Perlindungan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten Chapter III V

BAB III
KETERKAITAN SUMBER DAYA GENETIK DENGAN PATEN
SEBAGAI SALAH SATU BENTUK DARI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL

A.

Pengertian Paten
Paten merupakan perlindungan hukum untuk karya intelektual di bidang

teknologi. Karya intelektual tersebut dituangkan ke dalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, yang dapat berupa proses
atau produk atau penyempurnaan dan pengembangan produk dan proses.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU N0 13 Tahun 2016 Tentang Paten, Paten
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri
invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
Invensiadalah

ide


Inventor

yang

dituangkan

ke

dalam

suatu

kegiatanpemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa
produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
Inventor:adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang
yangsecara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan
yang menghasilkan Invensi.

Universitas Sumatera Utara


Pemegang Paten: adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak
yangmenerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima
lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.
Paten Sederhana: adalah invensi yang memiliki nilai kegunaan
lebihpraktis daripada invensi sebelumnya dan bersifat kasat mata atau berwujud
(tangible). Adapun invensi yang sifatnya tidak kasat mata (intangible), seperti
metode atau proses, penggunaan, komposisi, dan produk yang merupakan product
by process tidak dapat diberikan perlindungan sebagai Paten Sederhana. Namun
demikian, sifat baru dalam Paten Sederhana sama dengan Paten biasa yaitu
bersifat universal.
Dalam ruang lingkup Paten, Invensi yang dapat diberi Paten Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, invensi yang dapat
dimintakan perlindungan Paten adalah invensi yang:
1. Baru (novelty);
Invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak
sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya (prior art atau the state
of art). Pengungkapan bisa berupa uraian lisan, melalui peragaan, atau dengan
cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi
tersebut.

2. Mengandung langkah inventif (inventive step);

Universitas Sumatera Utara

Yaitu invensi yang bagi seseorang dengan keahlian tertentu di bidang
teknik

merupakan

hal

yang

tidak

dapat

diduga

sebelumnya


dengan

memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan.
3. Dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable).
Yaitu invensi dapat diterapkan dalam industri sesuai dengan uraian dalam
permohonan. Jika invensi tersebut dimaksudkan sebagai produk, produk tersebut
harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas yang
sama, sedangkan jika invensi berupa proses, proses tersebut harus mampu
dijalankan atau digunakan dalam praktik.
Sedangkan

Invensi

yang

tidak

dapat


di-Paten-kan

sebagai

pengecualian, ada invensi-invensi yang tidak dapat dipatenkan, yakni :
1. proses

atau

produk

yang

pengumuman

dan

penggunaan

atau


pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan
2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang
diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan
3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika
4. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik
5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,
kecuali proses non-biologis atau proses mikro-biologis.
B. Paten Sebagai Bentuk Dari Hak Kekayaan Intelektual
Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil
produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra,

Universitas Sumatera Utara

gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk
manusia. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir
karena kemampuan intelektual manusia. Sistem HKI merupakan hak privat
(private rights). Seseorang bebas untuk


mengajukan permohonan atau

mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan Negara
kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada
lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas) nya dan agar
orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga
dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui
mekanisme pasar. Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga
kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat
dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut,
diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk
keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai
tambah yang lebih tinggi lagi. 21
Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari pemikiran
atau kecerdasan manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan
manusia sehingga dapat dianggap juga sebagai aset komersial. Karya-karya yang
dilahirkan atau dihasilkan atas kemampuan intelektual manusia baik melalui
curahan tenaga, pikiran dan daya cipta, rasa serta karsanya sudah sewajarnya
diamankan dengan menumbuhkembangkan sistem perlindungan hukum atas

21

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekayaan_intelektual diakses pada tanggal 11 Maret

