Pengajaran Penerjemahan Kata Perkata Mel

PENGAJARAN PENERJEMAHAN KATA PERKATA
MELALUI KARYA SASTRA*1
Rima Devi
Rita Agustina Karnawati

Abstrak
Mengajarkan bahasa asing seperti bahasa Jepang kepada orang Indonesia tidaklah
mudah, walaupun pengajar memiliki penguasaan bahasa Jepang yang tinggi dan
pembelajar memperlihatkan keinginan yang kuat untuk dapat menguasai bahasa Jepang.
Tak jarang semangat belajar para pembelajar bahasa Jepang mulai meredup ketika
dihadapkan pada banyaknya kosakata yang harus diingat. Para ahli bahasa tak terkecuali
bahasa Jepang hingga saat ini terus berupaya mengembangkan berbagai metode
pengajaran kosakata agar pembelajar dapat dengan lebih mudah menguasai bahasa asing
yang dipelajari. Salah satu metode yang ditawarkan dalam pengajaran bahasa terutama
dalam mengingat kosakata adalah melalui karya sastra. Bagaimana karya sastra dapat
digunakan sebagai bahan ajar untuk pemerolehan kosakata bahasa Jepang merupakan
permasalahan pada tulisan ini. Metode pengajaran yang ditawarkan adalah membaca
karya sastra untuk kemudian menerjemahkannya menggunakan teori penerjemahan yang
dikemukakan oleh Newmark. Dengan menggunakan metode ini diketahui bahwa karya
sastra dapat dijadikan bahan ajar pada mata kuliah terjemahan atau honyaku dan dapat
dipakai untuk meningkatkan pemerolehan kosakata baru.

Kata kunci: karya sastra, honyaku, kosakata

Pendahuluan
Salah satu hal yang dapat membuat pembelajar bahasa asing menguasai bahasa yang
dipelajarinya dengan baik adalah penguasaan kosakata. Semakin banyak kosakata yang
dikuasai maka akan semakin mudah mempelajari bahasa asing. Tidak itu saja, menurut
Barton (2001) pembelajar yang menguasai banyak kosakata akan akan mahir
menggunakan bahasa asing yang dipelajari. Namun dalam pengajaran bahasa asing
seperti bahasa Jepang tak jarang dijumpai kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar
dalam penguasaan kosakata sehingga kemampuan bahasa Jepang yang ditargetkan oleh
pengajar pada setiap pertemuan tidak mencapai sasaran secara maksimal.

1

Dipresentasikan pada Seminar Nasional Asosiasi Pendidikan Bahasa Jepang Indonesia (ASPBJI) Korwil
Jawa Barat, Kampus Universitas Nasional PASIM, Bandung, 10 Mei 2016.
(tidak ada prosiding)
1



Kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar bahasa Jepang tak terlepas dari jenis-jenis
kosakata dalam bahasa Jepang. Sudjianto dan Dahidi (2007: 98) mengatakan bahwa
jenis-jenis kosakata atau dalam bahasa Jepang yang disebut dengan goi dapat
diklasifikasikan berdasarkan cara-cara standar, atau sudut pandang apa kita melihatnya.
Misalnya berdasarkan karakteristik gramatikanya terdapat kata-kata yang tergolong
dooshi, I keiyoshii atau keiyodooshi dan meishi, rentaishi, fukushi, setsuzookushi dan
jooshi.
Berdasarkan pembagian jenis kosakata di atas terlihat bahwa kosakata dalam bahasa
Jepang cukup beragam. Banyaknya jenis kosakata yang perlu dihafalkan membuat
pengajar berupaya mengajarkan kosakata agar dipahami oleh pembelajarnya. Berbagai
metode yang ditawarkan dalam pengajaran kosakata ada yang efektif ada pula yang
tidak. Metode yang efektif yang dimaksudkan di sini adalah metode yang dapat memicu
pembelajar mengingat kosakata baru dengan cepat dan dapat mengingat dalam memori
jangka panjang.
Kesulitan untuk menghafal dan mengingat kosakata bahasa asing yang sedang
dipelajari dihadapi oleh hampir semua pembelajar bahasa asing di seluruh dunia. Para
pengajar juga terdengar mengeluhkan sulitnya membuat para pembelajarnya untuk dapat
menghafal dan mengingat kosakata baru dan kemudian diaplikasikan di dalam maupun
di luar kelas. Untuk itu berbagai metode dirancang dan digunakan untuk membuat
pembelajar bahasa asing menguasai kosakata baru dengan cepat, mudah, dan melekat di

