Analisis Subjek pada Dokumentasi Kritik
Analisis Subjek pada Dokumentasi Kritik Sastra
Oleh Vina Nurziani A. A.
Program Studi Perpustakaaan dan Informasi
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Kritik sastra merupakan suatu tanggapan dan pemahaman terhadap sastra. Sebagai salah satu studi
sastra, kritik sastra banyak berperan dalam perkembangan sastra dari yang awal hingga seperti
sekarang ini. Kritik sastra memiliki tujuan untuk mengembangkan ilmu sastra, mengembangkan
sastra, dan sebagai penerangan masyarakat pada umumnya terhadap karya sastra. Kritik sastra,
sama halnya dengan artikel ilmiah, juga merupakan bahan pustaka yang mesti dihimpun, diolah,
dilestarikan dan dilayankan oleh perpustakaan. Terbitan kritik sastra bukanlah suatu terbitan
berkala mengenai suatu bidang atau cabang ilmu, tetapi merupakan terbitan monograf yang hanya
terbit satu kali. Banyak kendala dalam kegiatan mengolah dokumentasi sastra, seperti penulis yang
menerbitkan banyak kritik sastra, atau karya sastra yang banyak dikritik, masalah tahun terbit,
sampai pada bentuk terbitan. Maka untuk menghindari kebingungan tersebut, salah satu jalan
keluarnya adalah menggolongkan dokumentasi sastra berdasarkan subjeknya. Dokumentasi dalam
kegiatan kepustakawanan merupakan salah satu kegiatan utama. Adanya dokumentasi kritik sastra
bertujuan untuk melestarikan informasi-informasi analisis yang di masa depan akan menemui fase
temu-balik bagi para pengguna. Selain itu, analisis subjek dalam dokumentasi kritik sastra dapat
mengklasifikasikan beberapa subjek yang sama sekali lain dengan sastra, hal ini membawa
pengaruh pada proses klasifikasi dalam pengkatalogan. Dengan mengambil sampel beberapa
paper kritik sastra dari UKM ASAS UPI sebagai wadah apresiasi sastra. Penulis menggunakan
metode penelitian bahan pustaka untuk menganalisis subjek yang dimuat. Dokumentasi kritik
sastra menjadi bagian dari perkembangan sastra dewasa ini, juga merupakan bukti sejarah bagi
pertumbuhan sastra. Analisis subjek pada dokumentasi sastra dapat dijadikan sebuah kajian unik,
sebab sastra berupa refleksi dari budaya bangsa yang apabila dikaji lebih lanjut dapat
memunculkan banyak cabang ilmu yang lebih kompleks hanya dari satu karya. Meski pun pada
dasarnya, sastra merupakan salah satu hasil pemikiran para seniman di ranah kata-kata.
Kata kunci: dokumentasi, subjek, kritik sastra, klasifikasi.
A. Pendahuluan
Kritik sastra merupakan suatu tanggapan dan pemahaman terhadap sastra.
Sebagai salah satu studi sastra, kritik sastra banyak berperan dalam perkembangan
sastra dari yang awal hingga seperti sekarang ini. Kritik sastra memiliki tujuan
untuk mengembangkan ilmu sastra, mengembangkan sastra, dan sebagai
penerangan masyarakat pada umumnya terhadap karya sastra. Kritik sastra, sama
halnya dengan artikel ilmiah, juga merupakan bahan pustaka yang mesti
dihimpun, diolah, dilestarikan dan dilayankan oleh perpustakaan. Terbitan kritik
sastra bukanlah suatu terbitan berkala mengenai suatu bidang atau cabang ilmu,
tetapi merupakan terbitan monograf yang hanya terbit satu kali. Banyak kendala
dalam kegiatan mengolah dokumentasi sastra, seperti penulis yang menerbitkan
banyak kritik sastra, atau karya sastra yang banyak dikritik, masalah tahun terbit,
sampai pada bentuk terbitan. Maka untuk menghindari kebingungan tersebut,
salah satu jalan keluarnya adalah menggolongkan dokumentasi sastra berdasarkan
subjeknya.
Ada empat pilar utama dalam kegiatan kepustakawanan, yaitu pengadaan
bahan pustaka, pengolahan, melestarikan dan melayankan bahan pustaka.
Kegiatan operasional tersebut memuat berbagai disiplin ilmu, sebab ilmu
perpustakaan merupakan cabang ilmu yang interdisipliner. Salah satu di antaranya
adalah manajemen bahan pustaka dalam salah satu pilar kegiatan
kepustakawanan, yaitu pengolahan bahan pustaka.
Pengolahan bahan pustaka sendiri meupakan rangkaian kegiatan
pengindekskan, pengkatalogan dan klasifikasi bahan pustaka. Indeks adalah daftar
kata atau istilah penting yang terdapat dalam buku cetakan (biasanya pada bagian
akhir buku) tersusun menurut abjad yang memberikan informasi mengenai
halaman tempat kata atau istilah itu ditemukan (KBBI, 2010). Sedang kegiatan
pengindekskan di perpustakaan mengacu pada pembuatan petunjuk berupa angka,
huruf, maupun tanda lain untuk memberikan pengarahan kepada pemustaka
bahwa informasi lebih lengkap atau informasi yang terkait berada pada indeks
yang dirujuk (Lasa HS, 2009: 110).
Katalog adalah daftar yang memuat informasi tertentu yang ingin
disampaikan, disusun secara berurutan, teratur, dan alfabetis (KBBI, 2010). Istilah
pengkatalogan dalam kegiatan kepustakawanan meupakan kegiatan pencatatan
bibliografi untuk mempercepat pelayanan perpustakaan (dalam hal ini fase temu
balik) dalam rangka meningkatkan kualitas perpustakaan. Katalog bertujuan untuk
menyajikan informasi mengenai suatu literatur secara singkat. Katalog berisikan
identifikasi literatur, publikasi, karakter fisik dari dokumen, subjek atau konten
yang dimuat, dan nomor panggil yang menunjukan lokasi di mana dokumen
tersebut disimpan.
Pada nomor panggil sendiri terdiri atas beberapa elemen, yaitu nomor dari
klasifikasi subjek yang dimuat, inisial penulis, judul, serta di bagian layanan mana
buku tersebut ditempatkan. Klasifikasi dalam kegiatan kepustakawanan
merupakan penyususan dokumen secara sistematis menggunakan sistem tertentu.
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan dalam ranah perpustakaan. Pada
buku E. C. Richardson yang berjudul Classification, Theoretical and Practical,
dimuat sebuah esai yang berisi sejarah bibliografi terkait sistem klasifikasi. Esai
tersebut menyebutkan bahwa ada 161 sistem klasifikasi yang pernah ada (S. R.
Ranganathan, 1931: 399). Kebanyakan diantaranya punah dan tidak pernah
dipakai lagi. Ada empat skema klasifikasi yang paling banyak digunakan,
diantaranya Brown’s Subject Classification, Cutter’s Expansive Classification,
Dewey’s Decimal Classification, dan The Library of Congress Classification.
Karena tidak ada pembaharuan dan tidak adanya pihak yang memperbaharui,
maka Brown’s Subject Classification, Cutter’s Expansive Classification semakin
jarang digunakan. Sedangkan Dewey’s Decimal Classification merupakan skema
klasifikasi yang paling banyak digunakan dan The Library of Congress
Classification digunakan di Amerika (S. R. Ranganathan, 1931: 399). Keempat
skema ini banyak digunakan pada pengklasifikasian buku.
