DESAIN MENUJU SEBUAH PERKEMBANGAN DITINJ (1)
DESAIN MENUJU SEBUAH PERKEMBANGAN
DITINJAU DARI FILSAFAT ILMU
I N Artayasa
AA Gde Bgs Udayana
Jurusan Desain FSRD ISI Denpasar
Abstrak
Desain berasal dari bahasa inggris yang artinya perancangan, rancang, desain, bangun.
Sedangkan merancang artinya mengatur segala sesuatu sebelum bertindak, mengerjakan atau
melakukan sesuatu dan perancangan artinya proses, cara, berbuatan, perbuatan merancang.
Desain suatu karya yang pada dasarnya lahir dari berbagai pertimbangan pikir, gagasan, rasa,
dan jiwa penciptanya (internal), yang didukung oleh faktor eksternal, hasil penemuan dari
berbagai bidang ilmu, teknologi, ergonomi, lingkungan, sosial, budaya, estetika, ekonomi, dan
politik, serta segala perkembangannya di masa depan. Sejarah perkembangan desain yang
secara tegas, ini bisa dikatakan bermula dari revolusi industri di Eropa. Desain modern tetap
tidak terlepas di sekitar lahirnya revolusi industri, disaat manusia mempunyai kekuatan untuk
mencipta mesin. Dengan mesin, produk-produk yang tadinya dikerjakan oleh tangan menjadi
jauh lebih presisi dan massal. Gerakan Bauhaus dianggap sebagai titik penting perkembangan
desain modern selanjutnya, karena dianggap berhasil memadukan antara seni rupa dengan
industri secara harmonis. Dari gerakan Bauhaus inilah mulai dikenal profesi ‘industrial design’
yang dianggap cukup berperan dalam era pertumbuhan industri dunia kemudian hari. Di
Indonesia pengembangan desain diawali dengan membentuk ‘Design Center’ oleh Fakultas
perencanaan dan sipil Institut Teknologi Bandung tahun 1968 dan pada waktu itu
diperkenalkan dalam expo 70 di Osaka Jepang. Pada kekinian yang ditelisik dari dunia
internet, maka akan dapat ditemui 107 institusi pengelola desain baik pada Universitas,
Institut, Sekolah dan Akademi. Dilihat dari ontologinya bahwa istilah desain berasal dari
Bahasa Prancis, dessiner yang berarti menggambar kadang juga diartikan dalam pengertian
perancangan. Secara epistemologi, desain mempunyai metode yang rasional, sistematis dan
terencana. Dari sisi aksiologi, hasil penelitian desain bermanfaat baik secara akademis untuk
kemajuan pengembangan teori dan metode desain maupun secara praktis untuk membantu
mengindentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan mencoba menaggulangi
dengan memberikan rekomendasi, serta menciptakan inovasi yang dapat memberikan
kenyamanan maupun ketenangan bagi masyarakat. Pada akhirnya Desain patut dikembangkan
menjadi sebuah institusi yang lebih besar seperti misalnya sebuah Fakultas, yang didasarkan
atas kebutuhan masyarakat, memiliki obyek yang jelas, serta patuh terhadap norma serta etika
yang ada
Kata kunci: Desain, ontologis, aksiologis dan epistemologis
DESAIN MENUJU SEBUAH PERKEMBANGAN
DITINJAU DARI FILSAFAT ILMU
nymn Artayasa
AA Gde Bgs Udayana
Jurusan Desain FSRD ISI Denpasar
1. Pendahuluan
Desain berasal dari bahasa inggris yang artinya perancangan, rancang, desain, bangun.
Sedangkan merancang artinya mengatur segala sesuatu sebelum bertindak, mengerjakan atau
melakukan sesuatu dan perancangan artinya proses, cara, berbuatan, perbuatan merancang.
Dapat disimpulkan arti kata desain adalah proses – cara – perbuatan dengan mengatur segala
sesuatu sebelum bertindak atau merancang.
Bagi sebagian besar penduduk Indonesia penggunaan istilah desain masih berupa kata
asing yang sulit untuk dicerna. Tapi sebagian dari kegiatan desain barangkali sudah akrab
dengan masyarakat, seperti istilah yang dipakai pada: kata menata, merancang, menempa,
mengukir, merencana, menggambar, membangun dan lain-lain. Demikian juga dengan istilah
desain, seperti pada desain: pakian, motor, televisi, rumah, kursi, interior, grafis dan lain-lain.
Hanya istilah desain seperti itu belum diterima sepenuhnya sebagai ilmu-ilmu formal, itu
dikarenakan pengembangan ilmu desain sendiri masih relatif muda. Maka wajarlah jika
pemahaman tentang desain baru terbatas kepada hal-hal yang tertentu saja.
Mengetahui hasil Desain tidak cukup hanya dilihat sebagai suatu karya desain dalam
bentuk barang mati saja, tapi harus dikupas secara terpadu dari segi nilai-nilai budaya maupun
sosial, serta ekonomi yang menyertainya. Desain suatu karya pada dasarnya lahir dari berbagai
pertimbangan pikir, gagasan, rasa, dan jiwa penciptanya (internal), yang didukung oleh faktor
eksternal, hasil penemuan dari berbagai bidang ilmu, teknologi, ergonomi, lingkungan, sosial,
budaya, estetika, ekonomi, dan politik, serta segala perkembangannya.
Desain harus disadari sebagai patner teknologi dalam menghadapi persoalan-persoalan
yang ada, dan agar dapat membangun wawasan yang luas, seorang desainer harus ditopang
minimal oleh lima demensi keilmuan lain yaitu, seperti:
a. Wawasan Teknologi: terutama teknologi, mekanik, teknologi produksi, teknologi
bahan, ergonomi dan wawasan ilmu-ilmu enjinering; sehingga dengan demikian
seorang desainer diharapkan mempunyai pemahaman ke arah sistem industri, bahan
dan proses, manajemen, kesadaran akan kelebihan dan keterbatasan manusia sebagai
pemakai dan ketrampilan teknis.
b. Wawasan Sains; terutama fisika, metodelogi riset, logika matematika; sehingga dengan
demikian seorang desainer diharapkan mempunyai tanggungjawaban ilmiah yang
tinggi serta mampu merumuskan persoalan yang dihadapi secara sistematis.
c. Wawasan Seni; terutama seni rupa; dengan harapan seorang desainer akan mempunyai
pemahaman estetika dan kreatifitas yang tinggi
d. Wawasan Sosial dan Budaya; terutama sosiologi, psikologi, ekonomi, komunikasi,
antropologi, dengan harapan membuka seorang desainer ke arah wawasan budaya,
sejarah persoalan sosial dan permasalahan manusia lainnya.
e. Wawasan Filsafat dan Etika; terutama Filsafat seni dan desain; dengan harapan
membangun pola pikir mendalam yang dilandasi oleh sikap etis yang tinggi. (Sachari :
1986: 15-16).
1.2. Pokok Bahasan.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang desain, yang pada saat ini sangat diperlukan
oleh masyarakat, memliki obyek dan jelas serta menerapkan etika-etika dan norma yang ada.
Tujuan kajian pendekatan ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh desain dikatakan
sebagai disiplin ilmu dan layak dikembangkan, melalui pendekatan filsafat
1.3. Ciri-Ciri Keilmuan.
Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang suatu
obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu adalah bagian dari pengetahuan
yang diketahui oleh manusia. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan. Sebab pengetahuan merupakan
sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Jadi pada
hakekatnya diharapkan jawaban yang benar, dan bukan sekedar jawaban yang bersifat
sembarang saja. Lalu timbulah masalah, bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar?
Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi, dan landasan epistemologi
ilmu disebut metode ilmiah. (Jujun, 1991; 104-105). Dalam pada itu, juga ditegaskan bahwa
epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah, dengan alasan bahwa studi pertumbuhan
pengetahuan ilmiah merupakan jalan paling bermanfaat untuk mempelajari pertumbuhan
pengetahuan pada umumnya, sebab pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan manusia seharihari yang tertulis. (Papper: 1989: 25).
Setiap jenis pengetahuan dibatasi dan dicirikan oleh apa yang dicoba diketahui,
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate realty baik yang berbentuk
jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak, (Bakhtiar, 2005) mengkaji asas-asas dan
menjelaskan hakikat keberadaan atau kenyataan (ontologi).
