Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

(1)

1

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA(Studi Kasus

di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara- KPAID SUMUT)

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar

Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh :

SAWITRI M MANURUNG 110902091

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Sawitri M Manurung

Nim : 110902091

Judul : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga (Studi kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

Medan, April 2015

DOSEN PEMBIMBING

NIP : 19630319 199303 1 001 Drs. Matias Siagian, M.Si, Ph.D

KETUA DEPARTEMEN

NIP : 19710927 1998101 20 001 Hairani Siregar S.Sos, M.SP

DEKAN FISIP USU

NIP : 19680525 199203 1 002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Sawitri M Manurung Nim : 110902091

Abstrak

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga (Studi kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi

Sumatera Utara)

Anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan peradaban manusia, serta aset bagi setiap keluarga. Keluarga atau orang tualah yang seharusnya menjadi salah satu pilar penanggungjawab dalam memenuhi hak-hak anak seperti mengasuh, mendidik dan melindungi anak. Namun, kehidupan anak terus ternoda oleh berbagai aksi kekerasan. Berbagai kasus kekerasan anak yang terjadi kini, justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak yaitu berasal dari orang tuanya sendiri. Terdapat faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap anak yang umumnya di sebabkan oleh faktor internal yang berasal dari kondisi sang anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal di luar diri anak seperti kondisi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga.

Tipe penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara jelas dan mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tindak kekerasan pada anak dalam keluarga. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah 11 informan. .Sementara itu teknik analisis data dalam penelitian ini analisis desktiptif dengan pendekatan kualitatif. Kesimpulan yang diperoleh melalui analisis data bahwa faktor dominan yang mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap anak dalam keluarga di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara yaitu masalah keluarga.

Tidak hanya itu saja, terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak dalam keluarga seperti faktor perlakuan atau sikap anak itu sendiri, rendahnya pengetahuan dan pemahaman orang tua dalam memberikan pendidikan dan mengasuh anak yang baik karena kondisi ekonomi yang pas-pasan, faktor pola asuh orang tua yang cenderung otoriter, serta karakter orang tua yang memilki problem psikologis seperti orang tua yang kecanduan alkohol.


(4)

4

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name: Sawitri M Manurung Nim : 110902091

ABSTRACT

FactorsAffectingViolenceagainst Childrenin theFamily (A case study inIndonesian Child Protection Commissionof NorthSumatra Province)

Children are the successor to the ideals of national struggle and human civilization, and an asset to any family. Family or the parents who should be one of the pillars responsible in fulfilling the rights of children such as parenting, educating and protecting children. However, the lives of children continue tarnished by acts of violence. Various cases of child abuse that occurred today, it is done by those closest to the child that comes from their own parents. There are factors that influence the acts of violence against children is generally caused by internal factors derived from the child's own conditions or external factors that originate outside of the child such as family circumstances. This study aims to determine the factors that influence the occurrence of acts of violence against children in the family environment.

This type of research is classified as a type of descriptive research that aims to describe clearly and deeply about the factors that affect child abuse in the family. The number of informants in this study were 11 informants. .Meanwhile Techniques of data analysis in this study descriptive analysis with a qualitative approach. Conclusions obtained through the analysis of the data that the dominant factor affecting the acts of violence against children in the family in the Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra Province is a family problem.

Not only that, there are other factors that influence the occurrence of child abuse in the family as a factor treatment or the child's own attitude, lack of knowledge and understanding of parents in providing education and care for children is good because the economic conditions are mediocre, factors parenting parents who tend to be authoritarian, and the character of the parents who have psychological problems such as parents who are addicted to alcohol.


(5)

5

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat kasih karunia-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Puji syukur kepadaNya atas kesehatan, kekuatan, kesabaran dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan masa kuliah di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan merampungkan penulisan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga (Studi kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)”. Doa yang dipanjatkan dengan hati yang merendah kepada-Nya menjadikan hidup lebih berharga dan lebih terberkati.

Penulis menyadari bahwa banyak sekali doa dan bantuan yang mengiringi penulis di dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Drs.Badaruddin,M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos., M.S.P. selaku ketua Departemen ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Drs. Bapak Matias Siagian, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing saya dalam penelitian ini. Terima kasih banyak atas bimbingan dan pengetahuan yang bapak berikan dalam penulisan skripsi ini. Banyak sekali masukan yang bapak berikan untuk memperbaiki penulisan dalam penelitian ini. Semoga


(6)

6

ilmu pengetahuan yang Bapak berikan dapat menjadi bekal pembelajaran bagi saya kedepannya.

4. Terima kasih saya ucapkan kepada semua staff pengajar dan staff kepegawaian di kampus FISIP USU yang telah memberikan banyak kesempatan untuk membantu saya ketika mengalami kesulitan hingga menghantarkan saya sampai pada akhir penulisan studi ini.

5. Kedua orangtuaku, Bapak E Manurung dan Mama S P Simanjorang penulis ucapkan terima kasih banyak atas motivasi, kasih sayang dan dukungannya yang telah penulis rasakan baik melalui doa dan secara materi yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah hingga saat ini. Terima kasih juga penulis ucapkan khusus buat Mama atas segala perhatiannya, kesabaran dan semangat saat penulis mulai merasakan lelah, sehingga penulis termotivasi kembali. Semoga dengan apa yang kalian berikan kepada penulis, kiranya Tuhan Yesus selalu senantiasa memberikan kesehatan, panjang umu serta rejeki. Semoga Tuhan Yesus memberkati.

6. Kepada Bapak Mhd. Zahrin Piliang, selaku ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID Sumut) saya ucapkan terima kasih telah memberikan kesempatan buat saya untuk melakukan penelitian disana.

7. Kepada Bang Muslim, selaku Pokja Penanggung jawab Bidang Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan serta mentor saya selama penelitian yang telah bersedia untuk membantu penulis lewat diskusi terbuka tentang pelaksanaan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Buat kak Devi Sirait yang juga telah memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.


(7)

7

Ibu Elvi, Kak Nora, Bang Syarifuddin, Bang Madun, Bang Farid, Fitri dan Putri terima kasih juga telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bergabung dalam keseharian kegiatan di KPAID Sumut.

8. Buat adikku yang kukasihi, Septhian Manurung, Philippians Manurung dan Tessa Maria Manurung, terima kasih atas semangat dan dukungan yang telah kalian berikan kepada saya. Tetap rajin dan semangat ya dalam pendidikannya Philip dan Tessa.

9. Buat El-Roy, Elisabeth, Katrina dan Henny makasih buat hari-hari kebersamaan yang kita lewati bersama selama empat tahun ini, buat semangatnya, motivasi, kasih sayangnya, tertawa dan kesedihan yang saling dibagi selama ini. Buat Kak Siska juga makasih buat semangat dan doanya. 10.Buat Dewi Nababan, Diella, Mayar dan Evitamala terima kasih untuk saling

menyemangati dan dukungannya selama kita mengikuti proses bimbingan. 11.Untuk semua teman-teman seperjuangan di KesSos 2011, terimakasih untuk

semua kebersamaan yang telah kita lalui bersama-sama selama di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

12.Terima kasih kepada seluruh informan yang telah bersedia menyediakan waktu dan membantu penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.

13.Semua pihak yang belum penulis tuliskan satu persatu, namun berkontribusi atas selesainya skripsi ini. Terima kasih

Sungguh penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Skripsi ini masih memerlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun, untuk itu sangat diharapkan masukannya untuk membangun kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan Ilmu


(8)

8

Kesejahteraan sosial kedepannya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.

