Pendidikan Kalbar di abad ke 21 tetap
Pendidikan Kalbar di abad ke-21: tetap teguh di era digital
(Bahan untuk seminar temu alumni Sanata Dharma wilayah Kalbar,
Pontianak 8 Juli 2018)
Leo Sutrisno*, **
Alumni FKIE IKIP Sanata Dharma: Pendidikan 1970 (BA) & Pendidikan Fisika 1980
(Drs)
Pengantar
Secara sederhana, pendidikan dapat dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
anteseden, interaksi dan hasil. Dalam domain anteseden tercakup segala hal yang
terkait dengan penyediaan sarana-prasarana pendidikan yang perlu disediakan
agar kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan. Domain interaksi meliputi segala
hal yang berlangsung selama proses pembelajaran. Dan, Domain hasil tidak hanya
berupa hasil belajar (output) tetapi juga dampak pendidikan bagi kelembagaan
dan masyarakat pada umumnya (outcome)[1].
Dalam sajian ini, domain hasil pendidikan Indonesia akan ditampilkan lebih
dahulu, yaitu posisi Indonesia di panggung dunia menurut hasil survai lembagalembaga internasional. Disusul dengan sajian domain interaksi yang berisi usulan
yang perlu dilakukan, yaitu: pencangkokan DNA Inovator [2} dan literasi digital[3].
Domain anteseden diserahkan kepada para pembaca, sebagai bahan diskusi untuk
menjawab pertanyaan bagaimana sarana dan prasarana disiapkan agar
memungkinkan usulan itu dapat diimplementasikan dalam sejumlah konteks
Kalimantan ini. Diharapkan usulan dari sajian ini, dalam jangka panjang, menjadi
salah satu alternatif kebijakan untuk mewujudkan “Tanah Kalimantan, rumah kita
bersama”[4].
1. Indonesia di panggung dunia
Berbagai lembaga survai internasional melaporkan bahwa pencapaian
pendidikan di Indonesia tidak menggembirakan. Dibandingkan dengan 82 negara
yang lain, Indeks Kreatifitas Indonesia (2011)[5] sebesar 0.04. Nilai ini berada pada
Nomor 2 terendah, satu tingkat di atas Kambodia. Harga ini jauh lebih rendah
daripada Indeks Kreativitas Malaysia (0.43). dan tentu saja sangat jauh dari
Swedia yang mempunyai Indeks Kreativitas tertinggi (0.92). Data 2015
menunjukkan Indeks Kreativitas Indonesia adalah 0.20 yang berada pada urutan
ke-115 dari 139 negara yang di survai[6] dan menempatkan pada kedudukan paling
rendah di Asia Tenggara[7].
Global Innovation Index tahun 2013 menempatkan Indonesia pada ranking ke85 dari 143 negara yang berpartisipasi[8]. Malaysia menempati posisi yang jauh
lebih tinggi, yaitu pada urutan ke-32. Jauh di atas lagi ditempati oleh Singapura
(ke-8) dan Swis (ke-1). Vietnam berada pada posisi ke-76 dan Thailand pada posisi
ke-57. Indeks Inovasi Indonesia tetap saja tidak beranjak dari tahun ke tahun, pada
2014 ranking ke-87/143[9], 2015 ranking ke-97/141[10], 2017 ranking ke-87/127[11].
The Learning Curve, sebuah lembaga survai yang bermarkas di London, 2012,
melaporkan ‘Global index of cognitive skills and educational attainment’ Indonesia
pada posisi z = -2.03 dan pada berada pada ranking terendah dari 40 negara yang
berpartisipasi[12]. Posisi ini berada pada kelompok terendah bersama-sama
dengan: Turki (z = -1.24), Colombia (z = -1.46), Thailand (z = -1.46), Mexiko (z =
-1.60), dan Brazil (z = -.1.65). Sedangkan lima posisi paling atas berturut-turut
ditempati: Finlandia, Korea Selatan, Hongkong, Jepang dan Singapura [13].
The Program International Students Assessment-PISA, (2012) menempatkan
rerata hasil belajar 5000 siswa Indonesia antara usia 15 tahun 3 bulan dan 16
tahun 2 bulan pada urutan ke-64/65 di bidang matematika dan IPA, serta pada
urutan ke-61/65 di bidang membaca di antara 65 negara anggota OECD serta mitranya[14]. Hasil PISA 2015, matematika 64/71 , IPA 63/71, membaca 42/71. Ada sekitar
0.8% siswa Indonesia yang masuk kelompok ‘top’ (level 5+6). Sebaliknya ada
sekitar 48% masuk kelompok terendah (below 2 level) [15] [16]
Banyak penjelasan yang muncul akan pencapaian pendidikan Indonesia
menurut hasil-hasil penelitian ini. Temuan PISA [17] mungkin cukup baik jika
direfelksikan, yaitu hampir 96 siswa indonesia mangaku “Being happy at school”
dan mereka ini juga “Lack of hard work and in control for success”.
Hasil pendidikan Indonesia yang digelar secara internasional seperti ini, tentu
tidak berarti ‘menyingkirkan’ sumbangan sejumlah orang Indonesia yang telah
berhasil di kancah dunia baik dalam pendidikannya maupun dalam pekerjaannya.
Pertanyaan yang dimunculkan dalam sajian ini adalah, ‘apa yang dapat kita
lakukan?’
2. Mencangkokkan ‘DNA inovator’
Sebelum menjawab pertanyaan ini, Ketika masih menjabat Menteri, Prof Nuh
menyatakan “Perlu dirumuskan kurikulum berbasis proses pembelajaran yang
mengedepankan pengalaman personal .... untuk meningkatkan kreativitas peserta
didik”[17].
Dalam Kurikulum 2013 dikembangkan pembelajaran yang membekali para
siswa dengan lima pengalaman pokok[18], yaitu: a. mengamati; b. menanya; c.
mengumpulkan informasi; d. mengasosiasi; dan e. Mengkomunikasikan. Kebijakan
ini mengadaptasi temuan Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen
(2011)[19].
