EFEKTIFITAS REZIM CONVENTIONAL ARMED FOR

Efektifitas Rezim Conventional Armed Forces In Europe (CFE) Sebagai
Rezim Senjata Konvensional di Eropa Tahun 1999-2007
Vike Krismona Sihotang (115120400111047)
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Brawijaya
Jalan Veteran Malang, 65145, Indonesia, 2015
E-Mail : [email protected]
Abstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas rezim Conventional
On Armed Forces In Europe (CFE) sejak tahun 1999-2007 sebagai rezim
keamanan di Eropa. Rezim ini memiliki peran besar dalam menangani masalahmasalah keamanan, arms race negara-negara anggota, serta menciptakan stabilitas
keamanan di Eropa. Berdasarkan teori Efektifitas Rezim Arild Underdall,
efektifitas sebuah rezim didasari oleh struktur masalah dan kapabilitas rezim
untuk menyelesaikan masalah utama terbentuknya rezim tersebut. Berdasarkan
temuan penulis, rezim CFE tidak efektif disebabkan oleh terpenuhinya problem
malignancy yang berakibat pada kesulitan untuk menjalin kerjasama dalam
implementasi regulasi rezim CFE diantara negara-negara anggota. Selain itu,
kapasitas penyelesaian masalah cukup lemah, sehingga sulit untuk mencapai
kesepakatan. Akibat dari ketidakefektifan rezim CFE, terjadi konflik di antara
negara anggota rezim CFE, penarikan diri Rusia dan pelanggaran dalam beberapa
ketentuan.

Kata Kunci: Rezim Keamanan, Rezim CFE , Teori Efektifitas Rezim, Arild
Underdall
Abstract
This research has purpose to analyze the efectiveness of regime of
Conventional On Armed Forces In Europe (CFE) in 1999-2007 as security regime
in Europe which is handled the problems of security, arms race among the
membership states, and creates security stability in Europe. Based on Effectivity
Regime theory by Arild underdall, the effectiveness of a regime influencing by
problems structure and capability of regime to solve the main problems that has
been created the regime itself. Based on findings of writer, regime of
Conventional On Armed Forces In Europe (CFE) is not effective caused by
fullfiling the problems malignancy which was affected towards to difficulties to
making cooperate in implementation stage regime of CFE among to membership
states. Beside it, the solving capacity of problems’ was weak, thus hard to getting
agreement. The impacts of ineffectiveness regime of CFE, related to making
conflict between membership states, withdrawal of Russia, and violation in
particular regulatiun
Key Words: Security Regime, Regime of Conventional Armed Forces In Europe
(CFE), Theory of regime’s effectiveness, Arild Underdall


1

1. Latar Belakang
Perwujudan stabilitas keamanan bagi negara-negara merupakan salah satu
tujuan yang hendak dicapai oleh setiap negara, seperti halnya keamanan
kawasan. Menurut Barry Buzan, kawasan diartikan sebagai bagian hubungan
keamanan dimana keamanan suatu negara saling bergantung dengan keamanan
negara lainnya dalam satu kawasan.1 Untuk mewujudkan keamanan kawasan,
negara-negara seringkali dihadapkan pada kapabilitas atau cost yang lebih
tinggi. Dengan kondisi ini, maka diperlukan pengaturan keamanan kawasan
yang disebut sebagai rezim keamanan internasional.
Sesuai dengan fokus yang dipilih oleh penulis, kawasan Eropa menjadi salah
satu kawasan yang sangat menarik untuk diteliti, dilihat dari segi historis dan
perkembangan politik dalam kawasan ini. Dalam beberapa dekade dewasa ini,
Eropa mengalami beberapa fase untuk mewujudkan keamanan yang stabil di
regionnya sehingga untuk mewujudkan keamanan yang stabil di region ini,
beberapa langkah telah dilakukan, seperti integrasi dengan berbagai organisasi
atau rezim keamanan. Langkah itu dinilai dapat membantu untuk terciptanya
common value yang menjadi dasar bagi negara-negara dan adanya perubahan
perilaku negara melalui kesepakatan atau perjanjian internasional.

Menurut Oran Young, rezim merupakan sebuah struktur sosial yang
mengacu pada aktivitas yang spesifik yang memiliki wewenang untuk mengatur
tindakan anggotanya.2 Rezim internasional selalu mengacu pada aktivitasaktivitas dalam sistem internasional yang bertujuan dalam skala global, secara
khusus untuk kepentingan masyarakat dunia. Menurut keanggotaannya, maka
rezim beranggotakan negara-negara berdaulat, meskipun dalam pelaksanaannya
rezim seringkali juga berkolaborasi dengan aktor selain negara. Ditinjau dari
jangka waktunya, rezim memiliki durasi tidak terbatas, seperti halnya rezim
nuklir, Non Proliferation Nuclear (NPT). Rezim memiliki satu tujuan secara
spesifik, seperti lingkungan, keamanan, sosial,dll, dan ditinjau dari fungsinya,
rezim berfungsi untuk memfasilitasi kerjasama. Maka berdasarkan karakteristik
tersebut, penulis mengidentifikasi bahwa Treaty On Conventional Armed Forces
In Europe (CFE) sebagai sebuah rezim keamanan internasional. Dalam jurnal
yang ditulis oleh Lachsowski dan Sjorgen, keduanya juga menegaskan bahwa
CFE adalah sebuah rezim, dilihat dari peran CFE.3
Rezim CFE adalah rezim yang mengatur penempatan pasukan dan senjata
konvensional, dan menghindari terjadinya arms race di Eropa.4 Rezim ini
beranggotakan 30 negara dari kedua blok, blok NATO dan Pakta Warsawa,

1


Barry Buzan, People, State and Fear:An Agenda for International Security Studies in the Post
Cold War Era, hal 188
2
Oran R.Young, International Regimes: Problems of Concept Formation Source, hal 331
3
Dalam SIPRI Yearbook 2007, Zdzislaw Lachowski dan Martin Sjorgen, Conventional Arms
Control, hal 2
4
NU Online Persenjataan, Rusia Bebas Kerahkan Pasukan Ke Eropa,
http://www.nu.on;ine.or.id/a.public-m,dinamic-s,pdf-ids, l-id,10787-lang,id-c, wartat,Rusia+Bebas+Kerahkan+Pasukan+ke+Eropa-.phpx> diaksespada 08 Maret 2014