Selain empat skema klasifikasi yang disebutkan, ada pula Universal Decimal
Classification. Skema ini paling banyak digunakan di perpustakaan khusus dan
dalam dokumentasi terbitan selain buku. ditambah dengan skema klasifikasi S. R.
Ranganathan, pencetus 5 Laws of Library Science, Colon Classification yang
menekankan pada pendayagunaan secara maksimal dari klasifikasi desimal.
Apabila dikataan secara gamblang, pihak perpustakaan bebas menentukan mana
yang ingin dipakai. Semua ini dilakukan demi kepuasan pemustaka.
Dalam klasifikasi sendiri, terdapat landasan yang menjadi titik awal dari
proses klasifikasi. Bahan pustaka dapat diurutkan dengan berbagai cara, ambilah
misal secara alfabetis dari judul mau pun pengarang, subjek atau konten yang
dimuat, dan sebagainya. Semuanya itu disisin dalam suatu rangkaian sistematis
dalam pengolahan dengan salah satu tujuan untuk memudahkan proses temu balik
informasi kepada pemustaka.
Klasifikasi berdasarkan subjek seperti DDC atau UDC menuntut pustakawan
untuk lebih jeli menilai konten yang dimuat dalam suatu dokumen. Banyak
dokumen yang meliputi berbagai subjek dalam satu karya. Hal ini jelas dapat
menghambat proses pengolahan karena pustakawan harus benar-benar
mengidentifikasi kontan yang dimuat. Serta beresiko terjadinya kesalahan
informasi yang diterima sehingga tidak menuaskan pemustaka. Mengklasifikasi
dokumen dalam kepustakawanan merupakan sepasang kegiatan ilmiah dan seni
yang di dalamnya terkandung profesionalitas diri pustakawan.
Didasarkan pada hal ini, maka pengumpulan kritik sastra sebagai dokumen
juga dapat diklasifikasikan menurut sistem. Adanya analisis pada dokumen kritik
sastra akan memudahkan pemustaka dalam mengkaji sastra dari aspek keilmuan.
Juga meningkatkan efisiensi dan kerapian dalam suatu tempat, dari pada hanya
disusun berdasarkan tahun terbit tanpa mengetahui konten yang dimuat.
B. Metode Penelitian dan Sampel
Metode penelitian ini menggunakan kajian bahan pustaka terkait dokumentasi,
kritik sastra, dan klasifikasi subjek dalam dasar manajemen koleksi. Dengan
sampel beberapa paper berisi kritik sastra dari UKM ASAS UPI dari bulan
September hingga Nopember 2017.
Tubuh Maternal dan Kelahiran Perempuan Subjek oleh Kenny F.
Mulyadi
Tentang Ketidakberdayaan oleh M. Naufal Hafizh
Sepasang dan Sekumpulan Maut Ala Wan oleh Raden Ayunidhanti dan
Ilin Yustini
Menyusun Struktur yang Belum Rampung oleh Ilin Yustini
Terciduk: Anna Karenina Ketahuan Selingkuh oleh Dina Wulandari
Dawuk: Cerita dalam Cerita yang Tak Jelas Juntrungnya oleh
Mohamad Maskiat
Penyair Revolusioner: Menggugat Lewat Sajak oleh Agung Nungraha
Budi P.
C. Dokumentasi
Dalam kegiatan kepustakawanan, objek yang diolah jelas berupa bahan
pustaka. Dengan kata lain, pustakawan mengolah berbagai dokumen agar bisa
dilayankan pada pemustaka. Dokumen merupakan objek yang memuat berbagai
informasi, sedangkan dokumentasi menurut FID (Institute Internationale de
Documentation) dalam buku Sulistyo Basuki (2004: 5) adalah penyusunan,
penyimpanan, temu balik, pemencaran, evaluasi informasi terekam dalam bidang
sains, teknologi, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Dokumentasi pada kegiatan kepustakawanan bertujuan untuk (1) menata
dokumen untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka; (2) menghindari
duplikasi kerja; (3) memudahkan temu balik informasi; (4) menyimpan untuk
dilestarikan (Sulistyo Basuki, 2004: 17).
Berdasarkan isinya, dokumen dibagi menjadi tiga, yaitu dokumen primer,
dokumen sekunder, dan dokumen tersier. Dokumen primer merupakan dokumen
yang berisi informasi menganai penelitian asli, mengenai aplikasi teori terbaru
maupun penjelasan mengenai sebuah teori dalam semua disiplin ilmu (Sulistyo
Basuki, 2004: 28). Sedangkan dokumen sekunder adalah dokumen turunan dari
dokumen primer, seperti indeks, ensiklopedia, kamus, dan sebagainya. Dan
dokumen tersier adalah dokumen turunan dari dokumen sekunder, misalnya
katalog, panduan literatur dan buku ajar.
Dokumen dalam pemanfaatannya, ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
frekuensi penerbitan, metode penerbitan, karakteristik intelektual, tujuan dokumen
dan ketajaman analisis (Sulistyo Basuki, 2004: 26). Pada kritik sastra sendiri,
terbitannya dapat disebut monograf, yaitu terbitan yang hanya dibuat sekali saja.
Dalam hal ini, maksud dibuat sekali saja adalah satu penulis, satu karya sastra,
dan satu tulisan berupa kritik sastra itu sendiri. Pengorganisasian inilah yang
menjadi penting, sebab suatu karya tidak hanya dikritik oleh satu orang dan dari
sudut pandang yang serupa.
D. Kritik Sastra
Menurut H. B. Jassin (1959: 44) kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk
karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra. Ada tiga tujuan dari kritik
sastra, yaitu untuk perkembangan ilmu sastra, untuk perkembangan kesusastraan,
dan untuk menerangkan sastra pada masyarakat umum (Pradopo, 1988: 17).
Pada kritik sastra terdapat unsur-unsur penting yang berupa analisis,
interpretasi dan penilaian yang tidak dapat dipisahkan. Sebab karya sastra
merupakan karya seni yang kompleks sehingga perlu pemahaman mendalam saat
memberikan kritik sastra.
Rachmat Djoko Pradopo mengutip M. H. Abrams dalam bukunya (1995: 94)
menyebutkan bahwa untuk menafsir karya sastra ada empat orientasi karya sastra
yang menyertainya. Pertama, orientasi mimetik, yaitu karya sastra sebagai
refleksi kehidupan. Kedua, orientasi pragmatik, berupa karya sastra sebagai sarana
untuk mencapai tujuan pada pembaca. Ketiga, orientasi ekspresif, karya sastra
sebagai hasil ekspresi dan pikiran pengarang. Keempat, orientasi objektif yang
memandang bahwa karya sastra merupakan suatu karya yang mendiri dan tidak
terikat.
Jenis-jenis kritik sastra dapat dikelompokan berdasarkan bentuk, metode, tipetipe kritik sastra dan penulis kritik sastra. Kritik sastra berdasarkan bentuknya
digolongkan menjadi kritik sastra teoretis dan kritik sastra praktik. Kritik sastra
teoretis adalah penerapan prinsip-prinsip kritik sebagai landasan kritik sastra.
Sedangkan kritik sastra praktik adalah penerapan prinsip kritik sastra pada karya
sastra. Berdasarkan metode, kritik sastra dibagi menjadi tiga jenis yaitu, kritik
induktif, kritik yudisial dan kritik impresionistik (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:
95).
Rachmat Djoko Pradopo mengutip M. H. Abrams dalam bukunya (1995: 95)
kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan unsur sastra berdasarkan
fenomena yang objektif. Sedangkan kritik yudisial adalah kritik sastra yang
menganalisis karya sastra berdasarkan inti, teknik dan gayanya. Dan kritik
impresionistik berisi tanggapan perasaan terhadap karya sastra.
