Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

(1)

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA

DEWASA MADYA YANG MENGALAMI

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

PUTRI MAYRITZA D. W

101301083

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2013/2014


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA

DEWASA MADYA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN

HUBUNGAN KERJA

Dipersiapkan dan disusun oleh: PUTRI MAYRITZA D.W

101301083

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 3 Juni 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Dra. Irmawati, M.Psi, Psikolog NIP: 195301311980032001

Dewan Penguji 1. Liza Marini, M.Psi, Psikolog Penguji I/

NIP: 198105202005012003 Pembimbing ____________

2. Elvi Andriani, M.Si, Psikolog Penguji II

NIP: 196405232000032001 ___________

3. Meutia Nauly, M.Si, Psikolog Penguji III


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sesungguhnya skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2014

Putri Mayritza D. W 101301083


(4)

Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog ABSTRAK

Masa dewasa madya seharusnya menjadi masa produktif bagi seseorang dalam bekerja (Papalia, 2007). Diberhentikannya seorang dewasa madya dari pekerjaannya sebelum masa pensiun tiba mengakibatkan perubahan dengan konsekuensi negatif maupun positif yang akhirnya mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ryff (1995) menyebutkan kesjahteraan psikologis berhubungan dengan kemampuan individu dalam mengetahui potensi yang dimiliki, dan terbebas dari kecemasan dan depresi. Hal ini dilihat dari kemampuan individu menerima diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, mampu menguasai lingkungan, dapat menentukan pilihan sendiri dan berkembang ke arah positif (Ryff, 1995)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada dewasa madya yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Penelitian dilakukan terhadap dua orang subjek dengan menggunakan metode studi kasus. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan teknik theory based/operational construct . Data yang terkumpul diperoleh dari wawancara mendalam terhadap kedua subjek dengan menggunakan pedoman wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dialami mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu dewasa madya, khususnya pada aspek penerimaan diri (self-acceptance) dan penguasaan lingkungan (environmental mastery) yang berubah pada kedua responden. Terlihat Respodonden 1 tetap memiliki tujuan hidup dan tetap mandiri dalam mengambil keputusan, namun memiliki hubungan yang kurang baik dengan lingkungan sekitar. Pada Responden 2, hubungannya dengan lingkungan sekitar tetap terjalin dan tetap memiliki tujuan hidup dan mandiri dalam mengambil keputusan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan gender dan jumlah dukungan sosial yang didapatkan oleh kedua responden. Dukungan sosial membantu dewasa madya untuk kembali bangkit dan bertumbuh secara pribadi serta memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.

Kata Kunci : Psychological Well-being, Dewasa Madya, Pemutusan Hubungan kerja


(5)

Psychological Well-Being After Laid Off in Middle Adulthood Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog

ABSTRACT

Middle adulthood should be a productive time for someone at work (Papalia, 2007). Laid off before retirement in middle adulthood make a difference in adult life with the positive or negative consequences that affect the psychological well-being of individuals. This is related to that proposed by Ryff (1995). Psychological well-being associated with an individual's ability to determine their potential, and free from anxiety and depression. It can be seen from the individual's ability to accept themselves, to have positive relationships with others, have a purpose in life, able to master the environment, can make choices and growing in a positive direction (Ryff, 1995)

This study aims to look at the description of psychological well-being after laid off in middle adult. This study was conducted on two subjects using case study method. The sampling procedure is done by using theory-based / operational construct. The collected data obtained from in-depth interviews with both subject using interview guide.

The result of this study indicate that laid off affect psychological well-being of middle adult, especially in self-acceptance and environmental mastery. Respondent 1 has a good autonomy and have a purpose in life but has a poor relationship with other. In the second respondent, she has a good relationship with other and also purpose in life and good autonomy. This difference is related to gender differences and the amount of social support obtained by the second respondent. Social support helps middle adult to survive and growth personally as well as having a good relationship with other


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kekuatan, keyakinan dan semangat sehingga dengan pertolonganNya akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Psychological Well Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dra. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2. Kak Liza Marini, M.Psi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam membuat skripsi ini

3. Ibu Elvi Andriani, M.Si, Psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, Psikolog sebagai dosen penguji yang telah membimbing perbaikan dari skripsi ini sehingga skripsi ini bisa lebih baik lagi

4. Kak Arliza Juariani Lubis, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memantau perkembangan peneliti setiap semesternya dan mendukung peneliti agar bisa selesai tepat pada waktunya

5. Kedua orangtuaku tersayang, Papa dan Mami yang selalu memberikan dukungan dan kehangatan ketika peneliti mulai merasa tidak bersemangat dan selalu mendoakan peneliti dalam segala kondisi

6. Kedua adikku, Kevin dan Claudya yang memiliki peran dan cara tersendiri dalam mendukung proses penyelesaian skripsi ini

7. Kak Nala Pasaribu & Alfredo Situmorang, duo ibu anak yang selalu bisa menjadi pembangkit semangat dan tempat untuk menumpahkan keluh kesah

8. Sahabatku Yohanti, Irene, Vivian, yang telah menyadarkan bahwa harmony in disharmony itu nyata dan telah memberikan warna tersendiri pada kehidupan perkuliahan selama 4 tahun. Terimakasih atas empat tahun


(7)

ini, abang-abang. Semoga pertalian ini akan terus berlanjut sampai akhir zaman memisah.

9. Seluruh ibu - ibu komplek beserta atributnya yang telah memberiku ruang untuk berimajinasi dan berekspresi lebih dalam lagi dan lebih dalam lagi. 10.Seluruh angkatan 2010 yang sudah mulai menentukan arah hidupnya

masing - masing. Terimakasih atas kebar-bar-an yang kalian tampilkan teman. Kejadian - kejadian selama 4 tahun menjadi memori tersendiri untuk dikenang kelak :D

11.Kak Marly, Kak Iche dan Kak Aniem yang memberi semangat dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

12.Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah menyalurkan pengetahuan dan membimbing peneliti dalam setiap mata kuliah.

13.Terimakasih sebesar - besarnya juga peneliti haturkan kepada Om Raplin dan Tante Retno yang telah bersedia berbagi cerita dan pengalaman kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

14.Semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penyusunan skripsi ini

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi pengembangan skripsi ini di masa mendatang

Medan, Juni 2014

Putri Mayritza D. W 101301083


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSAN MASALAH. ... 8

C. TUJUAN PENELITIAN ... 9

D. MANFAAT PENELITIAN ... 1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. PSYCHOLOGICALWELL-BEING ... 12

1. Definisi Psychological Well-being ... 12

2. Dimensi Psychological Well-being ... 13

3. Faktor - faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being ... 16

B. BEKERJA ... 19

1. Masa Bekerja ... 20

C. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ... 21

1. Definisi Pemutusan Hubungan Kerja ... 21

2. Jenis - Jenis Pemutusan Hubungan Kerja ... 21

3. Dampak dari Pemutusan Hubungan Kerja ... 23

D. DEWASA MADYA ... 24

1. Definisi Dewasa Madya ... 24

2. Karakteristik Dewasa Madya ... 25

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya ... 28

4. Perkembangan Psikososial Dewasa Madya ... 29

E. DINAMIKA PSYCHOLOGICALWELL-BEINGDEWASA MADYA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ... 30


(9)

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. PENDEKATAN PENELITIAN... 34

B. RESPONDEN PENELITIAN ... 1. Karateristik Responden ... 35

2. Jumlah Responden ... 37

3. Prosedur Pemilihan Responden... 37

4. Lokasi Penelitian ... 37

C. METODE PENGUMPULAN DATA ... 38

D. ALAT BANTU PENELITIAN ... 39

E. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 40

F. PROSEDUR PENELITIAN... 43

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 47

A. ANALISA DATA RESPONDEN 1 ... 47

B. ANALISA DATA RESPONDEN 2 ... 93

C. PEMBAHASAN ... 1. Responden 1 ... 120

2. Responden 2 ... 128

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... A. KESIMPULAN ... 136

B. SARAN ... 139


(10)

DAFTAR TABEL

TABEL 1 Identitas Diri Responden 1 ... 47

TABEL 2 Jadwal Wawancara Responden 1 ... 48

TABEL 3 Analisa Intra Subjek Responden 1 ... 87

TABEL 4 Identitas Diri Responden 2 ... 93

TABEL 5 Jadwal Wawancara Responden 2 ... 93

TABEL 6 Analisa Intra Subjek Responden 2 ... 114

TABEL 7 Analisa Perbandingan Psychological Well-being Responden 1 & Responden 2... 118


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Consent Lampiran 2 Verbatim


(12)

Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog ABSTRAK

Masa dewasa madya seharusnya menjadi masa produktif bagi seseorang dalam bekerja (Papalia, 2007). Diberhentikannya seorang dewasa madya dari pekerjaannya sebelum masa pensiun tiba mengakibatkan perubahan dengan konsekuensi negatif maupun positif yang akhirnya mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ryff (1995) menyebutkan kesjahteraan psikologis berhubungan dengan kemampuan individu dalam mengetahui potensi yang dimiliki, dan terbebas dari kecemasan dan depresi. Hal ini dilihat dari kemampuan individu menerima diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, mampu menguasai lingkungan, dapat menentukan pilihan sendiri dan berkembang ke arah positif (Ryff, 1995)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada dewasa madya yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Penelitian dilakukan terhadap dua orang subjek dengan menggunakan metode studi kasus. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan teknik theory based/operational construct . Data yang terkumpul diperoleh dari wawancara mendalam terhadap kedua subjek dengan menggunakan pedoman wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dialami mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu dewasa madya, khususnya pada aspek penerimaan diri (self-acceptance) dan penguasaan lingkungan (environmental mastery) yang berubah pada kedua responden. Terlihat Respodonden 1 tetap memiliki tujuan hidup dan tetap mandiri dalam mengambil keputusan, namun memiliki hubungan yang kurang baik dengan lingkungan sekitar. Pada Responden 2, hubungannya dengan lingkungan sekitar tetap terjalin dan tetap memiliki tujuan hidup dan mandiri dalam mengambil keputusan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan gender dan jumlah dukungan sosial yang didapatkan oleh kedua responden. Dukungan sosial membantu dewasa madya untuk kembali bangkit dan bertumbuh secara pribadi serta memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.