2

dibentuk pada 19 November 1990 dan ditandatangani di Paris.5 Rezim CFE
didirikan sebagai fondasi bagi negara-negara anggota Pakta Warsawa dan NATO
dan menghindari prospek proliferasi senjata konvensional ke masing-masing
negara-negara anggota kedua blok. Dari status keanggotaannya, hingga kini yang
telah meratifikasi perjanjian ini hanya empat negara, yaitu, Belarusia, Kazakhstan,
Ukraina, dan Rusia, 26 negara anggota lainnya masih sebagai negara yang
menandatangani perjanjian ini, namun negara-negara yang meratifikasi dan

menandatangani memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip dalam rezim.6
Dimana rezim ini memiliki peran yang besar dan menjadi acuan bagi negaranegara anggota dalam mengendalikan senjata konvensional di Eropa pasca Perang
Dingin.
Rezim CFE memiliki tujuan yang besar dalam mengatur senjata konvensional
melalui penurunan level angkatan yang bersenjata, sehingga secara otomatis
termasuk menurunkan senjata konvensional. Selain itu, rezim ini juga bertujuan
untuk menghindari adanya serangan tiba-tiba dan serangan militer secara massif
di Eropa.
Implementasi pertama kali mulai diberlakukan sejak tahun 1992, sehingga
sejak tahun 1992 semua negara baik yang menandatangani dan meratifikasi
memiliki kewajiban untuk memenuhi rezim CFE.Rezim CFE sebagai rezim
senjata konvensional memiliki peran yang besar dalam rentang waktu pasca
Perang Dingin hingga kini. Selama negara-negara anggota masih menjadi anggota
rezim CFE, maka terdapat unsur kepatuhan terhadap rezim bagi negara-negara
anggota. Tujuan arms control yang diharapkan melalui perjanjian CFE, menjadi
salah satu alasan urgensi rezim CFE, dimana situasi perang dingin sangat
memungkinkan untuk peningkatan kapabilitas militer secara massif bagi negaranegara di Eropa. Sehingga, peran rezim CFE sebagai rezim senjata konvensional
dan perkembangan politik Eropa dewasa ini menjadi sangat siginifikan.
Sejak implementasi pertama kali dilakukan pada tahun 1992, terdapat
beberapa ketidaksesuain dalam implementasi aturan rezim. Diantaranya adalah

Hungaria, Polandia, Ceko gagal menyesuaikan jumlah TLEnya menurut Istanbul
Commitments dan beberapa negara juga absen dari pelaksanaaan rezim CFE. Pada
bulan Agustus 2003, Departemen Luar Negri Amerika Serikat menerbitkan
laporannya mengenai evaluasi pelaksanaan rezim CFE. Dalam laporan tersebut,
Amerika Serikat mengakui bahwa ada kegagalan kepatuhan Armenia, Azerbaijan,
Belarus, Rusia dan Ukraina. Dalam laporannya, Rusia menempati rekor
pelanggaran terpanjang dalam laporan tersebut, meliputi TLE, suspensi ketentuan
CFE, pasukan asing yang ditempatkan, pembebasan peralatan, dan kegagalan
untuk memenuhi kewajiban kolektif.

5

Collina, Tom Z.. The Conventional Armed Forces in Europe (CFE) Treaty and the Adapted CFE
Treaty at a Glance, dapat diakses di< https://www.armscontrol.org/factsheet/cfe> pada 28
September 2014
6
International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies,
Treaty On Conventional Armed Forces in Europe, hal 4

3


Pada tahun 1999, Rusia melakukan intervensi atas Georgia dan Moldova7,
intervensi yang dilakukan oleh Rusia memicu protes keras dari negara-negara
anggota lainnya. Pada tahun tersebut, Rusia menyepakati untuk menarik
pasukannya dari Georgia dan Moldova8 yang termaktub dalam Istanbul
Commitments9. Namun, konflik antara Rusia-Georgia tetap berada dalam titik
eskalasi hingga meletusnya Perang Lima Hari pada tahun 2008. Pada tahun
2007, Rusia resmi menarik diri dari rezim CFE10 dengan justifikasi bahwa 26
negara anggota lainnya belum meratifikasi perjanjian CFE. Penarikan diri Rusia
tahun 2007, menyulut ketegangan di antara negara-negara anggota rezim CFE,
sementara itu, 26 negara anggota menolak meratifikasi dengan alasan kegagalan
komitmen Rusia dalam
Istanbul Commitments dan negara yang telah
11
meratifikasi perjanjian CFE. Dalam Pidato Menlu Rusia dan Vladimir Putin
yang melihat bahwa rezim CFE tidak lagi sesuai dengan kepentingan nasional
Rusia, maka negara ini memilih menarik diri (withdrawal).12
Melihat kondisi tersebut maka rezim senjata konvensional seperti rezim
CFE menjadi sangat penting dan sangat diperlukan untuk membentuk
keteraturan, khususnya dalam menciptakan kestabilan keamanan melalui peran

negara-negara anggota. Rezim CFE merupakan salah satu rezim yang memiliki
peran besar dalam menciptakan keamanan sejak Perang Dingin untuk
mengurangi arms race hingga kini. Dibandingkan dengan rezim lainnya seperti
NPT, SALT, yang banyak mengatur tentang senjata non konvensional. Sehingga
rezim CFE menjadi sangat penting mengingat rezim ini menjadi rezim yang
memuat secara detail tentang regulasi senjata konvensional. Maka rezim ini
dapat dijadikan sebagai penelitian yang kompatibel dengan fenomena keamanan.
Dengan melihat kondisi yang telah dijabarkan diatas, maka rezim senjata
konvensional CFE cukup penting untuk diteliti.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dalam permasalahan
keamanan regional Eropa, maka penulis mengambil rumusan masalah yaitu
“Bagaimana efektivitas Rezim CFE sebagai rezim keamanan di Eropa dalam
kurun waktu 1999-2007?”

