Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa L.) Di Desa Bakaran Batu Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai

  

TINJAUAN PUSTAKA

Survei Tanah

  Survei tanah dapat didefinisikan sebagai penelitian tanah di lapangan dan di laboratorium, yang dilakukan secara sistematis dengan metode-metode tertentu terhadap suatu daerah (areal) tertentu, yang ditunjang oleh informasi dari sumber- sumber lain yang relevan (SCSA, 1982). Survei tanah adalah pengamatan yang dilakukan secara sistematis, disertai dengan mendeskripsikan, mengklasifikasikan dan memetakan tanah di suatu daerah tertentu (Brady and Weil, 2002). Survei tanah adalah proses menentukan pola tutupan tanah, menentukan karakteristik tanah dan menyajikannya dalam bentuk yang dapat dipahami dan diinterpretasi oleh beberapa kalangan pengguna (Rossiter, 2000 dalam Rayes, 2007).

  Menurut Rayes (2007) dalam survey tanah dikenal 3 macam metode survey, yaitu metode grid (menggunakan prinsip pendekatan sintetik), sistem fisiografi dengan bantuan interpretasi foto udara (menggunakan prinsip pendekatan analitik), dan grid bebas yang merupakan penerapan gabungan dari kedua pendekatan. Menurut Boul, et al (1981) dalam Saragih (2009) meyatakan bahwa survey yang dilakukan mempunyai dua kegunaan yakni : (1) sebagai ilmu pengetahuan tentang asal dan genesis dari suatu tanah; dan (2) sebagai dasar pelayanan untuk mengaplikasikan teknologi dalam pertanian.

  Menurut Abdullah (1993) menyatakan bahwa penggunaan survey dikelompokan atas 5 jenis yaitu: (1) produksi tanaman pada jenis tanah tertentu, rekomendasi pengapuran dan sebagainya, (2) penafsiran lahan untuk kegunan perpajakan, pengajuan proyek dan jual beli usaha tani, (3) pengolahan penggunaan lahan, (4) perencanan penelitian tanah, (5) pendidikan umum yang menyangkut sumber daya alam.

  Dalam melaksanakan survei tanah, ada 3 tahapan kegiatan yang perlu dilakukan agar survei tanah dapat berjalan lancar, sistematis, dan efektif, yaitu :

  Tahap survei lapangan yang dibedakan atas : a.

  Pra-survei b.

  Survei utama 3. Analisis data dan pembuatan peta dan laporan.

  (Rayes, 2007).

  Evaluasi Lahan

  Evaluasi lahan merupakan suatu proses pendugaan potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaan. Proses klasifikasi lahan pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua pendekatan atau metode, yaitu metode faktor pembatas dan metode parametrik. Pada metode faktor pembatas, setiap sifat-sifat lahan atau kualitas lahan disusun berurutan mulai dari yang terbaik (yang memiliki pembatas yang paling rendah) hingga yang terburuk atau yang terbesar penghambatnya. Masing-masing kelas disusun tabel kriteria untuk penggunaan tertentu demikian rupa, sehingga faktor pembatas terkecil untuk kelas terbaik dan faktor pembatas terbesar jatuh ke kelas terburuk. Contoh evaluasi lahan yang menggunakan metode ini adalah klasifikasi kemampuan lahan (Klingebiel dan Montgomery, 1961), evaluasi lahan FAO (FAO, 1976 dalam Rayes, 2007).

  Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan, perikanan, kehutanan) (Djaenudin, dkk., 2011).

  Menurut FAO dapat dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini mengenal 4 (empat) kategori, yaitu : Ordo : menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu.

  Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan Sub-kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

  Kegiatan evaluasi lahan dan survei tanah, sangat dianjurkan dalam rangka untuk merencanakan dan mengkoordinir upaya perbaikan dan pengelolaan lahan pada masing-masing tipe penggunaan atau usahatani. Kegiatan evaluasi lahan ini mensuplai petani dengan informasi secara tepat dan akurat tentang apa yang seharusnya dikerjakan, dan perbaikan apa saja yang diperlukan untuk pengelolaan tentang tekstur tanah lapisan atas, tekstur tanah lapisan bawah, kedalaman solum dan subsoil, warna tanah lapisan atas, struktur tanah, keadaan batuan, mudahnya diolah, permeabilitas subsoil, drainase permukaan, drainase internal profil tanah, kemiringan, derajat erosi, dan bahaya erosi bila tanah diolah. Disamping itu, semua tanah-tanah pertanian perlu diuji kesuburan, reaksi tanah, dan kondisi alkalinitas/ salinitasnya sehingga dapat diprediksi kesesuaian lahan bagi komoditas pertanian dengan kriteria kelas kesesuaian lahan dari yang paling sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) sampai yang tidak sesuai (N) (Raden, dkk., 2010).

  Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) pada tingkat ordo ditunjukkan, apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu : 1.

  Ordo S (Sesuai) Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.

  Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan).

  Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Banyaknya kelas setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N, maka pembagian serta defenisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut : 1.

  Kelas S1 : sangat sesuai (Highly suitable) Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti berpengaruh secara nyata terhadap produksinya serta tidak akan menaikkan masukan dari apa yang telah bisa diberikan.

  2. Kelas S2 : cukup sesuai (Moderately suitable) Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu usaha penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktifitas dan keuntungan, perlu meningkatkan masukan yang diperlukan.

  3. Kelas S3 : sesuai marginal (Marginally suitable) Lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat untuk suatu penggunaan lestari. Pembatas akan mengurangi produktifitas atau keuntungan dan perlu

  4. Kelas N1 : tidak sesuai pada saat ini (Currently not suitable) Lahan mempunyai pembatas yang sangat berat, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional.

  5. Kelas N2 : tidak sesuai permanen (Permanently not suitable) Lahan mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan untuk digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari

  (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

  Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas

kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan

karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi

faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas

kondisi perakaran (rc=rooting condition) (Ritung, dkk., 2007).

  Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang

didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Contoh

kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang sama

dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor

kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1

kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50

cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang

digunakan (Ritung, dkk., 2007).

  Dalam kesesuaian lahan dikenal kesesuaian lahan aktual yaitu kesesuaian

  

lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan

  

Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan

dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial

menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-

usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan

terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang

memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila

komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai (Ritung, dkk., 2007).

  Karakteristik Lahan

  Menurut Djaenudin, dkk., (2003) menyatakan bahwa karakteristik lahan yang digunakan adalah: temperatur udara, curah hujan, lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, kapasitas tukar kation liat, kejenuhan basa, pH H

  2 O, C-organik, salinitas, alkalinitas,

  kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, batuan di permukaan, dan singkapan batuan.

   dalam °C Curah hujan : merupakan curah hujan rerata tahunan dan dinyatakan dalam

  Temperatur udara : merupakan temperatur udara tahunan dan dinyatakan

   mm Kelembaban udara : merupakan kelembaban udara rerata tahunan dan

   dinyatakan dalam % Drainase : merupakan pengaruh laju perkolasi air ke dalam tanah terhadap

   aerasi udara dalam tanah Tekstur : menyatakan istilah dalam distribusi partikel tanah halus dengan

  

   Bahan kasar : menyatakan volume dalam % dan adanya bahan kasar dengan ukuran > 2 mm

   Kedalaman tanah : menyatakan dalamnya lapisan tanah dalam cm yang dapat dipakai untuk perkembangan perakaran dari tanaman yang dievaluasi

   KTK liat : menyatakan kapasitas tukar kation dari fraksi liat

   Kejenuhan basa : jumlah basa-basa (NH4OAc) yang ada dalam 100 g contoh tanah.

   Reaksi tanah (pH) : nilai pH tanah di lapangan. Pada lahan kering dinyatakan dengan data laboratorium atau pengukuran lapangan, sedang pada tanah basah diukur di lapangan

   C-organik : kandungan karbon organik tanah.

   Alkalinitas : kandungan natrium dapat ditukar

   Lereng : menyatakan kemiringan lahan diukur dalam %

   Bahaya erosi : bahaya erosi diprediksi dengan memperhatikan adanya erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur (reel erosion), dan erosi parit (gully erosion), atau dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) per tahun

   Genangan : jumlah lamanya genangan dalam bulan selama satu tahun

   Batuan di permukaan : volume batuan (dalam %) yang ada di permukaan tanah/lapisan olah

   Singkapan batuan : volume batuan (dalam %) yang ada dalam solum tanah Tabel 1. Karakteristik kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (Oryza sativa L.)