Kata Kunci : Psychological Well-being, Dewasa Madya, Pemutusan Hubungan kerja


(13)

Psychological Well-Being After Laid Off in Middle Adulthood Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog

ABSTRACT

Middle adulthood should be a productive time for someone at work (Papalia, 2007). Laid off before retirement in middle adulthood make a difference in adult life with the positive or negative consequences that affect the psychological well-being of individuals. This is related to that proposed by Ryff (1995). Psychological well-being associated with an individual's ability to determine their potential, and free from anxiety and depression. It can be seen from the individual's ability to accept themselves, to have positive relationships with others, have a purpose in life, able to master the environment, can make choices and growing in a positive direction (Ryff, 1995)

This study aims to look at the description of psychological well-being after laid off in middle adult. This study was conducted on two subjects using case study method. The sampling procedure is done by using theory-based / operational construct. The collected data obtained from in-depth interviews with both subject using interview guide.

The result of this study indicate that laid off affect psychological well-being of middle adult, especially in self-acceptance and environmental mastery. Respondent 1 has a good autonomy and have a purpose in life but has a poor relationship with other. In the second respondent, she has a good relationship with other and also purpose in life and good autonomy. This difference is related to gender differences and the amount of social support obtained by the second respondent. Social support helps middle adult to survive and growth personally as well as having a good relationship with other


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Memasuki masa dewasa madya layaknya berada dipertengahan jalan kehidupan. Tanggung jawab menjadi bertambah berat jika dibandingkan ketika masih muda, namun belum dapat menikmati waktu santai di masa tua . Perubahan yang dialami masa dewasa madya bukanlah sebuah tahapan tersendiri, melainkan penyesuaian diri terhadap situasi-situasi dalam kehidupan seperti melihat anak-anak bertumbuh, mencapai puncak karir dan mempersiapkan diri untuk pensiun (McCrae & Costa dalam Berk, 2007). Sebagai individu dewasa madya , terdapat tugas perkembangan sebagai lanjutan dari tugas yang dijalani di dewasa dini, termasuk didalamnya mengurus keluarga dan bekerja (Papalia, Olds & Feldman, 2007).

Bekerja menjadi faktor terpenting dalam kehidupan. Di Indonesia sendiri, jumlah pekerja yang berusia 15 tahun ke atas mencapai 176 juta jiwa dari keseluruhan 250 juta jiwa penduduk Indonesia ((bps.go.id, 2013). Pemilihan pekerjaan menjadi tugas perkembangan utama yang bisa mempengaruhi seluruh struktur kehidupan baik dari segi kemampuan finansial dan kepemilikan tempat tinggal (Lemme, 1999) . Sepertiga waktu seseorang dihabiskan untuk bekerja (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Bekerja dapat memberikan fungsi sosial, status sosial dan relasi sosial disamping gaji, kekayaan dan hal – hal yang berbau materiil lainnya


(15)

2

(Kartono, 1989). Hal ini diungkapkan melalui komunikasi personal berikut ini.

"Bekerja itu adalah mengaplikasikan ilmu yang kita miliki. Juga untuk mengaktualisasikan diri dan pendapatan juga"

(Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)

Dengan bekerja, seseorang bisa mendapatkan kesenangan dan memiliki makna khusus terhadap kehidupan. Beberapa orang menganggap bekerja sebagai sebuah identitas (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Individu mulai memasuki dunia pekerjaan normalnya ketika memasuki usia dewasa dini, berlangsung sepanjang masa dewasa dan berakhir di masa dewasa akhir yaitu ketika memasuki masa pensiun (Lemme, 1999). Individu dewasa madya berada dalam tahap performa yang mengagumkan karena sudah memiliki pengalaman saat dewasa dini dan masih memiliki cukup waktu untuk berkarya sebelum memasuki masa pensiun. Usia-usia dewasa madya yang berada di rentang 40 - 60 tahun merupakan masa-masa berprestasi. (Hurlock, 1998). Di usia ini seseorang mencapai peningkatan karir (Santrock, 2002). Sejalan dengan peningkatan karir, kepuasan kerja seorang dewasa madya pun meningkat. Hal ini terjadi karena mereka sudah dapat terbiasa dengan pekerjaan yang mereka kerjaan. (W.A. Hochwarter et al., 2001 dalam Berk, 2007). Ini pula yang dialami oleh salah satu mantan karyawan bank yang puas dengan pekerjaannya karena sudah terbiasa dengan pekerjaa yang ia lakukan selama 1 tahun, seperti yang diungkapkan dalam komunikasi personal berikut,


(16)

"Enaklah. Puas kerja disitu. Pendapatannya tinggi, trus kerjaan sesuai dengan disiplin ilmu kita. Selain itu bisa ketemu dengan orang-orang dan bisa jalan-jalan ke tiap-tiap cabang di seluruh Sumatera Utara."

(Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)

"Makin lama kan kita makin terbiasa sama pekerjaan kita. Jadi lebih terasa ringan saat mengerjakan. Gak terasa beratlah pokoknya"

(Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)

Menurut Papalia (2007), individu yang lebih tua akan bekerja lebih produktif dibandingkan yang muda. Walaupun melambat, tetapi hasilnya lebih akurat. Bahkan menurut penelitian 84 % pekerja yang sudah memasuki dewasa madya memiliki keinginan untuk tetap bekerja walaupun mereka sudah memiliki jaminan finansial untuk kehidupannya di masa tua (Montenegro et al, dalam Schaie & Willis, 2011). Sepeti yang terjadi pada komunikasi personal berikut ini

"Banyak sekali yang bisa saya dapatkan dari situ. Makanya pengennya sih bisa kerja terus. Bisa untuk tabungan pendidikan anak-anak. Keperluan rumah tangga juga. Apalagi saya kan kepala keluarga"

(Komunikasi Personal, 20 Juni 2013, P, 51 tahun, mantan karyawan Bank)

Namun segala pencapaian tersebut tidak akan berhasil jika individu diberhentikan dari pekerjaannya. Pemberhentian dari pekerjaan atau pemutusan hubungan kerja bukanlah sesuatu yang dapat diduga - duga kehadirannya. Pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK) adalah situasi berakhirnya hubungan antara yang memberikan pekerjaan dengan yang menerima serta menjalankan pekerjaan tersebut (Manulang, 2001). PHK


(17)

4

menjadi momok menakutkan bagi para pekerja. Menurut penelitian yang dilakukan kepada para pekerja yang memiliki gelar sarjana dan berusia 45 - 65 tahun, PHK merupakan sumber ketakutan utama bagi pekerja disamping minimnya tabungan pensiun(Cohen & Janicki-Deverts, 2012).

PHK merupakan situasi yang tidak mengenal usia atau lamanya seseorang mengabdi dalam sebuah perusahaan ataupun dengan pekerjaannya. PHK bisa terjadi pada siapa saja, seperti yang dialami Michael Gates Gill, seorang direktur di perusahaan iklan terkemuka di Amerika. Ketika menginjak umur 50 tahun, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia dipecat dari perusahaannya dengan alasan efisiensi dan restrukturisasi dan digantikan oleh pekerja yang lebih muda. Awalnya ia menangis setelah mendapatkan kabar pemecatan tersebut. Ia merasa terkejut bahwa semua yang telah ia bangun harus berakhir begitu saja.(Oggunnaikke, 2009).