3. Kerangka Teoretik
Menurut Arild Underdal, efektifitas sebuah rezim seringkali mengalami
kesulitan dalam tahap implementasi. Meski demikian, Underdal melihat ada
7


Marcel de Haas, dkk, Geo-strategy in the South Caucasus: Power Play and Energy Security Of
States and Organizations, Clingendael Institute, hal 20
8
Ibid
9
Ibid
10
Ibid
11
Sergei Oznobishchev, Challenge To Conventional Arms Control in Europe, hal 94
12
NU Online Persenjataan, Rusia Bebas Kerahkan Pasukan Ke Eropa,
http://www.nu.on;ine.or.id/a.public-m,dinamic-s,pdf-ids, l-id,10787-lang,id-c, wartat,Rusia+Bebas+Kerahkan+Pasukan+ke+Eropa-.phpx> diaksespada 08 Maret 2014

4

rezim yang juga berhasil dalam implementasi hingga tahap pengembangannya.
Dalam teori efektifitas rezim Underdall, rezim dinilai efektif jika berhasil
melakukan fungsi tertentu atau memecahkan masalah yang mendasari
pembentukan rezim tersebut.13 Hal penting yang harus dilihat dalam rezim

diantaranya adalah rezim itu sendiri, penyelesaian masalah atau problem-solving
capacity. Untuk menjelaskan efektivitas rezim, maka penulis menggunakan teori
efektivitas rezim milik Arild Underdall. Teori ini membahas tentang bagaimana
rezim lingkungan dinyatakan sebagai rezim yang efektif jika mencapai tujuan
awal atau berdirinya sebuah rezim yaitu dengan menjaga lingkungan atau
setidaknya dapat menanggulangi masalah-masalah tentang lingkungan. Underdall
melihat bahwa aturan yang sangat ketat sekalipun dapat menyebabkan praktik
yang tidak efektif, semisal pemotongan emisi karbon pada praktiknya tidak selalu
sesuai dengan perubahan yang diharapkan untuk kondisi lingkungan.14
Dalam penelitian yang diangkat oleh penulis, penulis memilih aspek
keamanan sebagai aspek yang relevan dengan studi kasus untuk diteliti. Dalam
perkembangannya, rezim keamanan banyak didasari oleh self-interest oleh aktoraktor yang terlibat dalam rezim dan security dilemma. Security dilemma
seringkali menjadi kondisi yang membentuk kerjasama keamanan antar aktor.
Sebuah kerjasama keamanan dikategorikan sebagai rezim apabila terdapat
perubahan perilaku atau behavioral change sesuai dengan dasar pembentukan
rezim tersebut dan hal ini banyak didasari oleh aspek politis masing-masing
aktor.
Untuk rezim keamanan, dapat terbentuk dan bertahan apabila memenuhi
4 syarat berikut, yakni;151. Semua yang terkait dalam sebuah rezim harus secara
rasional puas dengan kondisi status quo yang ada; 2. Aktor-aktor yang ada harus

berbagi value yang ditempatkan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam rezim
keamanan; 3.Meskipun aktor memilih kondisi status quo, rezim keamanan tidak
akan terbentuk jika satu atau sebagian aktor percaya bahwa keamanan merupakan
sebuah jalan untuk melakukan ekspansi; 4. Semua aktor harus meyakini bahwa
dalam mengejar keamanan individual dibutuhkan biaya yang banyak, maka
dibutuhkan kerjasama dengan aktor didalamnya.
Teori efektifitas rezim yang ditulis oleh Underdall menjadi teori yang
relevan dengan rezim senjata konvensional CFE melihat pada state behaviour
yang dipengaruhi oleh kondisi security dilemma. Dalam 4 syarat nature rezim
keamanan jelas terlihat bahwa diantara negara-negara harus terbentuk komitmen
tunggal tentang satu kondisi keamanan yang stabil. Maka untuk menjamin
keberlangsungan kondisi tersebut diperlukan rezim yang mampu mengakomodir
kerjasama diantara negara-negara anggota. Meski demikian rezim tidak mampu
menjamin state behaviour tertentu antara negara yang satu dengan yang lain akan
berpotensi pada kerjasama negara-negara dalam rezim yang sama.
Dalam teori efektifitas rezim yang dibuat oleh Underdal dirumuskan
bahwa untuk menjalankan seluruh aktivitas rezim, terdapat 3 proses didalamnya,
13

Arild Underdall, One Question, Two Answers, hal 2
Ibid, hal 6
15
Robert Jervis,Security Regime dalam International Regimes, hal.178
14

5

yaitu Output, Outcome, dan Impact.16 Output merupakan norma-norma, prinsip,
keputusan atau proses pembentukan dalam rezim dan aturan yang merupakan
rezim itu sendiri serta konsekuensi yang timbul dari implementasi dan
penyesuaian terhadap aturan dalam rezim . Outcome didefinisikan sebagai hasil
dari implementasi rezim, lazimnya berupa perubahan perilaku aktor yang terlibat
dalam rezim dan berupa kontribusi rezim dalam menangani masalah. Sedangkan
impact didefinisikan sebagai perubahan dalam konteks yang ditentukan oleh
rezim, semisal rezim lingkungan, maka impact yang bisa dilihat adalah perubahan
lingkungan (biophysical change).17
Adapun variabel efektivitas rezim menurut Underdall terdapat 3 variabel
yang dapat menjelaskan efektivitas rezim. Terdiri dari variabel Problem
Malignancy, Problem-Solving Capacity dan variabel level of collaboration.18
Problem malignancy didefinisikan sebagai masalah yang sulit untuk diselesaikan
yang terdapat di antara aktor yang terlibat dalam rezim sehingga sulit untuk
melakukan kerjasama. Oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama yang dapat memaksa
kepatuhan bagi anggota rezim, dicirikan dengan adanya incongruity. Dalam
variabel ini terdapat dua indikator, yaitu asymetry dan cumulative cleavages. 19
Problem Solving Capacity adalah variabel yang menjelaskan efektifitas dari
penyelesaian permasalahan yang dipengaruhi oleh power dan skill yang dimiliki
oleh sebuah rezim.20 Variabel Level of Collaboration merupakan intervening
variabel yang dipengaruhi oleh dua variabel sebelumnya, yakni problem
malignancy dan problem-solving capacity.21
Berikut ini adalah indikator-indikator yang terdapat dalam 2 variabel
efektivitas rezim. Pertama, Indikator variabel Problems Malignancy ditandai
dengan incongruity yang memiliki 2 indikator yang dapat digunakan untuk
menganalisa efektifitas sebuah rezim, yaitu: 1) Asymmetry; 2) Cumulative
cleavages. Untuk menjelaskan indikatornya, maka terlebih dahulu dijelaskan
definisi Incongruity. Incongruity adalah ketidaksepahaman antar aktor dalam
rezim perihal melihat isu yang menjadi fokus utama rezim. Menurut Underdall,
incongruity terjadi disebabkan oleh dua hal yaitu externalities dan competition.
Dua indikator dalam variabel problem malignancy adalah asymmetry dan
cumulative cleavages. Asymmetry adalah perbedaan kepentingan nasional antar
aktor yang terlibat dalam sebuah rezim, sedangkan cumulative cleavages
merupakan akumulasi dari perbedaan-perbedaan aktor yang terlibat dalam rezim
yang pada akhirnya mengakibatkan perpecahan dalam rezim itu sendiri.
Variabel Problem Solving-Capacity terdapat 3 indikator, yaitu institutional
setting, distribution of power, dan indikator skill and energy. Institutional setting
adalah kumpulan hak dan kewajiban yang ada dalam praktik
sosial, yang
mewajibkan seluruh anggota dalam aktivitas rezim, dan menjadi pedoman
dalam berinteraksi diantara anggota. Institusi dalam hal ini dibedakan menjadi
16