Medan, April 2015 Penulis


(9)

9

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 13

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 13

1.4 Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak... ... 16

2.1.1 Pengertian anak ... 16

2.1.2 Hak-hak anak ... 17

2.1.3 Kebutuhan anak ... 19

2.1.4 Perlindungan anak ... 21

2.2 Anak korban kekerasan... ... 22

2.2.1 Pengertian anak korban kekerasan ... 22

2.2.2Profil Anak Korban Kekerasan ... 22

2.3 Keluarga... ... 23


(10)

10

2.3.2 Peranan keluarga ... 24

2.3.3Fungsi keluarga ... 24

2.3.4Karakteristik kekerasan dalam Keluarga ... 26

2.3.5Profil Orangtua pelaku Kekerasan terhadap Anak ... 26

2.4 Kekerasan terhadap anak... ... 27

2.4.1 Pengertian kekerasan terhadap Anak ... 28

2.4.2 Bentuk-bentuk kekerasan ... 28

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak... 32

2.4.4 Dampak kekerasan bagi anak ... 40

2.5 Kesejahteraan Anak ... 42

2.6 Kerangka Pemikiran ... 44

2.7 Defenisi Konsep ... 47

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe penelitian ... 50

3.2 Lokasi penelitian... 50

3.3 Informan ... 51

3.3.1 InformanKunci ... 51

3.3.1 InformanUtama ... 52

3.3.1 InformanTambahan ... 52

3.4 Teknik Pengumpulan data ... 52

3.5 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IVDESKRIPSI LOKASI 4.1 Profil KPAID Sumut ... 54

4.1.1Latar belakang KPAID Sumut ... 54


(11)

11

4.1.3Misi KPAID Sumut ... 57

4.1.4Tugas KPAID Sumut ... 58

4.1.5Dasar hukum dan Letak KPAID Sumut ... 59

4.2 Fungsi KPAID Sumut ... 60

4.3 Struktur KPAID Sumut ... 60

4.3.1Stuktur KPAID Sumut ... 61

4.3.2Pembagian tugas KPAID Sumut ... 62

4.4 Pola pendanaan ... 65

4.5 Fasilitas KPAID Sumut ... 65

4.6 Proses penanganan kasus di KPAID Sumut ... 68

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Pengantar ... 74

5.2 Hasil temuan ... 75

5.2.1Informan I ... 75

5.2.2Informan II ... 82

5.2.3Informan III ... 88

5.2.4Informan IV ... 95

5.2.5Informan V ... 100

5.2.6Informan VI ... 105

5.3 Analisis Data... 111

5.4 Keterbatasan penelitian ... 130

BAB VIPENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 131

6.2 Saran ... 132


(12)

12

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Bagan Alir Pikir ... 46 Bagan 4.1 Struktur Lembaga KPAID Sumut ... 62 Bagan 4.6 Mekanisme pengaduan oleh KPAID Sumut ... 71


(13)

13

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Komisi Pembimbing 2. Berita Acara Seminar Proposal Penelitian

3. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

4. Surat Balasan Izin Penelitian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara


(14)

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Sawitri M Manurung Nim : 110902091

Abstrak

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga (Studi kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi

Sumatera Utara)

Anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan peradaban manusia, serta aset bagi setiap keluarga. Keluarga atau orang tualah yang seharusnya menjadi salah satu pilar penanggungjawab dalam memenuhi hak-hak anak seperti mengasuh, mendidik dan melindungi anak. Namun, kehidupan anak terus ternoda oleh berbagai aksi kekerasan. Berbagai kasus kekerasan anak yang terjadi kini, justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak yaitu berasal dari orang tuanya sendiri. Terdapat faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap anak yang umumnya di sebabkan oleh faktor internal yang berasal dari kondisi sang anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal di luar diri anak seperti kondisi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga.

Tipe penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara jelas dan mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tindak kekerasan pada anak dalam keluarga. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah 11 informan. .Sementara itu teknik analisis data dalam penelitian ini analisis desktiptif dengan pendekatan kualitatif. Kesimpulan yang diperoleh melalui analisis data bahwa faktor dominan yang mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap anak dalam keluarga di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara yaitu masalah keluarga.

Tidak hanya itu saja, terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak dalam keluarga seperti faktor perlakuan atau sikap anak itu sendiri, rendahnya pengetahuan dan pemahaman orang tua dalam memberikan pendidikan dan mengasuh anak yang baik karena kondisi ekonomi yang pas-pasan, faktor pola asuh orang tua yang cenderung otoriter, serta karakter orang tua yang memilki problem psikologis seperti orang tua yang kecanduan alkohol.


(15)

4

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name: Sawitri M Manurung Nim : 110902091

ABSTRACT

FactorsAffectingViolenceagainst Childrenin theFamily (A case study inIndonesian Child Protection Commissionof NorthSumatra Province)

Children are the successor to the ideals of national struggle and human civilization, and an asset to any family. Family or the parents who should be one of the pillars responsible in fulfilling the rights of children such as parenting, educating and protecting children. However, the lives of children continue tarnished by acts of violence. Various cases of child abuse that occurred today, it is done by those closest to the child that comes from their own parents. There are factors that influence the acts of violence against children is generally caused by internal factors derived from the child's own conditions or external factors that originate outside of the child such as family circumstances. This study aims to determine the factors that influence the occurrence of acts of violence against children in the family environment.

This type of research is classified as a type of descriptive research that aims to describe clearly and deeply about the factors that affect child abuse in the family. The number of informants in this study were 11 informants. .Meanwhile Techniques of data analysis in this study descriptive analysis with a qualitative approach. Conclusions obtained through the analysis of the data that the dominant factor affecting the acts of violence against children in the family in the Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra Province is a family problem.

Not only that, there are other factors that influence the occurrence of child abuse in the family as a factor treatment or the child's own attitude, lack of knowledge and understanding of parents in providing education and care for children is good because the economic conditions are mediocre, factors parenting parents who tend to be authoritarian, and the character of the parents who have psychological problems such as parents who are addicted to alcohol.


(16)

14 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kekerasan pada anak belakangan ini semakin marak diberitakan media massa nasional. Para pelaku yang kemudian mendapat tindakan hukum nyaris sebagian besar adalah orang-orang terdekat anak, bahkan tidak jarang adalah orangtuanya sendiri.Pada pertengahan Maret 2015, masyarakat dikejutkan dengan berita terkait kasus kekejaman terhadap anak yang dilakukan seorang ibu tiri terhadap anaknyadi wilayah Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur. Seorang ibu bernama Suhaeni, berusia 35 tahun telah melakukan penganiayaan terhadap anak tirinya. Perempuan tersebut tega menyiksa anak tirinya dengan menempelkan setrika panas yang baru saja ia gunakan ke pipi Denis Apriliyan berusia 9 tahun. Tak puas dengan tindakan itu, Suhaeni alias Enijuga melayangkan tendangan ke kepala korban. Dia juga mencubit serta menginjak tangan kanan anak tirinya hingga terluka. Tindakan kejam itu dilakukan hanya karena Eni kesal terhadap anak tirinya yang tidak mau belajar dan lebih suka bermain di luar rumah. Akibat dari perbuatannya, saat ini Eni kini mendekam dalam jeruji besi di Polres Jakarta Timur

Contoh kasus diatas sesungguhnya merupakan sepenggal kisah dari puluhan, bahkan ratusan dan mungkin ribuan, kasus kekerasan pada anak dalam rumah tangga yang terkuak ke publik. Dunia anak seharusnya menjadi dunia yang diisi dengan keceriaan dan kegembiraan.Pada dasarnya, anak sebagai manusia yang memiliki kemampuan fisik, mental dan sosialnya yang masih terbatas untuk


(17)

15

merespon berbagai resiko dan bahaya yang dihadapinya.Apa yang dialami anak dalam rumah tangga diatas seakan menjelaskan betapa posisi anak sangat lemah.Mereka sudah semestinya diberikan perhatian serta perlindungan akan hak-haknya.

Pada pasal 2 UU Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, telah diatur beberapa kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak anak yakni setiap anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya. Hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi secara tegas juga tertuang dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Ana Maret 2015 pukul 14: 31 WIB).