E. Analisis Subjek pada Dokumentasi Kritik Sastra
Pada kegiatan klasifikasi, setelah mengetahui fitur sistem pencarian informasi
dan pengertian dokumen sebagai bukti, hal selanjutnya yang mesti dilakukan
adalah analisis subjek. Menurut A. C. Foskett (1971: 42) ada dua kategori besar
dalam dokumen. Pertama adalah dokumen yang hanya memuat satu subjek, dan
kedua adalah dokumen yang memuat lebih dari satu subjek. Dalam bukunya, A.
C. Fosket juga menjelaskan bagaimana menganalisis subjek pada dokumen.
1. Paradigma dan Syntagma
Hal yang pertama harus disadari dalam menganalisis subjek adalah adanya
variasi hubungan antar subjek. Hubungan paradigma menunjukan bahwa subjek
adalah sebagaimana yang disebutkan. Sedangkan hubungan syntagma
menunjukan bahwa sebuah subjek ditentukan dari tujuan dokumen tersebut.
Ambilah misal pada hubungan paradigma, apabila sebuah dokumen bersubjek
besi maka konten yang dimuat pada dokumen tersebut pasti mengenai besi dan
hal-hal yang berkaitan dengan besi. Berbeda dengan hubungan syntagma,
contohnya album foto dengan foto (dari) album, jelas berbeda tujuannya.
Pada kritik sastra, jelaslah bahwa tujuan dari hal tersebut adalah untuk
memberikan komentar, tanggapan, maupun keterangan terhadap suatu karya
sastra. Kritik sastra yang didokumentasikan dari UKM ASAS UPI pun demikian,
semuanya menjelaskan mengenai hal-hal yang ada dalam suatu karya sastra yang
dipilih. Secara garis besar, penulis kritik sastra mengambil sebuah tema besar
yang mendasari karya sastra. Kemudian menganalisis dan mengomentari dari
penjabaran secara linguistika. Lebih jauh, penulis juga menggunakan beberapa
aspek lain seperti psikologi, antropologi budaya, dan politik dalam analisisnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ada paradigma dan syntagma
dalam kritik sastra yang menjadi penghubung suatu karya sasrta dengan disiplin
ilmu lain. Hubungan-hubungan ini terkadang sulit untuk diidentifikasi, meskipun
begitu, sudah menjadi tugas pustakawan dalam menamai subjek yang sesuai
dengan isi dokumen.
2. Sinonim
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Indonesia juga memiliki banyak
padanan kata dalam kamusnya. Dalam hal ini perbedaan kata meskipun maknanya
sama dapat menjadi masalah, sebab dapat mengacaukan penerimaan informasi
pemustaka. Oleh karena itu, subjek pada dokumen lebih baik sama. Dengan begitu
selain mempermudah pencarian, juga mempermudah menemukan antonim dari
subjek.
Dalam sastra Indonesia, subjek pada kritik sastra terkadang memiliki
perbedaan dalam padanan kata, namun memiliki makna yang sama. Ambilah
misal pada sebuah tulisan kritik sastra milik Raden Ayunidhanti dan Ilin Yustini
yang berjudul Sepasang dan Sekumpulan Maut Ala Wan, isinya merupakan
pembahasan dari sebuah buku kumpulan cerpen dengan judul Sepasang Maut
karya Wan Anwar. Penulis lebih memilih kata ‘maut’ sebagai konsep dasar
dibandingkan kata ‘mati’ padahal keduanya memiliki arti yang sama. Hal ini
didasarkan pada salah satu cerpen yang menjadi judul dalam buku, yaitu Sepasang
Maut. Pada klasifikasi subjek, pustakawan mesti menamai subjek sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, antara memakai thesaurus atau menggunakan Library of
Congress Subject Heading sebagai acuan. Maka meskipun mengangkat ‘maut’
sebagai konsep, tetap saja akan bersubjek ‘mati’ dalam klasifikasinya. Sebab
dalam tugas ini, pustakawan dituntut agar konsisten terhadap penggunaan bahasa.
3. Homograf
Homograf, di Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kata yang sama ejaannya
dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan maknanya. Di Indonesia sendiri terdapat
banyak padanan kata yang homograf. Misalnya genting ‘berbahaya’ dengan
genting ‘atap rumah’. Atau apel ‘buah’ dengan apel ‘upacara’. Pada ranah katakata berupa sastra, luasnya padanan kata sangat diperlukan pustakawan. Hal
tersebut dapat membantu menentukan subjek pada kritik sastra. Salah satu cara
untuk menentukan subjeknya adalah melihat padanan kata yang satu dengan yang
lain untuk menunjukkan konteks hingga maknanya.
Pada dokumentasi sastra, konten yang dimuat tidak hanya berupa pendalaman
dari satu subjek saja. Ada berbagai subjek yang dapat diangkat dari sebuah karya
dalam kritik sastra. Oleh karena itu, homograf juga perlu diperhatikan dalam
klasifikasi subjek.
4. Frasa
Frasa berupa gabungan dua kata atau lebih. Ada banyak konsep yang tidak
dapat didefinisikan dalan satu kata sebagai subjek. Subjek yang baru biasanya
dimulai dengan frasa. Sedangkan kata atau istilah yang baru digunakan untuk
mendefinisikan topik yang baru pula. Frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih
memiliki arti yang berbeda dengan istilah yang hanya memiliki satu kata.
Contoh, dari tulisan Kenny F. Mulyadi yang berjudul Tubuh Maternal dan
Kelahiran Perempuan Subjek. Frasa ‘tubuh maternal’ apabila dipisahkan menjadi
‘tubuh’ dan ‘maternal’. ‘Tubuh’ merupakan jasad, yang dalam hal ini berkaitan
dengan makhluk hidup dan cabang ilmu yang mempelajarinya seperti anatomi,
biologi, dan fisiologi. Sedang ‘maternal’ adalah sebuah istilah dalam konsep yang
membahas mengenai ibu dan anak (parenting). Maka frasa tubuh maternal dalam
tulisan Kenny F. Mulyadi mengacu pada perempuan atau ibu sebagai sumber
kehidupan anak, sumber rasa cinta dan rasa aman, kenikmatan imajiner, yang
melalui tubuh maternal karakter anak dapat dikontrol dan dikembangkan
mendahului konsep paternal.
Lain halnya dengan Tentang Ketidakberdayaan yang ditulis oleh M. Naufal
Hafizh, dalam judul tersebut ditulis sebuah kata yang asalnya ditulis dalam dua
kata yaitu, “tidak” dan “berdaya”. Kedua kata tersebut disatukan dan diberi
imbuhan “ke-“ dan “-an” sehingga melahirkan makna yang baru.
5. Subjek Campuran
Kembali menilik hubungan syntagma, hal ini berarti subjek dilihat dari tujuan
sebuah dokumen. Ambilah misal kritik sastra berbeda dengan sastra kritik. Dalam
hal ini pustakawan dituntut untuk lebih jeli dalam menentukan subjek. Meskipun
dimulai dengan frasa, konsep yang dominanlah yang akan dijadikan sebagai
subjek.
Tak jarang dalam kritik sastra, subjek yang dimuat dalam dokumentasi kritik
sastra juga tidak ada yang selalu hanya satu. Seperti pada tulisan Mohamad
Maskiat yang diberi judul Dawuk: Cerita yang Tak Jelas Juntrungnya, di
dalamnya terdapat sub bahasan mengenai gaya bahasa sarkastik dan bahasan
mengenai konflik agraria.