Bagaimana cara memproses tubuh pengetahuan yang disusun, darimana atau dengan
bahasa akademis bagaimana kurikulum dari sebuah program studi/jurusan/ fakultas dibentuk,
dan bagaimana mendapatkan, sumber-sumber, hakikat, jangkauan, ruang lingkup pengetahuan
dan kemungkinan untuk mendapatkan, seberapa besar pengetahuan bisa didapatkan. (Jujun,
2005) (Epistemologi).
Dan untuk apa, serta apa kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh serta pengetahuan
tersebut disusun (aksiologi). (Jujun, 2005; Bakhtiar, 2005) Ketiga landasan ini saling
berkaitan; jadi ontology terkait dengan epistemologi dan epistemologi terkait dengan aksiologi
dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi, maka hal ini harus dikaitkan
dengan ontologi dan aksiologi ilmu. (Jujun S; 1991; 105).
2. Desain Sebagai Disiplin Ilmu yang Patut Dikembangkan
2.1. Sejarah Perkembangan Desain.
Sejarah perkembangan desain yang secara tegas, ini bisa dikatakan bermula dari
revolusi industri di Eropa. Meskipun sebenarnya dasar perkembangan desain adalah juga
ditentukan oleh pertumbuhan seni rupa dan kerajinan sejak manusia ada di muka bumi ini.
Tetapi tahap terpenting adalah tetap pada era revolusi industri itu. Misalnya; Bockus yang
memulai pada jaman Renaissance; Ketika Leonardo Da Vinci mulai mengadakan penjajahan
ke arah perkawinan antara kemampuan teknis yang tinggi dengan kemampuan artistik.
Leonardo melanjutkan kesadaran dari Benyamin Franklin untuk menggabungkan antara
bentuk dan fungsi. Lain halnya dengan Mayal justru memperluas arti desain yaitu bahwa
desain bermula dari kesadaran manusia membuat alat. (Sachari, 1986: 130-131).
Tetapi Desain modern tetap tidak terlepas di sekitar lahirnya revolusi industri, disaat
manusia mempunyai kekuatan untuk mencipta mesin. Dengan mesin, produk-produk yang
tadinya dikerjakan oleh tangan menjadi jauh lebih presisi dan massal. Pada tahun 1847 Sir
Henry Cole dengan lantang berkata: bahwa kemampuan mekanis haruslah dikawinkan dengan
kemampuan artistic yang tinggi. Selanjutnya sebagai puncak gerakan ketidak puasan
masyarakat karena industrialisasi dan dehumanisasi yang terus menerus tersebut, menyeburlah
ke permukaan gerakan Bauhaus pada tahun 1919 di Weimar-Jerman. Gerakan ini dianggap
sebagai titik penting perkembangan desain modern selanjutnya, karena dianggap berhasil
memadukan antara seni rupa dengan industri secara harmonis . Dari gerakan Bauhaus inilah
mulai dikenal profesi ‘industrial design’ yang dianggap cukup berperan dalam era
pertumbuhan industri dunia kemudian hari. (Sachari, 1986: 131).
Gerakan ini diwujudkan dengan berdirinya Bauhaus yang dipimpin oleh Walter
gropius. Prinsip dasar pendidikannya adalah memadukan semua ilmu pendukung desain, seni,
ketrampilan, dan teknik. Tenaga pengajarnya umumnya adalah seniman “pembaharuan” yang
beraliran kubisme dan konstruktivisme; seperti wassily kandinsky, Josef albers, dan paul klee.
(Sachari, 1999; 86-87).
Friendrich Naumann, kritikus seni pada waktu itu dalam tulisannya mengungkapkan
bahwa dalam dunia industri perlu penggabungan yang selaras antara seniman, produsen, dan
penjual. Secara tegas, ia menyatakan bahwa adanya usaha untuk memproduksi karya secara
besar-besaran harus disusul dengan usaha mencari nilai estetika baru. Tanpa hal itu, berarti
kita menyia-nyiakan peradaban mesin yang berkembang. Untuk itu nilai estetika yang ada
perlu disempurnakan, sedangkan karya mesin perlu diberi roh sebagai pembimbing selera
masyarakat. (Sachari, 1999: 59).
Pada babak ini ditandai dengan munculnya gagasan untuk meninggalkan ornamen
dengan cara memadukan unsur estetika dan rekayasa. Pada masa ini didirikan Deutsche
Werkbund di Jerman, sebagai lembaga budaya yang bertujuan meningkatkan kerja profesional
melalui keselarasan antara seni, industri, dan ketrampilan. Hal ini dinyakini dapat
meningkatkan kwalitas melalui pendidikan yang bersikap menyelesaikan segala permasalahan
dengan menciptakan bakuan estetika, aspirasi budaya, dan tatanan sosial yang berkehidupan.
( Sachari, 1999: 62-63).
Di Indonesia pengembangan desain diawali dengan membentuk ‘Design Center’ oleh
Fakultas perencanaan dan sipil Institut Teknologi Bandung tahun 1968 dan pada waktu itu
diperkenalkan dalam expo 70 di Osaka Jepang. (Gunawan, 1986; 68). Rintisan yang telah
dilakukan ini dapat menyakinkan pemerintah untuk menggalakan kesadaran desain secara
lebih luas lagi di Indonesia. Sebelumnya pada tanggal 1 Agustus 1947, pendidikan
menggambar diresmikan dengan nama Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar, bernaung
di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik, universitas Indonesia. Kemudian, atas inisiatif
Sjafei Soemardjo, pada tahun 1950 diusahakan memperjelas status balai tersebut apakah
menjadi Akademi Seni Rupa yang berdiri sendiri, atau di lepas dari fakultas teknik dan
menjadi embrio Universitas Kesenian Indonesia. (Sachari .dan Yan, 2001; 63)
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan ASEAN sebagai wadah
pemersatu Bangsa-bangsa Asia Tenggara tahun 1976, oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai penyelenggaranya , salah satu keputusan penting yang dikeluarkan
adalah suatu saran agar setiap anggota ASEAN memiliki dan mendirikan pusat pengembangan
Desain dan Kerajinan (Sachari, 1986; 69).
Dengan adanya kegiatan-kegiatan yang berkisar pada masalah-masalah desain dengan
berbagai aspek, dalam sebuah lokakarya munculah gagasan untuk membentuk sebuah
organisasi yang pada waktu itu diberi nama IADI (Ikatan Ahli Desain Indonesia) (Gunawan,
1986;68). Munculnya organisasi IADI merupakan manifestasi dari kehadiran profesi desain di
Indonesia, dan terbentuknya timbulnya oleh kesadaran akan tanggung jawab profesi para ahli
desain Indonesia. Dan untuk ikut membantu mengatasi negara yang sedang berusaha
menaikan taraf hidup bangsanya sampai pada garis kelayakan hidup yang sesuai dengan
derajat martabat manusia.
Pada kekinian jika ditelisik di dunia internet pada website http://evaluasi.or.id yang
diakses pada tanggal 26 Januari 2006, maka akan dapat ditemui 107 institusi pengelola desain
baik pada Universitas, Institut, Sekolah dan Akademi, yang tersebar dari Palangkaraya,
Makasar, Denpasar dan kota-kota besar di pulau Jawa. Bahkan ada di antaranya ada yang
sudah berbentuk Fakultas Desain dan Akademi Desain dan membawahi jurusan Produk,
Komunikasi Visual, Interior dan Pertamanan.
2.2. Batas dan Ciri Keilmuan Desain Universal.
Desain merupakan suatu proses pemecahan masalah pada komponen-komponen fisik
dari suatu struktur fisik (secara sistemik) untuk mencapai kesesuaian suatu tujuan. Dan
permasalahan di sini bukan hanya untuk mencapai nilai benar salah, tetapi sesuai atau tidak
sesuai, tepat atau tidak tepat. (Subarniati, 2001; 8).
Lebih lanjut dikatakan bahwa desain itu merupakan pemilihan dan penggabungan
bahan-bahan untuk dapat mencapai suatu akibat yang diinginkan. Proses penyusunan tersebut
dengan memakai unsur-unsur seni visual seperti: garis, bentuk, ruang, cahaya, warna, tekstur,
untuk mewujudkan tujuan tertentu. Dalam Penerapan metode ilmiah Beer berpendapat bahwa
dalam penyusunan atau proses pengambilan keputusan yang secara sadar. Keinginan untuk
meningkatkan kebenaran (validitas) kebijaksanaan yang berhubungan dengan situasi
lingkungan masa kini dan masa depan. (Subarniati, 2001; 9).