2017

Universitas Sumatera Utara

kekayaan tersebut yang dikenal sebagai sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
HKI merupakan cara melindungi kekayaan intelektual dengan menggunakan
instrumen-instrumen hukum yang ada, yakni Hak Cipta, Paten, Merek dan
Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, dan Perlindungan Varietas Tanaman.
Paten adalah perlindungan HKI bagi karya intelektual yang bersifat
teknologi, atau

dikenal

juga


dengan

istilah invensidan mengandung

pemecahan/solusi teknis terhadap masalah yang terdapat pada teknologi yang
telah ada sebelumnya. Dalam Pasal 7 TRIPS ( tread related aspect of intellectual
property right ) tujuan dari perlindungan dan penegakan HKI adalah mendorong
timbulnya inovasi, pengalihan dan penyebaran teknologi dan diperolehnya
manfaat bersama antara penghasil dan penggunaan pengetahuan teknologi,
menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
TRIPS Agreement sebagai suatu bagian dari Uruguay Round 1994
menetapkan standar minimum untuk dipatuhi oleh negara-negara anggotanya
dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual, di mana
standar-standar ini kemudian juga berlaku untuk pengetahuan tradisional. Negaranegara yang meratifikasi TRIPS diharapkan menetapkan sistem perlindungan
kekayaan intelektual yang menyeluruh yang meliputi paten, hak cipta, tanda-tanda
geografis, rancangan industri, merk dagang, dan rahasia dagang.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan TRIPS Agreement, adalah tidak mungkin untuk melindungi
pengetahuan tradisional di bawah hukum paten yang ada saat ini. Beberapa
perlindungan terbatas atas pengetahuan tradisional kemungkinan akan dapat
diberikan dengan menggunakan sistem hak cipta, rahasia dagang dan indikasi
geografis. Meski demikian, Persetujuan TRIPS memiliki keterbatasannya sendiri
dalam melindungi pengetahuan tradisional sebagai kekayaan intelektual dari
masyarakat tradisional dan lokal. Masalahnya adalah karena kekakuan yang
terbentuk dalam ukuran-ukuran ini dan sifat asli dari pengetahuan tradisional.
Negara berkembang harus segera menggunakan Pasal 27.3(b) untuk
mendorong langkah-langkah bukan paten melalui sistem sui generis. Pasal 27.3(b)
dari TRIPS Agreement menyatakan bahwa:
“members may also exclude from patentability... plants and animals other
than microorganisms, and essentially biological processes for the production of
plants or animals other than non-biological and microbiological processes.
However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by
patents or by an effective sui generis system or by a combination thereof. The
provisions of this subparagraph shall be reviewed four years after the entry into
force of the WTO Agreement.”
TRIPS


Agreement

telah

menciptakan

kesempatan

baru

untuk

mengembangkan rezim alternatif dari hak atas kekayaan intelektual, yang secara
etis, sosial dan lingkungan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan dari masyarakat
tradisional di negara-negara berkembang. Hal ini merupakan suatu kesempatan

Universitas Sumatera Utara

yang harus segera dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang dengan cara
membuat dan mendorong langkah-langkah perlindungan non-paten. Indonesia
sendiri telah meratifikasi TRIPS Agreement melalui Undang-undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO.
Paten merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang
paling erat kaitannya dengan pemanfaatan SDG. Ketentuan dalam sistem paten
yang terkait dengan pemanfaatan SDG adalah:
1. Paten diberikan untuk setiap invensi, baik produk maupun proses, dalam
semua bidang teknologi sepanjanginvensi tersebut baru, mempunyai
langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri {TRIPs Pasal 27(1)
dan Undang-undang Paten no. 14, 2001)}.
2. Bahwa Mikroorganisme baik yang telahada di alam atau hasil rekayasa
genetika merupakan subject matter yang patentable (lihat TRIPs Pasal
27(3).
Kedua Pasal di atas menjadi penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan
SDG karena:
a. Perjanjian TRIPS memungkinkan diberikannya paten untuk
material genetika (dan produk-produk turunan-nya) dan juga
varietas tanaman tertentu (dengan sistem sui generis). Perjanjian
TRIPs tidak mengatur bagaimana hak paten atau varietas tanaman
diperoleh, apakah konsisten atau tidak dengan hak negara
(sovereignty) asal dari sumber daya genetik tersebut ada ketidak

