Sekilas tentang CSR Corporate Social Res

9.2.2015 / 22:09 – 24.2.2015 / 18:03

Sekilas tentang CSR (Corporate Social Responsibility )
Tulisan ini bertujuan untuk mempersiapkan diri menghadapi tes PT SMART Tbk. God, bless me!

CSR (corporate social responsibility) merupakan kewajiban perusahaan untuk—menurut
Elkington—tidak hanya memaksimalkan keuntungan (profit), tetapi juga harus mampu
untuk mengembangkan kesejahteraan sosial (people) dan kelestarian lingkungan (planet).
Tekanan perusahaan untuk melakukan CSR datang dari dua faktor, yaitu: eksternal dan
internal. CSR terbukti mampu meningkatkan citra perusahaan sehingga mampu
mendongkrak “nilai” perusahaan. Bentuk CSR berupa ragam, antara lain: charity,
philantrophy, dan community development (comdev). Bentuk comdev dianggap paling baik
karena memberikan masyarkat pengetahuan tentang cara mengolah potensi yang ada
sehingga masyarakat mampu mandiri untuk memenuhi kebutuhannya, tidak seperti bentuk
CSR yang instan yang hanya memberikan barang tanpa memberi pengetahuan. Secara
umum, pelaksanaan CSR melalui empat tahap yang dikenal dengan PDCA (plan, do,
check, dan action) dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh prosesnya.
Mengapa Perusahaan Harus Melakukan CSR?1
Alasan mendasar perusahaan harus melakukan CSR dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: alasan eksternal/faktor eksternal dan alasan internal/faktor internal.
Faktor eksternal dapat dipahami melalui penjelasan lahirnya CSR secara

historis. Seseungguhnya, kesadaran akan CSR sudah dimulai saat tahun 1700. Kala
itu, kerajaan mewajibkan pengusaha/penjual memberi perhatian kepada
konsumennya. Hukuman bagi penjual yang tidak memperhatikan konsumen (mulai
dari menyebabkan sakit hingga menyebabkan kematian) akan dikenai hukuman. Pada
abad ke 19, kesadaran masyarakat akan dampak negatif—walaupun tidak dipungkiri
bahwa korporasi juga memiliki dampak positif, misalnya, yaitu menyerap tenaga
kerja—dari proses produksi yang dilakukan oleh korporasi dimulai saat Bowen (1953)
menyatakan bahwa pengusaha—belum menggunakan diksi korporasi karena belum
menyadari kekuatan kapital korporasi yang niscaya mengalahkan negara—harus
menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat sekitar.
Perkataan Bowen tersebut banyak dikutip dan dikembangkan oleh penulis pada masa
selanjutnya dengan menekankan pada “kewajiban pengusaha—atau korporasi pada
buku yang berkembang—untuk mematuhi aturan masyarakat”. Selajutnya, Rachel
(1960) menulis buku dengan judul “The Silent Spring” yang menyebabkan kesadaran
masyarakat akan dampak negatif korporasi semakin meningkat. Buku tersebut
menjelaskan bagaimana korporasi yang menggunakan pestisida berdampak buruk
pada populasi burung, yaitu: membunuh burung, merusak proses reproduksi, dan
menipiskan telur. Di sisi lain, Inggris mengembangkan konsep “community development”
sebagai usaha mengembangkan pendidikan masyarakat karena: (1) demi martabat
manusia itu sendiri, (2) membantu pembangunan sosial karena, salah satunya, (3)

Pembahasan ini berdasarkan rangkuman dari: Addakhil, 2011; Daniri, 2008a, 2008b, 2008c; dan
Kusumadilaga, 2010.

1

1

pada saat itu, tahun 1940, paska Perang Dunia ke-2, Inggris telah memiliki teknologi,
tetapi masyarakat tidak bisa menggunakan secara maksimal karena rendahnya tingkat
penddikan masyarakat, dengan demikian (4) kelas bawah mampu naik ke kelas tengah
sehingga (5) terjadi kesamarataan kelas; walaupun kemudian hal tersebut menjadi
salah satu permasalahan tersendiri (Whitty, 1985, 9; Demaine, 2001, 8-9; 15; dan
Nash, 2010, 1). Usaha community development merupakan hal yang wajib dilaksanakan
oleh, tidak hanya negara, tetapi juga swasta—perusahaan juga terlibat di dalamnya.
Banyak buku yang ditulis berdasarkan pemkiran: Bowen, Rachel, dan usaha community
development oleh Inggris; yang mewarnai perkembangan CSR selama tahun 1960
hingga 1980 (Davis, McGuire, CED, Prakash, Drucker, dan WECD).
Buku yang dirilis oleh Elkington juga merupakan salah satu buku yang
mengembangkan pemikiran ketiga tokoh di atas. Buku tersebut sukses untuk semakin
menyadarkan masyarakat akan pentingnya CSR yang dilaksanakan oleh korporasi. Ia

mengenalkan konsep 3P yang sangat terkenal hingga saat ini., yaitu: people, planet, dan
profit. Menurutnya, korporasi tidak boleh selalu berusaha untuk memaksimalkan
keuntungan (profit), tetapi juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan lingkungan
sosial (people) dan menjaga kelestarian lingkungan alam (planet).
Tekanan korporasi oleh masyarakat global untuk melakukan CSR semakin
nyata. Tekanan tersebut bermula saat KTT di Rio (1992) menyatakan perlunya
korporasi melakukan CSR. Kata korporasi mulai dikenalkan karena masyarakat mulai
sadar bahwa kekuatan kapital milik korporasi semakin masif sehingga mampu
mengalahkan negara, sebagaimana Korten (2001, dalam: Agus, 2009, 1; Yuniarti,
2007, 1; dan Ferdiansyah, 2010, 1) menyatakan:
“dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi
paling berkuasa di atas planet ini. Intitusi yang dominan di masyarakat
manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama.”
Selain itu, studi The Institute of Policy Studies (2004, dalam: Ferdiansyah, 2010, 1; dan
Lukito, 2011, 1) menyatakan bahwa korporasi menguasai 53 bagian dari 100 besar
penguasa ekonomi dunia, sedangkan sisanya (57) adalah negara. Selanjutnya, hal yang
sama juga terjadi saat Pertemuan Yohannesburg (2002) dan UN Global Impact
(2007) yang menyerukan kewajiban korporasi untuk menjalankan CSR.
Tekanan global terhadap korporasi untuk melaksanakan CSR menyebabkan
dua hal, yaitu: memunculkan regulasi dan kesadaran masyarakat semakin meningkat.