Deyer, dkk, menemukan lima ketrampilan inkuari yang khas dimiliki para
inovator kelas dunia. Kelima ketrampilan itu adalah ‘questioning, observing,
experimenting, networking, dan associating’[20]. Orang-orang yang inovatif memiliki
kelima ketrampilan ini dengan sangat menonjol. Mereka adalah para inovator yang
sekarang ini didambakan di Indonesia.
Kiranya ada baiknya DNA inovator ini ‘dicangkokkan’ pada peserta didik dan
pendidik. Pencangkokan DNA inovator sangat mungkin dilakukan karena tidak
perlu tambahan biaya dan tambahan waktu. Yang diperlukan hanyalah kesediaan
untuk berbuat, maaf tentu juga harus ‘mempunyai usus yang panjang’ sehingga
‘tahan banting’ dalam situasi apa pun.
Pencangkokan DNA Inovator dalam pendidikan juga sejalan dengan temuan
para pakar pendidikan. Pada tahun 2007, John Hattie[21], selama 15 tahun
mengumpulkan lebih dari 750 meta analisis tentang faktor yang mempengaruhi
hasil pendidikan di seluruh dunia. Karya ini mencakup lebih dari 50.000 penelitian
internasional yang melibatkan lebih dari 200 juta siswa. Ditemukan 100 faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Pada tahun 2009, ada 38 faktor lagi
ditambahkan [22]. Effect Size gabungan seluruh faktor sebesar 0.40.
Ke-138 variabel yang ditemukan itu, dipilah menjadi enam kelompok variabel:
guru, kurikulum, pengajaran, siswa, rumah dan sekolah. ‘effect Size’ rerata
masing-masing kelompok berturut-turut adalah: 0.50 (guru), 0.45 (kurikulum), 0.43
(pengajaran), 0.39 (siswa), 0.35 (rumah) dan 0.23 (sekolah). Variabel guru dan
variabel pengajaran mempunyai Effect Size tinggi, pencangkokan DNA Inovator
pada siswa dapat dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan
pencangkokan pada guru berarti peningkatan kelompok variabel guru.
Temuan penting lain yang perlu dicermati adalah fungsi guru, apakah guru
sebagai aktivator atau sebagai fasilitator. Ditemukan bahwa effect size guru
sebagai aktivator sebesar 0.60, jauh lebih besar dari pada guru sebagai fasilitator
(0.17). Guru sebagai aktivator akan menghasilkan inovator.
3. Meningkatkan literasi digital
Kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi yang sangat pesat
dalam 50 tahun terakhir menimbulkan semacam ‘big bang’ dunia maya [23]. Kini,
kita hidup dalam dunia digital. Dalam dunia maya ini, informasi dipandang sebagai
komoditi dan orang cenderung menggunakan logika waktu pendek[24]. Akibatnya,
terjadi keseragaman informasi.
Fenomena lain yang terjadi adalah berkembangnya politik identitas[25].
Gabungan dari ketiga fenomena ini maka berkembang cara berpikir biner [26].
Mereka yang menggunakan cara berpikir biner menggunakan doktrin “yang
berasal dari saya pasti benar dan yang berasal dari tempat lain salah”. Agar paling
cepat sampai di tujuan maka kebenaran informasi yang dikirimkan itu sering
dipertanyakan. Muncullah yang disebut “HOAX”[27].
Sisi negatif yang lain dalam dunia digital adalah ujaran kebencian [28]. Ujaran
kebencian muncul di dunia digital merupakan konsekuensi dari pengguna logika
biner tidak mampu mengembangkan argumentasi yang baik.
Dewasa ini, sebagian besar para pengguna media sosial merasa tidak mampu
menghadapi hoax dan ujaran kebencian. Apa yang dapat dilakukan agar tidak larut
dalam arus hoax dan ujaran kebencian, khususnya di dunia pendidikan?
Peningkatan literasi digital para pendidik dan peserta didik merupakan salah satu
jawabannya[29] [30].
Peningkatan literasi bisa dikembangkan jika kita memiliki: kemampuan
mengelola informasi, kemahiran menggunakan bahasa yang baik dan benar, serta
kemampuan menggunakan cara berpikir tingkat tinggi. Selain itu, kita mesti punya
kehendak untuk berkomunikasi yang beretika[31]. Dengan literasi digital yang
memadai maka kita mampu memproduksi informasi yang benar.
4. Apa dampaknya?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan ditempatkan pada sejumlah konteks
posisi Indonesia dewasa ini. yaitu:Konteks 1: The flaat world; Konteks 2:
Kevakuman moral; Konteks 3: Pergeseran pola hidup; Konteks 4: Pendidikan di
abad ke-21; Konteks 5: Masa depan Indonesia yang menjanjikan 2030, konteks 6.
beranda depan negara, serta konteks 7: Menuju Kalimantan Baru
4.1 The flat world
Dunia dewasa ini mengalami gelombang perkembangan teknologi
telekomunikasi dan informatika yang sangat luar biasa. Dalam sekejab data dan
informasi dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk di Kalbar.
Sebaliknya, setiap orang kebanjiran data dan informasi yang tanpa batas. Friedman
menyebutnya sebagai ‘the world is flat’ [32]. Masyarakat dewasa ini memasuki
gelombang kerja kolaboratif global. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah:
Bagaimana kita dapat masuk ke sana?[33]. Hanya para inovatorlah yang mampu
masuk ke dunia kolaboratif global.
4.2 Masa transisi
Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Kalbar, di awal abad ke-21
mengalami berbagai transisi[34] .Di antaranya adalah: transisi sosio-agama, sosiobudaya, sosio-ekonomi, transisi politik ketatanegaraan, dan transisi alih teknologi.
transisi di bidang-bidang: sosio-agama, sosio-budaya, sosial-ekonomi, politik-tata
negara, serta bidang media sosial. Transisi-transisi ini menyebabkan perubahan
sistem norma, nilai, dan pandangan hidup dari yang ‘tradisional’ ke yang ‘modern’.
Asimilasi nilai-nilai baru sangat sukar, sehingga banyak orang merasa kehilangan
arah. Pada akhirnya, mereka mengalami marginalisasi, terisolasi, dan
terpinggirkan.