Tetapi pada saat kita dihadapkan kepada kegiatan desain yang cukup kompleks,
metode-metode terasa menjadi penting dan hal itulah kemudian desain berkembang menjadi
ilmu pengetahuan baru yang harus mampu mengolah dan menjabarkan berbagai masalah
kearah hal yang sistematis untuk kemudian dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan ilmiah.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa batas dan ciri keilmuan desain
Universal dapat dilihat dari aspek ontologis, yaitu pokok persoalan yang dibahas bersifat
empiris dapat diamati berdasarkan penalaran yang dapat dijangkau manusia. Secara
epistemologis desain menggunakan metode ilmiah dan dilihat dari lingkup pekerjaan
merupakan integrasi dari kegiatan sains kemudian juga teknologi dan seni rupa (aksiologis).
Dengan demikian desain memenuhi syarat ilmiah sebagai ilmu.
2.3. Batas dan Ciri Keilmuan Spesifik Desain.
Pada perkembangan ilmu di manapun akan terjadi usaha pendalaman ke arah hal-hal
yang khusus. Ilmu itu mengalami tahap spesialisasi dalam dimensinya masing-masing, Ketika
setiap kegiatan memerlukan penanganan secara profesional dan mendalam sama seperti halnya
pada ilmu desain yang pada saat ini juga mengalami proses pendalaman atau spesialisasi.
Dibandingkan pada jaman revolusi dahulu, di mana seseorang desainer kadang-kadang bisa
merangkap sebagai ahli teknik atau pemborong atau pelaksana, dan sekaligus bertindak
sebagai ahli ekonomi, ahli material dan bentuk yang lainnya.
Dilihat dari ontologinya bahwa istilah desain berasal dari Bahasa Prancis, dessiner
yang berarti menggambar kadang juga diartikan dalam pengertian perancangan. (Yustiono,
1986; 22). Dalam hal ini bahwa apa yang kita sebut bidang desain meliputi cara penanganan
berbagai bidang seperti: seni, kerajinan, teknologi bahkan yang lebih luas meliputi ilmu
kemasyarakatan dan peningkatan taraf hidup. Hingga sejauh ini batasan yang kiranya
mendekati dapat kita temui pada pendapat Profesor Bruce Archer (1977) beliau mengartikan
kata “Design” dengan huruf kapital D, dalam cara yang sama sebagaimana “Science” dengan
kapital S. Dalam hal ini, istilah itu menunjukan adanya sikap kegiatan dan pengetahuan
manusia terhadap lingkungannya dalam rangka menemukan kebutuhan material dan spiritual.
Sedangkan beberapa ahli berikut mengartikan desain sebagai berikut:
Bruce Acher, 1965: Suatu aktivitas pemecahan masalah yang diarahkan pada tujuan (Goal).
Desain merupakan suatu aktivitas pemecahan masalah atau cara, sedangkan yang dipecahkan
adalah elemen-elemen dan diarahkan pada kesesuaian tujuan.
Beer, 1966 dan Quode, 1968: Penerapan metode ilmiah terhadap penyusunan atau proses
pengambilan keputusan; Secara sadar meningkatkan kebenaran kebijaksanaan yang
berhubungan dengan situasi lingkungan masa kini dan masa depan; Prosesnya melibatkan
ilmuwan sebagai penasehat dan pembuat keputusan sehingga terbentuk hasil perancangan;
Keterikatan antara saran-saran ilmiah, keputusan dan kebijaksaan;
Maria Evans, 1973: Pemilihan dan penggabungan bahan-bahan untuk mencapai suatu akibat
yang diinginkan; Proses penyusunan dengan memakai unsur-unsur seni visual seperti: garis
bentuk, ruang, cahaya, warna , tekstur, untuk mewujudkan tujuan tertentu
J. Christoper Jones, 1978: Penyelesaian, memecahan yang optimal terhadap sejumlah
kebutuhan dalam kerangka kondisi khusus; Proses perancanagan yang mengakibatkan
perintisan perubahan-perubahan benda kesatuan manusia;
William Pena at all, 1989; Merupakan sebuah sintesa dari penyusunan sintesis yang dapat
menjadi penerangan, wawasan dari pemecahan masalah; Program analisis atau gerak analisis
dari proses menjawab masalah; Adanya masalah merupakan batas antara penyususan program
dengan perancangan, sebab pernyataan masalah menjadi salah satu dokumen terpenting dalam
rantai keseluruhan proyek perancangan.
Desain muncul di kota-kota besar karena adanya keinginan mendasar manusia akan
kemudahan, keamanan, kenyamanan dan keindahan. Keamanan baik dalam penggunaan
seluruh elemen desain ataupun keamanan dalam arti sesungguhnya. Kenyamanan dan
keindahan tidak hanya berhubungan dengan lukisan saja, tetapi berhubungan dengan tempat
tinggal, unsur-unsur seni visual, ergonomi, sosial budaya dan lingkungan sangat mendapat
perhatian sehingga dalam desain faktor manusia sebagai pemakai sangat diperhitungkan.
Desain terletak di antara seni, ilmu dan teknologi, jika dibandingkan dengan Obyek telaah
Desain adalah hubungan manusia dengan hasil desain yang aman, nyaman dan indah, sesuai
dengan sosial budaya dan lingkungan yang ada dan semuanya dapat ditangkap dan dijangkau
lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan pancaindra.
Secara epistemologi, desain mempunyai metode yang rasional sebagaimana yang telah
diuraikan oleh Papper, bahwa ilmu pengetahuan hanya suatu hipotesis, selama hipotesis itu
berpeluang dengan kesalahan ilmu berkembang dan disem-purnakan. Seperti pendapat Jones
(1978), bahwa ada dua cara seorang desainer dalam memecahkan masalah.
a.
Model black-Box.
Model ini berkeyakinan bahwa proses desain yang paling utama sebenarnya terletak di
dalam proses berpikir melalui tukar pikiran secara bebas kemudian di transformasikan
secara sistematis. Proses berpikir itu dapat pula dilakukan secara sintetik dengan mengkaji
permasalahan sebagai umpan, kemudian menganalogikan secara sistematis dalam blackbox keluaran yang dihasilkan dengan cara itu telah diolah berdasarkan perjalanan.
b.
Model Glass-Box.
Model ini berkenyakinan bahwa proses desain dapat dilakukan secara rasional dan
sistematis. Seperti halnya sebuah komputer, otak menerima umpan permasalahan,
kemudian mengkaji secara terencana, analitis, sintetis dan evaluatif sehingga kita akan
mendapatkan optimasi pemecahan yang mungkin dilakukan. Beberapa kateristik metode
glass-box adalah: Sasaran, variable, dan kriteria ditetapkan sebelumnya; Mengadakan
analisis sebelum melakukan pemecahan masalah; Mencoba mensintesiskan hal-hal yang di
dapat secara sistematis; Mengevaluasi secara logis (kebalikan dari eksperimental).
(Sachari , 1999;20-30).
Desain merupakan suatu aktivitas pemecahan masalah atau cara, sedangkan yang
dipecahkan adalah elemen-elemen dan diarahkan pada kesesuaian tujuan (Goal). Penerapan
metode ilmiah terhadap penyusunan atau proses pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan situasi lingkungan masa kini dan masa depan. Proses perancanagan yang
mengakibatkan perubahan-perubahan secara menyeluruh dalam suatu desain di mana manusia
termasuk di dalamnya, proses tersebut melibatkan ilmuwan sebagai penasehat, pembuat
keputusan dan dengan memakai unsur-unsur seni visual seperti: garis bentuk, ruang, cahaya,
warna, tekstur sehingga terbentuk suatu desain. Dalam proses perancangannya dilaksanakan
pemilihan dan penggabungan bahan-bahan untuk mencapai suatu yang diinginkan.
Pememecahan masalah yang diinginkan adalah optimalisasi terhadap sejumlah kebutuhan
dalam kerangka kondisi yang diinginkan.
Dalam mendesain meliputi tema umum dengan mempertimbangkan aktifitas yang
terjadi, sehingga wujud desain akan serasi dengan unsur-unsur lain (garis s/d warna dan lainlain yang merupakan unsur-unsur elementer) dan nilai yang terkait dalam lingkungan
keberadaannya seperti: ergonomi, fungsional dan balance. Semua itu merupakan jawaban atas
kebutuhan manusia sehingga dapat sesuai dengan tututan aktifitas dan tatanan kehidupan yang
berakibat pada peningkatan kehidupan.
Jones (1978) juga menyatakan, bahwa proses awal yang penting dari desain adalah
proses analitik yang dimulai dengan observasi objektif dan induktif yang di dalamnya juga
termasuk dan terlibat proses-proses kreatif, kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya subyektif
dan proses deduktif. Jika simpulan terhadap suatu masalah sudah dihasilkan, maka dilanjutkan
dengan alternatif desain, gambar-gambar, rencana kerja, maket dan lain-lain.
