Etika Bisnis atau Pencitraan Perusahaan

SEMINAR ETIKA BISNIS, UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA, 18 MEI 2017

Etika Bisnis atau Pencitraan Perusahaan?
Yahya Wijaya
Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana
Yogyakarta

Untuk waktu yang lama kalangan bisnis dan ekonomika menganggap ‘etika bisnis’ sebuah
oxymoron. Menurut kalangan itu etika tidak dapat disatukan dengan bisnis karena keduanya
pada hakikatnya bertentangan. Bisnis adalah bisnis, etika adalah etika: dua dunia yang
terpisah. Fungsi bisnis hanya satu yaitu menghasilkan profit, tidak boleh lebih dan tidak
boleh kurang. Sedangkan etika punya kecenderungan mengabaikan kalau tidak mempersulit
profit. Jadi, menurut logika itu, etika bisnis adalah sebuah khayalan kaum idealis yang sama
sekali tidak realistik kecuali jika disajikan sebagai sebuah layanan bisnis.
Skeptisisme semacam itu baru mulai berubah pada awal 1960an ketika terjadi krisiskrisis dalam dunia bisnis yang disebabkan oleh korupsi dan manipulasi berskala besar di
perusahaan-perusahaan ternama di Amerika dan Eropa. Kemudian terungkap pula praktikpraktik kolusi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional
yang beroperasi di belahan dunia selatan (Global South) dengan para penyelenggara negara
setempat. Kesadaran akan pentingnya etika bisnis semakin kuat dengan semakin jelasnya
bukti-bukti mengenai kerusakan lingkungan yang serius akibat eksploitasi sumber-sumber
daya alam secara tak terkendali dan pembuangan limbah industri secara langsung ke tanah,
laut, sungai, dan udara. Bangkitnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia dan gugatan

terhadap diskriminasi berdasarkan gender, warna kulit, dan agama dalam bidang ekonomi
dan bisnis menambah daftar penyebab bangkitnya kesadaran mengenai pentingnya etika
bisnis. Kasus-kasus dan isu-isu tersebut di atas telah memicu munculnya kelompokkelompok penekan (pressure groups) dan gerakan konsumen kritis yang memaksa bukan
hanya dunia bisnis tetapi juga kalangan akademik untuk memberi perhatian pada etika
bisnis. Pada saat yang sama di bidang pembelajaran etika, terjadi pergeseran pendekatan
dari meta-etika yang bersifat teoretis kepada etika terapan khususnya dalam bidang medis,
penggunaan senjata nuklir, dan ekonomi. Fenomen itu kemudian dikenal sebagai ‘kelahiran
kembali etika’ (the rebirth of ethics). Peristiwa yang boleh dianggap sebagai salah satu
tonggak sejarah bagi perkembangan etika bisnis modern adalah konferensi nasional
pertama mengenai etika bisnis yang diselenggarakan pada bulan November 1974 oleh
Universitas Kansas.
Asia tentu saja terpengaruh oleh apa yang terjadi di Barat, apalagi masalah-masalah
lingkungan, hak asasi manusia, korupsi, manipulasi, dan kolusi sama sekali tidak asing di
Asia, bahkan barangkali lebih merata di Asia ketimbang di Barat. Tekanan konsumen
terhadap proses produksi sepatu semacam Nike dan Reebok, misalnya, menyoroti juga isuisu moral dalam hal perlakuan terhadap pekerja di industri sepatu negara-negara Asia yang
menjadi pemasok kedua merk terkenal itu. Demikian pula industri minyak kelapa sawit yang
harus menghadapi kebijakan-kebijakan pembatasan negara-negara pengimpor akibat
tekanan aktivis-aktivis lingkungan mereka. Namun minat yang serius terhadap etika bisnis di
Asia baru muncul pada akhir 1990an setelah terjadinya krisis ekonomi Asia Tenggara yang
berdampak serius terhadap perekonomian banyak negara Asia, khususnya Indonesia dan

Thailand.