Menurut Haryatmoko, masyarakat Indonesia juga mengalami era dominasi
penuh muslihat [35]. Dominasi-dominasi semacam ini menjadi akar kekerasan dan
diskriminasi. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat melawan
dominasi-dominsi seperti ini?. Kita mesti memproduksi informasi-informasi yang
benar.
4.3 Pergeseran pola hidup
Khusus bagi sebagian masyarakat Kalimantan Barat, dalam tiga dasa warsa
terkhir ini mengalami pergeseran pola hidup, dari kehidupan di pinggir sungai ke
jalan raya. Pergeseran pola hidup ini tentu diiringi dengan pegeseran tata nilai dan
tentu saja perilaku [36],. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat
menyediakan bimbingan yang memadai? Para inovator akan banyak berperan di
sini.
4.4 Pendidikan di abad ke-21
Secara internasional, pendidikan di era abad ke-21 menuntut sejumlah
karakter yang perlu dimiliki baik sebagai guru maupun sebagai siswa. Andrew
Churches (2012) menyebutkan sejumlah karakter yang harus dimiliki guru. Di
antaranya adalah: sebagai seorang yang visioner, berani mengambil resiko, dan
tentu saja juga seorang ‘leader’ dan panutan [37]. Sementara itu, para siswa di abad
ke-21 dituntut untuk mampu mejadi seorang ‘creator’, ‘communicator’ dan
‘collaborator’ [38]. Mereka mesti kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Pertanyaan
yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat memenuhi tuntutan ini? Pencangkokan
DNA inovator adalah jawabannya.
4.5 Masa depan Indonesia yang menjanjikan 2030
McKinsey Global Institute, Sept 2012, meluncurkan sebuah laporan dengan
judul Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential. Dalam laporan itu
disebutkan bahwa pada tahun 2012 Indonesia sudah menjadi negara terbesar ke16 dalam peta perokomian dunia. Diperkirakan pada tahun 2030 akan berada pada
urutan ke-7. Pada tahun itu, 2030, diperlukan sekitar 113 juta tenaga trampil.
Mereka ini akan menjadi bagian dari sekitar 71% penduduk produktif [39]. Apa yang
dilakukan agar siap memasuki pasar kerja ini? Para inovator yang tangguh mampu
memasuki pasar kerja ini dengan jalan lapang.
4.6 Kalimantan Barat sebagai beranda depan negara
Dalam rekomendasi Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat tahun
2012[40] disebutkan bahwa Kalimantan Barat memiliki beberapa kecamatan yang
berbatasan langsung dengan Malaysia. Bagi kecamatan perbatasan ini, diusukan
agar dibangun sekolah-sekolah yang tidak berbeda jauh dari sekolah-sekolah
Malaysia. Untuk itu, disarankan agar dibangun sekolah “One stop services” di
setiap kecamatan. Dalam kompleks sekolah ini terdapat SD, SMP, SMA dan SMK,
asrama siswa dan perumahan guru.
Dalam satu lokasi memungkinkan para guru akan ‘krasan’ berada di lokasi
sepanjang tahun. Berasrama mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk memberi
tempat bagi para para orang tua siswa SD/SMP untuk meladang atau pergi ke
negara tetangga tanpa perlu memikirkan anaknya yang masih kecil. Kedua, selain
untuk tempat tinggal, disarankan di asrama itu para siswa diberi pelatihan
ketrampilan hidup di abad ke-21. Dengan itu, jika harus tidak melanjutkan
pendidikan tingginya, mereka sudah siap memasuki MEA. Ketramilan apa yang
dapat dimasukkan untuk menunjang keberadaan “One stop services” ini?
4.7 Menuju Kalimantan Baru
“Kalimantan Baru”, selalu diungkapkan dalam pertemuan rutin tahunan
Komisi
Pengembangan Sosial Ekonomi-Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Mingrant
Perantau dan Caritas Keuskupan Regio Kalimantan lima tahun terakhir ini. Paus
Fransiskus lewat anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (EG 45) mengingatkan
bahwa sebagai warga gereja yang sedang mengadakan perziarahan di bumi ini,
kita perlu melakukan karya-karya misioner nyata untuk meyongsong sesama yang
tidak memiliki perlindungan dan kampung halamannya sedang diporakporandakan
atas pelbagai cara.
Bulan 19-21Juni 2018 pertemuan di Kalimantan Tengah meluncurkan buku
pedoman untuk mewujudkan Kalimantan Baru itu dengan judul: “Eko-Pastoral
Laudato Si’ Menuju Kalimantan Baru”[41]. Gerakan membangun Kalimantan Baru
mengisyarakatkan kreativitas dan inovasi dalam aktivitas eko-pastoral di bagian
bumi pertiwi yang sedang berubah dengan pesat ini, sebagian untuk menjawab
kebutuhan nyata masyarakatnya. Apa yang dapat kita sumbangkan pada gerakan
ini? Mereka yang memiliki DNA inovator dapat mengambil peran lebih banyak
dalam gerakan ini.
Penutup
Sebagai penutup, kiranya tidak salah jika kita bersama-sama menyimak
paragraf-paragraf terakhir dari novel Achmad Tohari yang berjudul Ronggeng
dukuh Paruk[42].
• “Malam hari ketika sudah kembali di Dukuh Paruk, aku berdiri tanpa teman di
luar rumah. Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara….
Sekelilingku adalah Dukuh Paruk yang sedang lelap dalam gubuk-gubuk
ilalang, Dukuh Paruk yang sejak kelahirannya tak pernah mampu menangkap
maksud tertinggi kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah sungguhsungguh mengembangkan akal budi sehingga tidak tahu bahwa dia
seharusnya menyingkirkan kurap dan cacing yang menggerogoti anak-anak,
serta kebodohan yang hanya membawa kemelaratan turun-temurun. ….”
• “Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naïf,
langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasatmata
setelah dia membuat jantera bianglala di sekitar bulan. ….Bulan berkalang
bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk
mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna
hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak
mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.”