Secara skema dapat digambarkan sebagai berikut.
Tahap
Observasi
Analitik
Pengukuran
PROYEK
proses
induktif
PENGUMPULAN
DATA
EVALUASI
ANALISA
Tahap Kreativ
ALTERNATIF
SINTESA
KEPUTUSAN
PENGEMBANGAN
Tahap akhir
proses
deduktif
MOCK UP
PERWUJUDAN
DESAIN
Sumber: J Christopher Jones, 1978, Design Methods, Seeds of human future, London: John
Wiley & Sons Ltd
Pendapat Bryan Lawson juga sejalan dengan Jones. Ia berpendapat bahwa proses
analisis-sintesis-evaluasi penting dilakukan dalam proses desain. Namun, Lawson secara
Spesifik lebih menekankan aspek umpan balik (feed back) dalam setiap langkah berpikir.
Demikian juga dengan Bruce Archer secara lebih terinci mengungkapkan bahwa proses nalar
induktif secara lebih luas harus diterapkan pada tahap awal proses mendisain. Sementara itu,
nalar deduktif untuk ditekankan pada tahap analisis-sintesis desain. (Sachari, 1999; 30).
Jika pada pra-revolusi industri desain terlahir dari kebutuhan untuk memperindah suatu
barang atau meningkatkan bentuk visual suatu produk, maka kini desain itu ditarik lagi lebih
ke dalam; yaitu sebagai proyeksi pemecahan masalah dari kebutuhan fisik manusia.
Berdasarkan hal itu dalam pendidikan tinggi desain di Institut Seni Indonesia Denpasar
misalnya berkembang menjadi satu bagian keilmuan tersendiri, Ilmu empiris, ilmu yang tidak
cukup hanya didasarkan logika semata, tetapi juga melandasi ke budaya riset dan pembuktian
kemudian tahap perkembangan ilmu itu sementara ini memecah menjadi dua kelompok besar:
Desain Komunikasi Visual dan Desain Interior. Tapi di Indonesia sudah terdapat dalam empat
kelompok besar seperti di ITB ada Desain Tekstil, dan Desain Produk.
Sedangkan bidang arsitektur tidak termasuk ke dalam seni rupa dan desain, mungkin
terasa agak janggal ini dikarenakan profesi arsitek dirasa sangat kokoh. Tapi rasanya sangat
mengagetkan ketika adanya desain interior dan arsitektur pertamanan yang kemungkinan
merupakan pecahan dari bidang arsitektur, justru sekarang bidang tersebut berdiri di luar kubu
pendidikan arsitektur.
Dalam perkembangan berikutnya, istilah seni rupa dilengkapi menjadi seni rupa murni
(seni murni), desain grafis menjadi Desain Komunikasi Visual, Desain Tekstil menjadi Kria
Tekstil, Desain Interior dan Desain Pertamanan. Pergeseran pengertian dan lingkup inilah
yang menjadi titik tolak perkembangan desain di Indonesia, yaitu (1) desain dalam lingkup
gambar (termasuk melukis, menggambar, dan menggambar bangunan), (2) desain dalam
lingkup gaya seni (aspek estetis), (3) desain dalam lingkup seni rupa (termasuk pendidikan
seni rupa dan Kerajinan), dan (4) desain dalam lingkup ketehnikan (karya teknologis).
(Sachari dan Yan, 2001; 19)
Konsekwensi perkembangan profesi dan perkembangan ilmu adalah spesialisasi dan
interdisipliner menjadi tak terhindarkan sehingga tercipta hasil desain yang bersifat holistik.
Seorang desainer tak dapat bekerja sendiri untuk memecahkan masalah, ia memerlukan
bantuan konsultasi dari ahli ekonomi, kontruksi, ergonomi, mekanikal dan elektrikal,
pemipaan, manajemen dan lain-lain. Sehingga dengan demikian perkembangan ilmu yang
membentuk kerangka profesinya juga harus menjembati kerja interdisipliner tersebut.
Secara Aksiologi, hasil penelitian desain bermanfaat baik secara akademis untuk
kemajuan pengembangan teori dan metode desain maupun secara praktis untuk membantu
mengindentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan mencoba menaggulangi
dengan memberikan rekomendasi, serta menciptakan inovasi yang dapat memberikan
kenyamanan maupun ketenangan bagi masyarakat.
Desain bertujuan untuk menyesuaikan antara hasil desain dengan manusia sebagai
pemakainya dengan menyadari kelebihan keterbatasan serta kemampuan yang dimilikinya.
Dalam penyesuaian ini unsur-unsur kelebihan dan keterbatasan serta kemampuan manusia
dijadikan acuan, kemudian dipadupadankan dengan unsur-unsur seni dan teknologi untuk
mencapai keamanan, kenyaman dan keindahan. Dilihat jauh ke depan bahwa dengan desain
mampu meningkatkan efisiensi, produkvitas dan kwalitas hidup manusia. Untuk bisa
mewujudkan hal tersebut dalam program pendidikan telah dirancang sedemikian rupa,
sehingga unsur-unsur norma, etika, kepribadian dan moral telah menjadi satu kesatuan yang
sangat utuh serta sesuai dengan toksonomi tujuan pendidikan yang menyesuaikan antara
kemampuan cognitif, psychomotoric dan affective. Serta lebih jauh dikembangkan menjadi
sebuah kurikulum yang berbasis kompetensi dengan elemem-elemen: kepribadian; penguasaan
ilmu dan keterampilan; kemampuan berkarya; sikap dan perilaku dalam berkarya menurut
tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai; pemehaman kaidah
berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya (LP3 Unud,
2004)
Sehingga dengan Desain, orang-orang yang mempelajarinya memiliki kepribadian,
keilmuan dan ketrampilan, ahli dalam berkarya, memiliki prilaku dalam berkarya dan mampu
hidup dan bekerja bersama-sam dalam masyarakat.
3.PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Batas dan ciri keilmuan Universal Desain pada hakekatnya dapat dilihat dari
karakteristik desain sebagai ilmu yang secara ontologis memiliki objek bersifat empirik
yang dapat diamati dan diteliti, yaitu masyarakat serta lingkungannya. Sedangkan
aspek epistemologis dapat dilihat dari sifat desain yang teoritik berdasarkan metode
ilmiah. Aspek Aksiologisnya, desain mengikuti serta mematuhi etika dan norma yang
ada, memberikan pengertian-pengertian umum, rational dan empiris tentang kebutuhan
masyarakat.
2. Batas dan ciri keilmuan Spesifik desain dapat dilihat bahwa desain memiliki kekhasan
sebagai ilmu yang multi guna, secara ontologis objek materi desain adalah sikap
kegiatan dan pengetahuan manusia terhadap lingkungannya dalam rangka menemukan
kebutuhan material dan spiritual. Secara epistemologi, desain mempunyai metode yang
rasional, jelas dan tersistimatis. Aspek Aksiologisnya adalah secara teoritis (akademis)
memperkaya khasanah keilmuan desain, baik untuk Penyempurnaan teori, metodelogi
dan secara empiris, mengindefikasi masalah-masalah di masyarakat dan mencoba
menanggulangi dengan memberikan inovasi, dilandasi sikap netral moral sebagai
ilmuwan.
3. Desain patut dikembangkan menjadi institusi yang lebih besar seperti Fakultas Desain,
yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat, memiliki obyek yang jelas, serta patuh
terhadap norma serta etika yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Sachari Agus. 1986. Paradigma Desain Indonesia, Jakarta: CV Rajawali.
Sachari Agus dan Sunarya Yan Yan. 1999. Modernisme, Sebuah Tinjauan
Historis, Desain Modern, Jakarta; Balai Pustaka.
Sachari Agus dan Yan Yan. Sunarya 2001. Desain dan dunia Kesenirupaan
Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya, Bandung; ITB.
Subarmiati,W. , 2001. Disain Interior, Denpasar: Seni Rupa, Unud.
Suriasumantri, Jujun S. 1991. Filsafat Ilmu.
Taryadi Alfons. 1991. Epostemologi Pemecahan Masalah Menurut
Karl.R.Popper. Jakarta PT; Gramedia.
Bakhtiar Amsal, 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Jujun S. Suriasumantri 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada).
Jones J. Christopher 1978, Design Methods, Seeds of Human Future, London:
John Wiley & Sons Ltd
LP3 Unud, 2004, Makalah; Pendekatan Terapan AA (Applied Approach).