Beberapa regulasi yang hadir (misalnya, UU 40 tahun 2007 dan ISO 26000)
menghimbau agar korporasi melakukan usaha CSR. Sementara itu, kesadaran
masyarakat akan pentingnya CSR makin meningkat karena masyarakat makin paham
akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh korporasi, sehingga timbul pola
konsumsi masyarakat yang lebih memilih mengkonsumsi barang yang produsennya
melakukan CSR. Oleh karena itu, beberapa investor serta bank dunia turut
mendukung regulasi CSR dan pola konsumsi masyarakat dengan cara

2

memprioritaskan korporasi yang melakukan CSR saat menanam investasi/hendak
meminta pinjaman.
Faktor internal sesungguhnya merupakan “halo effect” dari kesadaran
masyarakat. Pengusaha/pemilik korporasi sebagai bagian dari masyarakat memiliki
pemikiran yang sama, yaitu mendukung korporasi untuk melakukan CSR. Dengan
demikian, faktor internal lebih menekankan pada pola pemikiran pemilik perusahaan
terhadap CSR.
Beberapa studi, baik nasional (Indonesia) maupun internasional (dunia) pada
intinya menyatakan bahwa CSR mampu memberikan “nilai” lebih kepada perusahaan
dalam jangka panjang, misalnya:

1. Riset Acces Omnibus Survey pada tahun 1997 (dalam Lukito, 2011, 2-3)
menunjukkan bahwa 86% konsumen di Inggris melihat citra positif
perusahaan yang “melakukan sesuatu untuk menjadikan dunia suatu
tempat yang lebih baik”.
2. Riset majalah SWA atas 45 perusahaan yang dimuat pada tahun 2006
(dalam Lukito, 2011, 3) menunjukkan bahwa CSR bermanfaat untuk:
meningkatkan citra perusahaan (37,38%), menjalin hubungan baik dengan
masyarakat (16,82%), dan mendukung operasional perusahaan (10,28%).
3. Survei yang dilakukan Booth-Harris Trust Monitor pada tahun 2001
(dalam Kusumadilaga, 2010, 4) menunjukkan bahwa mayoritas konsumen
akan meninggalkan produk yang mempunyai citra buruk/diberitakan
negatif, salah satunya akibat mengabaikan CSR.
4. Riset Collins dan Porras dalam bukunya, Built to Last: Succesful Habits of
Visionary Companies pada tahun 1994 (dalam: Addakhil, 2011, II-10; dan
Daniri, 2008a, 2) menunjukkan bahwa perusahaan yang terus hidup
bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan saja, tetapi juga
memperhatikan lingkungannya (sosial maupun alam).
“Nilai” berarti harga jual saham perusahaan yang tentunya dipengaruhi oleh citra
perusahaan. CSR merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi citra perusahaan,
sebagaimana konsumen, investor, dan bank dunia lebih tertarik dengan korporasi

yang melakukan CSR.
Disediakan bagan untuk memudahkan pola pemikiran di bawah ini.

3

Gambar 1. Alasan Perusahaan Perlu Melakukan CSR
Kesadaran bahwa pengusaha harus
menyesuaikan
diri
dengan
masyarakat

Comdev dikenalkan di Inggris
sebagai usaha untuk meningkatkan
pendidikan masyarakat

Kesadaran
bahwa
korporasi
memiliki dampak buruk bagi

lingkungan

Korporasi memiliki total kapital
yang besar sehingga harus turut
membangun masyarakat

Tekanan global kepada perusahaan
untuk melakukan CSR

Kesadaran masyarakat tentang CSR
meningkat

Beberapa regulasi yang mengatur
perusahaan untuk melakukan CSR

Masyarakat lebih memilih produk
yang diproduksi oleh pabrik yang
melakukan CSR

Investor lebih memilih berinvestasi

di korporasi yang melakukan CSR

Perusahaan Melakukan CSR

Pola pikir owner terhadap CSR

Bank Dunia lebih memilih untuk
meminjamkan modalnya kepada
korporasi yang melakukan CSR

Faktor Eksternal

Faktor Internal

4

CSR dan Community Development
CSR merupakan usaha untuk mengembangkan masyarakat agar mereka
mampu berdaya secara mandiri dalam berbagai urusan (misalnya: mengembangkan
diri sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri). Berbagai usaha CSR dilakukan agar

cita-cita tersebu tercapai, yang umumnya melalui usaha: karikatif (charity),
kedermawanan (philantrophy), dan pengembangan masyarakat secara berkelanjutan
(community development). Konsep community development sudah mencakup konsep
empowerment ‘pemberdayaan’ dan sustainable development ‘pembangunan berkelanjutan’
(Kusuma, 2015, 3), yang akan dibahas lebih lanjut di bawah.
Usaha charity dan philantrophy dinilai kurang tepat apabila dihubungkan dengan
cita-cita usaha CSR. Kedua usaha tersebut malah dapat merugikan kedua belah pihak:
masyarakat akan semakin ketergantungan dengan perusahaan, sementara perusahaan
akan kesusahan karena sifat “manja” dari masyarakat (Kusuma, 2015, 2-3).
Setidaknya, ada tiga pandangan secara teoritis yang mampu menjelaskan argumen di
atas, yaitu:
1. Pendekatan dari perspektif Bourdieu tentang kelas. Menurutnya, kelas
bawah—sebagaimana merekalah yang menjadi target CSR pada umumnya—
memiliki mental “fungsional” (Harker et al, 2009, 156; 182). Mereka tidak
seperti kelas atas yang serba kecukupan dalam berbagai modal—budaya,
ekonomi, sosial, dan simbolik—sehingga kelas tersebut secara suka-suka
membentuk atau merubah budaya untuk kemudian memaksakan budaya
tersebut sebagai budaya yang paling baik ke kelas lainnya melalui mekanisme
yang disebut Bourdieu sebagai “kekerasan simbolik” (Harker et al, 110-111; 67; Murwani, tanpa tahun, 4; 5-6; Martono, 2012, 35; 39-40; Ritzer, 2012, 911;
dan Haryatmoko, 2003, 20-22). Mereka tidak seperti kelas menengah yang