Akhirnya, Seperti Achmad Tohari yang mengambil sikap membantu Dukuh
Paruk menemukan jati dirinya, saya dengan sajian ini mengajak Anda semua untuk
mengambil sikap membantu Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat
menemukan jati dirinya[43]. Terima kasih. Salam hormat!!!
Referensi
1. Leo Sutrisno, 2015. Domain pendidikan yang berpengaruh pada pembelajaran
IPA, bahan ajar mata kuliah Penelitian pendidikan Fisika, FKIP-Untan.
2. Leo Sutrisno, 2016, Reformasi Pendidikan: mencangkokkan “DNA Inovator”.
Seminar Nasional HUT PDIP ke-43, 23 Mei 2016)
3. Leo Sutrisno, 2018, Tetap tangguh di era digital. Gebryar Hari Pendidikan
Nasional 2018, Rumah Radank, Pontianak, 26 April 2018,
4. William Chang, Thambun Anyang, dan Leo Sutrisno. 2018. Eko-Pastoral
Laudato Si’; menuju Kalimantan Baru.
5. Martin Prosperity Institute. 2011. Creativity and Prosperity: The Global Creativity
Index. http://martinprosperity.org
6. Richard Florida, Charlotta Mellander dan Karen King, 2015. THE GLOBAL CREATIVITY
INDEX 2015 Martin Prosperity Institute: Institute Rotman School of Management,
University of Toronto
7. Richard Florida July 9, 2015 Creativity in Southeast Asia: Competitiveness and
Prosperity
8. The Global Innovation Index 2013: The Local Dynamic Innovation.
http://www.globalinnovationindex.org
9. The Global Innovation Index 2014 - WIPO
www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/economics/gii/gii_2014.pdf
10.Cornell University, INSEAD, and WIPO. (2015): The Global Innovation Index 2015:
Effective Innovation Policies for Development, Fontainebleau, Ithaca, and Geneva
11.wipo 2017
12.The Learning Curve 2012 Report www.thelearningcurve.pearson.com
13.The learning curve, education and skills for life, 2014 Report, Pearson
14.PISA 2012 Results http://www.oecd.org/pisa
15.PISA 2015 Results in Focus.
16.Mathematics tes level. HTTP://WWW.OECD.ORG/PISA/TEST-2012/
17.Arahan Mendikbud: Pengembangan Kurikulum 2013 Penyegaran Nara Sumber
Pelatihan Guru untuk Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, 26-28 Juni 2013
18.Leo Sutrisno 2014. Review Kurikulum 2013. Bahan Penyegaran bagi Para Instruktur
PLPG Rayon 120, Agustus.
19.Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen (2011). The Innovator’s DNA.
Harvard Business Review Press
20.Harvard Business Review. The Innovator's DNA: Mastering the Five Skills of
Disruptive Innovators. Featuring Jeff Dyer, Professor of Strategy at Brigham Young
University and Co-author and Founder of The Innovator’s DNA. SEPTEMBER 11, 2014
21.John Hattie, 2007. Developing Potentials for Learning: Evidence, assessment, and
progress, Universitas Auckland: EARLI
22.John Hattie, 2009. Tomorrow’s Schools, The Mindsets that make the difference in
Education. Universitas Auckland Visible Learning Laboratories
23.Leo Sutrisno, 2016, Mencari pengetahuan (yang benar) lewat media sosial. Pontianak
Post
24.Haryatmoko, 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, kekerasan, dan
Pornografi. (Cet.1). Yogyakarta: Kanisius
25.Leo Sutrisno. 2018. Politik identitas. Pontianak Pos, Januari.
26.Leo sutrisno, 13 January 2018. Berpikir Biner Sabtu, Pontianakpost.co.id
27.Leo Sutrisno. 12 Feb 2017 Mengoreksi HOAX. Pontianakpost.co.id
28.Leo Sutrisno. 20 Nov 2016. Ujaran Kebencian. Pontianakpost.co.id
29.Leo Sutrisno. 9 Jul 2017. Melek (Literacy) Media Sosial, Pontianakpost.co.id
30.Leo Sutrisno. 19 May 2018. Literasi Lanjut di Abad ke-21. Pontianakpost.co.id
31.Leo Sutrisno. 2018. Tetap tangguh di era digital. Gebyar Hakitnas 2018. Pontianak.
32.Thomas L. Friedman, 2005 The world is flat: a brief history of the twenty first century
33.Leo Sutrisno, 2014, Teknologi Informasi dan Komunikasi. Terpanggil untuk
mengkomunikasikan kasih? Bahan diskusi bagi Pertemuan Pemuka Agama Kristen seKalimantan Barat, 28-29Juni.
34. Robert Hardowiryono, SJ, 2001, Cara baru Menggereja di Indonesia 3: umat
kritianiawam masa kini berevangelisasi baru. Yogyakarta: Kanisius
35.Haryatmoko, 2010. Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi.
Jakarta: Obor
36.Leo Sutrisno, 2013. Pendidikan Indonesia akan dibawa kemana? Bahan untuk diskusi
Uji Publik Kurikulum 2013 Provinsi Kalimantan Barat, Desember.
37.Adnrew Churches, 2013, The characteristics of the 21st Educator.
allthingslearning.wordpress.com
38.Quataracameia. The 21st learner. 21c.qataracademy.wikispaces.net
39.McKinsey Global Institute, Sept 2012, Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s
Potential
40.Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, 2012. Rekomendasi pendidikan wilayah
perbatasan.
41. William Chang, Thambun Anyang, dan Leo Sutrisno. 2018. Eko-Pastoral
Laudato Si’; menuju Kalimantan Baru
42.Achmad Tohari. 2003. Ronggeng dukup Paruk.
43.Leo Sutrisno. 2013. Pendidikan di Kalimantan Barat masa depan. Orasi ilmiah pada
Dies Natalis Universitas Tanjungpura. Mei 2013.
* Melenjutkan studi lanjut di Universitas Manosh, S3 Pendidikan Fisika dengan
spesialisasi tes diagnostik daan remediasi kesuitan belajar. (1990).