Arild Underdall, One Question Two Answer, hal 5
Robert Jervis, Security Regime dalam International Regimes, hal 188
18
Op.Cit, hal 4-13
19
Arild Underdall, One Question Two Answer, hal 17
20
Ibid, hal 23
21
Op.Cit
17

6

dua, institusi sebagai fungsi dan sebagai arena. Institusi sebagai fungsi dapat
membentuk output dan outcome dan institusi sebagai arena mengacu pada hak
dan kewajiban aktor dalam rezim, keputusan peraturan, dan aturan prosedur.
Institusi sebagai arena didefinisikan sebagai lembaga formal yang memfasilitasi
kerjasama dan meningkatkan efektifitas rezim melalui upaya-upaya agar aktor
mengadopsi norma-norma rezim. Sedangkan institusi dianggap sebagai aktor
ketika institusi mampu memberikan masukan terhadap proses pemecahan
masalah. Untuk memenuhi institusi sebagai aktor, maka institusi harus memiliki
hubungan internal (kesatuan), otonomi, sumber daya dan aktifitas eksternal.22
Distribution of power adalah distribusi kekuasaan diantara aktor sehingga
tidak menimbulkan aktor yang mayoritas dan minoritas dalam sebuah rezim. Skill
and energy adalah kemampuan yang dimiliki oleh kepemimpinan instrumental
yang diperoleh melalui komunitas epistemik yang dapat berkontribusi dalam
meningkatkan efektivitas sebuah rezim, baik untuk memberikan solusi maupun
untuk mengambil keputusan yang tepat.
Untuk variabel Level of collaboration merupakan variabel yang dapat
memperlihatkan tingkat skala koordinasi dalam rezim. Variabel ini dapat diukur
dengan menggunakan 6 skala.
4. Pembahasan
4.1 Assymetry
Negara-negara yang tergabung dalam sebuah rezim dapat dipastikan
membawa kepentingan. Assymetry merupakan perbedaan kepentingan nasional
dalam sebuah rezim, kepentingan negara-negara yang berbeda-beda dalam sebuah
rezim inilah yang dimaksud sebagai assymetry oleh Arild Underdall. Seperti
rezim internasional lainnya, rezim ini juga tidak menafikan adanya perbedaan
kepentingan diantara negara-negara anggota rezim. Dalam kasus ini penulis
mengklasifikasi perbedaan kepentingan menjadi 2 kategori, negara yang
meratifikasi rezim CFE, dalam penelitian ini penulis memilih Rusia dan negara
yang tidak meratifikasi rezim CFE. Rusia sebagai salah satu negara yang layak
untuk diteliti dan kubu Barat (negara-negara anggota NATO) yang menjadi
pembanding perbedaan kepentingan diantara kedua pihak.
Kepentingan Pertama, yaitu negara yang meratifikasi rezim CFE,
ditandai sejak pasca disintegrasi USSR yang mengakibatkan kejatuhan komunis
di Eropa dan mulai berdirinya negara-negara eks USSR menjadi negara merdeka.
Meki demikian, kondisi tersebut tidak membuat Rusia kehilangan peran dan
pengaruhnya dalam perpolitikan di Eropa, dibuktikan dengan keterlibatan Rusia
dalam menginisiasi terciptanya rezim CFE tahun 1989. Kemudian, pada tahun
1990, Rusia bersama 29 negara-negara anggota lainnya resmi menjadi anggota
rezim CFE, bahkan menjadi salah satu negara yang meratifikasi rezim CFE. 23
Sebagai salah satu negara yang memiliki peran yang sangat penting dalam
mewujudkan stabilitas keamanan, maka keterlibatan Rusia dalam rezim CFE juga
22
23

Arild Underdal, One Question Two Answer, hal 7
Sergei Oznobishchev, Challenges To Conventional Arms Control In Europe, hal 92