  

Persyaratan Kelas Kesesuaian Lahan

Penggunaan/Karakteristik S1 S2 S3 N Lahan Temperatur (tc)

  Temperatur rata-rata (

  C) 24 - 29 22 - 24 18 - 22 < 18 29 - 32 32 - 35 > 35 Curah hujan (mm/tahun) > 1500 1200-1500 800 - 1200 < 800 Kelembaban (%) 33 – 90 - 30 - 33 < 30, > 90

  Media Perakaran (rc)

  Drainase Agak Terhambat, Sangat Cepat terhambat, baik terhambat, sedang agak cepat

  Tekstur Halus, agak Sedang Agak Kasar halus kasar Bahan kasar (%) < 3 3 - 15 15 - 35 > 35 Kedalaman tanah (cm) > 50 40 - 50 25 - 40 < 25

  Retensi Hara (nr)

  • Kejenuhan basa (%) > 50 - 35 - 50 < 35 pH H
  • KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
  • 2 O 5,5 - 8,2 4,5 - 5,5 < 4,5

  8,2 - 8,5 > 8,5 C-organik (%) > 1,5 - 0,8 – 1,5 < 0,8

  Toksisitas (xc)

  Salinitas (dS/m) < 2 2 - 4 4 - 6 > 6

  Sodisitas (xn)

  Alkalinitas/ESP (%) < 20 20 - 30 30- 40 > 40

  Bahaya Sulfidik (xs)

  Kedalaman Sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 - 75 < 40

  Bahaya Erosi (eh)

  Lereng (%) < 3 3 - 5 5 - 8 > 8 Bahaya erosi Sangat Rendah Sedang Berat rendah

  Bahaya Banjir (fh)

  Genangan F0,F11,F12, F13, F22, F14, F24, F15, F25, F21, F23, F33, F41, F34, F44 F35, F45

  F31, F32 F42, F43

  Penyiapan Lahan (lp)

  Batuan di permukaan (%) < 5 5 - 15 15 - 40 > 40 Singkapan batuan (%) < 5 5 - 15 15 - 25 > 25 Sumber : Djaenudin, dkk., 2011.

  Sifat Fisika Tanah Iklim

  Ada dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan, yaitu temperatur dan curah hujan. Di daerah tropis, faktor yang mempengaruhi temperatur udara adalah elevasi (ketinggian tempat dari permukaan laut). Braak (1928) dalam Mohr et. al. (1972) berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia memprediksi suhu menggunakan persamaan berikut :

  T = 26,3 C - 0,61 h

  Keterangan: T : Rata-rata temperatur 26,3°C : Rata-rata suhu daerah tropis 0,61 : Konstanta temperatur (penurunan temperatur tiap naik 100 meter) h : Ketinggian tempat dalam meter (Rayes, 2007).

  Data curah hujan diperoleh dari hasil pengukuran stasiun penakar hujan

yang ditempatkan pada suatu lokasi yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah

tertentu. Pengukuran curah hujan dapat dilakukan secara manual dan otomatis.

Secara manual biasanya dicatat besarnya jumlah curah hujan yang terjadi selama

1(satu) hari, yang kemudian dijumlahkan menjadi bulanan dan seterusnya tahunan

(Ritung, dkk., 2007).

  Untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan biasanya dinyatakan dalam jumlah curah hujan tahunan, jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah.

  Oldeman (1975) mengelompokkan wilayah berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering berturut-turut. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah

  

Kriteria ini lebih diperuntukkan bagi tanaman pangan, terutama untuk padi.

Berdasarkan kriteria Schmidt & Ferguson (1951) membuat klasifikasi iklim

berdasarkan curah hujan yang berbeda, yakni bulan basah (>100 mm) dan bulan

kering (<60 mm). Kriteria yang terakhir lebih bersifat umum untuk pertanian dan

biasanya digunakan untuk penilaian tanaman tahunan (Ritung, dkk., 2007).