**Pesiun dari Pendidikan Fisika FKIP Universitas Tanjungpura, 2016
(Bahan untuk seminar temu alumni Sanata Dharma wilayah Kalbar,
Pontianak 8 Juli 2018)
Leo Sutrisno*, **
Alumni FKIE IKIP Sanata Dharma: Pendidikan 1970 (BA) & Pendidikan Fisika 1980
(Drs)
Pengantar
Secara sederhana, pendidikan dapat dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
anteseden, interaksi dan hasil. Dalam domain anteseden tercakup segala hal yang
terkait dengan penyediaan sarana-prasarana pendidikan yang perlu disediakan
agar kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan. Domain interaksi meliputi segala
hal yang berlangsung selama proses pembelajaran. Dan, Domain hasil tidak hanya
berupa hasil belajar (output) tetapi juga dampak pendidikan bagi kelembagaan
dan masyarakat pada umumnya (outcome)[1].
Dalam sajian ini, domain hasil pendidikan Indonesia akan ditampilkan lebih
dahulu, yaitu posisi Indonesia di panggung dunia menurut hasil survai lembagalembaga internasional. Disusul dengan sajian domain interaksi yang berisi usulan
yang perlu dilakukan, yaitu: pencangkokan DNA Inovator [2} dan literasi digital[3].
Domain anteseden diserahkan kepada para pembaca, sebagai bahan diskusi untuk
menjawab pertanyaan bagaimana sarana dan prasarana disiapkan agar
memungkinkan usulan itu dapat diimplementasikan dalam sejumlah konteks
Kalimantan ini. Diharapkan usulan dari sajian ini, dalam jangka panjang, menjadi
salah satu alternatif kebijakan untuk mewujudkan “Tanah Kalimantan, rumah kita
bersama”[4].
1. Indonesia di panggung dunia
Berbagai lembaga survai internasional melaporkan bahwa pencapaian
pendidikan di Indonesia tidak menggembirakan. Dibandingkan dengan 82 negara
yang lain, Indeks Kreatifitas Indonesia (2011)[5] sebesar 0.04. Nilai ini berada pada
Nomor 2 terendah, satu tingkat di atas Kambodia. Harga ini jauh lebih rendah
daripada Indeks Kreativitas Malaysia (0.43). dan tentu saja sangat jauh dari
Swedia yang mempunyai Indeks Kreativitas tertinggi (0.92). Data 2015
menunjukkan Indeks Kreativitas Indonesia adalah 0.20 yang berada pada urutan
ke-115 dari 139 negara yang di survai[6] dan menempatkan pada kedudukan paling
rendah di Asia Tenggara[7].
Global Innovation Index tahun 2013 menempatkan Indonesia pada ranking ke85 dari 143 negara yang berpartisipasi[8]. Malaysia menempati posisi yang jauh
lebih tinggi, yaitu pada urutan ke-32. Jauh di atas lagi ditempati oleh Singapura
(ke-8) dan Swis (ke-1). Vietnam berada pada posisi ke-76 dan Thailand pada posisi
ke-57. Indeks Inovasi Indonesia tetap saja tidak beranjak dari tahun ke tahun, pada
2014 ranking ke-87/143[9], 2015 ranking ke-97/141[10], 2017 ranking ke-87/127[11].
The Learning Curve, sebuah lembaga survai yang bermarkas di London, 2012,
melaporkan ‘Global index of cognitive skills and educational attainment’ Indonesia
pada posisi z = -2.03 dan pada berada pada ranking terendah dari 40 negara yang
berpartisipasi[12]. Posisi ini berada pada kelompok terendah bersama-sama
dengan: Turki (z = -1.24), Colombia (z = -1.46), Thailand (z = -1.46), Mexiko (z =
-1.60), dan Brazil (z = -.1.65). Sedangkan lima posisi paling atas berturut-turut
ditempati: Finlandia, Korea Selatan, Hongkong, Jepang dan Singapura [13].
The Program International Students Assessment-PISA, (2012) menempatkan
rerata hasil belajar 5000 siswa Indonesia antara usia 15 tahun 3 bulan dan 16
tahun 2 bulan pada urutan ke-64/65 di bidang matematika dan IPA, serta pada
urutan ke-61/65 di bidang membaca di antara 65 negara anggota OECD serta mitranya[14]. Hasil PISA 2015, matematika 64/71 , IPA 63/71, membaca 42/71. Ada sekitar
0.8% siswa Indonesia yang masuk kelompok ‘top’ (level 5+6). Sebaliknya ada
sekitar 48% masuk kelompok terendah (below 2 level) [15] [16]
Banyak penjelasan yang muncul akan pencapaian pendidikan Indonesia
menurut hasil-hasil penelitian ini. Temuan PISA [17] mungkin cukup baik jika
direfelksikan, yaitu hampir 96 siswa indonesia mangaku “Being happy at school”
dan mereka ini juga “Lack of hard work and in control for success”.
Hasil pendidikan Indonesia yang digelar secara internasional seperti ini, tentu
tidak berarti ‘menyingkirkan’ sumbangan sejumlah orang Indonesia yang telah
berhasil di kancah dunia baik dalam pendidikannya maupun dalam pekerjaannya.
Pertanyaan yang dimunculkan dalam sajian ini adalah, ‘apa yang dapat kita
lakukan?’
2. Mencangkokkan ‘DNA inovator’
Sebelum menjawab pertanyaan ini, Ketika masih menjabat Menteri, Prof Nuh
menyatakan “Perlu dirumuskan kurikulum berbasis proses pembelajaran yang
mengedepankan pengalaman personal .... untuk meningkatkan kreativitas peserta
didik”[17].
Dalam Kurikulum 2013 dikembangkan pembelajaran yang membekali para
siswa dengan lima pengalaman pokok[18], yaitu: a. mengamati; b. menanya; c.
mengumpulkan informasi; d. mengasosiasi; dan e. Mengkomunikasikan. Kebijakan
ini mengadaptasi temuan Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen
(2011)[19].