7

memberikan implikasi yang dapat memengaruhi stabilitas keamanan di kawasan
Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya senjata konvensional yang dimiliki
Rusia sejak Perang Dingin hingga dewasa ini, sehingga keterlibatan Rusia untuk
mencapai tujuan rezim CFE yaitu arms control di antara negara-negara anggota
rezim CFE menjadi amat penting.
Selama menjadi negara anggota rezim CFE, Rusia termasuk sebagai salah
satu negara yang banyak melanggar ketentuan dalam rezim CFE. Terutama
dengan penempatan pasukan militer Rusia di luar wilayah teritorialnya,
sehubungan dengan penempatan pasukan militer Rusia di dua negara anggota
rezim CFE lainnya, Georgia dan Moldova.24 Namun, hingga kini pasukan militer
Rusia masih saja berada di dalam teritorial kedua negara, dengan kesimpulan
bahwa Rusia gagal memenuhi komitmen yang telah disepakati dalam Istanbul
Commitments.25 Akibat tindakan Rusia ini, memicu perpecahan negara-negara
anggota dalam rezim CFE. Dimana sebagian negara-negara anggota pro Rusia
sepert Armenia, Azerbaijan tergabung dengan Rusia dalam organisasi CSTO
sedangkan negara-negara anggota NATO menjadi oposisi terkuat yang menentang
ketidakpatuhan Rusia.
Kepentingan Kedua, yaitu negara yang tidak meratifikasi rezim CFE,
khususnya negara-negara Baltik. Rezim CFE yang telah terbentuk sejak tahun
1990 masih menuai banyaknya perdebatan diantara sesama negara anggota rezim
ini. Dimana diantara 30 negara anggota hanya ada 4 negara anggota yang telah
meratifikasi rezim CFE dan diantara keempat negara tersebut tidak ada satupun
negara anggota NATO yang telah meratifikasi rezim CFE. Beberapa alasan dari
negara-negara yang tidak meratifikasi didasari pada kegagalan Rusia untuk
memenuhi komitmennya dalam Istanbul Commitments. Negara-negara ini
menginginkan pihak Rusia untuk memenuhi kewajibannya terlebih dahulu,
dimana Rusia juga telah menandatangani nota kesepakatan dengan Georgia
perihal penarikan pasukan militernya di wilayah negara tersebut. Berikut adalah
kutipan pernyataan diantara Rusia dan Georgia perihal kesepakatan kedua negara
dalam penarikan pasukan militernya setelah 1 tahun penyelenggaraan Istanbul
Commitments:26
Negara-negara Baltik yang tergabung dalam rezim CFE memiliki
kepentingan ketika memilih berintegrasi dengan rezim CFE. Dengan melihat
kondisi geografis antara negara-negara Baltik, seperti Lithuania, Estonia, dan
Latvia.27 Ketiga negara ini memiliki border yang berdekatan dengan Rusia,
sehingga opsi rasional bagi negara-negara ini adalah dengan bergabung dalam
rezim CFE. Dimana dengan adanya rezim CFE, maka memungkinkan untuk
melakukan inspeksi dan monitoring atas aktifitas Rusia.28 Adanya kekhawatiran
24

Anonim, Rusia Bekukan Traktat Persenjataan Konvensional Di Eropa, dapat diakses di
pada
18 desember 2014
25
Zdzislaw Lachowski, Conventional Arms Control, hal 757
26
Joint Consultative Group CFE, Final Act of The Conference Of The States Parties To The Treaty
On Conventional Armed Forces In Europe, hal 10
27
SIPRI, Admission Of The Baltic States To NATO, hal 21
28
Abdul Hadi Adnan, Dua Tahun Setelah Perluasan NATO 2004, hal 1

8

tersebut didasari pada adanya asimetri dalam kapabilitas militer antara negaranegara Baltik dengan Rusia, sebab hal itu dipandang sebagai ancaman bagi
negara-negara ini. Melihat adanya kemajemukan dalam perbedaan kepentingan
diantara negara-negara anggota rezim, maka indikator assymetry telah terpenuhi.
4.2 Cumulative Cleavages
Akumulasi perbedaan dalam sebuah rezim atau cumulative cleavages,
dapat digambarkan dengan dinamika hubungan antara negara anggota rezim CFE
dalam rentang waktu 1999-2007 yang mengalami fluktuasi. Disebabkan adanya
perbedaan pemahaman negara-negara anggota rezim perihal kasus penempatan
pasukan Rusia yang berada dalam wilayah Georgia dan Moldova. Bagi Rusia,
penempatan pasukannya di Georgia dimaksudkan untuk mengakui kedua wilayah
teritorial Georgia sebagai negara yang independen dan berdaulat dalam mengatur
masalah domestiknya.29 Bagi negara anggota lainnya, Rusia secara jelas telah
melanggar ketentuan secara substansial rezim CFE, dimana negara anggota hanya
diizinkan untuk menempatkan pasukannya dalam wilayah negara anggota lainnya
jika telah menerima persetujuan dari negara bersangkutan. Dalam hal ini, baik
Georgia dan Moldova dengan sangat jelas menolak penempatan pasukan Rusia
yang berada dalam wilayah mereka. Selain penempatan pasukan, Rusia juga
menempatkan TLEnya berada di wilayah Georgia, dimana tindakan Rusia ini
semakin memperparah hubungan antara keduanya. Akibatnya tidak hanya
dirasakan oleh Rusia-Georgia dan Rusia-Moldova, tetapi bagi seluruh negara
anggota rezim CFE. Pada dasarnya, sikap Rusia telah memberikan ancaman
keamanan bagi negara-negara di Eropa, akibatnya secara langsung dirasakan oleh
negara-negara anggota rezim CFE yang berdekatan secara geografis dengan
Rusia.
Dampak yang ditimbulkan oleh Rusia ternyata berakibat pada keinginan
nonratifikasi negara-negara anggota rezim CFE lainnya. Akibat tindakan Rusia,
negara-negara lainnya mengklaim bahwa sebelum meratifikasi perjanjian CFE,
maka Rusia terlebih dahulu memenuhi kewajibannya sebagaimana telah
disepakati dalam Istanbul Commitments.30 Sebab negara anggota lainnya akan
meratifikasi perjanjian ini setelah Rusia dapat memenuhi kewajibannya.
Sementara itu, pihak Rusia menyatakan bahwa negara-negara anggota lainnya
seharusnya telah meratifikasi perjanjian CFE, namun hingga pada tahun 2007,
negara anggota lainnya masih menangguhkan keputusannya apakah akan
meratifikasi atau tidak. Pada tahun yang sama Rusia memilih untuk menarik diri
dari rezim CFE dengan alasan bahwa Rusia menarik diri dari rezim CFE banyak
dilatarbelakangi oleh ketidaksepakatan negara-negara anggota untuk meratifikasi
perjanjian CFE. Bagi Rusia, idealnya adalah seluruh negara-negara anggota rezim
CFE dapat meratifikasi perjanjian CFE, sehingga dapat mengikat seluruh negara
anggota.

