, 2007: 67).

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak

  Kekerasan tidak terjadi begitu saja, terjadinya kekerasan terhadap anak di sebabkan oleh beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Salah-satu penyebab kekerasan terhadap anak adalah karena pengaruh keluarga, pengaruh ekonomi, maupun karena pengaruh genetika. Menurut Richard J Gelles (dalam Huraerah, 2007: 53-55) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu: a.

  Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violence).

  Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya.

  Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30 persen anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orang tua yang bertindak keras kepada anak-anaknya.

  b.

  Stres Sosial (social stress) Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor

  housing conditions ), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size) , kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat

  (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan.

  c.

  Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

  d.

  Struktur Keluarga Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih sering melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.

  Keluarga-keluarga yang sering bertengkar antar pasangan mempunyai tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan keluarga yang tanpa mempunyai masalah. Selain itu, keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti di mana mereka akan bertemplat tinggal dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi daripada keluarga keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk membuat keputusan-keputusan.

  Sementara itu, Moore dan Parton (dalam Huraerah, 2007:52) menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh faktor individual dan adanya faktor sosial. Mereka yang menekankan faktor individual mengatakan bahwa orangtua yang memiliki potensi untuk menganiaya anak mempunyai karakteristik tertentu, yaitu mempunyai latar belakang yang juga penuh kekerasan, ia sudah terbiasa menerima pukulan; ada anggapan bahwa anak sebagai individu seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum; karakter lainnya adalah ketidaktahuan perkembangan anak.

  Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa perspektif sosial lebih penting menyatakan bahwa seorang individu tidak mungkin dapat di pahami tanpa memahami konteks sosialnya. Dalam hal kekerasan, seseorang mungkin saja tidak mempunyai jaringan sosial yang memuaskan, yang tidak cukup mendukung dalam menghadapi masalah atau juga mungkin ketidakpuasan melihat struktur sosial dimana ia berada pada kondisi yang kurang beruntung.

  Secara garis besar terdapat dua faktor yang mempengaruhi demikian kompleks kekerasan terhadap anak yang umumnya di sebabkan oleh faktor internal yang berasal dari kondisi sang anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal di luar diri anak seperti kondisi keluarga.

  a. Faktor Internal

  Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu. Kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya dapat bersumber dari kondisi sang anak sendiri. Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak dipengaruhi karakter dari anak itu sendiri seperti masalah tingkah laku anak yang sangat aktif, anak yang sulit diatur sikapnya, anak yang tidak dikehendaki kelahirannya, anak yang mengalami kelahiran prematur, anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga mempengaruhi watak, anak yang memiliki kelainan baik fisik dan mental serta anak yang meminta perhatian khusus (Ismail dalam Suyanto, 2010: 33-35).

  b. Faktor Eksternal

  Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri anak yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak, dalam hal ini faktor dari keluarga (orangtua) yang meliputi: 1.

  Faktor ekonomi Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga sering kali membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan masalah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembayaran sewa rumah, pembelian pakaian yang dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan orangtua yang sering kali dilampiaskan terhadap anak-anak(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 33).

2. Faktor pola asuh orangtua

  Orang tua sebagai figur yang berperan penting dalam perkembangan anak yaitu dalam bentuk pola pengasuhan orang tua. Pendampingan orang tua diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik dan terletak pada interaksi antara orang tua dengan anak. Cara orang tua mendidik dan berinteraksi dengan anak inilah yang disebut sebagai pola asuhan.Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik berupa : a.

  Pola asuh otoriter, orang tua menentukan aturan-aturan dan batasan- batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemampuan atau pendapatnya sendiri. Kalau anak tidak memenuhi tuntutan orang tua, ia akan diancam dan dihukum.

  b.

  Pola asuh permisif, orang tua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi batasan dari tingkahlaku anak. hanya pada hal-hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orang tua baru bertindak. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapya baik.

  c.

  Pola asuh demokratis, orang tua memperhatikan dan menghargai kebebasan anak namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. keinginan dan pendapat anak diperhatikan dan jika sesuai dengan norma-norma orang tua maka disetujui. Sebaliknya kalau keinginan dan pendapat anak tidak sesuai, maka orang tua akan menerangkan secara rasional dan obyektif sambil meyakinkan perbuatan anak (Gunarsa, 2003: 82- 84).

  3. Faktor masalah keluarga Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orangtua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya untuk pelepasan rasa jengkel dan marahnya terhadap istri. Sikap orangtua yang tidak menyukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 33).

  Ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana pertengkaran, perselisihan dam permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan terutama kekerasan fisik dan yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak (Huraerah,2007:69).

  4. Faktor pendidikan Kekerasan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat disebabkan karena tidak dimilikinya pendidikan atau pengetahuan yang dimiliki orangtua.