6. Bahasa Pengingdekskan (indexing language)
Maksudnya adalah sebuah sistem dalam menamai subjek dokumen. A. C.
Foskett (1971: 48) menggunakan concept indexing dalam menganalisis subjek.
Concept indexing tidak menggunakan kata-kata yang dipakai penulis untuk
menentukan subjek, melainkan menganalisis konten dari dokumen dan
menentukan subjek meskipun kata dalam subjek tersebut sama sekali tidak
dipakai oleh penulis.
Seperti yang telah dibahas pada poin kedua tentang sinonim, penentuan subjek
mesti dilandaskan pada suatu acuan tertentu. Tujuannya agar proses klasifikasi
dapat terstrukttur dengan baik. Pustakawan menggunakan thesaurus untuk
membantu dalam proses klasifikasi. Bahasa pengindekskan digunakan agar
penataan subjek lebih fleksibel sehingga memudahkan pemustaka dalam
menemukan informasi.
7. Pre-Coordinate dan Post-Coordinate Systems
Pustakawan harus bisa mengklasifikasikan subjek tunggal dan subjek
campuran (jamak) menggunakan bahasa pengindekskan. Ada dua cara untuk
penerapannya.
Pre-coordinate system, yaitu menggabungkan subjek campuran sebagai
subjek tunggal dengan memilih padanan kata yang benar. Kemudian disusun
berasarkan sistem. Namun, cara ini kurang efektif digunakan apabila dalam fase
temu balik pemustaka menggunakan kata kunci subjek yang sama sekali lain
dengan yang telah ditentukan pustakawan. Maka, jalan keluarnya adalah
memberikan deskripsi terhadap subjek, cara ini disebut post-coordinate system.
8. Sistem Terbuka dan Tertutup
Maksud dari sistem terbuka dan sistem tertutup adalah pustakawan dapat
menambahkan subjek baru yang mendekati subjek dasar atau landasan dari subjek
baru tersebut (sistem terbuka) tapi tetap dalam skema klasifikasi yang telah
ditentukan (sistem tertutup).
9. Penjumlahan dan Perpaduan
Masalah dalam sistem terteutup juga sistem pre-coordinate indexing
menjadi serius apabila harus berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang demikian kompleks. Hal ini membutuhkan lebih dari sekedar
skema pengindekskan yang bukan hanya luas tapi juga fleksibel dalam
penggunaanya. Karena hal inilah, maka dibuatlah sebuah bahasa sintesis yang
merupakan konsep tunggal, namun juga dapat meliputi subjek campuran dalam
pembuatan indeks. Metode ini lebih efisien daripada hanya penjumlahan subjek,
dan juga menjadi acuan dalam konstruksi penamaan subjek. Skema penjumlahan
dan perpaduan ini menghasilkan suatu tingkatan baru dalam pengorganisasian
pengetahuan dan juga dapat menjabarkan sebuah subjek dan hubungan-hubungan
baru.
10. Critical Claasification
Seorang pustakawan bertugas melayani di antara penulis dengan pemustaka.
Seorang pustakawan mestinya telah melalui banyak pengalaman dan latihan
dalam mengklasifikasi subjek dalam pengindekskan.
Apapun alasannya, klasifikasi kritis - pengenaan sudut pandang pengindeks
terhadap pengguna - ditemukan agak lebih luas daripada yang ingin kita akui.
Bahkan skema seperti UDC, yang memiliki kebijakan internasional yang pasti,
tidak sepenuhnya bebas dari permasalahan. Pengindeks sebaiknya berhati-hati
untuk tidak menciptakan permasalahan yang tidak perlu, dan pengguna harus
menyadari keberadaannya yang mungkin, jika sistem ingin mencapai tujuan
mereka untuk membuat informasi tersedia secara bebas. (A. C. Foskett, 1995: 5253)
Dari uraian metode di atas, apabila diterapkan pada kalsifikasi subjek pada
dokumentasi sastra dari UKM ASAS UPI, maka dokumentasi sastra tersebut
hanya dua karya yang dapat diklasifikasikan berdasarkan subjek, yaitu Tubuh
Maternal dan Kelahiran Perempuan Subjek oleh Kenny F. Mulyadi serta
Menyusun Struktur yang Belum Rampung dari Ilin Yustini. Sedangkan
dokumentasi kritik sastra yang lainnya tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan
subjek. Sebab dalam analisis subjek, kritik sastra harus memiliki pembahasan
yang spesifik. Kelima dokumentasi kritik sastra sisanya memuat konten yang
menerangkan sastra kepada masyarakat umum, sesuai tujuan ketiga dari kritik
sastra dan bukan menelaah lebih lanjut dari segi keilmuan. Dapat dikatakan bahwa
tulisan yang tidak dapat diklasifikasi ini masih berupa gambaran umum tentang
suatu karya.
F. Simpulan
Kritik sastra merupakan suatu tanggapan terhadap karya sastra. Bertujuan
untuk mengembangkan ilmu sastra, mengembangkan sastra, serta menerangkan
sastra pada masyarakat umum. Kritik sastra memiliki beberapa teknik memahami
sastra, yaitu orientasi mimetik, orientasi pragmatik, orientasi ekspresif, dan
orientasi objektif. Jenis-jenis kritik sastra dapat dikelompokan berdasarkan
bentuk, metode, tipe-tipe kritik sastra dan penulis kritik sastra. Kritik sastra
berdasarkan bentuknya digolongkan menjadi kritik sastra teoretis dan kritik sastra
praktik. Pada kritik sastra terdapat unsur-unsur penting yang berupa analisis,
interpretasi dan penilaian yang tidak dapat dipisahkan. Sebab karya sastra
merupakan karya seni yang kompleks sehingga perlu pemahaman mendalam saat
memberikan kritik sastra.
Dokumentasi pada kritik sastra menerapkan suatu sistem di mana di dalamnya
terdapat analisis subjek sebagai acuan dalam klasifikasinya. Menurut A. C.
Foskett dalam bukunya, analisis subjek dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu:
Mengidentifikasi paradigma dan Syntagma
Mencari sinonim
Mencari makna kata homograf
Mencari konteks dan makna dari frasa
Menentukan subjek tunggal atau campuran
Menentukan bahasa pengindekskan (indexing language) yang dipakai
Membuat sistem pre-coordinate dan post-coordinate
Memakai dan memaksimalkan daya guna istem terbuka dan tertutup
Menjumlahkan dan memadukan subjek dalam dokumentasi
Klasifikasi kritis
Dari tahapan tersebut maka tujuh kritik sastra yang menjadi objek penelitian
penulis hanya didapat dua tulisan yang dapat diklasifikasikan berdasarkan subjek
yaitu, Tubuh Maternal dan Kelahiran Perempuan Subjek oleh Kenny F. Mulyadi
serta Menyusun Struktur yang Belum Rampung dari Ilin Yustini. Sedang kelima
lainnya tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan subjek sebab konten yang dimuat
masih bersifat umum dan bertujuan untuk menerangkan karya sastra terhadap
masyarakat awam.
G. Sumber Rujukan
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2010.
HS, Lasa. 2009. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Book
Publisher.
Ranganathan, S. R. 1931. The Five Laws of Library Science.
Basuki, Sulistyo. 2004. Pengantar Dokumentasi. Bandung. Rekayasa Sains.
Foskett, A. C. 1961. The Subject Approach to Information. London. Clive Bingley.