berusaha untuk meniru budaya kelas atas, atau setidaknya, mereka berusaha
untuk membedakan diri dengan kelas bawah (Harker et al, 2009, 154-155;
181-182; Martono, 2012, 35-36; dan Haryatmoko, 2003, 12-13). Menurut
sosiolog asal Prancis ini, kelas bawah serba kekurangan dalam berbagai modal
sehingga mereka lebih memilih cara hidup/cara konsumsi yang berguna bagi
mereka. Contohnya: kelas atas akan memilih mobil yang bergengsi yang
tentunya harganya memiliki angka nol berderet-deret; kelas menengah akan
membeli mobil yang sesuai dengan kemampuannya, tetapi harus bermerk;
sementara kelas bawah tidak memilih untuk membeli mobil, tetapi lebih
memilih untuk membeli barang yang lebih berguna bagi kehidupannya,
misalnya, petani akan lebih memilih untuk membeli pupuk dalam rangka
meningkatkan hasil pertaniannya.
Masyarakat kelas bawah, menurut teori ini, memang lebih menyukai bentuk
CSR yang secara instan (charity dan philantrophy) karena mereka lebih menyukai
hal yang fungsional/dampaknya cepat dan lebih terasa, daripada mereka
harus mengikuti pelatihan, yang menurut mereka berlarut-larut, dalam CSR
yang bersifat community development. Selain itu, ketergantungan mereka akan

5


menjadi lebih nyata ketika mereka telah mengetahui dampak dari bentuk CSR
yang instan karena fungsinya yang berguna kepada mereka.
2. Pendekatan yang kedua menggunakan perspektif James C. Scott tentang
masyarakat petani—sebagaimana mereka adalah mayoritas penduduk di
sekitar perusahaan yang menggunakan SDA (sumber daya alam) sebagai
bahan pokok produksinya—yang memiliki etika subsistensi. Menurutnya,
etika tersebut merupakan kegiatan petani yang melakukan proses pertanian
yang hasilnya tidak untuk dijual, tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya. Mereka (masyarakat petani) sudah puas dengan kemampuan mereka
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya (Pertiwi dan Nurhamlin, 2014, 2).
Proses bertani yang mereka lakukan bukan berasal dari pembelajaran
otodidak atau membaca apalagi browsing/googling, tetapi merupakan buah dari
meniru apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Kebiasaan cara bertani
itu, menurut mereka, adalah usaha bertani yang paling baik: mampu
menghasilkan panen secara maksimal. Pemikiran tersebut menghasilkan
budaya bertani di antara para petani. Oleh karena itu, segala bentuk inovasi
yang merubah cara mereka bertani akan mereka tolak, sebab mereka takut
akan mengurangi hasil dari pertanian mereka sehingga kebutuhan mereka
sehari-hari akan berkurang, dan berakhir di kondisi kelaparan (Sugihardjo et
al, 2012, 146; Rejeki, 2007, 152; Setiawan, 2006, 13; dan Mahmudah dan
Harianto, 2014, 2). Kondisi demikianlah yang disebut Scott sebagai pola pikir
“safety first”.
Kiranya, merupakan hal yang jelas apabila kondisi tersebut diperparah dengan
bentuk CSR yang instan. Ketergantungan mereka akan ekologi (pertanian)
akan bergeser ke ketergantungan kepada perusahaan yang memberi charity dan
philantrophy. Mereka tidak berkembang, malah sifat ketergantungan mereka
yang berkembang.
3. Pendekatan melalui kacamata Robert Chambers (dalam Rachmanto, 2013, 3;
dan
Kaligis,
2012,
67)
tentang
deprivation
trap
‘jebakan
kemiskinan/kekurangan’ yang terbagi menjadi lima, yaitu: kemiskinan itu
sendiri (kondisi tidak memiliki modal), kelemahan fisik, keterasingan (isolasi
diri dari lingkungan luar), kerentanan, dan ketidakberdayaan. Menurutnya, inti
dari kelima deprivation trap adalah kerentanan dan ketidakberdayaan
(Rachmanto, 2013, 3-4; dan Kaligis, 2012, 67). Kerentanan merupakan
kondisi saat masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan tatkala
menghadapi kondisi darurat (Rachmanto, 2013, 3-4; dan Kaligis, 2012, 67),
misalnya: mereka harus menjual harta-bendanya saat sakit. Sementara itu,
ketidakberdayaan merupakan ketidakmampuan mereka untuk melepaskan diri
dari kemiskinan karena absennya “modal” dalam diri mereka (Rachmanto,
2013, 4; dan Kaligis, 2012, 68), misalnya: mereka tidak memiliki posisi tawar
(bargaining) dalam merundingkan upahnya karena takut dipecat, sedangkan
mereka tidak memiliki kemampuan lain selain menjadi buruh tani.