Deyer, dkk, menemukan lima ketrampilan inkuari yang khas dimiliki para
inovator kelas dunia. Kelima ketrampilan itu adalah ‘questioning, observing,
experimenting, networking, dan associating’[20]. Orang-orang yang inovatif memiliki
kelima ketrampilan ini dengan sangat menonjol. Mereka adalah para inovator yang
sekarang ini didambakan di Indonesia.
Kiranya ada baiknya DNA inovator ini ‘dicangkokkan’ pada peserta didik dan
pendidik. Pencangkokan DNA inovator sangat mungkin dilakukan karena tidak
perlu tambahan biaya dan tambahan waktu. Yang diperlukan hanyalah kesediaan
untuk berbuat, maaf tentu juga harus ‘mempunyai usus yang panjang’ sehingga
‘tahan banting’ dalam situasi apa pun.
Pencangkokan DNA Inovator dalam pendidikan juga sejalan dengan temuan
para pakar pendidikan. Pada tahun 2007, John Hattie[21], selama 15 tahun
mengumpulkan lebih dari 750 meta analisis tentang faktor yang mempengaruhi
hasil pendidikan di seluruh dunia. Karya ini mencakup lebih dari 50.000 penelitian
internasional yang melibatkan lebih dari 200 juta siswa. Ditemukan 100 faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Pada tahun 2009, ada 38 faktor lagi
ditambahkan [22]. Effect Size gabungan seluruh faktor sebesar 0.40.
Ke-138 variabel yang ditemukan itu, dipilah menjadi enam kelompok variabel:
guru, kurikulum, pengajaran, siswa, rumah dan sekolah. ‘effect Size’ rerata
masing-masing kelompok berturut-turut adalah: 0.50 (guru), 0.45 (kurikulum), 0.43
(pengajaran), 0.39 (siswa), 0.35 (rumah) dan 0.23 (sekolah). Variabel guru dan
variabel pengajaran mempunyai Effect Size tinggi, pencangkokan DNA Inovator
pada siswa dapat dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan
pencangkokan pada guru berarti peningkatan kelompok variabel guru.
Temuan penting lain yang perlu dicermati adalah fungsi guru, apakah guru
sebagai aktivator atau sebagai fasilitator. Ditemukan bahwa effect size guru
sebagai aktivator sebesar 0.60, jauh lebih besar dari pada guru sebagai fasilitator
(0.17). Guru sebagai aktivator akan menghasilkan inovator.
3. Meningkatkan literasi digital
Kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi yang sangat pesat
dalam 50 tahun terakhir menimbulkan semacam ‘big bang’ dunia maya [23]. Kini,
kita hidup dalam dunia digital. Dalam dunia maya ini, informasi dipandang sebagai
komoditi dan orang cenderung menggunakan logika waktu pendek[24]. Akibatnya,
terjadi keseragaman informasi.
Fenomena lain yang terjadi adalah berkembangnya politik identitas[25].
Gabungan dari ketiga fenomena ini maka berkembang cara berpikir biner [26].
Mereka yang menggunakan cara berpikir biner menggunakan doktrin “yang
berasal dari saya pasti benar dan yang berasal dari tempat lain salah”. Agar paling
cepat sampai di tujuan maka kebenaran informasi yang dikirimkan itu sering
dipertanyakan. Muncullah yang disebut “HOAX”[27].
Sisi negatif yang lain dalam dunia digital adalah ujaran kebencian [28]. Ujaran
kebencian muncul di dunia digital merupakan konsekuensi dari pengguna logika
biner tidak mampu mengembangkan argumentasi yang baik.
Dewasa ini, sebagian besar para pengguna media sosial merasa tidak mampu
menghadapi hoax dan ujaran kebencian. Apa yang dapat dilakukan agar tidak larut
dalam arus hoax dan ujaran kebencian, khususnya di dunia pendidikan?
Peningkatan literasi digital para pendidik dan peserta didik merupakan salah satu
jawabannya[29] [30].
Peningkatan literasi bisa dikembangkan jika kita memiliki: kemampuan
mengelola informasi, kemahiran menggunakan bahasa yang baik dan benar, serta
kemampuan menggunakan cara berpikir tingkat tinggi. Selain itu, kita mesti punya
kehendak untuk berkomunikasi yang beretika[31]. Dengan literasi digital yang
memadai maka kita mampu memproduksi informasi yang benar.
4. Apa dampaknya?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan ditempatkan pada sejumlah konteks
posisi Indonesia dewasa ini. yaitu:Konteks 1: The flaat world; Konteks 2:
Kevakuman moral; Konteks 3: Pergeseran pola hidup; Konteks 4: Pendidikan di
abad ke-21; Konteks 5: Masa depan Indonesia yang menjanjikan 2030, konteks 6.
beranda depan negara, serta konteks 7: Menuju Kalimantan Baru
4.1 The flat world
Dunia dewasa ini mengalami gelombang perkembangan teknologi
telekomunikasi dan informatika yang sangat luar biasa. Dalam sekejab data dan
informasi dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk di Kalbar.
Sebaliknya, setiap orang kebanjiran data dan informasi yang tanpa batas. Friedman
menyebutnya sebagai ‘the world is flat’ [32]. Masyarakat dewasa ini memasuki
gelombang kerja kolaboratif global. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah:
Bagaimana kita dapat masuk ke sana?[33]. Hanya para inovatorlah yang mampu
masuk ke dunia kolaboratif global.
4.2 Masa transisi
Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Kalbar, di awal abad ke-21
mengalami berbagai transisi[34] .Di antaranya adalah: transisi sosio-agama, sosiobudaya, sosio-ekonomi, transisi politik ketatanegaraan, dan transisi alih teknologi.
transisi di bidang-bidang: sosio-agama, sosio-budaya, sosial-ekonomi, politik-tata
negara, serta bidang media sosial. Transisi-transisi ini menyebabkan perubahan
sistem norma, nilai, dan pandangan hidup dari yang ‘tradisional’ ke yang ‘modern’.
Asimilasi nilai-nilai baru sangat sukar, sehingga banyak orang merasa kehilangan
arah. Pada akhirnya, mereka mengalami marginalisasi, terisolasi, dan
terpinggirkan.