SEMINAR ETIKA BISNIS, UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA, 18 MEI 2017

Apakah etika bisnis?
Etika seringkali disalahmengerti sebagai ‘etiket’ yang hanya mengenai penampilan luar dan
soal sopan santun. Misalnya, ketika seorang yang berbicara to the point tanpa basa basi
dianggap “tidak punya etika berbicara,” yang dimaksud di situ bukanlah etika tetapi etiket.
Banyak majalah populer memberi nama ‘etika’ pada rubrik yang sebenarnya hanya
membahas soal etiket: bagaimana berbusana dalam suatu acara, bagaimana meletakkan
sendok dan garpu pada acara jamuan makan resmi, atau bagaimana menyusun kalimat yang
sopan ketika menyampaikan pendapat dalam rapat. Semua itu bukan ranah etika tetapi
etiket. Etika juga sering disalahpahami sebagai sekadar memenuhi tuntutan hukum atau
peraturan. Etika Kristen, khususnya, justru cenderung bersikap kritis terhadap hukum dan
peraturan, baik isinya maupun praktiknya, seperti Yesus bersikap kritis terhadap ahli-ahli
hukum agama (“ahli-ahli Taurat”) di jamanNya dan Rasul Paulus bersikap kritis terhadap
hukum Taurat.
Secara umum, etika adalah kajian kritis terhadap moralitas yaitu sikap dan perilaku
yang dianggap normatif sebagaimana terwujud dalam kebijakan, sistem, struktur, hukum,
peraturan, dan kebiasaan. Pendekatan etika terapan mengkaji secara khusus bagaimana halhal itu dijalankan dalam bidang kehidupan tertentu. Etika ekonomi, misalnya, menjadikan

kehidupan ekonomi sebagai fokus kajiannya.
Etika bisnis dapat dijelaskan sebagai bagian dari etika ekonomi yang menyoroti aras
ekonomi mezzo dan ekonomi mikro.1 Dengan pengertian itu, etika bisnis mencakup kajian
kritis terhadap konsep dan praktik moralitas dalam institusi bisnis serta perilaku dan
karakter individu pelaku bisnis. Gagasan tentang etika bisnis didasarkan pada keyakinan
bahwa bisnis tidak dapat dipahami sekadar sebagai alat bagi kepentingan ekonomi. Etika
bisnis mengungkap dimensi moral dari bisnis yang tidak kalah penting dari dimensi
ekonominya, dan karena itu layak untuk dikaji dan diperhatikan agar suatu praktik bisnis
menghasilkan kebaikan bagi semua pemangku kepentingannya. Dengan demikian, kajian
etika bisnis melingkupi isu-isu yang sangat luas, termasuk karakter pelaku bisnis serta
budaya perusahaan (corporate culture) dan bagaimana hal itu terwujud dalam relasi-relasi
internal maupun eksternal perusahaan. Relasi internal mencakup antara lain hierarki
perusahaan, perlakuan terhadap dan antar pekerja, dan model-model kepemimpinan dan
pengelolaan (manajemen) sumber daya manusia. Sehubungan dengan relasi eksternal, isuisu etika bisnis yang penting di Asia antara lain mengenai keterlibatan pengusaha dalam
kegiatan politik , jejaring dan kemitraan antar pelaku bisnis dalam pasar global dan regional,
manfaat dan resiko produk bagi konsumen, serta konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Corporate Social Responsibility: CSR).

Corporate Social Responsibility (CSR) 2
Definisi CSR menurut Insititute for Corporate Culture Affairs (ICCA), sebuah lembaga kajian

etika korporat, adalah “komitmen yang berkelanjutan dari perusahaan untuk berperilaku
etis dan mengambil bagian dalam pengembangan ekonomi, sambil memperbaiki kualitas
kehidupan karyawan-karyawannya serta komunitas di sekitar lokasi perusahaan itu dan
1

Christoph Stueckelberger, ‘Economic ethics’ dalam Helmut K. Anheier, Mark Juergensmeyer, dan Victor
Faessel, eds., Encyclopedia of Global Studies (Thousand Oaks, CA: SAGE, 2012), p.450
2
Uraian lebih lengkap tentang CSR dapat dilihat dalam Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar: Kajian Teologis
terhadap Isu-isu Ekonomi dan Bisnis di Indonesia (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2010), pp. 78-90