Tindak kekerasan sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Kekerasan dapat terjadi dalam setiap jenis hubungan yang berbeda, misalnya antara suami dan isteri atau pacar laki-laki dan pacar perempuan; orang dewasa dan anak-anak; antara orang dewasa dan orang tua yang lebih renta; antar anggota keluarga besar seperti bibi, paman, dan kakek-nenek; atau orang-orang yang hidup bersama dalam hubungan non-seksual. Perempuan dan anak menjadi pihak yang lebih mungkin menjadi korban kekerasan, terutama anak-anak.

Isu tentang kekerasan pada anak sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia terutama hak anak. Di Indonesia, tidak semua anak beruntung untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Beberapa anak harus mengalami perlakuan


(18)

16

kekerasan dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak. Berdasarkan data dan laporan Komisi Nasional Anak (Komnas Anak) dalam kurun waktu empat tahun terakhir (dari tahun 2010 hingga 2014) sebanyak 21.689.797 kasus kekerasan telah menimpa anak-anak di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota di Indonesia

Pada prinsipnya, tindakan kekerasan pada anak tidak dapat diterima. Karena secara konstitusional, pasal 28 B, ayat (2) UUD 1945 telah menetapkanbahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 13 ayat (1) diamanahkan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa negara memiliki kebijakan untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Siapapun tidak diperbolehkan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap anak dengan alasan apapun, dan harus berperan dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan hidup manusia, bangsa dan negara Indonesia kedepannya tergantung pada kondisi dan kualitas anak-anak pada masa kini. Mengingat anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan peradaban manusia, sudah seharusnya anak mendapatkan perlakuan sebaik-baiknya.


(19)

17

Kasih sayang, perhatian, dan perlindungan merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar anak dapat tumbuh dan berkembang baik fisik, mental, sosial maupun spiritualnya secara wajar. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan sehingga kelak mereka dapat menjadi orang dewasa yang mampu bertanggungjawab dan mandiri.

Salah satu instrumen Internasional yang juga mengatur tentang hak-hak maupun kepentingan anak yakni Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the

Right of the Children). KHA sebagai gambaran perjanjian internasional mengenai

Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara yuridis memberikan perlindungan atas hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial dan budaya seorang anak (Joni & Zulchaina, 1999:29).

Pemerintah Indoensia telah meratifikasi KHA sebagai bentuk keseriusannya dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Negara ini berkewajiban untuk mengembangkan sistem nasional kesejahteraan dan perlindungan anak dalam bentuk kebijakan, peraturan perundang-undangan, strategi dan program yang selaras dengan kewajiban negara dalam konvensi tersebut. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu perwujudan kewajiban negara dalam melaksanakan keterikatan secara yuridis sebagai konsekuensi dari ratifikasi hukum internasional. Terlebih, dalam memperkuat komitmen negara terhadap perlindungan anak, pemerintah Indonesia telah melakukan revisi terkait isi Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah kini telah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perubahan kebijakan ini semakin mempertegas perlindungan akan hak anak diantaranya dengan menjaminkebutuhan-kebutuhan fundamental anak seperti hak


(20)

18

hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta hak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Walaupun di Indonesia sudah ada aturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur persoalan anak.Kenyataannya peraturan tersebut belum dapat melindungi anak dari segala tindakan kekerasan. Maraknya kasus kekerasan anak yang diberitakan di media cetak serta elektronik sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap anak cenderung terus bertambah. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari bulan Januari sampai Agustus tahun 2014, telah terjadi sebanyak 621 kasus kejahatan seksual, sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 590 kasus. Adapun kekerasan secara umum pada tahun 2013 tidak kurang dari 4.500 kasus, tahun 2012 sebanyak 4.358 kasus, tahun 2011 sebanyak 2275 kasus.

Komisioner KPAI, Maria Ulfah Anshor menyatakan tindak kekerasan dapat dialami siapa saja dan dapat terjadi setiap waktu. Mereka yang menjadi korban juga dapat ditemukan dalam berbagai bentuk dengan usia korban yang beragam, dari usia balita hingga di bawah usia 18 tahun dan pada berbagai lapisan sosial. Begitu juga ruang lingkup dan waktu kejadiannya, tidak mengenal ruang dan waktu, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik di ruang-ruang umum yang terbuka seperti di jalanan, taman bermain, sekolah bahkan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang paling aman bagi seluruh anggota keluarga. Pelakunya juga beragam dari orang yang tidak dikenal, teman, saudara, guru, pacar, serta orangtua


(21)

19

Keluarga atau orang tua yang oleh Undang-undang Perlindungan Anak merupakan salah satu pilar penanggungjawab perlindungan anakternyata kini telah gagal bahkan menjadi pihak yang menakutkan bagi anak.Lebih tragis lagi jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogiyanya mengasuh dan melindungi anak, terutama orangtua/keluarga. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sekretaris jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda menyatakan jumlah kekerasan domestik terhadap anak terus bertambah dari sekitar 500 kasus pada tahun 2013 meningkat dua kali lipat pada tahun 2014 silam. Di tahun 2014, ada sekitar 1286 kasus dimana telah meningkat dua kali lipat lebih dari 100 % kasus kekerasan yang dialami anak.

Fenomena nyata sering terjadinya kekerasan biasanya terjadi pada keluarga miskin akibat faktor ekonomi pada sebuah keluarga. Pada keluarga yang memiliki ekonomi rendah, anak dianggap menjadi beban keluarga, karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan berbagai persoalan lain, pendapatan ekonomi orang tua tidak mencukupi. Ketidakmampuan orangtua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari anak mengakibatkan anak-anak tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya dengan maksimal bahkan hak-hak anak cenderung terabaikan (Ismail, dalam Suyanto, 2010: 35).


(22)

20

Sementara, anak yang hidup dalam keluarga menengah jarang merasakan kekerasan dibanding anak yang hidup dalam keluarga miskin atau ekonomi rendah, karena dari segi penghasilan mereka yang hidup dalam ekonomi menengah mampu memenuhi kebutuhan diri si anak. Tetapi tidak menghilangkan kemungkinan bahwa kekerasan bisa terjadi pada keluarga menengah atas dengan berbagai faktor penyebab karena kekerasan pada anak terjadi pada semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.

Keluarga yang berkecukupan dengan kedua orang tua semuanya bekerja, anak bisa jadi sesuatu yang merepotkan. Orang tua harus berbagi perhatian antara karier kerja dan tumbuh kembang anak. Banyak dari keluarga yang seperti ini mengandalkan pihak lain untuk menangani anak-anak mereka, dengan cara menggunakan jasa pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Akibatnya frekuensi dan kualitas hubungan emosional dengan anak menjadi terbatas atau rendah. Rendahnya frekuensi dan kualitas hubungan akan berdampak pada psikis anak. Anak akhirnya mencari perhatian di tempat lain dengan melakukan berbagai aksi kenakalannya, karena keluarga tidak cukup memberi ruang bagi tumbuh kembangnya (Kusmanto, 2013: 226). Karakter anak yang nakal ini sering menjadi penyebab kemarahan orangtua, sehingga anak menerima hukuman dan bila di sertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan pada anak.Namun, faktor ekonomi diatas bukan satu-satunya faktor pemicu kekerasan terhadap anak.

Kekerasan terhadap anak. juga terkait erat dengankondisi keluarga yang tidak harmonis. Misalnya, anak yang tumbuh dengan seorang sosok ibu atau ayah saja, atau bahkan dengan anak yang tumbuh tanpa orangtua. Masalah kekerasan pada anak kini terjadi tidak hanya di desa, tetapi juga dapat terjadi di kota


(23)

21

17 Februari 2015 pukul 23:12).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006, pelaku kekerasan terhadap anak dimana orang tua menjadi pelaku, telah terjadi sebanyak sekitar 61,4 persen (Perkotaan 56,5 persen; Perdesaan 64,4 persen). Kekerasan ini terjadi karena pelaku merasa korban tidak patuh sekitar 51,9 persen (Perkotaan 47,4 persen; Perdesaan 54,9 persen). Lainnya adalah perilaku buruk sekitar 15,7 persen, kesulitan ekonomi sekitar 9,9 persen serta cemburu sekitar 4,8 persen 2015 pukul 20:12).

Kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak, kian marak terjadi di berbagai wilayah di seluruh Indonesia disertai dengan beragam faktor penyebabnya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Gokrulina Sitompul (2012) di Kota Medan, tepatnya di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli, menemukan bahwa faktor pendidikan, faktor perlakuan anak di rumah serta di sekolah maupun di lingkungan sekitar sangat mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Tri Ariany (2013) di Kota Pontianak, mendapatkan bahwa faktor status orang tua tidak kandung berperan dalam hal bagaimana orang tua memperlakukan anaknya, ditambah lagi faktor ekonomi lemah serta faktor kelakuan anak itu sendiri yang dapat memicu terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

Satu hal yang dapat digarisbawahi bahwa terjadinya kekerasan dalam keluarga dikarenakan orangtua tidak sedikit berangapan bahwa sebagai sesuatu yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari


(24)

22

mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya adalah orang tua.

Orangtua sering tidak mengetahui bahwa terdapat batas yang jelas antara menyiksa dan mendisiplinkan anak. Sikap dan perilaku orangtua yang tanpa sadar dalam menggunakan kekuasaannya untuk berbuat apa saja, termasuk melakukan kekerasan pada anak. Orangtua biasanya menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan perilaku anak supaya anak tidak menjadi pembangkang. Sedangkan, anak sebagai pribadi yang kecil dan lemah yang sepenuhnya berada di bawah kendali kekuasaan orang dewasa tidak berdaya menghadapi perlakuan tersebut. Tanpa disadari, ternyata anak sejak kecil sudah diajarkan agar patuh dan taat pada orangtua dengan cara kekerasan (Seto Mulyadi dalam Huraerah, 2007:69).

Segala bentuk pendisplinan yang bermuatan kekerasan dengan alasan apapun seperti alasan pendisiplinan anak, mendidik anak, serta kedewasaan anak tidaklah dibenarkan untuk dilakukan. Disamping itu, adanya anggapan dalam masyarakat yang masih meyakini serta menerapkan hukuman fisik seperti memukul, memarahi, mencubit, menjewer hingga menyiksa sebagai metode ampuh dalam menciptakan karakter baik pada anak. Memberi hukuman dengan menggunakan kekerasan bukanlah tindakan yang benar untuk membuat anak menjadi jera, tindakan tersebut malah akan memperburuk tingkah laku seorang anak.

Bentuk kekerasan yang mengancam anak juga sangat bervariasi seperti kekerasan fisik, psikis, sosial, seksual dan penelantaran. Baik kekerasan secara fisik, verbal, hingga penelantaran, dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan mental anak (Suyanto, 2010: 99). Secara mental, seorang anak akan mengingat semua tindak kekerasan yang berlangsung dalam satu periode secara konsisten.


(25)

23

Anak yang memiliki pengalaman buruk dengan perlakuan kasar dari orangtuanya, kemungkinan perkembangan kepribadian anak akan terganggu.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Kristin Sibuea (2012), kekerasan dalam rumah tangga berdampak pada diri korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga seperti adanya rasa minder dan malu dalam berhubungan dengan lingkungan sosial (perilaku menarik diri) karena takut diejek, dicemoh ataupun ditanya-tanya mengenai kekerasandalam rumah tangga yang menimpanya.

Kekerasan juga akan menyebabkan anak cenderung memiliki harga diri yang rendah, mengalami trauma dan menderita depresi pada masa dewasanya. Bahkan hal terburuk dari kekerasan yang dilakukan orang tua pada anaknya adalah memperpanjang lingkungan kekerasan. Anak-anak tersebut berpotensi dapat mengulang pola kekerasan yang sama terhadap keturunannya kelak. Hal tersebut dikarenakan, pada dasarnya anak merupakan refleksi dari orangtuanya. Jika orangtua yang terbiasa mengenalkan nilai-nilai kekerasan pada anak seperti sering memukul, mencemooh, mengejek, merendahkan anak dan sebagainya maka secara tidak langsung orangtua berperan dalam menciptakan pelaku-pelaku kekerasan selanjutnya.

Wilayah Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki catatan kasus kekerasan terhadap anak. Pokja Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut melansir data kasus kekerasan terhadap anak di Sumut pada 2013 yang mencapai 12.679 kasus yang terjadi di 23 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.335 kasus atau 52 persen adalah praktik kejahatan seksual terhadap anak, sedangkan sisanya berupa kekerasan pisik, penelantaran, eksploitasi, dan perdagangan anak (child


(26)

24

trafficking)

Merujuk pada data layanan pengaduan masyarakat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID Sumut), pada tahun 2011 ada 163 kasus pelanggaran hak anak yang telah tercatat. Pada tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 192 kasus. Sedangkan pada tahun 2013 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau meningkat menjadi 199 kasus. Sementara itu, di tahun 2014 kasus pelanggaran akan hak anak terus mengalami peningkatan. Data KPAID Sumut menunjukkan, selama periode Januari hingga Desember tahun 2014 telah diterima sebanyak 285 kasus pengaduan pelanggaran hak anak. Sebanyak 52 persen dari jumlah kasus pelanggaran hak anak tersebut merupakan kasus kekerasan seperti kejahatan seksual, kekerasan fisik, penelantaran, pembunuhan, perdagangan anak dan selebihnya merupakan penculikan, masalah hak kuasa asuh, hak pendidikan, hak kesehatan serta hak identitas anak. Dalam laporan pengaduan tersebut, pelanggaran terhadap hak anak tidak semata-mata pada tingkat kuantitas jumlah saja yang meningkat, namun terlihat semakin komplek dan beragamnya modus pelanggaran hak anak.

Melihat kompleksitas masalah kekerasan terhadap anak, sudah seharusnya persoalan tersebut mendapat perhatian dari seluruh pihak. Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan diterbitkannya Undang-undang Perlindungan Anak. Kebijakan tersebut sebagai upaya dalam melindungi hak-hak anak. Akan tetapi, kebijakan tersebut harus didukung dengan implementasi yang baik di masyarakat. Diantaranya, dengan memahami penyebab yang mendasari terjadinya kekerasan pada anak sebagai langkah pencegahan dalam melindungi anak.


(27)

25

Sejatinya, perlindungan anak bukan hanya menjadi bagian tanggung jawab orangtua terhadap anak mereka. Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya juga berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik,psikis ataupun kejahatan seksual. Peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam penciptaan lingkungan yang kondusif bagi anak. Bentuk perlindungan dalam upaya mensejahterahkan anak juga semakin bervariasi dan beragam bentuk dan tempatnya, mulai dari lingkungan rumah tangga, yayasan atau panti asuhan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan pemerintah dan sebagainya.

Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara telah membuat kebijakan penyelenggaraan perlindungan anak untuk mengatasi berbagai permasalahan anak yang terjadi di daerah Sumatera Utara melalui Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID Sumut). KPAID Sumatera Utara merupakan refleksi dari kedudukan dan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. KPAID Sumut sebagai lembaga yang memberikan sarana dan informasi yang mudah diakses bagi masyarakat untuk melakukan pengaduan atas kasus yang dialami oleh anak. Salah satu masalah yang berkaitan dengan hilangnya hak-hak anak yang ditangani oleh lembaga ini yaitu masalah kekerasan yang dialami oleh anak baik secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran anak.

Semakin maraknya kasus kekerasan yang menimpa anak di dalam lingkungan keluarga, maka perlu untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong kekerasan tersebut terjadi. Tidaklah mudah untuk menemukan suatu penyebab yang paling dominan untuk mendorong terjadinya kekerasan oleh orangtua terhadap anak. Beberapa teori menjelaskan bahwa faktor utama anak menjadi korban kekerasan


(28)

26

dipengaruhi kondisi perekonomian keluarga. Namun, setiap anak berpotensi menjadi korban kekerasan termasuk juga anak yang berasal dari kalangan keluarga sejahtera hingga prasejahtera. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk dapat mengetahui apa yang menyebabkan anak menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan orangtua dalam keluarga, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor penyebab tindakan kekerasan pada anak dalam keluarga, yang hasilnya akan dituangkan dalam penelitian berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga (Studi kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut “Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap anak dalam keluarga?”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka:


(29)

27

a. Pengembangan teori-teori yang berkenaan dengan pemberdayaan anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga dalam memberikan perlindungan terbaik terhadap anak untuk meningkatkan kesejahteraan anak.

b. Pengembangan teori-teori tentang keluarga untuk mencegah agar tidak terjadi kekerasan terhadap anak di dalam keluarga.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan dalam penelitian ini secara garis besar dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang teori, uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran serta definisi konsep.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.