6

Pola CSR yang instan mungkin mampu membantu mereka untuk melepaskan
diri dari kemiskinan, tetapi, berdasarkan pandangan Chambers, hanya bersifat
temporer. Contohnya: perusahaan memberi mereka bahan sembako yang
cukup untuk dikonsumsi selama sebulan, tetapi, selepas itu, mereka kembali
kelaparan. Pemberian CSR tersebut tidak mampu membantu mereka untuk
memiliki kondisi berdaya sehingga mereka mampu membantu diri mereka
sendiri untuk bangkit dari kondisi kemiskinan.
Pemberian CSR dalam bentuk community development jelas berbeda dengan
pemberian CSR yang bersifat instan. Community development atau yang dikenal dengan
singkatan comdev merupakan usaha untuk memberdayakan masyarakat (empowerment)
secara berkelanjutan (sustainable development). Menurut Subejo dan Supriyanto (2004,
dalam Supriyanto dan Subejo, 2004, 2) yang merangkum pendapat Cook, Giarci, dan
Bartle 2, memberdayakan merupakan: usaha untuk membangun kemampuan
masyarakat agar dapat: merencanakan, memutuskan, dan mengambil tindakan; untuk
mengelola dan mengembangkan potensi/sumber daya lokal (misalnya, lingkungan
fisik dan budaya) yang mereka miliki melalui usaha bersama (collective action) dan
pemanfaatan jaringan (networking) secara mandiri dalam rangka mencapai
kesejahteraan sosial. Sementara itu, berkelanjutan merupakan usaha terusmenerus/jangka panjang untuk tetap berkomitmen dalam membangun kapasitas
masyarakat karena hadirnya kesadaran bahwa memberdayakan masyarakat bukanlah
usaha yang dapat dilakukan secara cepat.
Terlihat perbedaan yang jelas antara pola CSR yang instan dan pola CSR yang
bersifat memberdayakan masyarakat. CSR yang instan hanya memberi, tanpa
memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana cara menggunakan
barang yang telah diberikannya. Sementara itu, community development merupakan usaha
memberi pengetahuan kepada masyarakat terkait bagaimana mereka menggunakan
kemampuan yang sedang dikembangkan oleh proses CSR untuk
mengolah/menggunakan potensi yang ada (baik sudah ada maupun diberi, dan yang
berada di dalam diri sendiri—karena community development berusaha untuk
mengembangkan diri masyarakat) sehingga mereka mampu menggunakan potensi
tersebut secara maksimal.
Community development bukanlah proses yang selesai dalam tempo 24 jam. Ada
tiga strategi dalam memberdayakan masyarakat (Kusuma, 2015, 12-13), yaitu:
1. Strategi kebijakan dan perencanaan: merupakan usaha untuk
mengembangkan/mengubah struktur dan lembaga dalam rangka meratakan
Ketiga tokoh tersebut menjelaskan pemberdayaan menurut pendapat mereka masing-masing.
Supriyanto dan Subejo (2004) melihat adanya persinggungan di antara pendapat mereka, sehingga
mereka mampu merangkumnya secara baik. Baca artikel Supriyanto dan Subejo (2004. Harmonisasi
Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dengan Pembangunan Berkelanjutan. Buletin Ekstensia-Pusat
Penyuluhan
Pertanian
Deptan
RI,
19
(XI)
di:
http://rohmatdiono.files.wordpress.com/2009/08/harmonisasi-pemberdayaan-masyarakat-denganpembangunan-berkelanjutan.pdf) untuk melihat penjelasan ketiga tokoh tersebut dan kemampuan
Supriyanto dan Subejo dalam merangkumnya.

2

7

akses kepada sumber daya sehingga masyarakat memiliki kesempatan yang
sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Penekanan pada
strategi ini ialah usaha untuk menyamaratakan kesempatan masyarakat.
Contohnya: memberikan sumber daya yang cukup dan aman kepada
masyarakat dan mengembangkan layanan yang mudak diakses masyarakat.
2. Startegi aksi sosial dan politik: merupakan usaha untuk memberikan masyakat
kemampuan dalam memperjuangkan dan merubah politik dalam rangka
meningkatkan kekuasaan yang efektif. Diksi “politik” di sini bukan berarti
mengajak masyarakat untuk turut serta menjadi simpatisan, apalagi partisan,
partai politik, melainkan usaha untuk memperjuangkan kepentingan
masyarakat. Intinya, strategi ini menekankan pentingnya usaha bersama dalam
mencapai kepentingan masyarakat.
3. Strategi pendidikan dan penyadar-tahunan: merupakan usaha untuk
memberikan masyarakat pengetahuan melalui proses edukasi agar masyarakat
memiliki pengetahuan sehingga mereka mampu meningkatkan keberdayaan
mereka. Strategi ini berusaha untuk meningkatkan kesadaran mereka melalui
pemberian: gagasan, pemahaman tentang masyarakat, struktur operasi (cara
melaksanakan beberapa hal yang berkaitan dengan pemberdayaan, misalnya:
perencanaan program), dan keterampilan; agar mampu berproses menuju
perubahan.
Perusahaan sebagai pelaksana CSR tidak berhenti tatkala selesai melaksanakan ketiga
strategi di atas. Berikut, dipaparkan bagaimana proses CSR yang berdimensi community
development.
Tahapan Umum CSR
Zafrullah (2009, 73, dalam Kusuma, 2015, 3) menyatakan bahwa, secara
umum, program CSR yang baik dilaksanakan melalui siklus PDCA (plan, do, check, and
action). Berikut, digambarkan siklus PDCA.
Gambar 2. Siklus PDCA
Plan
Menyesuaikan visi-misi
perusahaan, social mapping,
dan menyesuaikan dengan
RPJM-Desa