Jassin, H. B. 1959. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta. Gunung Agung.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta. Penerbit Lukman.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Oleh Vina Nurziani A. A.
Program Studi Perpustakaaan dan Informasi
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Kritik sastra merupakan suatu tanggapan dan pemahaman terhadap sastra. Sebagai salah satu studi
sastra, kritik sastra banyak berperan dalam perkembangan sastra dari yang awal hingga seperti
sekarang ini. Kritik sastra memiliki tujuan untuk mengembangkan ilmu sastra, mengembangkan
sastra, dan sebagai penerangan masyarakat pada umumnya terhadap karya sastra. Kritik sastra,
sama halnya dengan artikel ilmiah, juga merupakan bahan pustaka yang mesti dihimpun, diolah,
dilestarikan dan dilayankan oleh perpustakaan. Terbitan kritik sastra bukanlah suatu terbitan
berkala mengenai suatu bidang atau cabang ilmu, tetapi merupakan terbitan monograf yang hanya
terbit satu kali. Banyak kendala dalam kegiatan mengolah dokumentasi sastra, seperti penulis yang
menerbitkan banyak kritik sastra, atau karya sastra yang banyak dikritik, masalah tahun terbit,
sampai pada bentuk terbitan. Maka untuk menghindari kebingungan tersebut, salah satu jalan
keluarnya adalah menggolongkan dokumentasi sastra berdasarkan subjeknya. Dokumentasi dalam
kegiatan kepustakawanan merupakan salah satu kegiatan utama. Adanya dokumentasi kritik sastra
bertujuan untuk melestarikan informasi-informasi analisis yang di masa depan akan menemui fase
temu-balik bagi para pengguna. Selain itu, analisis subjek dalam dokumentasi kritik sastra dapat
mengklasifikasikan beberapa subjek yang sama sekali lain dengan sastra, hal ini membawa
pengaruh pada proses klasifikasi dalam pengkatalogan. Dengan mengambil sampel beberapa
paper kritik sastra dari UKM ASAS UPI sebagai wadah apresiasi sastra. Penulis menggunakan
metode penelitian bahan pustaka untuk menganalisis subjek yang dimuat. Dokumentasi kritik
sastra menjadi bagian dari perkembangan sastra dewasa ini, juga merupakan bukti sejarah bagi
pertumbuhan sastra. Analisis subjek pada dokumentasi sastra dapat dijadikan sebuah kajian unik,
sebab sastra berupa refleksi dari budaya bangsa yang apabila dikaji lebih lanjut dapat
memunculkan banyak cabang ilmu yang lebih kompleks hanya dari satu karya. Meski pun pada
dasarnya, sastra merupakan salah satu hasil pemikiran para seniman di ranah kata-kata.
Kata kunci: dokumentasi, subjek, kritik sastra, klasifikasi.
A. Pendahuluan
Kritik sastra merupakan suatu tanggapan dan pemahaman terhadap sastra.
Sebagai salah satu studi sastra, kritik sastra banyak berperan dalam perkembangan
sastra dari yang awal hingga seperti sekarang ini. Kritik sastra memiliki tujuan
untuk mengembangkan ilmu sastra, mengembangkan sastra, dan sebagai
penerangan masyarakat pada umumnya terhadap karya sastra. Kritik sastra, sama
halnya dengan artikel ilmiah, juga merupakan bahan pustaka yang mesti
dihimpun, diolah, dilestarikan dan dilayankan oleh perpustakaan. Terbitan kritik
sastra bukanlah suatu terbitan berkala mengenai suatu bidang atau cabang ilmu,
tetapi merupakan terbitan monograf yang hanya terbit satu kali. Banyak kendala
dalam kegiatan mengolah dokumentasi sastra, seperti penulis yang menerbitkan
banyak kritik sastra, atau karya sastra yang banyak dikritik, masalah tahun terbit,
sampai pada bentuk terbitan. Maka untuk menghindari kebingungan tersebut,
salah satu jalan keluarnya adalah menggolongkan dokumentasi sastra berdasarkan
subjeknya.
Ada empat pilar utama dalam kegiatan kepustakawanan, yaitu pengadaan
bahan pustaka, pengolahan, melestarikan dan melayankan bahan pustaka.
Kegiatan operasional tersebut memuat berbagai disiplin ilmu, sebab ilmu
perpustakaan merupakan cabang ilmu yang interdisipliner. Salah satu di antaranya
adalah manajemen bahan pustaka dalam salah satu pilar kegiatan
kepustakawanan, yaitu pengolahan bahan pustaka.
Pengolahan bahan pustaka sendiri meupakan rangkaian kegiatan
pengindekskan, pengkatalogan dan klasifikasi bahan pustaka. Indeks adalah daftar
kata atau istilah penting yang terdapat dalam buku cetakan (biasanya pada bagian
akhir buku) tersusun menurut abjad yang memberikan informasi mengenai
halaman tempat kata atau istilah itu ditemukan (KBBI, 2010). Sedang kegiatan
pengindekskan di perpustakaan mengacu pada pembuatan petunjuk berupa angka,
huruf, maupun tanda lain untuk memberikan pengarahan kepada pemustaka
bahwa informasi lebih lengkap atau informasi yang terkait berada pada indeks
yang dirujuk (Lasa HS, 2009: 110).
Katalog adalah daftar yang memuat informasi tertentu yang ingin
disampaikan, disusun secara berurutan, teratur, dan alfabetis (KBBI, 2010). Istilah
pengkatalogan dalam kegiatan kepustakawanan meupakan kegiatan pencatatan
bibliografi untuk mempercepat pelayanan perpustakaan (dalam hal ini fase temu
balik) dalam rangka meningkatkan kualitas perpustakaan. Katalog bertujuan untuk
menyajikan informasi mengenai suatu literatur secara singkat. Katalog berisikan
identifikasi literatur, publikasi, karakter fisik dari dokumen, subjek atau konten
yang dimuat, dan nomor panggil yang menunjukan lokasi di mana dokumen
tersebut disimpan.
Pada nomor panggil sendiri terdiri atas beberapa elemen, yaitu nomor dari
klasifikasi subjek yang dimuat, inisial penulis, judul, serta di bagian layanan mana
buku tersebut ditempatkan. Klasifikasi dalam kegiatan kepustakawanan
merupakan penyususan dokumen secara sistematis menggunakan sistem tertentu.
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan dalam ranah perpustakaan. Pada
buku E. C. Richardson yang berjudul Classification, Theoretical and Practical,
dimuat sebuah esai yang berisi sejarah bibliografi terkait sistem klasifikasi. Esai
tersebut menyebutkan bahwa ada 161 sistem klasifikasi yang pernah ada (S. R.
Ranganathan, 1931: 399). Kebanyakan diantaranya punah dan tidak pernah
dipakai lagi. Ada empat skema klasifikasi yang paling banyak digunakan,
diantaranya Brown’s Subject Classification, Cutter’s Expansive Classification,
Dewey’s Decimal Classification, dan The Library of Congress Classification.
Karena tidak ada pembaharuan dan tidak adanya pihak yang memperbaharui,
maka Brown’s Subject Classification, Cutter’s Expansive Classification semakin
jarang digunakan. Sedangkan Dewey’s Decimal Classification merupakan skema
klasifikasi yang paling banyak digunakan dan The Library of Congress
Classification digunakan di Amerika (S. R. Ranganathan, 1931: 399). Keempat
skema ini banyak digunakan pada pengklasifikasian buku.