  Tingkat pendidikan orangtua yang rendah mengakibatkan banyak orangtua cenderung berpikiran sempit, tidak memiliki wawasan serta pengetahuan dalam mendidik dan mengasuh anak secara benar sehingga hak-hak anak terabaikan(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 35).

  Ketidakmampuan orang tua dalam mendidik anak dengan sebaik-baiknya dengan ketiadaan perhatian, kelembutan dan kasih sayang dari orang tua terhadap anak dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak (Huraerah,2007:69).

  5. Faktor permasalahan jiwa atau psikis orangtua Orangtua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak pada umumnya memilki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi kecemasan dan tertekan akibat mengalami depresi dan stres. Hal tersebut ditandai dengan ciri-ciri psikologis seperti adanya perasaan rendah diri, harapan terhadap anak tidak realistis, harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang cara mengasuh anak yang baik (Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 34-35).

  Beberapa karakteristik orang tua yang potensial melakukan tindak kekerasan kepada anak-anak adalah orang tua yang agresif dan impulsif, orang tua tunggal, orang tua muda, terjadinya gangguan dalam perkawinan seperti perceraian, keluarga yang memiliki banyak anak, orang tua yang kecanduan obat atau alkohol serta orang tua yang kurang berpendidikan (Basoeki, dalam Suyanto,2010 : 33).

  6. Faktor Perceraian Perceraian dapat menimbulkan problematika rumah tangga seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah dan sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh anak-anak terutama ketika orangtua mereka menikah lagi dan anak harus dirawat oleh ibu atau ayah tiri. Tindakan kekerasan tidak jarang dilakukan oleh pihak ayah atau ibu tiri tersebut(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 34).

  Menurut Lifshitz (dalam Shochib, 2010:9), anak yang berasal dari keluarga kacau (gagal) lebih banyak memiliki konsep diri negatif, lebih banyak mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, lebih ekstrim mengeskpresikan perasaan dan lebih sulit dalam mengontrol jasmaninya daripada anak dari keluarga utuh. Perpecahan keluarga ini dapat memicu terjadinya kenakalan anak karena semakin tidak lengkapnya kehadiran orang tua yang membuat kasih sayang terhadap anak tidak utuh lagi (Hersh, dalam Shochib, 2010:9).

  Menurut Vincent J.Fontana (dalam Suyanto, 2010: 37-39), orangtua yang biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya adalah orangtua yang memiliki ciri seperti berikut. Pertama, secara emosional belum matang. Orangtua yang termasuk dalam hal ini umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah sebelum mencapai usia dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakam sebagai orangtua. Kedua, menderita gangguan emosional, kebanyakan dari orangtua ini tidak memiliki cara pengasuhan yang baik dan latar belakang pernah mengalami kekerasan sewaktu kecil sehingga tidak mampu menjadi figur orangtua yang bertanggung jawab. Ketiga, secara mental tidak sempurna. Orangtua sulit untuk melakukan adaptasi dan menerima anak-anaknya sehingga mereka sulit untuk memahami dirinya apalagi orang lain termasuk anak-anaknya sendiri. Apabila perilaku anak menyimpang dari normal maka mereka akan beranggapan bahwa anak tidak tunduk dengan sengaja melakukan pelanggaran. Keempat, orangtua terlalu berpegang pada disiplin. Orangtua tipe ini beranggapan bahwa hukuman fisik dengan memukul dan mengahajar adalah cara yang wajar dan tepat untuk mendisiplinkan dan mendidik anak. Hal tersebut dikarenakan orangtua sebagai sosok yang harus bertanggung jawab dalam membesarkan anak sesuai dengan yang mereka inginkan serta mencoba melakukan yang terbaik untuk anak. Kelima, pecandu minuman alkohol. Orangtua yang kecanduan minuman keras dan beralkohol sering tidak sadar telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anaknya dibawah pengaruh minuman tersebut.

2.4.4 Dampak kekerasan bagi anak

  Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam lingkup keluarga dapat mengalami gangguan fisik, mental dan emosional. Kekerasan pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya.

  Dampak yang dialami anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya adalah :

  1. Kurangnya motivasi atau harga diri 2.

  Problem kesehatan mental, misalnya kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur.

  3. Sakit yang serius dan luka yang parah sampai cacat permanen, misalnya patah tulang, radang karena infeksi, dan mata lebam, termasuk juga sakit kepala, perut, otot, dan lainnya yang bertahun-tahun meski sudah tak lagi di aniaya.

  4. Problem-problem kesehatan seksual, misalnya mengalami kerusakan organ reproduksi, kehamilan yang tak di inginkan, ketularan penyakit menular seksual.