dalam memori jangka panjang. (Barton, 2001).
Sementara itu, metode pengajaran kosakata yang umum terlihat pada kelas-kelas
bahasa asing adalah memberikan daftar kosakata baru kepada pembelajar dan mereka
disuruh menghafalkan untuk kemudian diujikan. Metode lain adalah pengajar
melafalkan kosakata baru dengan bersuara kemudian pembelajar disuruh mengucapkan
secara berulang-ulang hingga dianggap sudah memahami arti dari kosakata baru tersebut.
Ada pula metode mengajarkan kosakata baru dalam bentuk lagu yang dapat dihafalkan
oleh pembelajar dan lain sebagainya.
Ada pula metode yang digunakan untuk pemerolehan kosakata yaitu melalui karya
sastra. Metode ini telah dipraktekkan dan diteliti oleh beberapa pengajar bahasa asing
seperti Barton, Dixon-Krauss, dan Dole. Para pengajar dan peneliti ini menyatakan
bahwa dengan metode yang digunakannya telah berhasil menambah pemahaman
kosakata pembelajar bahasa asing yang diasuhnya. Mengetahui keberhasilan para
peneliti dan pengajar tersebut menumbuhkan keinginan untuk menawarkan metode
pengajaran menggunakan karya sastra sebagai bahan ajar. Penggunaan karya sastra

2


sebagai bahan ajar dapat diterapkan pada pembelajaran penerjemahan atau honyaku.

Menurut Mochida Kimiko (1990), penerjemahan adalah:
ほんやく

げんご

たんご

げんご

「翻訳とはある言語の単語や文を別の言語の中で同じ<意味>を


たんご










持 つ単語 や文に置 き換 えることだ、と言うことが出来 るであろ
う。」
Penerjemahan adalah mengubah kata dan kalimat dalam sebuah bahasa
menjadi kata atau kalimat dalam bahasa lain dengan “makna” yang sama.
Berdasarkan definisi penerjemahan yang dikemukakan oleh Mochida di atas terlihat
bahwa dalam penerjemahan terdapat kegiatan mengubah kata atau kalimat dari satu
bahasa ke bahasa lain. Kata atau kalimat yang diubah dapat diambil dari karya sastra.
Pemilihan karya sastra sebagai bahan ajar untuk pembelajaran penerjemahan karena
selain pembelajar dapat menerjemahkan karya tersebut kata perkata, pembelajar juga
dapat mengetahui dan memahami karya sastra yang diterjemahkan. Menurut pakar
bahasa bahwa pemahaman akan satu cerita dapat membentuk pengertian akan konsep
dasar dari kosakata baru (Nagy & Herman, 1985; Weir, 1991 dalam Dixon-Krauss,
2001).
Dari uraian di atas mengenai pengajaran bahasa khususnya bahasa Jepang maka
permasalahan pada tulisan ini adalah bagaimana karya sastra dapat digunakan sebagai
bahan ajar pada pengajaran penerjemahan untuk pemerolehan kosakata baru.