Selain empat skema klasifikasi yang disebutkan, ada pula Universal Decimal
Classification. Skema ini paling banyak digunakan di perpustakaan khusus dan
dalam dokumentasi terbitan selain buku. ditambah dengan skema klasifikasi S. R.
Ranganathan, pencetus 5 Laws of Library Science, Colon Classification yang
menekankan pada pendayagunaan secara maksimal dari klasifikasi desimal.
Apabila dikataan secara gamblang, pihak perpustakaan bebas menentukan mana
yang ingin dipakai. Semua ini dilakukan demi kepuasan pemustaka.
Dalam klasifikasi sendiri, terdapat landasan yang menjadi titik awal dari
proses klasifikasi. Bahan pustaka dapat diurutkan dengan berbagai cara, ambilah
misal secara alfabetis dari judul mau pun pengarang, subjek atau konten yang
dimuat, dan sebagainya. Semuanya itu disisin dalam suatu rangkaian sistematis
dalam pengolahan dengan salah satu tujuan untuk memudahkan proses temu balik
informasi kepada pemustaka.
Klasifikasi berdasarkan subjek seperti DDC atau UDC menuntut pustakawan
untuk lebih jeli menilai konten yang dimuat dalam suatu dokumen. Banyak
dokumen yang meliputi berbagai subjek dalam satu karya. Hal ini jelas dapat
menghambat proses pengolahan karena pustakawan harus benar-benar
mengidentifikasi kontan yang dimuat. Serta beresiko terjadinya kesalahan
informasi yang diterima sehingga tidak menuaskan pemustaka. Mengklasifikasi
dokumen dalam kepustakawanan merupakan sepasang kegiatan ilmiah dan seni
yang di dalamnya terkandung profesionalitas diri pustakawan.
Didasarkan pada hal ini, maka pengumpulan kritik sastra sebagai dokumen
juga dapat diklasifikasikan menurut sistem. Adanya analisis pada dokumen kritik
sastra akan memudahkan pemustaka dalam mengkaji sastra dari aspek keilmuan.
Juga meningkatkan efisiensi dan kerapian dalam suatu tempat, dari pada hanya
disusun berdasarkan tahun terbit tanpa mengetahui konten yang dimuat.
B. Metode Penelitian dan Sampel
Metode penelitian ini menggunakan kajian bahan pustaka terkait dokumentasi,
kritik sastra, dan klasifikasi subjek dalam dasar manajemen koleksi. Dengan
sampel beberapa paper berisi kritik sastra dari UKM ASAS UPI dari bulan
September hingga Nopember 2017.
Tubuh Maternal dan Kelahiran Perempuan Subjek oleh Kenny F.
Mulyadi
Tentang Ketidakberdayaan oleh M. Naufal Hafizh
Sepasang dan Sekumpulan Maut Ala Wan oleh Raden Ayunidhanti dan
Ilin Yustini
Menyusun Struktur yang Belum Rampung oleh Ilin Yustini
Terciduk: Anna Karenina Ketahuan Selingkuh oleh Dina Wulandari
Dawuk: Cerita dalam Cerita yang Tak Jelas Juntrungnya oleh
Mohamad Maskiat
Penyair Revolusioner: Menggugat Lewat Sajak oleh Agung Nungraha
Budi P.
C. Dokumentasi
Dalam kegiatan kepustakawanan, objek yang diolah jelas berupa bahan
pustaka. Dengan kata lain, pustakawan mengolah berbagai dokumen agar bisa
dilayankan pada pemustaka. Dokumen merupakan objek yang memuat berbagai
informasi, sedangkan dokumentasi menurut FID (Institute Internationale de
Documentation) dalam buku Sulistyo Basuki (2004: 5) adalah penyusunan,
penyimpanan, temu balik, pemencaran, evaluasi informasi terekam dalam bidang
sains, teknologi, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Dokumentasi pada kegiatan kepustakawanan bertujuan untuk (1) menata
dokumen untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka; (2) menghindari
duplikasi kerja; (3) memudahkan temu balik informasi; (4) menyimpan untuk
dilestarikan (Sulistyo Basuki, 2004: 17).
Berdasarkan isinya, dokumen dibagi menjadi tiga, yaitu dokumen primer,
dokumen sekunder, dan dokumen tersier. Dokumen primer merupakan dokumen
yang berisi informasi menganai penelitian asli, mengenai aplikasi teori terbaru
maupun penjelasan mengenai sebuah teori dalam semua disiplin ilmu (Sulistyo
Basuki, 2004: 28). Sedangkan dokumen sekunder adalah dokumen turunan dari
dokumen primer, seperti indeks, ensiklopedia, kamus, dan sebagainya. Dan
dokumen tersier adalah dokumen turunan dari dokumen sekunder, misalnya
katalog, panduan literatur dan buku ajar.
Dokumen dalam pemanfaatannya, ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
frekuensi penerbitan, metode penerbitan, karakteristik intelektual, tujuan dokumen
dan ketajaman analisis (Sulistyo Basuki, 2004: 26). Pada kritik sastra sendiri,
terbitannya dapat disebut monograf, yaitu terbitan yang hanya dibuat sekali saja.
Dalam hal ini, maksud dibuat sekali saja adalah satu penulis, satu karya sastra,
dan satu tulisan berupa kritik sastra itu sendiri. Pengorganisasian inilah yang
menjadi penting, sebab suatu karya tidak hanya dikritik oleh satu orang dan dari
sudut pandang yang serupa.
D. Kritik Sastra
Menurut H. B. Jassin (1959: 44) kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk
karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra. Ada tiga tujuan dari kritik
sastra, yaitu untuk perkembangan ilmu sastra, untuk perkembangan kesusastraan,
dan untuk menerangkan sastra pada masyarakat umum (Pradopo, 1988: 17).
Pada kritik sastra terdapat unsur-unsur penting yang berupa analisis,
interpretasi dan penilaian yang tidak dapat dipisahkan. Sebab karya sastra
merupakan karya seni yang kompleks sehingga perlu pemahaman mendalam saat
memberikan kritik sastra.
Rachmat Djoko Pradopo mengutip M. H. Abrams dalam bukunya (1995: 94)
menyebutkan bahwa untuk menafsir karya sastra ada empat orientasi karya sastra
yang menyertainya. Pertama, orientasi mimetik, yaitu karya sastra sebagai
refleksi kehidupan. Kedua, orientasi pragmatik, berupa karya sastra sebagai sarana
untuk mencapai tujuan pada pembaca. Ketiga, orientasi ekspresif, karya sastra
sebagai hasil ekspresi dan pikiran pengarang. Keempat, orientasi objektif yang
memandang bahwa karya sastra merupakan suatu karya yang mendiri dan tidak
terikat.
Jenis-jenis kritik sastra dapat dikelompokan berdasarkan bentuk, metode, tipetipe kritik sastra dan penulis kritik sastra. Kritik sastra berdasarkan bentuknya
digolongkan menjadi kritik sastra teoretis dan kritik sastra praktik. Kritik sastra
teoretis adalah penerapan prinsip-prinsip kritik sebagai landasan kritik sastra.
Sedangkan kritik sastra praktik adalah penerapan prinsip kritik sastra pada karya
sastra. Berdasarkan metode, kritik sastra dibagi menjadi tiga jenis yaitu, kritik
induktif, kritik yudisial dan kritik impresionistik (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:
95).
Rachmat Djoko Pradopo mengutip M. H. Abrams dalam bukunya (1995: 95)
kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan unsur sastra berdasarkan
fenomena yang objektif. Sedangkan kritik yudisial adalah kritik sastra yang
menganalisis karya sastra berdasarkan inti, teknik dan gayanya. Dan kritik
impresionistik berisi tanggapan perasaan terhadap karya sastra.