Do
Pelaksanaan program CSR

Action

Melakukan pengecekan
terhadap program CSR yang
sedang berjalan

Check
Memutuskan tindakan yang
perlu dilakukan

8

Tahap plan melibatkan proses social mapping ‘pemetaan sosial’ dan penyesuaian
dengan RPJM-Desa, selain, tentunya, menyesuaikan dengan visi-misi yang dimiliki
oleh perusahaan. Hal tersebut berdasarkan tiga argumen, yaitu:
1. Pemetaan sosial merupakan usaha untuk mengenali potensi serta
permasalahan yang ada di masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar
pembangunan yang dilakukan melalui program CSR yang berdimensi
community development di lokasi CSR dilaksanakan tidak berdimensi top-down,
melainkan bottom-up. Selain itu, pembagunan yang akan dilakukan akan sesuai
dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.
Pembangunan dengan dimensi top-down terbukti melibatkan dominasi pihak
top, dalam hal ini perusahaan, dalam proses pembangunan, sehingga besar
kemungkinan perusahaan tidak memperhatikan potensi serta permasalahan
yang ada di desa. Dengan demikian, pembangunan oleh perusahaan terhadap
lokasi CSR tidak akan menemukan titik temu sehingga usaha pemberdayaan
oleh perusahaan akan bersifat tidak “pas”. Selain itu, usaha top-down terbukti
kurang efektif dalam membangun masyarakat, misalnya, efek Marshall Plan
sebagai usaha pembangunan yang malah berdampak buruk bagi Amerika
Selatan sehingga banyak penulis yang mengkritisi pola pembangunan
tersebut.
2. Pemetaan sosial merupakan usaha untuk menggambarkan kondisi sosialbudaya—tentunya, selain pemetaan potensi serta permasalahan—di lokasi
CSR. Hal tersebut akan memudahkan perusahaan untuk “masuk” ke dalam
lingkungan tersebut.
3. Usaha untuk menyesuaikan dengan RPJM-Desa merupakan proses untuk
menyesuaikan program CSR dengan tujuan dari desa, sebagaimana mayoritas
lokasi tempat CSR dilaksanakan adalah di desa. Penyesuaian tujuan
perusahaan dengan tujuan dari desa adalah proses penyesuaian tujuan
pembagunan agar tidak terjadi tumpang-tindih pembangunan, atau dalam
dimensi terparah, pembangunan yang bersifat tambal-sulam.
Proses do merupakan realisasi dari penyusunan rencana pada tahap sebelumnya.
Tahap ini tidak hanya melibatkan perusahaan, tetapi juga masyarakat, sebagaimana
tujuan dari CSR yang bertipe community development adalah memandirikan masyarakat.
Di sisi lain, melibatkan masyarakat merupakan aplikasi nyata dari proses
pembangunan bertipa bottom-up sebagaimana merupakan usaha untuk menyesuaikan
perubahan dengan harapan dari masyarakat lokal.
Tahap check merupakaan saat perusahaan melakukan kontrol terhadap program
yang sedang berjalan, yang tentunya bersandingan dengan proses kontrol yang
dilakukan oleh masyarakat lokal—dijelaskan secara rinci di sub-pembahasan
selanjutnya. Tolak ukur yang menjadi penentu kriteria apakah program tersebut
berjalan dengan baik atau tidak adalah tolak ukur yang telah dibuat bersama antara
perusahaan dan masyarakat pada saat proses plan. Tahap check merupakan hal yang
perlu dilakukan agar pembangunan tetap mengarah pada tujuan awal.

9

Tahap terakhir dalam siklus PDCA adalah action, yaitu tahap memutuskan apa
yang akan dilakukan berdasarkan pertimbangan pada tahap check. Contohnya:
perusahaan memutuskan untuk kembali mengintervensi masyarakat dalam bentuk
pelatihan program karena perusahaan dan masyarakat merasa bahwa masyarakat
kurang mampu menjalankan program yang telah diinisiasi sebelumnya.
Hal yang perlu dicatat adalah, setiap proses siklus harus melibatkan
masyarakat yang merupakan sasaran pembangunan melalui CSR. Berikut, diuraikan
alasan mengapa masyarakat harus dirangkul dalam proses CSR.
Catatan: Perlunya Mengikutsertakan Masyarakat dalam Proses CSR
Keterlibatan masyarakat dalam proses CSR dapat dibedakan menjadi dua tahap,
sebagaimana James Baines (2003, 26) membedakannya menjadi ex-ante (proses
desain/perencanaan) dan ex-post (proses implementasi dan evaluasi). Secara umum,
melibatkan masyarakat merupakan usaha untuk menciptakan penerimaan masyarakat
atas pihak yang melakukan intervensi/pembangunan. James Baines (2013, 28)
menyatakan:
“Community consultation... is often a vital factor in establishing or building community
acceptance around a project, programme or policy.” 3
Komunikasi yang terus dibangun saat masyarakat terlibat dalam perencanaan
program akan menyebabkan mereka memiliki kedekatan dengan pihak yang
mengintervensi secara tidak langsung.
Keterlibatan Masyarakat dalam Tahap Ex-Ante
Program CSR yang baik adalah program CSR yang memiliki kesesuaian
dengan: harapan, potensi, dan permasalahan; yang ada di masyarakat tempat program
CSR akan dilaksanakan. Hal tersebut bertujuan agar program CSR mampu
membangun masyarakat secara efektif karena “pas” dengan yang “dibutuhkan” oleh
masyarakat. Frank Vanclay (2003, 1) menyatakan:
“... ensure that the developments (or planned interventions) that do occur maximize the
benefits and minimize the costs... By promoting participatory process, better consideration
can be given to what appropriate development for a community may be.” 4

3 (Berkonsultasi dengan komunitas [masyarakat lokal]... seringkali menjadi faktor yang vital dalam
memperkuat atau membangun penerimaan komunitas atas proyek, program atau kebijakan).
4 (... memastikan bahwa pembangunan [atau intervensi yang telah direncanakan] yang dilakukan
mampu memaksimalkan keuntungan [secara sosial] dan meminimalisir dampaknya... Dengan
mempromosikan [menggunakan] proses partisipatori [keterlibatan masyarakat lokal], dapat
memberikan pertimbangan yang lebih baik tentang kemungkinan bentuk pembangunan bagi
komunitas [masyarakat lokal])

10

Melibatkan masyarakat merupakan usaha untuk menyesuaikan program CSR dengan
masyarakat sehingga program CSR yang dijalankan mampu memaksimalkan dampak
positif dan meminimalisir dampak negatif. Hal yang perlu digarisbawahi adalah
adanya hubungan antara program yang sesuai dengan masyarakat dan maksimalisasi
dampak positif. Oleh karena itu, program yang memiliki kesesuaian dengan
masyarakat akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat. Contohnya,
secara ektrim agar memudahkan pemahaman: desa yang memiliki potensi membatik
tidak cocok apabila dipaksakan untuk membangun kemampuannya dalam bidang
mesin. Hal tersebut malah akan membuang tenaga dan uang pihak yang
mengintervensi, sedangkan masyarakat tidak akan mampu berdaya, karena mereka
tidak memiliki basis pengetahuan tentang mesin sehingga harus menyusun ulang
pengetahuannya yang memakan waktu cukup—atau bahkan—lama.
Keikutsertaan masyarakat dalam menyusun program juga diperlukan dalam
rangka mengurangi dampak negatif, sebagaimana James Baines menyatakan:
“... they will know much about the existing patterns of activities and interests in their
communitiy an be in a position to think about potensial impacts on these patterns...” 5
(Baines, 2003, 27)
“Community consultation at the design stage has often identified a range of mitigation
initiatives that limit the extent of negative impacts and enchance the likelihood of positive
impact in a proactive way.”6 (Baines, 2003, 28)
“... members of the host community are well placed to participate in a predictive assessment
of effects... Their proximity to the prospective activity, combined with their knowledge of
existing physical, culturral and social conditions in the locality, enables them to assess both
potential impacts and possible effective mitigation measures”7 (Baines, 2003, 38)
Baines lebih tertarik melihat bahwa keikutsertaan masyarakat dalam penyusunan
program mampu mengurangi dampak negatif dari program yang akan dijalankan.
Faktor utama yang mempengaruhi hal tersebut adalah karena masyarakat memiliki
pengetahuan yang lebih baik daripada orang luar (pihak yang akan melakukan