Denpasar: LP3 Unud.
DITINJAU DARI FILSAFAT ILMU
I N Artayasa
AA Gde Bgs Udayana
Jurusan Desain FSRD ISI Denpasar
Abstrak
Desain berasal dari bahasa inggris yang artinya perancangan, rancang, desain, bangun.
Sedangkan merancang artinya mengatur segala sesuatu sebelum bertindak, mengerjakan atau
melakukan sesuatu dan perancangan artinya proses, cara, berbuatan, perbuatan merancang.
Desain suatu karya yang pada dasarnya lahir dari berbagai pertimbangan pikir, gagasan, rasa,
dan jiwa penciptanya (internal), yang didukung oleh faktor eksternal, hasil penemuan dari
berbagai bidang ilmu, teknologi, ergonomi, lingkungan, sosial, budaya, estetika, ekonomi, dan
politik, serta segala perkembangannya di masa depan. Sejarah perkembangan desain yang
secara tegas, ini bisa dikatakan bermula dari revolusi industri di Eropa. Desain modern tetap
tidak terlepas di sekitar lahirnya revolusi industri, disaat manusia mempunyai kekuatan untuk
mencipta mesin. Dengan mesin, produk-produk yang tadinya dikerjakan oleh tangan menjadi
jauh lebih presisi dan massal. Gerakan Bauhaus dianggap sebagai titik penting perkembangan
desain modern selanjutnya, karena dianggap berhasil memadukan antara seni rupa dengan
industri secara harmonis. Dari gerakan Bauhaus inilah mulai dikenal profesi ‘industrial design’
yang dianggap cukup berperan dalam era pertumbuhan industri dunia kemudian hari. Di
Indonesia pengembangan desain diawali dengan membentuk ‘Design Center’ oleh Fakultas
perencanaan dan sipil Institut Teknologi Bandung tahun 1968 dan pada waktu itu
diperkenalkan dalam expo 70 di Osaka Jepang. Pada kekinian yang ditelisik dari dunia
internet, maka akan dapat ditemui 107 institusi pengelola desain baik pada Universitas,
Institut, Sekolah dan Akademi. Dilihat dari ontologinya bahwa istilah desain berasal dari
Bahasa Prancis, dessiner yang berarti menggambar kadang juga diartikan dalam pengertian
perancangan. Secara epistemologi, desain mempunyai metode yang rasional, sistematis dan
terencana. Dari sisi aksiologi, hasil penelitian desain bermanfaat baik secara akademis untuk
kemajuan pengembangan teori dan metode desain maupun secara praktis untuk membantu
mengindentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan mencoba menaggulangi
dengan memberikan rekomendasi, serta menciptakan inovasi yang dapat memberikan
kenyamanan maupun ketenangan bagi masyarakat. Pada akhirnya Desain patut dikembangkan
menjadi sebuah institusi yang lebih besar seperti misalnya sebuah Fakultas, yang didasarkan
atas kebutuhan masyarakat, memiliki obyek yang jelas, serta patuh terhadap norma serta etika
yang ada
Kata kunci: Desain, ontologis, aksiologis dan epistemologis
DESAIN MENUJU SEBUAH PERKEMBANGAN
DITINJAU DARI FILSAFAT ILMU
nymn Artayasa
AA Gde Bgs Udayana
Jurusan Desain FSRD ISI Denpasar
1. Pendahuluan
Desain berasal dari bahasa inggris yang artinya perancangan, rancang, desain, bangun.
Sedangkan merancang artinya mengatur segala sesuatu sebelum bertindak, mengerjakan atau
melakukan sesuatu dan perancangan artinya proses, cara, berbuatan, perbuatan merancang.
Dapat disimpulkan arti kata desain adalah proses – cara – perbuatan dengan mengatur segala
sesuatu sebelum bertindak atau merancang.
Bagi sebagian besar penduduk Indonesia penggunaan istilah desain masih berupa kata
asing yang sulit untuk dicerna. Tapi sebagian dari kegiatan desain barangkali sudah akrab
dengan masyarakat, seperti istilah yang dipakai pada: kata menata, merancang, menempa,
mengukir, merencana, menggambar, membangun dan lain-lain. Demikian juga dengan istilah
desain, seperti pada desain: pakian, motor, televisi, rumah, kursi, interior, grafis dan lain-lain.
Hanya istilah desain seperti itu belum diterima sepenuhnya sebagai ilmu-ilmu formal, itu
dikarenakan pengembangan ilmu desain sendiri masih relatif muda. Maka wajarlah jika
pemahaman tentang desain baru terbatas kepada hal-hal yang tertentu saja.
Mengetahui hasil Desain tidak cukup hanya dilihat sebagai suatu karya desain dalam
bentuk barang mati saja, tapi harus dikupas secara terpadu dari segi nilai-nilai budaya maupun
sosial, serta ekonomi yang menyertainya. Desain suatu karya pada dasarnya lahir dari berbagai
pertimbangan pikir, gagasan, rasa, dan jiwa penciptanya (internal), yang didukung oleh faktor
eksternal, hasil penemuan dari berbagai bidang ilmu, teknologi, ergonomi, lingkungan, sosial,
budaya, estetika, ekonomi, dan politik, serta segala perkembangannya.
Desain harus disadari sebagai patner teknologi dalam menghadapi persoalan-persoalan
yang ada, dan agar dapat membangun wawasan yang luas, seorang desainer harus ditopang
minimal oleh lima demensi keilmuan lain yaitu, seperti:
a. Wawasan Teknologi: terutama teknologi, mekanik, teknologi produksi, teknologi
bahan, ergonomi dan wawasan ilmu-ilmu enjinering; sehingga dengan demikian
seorang desainer diharapkan mempunyai pemahaman ke arah sistem industri, bahan
dan proses, manajemen, kesadaran akan kelebihan dan keterbatasan manusia sebagai
pemakai dan ketrampilan teknis.
b. Wawasan Sains; terutama fisika, metodelogi riset, logika matematika; sehingga dengan
demikian seorang desainer diharapkan mempunyai tanggungjawaban ilmiah yang
tinggi serta mampu merumuskan persoalan yang dihadapi secara sistematis.
c. Wawasan Seni; terutama seni rupa; dengan harapan seorang desainer akan mempunyai
pemahaman estetika dan kreatifitas yang tinggi
d. Wawasan Sosial dan Budaya; terutama sosiologi, psikologi, ekonomi, komunikasi,
antropologi, dengan harapan membuka seorang desainer ke arah wawasan budaya,
sejarah persoalan sosial dan permasalahan manusia lainnya.
e. Wawasan Filsafat dan Etika; terutama Filsafat seni dan desain; dengan harapan
membangun pola pikir mendalam yang dilandasi oleh sikap etis yang tinggi. (Sachari :
1986: 15-16).
1.2. Pokok Bahasan.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang desain, yang pada saat ini sangat diperlukan
oleh masyarakat, memliki obyek dan jelas serta menerapkan etika-etika dan norma yang ada.
Tujuan kajian pendekatan ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh desain dikatakan
sebagai disiplin ilmu dan layak dikembangkan, melalui pendekatan filsafat
1.3. Ciri-Ciri Keilmuan.
Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang suatu
obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu adalah bagian dari pengetahuan
yang diketahui oleh manusia. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan. Sebab pengetahuan merupakan
sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Jadi pada
hakekatnya diharapkan jawaban yang benar, dan bukan sekedar jawaban yang bersifat
sembarang saja. Lalu timbulah masalah, bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar?
Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi, dan landasan epistemologi
ilmu disebut metode ilmiah. (Jujun, 1991; 104-105). Dalam pada itu, juga ditegaskan bahwa
epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah, dengan alasan bahwa studi pertumbuhan
pengetahuan ilmiah merupakan jalan paling bermanfaat untuk mempelajari pertumbuhan
pengetahuan pada umumnya, sebab pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan manusia seharihari yang tertulis. (Papper: 1989: 25).
Setiap jenis pengetahuan dibatasi dan dicirikan oleh apa yang dicoba diketahui,
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate realty baik yang berbentuk
jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak, (Bakhtiar, 2005) mengkaji asas-asas dan
menjelaskan hakikat keberadaan atau kenyataan (ontologi).
Bagaimana cara memproses tubuh pengetahuan yang disusun, darimana atau dengan
bahasa akademis bagaimana kurikulum dari sebuah program studi/jurusan/ fakultas dibentuk,
dan bagaimana mendapatkan, sumber-sumber, hakikat, jangkauan, ruang lingkup pengetahuan
dan kemungkinan untuk mendapatkan, seberapa besar pengetahuan bisa didapatkan. (Jujun,
2005) (Epistemologi).