Kasus pemecatan seperti di atas merupakan segelintir dari kasus-kasus lain. Kasus pemecatan pada pekerja yang berada di usia madya layaknya fenomena gunung es. Kasus-kasus yang muncul di permukaan hanyalah segelintir dari keseluruhan kasus yang ada (Gullette, 2011). Di Medan sendiri, jumlah penduduk yang tidak lagi bekerja sudah mencapai 9% dari total 936 ribu lebih penduduk pada tahun 2012 (bps.go.id, 2013). Dari 9% persen tersebut beberapa diantaranya adalah individu yang seharusnya memasuki masa produktif dan persiapan menuju pensiun, namun harus berhenti dari pekerjaannya karena mengalami pemecatan


(18)

PHK merupakan salah satu kejadian dalam kehidupan seseorang yang paling membahayakan jika tidak dihadapi dengan baik (Sucher, 2013). PHK berbahaya bagi psikologis individu, terutama bagi individu dewasa madya. PHK termasuk ke dalam krisis paruh baya. Hal ini terjadi karena ekspektasi individu untuk terus bekerja hingga memasuki masa pensiun tidak sesuai dengan kenyataan bahwa individu tersebut harus berhenti dari pekerjaannya (Papalia, 2007). Efek dari kehilangan pekerjaan bertahan lebih lama pada dewasa madya Pemutusan hubungan kerja sama dengan kehilangan pekerjaan. Walaupun individu tersebut kembali memiliki pekerjaan, ia tetap memiliki perasaan tidak dapat mengontrol lingkungan pekerjaannya (Sucher,2013). Individu juga merasa tidak dapat mengembalikan kepercayaan dirinya seperti ketika ia bekerja dahulu, seperti yang diungkapkan dalam komunikasi personal berikut ini

"Gak mungkin bisa setinggi kemarin (kepercayaan diri) ya. Sudah sulit mencapai setinggi itu. Sekarang sih Cuma bisa berusaha biar mencapai standarnya aja dulu."

(Komunikasi Personal, 15 Januari 2014, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)

Diberhentikan dari pekerjaan memiliki beban yang sama dengan kehilangan seseorang yang dicintai (Davis, 2009) Beban tersebut lebih mempengaruhi fisik dan mental dewasa madya dibandingkan dewasa dini (Berk, 2007). Beban yang dimaksud terdiri dari perubahan-perubahan yang harus dialami seperti perubahan dari segi finansial, gaya hidup dan trauma emosional yang menyebabkan stress. Hal ini diungkapkan dalam komunikasi personal berikut.


(19)

6

"Fisik paling jadi cepat capek, trus perut sering bermasalah. Tapi dari segi pemikiran ya yang paling itu. Pikiran menjadi lebih komplekslah ya. Karena berhubungan dengan pendapatan. CV yang dibangun juga gak berhasil."

(Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)

Beberapa orang mengekspresikan stressnya dengan cara yang berbeda-beda, seperti tidak mampu mengingat kenangan bersama rekan kerja, tidak mampu mengurus keluarga, mencari kambing hitam, dan khawatir dengan status PHK yang disandang. Beban terberat yang paling dirasakan adalah hilangnya kelangsungan finansial (Davis, 2009). Hal ini diungkapkan dalam komunikasi personal berikut ini.

"Stress, bingung. Kehidupan jalan terus, sedangkan uang yang didapat terpakai sedikit demi sedikit. Mesti nutupin utang, hidupin anak istri sedangkan pendapatan istri gak bisa nutupin semuanya.

Beratlah pokoknya”

(Komunikasi Personal, 20 Juni 2013, P, 51 tahun, mantan karyawan Bank)

"Anak-anak butuh uang sekolah. Suami kerjaannya juga butuh modal tinggi. Pas tahu udah gak ada pemasukan lagi, stresslah udah. Terpaksa gali lobang tutup lobang.

(Komunikasi Personal, 15 Januari 2014, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)

Problem finansial menjadi masalah yang sulit dihindari terkait pendapatan yang harus terhenti sedangkan pengeluaran dalam keluarga tetap terjadi. Mulai dari biaya operasional rumah tangga, sampai dengan kebutuhan anak-anak seperti uang sekolah dan uang saku. Tekanan finansial dan kehilangan identitas diri mampu meningkatkan stress dan berujung pada terpengaruhnya kesejahteraan hidup (psychological well-being) seseorang. Terpengaruhnya kesejahteraan hidup seeseorang terjadi karena perubahan


(20)

sosial seperti perubahan tingkat pendidikan, urbanisasi, tekanan politik dan perubahan pola pekerjaan mampu mempengaruhi kepuasan hidup (life satisfaction) seseorang dan berimbas ke psychological well-being yang individu tersebut miliki (Bradburn dalam Ryff, 1989).

Psychological well-being sendiri menurut Ryff (1989) adalah dimana individu memiliki pandangan dan sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain serta mampu mengambil keputusan sendiri, mampu mengatur tingkah laku sendiri dan dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup menjadi lebih bermakna dengan cara mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Psychological well-being tidak hanya sekedar menjadi bahagia namun juga mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu (Ryff dalam Strauser, Lustig, & Ciftci, 2008). Psychological well-being berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk tetap berfungsi efektif dalam kehidupan sehari-hari bahkan ketika harus menghadapi pengalaman dan emosi yang negatif. Berfungsi efektif berarti mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, memiliki kontrol terhadap diri sendiri, memiliki tujuan hidup dan memiliki hubungan positif dengan yang lain (Huppert, 2009)

Psychological well-being dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, status ekonomi dan banyak lainnya. Jika ditinjau dari segi usia, di beberapa area dimensi, individu dewasa madya memiliki psychological well-being yang lebih baik dibandingkan individu yang lebih muda ataupun yang lebih tua. Hal ini dikarenakan ketika memasuki periode


(21)

8

dewasa madya, seseorang memiliki kesehatan mental yang positif . Dewasa madya lebih memiliki otonomi namun tidak fokus dengan perkembangan diri sendiri. Kontrol terhadap lingkungan juga meningkat dan penerimaa diri cenderung stabil. (Papalia, 2007) Hubungan dengan orang lain juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Ryff, 1989).

Psychological Well-being juga dipengaruhi oleh life event change (perubahan dalam kehidupan). Secara teori, PHK merupakan salah satu perubahan dalam kehidupan yang bisa mempengaruhi kepuasan hidup dan menyebabkan absennya kesejahteraan psikologis seseorang (Huppert, 2009). Kehilangan pekerjaan akibat PHK dapat menyebabkan kehilangan status, kehilangan tujuan hidup dan kemampuan untuk mengatur waktu (Creed & Macintyre dalam Papalia, 2007). Mereka juga kehilangan salah satu bagian dari diri mereka, harga diri dan merasa tidak mampu untuk mengontrol hidupnya lagi. (Chope dalam Dance, 2011). Jika PHK terjadi pada masa dewasa madya, maka terjadi perbedaan perkembangan kesejahteraan hidup pada dewasa madya tersebut. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah gambaran psychological well-being individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja. (PHK).

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran psychological well-being individudewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?


(22)

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilihat dari dimensi – dimensi psychological well-beingnya

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memberi masukan bagi disiplin ilmu psikologi terutama psikologi perkembangan berkaitan dengan psychological well-being dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai psychological well-being pada individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

2. Manfaat Praktis

 Memberikan informasi kepada individu dewasa madya yang mengalami PHK bahwa psychological well-being penting untuk meningkatkan potensi yang dimiliki oleh individu

 Memberikan informasi kepada pekerja yang mengalami PHK bahwa PHK bukanlah akhir dari segalanya tapi awal dari merealisasikan potensi yang ada di dalam diri individu


(23)

10

 Menjadi informasi untuk masyarakat untuk dapat memberikan dukungan kepada pekerja yang mengalami PHK untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individu

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini akan menyajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah penelitian rumusan permasalahan atau pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian baik secara teoritis maupun praktis, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Pada bab ini akan diuraikan tinjauan teoritis mengenai studi ini. Adapun teori yang digunakan adalah teori psychological well-being yang mencakup definisi dan dimensi psychological well-being, faktor – faktor yang mempengaruhi psychological well-being. serta definisi dan penyebab seseorang terkena PHK dan teori mengenai individu dewasa madya.

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.


(24)

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

A.1. Definisi Psychological Well-being

Pencapaian terbaik seorang manusia adalah memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan dilihat dari adanya keseimbangan antara efek negatif dengan efek positif dalam hidup manusia (Bradburn dalam Ryff, 1989). Bradburn melakukan penelitian yang mempelajari bagaimana perubahan sosial yang terjadi pada level makro baik dari segi level pendidikan, urbanisasi, masalah politik dan pola pekerjaan. Perubahan sosial yang dialami mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang yang mengarah pada psychological well-being. Bradburn merujuk pada Aristoteles mengenai kebahagiaan atau eudaimonia sebagai pencapaian tertinggi pada kehidupan manusia. Eudaimonia diartikan sebagai realisasi potensi yang dimiliki manusia daripada hanya kebahagiaan saja (Brandburn dalam Ryff, 1989)

Aristoteles (dalam Ryff, 1989) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan kebutuhan terpenting individu untuk seseorang. Kebahagiaan jika dikombinasikan dengan well-being (kesejahteraan) maka akan menghasilkan suatu kualitas hidup yang sangat baik. Ryff memulai penelitiannya mengenai hidup yang berkualitas dengan menggunakan beberapa indikator utama yang menjadi dimensi – dimensi yang berguna untuk menunjukkan psychological well-being seseorang. Dimensi – dimensi


(26)

tersebut antara lain adalah penerimaan diri (self-acceptance), pertumbuhan pribadi (personal growth), otonomi (autonomy), tujuan dalam hidup (purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental mastery) dan hubungan positif dengan orang lain.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah evaluasi diri individu dalam mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup dengan cara dapat menerima diri, bertumbuh secara pribadi, mampu menjalankan pilihan sendiri, memiliki tujuan dalam hidup, mampu menguasai lingkungan sekitar dan memiliki hubungan yang positif dengan orang lain

A.2. Dimensi – dimensi Psychological Well-being

Untuk menjelaskan psychological well-being, Ryff (1989) membaginya ke dalam enam dimensi, yaitu :

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Penerimaan diri merupakan evaluasi positif yang individu lakukan terhadap masa lalunya dan kehidupannya sekarang. Dimensi self acceptance berhubungan dengan pemikiran positif mengenai diri sendiri baik mengenai hal yang postif ataupun negatif yang ada pada dirinya Dimensi ini mengkarateristikkan individu sebagai seseorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya, berfungsi secara optimal dan dewasa. Dimensi penerimaan diri ini merupakan karateristik utama dari keberfungsian seseorang sebagai individu yang positif (Ryff, 1989).