2

SEMINAR ETIKA BISNIS, UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA, 18 MEI 2017

masyarakat luas.” 3 Dengan pengertian seperti itu, CSR sebenarnya menjangkau bukan hanya
pihak-pihak eksternal perusahaan tetapi juga bagian dari komunitas di dalam perusahaan
sendiri. Sejatinya, CSR berkaitan langsung dengan budaya perusahaan, yaitu nilai-nilai dan
keyakinan dasar yang menjiwai kehidupan dan kegiatan dalam perusahaan, dan karena itu
juga tercermin dalam tampilan perusahaan ke luar. CSR merupakan instrumen bagi

perusahaan untuk mengekspresikan budayanya secara praktis dalam setiap proses bisnis
yang dilakukannya. Tanpa dikaitkan dengan budaya perusahaan, baik konsep maupun
pelaksanaan CSR akan menjadi tidak terfokus atau melenceng dari hakikatnya.
Chandler 4 bahkan mengusulkan agar CSR dipahami bukan hanya dalam kaitan
dengan budaya perusahaan, tetapi juga dengan nilai-nilai masyarakat. Definisi CSR menurut
Chandler adalah “tanggungjawab perusahaan atas keseluruhan dampak yang
ditimbulkannya, dengan kesadaran akan perlunya melekatkan nilai-nilai masyarakat dalam
kegiatan perusahaan, maupun dalam memperlakukan lingkungan sosial dan lingkungan
fisik.” Dengan definisi seperti itu, Chandler menolak pemahaman sempit tentang CSR yang
menganggapnya sekadar sebagai program sukarela pengembangan masyarakat, apalagi bila
tujuannya hanya demi mengamankan keberadaan perusahaan sendiri. Chandler
menandaskan bahwa CSR tidak sama dengan kegiatan filantrofis, yang sangat bagus jika
dilakukan, tetapi tidak apa-apa jika tidak dilakukan. CSR harus dipahami sebagai faktor
prinsipial dari keberadaan dan kegiatan inti perusahaan.
CSR harus diawali dengan kesadaran tentang pemangku kepentingan (stakeholders).
Pada tahun 1980an, R. Edward Freeman mengemukakan gagasan bahwa tanggung jawab
suatu lembaga, khususnya lembaga bisnis, seharusnya tidak hanya ditujukan kepada para
pemegang saham (shareholders), tetapi kepada semua pihak yang kepentingannya
dipertaruhkan langsung maupun tidak langsung oleh keberadaan lembaga itu. Pihak-pihak
itu berada di dalam perusahaan, di seputar perusahaan, bahkan dalam lingkungan

masyarakat luas. Mereka itulah yang disebut sebagai para ‘pemangku kepentingan,’ yang
mencakup bukan hanya manusia tetapi juga unsur-unsur alam yang lain. Freeman menolak
pandangan Milton Friedman yang menganggap bahwa misi perusahaan tidak boleh lebih
atau kurang dari mendatangkan profit bagi para pemiliknya. Menurut Freeman, pandangan
Friedman itu terlalu sempit dan mengabaikan keterkaitan perusahaan dengan konteks sosial
dan konteks ekologisnya. Pendekatan pemangku kepentingan ini kemudian menjadi
mainstream dan hampir selalu diperhitungkan dalam penelitian-penelitian etika bisnis
sampai saat ini. 5
Dalam konteks Indonesia, pentingnya perusahaan memahami kepentingan yang
lebih luas daripada sekadar pemilik saham sangat terasa, khususnya sejak krisis ekonomi
1997. Menjadi sangat jelas bahwa ulah banyak perusahaan ternyata berdampak langsung
pada nasib rakyat secara umum. Investasi yang tidak tepat, penggunaan utang yang tidak
cermat, serta kolaborasi yang tidak sehat mempunyai dampak yang sangat memberatkan
3

Manfred Pohl, ‘Corporate culture and CSR: how they interrelate and consequences for successful
implementation’ dalam Judith Hennigfeld, Manfred Pohl, dan Nick Tolhurst, eds. The ICCA Handbook
on Corporate Social Responsibility. (Chichester: John Wiley & Son, 2006)
4
Sir Geoffrey Chandler, ‘CSR: The way ahead or a cul de sac?’ in Judith Hennigfeld et al. eds., The ICCA