29

International Crisis Group, Georgia-Russia: Learn to Live like Neighbours, Europe Briefing
N°65, hal 1
30
RIA Novosti, NATO says ready to ratify CFE treaty, dapat diakses di
pada 21 Januari 2015

9

Perbedaan kepentingan inilah yang membuat perpecahan dalam rezim
CFE, yaitu terbaginya kepentingan dalam satu rezim dengan adanya negara yang
meratifikasi dan yang tidak meratifikasi. Adapun tujuan negara-negara yang tidak
meratifikasi adalah untuk menstimulus Rusia agar segera mematuhi ketentuan
rezim CFE. Dalam permasalahan ini, Rusia justru memberikan respon negatif,
dengan adanya perpecahan diantara negara-negara anggota dalam satu rezim yang
sama, jelas menunjukkan indikasi bahwa tidak terjalin hubungan yang harmonis
dan kerjasama yang baik, maka indikator cumulative cleavages telah terpenuhi.
4.3 Institutional Setting
Institutional setting adalah institusi yang berperan dalam memuat hak dan
aturan dalam praktek sosial, menentukan peran setiap negara anggota dalam suatu
rezim, tentunya dalam hal ini adalah rezim CFE. Sejak terbentuknya rezim CFE
negara-negara anggota menyepakati dibentukny suatu badan yang disebut dengan
Joint Consultative Group. Hal ini tertuang dalam teks protokol JCG dalam
perjanjian CFE. Dalam perjanjian CFE ditegaskan bahwa badan ini bertugas
untuk melakukan verifikasi meliputi sejauh mana kesesuaian aturan dalam rezim
CFE dengan implementasi yang dilaksanakan oleh negara-negara anggota rezim
CFE. Bertugas untuk memberikan solusi yang menimbulkan ambiguitas dan
misinterpretasi atas ketentuan perjanjian CFE, menyelesaikan masalah-masalah
teknis dan sebagai penimbang ketika terjadi perpecahan saat implementasi rezim
CFE.31
Meski JCG rezim CFE telah disusun sedemikian rupa, namun dalam
menyelesaikan perpecahan antara negara-negara anggota, peran badan ini belum
dapat dirasakan sepenuhnya. Dimana dalam perpecahan tersebut, JCG tidak
mengambil langkah yang signifikan, sementara perpecahan diantara negaranegara anggota rezim telah berada dalam titik eskalasi, sehingga dibutuhkan
adanya resolusi dari pihak JCG. Khususnya perselisihan antara negara anggota
rezim CFE dengan Rusia. Ditandai adanya konferensi luar biasa yang diminta
oleh pihak Rusia, diselenggarakan pada 12-15 Juni 2007 dan masa suspensi yang
dilakukan oleh Rusia selama 150 hari. Dengan jelas dinyatakan bahwa pihak
Rusia dalam konferensi tersebut mengharapkan adanya kesepakatan seluruh
negara anggota rezim CFE untuk ratifikasi. Sebelumnya, telah terdapat
konfrontasi diantara negara-negara anggota, hingga adanya konferensi luar biasa
pada tahun 2007. Dengan jelas kondisi ini layak untuk dipertimbangkan oleh JCG,
namun hingga akhir konferensi luar biasa JCG tidak mengeluarkan rekomendasi
bagi negara-negara anggota sebagai pertimbangan. Melihat kondisi ini, maka
peran JCG tidak sesuai dengan peran yang digambarkan dalam indikator
institutional setting, indikator institutional setting tidak terpenuhi sehingga
probabilitas variabel problem solving capacity sulit untuk dicapai.
Dari indikator diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh power sangat
penting untuk pengesahan keputusan, akibat bentuk pengambilan kebijakan yang
bersifat konsensus maka pihak yang memiliki pengaruh (power) yang paling

31

OSCE, Treaty On Conventional Armed Forces In Europe (CFE), hal 3

10

besar, maka pihak tersebut yang memiliki kesempatan terbesar pula dalam
penetapan kebijakan.
4.4 Distribution Of Power
Dalam suatu rezim, adanya power jelas dibutuhkan sebagai alat kontrol,
sehingga power didefinisikan sebagai alat kontrol terhadap satu kepentingan bagi
satu aktor, atau power merupakan kemampuan kontrol satu aktor terhadap aktor
lain dalam satu kepentingan.32 Dalam teori efektifitas rezim Arild Underdall,
terdapat 3 bentuk distribution of power dalam sebuah rezim, yaitu unipolar,
bipolar dan multipolar. Arild Underdall menyatakan unipolar distribution of
power dilihat sebagai pengganti fungsional dalam hirarki formal atau kekuatan
lain dalam pengambilan keputusan.33 Jika dalam rezim terdapat unipolar
distribution of power, maka rezim efektif demikian juga dengan rezim CFE, jika
terdapat uniplar distribution of power maka sangat memungkinkan bagi negara
untuk memberikan insentif atau punishment bagi negara yang melanggar aturan
rezim CFE. Bipolar distribution of power adalah 2 aktor yang memiliki power
yang lebih besar dibandingkan dengan aktor lainnya dalam rezim CFE.
Sementara itu, dalam rezim CFE memiliki multipolar distribution of
power, dimana GDP dan military expenditure antara negara yang satu dengan
yang lainnya memiliki selisih yang cukup kecil, sehingga memiliki power yang
seimbang antara satu negara dengan yang lainnya. Apabila dalam satu rezim
memiliki multipolar distribution of power, maka akan sulit untuk membentuk satu
keputusan yang dapat mengikat dan dipatuhi oleh seluruh negara anggota. Hal ini
disebabkan oleh persamaan power yang dimiliki oleh negara anggota yang dapat
mendukung keputusan tertentu negara yang mungkin bertentangan atau sesuai
dengan keputusan rezim. Demikian juga dengan rezim CFE yang mengalami
stagnasi dalam implementasi rezim bagi negara anggota, seperti halnya Rusia dan
negara-negara lainnya yang mempertahankan kepentingan masing-masing dimana
pada dasarnya didukung oleh multipolar distribution of power negara-negara
anggota.
Dalam rezim keamanan, maka nature rezim membedakan rezim ini
dengan rezim lainnya. Negara-negara dalam rezim ini diharuskan puas dengan
kondisi status quo yang ada. Dalam rezim CFE terdapat beberapa prinsip rezim
untuk menghindari adanya aktor yang mayoritas dan minoritas, yaitu do not use
force against each other, accept alliance membership, dan principal consent.
Prinsip kedua memberikan distribution of power dalam rezim CFE menjadi
multipolar, dimana jumlah negara anggota rezim CFE didominasi oleh negara
anggota NATO. Ditandai dengan adanya perbedaan pendapat di antara Rusia,
Jerman dengan Amerika Serikat, terkait keanggotaan negara-negara baltik
sekaligus negara anggota NATO yang ingin masuk dalam rezim CFE, akibat
prinsip ini, negara-negara tersebut diterima dalam rezim CFE. Dimana Rusia dan
Jerman menginginkan adanya prosedur yang lebih detail dan mengikat bagi

32
33

Coleman (1973) dalam Arild Underdall, One Question Two Answers, hal 29
Arild Underdall, One Question Two Answers, hal 29