(27)

14

b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relation with Other)

Dimensi ini berkaitan dengan adanya hubungan yang terjalin baik dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini termasuk didalamnya menjalin hubungan yang hangat dan membuat orang lain menjadi nyaman serta dicintai. Cinta dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan mental seseorang. Hubungan yang hangat menggambarkan kedewasaan yang merupakan karateristik dari dimensi penerimaan diri. Dengan memiliki empati dan afeksi yang ditandai dengan hubungan percintaan, persahabatan dan hubungan lain yang erat dengan orang lain , maka individu akan semakin mampu mengaktualisasikan dirinya dan kesejahteraannya pun akan turut meningkat.

c. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi ini mencakup kemampuan seseorang untuk menyadari potensi dan bakat yang dimiliki dan mengembangkan potensi tersebut agar psikologis individu tersebut dapat berfungsi secara optimal dan mampu mengembangkan sumber daya baru (Awaningrum, 2007). Dalam dimensi ini dibutuhkan suatu aktualisasi diri yang bisa digambarkan dengan terbuka dengan pengalaman – pengalaman yang baru. Individu yang mampu menjalani dimensi ini dengan baik, ia akan menunjukkan karateristik seperti terbuka dengan pengalaman baru, mampu melihat kesalahan diri dan memperbaikinya, melakukan perubahan dan meningkatkan pengetahuan diri dan efektivitas mereka. Sedangkan individu yang tidak mampu mencapai dimensi ini akan mengalami


(28)

stagnasi, merasa kosong, cepat bosan dan kurang memiliki minat untuk menjalani hidup.

d. Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini menyangkut kemandirian yang dimiliki seorang individu dalam menjalani dan menentukan kehidupannya tanpa harus berpaku pada orang lain. Dimensi ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengejar keyakinan pribadi dan kepercayaannya. Hidup yang berkualitas adalah hidup yang independen, mandiri, menentukan nasibnya sendiri dan bahkan mampu melawan ajaran atau kepercayaan yang biasa yang ada namun tidak sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan pribadinya. Individu yang menjalankan dimensi ini memiliki internal locus of control karena ia tidak terlalu memikirkan anggapan orang lain, menentukan segala sesuatunya sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain, menahan tekanan sosial dan mampu mengatur perilakunya berdasarkan penilaianya sendiri serta mengevaluasi diriniya sendiri dengan standar pribadinya

e. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini menyangkut kemampuan individu menguasai kehidupannya dengan baik dan efisien dengan cara memilih ataupun menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikologisnya. Kemampuan individu untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan sekitarnya merupakan kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam rentang waktu perkembangan manusia untuk meningkatkan kesehatan mental seseorang.


(29)

16

Individu diharapkan mampu bertindak kreatif melalui kegiatan fisik dan mental sehingga individu mampu meningkatkan psychological well-being-nya dan nantinya juga akan berimbas ke suksesnya seseorang dalam menghadapi masa – masa selanjutnya. Jadi bisa dikatakan bahwa partisipasi aktif seseorang dalam menguasai lingkungannya menjadi bagian penting dari suatu skema mengenai fungsi psikologis yang positif. f. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menyatakan bahwa seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik adalah individu yang memiliki tujuan hidup dan memaknai hidupnya. Tercapainya tujuan hidup dan membawa individu untuk mencapai kebahagiaan. Dan kebahagiaan tidak sama dengan makna hidup. Kebahagiaan merupakan hasil dari menjalankan kegiatan yang bermakna, sedangkan makan hidup merupakan hal yang dianggap sangat penting dan berharga bagi seseorang sehingga mampu mmeberikan nilai khusus yang layak diajdikan tujuan hidup seseorang. (Bastaman, 2007) sehingga makna hidup di setiap orang berbeda – beda sesuai dengan apa yang individu tersbeut anggap penting.

A.3.Faktor – faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being

Ada beberapa hal yang mampu mempengaruhi tinkatan Psychological Well-being seseorang (Ryff, 1989), yaitu:


(30)

a. Usia.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ryff pada tahun 1989 ditemukan bahwa ada perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari beberapa kelompok usia (Ryff, 1989b;Ryff & Keyes,1995). Ryff menggunakan 3 kategori umur yaitu young adult, middle adult dan older adult (Ryff, 1989) dan ditemukan bahwa dimensi environmental mastery semakin meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Individu dewasa akhir memiliki tingkat yang lebih rendah dibanding kategori kelompok lainnya dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri dan memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri, sedangkan dewasa madya memiliki tingkat yang tinggi pada penguasaan lingkungannya. Dan individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah di sisi dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan personal growth yang cukup tinggi (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001)

b. Jenis Kelamin

Pria dan wanita memiliki tingkatan psychological well-being yang berbeda. Wanita memiliki dimensi hubungan dengan orang lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini terkait dengan sensitifitas wanita terhadap perasaan orang lain, sehingga wanita terbiasa membina hubungan dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Personal growth pada wanita juga tampak lebih menonjol dibandingkan pria. 4


(31)

18

dimensi lainnya pria dan wanita tidak terjadi perbedaan yang signifikan. (Ryff, 1995)

c. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi memiliki hubungan dengan dimensi tujuan hidup, penguasaan lingkungan, penerimaan diri dan pertumbuhan dirinya dimana individu dengan status ekonomi yang tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi dan kesehatan mental yang baik. Individu yang memiliki status ekonomi rendah cenderung mudah stress dan mempengaruhi kesehatan mental seseorang. (Ryff, 1989) d. Budaya

Budaya individualisme dan kolektivisme memberikan dampak yang berbeda pada psychological well-being seseorang. Hasil penelitian Ryff (1995) menyebutkan bahwa budaya individualis memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

e. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang diberikan orang lain kepada individu dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan psychological well-being seseorang (Devis dalam Oktintia, 2012). Dukungan sosial disini merupakan perhatian, pertolongan dan rasa nyaman yang diberikan oleh orang lain untuk individu. Sumber


(32)

dukungan ini bisa berasal dari mana saja, bisa saja pasangan, keluarga, teman ataupun organisasi sosial.

f. Locus of Control (LOC)

Locus of Control merupakan suatu kepecayaan yang dimiliki seseorang mengenai kontrol terhadap peristiwa yang dialami (Rotter dalam (Schultz & Schultz, 1994). Robinson et.al (dalam Oktintia, 2012) mengemukakan bahwa locus of control dapat memberikan gambaran terhadap well-being seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of control eksternal.

B. BEKERJA

Bekerja menjadi fokus utama dalam perkembangan masa dewasa (Lemme, 1999). Setiap manusia harus memiliki dan menjalankan sebuah pekerjaan untuk memenuhi tugas perkembangannya. Memilih sebuah pekerjaan menjadi bagian dari tugas perkembangan utama seseorang yang nantinya bisa mempengaruhi seluruh struktur kehidupan.

Bekerja mampu memenuhi beberapa kebutuhan manusia. Selain untuk kepentingan finansial, terdapat aspek lain yang dapat terpenuhi ketika seseorang memiliki pekerjaan. Menurut Lemme (1999), aspek-aspek tersebut terkait dengan harga diri, penerimaan sosial, status sosial, sebagai jalan masuk bagi masa dewasa, menjadi struktur kehidupan, menghindari kebosanan, menjadi sumber pemenuhan diri (terdiri dari kepuasan, tantangan,


(33)

20

otonomi, dan makna bekerja) serta generativitas. Bekerja juga mampu memberikan identitas dan integrasi sosial kepada seseorang. (Newman & Newman, 2011). Lemme (1999) juga menyebutkan bahwa bekerja sering digunakan sebagai simbol kemandirian, keamanan finansial dan well-being. Bekerja memiliki makna yang berbeda-beda untuk setiap individu tergantung dari karateristik individu dan pekerjaan yang dilakukannya. Makna dari pekerjaan itu sendiri berubah seiring usia. Orang yang lebih tua akan lebih menempatkan nilai dari pekerjaan tersebut dibandingkan finansialnya (Birren, dalam Lemme 1999).