Metode Newmark

Pada pengajaran penerjemahan menggunakan karya sastra sebagai bahan ajar,
digunakan metode penerjemahan yang dikemukakan oleh Newmark. Metode
penerjemahan menurut Newmark (1988:45-47), terbagi ke dalam delapan definisi yaitu:
1. Word-for-word translation. Dalam metode ini, penerjemahan dilakukan kata
demi kata tanpa mengubah susunan kalimat dalam BSu2, dan kata-kata yang
berhubungan yang mengandung faktor budaya dialihkan apa adanya.
2. Literal translation. Penerjemah dalam metode ini dilakukan secara harafiah
dengan mempertahankan kata-kata dan gaya bahasa dalam BSu namun
mengubah struktur BSu menjadi BSa3. Metode ini bermanfaat untuk memberi

2
3

BSu = Bahasa Sumber
BSa = Bahasa Sasaran

3


3.


4.

5.
6.

7.

8.

sudut pandang pada penerjemah dalam menanggulangi masalah, misalnya
penerjemahan idiom.
Faithful translation. Dalam metode ini, aspek format atau aspek bentuk
dipertahankan sejauh mungkin. Metode ini banyak digunakan dalam
menerjemahkan puisi.
Semantic translation. Penerjemahan dengan metode ini menitikberatkan
pada makna kata sehingga terdapat istilah atau kata kunci yang harus
dihadirkan dalam Bsa
Adaptation. Metode ini lebih menekankan pada isi pesan dengan bentuk yang
disesuaikan dengan kebudayaan BSa

Free translation. Penerjemahan ini menitikberatkan pada pengalihan pesan
sementara pengungkapannya dalam BSa disesuaikan dengan kebutuhan sidang
pembaca.
Idiomatic translation. Dalam metode ini, penerjemahan dilakukan dengan
mengupayakan penerjemahan padanan, istilah, ungkapan dan idiom ke dalam
BSa
Communicative translation. Dalam metode ini, penerjemahan tidak harus
dilakukan secara bebas tetapi cenderung mementingkan isi pesan.

Penerapan Teori
Penerapan Teori penerjemahan untuk menerjemahkan karya sastra pada pembelajaran
honyaku dilakukan sebagai berikut. Pembelajar membaca sebuah cerita yang diambil
dari karya sastra yang sudah ditentukan (pada pembelajaran ini digunakan novel),
kemudian melakukan proses penerjemahan dengan menggunakan metode Newmark.
Pengajar menyiapkan 5 silabus untuk 5 kali pertemuan. Pada pertemuan pertama
pengajar memberikan daftar kosakata yang terdapat dalam karya sastra tersebut.
Kosakata ini diambil dari sebuah novel mulai dari bab 1 sampai bab 5. Setiap kosakata
dijelaskan dan didiskusikan maknanya. Hal ini dilakukan sehubungan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Sutedi (2008: 118) bahwa informasi tentang setiap kosakata
masih kurang termasuk tentang maknanya. Misal kata tsukau, jika dilihat pada kamus

daigakushorin, makna yang tercantum yaitu pakai, memakai, dan mempergunakan.
Penjelasan tentang makna kosakata ini masih kurang sehingga sering terjadi kesalahan
pada pembelajar yang menerjemahkan memakai sepatu dengan kutsu o tsukau.
Sementara dalam bahasa Jepang untuk memakai sepatu digunakan kosa kata khusus
yaitu kutsu o haku. Demikian pula kosa kata yang terdapat dalam novel, terkadang
terdapat kesalahan makna dalam pengertian pembelajar, sehingga ketika proses
4


menerjemahkan terjadi kesalahan. Jadi, tujuan dari pemberian penjelasan setiap kosa
kata adalah meminimalkan terjadinya kesalahan dalam memahami kosa kata yang
terdapat di dalam teks terjemahan.
Selain metode penerjemahan digunakan pula ideologi penerjemahan. Venuti (1995:
23-31) mengemukakan dua macam ideologi dalam penerjemahan, yaitu domestication
dan foreignization. Domestication mengusung ide bahwa terjemahan yang dianggap baik
adalah yang sesuai dengan kebudayaan atau cita rasa masyarakat BSa sehingga sidang
pembaca tidak merasa bahwa itu adalah hasil terjemahan, sedangkan foreignization
merupakan kebalikannya. Menerjemahkan dengan menghadirkan nilai-nilai bahasa
sumber agar masyarakat pembaca diperkaya pengetahuannya dengan membaca sesuatu
yang asing. Ketika terdapat kosakata yang berasal dari penerjemahan asing maka proses