E. Analisis Subjek pada Dokumentasi Kritik Sastra
Pada kegiatan klasifikasi, setelah mengetahui fitur sistem pencarian informasi
dan pengertian dokumen sebagai bukti, hal selanjutnya yang mesti dilakukan
adalah analisis subjek. Menurut A. C. Foskett (1971: 42) ada dua kategori besar
dalam dokumen. Pertama adalah dokumen yang hanya memuat satu subjek, dan
kedua adalah dokumen yang memuat lebih dari satu subjek. Dalam bukunya, A.
C. Fosket juga menjelaskan bagaimana menganalisis subjek pada dokumen.
1. Paradigma dan Syntagma
Hal yang pertama harus disadari dalam menganalisis subjek adalah adanya
variasi hubungan antar subjek. Hubungan paradigma menunjukan bahwa subjek
adalah sebagaimana yang disebutkan. Sedangkan hubungan syntagma
menunjukan bahwa sebuah subjek ditentukan dari tujuan dokumen tersebut.
Ambilah misal pada hubungan paradigma, apabila sebuah dokumen bersubjek
besi maka konten yang dimuat pada dokumen tersebut pasti mengenai besi dan
hal-hal yang berkaitan dengan besi. Berbeda dengan hubungan syntagma,
contohnya album foto dengan foto (dari) album, jelas berbeda tujuannya.
Pada kritik sastra, jelaslah bahwa tujuan dari hal tersebut adalah untuk
memberikan komentar, tanggapan, maupun keterangan terhadap suatu karya
sastra. Kritik sastra yang didokumentasikan dari UKM ASAS UPI pun demikian,
semuanya menjelaskan mengenai hal-hal yang ada dalam suatu karya sastra yang
dipilih. Secara garis besar, penulis kritik sastra mengambil sebuah tema besar
yang mendasari karya sastra. Kemudian menganalisis dan mengomentari dari
penjabaran secara linguistika. Lebih jauh, penulis juga menggunakan beberapa
aspek lain seperti psikologi, antropologi budaya, dan politik dalam analisisnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ada paradigma dan syntagma
dalam kritik sastra yang menjadi penghubung suatu karya sasrta dengan disiplin
ilmu lain. Hubungan-hubungan ini terkadang sulit untuk diidentifikasi, meskipun
begitu, sudah menjadi tugas pustakawan dalam menamai subjek yang sesuai
dengan isi dokumen.
2. Sinonim
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Indonesia juga memiliki banyak
padanan kata dalam kamusnya. Dalam hal ini perbedaan kata meskipun maknanya
sama dapat menjadi masalah, sebab dapat mengacaukan penerimaan informasi
pemustaka. Oleh karena itu, subjek pada dokumen lebih baik sama. Dengan begitu
selain mempermudah pencarian, juga mempermudah menemukan antonim dari
subjek.
Dalam sastra Indonesia, subjek pada kritik sastra terkadang memiliki
perbedaan dalam padanan kata, namun memiliki makna yang sama. Ambilah
misal pada sebuah tulisan kritik sastra milik Raden Ayunidhanti dan Ilin Yustini
yang berjudul Sepasang dan Sekumpulan Maut Ala Wan, isinya merupakan
pembahasan dari sebuah buku kumpulan cerpen dengan judul Sepasang Maut
karya Wan Anwar. Penulis lebih memilih kata ‘maut’ sebagai konsep dasar
dibandingkan kata ‘mati’ padahal keduanya memiliki arti yang sama. Hal ini
didasarkan pada salah satu cerpen yang menjadi judul dalam buku, yaitu Sepasang
Maut. Pada klasifikasi subjek, pustakawan mesti menamai subjek sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, antara memakai thesaurus atau menggunakan Library of
Congress Subject Heading sebagai acuan. Maka meskipun mengangkat ‘maut’
sebagai konsep, tetap saja akan bersubjek ‘mati’ dalam klasifikasinya. Sebab
dalam tugas ini, pustakawan dituntut agar konsisten terhadap penggunaan bahasa.
3. Homograf
Homograf, di Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kata yang sama ejaannya
dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan maknanya. Di Indonesia sendiri terdapat
banyak padanan kata yang homograf. Misalnya genting ‘berbahaya’ dengan
genting ‘atap rumah’. Atau apel ‘buah’ dengan apel ‘upacara’. Pada ranah katakata berupa sastra, luasnya padanan kata sangat diperlukan pustakawan. Hal
tersebut dapat membantu menentukan subjek pada kritik sastra. Salah satu cara
untuk menentukan subjeknya adalah melihat padanan kata yang satu dengan yang
lain untuk menunjukkan konteks hingga maknanya.
Pada dokumentasi sastra, konten yang dimuat tidak hanya berupa pendalaman
dari satu subjek saja. Ada berbagai subjek yang dapat diangkat dari sebuah karya
dalam kritik sastra. Oleh karena itu, homograf juga perlu diperhatikan dalam
klasifikasi subjek.
4. Frasa
Frasa berupa gabungan dua kata atau lebih. Ada banyak konsep yang tidak
dapat didefinisikan dalan satu kata sebagai subjek. Subjek yang baru biasanya
dimulai dengan frasa. Sedangkan kata atau istilah yang baru digunakan untuk
mendefinisikan topik yang baru pula. Frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih
memiliki arti yang berbeda dengan istilah yang hanya memiliki satu kata.
Contoh, dari tulisan Kenny F. Mulyadi yang berjudul Tubuh Maternal dan
Kelahiran Perempuan Subjek. Frasa ‘tubuh maternal’ apabila dipisahkan menjadi
‘tubuh’ dan ‘maternal’. ‘Tubuh’ merupakan jasad, yang dalam hal ini berkaitan
dengan makhluk hidup dan cabang ilmu yang mempelajarinya seperti anatomi,
biologi, dan fisiologi. Sedang ‘maternal’ adalah sebuah istilah dalam konsep yang
membahas mengenai ibu dan anak (parenting). Maka frasa tubuh maternal dalam
tulisan Kenny F. Mulyadi mengacu pada perempuan atau ibu sebagai sumber
kehidupan anak, sumber rasa cinta dan rasa aman, kenikmatan imajiner, yang
melalui tubuh maternal karakter anak dapat dikontrol dan dikembangkan
mendahului konsep paternal.
Lain halnya dengan Tentang Ketidakberdayaan yang ditulis oleh M. Naufal
Hafizh, dalam judul tersebut ditulis sebuah kata yang asalnya ditulis dalam dua
kata yaitu, “tidak” dan “berdaya”. Kedua kata tersebut disatukan dan diberi
imbuhan “ke-“ dan “-an” sehingga melahirkan makna yang baru.
5. Subjek Campuran
Kembali menilik hubungan syntagma, hal ini berarti subjek dilihat dari tujuan
sebuah dokumen. Ambilah misal kritik sastra berbeda dengan sastra kritik. Dalam
hal ini pustakawan dituntut untuk lebih jeli dalam menentukan subjek. Meskipun
dimulai dengan frasa, konsep yang dominanlah yang akan dijadikan sebagai
subjek.
Tak jarang dalam kritik sastra, subjek yang dimuat dalam dokumentasi kritik
sastra juga tidak ada yang selalu hanya satu. Seperti pada tulisan Mohamad
Maskiat yang diberi judul Dawuk: Cerita yang Tak Jelas Juntrungnya, di
dalamnya terdapat sub bahasan mengenai gaya bahasa sarkastik dan bahasan
mengenai konflik agraria.