Dan untuk apa, serta apa kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh serta pengetahuan
tersebut disusun (aksiologi). (Jujun, 2005; Bakhtiar, 2005) Ketiga landasan ini saling
berkaitan; jadi ontology terkait dengan epistemologi dan epistemologi terkait dengan aksiologi
dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi, maka hal ini harus dikaitkan
dengan ontologi dan aksiologi ilmu. (Jujun S; 1991; 105).
2. Desain Sebagai Disiplin Ilmu yang Patut Dikembangkan
2.1. Sejarah Perkembangan Desain.
Sejarah perkembangan desain yang secara tegas, ini bisa dikatakan bermula dari
revolusi industri di Eropa. Meskipun sebenarnya dasar perkembangan desain adalah juga
ditentukan oleh pertumbuhan seni rupa dan kerajinan sejak manusia ada di muka bumi ini.
Tetapi tahap terpenting adalah tetap pada era revolusi industri itu. Misalnya; Bockus yang
memulai pada jaman Renaissance; Ketika Leonardo Da Vinci mulai mengadakan penjajahan
ke arah perkawinan antara kemampuan teknis yang tinggi dengan kemampuan artistik.
Leonardo melanjutkan kesadaran dari Benyamin Franklin untuk menggabungkan antara
bentuk dan fungsi. Lain halnya dengan Mayal justru memperluas arti desain yaitu bahwa
desain bermula dari kesadaran manusia membuat alat. (Sachari, 1986: 130-131).
Tetapi Desain modern tetap tidak terlepas di sekitar lahirnya revolusi industri, disaat
manusia mempunyai kekuatan untuk mencipta mesin. Dengan mesin, produk-produk yang
tadinya dikerjakan oleh tangan menjadi jauh lebih presisi dan massal. Pada tahun 1847 Sir
Henry Cole dengan lantang berkata: bahwa kemampuan mekanis haruslah dikawinkan dengan
kemampuan artistic yang tinggi. Selanjutnya sebagai puncak gerakan ketidak puasan
masyarakat karena industrialisasi dan dehumanisasi yang terus menerus tersebut, menyeburlah
ke permukaan gerakan Bauhaus pada tahun 1919 di Weimar-Jerman. Gerakan ini dianggap
sebagai titik penting perkembangan desain modern selanjutnya, karena dianggap berhasil
memadukan antara seni rupa dengan industri secara harmonis . Dari gerakan Bauhaus inilah
mulai dikenal profesi ‘industrial design’ yang dianggap cukup berperan dalam era
pertumbuhan industri dunia kemudian hari. (Sachari, 1986: 131).
Gerakan ini diwujudkan dengan berdirinya Bauhaus yang dipimpin oleh Walter
gropius. Prinsip dasar pendidikannya adalah memadukan semua ilmu pendukung desain, seni,
ketrampilan, dan teknik. Tenaga pengajarnya umumnya adalah seniman “pembaharuan” yang
beraliran kubisme dan konstruktivisme; seperti wassily kandinsky, Josef albers, dan paul klee.
(Sachari, 1999; 86-87).
Friendrich Naumann, kritikus seni pada waktu itu dalam tulisannya mengungkapkan
bahwa dalam dunia industri perlu penggabungan yang selaras antara seniman, produsen, dan
penjual. Secara tegas, ia menyatakan bahwa adanya usaha untuk memproduksi karya secara
besar-besaran harus disusul dengan usaha mencari nilai estetika baru. Tanpa hal itu, berarti
kita menyia-nyiakan peradaban mesin yang berkembang. Untuk itu nilai estetika yang ada
perlu disempurnakan, sedangkan karya mesin perlu diberi roh sebagai pembimbing selera
masyarakat. (Sachari, 1999: 59).
Pada babak ini ditandai dengan munculnya gagasan untuk meninggalkan ornamen
dengan cara memadukan unsur estetika dan rekayasa. Pada masa ini didirikan Deutsche
Werkbund di Jerman, sebagai lembaga budaya yang bertujuan meningkatkan kerja profesional
melalui keselarasan antara seni, industri, dan ketrampilan. Hal ini dinyakini dapat
meningkatkan kwalitas melalui pendidikan yang bersikap menyelesaikan segala permasalahan
dengan menciptakan bakuan estetika, aspirasi budaya, dan tatanan sosial yang berkehidupan.
( Sachari, 1999: 62-63).
Di Indonesia pengembangan desain diawali dengan membentuk ‘Design Center’ oleh
Fakultas perencanaan dan sipil Institut Teknologi Bandung tahun 1968 dan pada waktu itu
diperkenalkan dalam expo 70 di Osaka Jepang. (Gunawan, 1986; 68). Rintisan yang telah
dilakukan ini dapat menyakinkan pemerintah untuk menggalakan kesadaran desain secara
lebih luas lagi di Indonesia. Sebelumnya pada tanggal 1 Agustus 1947, pendidikan
menggambar diresmikan dengan nama Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar, bernaung
di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik, universitas Indonesia. Kemudian, atas inisiatif
Sjafei Soemardjo, pada tahun 1950 diusahakan memperjelas status balai tersebut apakah
menjadi Akademi Seni Rupa yang berdiri sendiri, atau di lepas dari fakultas teknik dan
menjadi embrio Universitas Kesenian Indonesia. (Sachari .dan Yan, 2001; 63)
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan ASEAN sebagai wadah
pemersatu Bangsa-bangsa Asia Tenggara tahun 1976, oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai penyelenggaranya , salah satu keputusan penting yang dikeluarkan
adalah suatu saran agar setiap anggota ASEAN memiliki dan mendirikan pusat pengembangan
Desain dan Kerajinan (Sachari, 1986; 69).
Dengan adanya kegiatan-kegiatan yang berkisar pada masalah-masalah desain dengan
berbagai aspek, dalam sebuah lokakarya munculah gagasan untuk membentuk sebuah
organisasi yang pada waktu itu diberi nama IADI (Ikatan Ahli Desain Indonesia) (Gunawan,
1986;68). Munculnya organisasi IADI merupakan manifestasi dari kehadiran profesi desain di
Indonesia, dan terbentuknya timbulnya oleh kesadaran akan tanggung jawab profesi para ahli
desain Indonesia. Dan untuk ikut membantu mengatasi negara yang sedang berusaha
menaikan taraf hidup bangsanya sampai pada garis kelayakan hidup yang sesuai dengan
derajat martabat manusia.
Pada kekinian jika ditelisik di dunia internet pada website http://evaluasi.or.id yang
diakses pada tanggal 26 Januari 2006, maka akan dapat ditemui 107 institusi pengelola desain
baik pada Universitas, Institut, Sekolah dan Akademi, yang tersebar dari Palangkaraya,
Makasar, Denpasar dan kota-kota besar di pulau Jawa. Bahkan ada di antaranya ada yang
sudah berbentuk Fakultas Desain dan Akademi Desain dan membawahi jurusan Produk,
Komunikasi Visual, Interior dan Pertamanan.
2.2. Batas dan Ciri Keilmuan Desain Universal.
Desain merupakan suatu proses pemecahan masalah pada komponen-komponen fisik
dari suatu struktur fisik (secara sistemik) untuk mencapai kesesuaian suatu tujuan. Dan
permasalahan di sini bukan hanya untuk mencapai nilai benar salah, tetapi sesuai atau tidak
sesuai, tepat atau tidak tepat. (Subarniati, 2001; 8).
Lebih lanjut dikatakan bahwa desain itu merupakan pemilihan dan penggabungan
bahan-bahan untuk dapat mencapai suatu akibat yang diinginkan. Proses penyusunan tersebut
dengan memakai unsur-unsur seni visual seperti: garis, bentuk, ruang, cahaya, warna, tekstur,
untuk mewujudkan tujuan tertentu. Dalam Penerapan metode ilmiah Beer berpendapat bahwa
dalam penyusunan atau proses pengambilan keputusan yang secara sadar. Keinginan untuk
meningkatkan kebenaran (validitas) kebijaksanaan yang berhubungan dengan situasi
lingkungan masa kini dan masa depan. (Subarniati, 2001; 9).