B.1.Masa Bekerja

Terdapat perbedaan masa bekerja bagi seseorang sampai diputuskan untuk berhenti bekerja dan menjalani masa pensiun. Seseorang dapat bekerja setelah memasuki usia 18 tahun, terkecuali pekerjaan ringan yang dapat dimulai ketika berusia 16 tahun (Undang - Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 1999). Di Indonesia sendiri terdapat berbagai jenis pekerjaan dan beragam batas usia pensiun sesuai dengan pekerjaannya. Untuk Pegawai Negeri Sipil, batas usia pensiun bagi PNS pada umumnya berdasarkan Undang - Undang Aparatur Sipil Negara adalah 58 tahun (ANTARA News, 2014). Sedangkan untuk yang bekerja di sektor swasta dapat berlangsung lebih cepat lagi. Normalnya seseorang yang bekerja di sektor swasta akan mengalami pensiun di usia 55 tahun, walaupun ada beberapa perusahaan yang menetapkan batas usia pensiunnya hingga 60 tahun(Bonasir, 2010)


(34)

C. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

C.1.Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja dikarenakan suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. (UU No.13 tahun 2003 pasal 1 butir 25). Manulang (2001) menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah berakhirnya hubungan antara yang memberikan pekerjaan dengan yang menerima dan menjalankan pekerjaan (pekerja) dan pekerja tersebut mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya.

Dari penjelasan di atas disimpulkan pemutusan hubungan kerja adalah berakhirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dan pekerja mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya

C.2.Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Rosyid (dalam Harahap, 2010) membagi Pemutusan Hubungan Kerja ke dalam 2 bagian, yaitu :

1. PHK dalam Kondisi Normal

PHK dalam kondisi normal mempunyai makna pemutusan hubungan kerja yang memang sudah memasuki waktunya dikarenakan pekerja sudah memasuki masa purna bakti. Dalam kondisi normal, PHK jenis ini akan menimbulkan perasaan yang membahagiakan dikarenakan setelah bertahun – tahun bekerja sesuai dengan peran yang berada di perusahaan maka tiba saatnya untuk memperoleh penghargaan atas semua jerih payahnya. Selain itu pengunduran diri atau pensiun diri juga merupakan


(35)

22

bagian dari pemutusan hubungan kerja secara normal,, dikarenakan pekerja dengan sadar mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan memulai karirnya dari awal

2. PHK dalam Kondisi Tidak Normal

Berkembangnya suatu perusahaan tergantung oleh lingkungan tempat perubahaan tersebut beroperasi dan tergantung perolehan dukungan agar perusahaan tersebut tetap bertahan (Robbins dalam Harahap, 2010). Tuntutan yang berasal dari dalam dan luar (inside & outside stakeholder) dapat membuat sebuah perusahaan melakukan perubahan termasuk di dalamnya penggunaan tenaga kerja (Harahap, 2010). Dan dampak dari pengurangan tenaga kerja ini adalah pemutusan hubungan kerja.

Flippo (1981, dalam Edwin, 2003) membagi pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :

a. Layoff : Keputusan yang diberikan kepada pekerja yang walaupun memiliki kualifikasi yang membanggakan, namun tetap harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan jasanya. b. Outplacement : Keputusan yang diambil dikarenakan perusahaan ingin

mengurangi banyak tenaga kerja baik profesional, manajerial ataupun pelaksana biasa. Hal – hal yang menyebabkan sebuah perusahaan mengambil keputusan ini adalah untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, mengurangi orang – orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja dan orang-orang yang kemampuannya tidak dapat dikembangkan


(36)

c. Discharge : Keputusan ini diambil berdasarkan bukti lapangan bahwa pekerja kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.

C.3.Dampak dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Stress muncul ketika seseorang menganggap sebuah kejadian sebagai kejadian yang menakutkan, tidak dapat dihadapi dan merasa putus asa dalam menghadapinya (Lemme, 1999). Situasi yang paling menimbulkan stress adalah situasi yang berhubungan dengan kehilangan ataupun ekspektasi yang terlalu tinggi yang sudah ditetapkan oleh individu (Hobfoll dalam Lemme, 1999). Pemutusan Hubungan kerja menimbulkan konsekuensi psikologis yang sangat besar bagi individu (Paul & Moser, 2009). Pemutusan hubungan kerja menyebabkan seseorang mengalami kehilangan baik dari segi kehilangan pekerjaan, rutinitas, finansial dan kehilangan identitas di masyarakat (Creed & Macintyre dalam Papalia, 2007). Segala bentuk kehilangan yang diakibatkan pemutusan hubungan kerja mempengaruhi fisik dan psikologis individu (Journal Of Occupation Health Psychology Vol 7 No 4 dalam Dance 2011). Gangguan fisik yang biasa pada seseoran yang berhenti bekerja adalah hipertensi (Papalia, 1998). Penelitian lain menunujukkan bahwa seseorang yang tidak bekerja cenderung mengalami masalah dengan jantung dan melemahnya sistem imun (Cohen, Kemeny, & Zegans, 2007). Selain fisik, mental seseorang pun dapat terganggu akibat pemutusan hubungan kerja. Seseorang yang diberhentikan dari pekerjaannya cenderung cemas, stress bahkan sampai kepada depresi (Blustein dalam Dance, 2011).


(37)

24

Segala tekanan mental yang terjadi dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang (Bradburn dalam Ryff, 1989)

D. DEWASA MADYA

D.1.Definisi Dewasa Madya

Hurlock (1998) menyebutkan bahwa masa dewasa madya dimulai dari usia 40 - 60 tahun. Sedangkan jika dilihat dari sudut konteks keluarga, dewasa madya merupakan masa dimana individu memiliki anak yang sedang tumbuh dan memiliki orangtua yang sudah lanjut usia (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).

Pada masa ini individu mulai memiliki berbagai tanggung jawab dan peran seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus usaha, membesarkan anak, merawat orangtua dan memulai karir baru (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Individu di masa ini memiliki keadaan fisik, kognitif dan emosi yang baik dan nyaman dengan kualitas hidupnya. Masa dewasa madya sering disebut masa krisis dikarenakan di masa ini seseorang kembali meninjau target dan aspirasinya dan menentukan apa – apa saja yang akan dilakukan untuk menjalani sisa hidup (Lachman & James dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007).

Boyd & Bee (2009) menyebutkan bahwa kecenderungan individu untuk bekerja di masa dewasa madya masih tinggi. Mereka mengkarateristikkannya kedalam dua perspektif dimana Boyd & Bee melihat bahwa performa kerja individu dewasa madya meningkat walaupun terjadi penurunan secara kognitif dan fisik. Selain itu kepuasan dalam bekerja juga


(38)

meningkat di masa ini. Hal itu dikarenakan individu memperoleh upah yang besar sesuai pertambahan usianya dan karena individu tersebut telah berada di posisi yang lebih aman dari sebelumnya. (Santrock, 2002)

Di usia dewasa madya, individu akan lebih berfokus pada otonomi dalam bekerja, kesempatan untuk individu untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, pencapaian personal, kebebasan untuk lebih kreatif dan kebutuhan untuk melihat suatu pekerjaan mampu memberikan kontirbusi yang nyata dalam kehidupan (Clausen dalam Hoyer, Rybash, & Roodin, 1999)

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah dewasa madya merupakan masa yang dimulai dari usia 40 - 60 tahun dan memiliki tanggungan keluarga serta merupakan masa dengan berbagai tanggung jawab dan peran baik dalam keluarga dan pekerjaan.

D.2.Karateristik Dewasa Madya

Masa dewasa madya adalah masa yang sangat ditakuti dari berbagai rentang kehidupan. Karena di masa ini seseorang sudah harus mengevaluasi apa yang ia rancang di masa dewasa dini dan apa yang harus ia lakukan di masa dewasa lanjut. Menurut Hurlock (1998), Masa dewasa madya diasosiasikan dengan beberapa karaterstik, yaitu :

a. Masa yang ditakuti

Stereotipe-stereotipe yang muncul di tengah masyarakat mengakibatkan individu menjadi takut untuk menghadapi masa dewasa madya. Anggapan


(39)

26

penurunan fungsi mental dan fisik serta berhentinya reproduksi menjadi hal utama dari ketakutan individu dewasa madya

b. Masa transisi

Masa dewasa madya merupakan masa transisi dimana individu harus melepaskan ciri-ciri jasmani dan perilakunya di masa dewasa dini dan menyesuaikan diri dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Biasanya ini berhubungan dengan masa transisi keperkasaan seorang pria dan kesuburan seorang wanita

c. Masa stress

Perubahan yang terlalu drastis terkadang berimbas kepada psikologis individu di masa ini. Marmor (dalam Hurlock, 1998) membagi kategori stress yang dihadapi dewasa madya menjadi empat bagian termasuk didalamnya stress somatik, stress budaya, stress ekonomi dan stress psikologis

d. Usia yang berbahaya

Di masa ini dikatakan usia yang berbahaya karena di masa inilah terjadi rasa cemas yang berlebihan, penurunan fungsi fisik dan kurang memperhatikan diri sendiri. Di beberapa kasus terdapat kemungkinan bunuh diri ketika tidakmampu mencapai targetnya.

e. Usia canggung

Masa ini merupakan masa canggung karena dewasa madya berada


(40)

ada kepastian apakah individu ini masih pantas disebut muda namun apakah sudah pantas ia disebut tua.