(30)

28 BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian serta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang pokok-pokok kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian.


(31)

29 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak

2.1.1 Pengertian anak

Indonesia memiliki beragam persepsi yang memuat berbagai macam definisi dan kriteria tersendiri mengenai anak yang diatur dalam hukum nasional. Namun, secara khusus belum terdapat ketentuan yang secara jelas dan seragam yang mengatur tentang batasan usia seseorang dapat dikelompokkan sebagai anak. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perumusan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengertian anak antara lain;

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefenisikan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.


(32)

30

Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 menetapkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun (Huraerah, 2007 : 33).

2.1.2 Hak-hak anak

Hak Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi baik oleh keluarga, masyarakat dan juga pemerintah dan negara. Dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Setiap anak berhak atas kesejahteraan, mendapatkan kelembutan, kasih sayang, perawatan, bimbingan, pengasuhan, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Peran anak yang strategis dalam menentukan masa depan bangsa sangat disadari oleh masyarakat dunia untuk melahirkan sebuah perjanjian internasional melalui Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children). Konvensi Hak Anak sebagai suatu instrumen internasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara khusus memberikan perlindungan akan hak-hak anak. Perjanjian ini menekankan posisi anak sebagai manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.KHA telah hampir diratifikasi oleh semua anggota badan


(33)

31

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk negara Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan hak-hak anak yang dilakukan dengan mengakui adanya hak-hak anak serta melaksanakan dan menjamin terlaksananya hak-hak anak di masyarakat.

KHA berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara sebagai pihak yang meratifikasi peraturan tersebut. Materi hukum mengenai hak-hak anak tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

a. Hak atas kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak-hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya.

b. Hak perlindungan, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

c. Hak untuk tumbuh kembang, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi segala bentuk pendidikan formal maupun non formal dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.

d. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak-hak dalam KHA yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.

Adapun hak-hak dasar anak menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak meliputi :

a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan b. Hak atas pelayanan


(34)

32 c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup e. Hak mendapat pertolongan pertama f. Hak memperoleh asuhan

g. Hak memperoleh bantuan

h. Hak diberi pelayanan dan asuhan i. Hak memperoleh pelayanan khusus j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan

2.1.3 Kebutuhan anak

Setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orangtua dan anak yang sehat di mana kebutuhan anak, seperti perhatian dan kasih sayang, perlindungan dan pemeliharaan harus dipenuhi oleh orangtua (Katz, dalam Huraerah, 2007: 38).

Kebutuhan umum anak adalah mendapatkan perlindungan, kasih sayang, perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan sosial yang sehat. Sementara itu, Huttman (dalam Huraerah, 2007: 38) merinci kebutuhan anak sebagai berikut :

1. Kasih sayang 2. Stabilitas emosional 3. Pengertian dan perhatian 4. Pertumbuhan kepribadian 5. Dorongan kreatif


(35)

33

6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar 7. Pemeliharaan kesehatan

8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai

9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif 10. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Dalam menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan kasih sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual.

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental dan sosial anak. Anak bukan saja rentan terhadap gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, juga akan mengalami hambatan mental, daya nalar yang lemah dan bahkan perilaku-perilaku lain seperti menjadi nakal, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia yang menyimpang dan pelaku kriminal.

Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambatan jika anak mengalami hal sebagai berikut:

a. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak. b. Tanpa bimbingan dan asuhan.

c. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat. d. Diperlakukan salah secara fisik.

e. Diperlakukan salah dan diekspolitasi secara seksual.

f. Tidak memperoleh pengalaman norma seperti dicintai, diinginkan, merasa aman dan bermartabat.


(36)

34

g. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruhi oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi (Soetarso, dalam Huraerah, 2006: 39).

2.1.4 Perlindungan anak

Dalam mengatasi kompleksnya permasalahan yang dihadapi anak, telah disahkan Undang-Undang Perlindungan Anak melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak dari segala bentuk perlakuan yang tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berahlak mulia dan sejahtera.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Undang-undang Perlindungan Anak adalah salah satu bagian dari mengoperasionalkan Konvensi Hak Anak (KHA). Undang-undang ini didasari oleh empat prinsip utama KHA yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak (the

best interest of the child), hak untuk hidup dan berkembang, serta penghargaan

terhadap pendapat anak. Dalam hal ini, kepentingan terbaik bagi anak yang harus diutamakan dari kepentingan lainnya karena kepentingan terbaik untuk anak telah mencakup kepentingan lainnya.


(37)

35 2.2 Anak korban kekerasan

2.2.1 Pengertian anak korban kekerasan

Anak korban kekerasan adalahanak yang berusia 5 – 18 tahun yang terancam secara fisik dan non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial pukul 22:36WIB)

2.2.2 Profil Anak Korban Kekerasan

Anak yang menjadi korban tindak kekerasan tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin. Baik anak laki-laki dan perempuan berpotensial untuk diperlakukan secara tidak wajar. Namun, secara kuantitatif perlakuan salah berupa kekerasan tersebut sering terjadi pada perempuan. Hal tersebut dikarenakan, anak perempuan dalam banyak praktek kehidupan sosial sering ditempatkan sebagai individu yang lebih lemah, tergantung, mudah dikuasai dan diancam sehingga sering menjadi objek tindak kekerasan khususnya tindak kekerasan seksual (Harkrisnowo, dalam Suyanto, 2010: 49).

Selain itu, anak yang menjadi korban tindak kekerasan memiliki usia yang bervariasi, dari usia anak-anak balita hingga sekitar 17-18 tahun. Biasanya, anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga adalah anak yang tidak diharapkan kehadirannya oleh orangtua mereka (Freeman, dalam Suyanto, 2010 : 51).

Menurut Pelton (dalam Suyanto, 2010: 52), tindak kekerasan terhadap anak dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Namun, anak-anak yang berasal dari


(38)

36

golongan masyarakat yang lebih rendah yang sering menjadi korban diakrenakan kondisi lingkungan dan kebutuhan hidup yang memungkinkan kasus tersebut terjadi.

Secara umum, ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan adalah sebagai berikut:

a. Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar.

b. Tidak memperoleh batuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang seharusnya menjadi perhatian orangtua.

c. Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi. d. Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain.

e. Selalu mengeluh, pasif atau menghindar.

f. Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir, bahkan sering tidak mau pulang ke rumah.

2.3 Keluarga

2.3.1 Pengertian keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak (Su’adah, 2003:23). Pengertian keluarga juga diatur dalam Undang-undang RI Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menyatakan bahwa, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Dapat didefenisikan bahwa keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih yang hidup dalam satu rumah tangga, didasarkan adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah dan saling berinteraksi satu sama lain antar setiap anggota keluarga.


(39)

37 2.3.2 Peranan Keluarga

Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut : 1. Peranan Ayah: Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan

sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

2. Peranan Ibu: Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

3. Peran Anak: Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

2.3.3 Fungsi keluarga


(40)

38 a. Fungsi biologik

Keluarga sebagai tempat melahirkan anak, menumbuh kembangkan anak, memelihara dan membesarkan anak, dan merawat anggota keluarga dan meneruskan keturunan untuk kelestarian sistem sosial yang bersangkutan.Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. b. Fungsi afeksi

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Hubungan afeksi adalah hubungan yang tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak.

c. Fungsi sosialisasi

Fungsi ini menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak.Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadian anak (Khairuddin, 1997:48-49). Dari uraian mengenai fungsi-fungsi keluaga diatas, maka jelaslah bahwa fungsi-fungsi ini semuanya memegang peranan penting dalam keluarga, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan individu yang menjadi anggota keluarganya.