Menurut Haryatmoko, masyarakat Indonesia juga mengalami era dominasi
penuh muslihat [35]. Dominasi-dominasi semacam ini menjadi akar kekerasan dan
diskriminasi. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat melawan
dominasi-dominsi seperti ini?. Kita mesti memproduksi informasi-informasi yang
benar.
4.3 Pergeseran pola hidup
Khusus bagi sebagian masyarakat Kalimantan Barat, dalam tiga dasa warsa
terkhir ini mengalami pergeseran pola hidup, dari kehidupan di pinggir sungai ke
jalan raya. Pergeseran pola hidup ini tentu diiringi dengan pegeseran tata nilai dan
tentu saja perilaku [36],. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat
menyediakan bimbingan yang memadai? Para inovator akan banyak berperan di
sini.
4.4 Pendidikan di abad ke-21
Secara internasional, pendidikan di era abad ke-21 menuntut sejumlah
karakter yang perlu dimiliki baik sebagai guru maupun sebagai siswa. Andrew
Churches (2012) menyebutkan sejumlah karakter yang harus dimiliki guru. Di
antaranya adalah: sebagai seorang yang visioner, berani mengambil resiko, dan
tentu saja juga seorang ‘leader’ dan panutan [37]. Sementara itu, para siswa di abad
ke-21 dituntut untuk mampu mejadi seorang ‘creator’, ‘communicator’ dan
‘collaborator’ [38]. Mereka mesti kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Pertanyaan
yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat memenuhi tuntutan ini? Pencangkokan
DNA inovator adalah jawabannya.
4.5 Masa depan Indonesia yang menjanjikan 2030
McKinsey Global Institute, Sept 2012, meluncurkan sebuah laporan dengan
judul Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential. Dalam laporan itu
disebutkan bahwa pada tahun 2012 Indonesia sudah menjadi negara terbesar ke16 dalam peta perokomian dunia. Diperkirakan pada tahun 2030 akan berada pada
urutan ke-7. Pada tahun itu, 2030, diperlukan sekitar 113 juta tenaga trampil.
Mereka ini akan menjadi bagian dari sekitar 71% penduduk produktif [39]. Apa yang
dilakukan agar siap memasuki pasar kerja ini? Para inovator yang tangguh mampu
memasuki pasar kerja ini dengan jalan lapang.
4.6 Kalimantan Barat sebagai beranda depan negara
Dalam rekomendasi Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat tahun
2012[40] disebutkan bahwa Kalimantan Barat memiliki beberapa kecamatan yang
berbatasan langsung dengan Malaysia. Bagi kecamatan perbatasan ini, diusukan
agar dibangun sekolah-sekolah yang tidak berbeda jauh dari sekolah-sekolah
Malaysia. Untuk itu, disarankan agar dibangun sekolah “One stop services” di
setiap kecamatan. Dalam kompleks sekolah ini terdapat SD, SMP, SMA dan SMK,
asrama siswa dan perumahan guru.
Dalam satu lokasi memungkinkan para guru akan ‘krasan’ berada di lokasi
sepanjang tahun. Berasrama mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk memberi
tempat bagi para para orang tua siswa SD/SMP untuk meladang atau pergi ke
negara tetangga tanpa perlu memikirkan anaknya yang masih kecil. Kedua, selain
untuk tempat tinggal, disarankan di asrama itu para siswa diberi pelatihan
ketrampilan hidup di abad ke-21. Dengan itu, jika harus tidak melanjutkan
pendidikan tingginya, mereka sudah siap memasuki MEA. Ketramilan apa yang
dapat dimasukkan untuk menunjang keberadaan “One stop services” ini?
4.7 Menuju Kalimantan Baru
“Kalimantan Baru”, selalu diungkapkan dalam pertemuan rutin tahunan
Komisi
Pengembangan Sosial Ekonomi-Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Mingrant
Perantau dan Caritas Keuskupan Regio Kalimantan lima tahun terakhir ini. Paus
Fransiskus lewat anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (EG 45) mengingatkan
bahwa sebagai warga gereja yang sedang mengadakan perziarahan di bumi ini,
kita perlu melakukan karya-karya misioner nyata untuk meyongsong sesama yang
tidak memiliki perlindungan dan kampung halamannya sedang diporakporandakan
atas pelbagai cara.
Bulan 19-21Juni 2018 pertemuan di Kalimantan Tengah meluncurkan buku
pedoman untuk mewujudkan Kalimantan Baru itu dengan judul: “Eko-Pastoral
Laudato Si’ Menuju Kalimantan Baru”[41]. Gerakan membangun Kalimantan Baru
mengisyarakatkan kreativitas dan inovasi dalam aktivitas eko-pastoral di bagian
bumi pertiwi yang sedang berubah dengan pesat ini, sebagian untuk menjawab
kebutuhan nyata masyarakatnya. Apa yang dapat kita sumbangkan pada gerakan
ini? Mereka yang memiliki DNA inovator dapat mengambil peran lebih banyak
dalam gerakan ini.
Penutup
Sebagai penutup, kiranya tidak salah jika kita bersama-sama menyimak
paragraf-paragraf terakhir dari novel Achmad Tohari yang berjudul Ronggeng
dukuh Paruk[42].
• “Malam hari ketika sudah kembali di Dukuh Paruk, aku berdiri tanpa teman di
luar rumah. Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara….
Sekelilingku adalah Dukuh Paruk yang sedang lelap dalam gubuk-gubuk
ilalang, Dukuh Paruk yang sejak kelahirannya tak pernah mampu menangkap
maksud tertinggi kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah sungguhsungguh mengembangkan akal budi sehingga tidak tahu bahwa dia
seharusnya menyingkirkan kurap dan cacing yang menggerogoti anak-anak,
serta kebodohan yang hanya membawa kemelaratan turun-temurun. ….”
• “Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naïf,
langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasatmata
setelah dia membuat jantera bianglala di sekitar bulan. ….Bulan berkalang
bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk
mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna
hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak
mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.”