f. Masa berprestasi

Di masa ini performa seseorang untuk menghasilkan sesuatu itu meningkat. Hal itu dilakukan untuk mencapai generativitas dan tidak hanya berdiam diri dan mengalami stagnasi. Masa ini merupakan masa berprestasi dikarenakan di masa ini individu udah berada di puncak karirnya. Mereka akan puas terhadap hasil yang sudah diperoleh sepanjang dewasa dini dan menikmati hasil dari kesuksesan mereka sampai memasuki usia pensiun. Di masa ini juga masa di mana pendapatan meningkat secara signifikan.

g. Masa evaluasi

Masa ini menjadi masa evaluasi terhadap apa yang sudah dicapainya sepanjang dewasa madya. Keinginan-keinginan dan tujuan apa yang sudah tercapai dan belum tercapai. Jika berhubungan dengan puncak karir, maka individu dewasa madya akan mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi yang sudah ditentukan sejak awal.

h. Masa dengan standar ganda

Individu dievaluasi melalui dua aspek utama, yaitu jasmani dan sikap. Aspek perubahan jasmani termasuk didalamnya ketika rambut sudah memutih, timbulnya kerutan dan keriput di wajah dan beberapa otot yang


(41)

28

mengendur. Dari segi sikap terdiri dari merasa diri tetap muda dan aktif , dan secara perlahan menua dengan anggun dan lambat serta hati-hati. i. Masa sepi

Masa sepi disini maksudnya adalah ketika anak sudah mulai meninggalkan rumah dan memulai kehidupannya sendiri (emptynest). Namun selain itu masa sepi disini termasuk didalamnya masa sepi dalam kehidupan perkawinannya.

j. Masa jenuh

Individu di masa ini sudah mulai jenuh dengan kegiatan yang dilakukannya sehari-hari. Misalnya pada wanita yang sudah mulai jenuh untuk mengurus rumah dan anak-anak , dan pria yang mulai mempertanyakan kegiatan sehari - harinya

D.3.Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Ada 4 kategori yang menjadi tugas utama dalam perkembangan masa dewasa madya (Havighurst dalam Hurlock, 1998), yaitu :

a. Berkaitan dengan perubahan fisik

Menyadari perubahan fisik yang tidak seberfungsi dulu dan mulai menyesuaikan diri dengna perubahan fisik yang terjadi seperti perubahan dalam penampilan, kemampuan indra yang menurun, perubahan pada kemampuan seksual (menopause pada wanita dan klimakterik pada pria) dan kesehatan yang mulai menurun


(42)

b. Tugas yang berkaitan dengan perubahan kejuruan

Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan dengan cara bekerja

c. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.

Tugas ini berkaitan dengan menyesuaikan diri denga orang tua yang lanjut usia serta membantu mengarahkan anak – anak yang sudah beranjak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.

D.4.Perkembangan Psikososial Dewasa Madya

Masa dewasa madya merupakan periode yang cukup stabil walaupun dipenuhi dengan berbagai tanggung jawab. Bahkan Abraham Maslow dan Carl Rogers menyebutkan bahwa masa dewasa madya memiliki kesempatan untuk berubah ke arah yang lebih positif (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Di masa ini pula individu dewasa madya mengalami berbagai jenis krisis yang mempengaruhi psikologis individu. Krisis paruh baya atau yang sering disebut dengan mid-life crisis adalah kenyataan yang dihadapi tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi yang dimiliki seseorang di usia dewasa madya (Lachman dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) Menurut Erikson, dewasa madya berada dalam tahap generativitas. Generativitas merupakan kepedulian pada orang dewasa dalam membangun dan mengarahkan generasi berikutnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Kepedulian ini kemudian menciptakan kesejahteraan bagi individu dan mempengaruhi lingkungan menjadi lebih baik. Namun jika individu tidak mampu mencapai generativitasnya , maka


(43)

30

individu itu akan berhenti di tempat dan mengalami stagnasi yang membuat hidupnya mengalami kekosongan (Papalia, Olds, & Feldman, 2007)

E. PsychologicalWell-being Dewasa madya Yang Mengalami PHK

Dewasa madya merupakan masa dimana seorang individu memiliki tugas perkembangan, dimana salah satu tugas tersebut adalah bekerja. Bekerja menjadi tanda kemandirian, keamanan finansial, diterima secara sosial serta dan kesejahteraan pribadi (McConnel & Beitler dalam Lemme 1999). Dengan bekerja pula seseorang bisa menunjukkan dan mengembangkan aspek dan kebutuhan pribadinya (Lemme, 1999). Gambaran diri seseorang pun dapat terbentuk melalui sebuah pekerjaan (Kinderman dalam Dance, 2011). Dalam masa dewasa madya, individu menikmati hasil-hasil pekerjaan mereka yang sudah dibangun sejak masih dewasa dini. Individu di masa ini akan berfokus pada berapa lama waktu yang ia miliki sebelum pensiun dan berpacu dengan waktu tersebut untuk mencapai tujuan – tujuannya. Namun hal itu bisa terhambat jika individu tidak memiliki pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja / pemecatan.

Pemutusan hubungan kerja adalah berhentinya hubungan kerja antara pemilik perusahaan dengan pekerja. Pemutusan hubungan kerja membuat individu menjadi tidak bekerja dan mengalami masa pensiun sebelum waktunya. Hal ini termasuk kedalam salah satu krisis yang dialami oleh individu yang memasuki dewasa madya, dimana ekspektasinya dapat bekerja hingga memasuki usia pensiun harus kandas dikarenakan pemutusan hubungan kerja tersebut (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Pemutusan


(44)

hubungan kerja mengakibatkan seseorang kehilangan pekerjaan. Kehilangan pekerjaan menjadikan sebuah pekerjaan yang awalnya dianggap tantangan yang harus dihadapi malah menjadi bumerang yang melemahkan psikologis dewasa madya (Blustein, dalam Dance, 2011). Kehilangan pekerjaan akibat PHK mengakibatkan seseorang kehilangan identitas diri, menjadi sulit menyesuaikan diri dan merasa tidak mampu mengontrol hidupnya lagi.

Seseorang yang mengalami pemecatan juga mengalami penurunan harga diri dan kepuasan hidup. Menurut penelitian, lebih dari 24.000 individu mengalami penurunan kepuasan hidup ketika tidak bekerja dan tidak dapat kembali ke tingkat semula walaupun sudah mendapatkan pekerjaan kembali (Santrock, 2002). Penelitian lain menyebutkan bahwa diberhentikan dari pekerjaan berdampak buruk bagi individu, khususnya dewasa madya karena menimbulkan rasa terbuang dan merasa tidak memiliki kontrol dalam kehidupan (Barling dalam Australian Psychological Society Ltd., 2000). Kehilangan pekerjaan juga mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap kesuksesan di situasi lainnya. Kehilangan pekerjaan membuat seseorang merasa tidak memiliki harapan sukses lagi walaupun ia sudah mendapat pekerjaan baru. Ia merasa kehilangan harga diri dan tak mampu mengontrol kehidupannya. Ketidakmampuan menguasai kehidupan berujung pada terpengaruhnya Psychological Well-being (kesejahteraan psikologis) seseorang. Psychological well-being merupakan konstruk yang dirumuskan oleh Carol D. Ryff (1995), terdiri dari 6 dimensi yang dapat mengungkap fungsi psikologis positif dari tiap individu. Fungsi psikologis positif dari tiap


(45)

32

individu dapat dilihat dari dari kemampuan individu menguasai lingkungan sekitarnya, mejalankan apa yang menjadi pilihannya, memiliki tujuan hidup, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, terus berkembang dan dapat menerima dirinya (Ryff, 1989)

Seseorang yang mengalami pemecatan akan mengalami perubahan kesejahteraan hidup (Kalleberg, 2009). Individu yang mengalami PHK ketika memasuki dewasa madya menjadi tidak mampu menerima dirinya. Seseorang yang tidak mampu menerima dirinya tidak dapat menyadari potensi yang dia miliki untuk bisa bangkit dari situasi PHK yang dialami. Ia tidak sadar dapat membangun karir baru. Ia juga mengalami gangguan dalam menilai kembali tujuan hidup dan prestasi apa yang harus dicapainya (Broomhall & Winefield dalam Berk, 2007). Hal ini nantinya akan mempengaruhi generativitas dari dewasa madya tersebut. Ia juga memiliki hubungan yang tidak terlalu positif dengan lingkungan karena merasa lingkungan sudah tidak lagi bersahabat dengannya. Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat mempengaruhi mental secara signifikan. Seseorang yang kehilangan pekerjaan 4 kali lebih rentan mengalami gangguan mental dibandingkan para pekerja (Mental Health Survey, 2009 dalam Dance, 2011)


(46)

F. Paradigma Teoritis

Keterangan :

=mengalami = terdiri dari = menyebabkan = mempengaruhi = yang ingin diteliti Layoff Outplacement Discharge

Kehilangan

Sumber pendapatan, interaksi sosial, identitas dan kegiatan sehari - hari

(Creed dalam Papalia, 2007)

Stress

Dimensi Psychological

Well-being : 1.Personal Growth 2.Self Cceptance 3.Autonomy

4.Relation with other 5.Purpose in Life 6.Enviromental Mastery Psychological Well-being Dewasa Madya yang diPHK Terbengkalainya Tugas perkembangan yang berhubungan dengan penyesuaian pekerjaan dan tanggung jawab terhadap keluarga (Hurlock, 1998)

Tidak Normal

tujuan hidup rendah, tidak mampu menguasai lingkungan, tidak dapat menerima dirinya, merasa tidak memiliki potensi (Broomhall & Winefield dalam Berk, 2007; Chope dalam Dance, 2011)

Bagaimana Psychological

Well-being dewasa madya


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mempelajari isu yang dipilih secara terperinci dan dalam (Patton, 1990).. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses yang mencoba mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang terjadi pada interaksi manusia (Marshal & Rossman, 1998). Individu dewasa madya yang sedang berada dalam usia produktif untuk bekerja namun harus mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan mengalami perubahan psychological well-being dan mempengaruhi tugas perkembangannya. Perubahan dan pengaruh tersebut mempunyai kompleksitasnya sendiri.