Tetapi pada saat kita dihadapkan kepada kegiatan desain yang cukup kompleks,
metode-metode terasa menjadi penting dan hal itulah kemudian desain berkembang menjadi
ilmu pengetahuan baru yang harus mampu mengolah dan menjabarkan berbagai masalah
kearah hal yang sistematis untuk kemudian dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan ilmiah.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa batas dan ciri keilmuan desain
Universal dapat dilihat dari aspek ontologis, yaitu pokok persoalan yang dibahas bersifat
empiris dapat diamati berdasarkan penalaran yang dapat dijangkau manusia. Secara
epistemologis desain menggunakan metode ilmiah dan dilihat dari lingkup pekerjaan
merupakan integrasi dari kegiatan sains kemudian juga teknologi dan seni rupa (aksiologis).
Dengan demikian desain memenuhi syarat ilmiah sebagai ilmu.
2.3. Batas dan Ciri Keilmuan Spesifik Desain.
Pada perkembangan ilmu di manapun akan terjadi usaha pendalaman ke arah hal-hal
yang khusus. Ilmu itu mengalami tahap spesialisasi dalam dimensinya masing-masing, Ketika
setiap kegiatan memerlukan penanganan secara profesional dan mendalam sama seperti halnya
pada ilmu desain yang pada saat ini juga mengalami proses pendalaman atau spesialisasi.
Dibandingkan pada jaman revolusi dahulu, di mana seseorang desainer kadang-kadang bisa
merangkap sebagai ahli teknik atau pemborong atau pelaksana, dan sekaligus bertindak
sebagai ahli ekonomi, ahli material dan bentuk yang lainnya.
Dilihat dari ontologinya bahwa istilah desain berasal dari Bahasa Prancis, dessiner
yang berarti menggambar kadang juga diartikan dalam pengertian perancangan. (Yustiono,
1986; 22). Dalam hal ini bahwa apa yang kita sebut bidang desain meliputi cara penanganan
berbagai bidang seperti: seni, kerajinan, teknologi bahkan yang lebih luas meliputi ilmu
kemasyarakatan dan peningkatan taraf hidup. Hingga sejauh ini batasan yang kiranya
mendekati dapat kita temui pada pendapat Profesor Bruce Archer (1977) beliau mengartikan
kata “Design” dengan huruf kapital D, dalam cara yang sama sebagaimana “Science” dengan
kapital S. Dalam hal ini, istilah itu menunjukan adanya sikap kegiatan dan pengetahuan
manusia terhadap lingkungannya dalam rangka menemukan kebutuhan material dan spiritual.
Sedangkan beberapa ahli berikut mengartikan desain sebagai berikut:
Bruce Acher, 1965: Suatu aktivitas pemecahan masalah yang diarahkan pada tujuan (Goal).
Desain merupakan suatu aktivitas pemecahan masalah atau cara, sedangkan yang dipecahkan
adalah elemen-elemen dan diarahkan pada kesesuaian tujuan.
Beer, 1966 dan Quode, 1968: Penerapan metode ilmiah terhadap penyusunan atau proses
pengambilan keputusan; Secara sadar meningkatkan kebenaran kebijaksanaan yang
berhubungan dengan situasi lingkungan masa kini dan masa depan; Prosesnya melibatkan
ilmuwan sebagai penasehat dan pembuat keputusan sehingga terbentuk hasil perancangan;
Keterikatan antara saran-saran ilmiah, keputusan dan kebijaksaan;
Maria Evans, 1973: Pemilihan dan penggabungan bahan-bahan untuk mencapai suatu akibat
yang diinginkan; Proses penyusunan dengan memakai unsur-unsur seni visual seperti: garis
bentuk, ruang, cahaya, warna , tekstur, untuk mewujudkan tujuan tertentu
J. Christoper Jones, 1978: Penyelesaian, memecahan yang optimal terhadap sejumlah
kebutuhan dalam kerangka kondisi khusus; Proses perancanagan yang mengakibatkan
perintisan perubahan-perubahan benda kesatuan manusia;
William Pena at all, 1989; Merupakan sebuah sintesa dari penyusunan sintesis yang dapat
menjadi penerangan, wawasan dari pemecahan masalah; Program analisis atau gerak analisis
dari proses menjawab masalah; Adanya masalah merupakan batas antara penyususan program
dengan perancangan, sebab pernyataan masalah menjadi salah satu dokumen terpenting dalam
rantai keseluruhan proyek perancangan.
Desain muncul di kota-kota besar karena adanya keinginan mendasar manusia akan
kemudahan, keamanan, kenyamanan dan keindahan. Keamanan baik dalam penggunaan
seluruh elemen desain ataupun keamanan dalam arti sesungguhnya. Kenyamanan dan
keindahan tidak hanya berhubungan dengan lukisan saja, tetapi berhubungan dengan tempat
tinggal, unsur-unsur seni visual, ergonomi, sosial budaya dan lingkungan sangat mendapat
perhatian sehingga dalam desain faktor manusia sebagai pemakai sangat diperhitungkan.
Desain terletak di antara seni, ilmu dan teknologi, jika dibandingkan dengan Obyek telaah
Desain adalah hubungan manusia dengan hasil desain yang aman, nyaman dan indah, sesuai
dengan sosial budaya dan lingkungan yang ada dan semuanya dapat ditangkap dan dijangkau
lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan pancaindra.
Secara epistemologi, desain mempunyai metode yang rasional sebagaimana yang telah
diuraikan oleh Papper, bahwa ilmu pengetahuan hanya suatu hipotesis, selama hipotesis itu
berpeluang dengan kesalahan ilmu berkembang dan disem-purnakan. Seperti pendapat Jones
(1978), bahwa ada dua cara seorang desainer dalam memecahkan masalah.
a.
Model black-Box.
Model ini berkeyakinan bahwa proses desain yang paling utama sebenarnya terletak di
dalam proses berpikir melalui tukar pikiran secara bebas kemudian di transformasikan
secara sistematis. Proses berpikir itu dapat pula dilakukan secara sintetik dengan mengkaji
permasalahan sebagai umpan, kemudian menganalogikan secara sistematis dalam blackbox keluaran yang dihasilkan dengan cara itu telah diolah berdasarkan perjalanan.
b.
Model Glass-Box.
Model ini berkenyakinan bahwa proses desain dapat dilakukan secara rasional dan
sistematis. Seperti halnya sebuah komputer, otak menerima umpan permasalahan,
kemudian mengkaji secara terencana, analitis, sintetis dan evaluatif sehingga kita akan
mendapatkan optimasi pemecahan yang mungkin dilakukan. Beberapa kateristik metode
glass-box adalah: Sasaran, variable, dan kriteria ditetapkan sebelumnya; Mengadakan
analisis sebelum melakukan pemecahan masalah; Mencoba mensintesiskan hal-hal yang di
dapat secara sistematis; Mengevaluasi secara logis (kebalikan dari eksperimental).
(Sachari , 1999;20-30).
Desain merupakan suatu aktivitas pemecahan masalah atau cara, sedangkan yang
dipecahkan adalah elemen-elemen dan diarahkan pada kesesuaian tujuan (Goal). Penerapan
metode ilmiah terhadap penyusunan atau proses pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan situasi lingkungan masa kini dan masa depan. Proses perancanagan yang
mengakibatkan perubahan-perubahan secara menyeluruh dalam suatu desain di mana manusia
termasuk di dalamnya, proses tersebut melibatkan ilmuwan sebagai penasehat, pembuat
keputusan dan dengan memakai unsur-unsur seni visual seperti: garis bentuk, ruang, cahaya,
warna, tekstur sehingga terbentuk suatu desain. Dalam proses perancangannya dilaksanakan
pemilihan dan penggabungan bahan-bahan untuk mencapai suatu yang diinginkan.
Pememecahan masalah yang diinginkan adalah optimalisasi terhadap sejumlah kebutuhan
dalam kerangka kondisi yang diinginkan.
Dalam mendesain meliputi tema umum dengan mempertimbangkan aktifitas yang
terjadi, sehingga wujud desain akan serasi dengan unsur-unsur lain (garis s/d warna dan lainlain yang merupakan unsur-unsur elementer) dan nilai yang terkait dalam lingkungan
keberadaannya seperti: ergonomi, fungsional dan balance. Semua itu merupakan jawaban atas
kebutuhan manusia sehingga dapat sesuai dengan tututan aktifitas dan tatanan kehidupan yang
berakibat pada peningkatan kehidupan.
Jones (1978) juga menyatakan, bahwa proses awal yang penting dari desain adalah
proses analitik yang dimulai dengan observasi objektif dan induktif yang di dalamnya juga
termasuk dan terlibat proses-proses kreatif, kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya subyektif
dan proses deduktif. Jika simpulan terhadap suatu masalah sudah dihasilkan, maka dilanjutkan
dengan alternatif desain, gambar-gambar, rencana kerja, maket dan lain-lain.