11

negara-negara yang ingin masuk dalam rezim CFE.34 Implikasinya terdapat dalam
hasil konsensus saat pengambilan keputusan, sehingga ketika konsensus maka
negara-negara yang berada dalam satu aliansi akan dengan mudah
merekomendasikan kebijakan terhadap negara lainnya demikian sebaliknya
dengan negara di luar aliansi. Adapun principal consent, dimana masing-masing
negara anggota harus menghormati kedaulatan masing-masing negara anggota.
Prinsip ini juga ditegaskan kembali dalam pasal 5 perjanjian CFE, dimana negara
anggota tidak diizinkan meletakkan pasukkannya tanpa izin dari negara
bersangkutan, dapat disimpulkan bahwa dari pasal ini bahwasanya setiap negara
anggota harus menghormati negara anggota rezim CFE lainnya.
4.5 Skill and Energy
Dalam menangani permasalahan yang terdapat dalam sebuah rezim, maka
dibutuhkan skill and energy dalam rezim. Penggunaan skill and energy dalam
rezim ditandai dengan adanya epistemic community dalam rezim, demikian
dijelaskan dalam pemikiran Arild Underdall.35 Epistemic community adalah
jaringan profesional yang terdiri atas kumpulan negara-negara atau organisasi
dengan keahlian dan kompetensi diakui dalam bidang atau area tertentu.36
Dalam epistemic community, terdapat berbagai aktor yang memiliki latar
belakang yang berbeda, epistemic community juga tidak dibatasi dalam lingkup
negara ataupun bentuk organisasi lainnya. Demikian dengan epistemic community
yang berada dalam lingkungan politik internasional. Peran epistemic community
juga ditemukan dalam rezim CFE, dibuktikan dengan terbentuknya NTM dan
MTM berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota rezim CFE. Epistemic
community dalam rezim CFE tidak terlepas dari keinginan untuk mendukung
implementasi rezim CFE.
NTM atau yang disebut dengan National Techincal Means dan MTM atau
Multinational Technical Means adalah epistemic community yang terdiri dari para
ahli dibidangnya. NTM berasal dari masing-masing negara anggota rezim CFE
dalam gambar ditunjukkan sebagai aktor, sehingga terdapat 30 kelompok NTM
dari 30 negara anggota rezim CFE dan anggota NTM masing-masing negara
hanya melakukan inspeksi bagi negara asal NTM. Sementara itu, MTM memiliki
fungsi dalam melakukan inspeksi terhadap negara-negara lain anggota rezim CFE.
Untuk keanggotaan MTM, aktor ini berasal dari negara asing yang melakukan
inspeksi ke negara tertentu, negara asing disini merupakan anggota rezim CFE,
semisal MTM dari Georgia melakukan inspeksi terhadap TLE Rusia. Namun, jika
anggota MTM ingin melakukan inspeksi di luar dari negara bersangkutan, maka
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari negara yang dituju dan
memperoleh tanda tangan atas perjanjian antara negara yang dituju/ host state
party dengan MTM.37
Klaus Bolving, The Adapted Treaty On Conventional Armed Forces In Europe – CFEConsiderations Concerning Baltic CFE- Membership, hal 7
35
Arild Underdall, One Question, Two Answers, hal 35
36
Peter M Haas, 1992, Introduction: Epistemic Communities and International Policy
Coordination, Knowledge, Power, and International Policy Coordination, halaman 3
37
OSCE, Protocol On Inspection dalam Treaty On Conventional Armed Forces In Europe, hal 92
34

12

5. Analisa Efektifitas Rezim CFE
Untuk mengetahui skala efektifitas sebuah rezim maka variabel level of
collaboration dapat dijadikan sebagai skala yang menentukan apakah rezim yang
diteliti layak dikategorikan sebagai rezim yang efektif atau tidak. Rezim CFE
memiliki keputusan dimana implementasi dari aturan rezim CFE sepenuhnya
dilakukan oleh negara-negara anggota. Berdasarkan konferensi yang dilaksanakan
oleh negara-negara anggota rezim CFE, negara-negara anggota diberikan
kebebasan untuk implementasi dari keputusan bersama. Negara-negara rezim CFE
telah bersama-sama merumuskan dan meyetujui tentang TLE, pasukan militer
negara-negara anggota, hingga ratifikasi perjanjian CFE, tetapi implementasi dari
rezim CFE sepenuhnya dilaksanakan oleh negara. Namun, rezim ini tidak
memiliki badan atau organisasi yang dapat mengontrol rezim ini, baik dalam
implementasi secara keseluruhan oleh negara-negara anggota. Ketiadaan
organisasi atau badan didalam rezim CFE sebagai pengontrol dibuktikan dengan
tidak adanya badan terpusat yang berfungsi sebagai pengontrol negara apabila
tidak melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan aturan rezim, seperti melanggar
ketentuan rezim atau tidak meratifikasi perjanjian . Adapun JCG merupakan salah
satu lembaga yang didirikan untuk memfasilitasi kesepakatn diantara negaranegara anggota.
Dengan melihat 3 variabel yang telah disebutkan, maka dapat dilihat 2
hasil dari efektif atau tidaknya sebuah rezim, yaitu behavioral change dan
technical optimum. Behavioral change dimaksudkan sebagai perubahan perilaku
yang dimiliki oleh negara anggota dalam sebuah rezim setelah bergabung dalam
sebuah rezim atau berlakunya sebuah kebiasaan yang baru setelah masuk dalam
rezim.
Tidak adanya behavioural change negara-negara anggota ditandai dengan
adanya pelanggaran berupa jumlah TLE negara anggota, TLE di flank zones yang
tidak sesuai dengan ketentuan flank zones document, penempatan pasukan militer
secara ilegal di antara negara anggota, negara-negara anggota yang absen dari
kewajiban implementasi rezim CFE. Selain itu, adanya perbedaan urgensi
ratifikasi dan non ratifikasi rezim CFE menjadi salah satu masalah penting yang
berakibat pada masalah lain, sehingga adanya tumpang tindih dalam masalahmasalah rezim CFE berimplikasi pada kemampuan penyelesaian masalah rezim
tersebut.
Selama negara-negara anggota masuk dalam keanggotaan rezim CFE,
menunjukkan tidak adanya perubahan perilaku sebagai partisipan rezim CFE,
peningkatan TLE Rusia dan beberapa negara lainnya, konfrontasi militer antar
negara-negara anggota rezim CFE (Rusia dengan Georgia dan Moldova), serta
penyebaran pasukan militer antar wilayah negara anggota rezim CFE. Akumulasi
perbedaan-perbedaan dalam rezim CFE yang
tidak dapat diselesaikan
berimplikasi pada efektifitas rezim CFE. Dimana dalam rezim CFE memiliki JCG
yang seharusnya dapat menengahi perdebatan diantara negara-negara anggota
untuk memperoleh kesepakatan dalam konsensus rezim CFE. Menurut Miles,
institutional setting memiliki peran besar untuk mengatasi setiap masalah dalam
rezim. semisal IAEA dalam rezim NPT yang dapat mengawasi impelementasi