penerjemahan dapat memakai ideologi penerjemahan ini.
Pada pertemuan kedua, pembelajar diminta untuk menerjemahkan novel. Pembelajar
dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing masing kelompok menerjemahan satu
paragraf dari cerita yang terdapat dalam novel dengan menggunakan dan melihat daftar
kosakata yang telah dijelaskan dan didiskusikan pada pertemuan pertama. Proses
penerjemahan menggunakan metode word for world translation. Setelah selesai
menerjemahkan mahasiswa mendiskusikan hasil terjemahan per paragraf sesuai dengan
kelompoknya masing masing. Pada pertemuan kedua ini setiap kelompok hanya
menerjemahkan kata perkata saja, lalu mempresentasikannya di depan kelas. Kelompok
yang lain menyimak makna dari kosakata yang telah telah diterjemahkan. Apabila ada
kelompok lain yang kurang setuju dengan hasil penerjemahan dari kelompok yang
tampil di depan kelas, maka kelompok lain bisa memberikan masukan dan alasannya
sehingga terjadi interaksi antara kelompok yang tampil dan kelompok yang menyimak.
Apabila ada silang pendapat, maka pengajar akan menjadi penengah dengan
memberikan masukan, apakah kosakata yang diterjemahkan tepat dan sesuai maknanya.
Pada pertemuan ketiga, pengajar menjelaskan pengelompokan jenis kata yang terdiri
dari pronomina, nomina, verba, konjungsi, partikel dan sebagainya. Setelah proses
penerjemahan dengan menggunakan metode world for world translation, pembelajar
memilah jenis katakosa kata yang terdapat dalam novel tersebut. Pada pertemuan ini,
setiap kelompok juga mengemukakan alasannya dalam pemilahan jenis kata pada setiap

kosakata. Tujuan dari metode ini adalah untuk mempermudah proses penerjemahan.
Pada pertemuan keempat, setiap kelompok mendiskusikan hasil dari terjemahan
novel per paragraf, apabila terdapat makna semantic dalam terjemahan tersebut maka
kelompok tersebut menerjemahkan dengan menggunakan metode semantic translation.
Metode semantic translation adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan
mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata. Semantik didefinisikan pula sebagai
5


bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna
suatu wicara. Pemahaman akan metode penerjemahan semantik ini perlu pula
disampaikan karena yang diterjemahkan adalah sebuah cerita dalam novel, maka makna
semantik banyak muncul dalam penerjemahan ini.
Contoh penerjemahan semantik dijelaskan oleh Sutedi (2008: 144) bahwa tagigo
(polisemi) merupakan salah satu obyek kajian semantik. Polisemi ini sering muncul
dalam teks terjemahan seperti novel. Para pembelajar bahasa Jepang memahami kalimat
nikai ni agaru (naik ke lantai dua), sementara itu terdapat pula ungkapan ame ga agaru
yang tidak diterjemahkan dengan hujan naik, melainkan dengan hujan berhenti. Polisemi
seperti ini sering terdapat dalam bahasa Jepang yaitu dalam satu kata terdapat makna
lebih dari satu. Selain itu dalam semantik ada istilah perubahan makna (imi no henka)
yang bisa meluas dan bisa menyempit, dan ada juga yang tidak cocok dengan kondisi
sekarang. Hal seperti yang telah disebutkan di atas mengenai makna semantik, banyak
pula terjadi pada penerjemahan novel, oleh karena itu pengajar membekali pembelajar
dengan pengetahuan mengenai teori semantik ini.
Pada pertemuan kelima, pengajar dan pembelajar mendiskusikan hal-hal yang telah
dilakukan dalam proses penerjemahan karya sastra, menyimpulkan terjemahan novel
dalam tiap paragraf, memberi tanda pada kosakata yang dipakai berdasarkan ideologi
penerjemahan, dan memberi tanda pula pada terjemahan yang mengalami pergeseran
makna. Setelah itu pembelajar mempresentasikan hasil terjemahan novel dalam satu bab.
Pada pertemuan ini pembelajar mempresentasikan hasil terjemahannya secara lengkap
sesuai dengan langkah-langkah penerjemahan. Bahan ajar yang digunakan cukup
menarik bagi pembelajar karena selain belajar tentang sastra, pembelajarpun mendapat
pengetahuan bagaimana langkah langkah penerjemahan sebuah karya sastra.
Berdasarkan uraian penerapan teori penerjemahan pada karya sastra untuk
meningkatkan pemahaman pembelajar akan kosakata bahasa Jepang, maka satuan acuan
pengajaran dapat dirangkum pada sebagai berikut.