Secara skema dapat digambarkan sebagai berikut.
Tahap
Observasi
Analitik
Pengukuran
PROYEK
proses
induktif
PENGUMPULAN
DATA
EVALUASI
ANALISA
Tahap Kreativ
ALTERNATIF
SINTESA
KEPUTUSAN
PENGEMBANGAN
Tahap akhir
proses
deduktif
MOCK UP
PERWUJUDAN
DESAIN
Sumber: J Christopher Jones, 1978, Design Methods, Seeds of human future, London: John
Wiley & Sons Ltd
Pendapat Bryan Lawson juga sejalan dengan Jones. Ia berpendapat bahwa proses
analisis-sintesis-evaluasi penting dilakukan dalam proses desain. Namun, Lawson secara
Spesifik lebih menekankan aspek umpan balik (feed back) dalam setiap langkah berpikir.
Demikian juga dengan Bruce Archer secara lebih terinci mengungkapkan bahwa proses nalar
induktif secara lebih luas harus diterapkan pada tahap awal proses mendisain. Sementara itu,
nalar deduktif untuk ditekankan pada tahap analisis-sintesis desain. (Sachari, 1999; 30).
Jika pada pra-revolusi industri desain terlahir dari kebutuhan untuk memperindah suatu
barang atau meningkatkan bentuk visual suatu produk, maka kini desain itu ditarik lagi lebih
ke dalam; yaitu sebagai proyeksi pemecahan masalah dari kebutuhan fisik manusia.
Berdasarkan hal itu dalam pendidikan tinggi desain di Institut Seni Indonesia Denpasar
misalnya berkembang menjadi satu bagian keilmuan tersendiri, Ilmu empiris, ilmu yang tidak
cukup hanya didasarkan logika semata, tetapi juga melandasi ke budaya riset dan pembuktian
kemudian tahap perkembangan ilmu itu sementara ini memecah menjadi dua kelompok besar:
Desain Komunikasi Visual dan Desain Interior. Tapi di Indonesia sudah terdapat dalam empat
kelompok besar seperti di ITB ada Desain Tekstil, dan Desain Produk.
Sedangkan bidang arsitektur tidak termasuk ke dalam seni rupa dan desain, mungkin
terasa agak janggal ini dikarenakan profesi arsitek dirasa sangat kokoh. Tapi rasanya sangat
mengagetkan ketika adanya desain interior dan arsitektur pertamanan yang kemungkinan
merupakan pecahan dari bidang arsitektur, justru sekarang bidang tersebut berdiri di luar kubu
pendidikan arsitektur.
Dalam perkembangan berikutnya, istilah seni rupa dilengkapi menjadi seni rupa murni
(seni murni), desain grafis menjadi Desain Komunikasi Visual, Desain Tekstil menjadi Kria
Tekstil, Desain Interior dan Desain Pertamanan. Pergeseran pengertian dan lingkup inilah
yang menjadi titik tolak perkembangan desain di Indonesia, yaitu (1) desain dalam lingkup
gambar (termasuk melukis, menggambar, dan menggambar bangunan), (2) desain dalam
lingkup gaya seni (aspek estetis), (3) desain dalam lingkup seni rupa (termasuk pendidikan
seni rupa dan Kerajinan), dan (4) desain dalam lingkup ketehnikan (karya teknologis).
(Sachari dan Yan, 2001; 19)
Konsekwensi perkembangan profesi dan perkembangan ilmu adalah spesialisasi dan
interdisipliner menjadi tak terhindarkan sehingga tercipta hasil desain yang bersifat holistik.
Seorang desainer tak dapat bekerja sendiri untuk memecahkan masalah, ia memerlukan
bantuan konsultasi dari ahli ekonomi, kontruksi, ergonomi, mekanikal dan elektrikal,
pemipaan, manajemen dan lain-lain. Sehingga dengan demikian perkembangan ilmu yang
membentuk kerangka profesinya juga harus menjembati kerja interdisipliner tersebut.
Secara Aksiologi, hasil penelitian desain bermanfaat baik secara akademis untuk
kemajuan pengembangan teori dan metode desain maupun secara praktis untuk membantu
mengindentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan mencoba menaggulangi
dengan memberikan rekomendasi, serta menciptakan inovasi yang dapat memberikan
kenyamanan maupun ketenangan bagi masyarakat.
Desain bertujuan untuk menyesuaikan antara hasil desain dengan manusia sebagai
pemakainya dengan menyadari kelebihan keterbatasan serta kemampuan yang dimilikinya.
Dalam penyesuaian ini unsur-unsur kelebihan dan keterbatasan serta kemampuan manusia
dijadikan acuan, kemudian dipadupadankan dengan unsur-unsur seni dan teknologi untuk
mencapai keamanan, kenyaman dan keindahan. Dilihat jauh ke depan bahwa dengan desain
mampu meningkatkan efisiensi, produkvitas dan kwalitas hidup manusia. Untuk bisa
mewujudkan hal tersebut dalam program pendidikan telah dirancang sedemikian rupa,
sehingga unsur-unsur norma, etika, kepribadian dan moral telah menjadi satu kesatuan yang
sangat utuh serta sesuai dengan toksonomi tujuan pendidikan yang menyesuaikan antara
kemampuan cognitif, psychomotoric dan affective. Serta lebih jauh dikembangkan menjadi
sebuah kurikulum yang berbasis kompetensi dengan elemem-elemen: kepribadian; penguasaan
ilmu dan keterampilan; kemampuan berkarya; sikap dan perilaku dalam berkarya menurut
tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai; pemehaman kaidah
berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya (LP3 Unud,
2004)
Sehingga dengan Desain, orang-orang yang mempelajarinya memiliki kepribadian,
keilmuan dan ketrampilan, ahli dalam berkarya, memiliki prilaku dalam berkarya dan mampu
hidup dan bekerja bersama-sam dalam masyarakat.
3.PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Batas dan ciri keilmuan Universal Desain pada hakekatnya dapat dilihat dari
karakteristik desain sebagai ilmu yang secara ontologis memiliki objek bersifat empirik
yang dapat diamati dan diteliti, yaitu masyarakat serta lingkungannya. Sedangkan
aspek epistemologis dapat dilihat dari sifat desain yang teoritik berdasarkan metode
ilmiah. Aspek Aksiologisnya, desain mengikuti serta mematuhi etika dan norma yang
ada, memberikan pengertian-pengertian umum, rational dan empiris tentang kebutuhan
masyarakat.
2. Batas dan ciri keilmuan Spesifik desain dapat dilihat bahwa desain memiliki kekhasan
sebagai ilmu yang multi guna, secara ontologis objek materi desain adalah sikap
kegiatan dan pengetahuan manusia terhadap lingkungannya dalam rangka menemukan
kebutuhan material dan spiritual. Secara epistemologi, desain mempunyai metode yang
rasional, jelas dan tersistimatis. Aspek Aksiologisnya adalah secara teoritis (akademis)
memperkaya khasanah keilmuan desain, baik untuk Penyempurnaan teori, metodelogi
dan secara empiris, mengindefikasi masalah-masalah di masyarakat dan mencoba
menanggulangi dengan memberikan inovasi, dilandasi sikap netral moral sebagai
ilmuwan.
3. Desain patut dikembangkan menjadi institusi yang lebih besar seperti Fakultas Desain,
yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat, memiliki obyek yang jelas, serta patuh
terhadap norma serta etika yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Sachari Agus. 1986. Paradigma Desain Indonesia, Jakarta: CV Rajawali.
Sachari Agus dan Sunarya Yan Yan. 1999. Modernisme, Sebuah Tinjauan
Historis, Desain Modern, Jakarta; Balai Pustaka.
Sachari Agus dan Yan Yan. Sunarya 2001. Desain dan dunia Kesenirupaan
Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya, Bandung; ITB.
Subarmiati,W. , 2001. Disain Interior, Denpasar: Seni Rupa, Unud.
Suriasumantri, Jujun S. 1991. Filsafat Ilmu.
Taryadi Alfons. 1991. Epostemologi Pemecahan Masalah Menurut
Karl.R.Popper. Jakarta PT; Gramedia.
Bakhtiar Amsal, 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Jujun S. Suriasumantri 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada).
Jones J. Christopher 1978, Design Methods, Seeds of Human Future, London:
John Wiley & Sons Ltd
LP3 Unud, 2004, Makalah; Pendekatan Terapan AA (Applied Approach).
Denpasar: LP3 Unud.