6. Bahasa Pengingdekskan (indexing language)
Maksudnya adalah sebuah sistem dalam menamai subjek dokumen. A. C.
Foskett (1971: 48) menggunakan concept indexing dalam menganalisis subjek.
Concept indexing tidak menggunakan kata-kata yang dipakai penulis untuk
menentukan subjek, melainkan menganalisis konten dari dokumen dan
menentukan subjek meskipun kata dalam subjek tersebut sama sekali tidak
dipakai oleh penulis.
Seperti yang telah dibahas pada poin kedua tentang sinonim, penentuan subjek
mesti dilandaskan pada suatu acuan tertentu. Tujuannya agar proses klasifikasi
dapat terstrukttur dengan baik. Pustakawan menggunakan thesaurus untuk
membantu dalam proses klasifikasi. Bahasa pengindekskan digunakan agar
penataan subjek lebih fleksibel sehingga memudahkan pemustaka dalam
menemukan informasi.
7. Pre-Coordinate dan Post-Coordinate Systems
Pustakawan harus bisa mengklasifikasikan subjek tunggal dan subjek
campuran (jamak) menggunakan bahasa pengindekskan. Ada dua cara untuk
penerapannya.
Pre-coordinate system, yaitu menggabungkan subjek campuran sebagai
subjek tunggal dengan memilih padanan kata yang benar. Kemudian disusun
berasarkan sistem. Namun, cara ini kurang efektif digunakan apabila dalam fase
temu balik pemustaka menggunakan kata kunci subjek yang sama sekali lain
dengan yang telah ditentukan pustakawan. Maka, jalan keluarnya adalah
memberikan deskripsi terhadap subjek, cara ini disebut post-coordinate system.
8. Sistem Terbuka dan Tertutup
Maksud dari sistem terbuka dan sistem tertutup adalah pustakawan dapat
menambahkan subjek baru yang mendekati subjek dasar atau landasan dari subjek
baru tersebut (sistem terbuka) tapi tetap dalam skema klasifikasi yang telah
ditentukan (sistem tertutup).
9. Penjumlahan dan Perpaduan
Masalah dalam sistem terteutup juga sistem pre-coordinate indexing
menjadi serius apabila harus berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang demikian kompleks. Hal ini membutuhkan lebih dari sekedar
skema pengindekskan yang bukan hanya luas tapi juga fleksibel dalam
penggunaanya. Karena hal inilah, maka dibuatlah sebuah bahasa sintesis yang
merupakan konsep tunggal, namun juga dapat meliputi subjek campuran dalam
pembuatan indeks. Metode ini lebih efisien daripada hanya penjumlahan subjek,
dan juga menjadi acuan dalam konstruksi penamaan subjek. Skema penjumlahan
dan perpaduan ini menghasilkan suatu tingkatan baru dalam pengorganisasian
pengetahuan dan juga dapat menjabarkan sebuah subjek dan hubungan-hubungan
baru.
10. Critical Claasification
Seorang pustakawan bertugas melayani di antara penulis dengan pemustaka.
Seorang pustakawan mestinya telah melalui banyak pengalaman dan latihan
dalam mengklasifikasi subjek dalam pengindekskan.
Apapun alasannya, klasifikasi kritis - pengenaan sudut pandang pengindeks
terhadap pengguna - ditemukan agak lebih luas daripada yang ingin kita akui.
Bahkan skema seperti UDC, yang memiliki kebijakan internasional yang pasti,
tidak sepenuhnya bebas dari permasalahan. Pengindeks sebaiknya berhati-hati
untuk tidak menciptakan permasalahan yang tidak perlu, dan pengguna harus
menyadari keberadaannya yang mungkin, jika sistem ingin mencapai tujuan
mereka untuk membuat informasi tersedia secara bebas. (A. C. Foskett, 1995: 5253)
Dari uraian metode di atas, apabila diterapkan pada kalsifikasi subjek pada
dokumentasi sastra dari UKM ASAS UPI, maka dokumentasi sastra tersebut
hanya dua karya yang dapat diklasifikasikan berdasarkan subjek, yaitu Tubuh
Maternal dan Kelahiran Perempuan Subjek oleh Kenny F. Mulyadi serta
Menyusun Struktur yang Belum Rampung dari Ilin Yustini. Sedangkan
dokumentasi kritik sastra yang lainnya tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan
subjek. Sebab dalam analisis subjek, kritik sastra harus memiliki pembahasan
yang spesifik. Kelima dokumentasi kritik sastra sisanya memuat konten yang
menerangkan sastra kepada masyarakat umum, sesuai tujuan ketiga dari kritik
sastra dan bukan menelaah lebih lanjut dari segi keilmuan. Dapat dikatakan bahwa
tulisan yang tidak dapat diklasifikasi ini masih berupa gambaran umum tentang
suatu karya.
F. Simpulan
Kritik sastra merupakan suatu tanggapan terhadap karya sastra. Bertujuan
untuk mengembangkan ilmu sastra, mengembangkan sastra, serta menerangkan
sastra pada masyarakat umum. Kritik sastra memiliki beberapa teknik memahami
sastra, yaitu orientasi mimetik, orientasi pragmatik, orientasi ekspresif, dan
orientasi objektif. Jenis-jenis kritik sastra dapat dikelompokan berdasarkan
bentuk, metode, tipe-tipe kritik sastra dan penulis kritik sastra. Kritik sastra
berdasarkan bentuknya digolongkan menjadi kritik sastra teoretis dan kritik sastra
praktik. Pada kritik sastra terdapat unsur-unsur penting yang berupa analisis,
interpretasi dan penilaian yang tidak dapat dipisahkan. Sebab karya sastra
merupakan karya seni yang kompleks sehingga perlu pemahaman mendalam saat
memberikan kritik sastra.
Dokumentasi pada kritik sastra menerapkan suatu sistem di mana di dalamnya
terdapat analisis subjek sebagai acuan dalam klasifikasinya. Menurut A. C.
Foskett dalam bukunya, analisis subjek dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu:
Mengidentifikasi paradigma dan Syntagma
Mencari sinonim
Mencari makna kata homograf
Mencari konteks dan makna dari frasa
Menentukan subjek tunggal atau campuran
Menentukan bahasa pengindekskan (indexing language) yang dipakai
Membuat sistem pre-coordinate dan post-coordinate
Memakai dan memaksimalkan daya guna istem terbuka dan tertutup
Menjumlahkan dan memadukan subjek dalam dokumentasi
Klasifikasi kritis
Dari tahapan tersebut maka tujuh kritik sastra yang menjadi objek penelitian
penulis hanya didapat dua tulisan yang dapat diklasifikasikan berdasarkan subjek
yaitu, Tubuh Maternal dan Kelahiran Perempuan Subjek oleh Kenny F. Mulyadi
serta Menyusun Struktur yang Belum Rampung dari Ilin Yustini. Sedang kelima
lainnya tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan subjek sebab konten yang dimuat
masih bersifat umum dan bertujuan untuk menerangkan karya sastra terhadap
masyarakat awam.
G. Sumber Rujukan
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2010.
HS, Lasa. 2009. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Book
Publisher.
Ranganathan, S. R. 1931. The Five Laws of Library Science.
Basuki, Sulistyo. 2004. Pengantar Dokumentasi. Bandung. Rekayasa Sains.
Foskett, A. C. 1961. The Subject Approach to Information. London. Clive Bingley.
Jassin, H. B. 1959. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta. Gunung Agung.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta. Penerbit Lukman.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.