(... mereka [masyarakat lokal] akan sangat mengetahui tentang pola eksiting tentang aktivitas dan
minat di dalam komunitasnya dan berada dalam posisi untuk memikirkan dampak potensial dalam
pola tersebut).
6 (Berkonsultasi dengan komunitas saat tahap desain seringkali mengidentifikasi inisiatif pengurangan
[dampak] yang membatasi perluasan dampak negatif dan meningkatkan kemungkinan dampak positif
secara proaktif).
7 (... anggota komunitas lokal sangat cocok untuk berpartisipasi dalam memprediksikan dampak...
kedekatan mereka dengan aktivitas yang akan dijalankan, digabungkan dengan pengetahuan mereka
tentang kondisi eksisting terkait lingkungan fisik, kultural dan kondisi sosial dalam anggota komunitas
lokal, menyebabkan mereka mampu untuk menilai baik dampak potensial dan kemungkinan
pengurangan dampak secara efektif).
5

11

intervensi) sehingga mampu memberikan proyeksi yang lebih baik tentang dampak
negatif yang mungkin akan timbul dari proses pembangunan.
Michael Richards (2013, 9) memberikan pandangan yang sangat baik terkait
pentingnya masyarakat terlibat dalam proses pembangunan/CSR sehingga CSR
mampu direalisasikan, sebagaimana ia menyatakan:
“... kebutuhan untuk menyertakan pemangku kepentingan lokal dalam suatu
rancangan proyek atau program. Alasannya sebagian karena mereka adalah
orang-orang terbaik untuk menilai bagaimana strategi yang diusulkan akan
bisa dijalankan dalam kenyataannya—dan ini tidak mengejutkan karena
mereka adalah kenyataannya para pengambil keputusan dan pengelola
penggunaan lahan di daerah tersebut.”
Uraian di atas menyatakan bahwa penduduk lokal merupakan pihak yang paling
mengetahui tentang lingkungannya, maka perlu untuk melibatkan mereka dalam
proses pengambilan keputusan/penyusunan program. Selain itu, merekalah yang
paling mampu menilai bagaimana program yang telah direncanakan mampu
diimplementasikan secara riil. Terkadang, pihak luar yang memberi bantuan kepada
masyarakat lokal memberikan instruksi pelaksanaan program yang tidak realistis:
tidak mampu dilaksanakan di masyarakat.
Keterlibatan Masyarakat dalam Tahap Ex-Post
Arnstein (1969, 216-217; juga dalam: Prasastia, 2008, 21; Tanod et al, 2014, 265;
dan Suroso et al, 2014, 8-9) menjelaskan delapan tingkat partisipasi masyarakat,
berikut gambarnya:
Gambar 3. Delapan Tingkatan Partisipasi

Partisipasi

Hadiah

Non-partisipasi

12

Arnstein membagi delapan tingkatan partisi menjadi tiga tingkat partisipasi secara
umum, yaitu: non-partisipasi, hadiah, dan partisipasi. Non-partisipasi merupakan
kondisi saat masyarakat sama sekali tidak terlibat dalam pemberdayaan karena tidak
adanya pemberdayaan dari perusahaan. Hal yang diberikan oleh perusahaan hanyalah
manipulasi agar masyarakat tidak “memberontak”. Tingkat selanjutnya ialah hadiah,
yaitu pemberian CSR oleh perusahaan kepada masyarakat, tetapi hanya berbentuk
instan, sehingga hanya memberikan ketentraman yang tentunya bersifat temporer.
Tingkatan paling atas menurut Arnstein, yaitu partisipasi. Tingkat tersebut hanya
dapat dipraktikkan pada CSR yang bersifat community development yang sangat
membutuhkan partisipasi dari masyarakat, salah satunya ialah kerjasama. Keterlibatan
masyarakat dalam memberikan kontrol sosial terhadap program CSR yang berjalan
merupakan hal yang sangat dibutuhkan agar masyarakat mampu mengendalikan
perubahan yang terjadi sehingga mampu mengurangi dampak negatif dari proses
tersebut secara aktif dan efektif.
Alasan keterlibatan masyarakat dalam poin plan, check dan action sudah dapat
dijelaskan melalui paragraf sebelumnya, yang menyebabkan program yang akan
dilaksanakan akan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat dan mampu
dilaksanakan secara riil di masyarakat. Sementara itu, alasan melibatkan masyarakat
dalam tahap do ialah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melatihnya
dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka. Selanjutnya, mereka akan merasa
memiliki kemampuan untuk melaksanakan program sehingga tingkat kepercayaan diri
mereka meningkat. Ketidakpercayaan diri yang ada di dalam masyarakat terlihat dari
uraian Freire berikut:
Sebelumnya, ia menuruti saja majikannya dan berkata: “apa yang dapat saya
lakukan? Saya hanya seorang petani. (Freire, 1985, 37)
Mereka menyebut diri mereka orang bodoh dan berkata “professor” kepada
seseorang yang memiliki pengetahuan dan kepada siapa mereka harus
mendengarkan... “Mengapa Anda tidak menerangkan terlebih dahulu gambar
itu?”, kata seorang petani yang turut dalam sebuah kelompok belajar, “dengan
cara itu akan menghemat waktu dan tidak membuat kami pusing.” (Freire,
1985, 39)
Mengembangkan kepercayaan diri di dalam masyarakat merupakan hal yang penting
karena mereka akan merasa bahwa mereka mampu melaksanakan hal yang dapat
mengatasi permasalahannya. Dengan demikian, masyarakat akan mampu mengurangi
ketergantungannya dengan pihak yang ada di sekitarnya, termasuk perusahaan, secara
perlahan.
Kembali, James Baines (2003, 27) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat
dalam tahap implementasi berguna untuk evaluasi pembangunan, sebagaimana ia
menyatakan:

13

“By contrast, in ex-post... local knowledge is essential both to desribing the practical experience of
locals of an existing activity, and its effects on them, and to understanding how and why patterns of
impacts arise in the local community.” 8
Evaluasi tersebut berguna untuk menyusun ulang/membenahi proses pembangunan
yang sedang dijalankan. Dengan demikian, dampak negatif dari pembangunan dapat
diminimalisir, sedangkan dampak positifnya mampu ditingkatkan.