  Drainase Tanah Drainase tanah menunjukkan kecepatan meresapnya air dari tanah atau

keadaan tanah yang menunjukkan lamanya dan seringnya jenuh air. Drainase itu

  suatu proses menghilangnya air yang berkelebihan secepat mungkin dari profil tanah, terutama dari lapisan permukaan dan subsoil bagian atas. Kalau drainase dari rawa – rawa dan daerah – daerah yang tergenang air merupakan suatu hal yang penting, drainase tanah yang sudah diolah kerap kali jauh lebih penting.Boleh dikatakan, bahwa drainase tanah pertanian ialah yang paling penting dalam setiap masyarakat, bahkan di daerah kering, terutama dimana irigasi dilaksanakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

  Kelas drainase tanah dibedakan dalam tujuh kelas sebagai berikut : 1. Cepat, tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi sampai sangat tinggi dan daya menahan air rendah. Tanah demikian tidak cocok untuk tanaman tanpa irigasi. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium serta warna gley (reduksi).

  2. Agak cepat, tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi dan daya menahan air rendah. Tanah demikian hanya cocok untuk sebagian tanaman berwarna homogeny tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium serta warna gley (reduksi).

  3. Baik, tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya menahan air sedang, lembab, tapi tidak cukup basah. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogeny tanpa bercak atau karatan besi dan atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai

  ≥ 100 cm.

  4. Agak baik, tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang sampai agak rendah dan daya menahan air rendah, tanah basah dekat ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogeny tanpa bercak atau karatan besi dan atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai ≥ 50 cm.

  5. Agak terhambat, tanah mempunyai konduktivitas hidrolik agak rendah dan daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai ≥ 25 cm.

  6. Terhambat, tanah mempunyai konduktivitas hidrolik rendah dan daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah untuk waktu yang cukup lama sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi) dan bercak atau karatan besi dan atau mangan seikit pada lapisan sampai permukaan.

  7. Sangat terhambat, tanah dengan konduktivitas hidrolik sangat rendah dan daya menahan air sangat rendah, tanah basah secara permanen dan tergenang untuk waktu yang cukup lama sampai ke permukaan. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi) permanen sampai pada lapisan permukaan (Djaenudin, dkk., 2003).

  Topografi Topografi yang dipertimbangkan dalam evaluasi lahan adalah bentuk

wilayah (relief) atau lereng dan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Relief

erat hubungannya dengan faktor pengelolaan lahan dan bahaya erosi. Sedangkan

faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut berkaitan dengan persyaratan

tumbuh tanaman yang berhubungan dengan temperatur udara dan radiasi matahari

(Ritung, dkk., 2007).

  Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka, (2007) mengklasifikasikan kemiringan lereng sebagai berikut : l = 0 - 3 % : datar l

  1 = 3 - 8 % : landai/berombak

  l

  2 = 8 - 15 % : agak miring/bergelombang

  l = 15 - 30% : miring/berbukit

  3

  l

  4 = 30 - 45 % : agak curam

  l

  5 = 45 - 65% : curam

  l

  6 = > 65 % : sangat curam Kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng dapat mempengaruhi peta tanah. Panjang dan bentuk lereng tidak tercatat pada peta tanah, akan tetapi lereng sering kali dapat menjadi petunjuk jenis tanah tertentu dan pengaruhnya pada penggunaan dan pengelolaan tanah dapat dievaluasi sebagai bagian satuan peta. Jika data hasil penelitian tentang besarnya erosi dibawah sistem pengelolaan tertentu atau kepekaan tanah (nilai K) tersedia, maka data tersebut dapat digunakan untuk mengelompokkan tanah pada tingkat kelas (Rayes, 2007).

  Bahaya Erosi

Tingkat bahaya erosi dapat diprediksi berdasarkan kondisi lapangan, yaitu

dengan cara memperhatikan adanya erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), dan erosi parit (gully erosion). Pendekatan lain untuk memprediksi tingkat bahaya erosi yang relatif lebih mudah dilakukan adalah dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) pertahun,

dibandingkan tanah yang tidak tererosi yang dicirikan oleh masih adanya

horizon A (Ritung, dkk., 2007).

  Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka, (2007) mengklasifikasikan kelas erosi sebagai berikut : e : tidak ada erosi : - % e

  1 : ringan : < 25% lapisan atas hilang

  e : sedang : 25 – 75% lapisan atas hilang

  2

  e

  3 : berat : > 75% lapisan atas hilang, < 25% lapisan bawah hilang

  e

  4 : sangat berat : > 75% lapisan atas hilang, > 25% lapisan bawah hilang Kedalaman Tanah

  Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang baik bagi oleh akar tanaman. Lapisan tersebut dapat berupa lapisan kontak lithik, lapisan padas keras, padas liat, padas rapuh atau lapisan phlintit (Rayes, 2007).

  Menurut Ritung, dkk., (2007) mengklasifikasikan kelas kedalaman tanah dibedakan menjadi : k : sangat dangkal : < 20 cm k

  1 : dangkal : 20 – 50 cm

  k

  2 : sedang : 50 – 75 cm

  k

  3 : dalam : > 75 cm Tekstur Tanah

  Tekstur merupakan komposisi partikel tanah halus (diameter 2 mm) yaitu

pasir, debu dan liat. Tekstur tanah mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan

air dan permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya.

Definisi kelas tekstur tanah mengacu pada sistem USDA (Rayes, 2007).

  Menurut Ritung, dkk., (2007) mengklasifikasikan kelas tekstur yang digunakan adalah : t 1 : halus : liat berpasir, liat, liat berdebu. t 2 : agak halus : lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu. t

  3 : sedang : lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, t : agak kasar : lempung berpasir, pasir berlempung.

  4

  t 5 : kasar : pasir. t

  6 : sangat halus : liat (tipe mineral 2 : 1) Bahaya Banjir

  Ancaman banjir sangat perlu diperhatikan dalam pengelolaan lahan tanaman. Menurut Rayes (2007), bahaya banjir dapat dikelompokkan sebagai berikut : O = tidak pernah (dalam periode satu tahun tanah tidak pernah kebanjiran selama > 24 jam).

  O

  

1 = kadang-kadang (tanah kebanjiran > 24 jam dan terjadinya tidak teratur

dalam periode < satu bulan).

  O

  

2 = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secara teratur kebanjiran

untuk selama > 24 jam).

  O

  3

  = selama 2 – 5 bulan dalam setahun secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam).

  O

  4 = selama

  ≥ 6 bulan tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam).

  Batuan Permukaan

  Batu diatas permukaan tanah ada dua macam, yaitu batuan lepas yang terletak diatas permukaan tanah dan batuan tersingkap yang berada diatas permukaan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang terbenam didalam tanah. Batuan lepas adalah batuan yang tersebar diatas permukaan tanah dan berdiameter > 25 cm (berbentuk bulat) atau bersumbu memanjang lebih dari 40 cm (berbentuk pipih). Menurut Rayes (2007), batuan permukaan dapat dikelompokkan sebagai berikut : b = tidak ada ( < 0,01 % dari luas areal) b

  

1 = sedikit ( 0,01 % - 3 % permukaan tanah tertutup), pengolahan tanah

  dengan mesin agak tergangu tetapi tidak mengganggu pertumbuhan b

  

2 = sedang ( 3 % - 15 % permukaan tanah tertutup), pengolahan tanah mulai

agak sulit dan luas areal produktif agak berkurang.

  b

  

3 = banyak ( 15% - 90 % permukaan tanah tertutup), pengolahan tanah dan

penanaman menjadi sangat sulit.

  b

  

4 = sangat banyak ( > 90 % permukaan tanah tertutup), tanah sama sekali

tidak dapat digunakan untuk produksi pertaniaan.

  Sifat Kimia Tanah Kapasitas Tukar Kation (KTK)

  Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kapasitas atau kemampuan tanah menjerap dan melepaskan kation yang dinyatakan sebagai total kation yang dapat dipertukarkan per 100 gram tanah yang dinyatakan dalam milliequivalen disingkat me/100 g atau dalam satuan internasionalnya Cmol c /kg. Tanah-tanah yang mempunyai kadar liat/koloid lebih tinggi dan / atau kadar bahan organik tinggi mempunyai KTK lebih tinggi dibandingkan tanah yang mempunyai kadar liat rendah (tanah pasiran) dan kadar bahan organik rendah. Demikian juga apabila tanah mempunyai tipe liat 2 : 1 (montmorilonit) akan mempunyai KTK lebih tinggi apabila dibandingkan tanah yang mempunyai tipe liat 1 : 1 (kaolinit) atau 2 : 1 : 1 (klorit) (Winarso, 2005).