Mengenai fungsi keluarga, khususnya tanggung jawab orangtua terhadap anaknya, Singgih D Gunarsa menyatakan bahwa tanggung jawab orangtua ialah memenuhi kebutuhan-kebutuhan si anak baik dari sudut organis psikologis, antara lain makanan, maupun kebutuhan-kebutuhan psikis seperti kebutuhan-kebutuhan akan perkembangan, kebutuhan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan rasa


(41)

39

dikasihi, dimengerti dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, ucapan-ucapan dan perlakuan-perlakuan (Gunarsa, 2003 : 6).

2.3.4 Karakteristik kekerasan dalam Keluarga

Menurut Abbott (dalam Luhulima, 2000 : 55), kekerasan dalam keluarga sebagai penyalahgunaan kekerasan atau kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota lain, yang melanggar hak individu.

Beberapa karakteristik kekerasan dalam keluarga (Soetarso, dalam Abu Huraerah, 2007:68) :

a. Bentuk umum terjadinya kekerasan dalam keluarga menyangkut penyalahgunnaan kekuatan oleh pihak yang kuat (orangtua) terhadap yang lemah (anak). Perbedaan kekuatan ini dapat berupa ukuran dan kekuatan fisik maupun status.

b. Adanya tingkatan kekerasan, dari yang ringan sampai sangat berat atau fatal c. Kekerasan dilakukan berkali-kali

d. Kekerasan dalam keluarga umumya berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan eksploitasi psikologis. Misalnya, penghinaan verbal yang berupa ejekan atau sumpah serapah seringkali mengawali terjadinya kekerasan secara fisik.

e. Kekerasan dalam keluarga mempunyai dampak negatif terhadap semua anggota keluarga baik yang terlibat dalam kekerasan maupun yang tidak. Setiap orang dalam keluarga akan merasa tidak tentram, dan masalah ini dapat merusak kehidupan suatu keluarga.


(42)

40

Setiap orang berpotensial menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak baik masyarakat dan juga anggota keluarga termasuk orangtua. Orangtua yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap proses perubahan sosial yang cepat biasanya lebih potensial melakukan tindakan menyimpang termasuk tindakan menganiaya anak yang seharusnya mereka lindungi.

Kemampuan berpikir dan kematangan emosional orangtua yang labil seperti rentan mengalami depresi, stres, kekecewaan, frustasi dan sebagainya akan mudah menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak (Suyanto, 2010: 60).

Sedangkan ciri-ciri umum orangtua yang melakukan kekerasan pada anak adalah:

a. Tidak ada perhatian pada anak.

b. Menyangkal adanya masalah pada anak di rumah dan di sekolah, dan menyalahkan anak pada setiap masalah.

c. Meminta guru untuk memberi hukuman berat dan menerapkan disiplin pada anak.

d. Menganggap anak sebagai anak yang bandel, tidak berharga, dan susah diatur. e. Menuntut kemampuan fisik dan akademik anak, tidak sebanding dengan

kemampuan yang ada.

f. Hanya memperlakukan anak pemenuhan kepuasaan akan kebutuhan emosional untuk mendapatkan perhatian dan perawatan

2.4 Kekerasan terhadap anak

Menurut World Health Organization (WHO) (dalam Suyanto, dkk, 2010) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan


(43)

41

atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

2.4.1 Pengertian Kekerasan terhadap Anak

Kekerasan secara sederhana dapat diartikan menjadi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Kekerasan sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, fisikologis atau finansial, baik yang di alami individu maupun kelompok. Istilah kekerasan terhadap anak meliputi tindakan ancaman fisik, baik yang secara langsung dilakukan oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran akan kebutuhan-kebutuhan dasar anak (Barker, dalam Huraerah, 2007:47).

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat di definisikan sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang di indikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejateraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun, kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik melainkan juga berupa bentuk eksploitasi, pemberian makanan yang tidak layak, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Suyanto, 2010 : 28).

2.4.2 Bentuk-bentuk kekerasan

Terry E Lawson (dalam Huraerah, 2007: 47) mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child Abuse) menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse, verbal


(44)

42

abuse, physical abuse, sexual abuse. Sementara itu, Suharto (dalam Huraerah, 2007:

47)) mengelompokkan kekerasan terhadap menjadi: kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis, kekerasan seksual, kekerasan secara sosial serta kekerasan emosional. Kelima bentuk kekerasan terhadap anak itu dapat di jelaskan sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa mengunakan benda-benda tertentu, menimbulkan luka-luka fisik, atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat sentuhan kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sudutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya di temukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak di sukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus menerus, merusak barang berharga, dan lain sebagainya.

Tindakan kekerasan fisik yang terjadi di rumah biasanya dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya, seperti dijewer, disabet dengan menggunakan ikat pinggang, dicubit, dipukul dengan gagang sapau, ditendang, disundut rokok dan sebagainya.

2. Kekerasan psikis

Kekerasan psikis tidak begitu mudah di kenali, karena korban tidak akan memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Kekerasan psikis meliput penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini pada


(45)

43

umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika di dekati, takut bertemu dengan orang lain, dan lemah dalam membuat keputusan.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual (sexual intercourse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah melakukan setelah melakukan seksualitas. Segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun dilingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak jenis ini.

Menurut Resna dan Darmawan tindakan kekerasan seksual terdiri dari perkosaan, eksploitasi dan incest. Perkosaan,pelaku tindakan perkosaan biasanya pria dan seringkali terjadi pada suatu saat di mana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Incest, sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat (Huraerah, 2007:71). McGuire dan L. Getz, juga menyatakan incest sebagai hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, dan biasanya antar anggota dalam suatu keluarga inti (Huraerah, 2007:66).

4. Kekerasan sosial

Kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya


(46)

44

anak dikucilkan, di asingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.

Sedangkan eksploitasi anak merujuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang di lakukan keluarga atau masyarakat, sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik. psikis, dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai. Anak dipaksa untuk angkat senjata atau dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melebihi batas kemampuannya.

5. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal

Kekerasan emosional atau kekerasan verbal, biasanya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut di dengar oleh anak (Huraerah,2007:66).

6. Kekerasan ekonomi

Kekerasan jenis ini sangat sering terjadi di lingkungan keluarga. Contoh bentuk kekerasan ekonomi yaitu perilaku melarang pasangan untuk bekerja atau mencampuri pekerjaan pasangan, menolak memberikan uang atau mengambil uang serta mengurangi jatah belanja bulanan. Pada anak-anak, kekerasan ini terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih berusia di bawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga (Suyanto,2010:30).

Selain bentuk kekerasan diatas, istilah kekerasan terhadap anak yang mengacu kepada bentuk penelantaran anak (Cicchetti & Blender, dalam Santrock,


(47)

45

2007: 172). Kekerasan dalam bentuk penelantaran anak berupa penelantaran fisik, keamanan, mendapatkan perawatan kesehatan, pendidikan, dan emosional.

Penelantaran fisik meliputi tindakan seperti tidak terpenuhi kebutuhan makan, pakaian atau tempat tinggal yang layak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Penelantaran keamanan mencakup tindakan seperti cedera yang disebabkan kurangnya pengawasan orangtua. Penelantaran mendapatkan perawatan kesehatan mencakup tindakan seperti mengingkari adanya penyakit serius pada anak. Penelantaran pendidikan mencakup tindakan seperti tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, tidak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, menyuruh anak mencari nafkah sehingga terpaksa putus sekolah. Penelantaran emosional mencakup tindakan seperti tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang dan menolak kehadiran anak (Rusmil, dalam Huraerah, 2007: 67).