Akhirnya, Seperti Achmad Tohari yang mengambil sikap membantu Dukuh
Paruk menemukan jati dirinya, saya dengan sajian ini mengajak Anda semua untuk
mengambil sikap membantu Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat
menemukan jati dirinya[43]. Terima kasih. Salam hormat!!!
Referensi
1. Leo Sutrisno, 2015. Domain pendidikan yang berpengaruh pada pembelajaran
IPA, bahan ajar mata kuliah Penelitian pendidikan Fisika, FKIP-Untan.
2. Leo Sutrisno, 2016, Reformasi Pendidikan: mencangkokkan “DNA Inovator”.
Seminar Nasional HUT PDIP ke-43, 23 Mei 2016)
3. Leo Sutrisno, 2018, Tetap tangguh di era digital. Gebryar Hari Pendidikan
Nasional 2018, Rumah Radank, Pontianak, 26 April 2018,
4. William Chang, Thambun Anyang, dan Leo Sutrisno. 2018. Eko-Pastoral
Laudato Si’; menuju Kalimantan Baru.
5. Martin Prosperity Institute. 2011. Creativity and Prosperity: The Global Creativity
Index. http://martinprosperity.org
6. Richard Florida, Charlotta Mellander dan Karen King, 2015. THE GLOBAL CREATIVITY
INDEX 2015 Martin Prosperity Institute: Institute Rotman School of Management,
University of Toronto
7. Richard Florida July 9, 2015 Creativity in Southeast Asia: Competitiveness and
Prosperity
8. The Global Innovation Index 2013: The Local Dynamic Innovation.
http://www.globalinnovationindex.org
9. The Global Innovation Index 2014 - WIPO
www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/economics/gii/gii_2014.pdf
10.Cornell University, INSEAD, and WIPO. (2015): The Global Innovation Index 2015:
Effective Innovation Policies for Development, Fontainebleau, Ithaca, and Geneva
11.wipo 2017
12.The Learning Curve 2012 Report www.thelearningcurve.pearson.com
13.The learning curve, education and skills for life, 2014 Report, Pearson
14.PISA 2012 Results http://www.oecd.org/pisa
15.PISA 2015 Results in Focus.
16.Mathematics tes level. HTTP://WWW.OECD.ORG/PISA/TEST-2012/
17.Arahan Mendikbud: Pengembangan Kurikulum 2013 Penyegaran Nara Sumber
Pelatihan Guru untuk Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, 26-28 Juni 2013
18.Leo Sutrisno 2014. Review Kurikulum 2013. Bahan Penyegaran bagi Para Instruktur
PLPG Rayon 120, Agustus.
19.Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen (2011). The Innovator’s DNA.
Harvard Business Review Press
20.Harvard Business Review. The Innovator's DNA: Mastering the Five Skills of
Disruptive Innovators. Featuring Jeff Dyer, Professor of Strategy at Brigham Young
University and Co-author and Founder of The Innovator’s DNA. SEPTEMBER 11, 2014
21.John Hattie, 2007. Developing Potentials for Learning: Evidence, assessment, and
progress, Universitas Auckland: EARLI
22.John Hattie, 2009. Tomorrow’s Schools, The Mindsets that make the difference in
Education. Universitas Auckland Visible Learning Laboratories
23.Leo Sutrisno, 2016, Mencari pengetahuan (yang benar) lewat media sosial. Pontianak
Post
24.Haryatmoko, 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, kekerasan, dan
Pornografi. (Cet.1). Yogyakarta: Kanisius
25.Leo Sutrisno. 2018. Politik identitas. Pontianak Pos, Januari.
26.Leo sutrisno, 13 January 2018. Berpikir Biner Sabtu, Pontianakpost.co.id
27.Leo Sutrisno. 12 Feb 2017 Mengoreksi HOAX. Pontianakpost.co.id
28.Leo Sutrisno. 20 Nov 2016. Ujaran Kebencian. Pontianakpost.co.id
29.Leo Sutrisno. 9 Jul 2017. Melek (Literacy) Media Sosial, Pontianakpost.co.id
30.Leo Sutrisno. 19 May 2018. Literasi Lanjut di Abad ke-21. Pontianakpost.co.id
31.Leo Sutrisno. 2018. Tetap tangguh di era digital. Gebyar Hakitnas 2018. Pontianak.
32.Thomas L. Friedman, 2005 The world is flat: a brief history of the twenty first century
33.Leo Sutrisno, 2014, Teknologi Informasi dan Komunikasi. Terpanggil untuk
mengkomunikasikan kasih? Bahan diskusi bagi Pertemuan Pemuka Agama Kristen seKalimantan Barat, 28-29Juni.
34. Robert Hardowiryono, SJ, 2001, Cara baru Menggereja di Indonesia 3: umat
kritianiawam masa kini berevangelisasi baru. Yogyakarta: Kanisius
35.Haryatmoko, 2010. Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi.
Jakarta: Obor
36.Leo Sutrisno, 2013. Pendidikan Indonesia akan dibawa kemana? Bahan untuk diskusi
Uji Publik Kurikulum 2013 Provinsi Kalimantan Barat, Desember.
37.Adnrew Churches, 2013, The characteristics of the 21st Educator.
allthingslearning.wordpress.com
38.Quataracameia. The 21st learner. 21c.qataracademy.wikispaces.net
39.McKinsey Global Institute, Sept 2012, Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s
Potential
40.Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, 2012. Rekomendasi pendidikan wilayah
perbatasan.
41. William Chang, Thambun Anyang, dan Leo Sutrisno. 2018. Eko-Pastoral
Laudato Si’; menuju Kalimantan Baru
42.Achmad Tohari. 2003. Ronggeng dukup Paruk.
43.Leo Sutrisno. 2013. Pendidikan di Kalimantan Barat masa depan. Orasi ilmiah pada
Dies Natalis Universitas Tanjungpura. Mei 2013.
* Melenjutkan studi lanjut di Universitas Manosh, S3 Pendidikan Fisika dengan
spesialisasi tes diagnostik daan remediasi kesuitan belajar. (1990).
**Pesiun dari Pendidikan Fisika FKIP Universitas Tanjungpura, 2016