Handbook on Corporate Social Responsibility. (Chichester: John Wiley& Son, 2006)
5
Ingo Winkler, ‘Stakeholder salience in corporate codes of ethics: Using legitimacy, power, and urgency to
explain stakeholder relevance in ethical codes of German blue chip companies in Electronic Journal of
Business Ethics and Organization Studies, 14:1 (2009), 4

3

SEMINAR ETIKA BISNIS, UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA, 18 MEI 2017

bagi ekonomi masyarakat selama jangka waktu yang sangat panjang. Krisis ekonomi global
yang berawal dari kebangkrutan lembaga-lembaga keuangan Amerika pada tahun 2008
membuktikan hal yang sama dalam skala yang jauh lebih luas. Jadi telah terbukti dalam
sejarah perekonomian Indonesia maupun sejarah pasar global, bahwa bisnis yang buruk
tidak hanya merugikan pemilik atau pemegang saham perusahaan terkait. Masyarakat
umum dapat menanggung kerugian yang jauh lebih menyengsarakan ketimbang yang dapat
diantisipasi oleh sistem perpajakan. Dalam kedua krisis ekonomi, yang sama-sama
diakibatkan oleh ulah pelaku-pelaku pasar itu, menjadi jelas bahwa jalan keluar tidak dapat
disediakan oleh pasar sendiri. Pemerintah dan lembaga-lembaga multilateral harus campur
tangan dengan menyediakan dana yang sangat besar yang pada dasarnya berasal dari

masyarakat luas. Dengan dana itu, pemerintah semestinya dapat menjalankan programprogram sosial bagi kepentingan publik. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk
menyadari tanggungjawab sosial di luar kewajibannya membayar pajak dan memenuhi
peraturan-peraturan pemerintah.
Alasan mengapa lembaga bisnis bertanggungjawab kepada masyarakat dapat
diuraikan lebih rinci sebagai berikut:
Pertama, bisnis adalah bagian dari masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat,
bisnis, sama seperti bagian-bagian lain, mempunyai peran dan kekuasaan tertentu yang
harus bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Pelaku bisnis, sama seperti pemegang
kekuasaan yang lain, harus dapat membuktikan kepada masyarakat apakah ia sudah
menggunakan peran dan kekuasaannya secara sensitif dan bertanggungjawab.
Kedua, bisnis berinteraksi dengan bidang-bidang lain dari kehidupan masyarakat,
termasuk kebudayaan dan ekologi. Maka bisnis dan bidang-bidang lain itu saling
memengaruhi. Pengaruh itu tidak hanya bersifat ekonomik (yaitu bahwa kehadiran sebuah
perusahaan bisa memakmurkan atau memiskinkan masyarakat di sekitarnya), tetapi juga
moral. Sama seperti dalam hal ekonomik, pengaruh moral dari dunia bisnis kepada
masyarakat bisa positif bisa juga negatif. Misalnya, kecenderungan menerapkan nilai-nilai
pertukaran dari dunia bisnis dalam bidang-bidang lain dapat merusak kehidupan komunitas
tradisional. Pada pihak lain, pengutamaan nilai-nilai kreatifitas dan inovasi dalam dunia
bisnis dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat apabila diterapkan dalam
pengelolaan lembaga-lembaga kemasyarakatan, termasuk pendidikan dan organisasi

swadaya masyarakat. Maka kerjasama dan keterbukaan antara lembaga bisnis dan
masyarakat luas akan membantu interaksi yang saling membangun.
Ketiga, bisnis berutang pada masyarakat. Lembaga bisnis bergantung pada
masyarakat dalam hal lokasi, pasokan bahan baku dan sumber daya manusia. Kwalitas
personel-personel perusahaan, misalnya, dibangun berkat pendidikan, moralitas dan tingkat
kesejahteraan yang disediakan oleh masyarakat. Bahkan Adam Smith mengakui bahwa
kelangsungan hidup pasar bergantung pada dukungan nilai-nilai yang menjadi sumber
perilaku para pelaku bisnis. Nilai-nilai itu juga berfungsi sebagai kendali atas kecenderungan
pasar untuk menimbulkan kesenjangan. Nilai-nilai itu termasuk kebenaran, kejujuran,
kewajiban dan kepercayaan, tidak dapat dihasilkan oleh sistem pasar itu sendiri. Maka
patutlah lembaga bisnis memberi kontribusi bagi kelangsungan hidup lembaga-lembaga
moral-kultural, termasuk pendidikan dan agama.