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak

Kekerasan tidak terjadi begitu saja, terjadinya kekerasan terhadap anak di sebabkan oleh beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Salah-satu penyebab kekerasan terhadap anak adalah karena pengaruh keluarga, pengaruh ekonomi, maupun karena pengaruh genetika. Menurut Richard J Gelles (dalam Huraerah, 2007: 53-55) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:

a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violence). Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30 persen anak-anak yang


(48)

46

diperlakukan dengan kekerasan menjadi orang tua yang bertindak keras kepada anak-anaknya.

b. Stres Sosial (social stress)

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor

housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average

family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat

(disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga.

Sebagian besar kasus tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan.

c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

d. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih sering melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.

Keluarga-keluarga yang sering bertengkar antar pasangan mempunyai tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan


(49)

47

keluarga yang tanpa mempunyai masalah. Selain itu, keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti di mana mereka akan bertemplat tinggal dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi daripada keluarga keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk membuat keputusan-keputusan.

Sementara itu, Moore dan Parton (dalam Huraerah, 2007:52) menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh faktor individual dan adanya faktor sosial. Mereka yang menekankan faktor individual mengatakan bahwa orangtua yang memiliki potensi untuk menganiaya anak mempunyai karakteristik tertentu, yaitu mempunyai latar belakang yang juga penuh kekerasan, ia sudah terbiasa menerima pukulan; ada anggapan bahwa anak sebagai individu seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum; karakter lainnya adalah ketidaktahuan perkembangan anak.

Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa perspektif sosial lebih penting menyatakan bahwa seorang individu tidak mungkin dapat di pahami tanpa memahami konteks sosialnya. Dalam hal kekerasan, seseorang mungkin saja tidak mempunyai jaringan sosial yang memuaskan, yang tidak cukup mendukung dalam menghadapi masalah atau juga mungkin ketidakpuasan melihat struktur sosial dimana ia berada pada kondisi yang kurang beruntung.

Secara garis besar terdapat dua faktor yang mempengaruhi demikian kompleks kekerasan terhadap anak yang umumnya di sebabkan oleh faktor internal yang berasal dari kondisi sang anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal di luar diri anak seperti kondisi keluarga.


(50)

48 a. Faktor Internal

Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu. Kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya dapat bersumber dari kondisi sang anak sendiri. Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak dipengaruhi karakter dari anak itu sendiri seperti masalah tingkah laku anak yang sangat aktif, anak yang sulit diatur sikapnya, anak yang tidak dikehendaki kelahirannya, anak yang mengalami kelahiran prematur, anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga mempengaruhi watak, anak yang memiliki kelainan baik fisik dan mental serta anak yang meminta perhatian khusus (Ismail dalam Suyanto, 2010: 33-35).

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri anak yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak, dalam hal ini faktor dari keluarga (orangtua) yang meliputi:

1. Faktor ekonomi

Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga sering kali membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan masalah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembayaran sewa rumah, pembelian pakaian yang dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan orangtua yang sering kali dilampiaskan terhadap anak-anak(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 33).


(51)

49 2. Faktor pola asuh orangtua

Orang tua sebagai figur yang berperan penting dalam perkembangan anak yaitu dalam bentuk pola pengasuhan orang tua. Pendampingan orang tua diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik dan terletak pada interaksi antara orang tua dengan anak. Cara orang tua mendidik dan berinteraksi dengan anak inilah yang disebut sebagai pola asuhan.Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik berupa :

a. Pola asuh otoriter, orang tua menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemampuan atau pendapatnya sendiri. Kalau anak tidak memenuhi tuntutan orang tua, ia akan diancam dan dihukum.

b. Pola asuh permisif, orang tua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi batasan dari tingkahlaku anak. hanya pada hal-hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orang tua baru bertindak. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapya baik.

c. Pola asuh demokratis, orang tua memperhatikan dan menghargai kebebasan anak namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. keinginan dan pendapat anak diperhatikan dan jika sesuai dengan norma-norma orang tua maka disetujui. Sebaliknya kalau keinginan dan pendapat anak tidak sesuai, maka orang tua akan menerangkan secara rasional


(52)

50

dan obyektif sambil meyakinkan perbuatan anak (Gunarsa, 2003: 82-84).

3. Faktor masalah keluarga

Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orangtua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya untuk pelepasan rasa jengkel dan marahnya terhadap istri. Sikap orangtua yang tidak menyukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 33).

Ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana pertengkaran, perselisihan dam permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan terutama kekerasan fisik dan yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak (Huraerah,2007:69).

4. Faktor pendidikan

Kekerasan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat disebabkan karena tidak dimilikinya pendidikan atau pengetahuan yang dimiliki orangtua. Tingkat pendidikan orangtua yang rendah mengakibatkan banyak orangtua cenderung berpikiran sempit, tidak memiliki wawasan serta pengetahuan dalam mendidik dan mengasuh anak secara benar sehingga hak-hak anak terabaikan(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 35).

Ketidakmampuan orang tua dalam mendidik anak dengan sebaik-baiknya dengan ketiadaan perhatian, kelembutan dan kasih sayang dari orang tua


(53)

51

terhadap anak dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak (Huraerah,2007:69).

5. Faktor permasalahan jiwa atau psikis orangtua

Orangtua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak pada umumnya memilki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi kecemasan dan tertekan akibat mengalami depresi dan stres. Hal tersebut ditandai dengan ciri-ciri psikologis seperti adanya perasaan rendah diri, harapan terhadap anak tidak realistis, harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang cara mengasuh anak yang baik (Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 34-35).

Beberapa karakteristik orang tua yang potensial melakukan tindak kekerasan kepada anak-anak adalah orang tua yang agresif dan impulsif, orang tua tunggal, orang tua muda, terjadinya gangguan dalam perkawinan seperti perceraian, keluarga yang memiliki banyak anak, orang tua yang kecanduan obat atau alkohol serta orang tua yang kurang berpendidikan (Basoeki, dalam Suyanto,2010 : 33).

6. Faktor Perceraian

Perceraian dapat menimbulkan problematika rumah tangga seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah dan sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh anak-anak terutama ketika orangtua mereka menikah lagi dan anak harus dirawat oleh ibu atau ayah tiri. Tindakan kekerasan tidak jarang dilakukan oleh pihak ayah atau ibu tiri tersebut(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 34).


(54)

52

Menurut Lifshitz (dalam Shochib, 2010:9), anak yang berasal dari keluarga kacau (gagal) lebih banyak memiliki konsep diri negatif, lebih banyak mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, lebih ekstrim mengeskpresikan perasaan dan lebih sulit dalam mengontrol jasmaninya daripada anak dari keluarga utuh. Perpecahan keluarga ini dapat memicu terjadinya kenakalan anak karena semakin tidak lengkapnya kehadiran orang tua yang membuat kasih sayang terhadap anak tidak utuh lagi (Hersh, dalam Shochib, 2010:9).

Menurut Vincent J.Fontana (dalam Suyanto, 2010: 37-39), orangtua yang biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya adalah orangtua yang memiliki ciri seperti berikut. Pertama, secara emosional belum matang. Orangtua yang termasuk dalam hal ini umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah sebelum mencapai usia dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakam sebagai orangtua. Kedua, menderita gangguan emosional, kebanyakan dari orangtua ini tidak memiliki cara pengasuhan yang baik dan latar belakang pernah mengalami kekerasan sewaktu kecil sehingga tidak mampu menjadi figur orangtua yang bertanggung jawab. Ketiga, secara mental tidak sempurna. Orangtua sulit untuk melakukan adaptasi dan menerima anak-anaknya sehingga mereka sulit untuk memahami dirinya apalagi orang lain termasuk anak-anaknya sendiri. Apabila perilaku anak menyimpang dari normal maka mereka akan beranggapan bahwa anak tidak tunduk dengan sengaja melakukan pelanggaran. Keempat, orangtua terlalu berpegang pada disiplin. Orangtua tipe ini beranggapan bahwa hukuman fisik dengan memukul dan mengahajar adalah cara yang wajar dan tepat untuk mendisiplinkan dan mendidik anak. Hal tersebut dikarenakan orangtua sebagai sosok yang harus bertanggung jawab dalam membesarkan anak sesuai dengan yang mereka inginkan serta mencoba melakukan yang terbaik untuk anak. Kelima, pecandu minuman alkohol. Orangtua


(1)

143

melerai mereka, jadi dipukulnya juga pakai ikat pinggangnya. Kalau dia sudah minum, dia selalu mabuk pulang ke rumah.