  Koloid tanah (mineral liat dan humus) bermuatan negatif, sehingga dapat

  • 2+ 2+

  menyerap kation-kation. Kation-kation dapat ditukar (dd) (Ca , Mg , K dan

  Na ) dalam kompleks jerapan tanah ditukar dengan kation NH

  4 dari pengekstrak

  dan dapat diukur. Untuk penetapan KTK tanah, kelebihan kation penukar dicuci

  dengan etanol 96%. NH

  4 yang terjerap diganti dengan kation Na dari larutan Proses pertukaran kation ini sangat penting untuk dipahami oleh ahli pertanian karena sangat terkait dengan pengelolaan tanah dalam hubungannya dengan pemupukan dan pengapuran serta proses serapan unsur hara oleh akar. Pemupukan yang tepat, sehingga dikenal dengan 5 tepat pemupukan yaitu tepat macam, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu dan tepat metode, akan sangat penting untuk mendapatkan hasil pertanian yang menguntungkan dan menjaga kesehatan dan kualitas tanah (Winarso, 2005).

  Kejenuhan Basa (KB)

  Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation-kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat diserap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut.

  Kejenuhan basa (KB) merupakan sifat yang berhubungan dengan KTK, yang dapat didefenisikan sebagai berikut :

  − % KB =

  % Kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman.

  Disamping itu basa-basa umumnya mudah tercuci sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Winarso, 2005).

  Kejenuhan basa merupakan suatu sifat yang berhubungan dengan KTK. Terdapat juga korelasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya, terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Kejenuhan basa sering dianggap sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudian pelepasan kation dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya ≥ 80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 50 dan 80%, dan tidak subur jika kejenuhan basanya ≤ 50% (Mukhlis, dkk., 2011).

  pH Tanah

  • Kemasaman (pH) tanah secara sederhana merupakan ukuran aktivitas H
  • dan dinyatakan sebagai – log

  10 [H ]. Secara praktikal ukuran logaritma aktivitas

  • atau konsentrasi H ini berarti setiap perubahan satu unit pH tanah berarti terjadi perubahan 10 kali dari jumlah kemasaman atau kebasahan. Pada tanah yang
  • mempunyai pH 6,0 berarti tanah tersebut mempunyai H aktif sebanyak 10 kali dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH 7,0 (Winarso, 2005).

  Menurut Ritung, dkk., (2007) mengklasifikasikan kelas kemasaman tanah sebagai berikut : pH < 4,5 (sangat masam) pH 4,5 – 5,5 (masam) pH 5,6 – 6,5 (agak masam) pH 6,6 – 7,5 (netral) pH 7,6 – 8,5 (agak alkalis) pH > 8,5 (alkalis)

  Peranan pH tanah, antara lain : a. Mempengaruhi ketersediaan unsur hara tanaman b. Mempengaruhi nilai kapasitas tukar kation (KTK), terutama kejenuhan basa

  (KB) suatu tanah c. Mempengaruhi keterikatan unsur P e.

  Mempengaruhi perubahan muatan listrik pada permukaan kompleks liat atau humus (Winarso, 2005).

  C-Organik Tanah

  Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KPK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK tanah. Sekitar 20 – 70 % kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KPK tanah (Stevenson, 1982). Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 ton/ha pada Ultisol mampu meningkatkan 15,18 % KPK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 cmol (+) /kg (Cahyani, 1996 dalam Atmojo, 2003).

  Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar hanya sekitar 3 – 5%, tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali. Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat tanah dan akibatnya juga terhadap pertumbuhan tanaman adalah : − Sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah − Sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro lainnya − Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (kapasitas tukar kation menjadi tinggi) − Sumber energi bagi mikroorganisme

  Karakteristik Tanah Sawah

  Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.

  Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan dan sebagainya. Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa-rawa yang ”dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase (Hardjowigeno, dkk., 2004).