13

aturan rezim NPT, sementara itu NSG sebagai institusi yang dapat mengatur
tentang negara-negara suplier. Sehingga, setiap masalah dapat ditangani oleh
setiap badan, dan tidak adanya badan terpusat menjadi masalah besar untuk dapat
menilai efektif atau tidaknya rezim ini.
Sedangkan technical optimum juga masih belum tercapai, ditandai dengan
tujuan rezim CFE yaitu menciptakan kestabilan keamanan di Eropa, menghindari
konfrontasi militer, ratifikasi rezim CFE, menghindari kemungkinan terjadinya
surprise attack, arms race, stagnasi ratifikasi rezim CFE yang masih berjumlah 4
negara, dsb. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut rezim CFE masih tidak
dapat terpenuhi, dimana negara-negara anggota rezim CFE cenderung
mementingkan kepentingan dan agenda pihak atau aliansi negara, seperti
konfrontasi militer antar Rusia dan Georgia maupun Rusia dan Moldova yang
masih saja belum terselesaikan baik sebelum bergabung hingga telah menjadi
bagian dalam rezim CFE.
Underdall juga menegaskan untuk melihat seberapa efektif sebuah rezim
maka dapat dilihat dari variabel problem malignancy dan problem solving
capacity. Dari penjelasan dalam masing-masing variabel ditemukan bahwa dua
indikator variabel problems malignancy telah terpenuhi sehingga disimpulkan
bahwa masalah yang terdapat dalam rezim CFE sangat sulit untuk diselesaikan.
Selain itu, indikator variabel problem solving capacity hanya terpenuhi satu yaitu
Skill and Energy, sehingga kemampuan rezim dalam mengatasi permasalahan
menjadi tidak maksimal.
Untuk melihat tingkat skala dalam rezim CFE, maka tabel di bawah ini
akan menjelaskan masing-masing detail skala.
Tabel Skala Rezim CFE38
Jenis Kolaborasi
Skala Rezim
0
Gagasan Bersama
Koordinasi Tindakan
Rumusan Aturan Secara Eksplisit
Penilaian secara terpusat
Implementasi pada level nasional
Koordinasi terencana



1

̶




¯

̶





̶
̶

̶

̶
̶
¯

2

̶

3

̶






̶

̶

̶

4

̶







5







Sumber: Hasil Olahan Penulis

Dari keenam skala diatas, maka dapat dilihat bahwa tingkatan kolaborasi
terdiri dari beberapa langkah, yaitu gagasan bersama, koordinasi tindakan,
rumusan aturan secara eksplisit, penilaian secara terpusat, implementasi pada
tingkat nasional, koordinasi terencana dan integrasi antara perencanaan dan
implementasi.
Rezim CFE berada dalam skala yaitu terdapat aturan atau kesepakatan bersama
dengan tidak adanya penilaian secara terpusat terhadap efektifitas sebuah
tindakan. Rezim CFE berada dalam skala 2 dimana negara-negara anggota rezim
CFE bersama-sama telah menyetujui perjanjian CFE, namun untuk implementasi
38

Data Olahan, 2014,Vike Krismona Sihotang, Arild Underdall, 2002, One Answer Two Question.

14

sepenuhnya berada dalam otoritas negara. Hal ini terbukti dari tidak adanya badan
terpusat dalam rezim sebagai pengawas negara jika ternyata negara-negara
anggota tidak melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan rezim.
6. Penutup
Rezim CFE merupakan salah satu rezim keamanan yang terbentuk di
Eropa yang dibentuk atas dasar kesepakatan negara-negara anggota OSCE
(Organization For Security and Co-operation In Europe). Rezim ini didirikan
bersama oleh kedua kubu NATO dan Pakta Warsawa pada Perang Dingin dengan
tujuan untuk menciptakan kestabilan keamanan di Eropa, menghentikan
proliferasi senjata konvensional diantara negara-negara anggota, menghindari
arms race, menghindari konfrontasi militer, dsb. Namun, rezim CFE dinyatakan
tidak efektif setelah melihat pencapaian tujuan yang tidak berhasil oleh rezim ini
dan perubahan perilaku negara-negara anggota rezim CFE.
Untuk menciptakan sebuah rezim yang efektif maka negara-negara
anggota harus saling bekerjasama dengan mengutamakan kepentingan bersama.
Negara-negara anggota rezim harus bekerjasama untuk mencapai satu
kepentingan, satu kepentingan tersebut menjadi fokus utama sebuah rezim.Dari
penelitian yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa terdapat solusi untuk
membuat rezim lebih efektif yaitu dengan memberikan insentif baru terhadap
negara-negara yang melanggar peraturan rezim. Dengan adanya insentif, maka
negara-negara anggota akan semakin memperhitungkan cost yang harus
dikorbankan jika melanggar peraturan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir
resiko terkecil yang mungkin timbul dari perilaku negara-negara anggota rezim
dan meningkatkan kepatuhan dalam rezim.
7. DAFTAR PUSTAKA

Buzan, Barry. (1991). People, State and Fear:An Agenda for International
Security Studies in the Post Cold War Era. Harvester Wheatsheaf, London.
Jervis, Robert . (1984). Security Regime. Cornell University Press. London
Miles, Edward L. (2001). Nuclear Nonproliferation Regime. The MITpress.
United States of America
SIPRI. (2001). Treaty On Conventional Armed Forces in Europe. SIPRI Year
Book. Sweden
Underdal, Arild . (2001). One Question Two Answer. The MITpress. United
Stated of America
Zdzislaw Lachowski dan Martin Sjorgen. (2007). Conventional Arms Control.
SIPRI Year Book. Swedia

15