(Secara kontras, dalam tahap implementasi dan evaluasi... pengetahuan lokal adalah penting baik
untuk mendeskripsikan pengalaman praktik masyarakat dalam aktivitas eksisting, dan efeknya kepada
mereka, dan untuk memahami bagaimana dan mengapa pola dampak muncul di dalam komunitas
lokal).

8

14

Daftar Pustaka
Addakhil, Abdul Kodir. (2011) Menyingkap Selubung Ideologi Corporate Social Responsibility
(CSR) di Indonesia (Analisa Teori Kritis terhadap Keberpihakan CSR di Indonesia).
Skripsi. Universitas Airlangga.
Agus, Setiadi A. (2009) CSR untuk Masa Depan Bangsa dan Dunia. [online] Diakses
dari:
http://www.ykai.net/index.php?catid=89%3Aartikel&id=103%3Acsruntuk-masa-depan-bangsa-dan-dunia&format=pdf&option=com_content&Itemid=121 [diakses pada 11
Februari 2015].
Arnstein, Sherry R. (1969) A Ladder of Citizen Participation. JAIP, 35 (4) 216-224.
[online]
Diakses
dari:
https://www.planning.org/pas/memo/2007/mar/pdf/JAPA35No4.pdf
[diakses pada 11 Februari 2015].
Baines, James., McClintock, Wayne., Taylor, Nick., dan Buckenham, Brigid. (2003)
Using Local Knowledge. Dalam: Henk A. Becker dan Frank Vanclay (ed.)
The International Handbook of Social Impact Assessment: Conceptual and
Methodological Assessment. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited,
26-41.
Daniri, Mas Achmad. (2008a) Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bagian I).
[online] Diakses dari: http://madani-ri.com/web/?p=163 [diakses pada 11
Februari 2015].
Daniri, Mas Achmad. (2008b) Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bagian II).
[online] Diakses dari: http://madani-ri.com/web/?p=178 [diakses pada 11
Februari 2015].
Daniri, Mas Achmad. (2008c) Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bagian III).
[online] Diakses dari: http://madani-ri.com/web/?p=179 [diakses pada 11
Februari 2015].
Demaine, Jack. (2001) Sociology of Education Today. New York: Palgrave. [online]
Diakses dari: http://bookfi.org/dl/1193068/a983aa [diakses pada 8
Agustus 2014].
Ferdiansyah. (2010) Corporate Social Responsibility, antara Tanggung Jawab Moral
Perusahaan dan Tujuan Bisnis. Jurnal Sains Manajemen dan Akuntansi STIE
STAN-IM, 2 (1) 1-13. [online] Diakses dari: http://jsma.stanim.ac.id/pdf/vol2/1/1_Corporate%20Social%20Responsibility,%20Antar
a%20Tanggung%20Jawab%20Moral%20perusahaan%20dan%20Tujuan%
20Bisnis%20-%20Ferdiansyah.pdf [diakses pada 11 Februari 2015].
Freire, Paulo. (1985) Pendidikan Kaum Tertindas. Diterjemahkan dari bahasa Inggris
oleh Tim Redaksi. Jakarta: LP3ES.

Harker, Richard., Mahar, Cheelan., dan Wilkes., Chris. (2009) (Habitus x Modal) +
Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Pipit Maizier. Edisi ke-2.
Yogyakarta: Jalasutra.
Haryatmoko. (2003) Landasan Teoritis Gerakan Sosial menurut Pierre Bourdieu:
Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Basis.
Kaligis, Retor A. W. (2012) Analisis Dampak Sosial (Andasos) untuk Ukuran Kinerja
Pemerintahan. Insani, 12 (1) 67-74. [online] Diakses dari:
http://stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2430JURNAL%20INSANI%20STISIP%20Widuri%20Juni%202012-Retor.pdf
[diakses pada 9 Februari 2015].
Kusuma, Jaya Iskandar Arga. (2015) Problematika Masyarakat Paska Program Corporate
Social Responsibility (Studi Paska Pelaksanaan Program CSR oleh PT.
Pembangkitan Jawa Bali pada Tahun 2010-2012 di Kelurahan Jambangan dan
Kelurahan Gayungan, Surabaya). Skripsi. Universitas Airlangga.
Kusumadilaga, Rimba. (2010) Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai
Perusahaan dengan Profitabilitas sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Skripsi.
Universitas
Diponegoro.
[online]
Diakses
dari:
http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/akt/article/viewFile/71/59
[diakses pada 5 Februari 2015].
Lukito, Caroline. (2011) Persepsi Masyarakat tentang Corporate Social Responsibility (CSR)
Bank Indonesia (Studi Deskriptif mengenai Program “Desa Kita” pada Masyarakat
Desa Manding, Bantul, Yogyakarta). Skripsi. Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. [online] Diakses dari: http://e-journal.uajy.ac.id/1895/
[diakses pada 11 Februari 2015].
Mahmudah, Erni., dan Harianto, Sugeng. (2014) Bargaining Position Petani dalam
Menghadapi Tengkulak. Paradigma, 2 (1), 1-5. [online] Diakses dari:
http://id.scribd.com/doc/202731440/BARGAINING-POSITIONPETANI-DALAM-MENGHADAPI-TENGKULAK#scribd [Diakses
pada 4 Februari 2015].
Martono, Nanang. (2012) Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosisologi Pendidikan
Pierre Bourdieu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Murwani, Endah. (Tanpa Tahun) Distingsi sebagai Strategi Kekuasaan Simbolik (Studi
tentang Relasi Produksi dan Konsumsi Brand Lifestyle.
Nash, Roy. (2010) Explaining Inequalities in School Achievement: a Realist Analysis.
Ashgate Publishing Limited: Surrey. [online] Diakses dari:
http://bookfi.org/dl/1037446/bba763 [diakses pada 3 Agustus 2014].