Satuan Acuan Pengajaran
I. Pengajar menjelaskan kosakata yang terdapat dalam karya sastra, menjelaskan
sinonim ataupun polisemi dari kosa kata yang terdapat dalam novel. Pembelajar
memperoleh cara baca kanji yang terdapat dalam novel.
II. Pembelajar melakukan proses penerjemahan novel dengan menggunakan metode
world for world translation.

6


III. Pengajar menjelaskan jenis kata dan pembelajar menentukan jenis kata yang terdapat
dalam teks novel.
IV. Pembelajar mengidentifikasi apakah terdapat makna semantic dalam novel tersebut.
V. Pembelajar merangkum dan mendiskusikan hasil terjemahan dan melakukan
presentasi dari hasil penerjemahan

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat dijadikan sebagai
bahan ajar pada pembelajaran penerjemahan atau honyaku dan dapat pula digunakan
untuk meningkatkan pemerolehan kosakata baru. Dalam karya sastra banyak terdapat
makna sematik dan idiom, maka dengan menggunakan karya sastra sebagai bahan ajar,
pembelajar dapat mengetahui kalimat yang mengalami pergeseran arti akan tetapi tidak
melenceng dari bahasa sumbernya atau karya sastra yang dijadikan bahan ajar. Selain itu
ideologi penerjemahan dapat pula dipakai dalam penerjemahan sebuah karya sastra dan
menambah khasanah pengetahuan pembelajar tentang karya sastra serta mengetahui pula
bagaimana menerjemahkan sebuah karya sastra.

Daftar Pustaka
Barton, James. (2001, Maret).Teaching Vocabulary in the Literature Classroom. English
Journal. Maret, 2001). (p. 82-88). National Council of Teachers of English.
Devi, Rima. (2015). Pemerolehan Goi Melalui Karya Sastra. Prosiding Seminar
Nasional Pengajaran Bahasa Jepang ASPBJI, STBA Haji Agus Salim Bukittinggi.
Dixon-Krauss, Lisbeth. (2001). Using Literature as a Context for Teaching Vocabulary.
Journal of Adolescent & Adult Literacy, Vol. 45, No. 4 (Dec., 2001 - Jan., 2002), pp.
310- 318. Diakses 06 September 2015. http://www.jstor.org/stable/40012208.
Dole, Janice A; Sloan, Christopher; Trathen. (1995, Mar). Teaching Vocabulary Within
the Context of Literature. Woodrow Journal of Reading; Mar 1995; 38, 6; ProQuest
Education Journals p. 452-461
Kenbo, Hidetoshi. et.al. (1992). Okina Katsuji no Sanseido Kokugo Jiten. Tokyo:
Sanseido Press.
7


Nida ,E.A & Taber. C.R (1969) The Theory and Practice of Translation. Leiden: Brill
Sutedi, Dedi. (2008). Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang, Bandung: Humaniora
Utama Press.
Sudjianto, Dahidi Ahmad. (2007) Pengantar Linguistik Bahasa Jepang Bekasi: Kesaint
Blanc.
Newmark P. (1988). A Textbook of Translation. Herdfordshire: Prentice Hall
International.
Matsumura, Akira. (1988). Daijirin. Tokyo: Sanseido Press.



8