Universitas Sumatera Utara

seimbangan antara negara berkembang sebagai pemilik sumber
daya genetik dan negara maju dengan kemampuan teknologinya.
b. Perjanjian TRIPS tidak mempunyai pembatasan bagi paten yang
dihasilkan dari pengetahuan tradisional yang berarti bertentangan
dengan Pasal 8(j) dari CBD.
c. Perjanjian TRIPS menyediakan per-lindungan material genetika
(dan produk-produk turunannya) melalui paten, tanpa memastikan
bahwa keten-tuan dari CBD, yang meliputi prior informed consent
dan benefit sharing dipertimbangkan.
Bentuk perlindungan Paten adalah pemberian hak eksklusif bagi
Pemegang Paten untuk:
a. Dalam hal Paten produk:
-

membuat;

-

menggunakan;

-

menjual;

-

mengimpor;

-

menyewakan;

-

menyerahkan; atau

-

menyediakan untuk dijual; atau

-

disewakan; atau

-

diserahkan

b. Dalam hal Paten proses:

Universitas Sumatera Utara

menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat
barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Saat ini, kondisi Indonesia dan negara berkembang lain secara umum
adalah:
a. Kaya akan SDG,
b. Relatif rendah akan kemampuan teknologi,
c. Relatif rendah akan sumber daya finansial,
d. Banyak invensi yang dipatenkan oleh perusahaan dari negara maju
dengan menggunakan sumber daya genetika dan pengetahuan
tradisional dari negaraberkembang.
Peraturan Perundang-undangan mengenai HKI pertama kali ada di Venice,
Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Beberapa nama seperti
Caxton, Galileo dan Guttenberg merupakan penemu-penemu yang tercatat sebagai
penemu dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas
penemuan mereka. Pada tahun 1500-an hukum-hukumtentang paten tersebut
mulai diadopsi oleh Kerajaan Inggris yang kemudian lahir hukum mengenai paten
yang pertama di Inggris, yaitu Statute of Monopolies (1623). Selanjutnya di
Amerika Serikat, undang-undang paten baru muncul pada tahun 1791.
Secara internasional, peraturan di bidang HKI pertama kali terjadi pada
tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek
dagang, dan desain. Pada tahun 1886 terdapat perjanjian Berne Convention untuk
masalah hak cipta (copyright). Kedua konvensi tersebut antara lain membahas

Universitas Sumatera Utara

tentang standarisasi, tukar-menukar informasi, perlindungan minimum dan
prosedur mendapatkan hak kekayaan intelektual. Hasil dari kedua konvensi
tersebut adalah dibentuknya biro administratif yang bernama The United
International Bureau for The Protection of Inttellectual Property yang kemudian
dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO
merupakan organisasi internasional di bawah lembaga Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang khusus menangani masalah HKI.
Peraturan lainnya yang terkait dengan HKI secara internasional adalah
hasil dari perundingan di Uruguay yang disebut sebagai Putaran Uruguay
(Uruguay Round). Putaran Uruguay yang berlangsung pada tahun 1986 – 1994
membahas tentang tarif dan perdagangan dunia atau General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) yang kemudian membentuk organisasi perdagangan
dunia atau World Trade Organisation (WTO). Selain pembentukan WTO,
kesepakatan lain yang didapat dalam Putaran Uruguay adalah persetujuan tentang
aspek-aspek yang berhubungan dengan perdagangan dan hak kekayaan intelektual
atau Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi persetujuan
WTO tersebut melalui UU No. 7 Tahun 1994.
Peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia, secara historis
telah ada sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial
Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI
pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek
(1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu

Universitas Sumatera Utara

itu masih bernama Netherlands East– Indies telah menjadi anggota Paris
Convention For the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota
Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works sejak tahun 1914.
Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942, semua peraturan perundangundangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.
C.

Pemanfaatan Ekonomi Sumber Daya Genetik dan Kaitannya Dengan
Paten
Paten merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang

paling erat kaitannya dengan pemanfaatan SDG. Ketentuan dalam sistem paten
yang terkait dengan pemanfaatan SDG. Perkembangan ilmu bioteknologi telah
mendorong pengembangan potensi ekonomi, pemanfaatan dan komersialisasi
SDG. Dalam hal ini, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, yang
biasanya merupakan negara-negara beriklim tropis dengan kekayaan sumber daya
genetik yang melimpah, seharusnya ada dalam posisi yang kuat untuk
memperoleh keuntungan dalam pemanfaatan sumber daya genetik.
Berbagai bentuk komersialisasi dapat dilakukan dalam memanfaatkan
HKI. Bentuk-bentuk komersialisasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mengembangkan Sendiri
Pada bentuk komersialisasi ini, pemilik HKI dapat mengembangkan usaha
berbasiskan HKI miliknya. Bentuk komersialisasi ini merupakan bentuk
komersialisasi yang memiliki resiko dan pengembalian ekonomis yang paling