4

SEMINAR ETIKA BISNIS, UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA, 18 MEI 2017

CSR dalam Praktiknya
Praktik CSR oleh banyak perusahaan sangat beragam karena persepsi mengenai CSR di
kalangan perusahaan juga tidak seragam. Dirk Matten 6 menguraikan dalam praktiknya

proyek-proyek yang diklaim sebagai CSR dijalankan berasarkan empat alasan: ekonomik,
manajerial, etis dan politis.
Alasan ekonomik mendorong banyak perusahaan melakukan CSR demi pencitraan
perusahaan. Sebabnya, citra perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial berpengaruh
dalam membangun kepuasan pelanggan sehingga mencegah aksi boikot atau tindakan lain
yang tidak menyenangkan. Bagi karyawan, bekerja di perusahaan yang punya citra sosial
yang baik mengobarkan semangat dan kesetiaan. Selain itu, kontribusi sosial dapat dihitung
sebagai investasi jangka panjang, sebab kondisi sosial masyarakat yang lebih baik
merupakan pasar yang lebih potensial bagi perusahaan. Menurut pengamatan Matten,
kebanyakan praktik CSR sebenarnya dilakukan berdasarkan alasan ekonomik ini. Dengan
demikian, CSR dipahami dan dilakukan sebagai investasi sosial.
Praktik CSR berdasarkan alasan manajerial dilakukan sebagai upaya mengelola relasi
antar pemangku kepentingan dalam kerangka menjawab masalah-masalah manajemen
sehari-hari. Melalui CSR dapat dihindarkan konflik-konflik yang rawan terjadi, misalnya,
antara pemegang saham dengan karyawan, kalangan internal perusahaan dengan
masyarakat sekitar, dan perusahaan dengan pelanggan.
Alasan etis memahami CSR dengan kesadaran bahwa kegiatan itu secara moral
adalah benar untuk dilakukan. Praktik CSR berdasarkan alasan ini mencakup pertimbangan
etika bisnis maupun etika lingkungan. Di dalamnya termasuk pemberlakuan kode etik
perusahaan dan profesi yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa nilai-nilai moral

tertentu dijunjung tinggi oleh pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan. Para pemimpin
bisnis utama di Eropa, Amerka Serikat dan Jepang, misalnya, menyepakati suatu kode etik
global bagi bisnis yang disebut “Prinsip-prinsip Meja Bundar CAUX bagi Bisnis.” Dalam
kategori etis juga dapat disebutkan konsep “Tripple Bottom Line” (Profit, People, Planet)
yang menekankan pentingnya bisnis menjadikan kelestarian alam sebagai faktor utama yang
sejajar dengan kepentingan umat manusia dan keutungan ekonomik.
Alasan politis untuk menjalankan CSR adalah agar perusahaan diterima dan diakui
sebagai anggota masyarakat yang bertanggungjawab. Alasan ini berkaitan dengan
meningkatnya kekuatan dan pegaruh bisnis yang dikuatirkan banyak pihak akan menjadikan
perusahaan-perusahaan raksasa penguasa tanpa kendali. Berbagai demonstrasi digelar dan
film dibuat untuk menggugat kecenderungan korporasi bermain-main dengan kekuasaan
yang dimilikinya sehingga membahayakan demokrasi dan kesejahteraan umum. Kritik
masyarakat inilah yang mendorong banyak perusahaan untuk membuktikan diri mereka
warga masyarakat yang baik dengan menjalankan program-program yang membantu warga
masyarakat mempertahankan hak-hak mereka atas kesejahteraan, kemerdekaan dan
transparansi.