Melalui penelitian kualitatif, data akan terus digali sampai ditemukan gambaran mengenai psychological well-being individu dewasa madya yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Yang diharapkan dari peneliti setelah menggunakan penelitian kualitatif ini adalah peneliti dapat memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh mengenai fenomena yang diteliti sehingga peneliti mampu melihat permasalahan dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian. Dibandingkan dengan data statistik dengan menggunakan metode kuantitatif, penjelasan secara


(48)

mendalam yang didapatkan melalui metode kualiatif ini bisa menunjukkan informasi-informasi lain yang dianggap penting dalam menggambarkan psychological well-being individu dewasa madya yang mengalami pemutusan hubungan kerja.

Tipe penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti adalah studi kasus. Penelitian dengan menggunakan pendekatan studi kasus bertujuan untuk dapat memperoleh pemahaman utuh dari dimensi dimensi pada kasus yang diteliti tanpa bermaksud menghasilkan konsep ataupun teori (Poerwandari, 2007). Peneliti menggunakan pendekatan studi kasus dengan mengumpulkan data dari beberapa responden kemudian menggabungkannya agar dapat memahami subjek secara mendalam.

B. RESPONDEN PENELITIAN

B.1.Karateristik Responden

Dalam penelitian ini responden yang diteliti adalah individu dewasa madya dengan karateristik sebagai berikut :

 Usia 40 - 55 tahun

Di usia ini seseorang seharusnya sedang berada di puncak karirnya. Pemecatan yang dialami individu di masa ini akan mempengaruhi psikologis individu karena tidak dapat menikmati puncak karir yang sudah dibangun sejak dewasa dini. Usia 55 tahun merupakan usia pensium umumnya di Indonesia


(49)

36

 Mengalami PHK tidak normal / pemecatan

Pemutusan hubungan kerja secara tidak normal menimbulkan tekanan yang berbeda dibandingkan dengan pensiun ataupun mengundurkan diri. Hal ini dikarenakan pemutusan hubungan tidak memberikan kesempatan untuk para pekerja bersiap-siap menghadapi masa pensiun (Davis, 2009)  Mengalami pemecatan maksimal 2 tahun sebelum wawancara dilakukan Perubahan karir akibat pemecatan merupakan situasi yang sulit dihadapi dan menimbulkan grief (Jones dalam Lefrancois, 1991). Rata-rata seseorang bisa melewati masa grief setelah measuki bulan ke 24. Menurut hasil penelitian ditemukan bahwa seseorang akan melewati masa grief dari life event yang dialami setelah memasuki 2 tahun. Oleh karena itu dipilih responden yang mengalami pemecatan antara 0 bulan - 2 tahun sebelum penelitian ini dilakukan.

 Memiliki tanggungan keluarga (suami/istri dan anak)

Dari segi konteks keluarga, individu dewasa madya adalah individu yang memiliki tanggungan keluarga. Begitu pula dengan tugas perkembangannya. Tugas perkembangan dewasa madya adalah mengurus keluarga. (Hurlock, 1998). Untuk menghidupi sebuah keluarga dibutuhkan kelangsungan finansial. Kelangsungan finansial bisa didapatkan jika seseorang bekerja. Jika individu tersebut tidak bekerja, maka kelangsungan finansialnya terganggu dan berimbas pula kepada beban tanggungan keluarga


(50)

B.2.Jumlah Responden

Dalam sebuah penelitian kualitatif umumnya, karateristik sampel yang ditampilkam adalah (a) tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus – kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian, (b) tidak ditentukan secara kaku dari awal, namun dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, dan (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (Saratakos, dalam Poerwandari, 2007). Jumlah responden dari penelitian ini awalnya direncanakan sebanyak 3 orang. Namun seiring berjalannya penelitian , kondisi lapangan yang terjadi adalah adanya keterbatasan jumlah responden yang bersedia, maka responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 2 orang.

B.3.Prosedur Pemilihan Responden

Responden dipilih berdasarkan prosedur theory based/operational contruct sampling atau prosedur berdasarkan teori dimana responden akan dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili (bersifat representatif) terhadap fenomena yang dipelajari.

B.4.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan. Kota Medan dipilih dikarenakan lokasi penelitian terdekat yang bisa dicapai peneliti.


(51)

38

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Dalam kualitatif, metode pengambilan data sangatlah beragam dikarenakan sifat dari penelitian kualitatif itu sendiri yang terbuka dan luwes sehingga tipe pengambilan data bisa disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. metode yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif adalah metode wawancara dan observasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode wawancara.

Wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. (Poerwandari, 2007). Wawancara kualitatif dilakukan untuk dapat memperoleh pengetahuan mengenai makna – mana subjektif yang dipahami oleh individu berkaitan dengan topic yang diteliti dan untuk melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk, dalam Poerwandari 2007). Secara umum, wawancara untuk memperoleh data kualitatif dapat dibagi menjadi tiga pendekatan,(Patton, dalam Poerwandari 2007), yaitu:

a. Wawancara informal

b. Wawancara dengan pedoman umum

c. Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka

Wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum, dimana pedoman tersebut digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas sekaligus


(52)

menjadi check list apakah aspek tersebut telah ditanya atau belum (Poerwandari, 2007). Adapun aspek yang ingin diungkap peneliti melalui wawancara dalam penelitian ini adalah hal – hal yang berhubungan dengan psychological well-being individu.

Dengan menggunakan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan sebelumnya, peneliti menggali informasi dari responden mengenai aspek yang diteliti. Jika ada hal yang masih belum begitu jelas ataupun belum dapat diambil kesimpulan, maka dilakukanlah probing pada responden. Pertanyaan yang diberikan dalam proses wawancara ini berbentuk open-ended question dimana peneliti mencoba mendorong responden untuk berbicara lebih lanjut mengenai pemutusan hubungan kerja yang dialami dan psychological well-being responden pasca mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa membuat responden merasa diarahkan. Selama wawancara berlangsung, dilakukan juga observasi yang nantinya berfungsi sebagai pelengkap data dari wawancara

D.ALAT BANTU PENELITIAN

Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti itu sendiri. Namun peneliti juga membutuhkan alat bantu untuk memudahkan pengumpulan data. Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga instrumen penelitian, yaitu:

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya


(53)

40

berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pedoman wawancara yang digunakan juga fleksibel sehingga memungkinkan peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara demi mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat

2. Alat Perekam

Untuk memperoleh data yang utuh, peneliti menggunakan alat perekam selama wawancara sehingga tidak ada informasi yang terlewat dan peneliti bisa dapat berkonsentrasi pada apa yang sbujek nyatakan. Alat perekam juga berfungsi untuk meminimalkan bias yang mengkin terjadi karena keterbatasan dan subjektifitas peneliti. Alat perekam digunakan atas seizin responden.

3. Alat Tulis dan Kertas

Untuk memperkuat data yang terekam melalui perekam, maka dilakukan pencatatan emnggunakan alat tulis dan kertas. Kertas juga akan berfungsi sebagai data control dalam jalannya wawancara.

E.KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang


(54)

kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Dalam hal ini kredibilitas penelitian ini dilihat dari keberhasilan peneliti mengungkapkan gambaran psychological well-being dewasa madya yang mengalami PHK.

Validitas yang akan diusahakan peneliti untuk dicapai adalah validitas argumentatif. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007).

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, yaitu dengan :

1. Mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait.

2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisanya.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk menjamin pengumpulan data yang berkualitas. Hal ini dilakukan peneliti dengan mempelajari dan membandingkan langkah-langkah penelitian yang ada sebelumnya serta melihat efektifitas dari langkah-langkah tersebut tanpa mengesampingkan saran-saran yang dianjurkan secara teoritis.


(55)

42

4. Melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah individu dewasa madya berumur 40 - 55 tahun yang mengalami pemberhentian kerja dikarenakan Pemutusan Hubungan Kerja yang berasal dari perusahaan seperti pemecatan dikarenakan masalah ekonomi, pemecatan massal, efisiensi perusahaan, masuknya teknologi baru, merger (perusahaan bergabung dengan perusahaan lain), melanggar peraturan dan lain - lain

5. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori dan dimensi psychological well-being

6. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara secara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) di saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

7. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis ang dilakukan peneliti, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian

8. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.