Prasastia, Nucki. (2008) Bentuk Peran Serta Komunitas Adat Orang Rimba dalam Penataan
Kembali Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Skripsi. Institut
Teknologi
Bandung.
[online]
Diakses
dari:
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbppgdl-nuckiprasa-30501&q=orang%20rimba [diakses pada 11 Februari
2015].
Pertiwi, Kartini Putri., dan Nurhamlin. (2014) Strategi Bertahan Hidup Petani
Penyadap Karet di Desa Pulau Birandang Kecamatan Kampar Timur
Kabupaten Kampar. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik,
1
(2),
1-15.
[online]
Diakses
dari:
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/2450/2385
[Diakses pada 4 Februari 2015].
Rachmanto, Sofiyan. (2013) Eksploitasi Buruh Pengangkut Belerang di Gunung
Welirang (Studi Deskriptif tentang Relasi antara Pengepul Belerang
Koperasi Rksa dan Buruh Pengangkut Belerang di Gunung Welirang).
Jurnal Komunitas Universitas Airlangga, 3 (3), 1-11. [online] Diakses dari:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/kmntsefe03b7fbeabs.pdf
[diakses
pada 11 Februari 2015].
Rejeki, Ninik Sri. (2007) Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi
Kemitraan Inti-Plasma. Jurnal Ilmu Komunikasi, 4 (2), 145-166. [online]
Diakses
dari:
http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/viewFile/224/313
[Diakses
pada 4 Februari 2015].
Richards, Michael. (2012) Penilaian Dampak Sosial secara Partisipatif untuk Proyek dan
Program Sumberdaya Alam. Washington: Forest Trends Association. [online]
Diakses
dari:
http://www.foresttrends.org/documents/files/doc_3910.pdf [diakses pada 14 Februari
2015].
Ritzer, George. (2012) Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Saut Pasaribu, Rh.
Widada, dan Eka Adinugraha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiawan, Nugraha. (2006) Keberdayaan Peternak di Pedesaan dalam Perspektif Sosiologi
Politik. [online] Bandung: Universitas Padjadjaran. Diakses dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/03/keberdayaan_peternak_di-pedesaan.pdf
[Diakses pada 4 Februaru 2015].
Sugihardjo., Lestari, Eny., dan Wibowo, Agung. (2012) Strategi Bertahan dan Strategi
Adaptasi Petani Samin terhadap Dunia Luar (Petani Samin di Kaki
Pegunungan Kendeng di Sukolilo Kabupaten Pati). SEPA, 8 (2) 145-153.
[online]
Diakses
dari:
http://agribisnis.fp.uns.ac.id/wpcontent/uploads/2013/10/11-Sugihardjo-Eny-Lestari-AgungWibowo_Strategi-Bertahan-Dan-Strategi-Adaptasi-Petani-SaminTerhadap-Dunia-Luarpetani-1.pdf [Diakses pada 4 Februari 2015].

Supriyanto. dan Subejo. (2004) Harmonisasi Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan
dengan Pembangunan Berkelanjutan. Buletin Ekstensia-Pusat Penyuluhan
Pertanian
Deptan
RI,
19
(XI).
[online]
Diakses
dari:
http://rohmatdiono.files.wordpress.com/2009/08/harmonisasipemberdayaan-masyarakat-dengan-pembangunan-berkelanjutan.pdf
[Diakses pada 10 Februari 2015].
Suroso, Hadi., Hakim, Abdul., dan Noor, Irwan. (2014) Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan
di Desa Banjaran Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik. Wacana, 17 (1)
7-15.
[online]
Diakses
dari:
http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/viewFile/290/249
[diakses pada 11 Februari 2015].
Tanod, Stefanus T., Rengkung, M. M., dan Tondobala, Linda. (2014) Partisipasi
Masyarakat Kecamatan Madidir terhadap Program Pengelolaan Sampah
Kota Bitung. Sabua, 6 (3) 263-272. [online] Diakses dari:
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/SABUA/article/viewFile/6051/55
69 [diakses pada 11 Februari 2015].
Vanclay, Frank. (2003) Conceptual and Methodological Advances in Social Impact
Assessment. Dalam: Henk A. Becker dan Frank Vanclay (ed.) The
International Handbook of Social Impact Assessment: Conceptual and Methodological
Assessment. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 1-11.
Whitty, Geoff. (1985) Sociology and School Knowledge: Curriculum Theory, Research and
Politics.
London:
Methuen.
[online]
Diakses
dari:
http://bookfi.org/dl/1056536/afb656 [diakses pada 3 Agustus 2014].
Yuniarti, Eti. (2007) Analisis Pengungkapan Informasi Tanggung Jawab Sosial pada Sektor
Perbankan di Indonesia. Tesis. Universitas Diponegoro. [online] Diakses dari:
http://eprints.undip.ac.id/8042/1/Eti_Yuniarti.pdf [diakses pada 11
Februari 2015].

Dokumen yang terkait

Konstruksi Media tentang Kontroversi Penerimaan Siswa Baru di Kota Malang (Analisis Framing pada Surat Kabar Radar Malang Periode 30 Juni – 3 Juli 2012)

0 72 56

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PEMBENTUKAN CITRA POSITIF RUMAH SAKIT Studi pada Keluarga Pasien Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tentang Pelayanan Poliklinik

2 56 65

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Implementasi Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance pada PT. Mitra Tani Dua Tujuh (The Implementation of the Principles of Good Coporate Governance in Mitra Tani Dua Tujuh_

0 45 8

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Persepsi para guru tentang perpajakan dan pemotongan pajak penghasilan orang pribadi atas dana bantuan operasional sekolah (studi kasus SDN dan SMPN se-Jakarta Barat)

2 46 99

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Rancangan media informasi tentang makanan tradisional Peyeum Bandung

5 77 1

makalah Geografi tentang Bintang

0 8 4

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22