  Menurut data yang dikemukakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS, 2001), luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 2000 adalah 7.787.339 ha. Dari luasan tersebut, sebagian besar berada di Pulau Jawa, yaitu 3,34 juta ha (42,9 % dari luas total lahan sawah Indonesia), kemudian Sumatera 2,11 juta ha (27,1 %), Kalimantan 0,97 juta ha (12,4 %), dan Sulawesi 0,96 juta ha (12,4 %). Sebaran lahan sawah di Pulau Sumatera yang terluas terdapat di Sumatera Utara (0,52 juta ha) diikuti oleh Sumatera Selatan (0,43 juta ha), Nanggroe Aceh Darussalam (0,30 juta ha), Lampung (0,29 juta ha) dan Sumatera Barat (0,23 juta ha). Luas lahan sawah di Provinsi Jambi, Riau, dan Bengkulu berturut- turut adalah 0,14 juta ha, 0,12 juta ha, dan 0,08 juta ha. Di Bangka Belitung luas lahan sawah hanya sekitar 2.440 ha (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).

  Menurut Greenland (1997) karakteristik utama tanah sawah yang menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah sebagai berikut:

  1. Penggunaan tanah secara kontinue tidak menyebabkan reaksi tanah menjadi masam. Hal ini berkaitan dengan sifat fisik, kimia tanah tergenang, dimana

  2. Kondisi permukaan tanah sawah memungkinkan hara tercuci lebih cenderung tertampung kembali ke lahan bawahnya daripada keluar dari sistem tanah.

  3. Fosfor lebih mudah tersedia bagi padi sawah 4.

Populasi aktif mikroorganisme penambat nitrogen mempertahankan oksigen organik

  Faktor penting dalam pembentukan profil tanah sawah adalah genangan air di permukaan, penggenangan dan pengeringan yang bergantian. Proses pembentukan tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian; (b) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah; (c) perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologi tanah akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan (Prasetyo, dkk., 2004).

  Perubahan-perubahan kimia tanah sawah ini berkaitan erat dengan proses oksidasi-reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan produktifitas tanah sawah. Perubahan kimia yang disebabkan oleh penggenangan tanah sawah sangat mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara padi. Keadaan reduksi akibat penggenangan akan merubah aktifitas mikroba tanah dimana mikroba aerob akan digantikan oleh mikroba anaerob yang menggunakan sumber energi dari senyawa teroksidasi yang mudah

  3- - 3+ 4+

  direduksi yang berperan sebagai elektron seperti ion NO

  3 , SO 4 , Fe , dan Mn (Prasetyo, dkk., 2004).

  Syarat Tumbuh Tanaman Padi Sawah

  Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak

  200 mm/bulan atau lebih, dengan distibusi selama 4 bulan. Sedangkan curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1500 - 2000 mm. Tanaman padi dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi. Di dataran rendah padi dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 650 m dpl dengan temperatur 22,5 C – 26,5 C sedangkan di dataran tinggi padi dapat tumbuh baik pada ketinggian antara 650 – 1.500 m dpl dan membutuhkan temperatur berkisar 18,7 C – 22,5 C (AAK, 1990).

  Tanaman padi dapat tumbuh pada pH tanah berkisar antara 4,5 - 8,2. Nilai pH tanah yang optimum untuk tanaman padi berkisar antara 5,5 - 7,5.

  Permeabilitas tanah pada subhorizon kurang dari 0,5 cm/jam. Tanaman padi termasuk tanaman yang peka terhadap salinitas tanah (DHL). Nilai DHL sebesar 2 dS/m dianggap optimal, tetapi jika mencapai 4-6 dS/m tergolong marginal (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).

  Tidak semua jenis tanah cocok untuk dijadikan areal persawahan. Hal ini dikarenakan tidak semua jenis tanah dapat dijadikan lahan tergenang air. Padahal dalam sistem tanah sawah, lahan harus tetap tergenang air agar kebutuhan air tanaman padi tercukupi sepanjang musim tanam. Oleh karena itu, jenis tanah yang sulit menahan air (tanah dengan kandungan air pasir tinggi) kurang cocok untuk dijadikan lahan persawahan. Sebaliknya, tanah yang sulit dilewati air (tanah dengan kandungan lempung tinggi) cocok untuk dibuat lahan persawahan (Suprayono dan Setyono, 1997).