Orang tua yang menjadi penguna narkoba dan pecandu minuman alkohol seringkali tidak menyadari ada yang salah di dalam dirinya, tidak dapat berpikir dan bertindak secara wajar, saat berhadapan dengan anak sehingga pada akhirnya hanya bersikap kasar terhadap anak.

5.4 Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan pengalaman dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasam yang peneliti temukan yaitu:

1. Literatur yang digunakan dalam penelitian ini masih sangat kurang sehingga mempengaruhi peneliti dalam menyajikan dan membahas topik yang terkait dengan penelitian ini.

2. Penelitian ini merupakan pengalaman pertama peneliti dalam melakukan penelitian sehingga dalam pelaksanaannya mempengaruhi kemampuan peneliti terutama dalam menggali data yang harus dikaji, serta dalam melakukan pendekatan dan membangun kepercayaan dengan para informan yang pada dasarnya tidaklah mudah.


(2)

144 BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran, yang didapat dari hasil penelitian. Kesimpulan yang terdapat di bab ini adalah merupakan hasil yang dicapai dari analisis yang dilakukan tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga (Studi kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara).

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti memberikan kesimpulan mengenai Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan pada anak dalam keluarga di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut:

1. Faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak dalam lingkup keluarga di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara dikarenakan masalah keluarga, terbukti 5 informan yang mengalami dan menjadi korban dari tindak perlakuan kasar berasal dari struktur keluarga yang sering bertengkar dan tidak harmonis. Perbedaan pendapat terhadap suatu pokok persoalan keluarga menimbulkan pertengkaran yang sering mengakibatkan anak-anak menjadi korban dari pertengkaran orangtuanya dan rawan menerima perlakuan sewenang-wenang dan salah. Tidak hanya itu saja, terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak dalam keluarga seperti faktor perlakuan atau sikap anak itu sendiri, rendahnya pengetahuan dan pemahaman orang tua dalam memberikan pendidikan dan mengasuh anak yang baik karena kondisi ekonomi yang pas-pasan, faktor pola


(3)

145

asuh orang tua yang cenderung otoriter, serta karakter orang tua yang memilki problem psikologis seperti orang tua yang kecanduan alkohol.

2. Masih adanya anggapan orang tua yang melakukan kekerasan terhadap putra-putri mereka menganggap bahwa hal itu merupakan sebagai bagian dari bentuk penegakan ketertiban atau disiplin dalam proses mendidik anak di rumah.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran dari peneliti adalah sebagai berikut:

1. Para orang tua seharusnya bersikap terbuka dan lebih memperhatikan kehidupan anak-anaknya. Untuk itu, orang tua juga dituntut untuk dapat menjalin komunikasi yang akrab dan meningkatkan kedekatan antar orangtua dan anak. Orang tua perlu juga memahami bahwa sikap memarah-marahi anak habis-habisan, apalagi hingga melakukan tindakan kekerasan bukanlah tindakan yang bijaksana sebagai orangtua dalam mendidik anak.

2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara sebagai lembaga negara yang memberikan perlindungan serta mengawasi penyelenggaraan perlindungan terhadap anak khususnya di Sumatera Utara sangat diharapkan agar dapat lebih menyuarakan dan mempertahankan hak-hak anak korban kekerasan, agar setiap anak lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat ataupun pemerintah. KPAID Sumut juga seharusnya terus melakukan peningkatan dan penguatan komitmen serta bekerja secara erat dengan instansi lain dalam menegakkan undang-undang perlindungan anak yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang dewasa.


(4)

146

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B. (2001). Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Gunarsa, S.D.(2003). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Huraerah, A. (2007). Kekerasan terhadap anak. Edisi revisi.Bandung: Nuansa. Hurlock, E.B.(2004). Psikologi perkembangan jilid 1 & 2. Jakarta: Erlangga.

Joni, M., & Zulchaina, T. (1999). Aspek hukum perlindungan anak dalam perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Khairuddin, H. (1997). Sosiologi keluarga. Yogyakarta: Liberty.

Kusmanto,T.H. (2013). Mereka yang tercabut dari masa depannya: Analisis sosiologis problem sosial anak di Indonesia. Jurnal SAWWA, Vol.8, No. 2, April 2013 (Semarang: Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang, 2013),hlm 226.

Luhulima, A.S. Ed. (2000). Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: PT. Alumni.

Nurdin.(1989). Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Grafiti.

Moleong, L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, S. W. (2003). Teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada , S. W.(2006). Psikologi remaja. Edisi revisi. Jakarta : Rajawali Pers Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: P.T. Refika Aditama.

Siagian, M. (2011). Metode Penelitian Sosial, Pedoman Praktis Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Kesehatan. Medan: PT. Grasindo Monoratama.

Sibuea, Kristin. (2012). Faktor-faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga dan dampaknya terhadap korban (studi kasus pada 3 orang korban KDRT yang terdaftar di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu). Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sitompul, Gokrulina. (2012). Faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga (studi kasus Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli). Skripsi. Medan: Universitas Negeri Medan.


(5)

147

Shochib, Moh. (2010). Pola asuh orang tua dalam membantu anak mengembangkan disiplin diri (ed. Rev). Jakarta: Rineka Cipta

Soetjiningsih. (2002).Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto Su’adah. (2003). Sosiologi Keluarga. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

Press.

Surbakti, E.B. (2008). Sudah siapkah menikah (Panduan bagi siapa saja yang sedang dalam proses menentukan hal penting dalam hidup).Jakarta:PT Elex Media Komputindo

Suyanto, B. (2010). Masalah Sosial Anak. Jakarta: Prenada Media Grup.

, B., & Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Pendekatan Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.

Tri, Ariany. (2013). Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak oleh orang tua dalam rumah tangga ditinjau dari kriminologi di kota Pontianak. Jurnal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas TanjungPura, Vol. 1, No. 2, 2013 (Pontianak : Fakultas Hukum, 2013),hlm 61. Verawati, M. (2013). Korelasi pola asuh dengan kejadian kekerasan pada anak di

Ponorogo. Jurnal Vol.1, No.1 2013 (Surabaya: Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2013), hlm 3

Wibhawa, B., Santoso, T.R., & Meilanny, B.S. (2010). Dasar-dasar Pekerjaan Sosial Pengantar Profesi Pekerjaan Sosial. Bandung: Widya Padjajaran.

Wong. (2009).Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Yuniartiningtyas, F. (2013). Hubungan Antara Pola Asuh Orang tu dan tipe Kepribadian dengan perilaku bullying di sekolah pada siswa SMP. Jurnal Vol.1, No.1 2013 (Malang: Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang, 2013), hlm 3

Sumber lain

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial


(6)

148

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Sumber Online

Rikang,R. (2015). Kejam, Ibu tiri setrka pipi anak di Duren Sawit. Diakses 27 Maret 2015, dari

WIB).

Syafputri, Ella. (2014). 21 juta kasus kekerasan menimpa anak Indonesia. Diakses 19 Januari 2015 dari

Susila,S.B., Iskandar, R.A. (2014). Kekerasan terhadap Anak Masih Rentan Terjadi.

Diakses 16 Januari 2015 dari

Manik, S. (2007). Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dalam Rumah

Tangga. Diakses 17 Februari 2015 dari

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. (n.d.). Rumah Tempat Tidak Aman Buat Anak. ykai.net. Diakses 23 Januari 2015 dari

Pengertian PMKS. Diakses 18 Januari 2015 dari


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 22 137

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 10

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 32

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian anak - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 15

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA(Studi Kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara- KPAID SUMUT) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Sosia

0 0 13