(56)

F. PROSEDUR PENELITIAN

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut : a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dari penelitian – penelitian sebelumnya mengenai dewasa madya, pemutusan hubugan kerja serta teori psychological well-being termasuk dimensi dari psychological well-being yang dikembangkan oleh Ryff.

b. Menyusun pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara dimulai dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Kemudian, disusunlah sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk menjadi pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Peneliti mempersiapkan alat – alat yang mendukung proses pengumpulan data seperti alat perekam (tape recorder), alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.

d. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.


(1)

Responden 1 semakin tertutup dan lebih memilih untuk berinteraksi dengan orang lain melalui media sosial (dunia maya). Berbeda dengan Responden 1, Responden 2 tidak merasa hubungannya dengan teman - temannnya terganggu selama tidak bersinggungan dengan pemecatan yang ia alami. Responden 2 semakin sering menjumpai dan menghabiskan waktu dengan teman- temannya untuk bercerita. Hubungan yang tidak terganggu ini juga dipengaruhi oleh pekerjaannya sebagai seorang jurnalis dan pembawaannya yang ceria dan supel sehingga ia tetap berhubungan dengan orang lain walaupun sudah mengalami pemecatan.

Kedua responden mampu mengambil keputusan dan menentukan pilihan yang terbaik tanpa bergantung dengan orang lain. Perubahan kebutuhan yang dialami kedua responden menjadikan responden lebih memahami kebutuhan utama yang dibutuhkan oleh keluarganya. Pemahaman tersebut kemudian memberikan perbedaan penguasaan lingkungan dari kedua responden antara sebelum dan sesudan PHK. Kedua responden mampu menguasai lingkungan sekitar sehingga sesuai dengan kebutuhan mereka masing - masing dengan cara berusaha untuk bisa tetap memenuhi kebutuhan inti keluarga dengan berhemat dan mencari pekerjaan tambahan.

Responden 1 mengalami kebosanan dalam menjalani kehidupan sehari - hari tanpa pekerjaan. Ia ingin melakukan perubahan namun masih merasa sulit memulainya, sedangkan Responden 2 selalu mencoba hal - hal baru yang bisa menambah pengetahuan dan relasi. Kegagalan yang dialami menyebabkan Responden I semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan meningkatkan


(2)

kerohaniannya. Ia mengajarkan pengalaman - pengalamannya kepada anak - anaknya agar mereka dapat menghindari situasi yang sama yang dialami oleh orangtuanya.

B.Saran

1. Saran Praktis

a. Agar dewasa madya yang mengalami pemutusan hubungan kerja dapat lebih membuka diri dan mengakui PHK yang dialami

b. Agar dewasa madya tetap menjalin interaksi sosial secara nyata misalnya dengan mengikuti kegiatan - kegiatan sosial yang berada di lingkungan dan tidak mengalihkan ke interaksi sosial yang maya.

2. Saran Metodologis

a. Agar peneliti selanjutnya dapat lebih memperhatikan masa PHK yang dialami individu

b. Peneliti selanjutnya lebih memperhatikan lokasi pada saat wawancara agar proses wawancara dapat lebih kondusif

c. Agar peneliti selanjutnya dapat lebih mendalami faktor - faktor yang mempengaruhi psychological well-being dewasa madya pasca mengalami PHK


(3)

DAFTAR PUSTAKA

ANTARA News. (2014). Perpanjangan batas usia pensiun PNS mulai 1Februari. Diakses Mei 8, 2014, dari ANTARA News:

http://www.antaranews.com/berita/413050/perpanjangan-batas-usia-pensiun-pns-mulai-1-februari

Australian Psychological Society Ltd. (2000). The Psychology of Work and Unemployment in Australia Today. Australian Psychological Society Ltd. Berk, L. E. (2007). Development Through the Lifespan (4th ed.). United States:

Pearson Allyn & Bacon.

Bonasir, R. (2010, 09). Berapa Usia Pensiun yang ideal? Diakses dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2010/09/100901_pensiun usia.shtml

Boyd, D. R., & Bee, H. L. (2009). Lifespan Development. Allyn and Bacon. BPS (2013). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004, 2005, 2006, 2007,

2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 .

Chaplin, J. P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Interaksara.

Cohen, F., Kemeny, M., & Zegans, L. S. (2007). Immune Function Declines With Unemployment and Recovers After Stressor Termination. Psychosomatic Medicine , 69 (3), 225-234.

Cohen, S., & Janicki-Deverts, D. (2012). Who's Stressed? Distribution of Psychological Stress in the United States in Probability Samples from 1983, 2006 and 2009. Journal of Applied Social Psychology .

Dance, A. (2011). The Unemployment Crisis. Monitor On Psychology. Diakses dari APA

Davis, J. (2009). The Job Loss Survival Guide. Diakses April 2014, dari Job Loss Survival Guide: www.joblossguide.com

Edwin, B. (2003). Manajemen Personalia. Jakarta: Erlangga.

Forret, M. L., Sullivan, S. E., & Mainiero, L. A. (2010). Gender role differences in reactions to unemployment: Exploring psychological mobility and boundaryless careers. Journal of Organizational Behavior , 647-666.


(4)

Galatzer, I. (2011). From Marianthal to Latent Growth. Journal of Neuroscience , 3 (2), 116-125.

Gullette, M. M. (2011). Losing the American Dream of Progress: Getting Fired at Midlife. Diakses Juni 28, 2013, dari

http://www.theatlantic.com/bussiness/archive/2011/09/losing-the-american-dream-ofprogress-getting-fired-at-midlife/244513/ Harahap, R. (2010). Analisis Pengaruh Krisis Finansial dan PHK terhadap

Jaminan Hari Tua pada PT. Jamsostek (Persero) Cabang Tanjung Morawa. Skripsi . Medan: Universitas Sumatera Utara.

Hoyer, W. J., Rybash, J. M., & Roodin, P. A. (1999). Adult Development and Aging (4th ed.). United States of America: McGraw-Hill.

Huppert, F. A. (2009). Psychological Well-being: Evidence Regarding its causes and consequences. United Kingdom: University of Cambridge.

Hurlock, E. B. (1998). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (I. &. Soedjarwo, Trans.) Jakarta: Erlangga. Kalleberg, A. L. (2009). Precarious Work, Insecure Workers: Employment

Relation in Transition. American Sociological Review, 1-21. Kartono, K. (1989). Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.

Kuntjoro, Z. S. (2002). Dukungan Sosial Pada Lansia. Diakses dari e-psikologi.com: http://www.e-psikologi.com

Legate, N. N., Ryan, R. M., & Weinstein, N. (2012). Is coming out always a ‘‘good thing’’? Exploring the relations of autonomy support, outness, and wellness for lesbian, gay, and bisexual individuals. Social Psychological and Personality Science (3), 145-152.

Lefrancois, G. (1991). The Lifespan (3rd ed.). USA: Wadsworth. Lemme, B. H. (1999). Development In Adulthood. Allyn and Bacon.

Manulang, M. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Marshal, C., & Rossman, G. B. (1998). Designing Qualitative Research.

California: Sage Publication, Inc.

Meyers, B. (2013). Long Term Unemploymed Baby Boomers in 2013. Diakses dari The Economic Populist:


(5)

http://www.economicpopulist.org/content/long-term-unemployed-baby-boomers-2013-5345

Newman, B., & Newman, P. (2011). Development Through Life: A Psychosocial Approach. Cengage Learning.

Oggunnaikke, L. (2009). Starbuck saved my life. Diakses June 29, 2013, dari CNN:

http://us.cnn.com/2009/LIVING/worklife/02/05/starbucks.saved.my.life/ Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development (10th

ed.). New York: McGraw-Hill.

Patton. (1990). Qualitative Evaluation and Research Method. New York: Sage Publication, Inc.

Paul, K. I., & Moser, K. (2009). Unemployment impairs mental health: Meta-Analysis. Journal Of Vocational Behavior , 264-282.

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On Happiness and Human Potential: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-being. Annual Review , pp. 144-166.

Ryff, D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the Meaning of Psychological Well-being. Journal of Personality and Social Psychology , 1069-1081.

Ryff, D., & Keyes, C. (1995). The Structure of Psychological Well-being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology , 719-727. Santrock, J. W. (2002). Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup

(Terj). Indonesia: Erlangga.

Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. USA: John Wiley & Sons.

Schaie, K. W., &Willis, S. L. (2011), Handbook of the psychology of aging. San Diego: Academic Press

Schultz, D., & Schultz, S. E. (1994). Theories of Personality. California: Wadsworth Inc.


(6)

Strauser, D., Lustig, D., & Ciftci, A. (2008). Psychological Well-being: Its Retion to Work Personality, Vocational Identity & Career Through. Journal Of Psychology , 21-35.

Sucher, S. (2013). Long After Recession’s End, Deep Layoff Scars May Remain. Diakses 15 Maret, 2014, dari WBUR Common Health:

http://commonhealth.wbur.org/2013/06/recession-layoff-scars Tosti-Kharas, J. (2012). Continued organizational identification following

involuntary job loss. Journal of Managerial Psychology , 27 (8), 829-847. Winerip, M. (2009). At 58, Life Story in Need of A Rewrite. Diakses 15 Maret,

2014, dari NY Times:

http://www.nytimes.com/2009/08/30/fashion/30genb.html?pagewanted=al l