6

Dirk Matten, ‘Why do companies engage in corporate social responsibility?: Background, reasons and basic
concepts’ in Judith Hennigfeld et al. eds., The ICCA Handbook on Corporate Social Responsibility.
(Chichester: John Wiley& Son, 2006)

5

SEMINAR ETIKA BISNIS, UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA, 18 MEI 2017

CSR di Asia dan Peran Agama (Kristen)
Meskipun CSR sebagai sebuah konsep modern lahir di Barat, praktik-praktik CSR dalam
bentuk yang kurang formal sebenarnya tidak terlalu asing bagi dunia bisnis di Asia. Beberapa
penelitian yang dikutip oleh Wayne Visser menunjukkan bahwa kalangan bisnis di Asia telah
lazim melakukan program-program CSR dalam berbagai bidang termasuk pendidikan,
lingkungan, olah raga dan kesejahteraan pekerja. Sayangnya dalam hal ini Indonesia tercatat
pada level terbawah, dengan India pada level teratas, dalam hal banyaknya perusahaan
yang menjalankan kebijakan dan praktik CSR. 7
Berbeda dari model CSR di Barat yang lebih didorong oleh logika etis, CSR di negaranegara berkembang lebih banyak didorong oleh tradisi budaya dan agama. Maka, jika CSR di
Barat lebih didasarkan pada tanggungjawab etis ketimbang filantrofis, di negara-negara
berkembang berlaku yang sebaliknya. Meskipun demikian, tidak berarti CSR di Asia kurang
serius karena sifatnya yang filantrofis seperti dalam pandangan Chandler. Menurut Visser, di
Asia, CSR sebagai tindakan filantrofis sebenarnya dianggap lebih penting ketimbang
memenuhi tanggungjawab hukum. 8
Mengingat dimensi kultural dan religius dari CSR di Asia, agama dapat memainkan
peran strategis dalam pengembangan CSR di Indonesia, lebih dari sekadar menjadi sasaran
(baca: penerima sumbangan) CSR. Teologi Kristen dapat menjadi sumber yang penting,
bukan sekadar bagi tindakan filantrofis yang lazim, tetapi juga bagi filantrofi yang
berwawasan etika. Dari perspektif teologis, filantrofi dan etika tidak seharusnya dipisahkan.
Sumbangan sosial seseorang tidak dilihat semata-mata sebagai wujud kemurahan hati orang
itu, melainkan ungkapan syukurnya atas kemurahan Allah. Tradisi persembahan di dalam
Alkitab dan komunitas Kristen menyatakan dengan tegas bahwa harta milik dan keuntungan
yang diperoleh manusia adalah berkat Allah. Maka pemilikan semua itu tidak bersifat
mutlak, dan pemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Sumbangan
sosial, dengan demikian, adalah wujud tanggungjawab sosial, dan, karena itu, merupakan
tindakan etis. Kisah tentang Ananias dan Safira dalam Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa
sumbangan sosial sebagai persembahan adalah tindakan sukarela. Tetapi sukarela tidak
berarti semau si penyumbang sendiri. Dengan perkataan lain, sumbangan sosial seseorang
harus berdasarkan komitmennya terhadap kehidupan bersama dan keyakinan bahwa itulah
bagian yang Tuhan percayakan untuk ia lakukan. Di samping itu, Alkitab melancarkan kritik
yang tajam terhadap sumbangan sosial yang dimaksudkan untuk mendapat pujian atau
demi kepentingan politis yang sempit.
CSR juga dapat disejajarkan dengan program diakonia yang sudah lama dipraktikkan
oleh gereja-gereja. Baik CSR maupun diakonia seharusnya dimaksudkan sebagai wujud
tanggungjawab sosial. Keduanya mesti dibedakan dari promosi atau kegiatan-kegiatan lain
yang bersifat pemasaran atau pencitraan. CSR dan diakonia yang baik mau tak mau akan
meningkatkan citra positif bagi lembaga penyelenggaranya, namun perbaikan citra itu
sendiri tidak boleh dijadikan tujuan.

7

Wayne Visser, ‘Corporate social responsibility in developing countries’ dalam Andrew Crane, et al, The Oxford
Handbook of Corporate Social Responsibility. (Oxford: Oxford University Press, 2008), p.478
8
Ibid, p.489

6