  5. Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dalam pergaulan.

  6. Mimpi buruk dan serba ketakutan. Selain itu tidak nafsu makan, tumbuh dan belajar lebih lambat, sakit perut, asma dan sakit kepala.

7. Kematian (Pinky Saptandari dalam Suyanto, 2010 : 100-101).

  Dampak–dampak yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan terhadap anak berdasarkan bentuk kekerasan yang diterima anak antara lain : a.

  Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orangtuanya akan menjadi sangat agresif dan setelah menjadi orangtua kelak akan berlaku kejam juga kepada anaknya. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik maupun psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan kepercayaan kepada orang lain.

  b.

  Dampak kekerasan psikis. Efeknya sulit untuk diidentifikasi karena tidak meninggalkan bekas yang nyata. Kekerasan ini akan meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termasnifestasikan dalam beberapan bentuk, seperti kurang percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol ataupun kecenderungan bunuh diri.

  c.

  Dampak kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak akan memberikan pengaruh buruk. Pada anak yang masih kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit.

  d.

  Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua terhadap anak. Jika anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri di masa yang akan datang (Hurlock, 2004).

2.5 Kesejahteraan Anak

  Sebagai manusia yang belum dapat hidup secara mandiri maka perlu diadakan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, kesejahteraan anak merupakan suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Kesejahteraan anak merupakan bagian dari kesejahteraan sosial.

  Walter A. Friedlander (dalam Wibhawa et.al, 2010 : 24) mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat.

  Menyadari begitu pentingnya upaya mewujudkan kesejateraan sosial, maka Indonesia memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur hal tersebut, yaitu melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2009. Kesejahteraan sosial menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

  Adapun penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai suatu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.

  Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak. Dalam Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1974, tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial disebutkan bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan membina, memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Nurdin, 1989: 79). Dalam pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa usaha- usaha kesejahteraan sosial merupakan upaya ditujukan kepada manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat.

  Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, hak-hak anak adalah sebagai berikut a.

  Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

  b.

  Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

  c.

  Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan,baik semasa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan. d.

  Anak berhak atas perlindungan terhadap yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar Usaha kesejahteraan anak ditujukan terutama kepada anak yang mempunyai masalah antara lain kepada anak yang mengalami masalah perlakukan yang tidak wajar yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasinya, antara lain anak korban kekerasan. Anak-anak korban kekerasan berhak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak korban tindak kekerasan dapat dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Usaha ini dimaksudkan memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah. Adapun usaha-usaha itu meliputi, pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi.

2.6 Kerangka Pemikiran

  Kekerasan terhadap anak sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia termasuk hak asasi anak. Dunia anak-anak seharusnya menjadi dunia yang menyenangkan dimana anak bermain dan memperoleh pendidikan. Kini, sebagian anak telah kehilangan hak-haknya. Kehidupan anak terus ternoda oleh berbagai aksi kekerasan, baik yang datang dari keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, bahkan negara.

  Kekerasan yang menimpa anak saat ini telah mencapai ambang batas yang cukup mengkhawatirkan. Tidaklah mudah untuk menemukan suatu penyebab yang paling dominan untuk mendorong terjadinya kekerasan oleh orangtua terhadap anak. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan pada anak yang membuat tidak terpenuhinya hak-hak dasar mereka. Tindak kekerasan terhadap anak bisa dipicu oleh beberapa hal di antaranya berasal dari sang anak sendiri dan orangtua. Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu kondisi ekonomi orangtua. Penghasilan orangtua yang rendah mengakibatkan orangtua tidak mampu mencukupi kebutuhan anak sehingga hak-hak anak terabaikan. Selain faktor tersebut terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi anak menjadi korban kekerasan seperti masalah keluarga, pola asuh orangtua, pendidikan dan permasalahan psikologis atau jiwa orangtua.

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

8 143 150

Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

4 90 132

Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Menurut Undang–Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Provinsi Sumatera Utara)

0 39 80

Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Kpai) Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak

13 64 115

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Anak 2.1.1. Pengertian anak - Faktor Dominan Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Binjai

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis 2.1.1 Pengertian Analisis - Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Anak Putus Sekolah Di Kabupaten Seruyan Provinsi Kalimantan Tengah

0 1 22

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak 2.1.1 Definisi Anak - Peranan Yayasan Pusaka Indonesia Dalam Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak

0 1 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keluarga 2.1.1 Pengertian Keluarga - Hubungan Antara Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Ibu Melaksanakan Imunisasi Dasar Pada Anak Di Desa Tigabolon Kecamatan Sidamanik Tahun 2014

0 1 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian Anak - Faktor-Faktor Penyebab Anak Bekerja Di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

0 0 22