Universitas Sumatera Utara

tinggi. Pada bentuk komersialisasi ini, semua resiko ditanggung oleh pemilik HKI
dengan catatan bahwa pemilik HKI memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk
mengembangkan usahanya ini.
2. Akuisisi
Membeli/mengakuisisi
dibandingkan

dengan

suatu

perusahaan

mengembangkan

usaha

lebih
baru

tidak

beresiko

karena

investasi

pengembangan awal sudah selesai dan infrastruktur produksi sudah tersedia.
Dengan bentuk komersialisasi ini, pemegang HKI dapat meningkatkan daya
saingnya untuk penetrasi pasar dengan lebih cepat karena memperpendek time to
market dengan tetap mempertahankan kendali total (Megantz, 1996). Tantangan
pada bentuk komersialisasi adalah potensi-potensi friksi atau konflik karena
perbedaan budaya atau manajemen antara pemilik HKI dan perusahaan yang
mengakuisisinya.
3. Joint Venture
Ketika dua perusahaan memiliki kesamaan visi atau saling mengisi satu
sama lain (satu perusahaan menutup asset komplementer dari perusahaan yang
lain), maka sebuah perusahaan joint venture dapat dibentuk. Dalam joint venture
ini, dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk berbagi modal, teknologi,
sumberdaya manusia, resiko dan imbalan dalam pembentukan unit usaha baru di
bawah pengawasan bersama (Megantz, 1996). Bentuk komersialisasi ini sangat
strategis apabila bias ditemukan partner yang memiliki asset komplementer
(kapasitas, sumberdaya, dan lain-lain).

Universitas Sumatera Utara

4. Lisensi
Lisensi berarti izin yang diberikan oleh pemilik HKI kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari
suatu HKI dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Hak untuk memakai HKI ini
umumnya ditukar dengan suatu biaya lisensi atau royalti dalam berbagai
bentuknya, seperti persentase dari laba bersih pemegang lisensi, persentase dari
penjualan kotor dari pemegang lisensi atau biaya yang telah ditentukan. Bentuk
komersialisasi ini merupakan bentuk yang paling umum digunakan dalam
komersialisasi HKI.
Lisensi sendiri terdapat dua bentuk yaitu lisensi eksklusif dan noneksklusif. Pada lisensi eksklusif, pemilik HKI biasanya memutuskan untuk tidak
memberikan HKI tersebut kepada pihak lain dalam daerah tersebut untuk jangka
waktu lisensi, kecuali kepada pemegang lisensi eksklusifnya. Sedangkan pada
lisensi non eksklusif, pemilik HKI dapat memberikan lisensi HKI-nya kepada
pihak lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang
sama.
5. Aliansi Strategis
Jika dua perusahan memiliki tujuan yang sama dan saling menguntungkan,
sebuah aliansi dapat dibentuk yang memungkinkan terjadinya pembagian
keuntungan. Melalui sebuah aliansi, perusahaan dapat menggunakan keahlian
masing-masing untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari sebuah pasar atau
satu perusahaan setuju untuk memasarkan dan menjual produk yang dihasilkan

Universitas Sumatera Utara

oleh perusahaan yang lain. Dalam bentuk komersialisasi ini, satu perusahaan
dapat mencapai tujuan dengan tetap mempertahankan fleksibilitasnya untuk
beradaptasi dengan cepat misalnya dengan penggantian partner. Aliansi dapat
horisontal atau vertikal. Sebagai contoh pada aliansi yang vertikal, partner
menangani market dan pemilik HKI mengembangkan produknya.
6. Penjualan
Pemilik HKI dapat
pertimbangan-pertimbangan

melakukan penjualan atas HKI-nya dengan
strategis

tertentu.

Bentuk

komersialisasi

ini

merupakan yang paling tidak beresiko bagi pemilik HKI tetapi memberikan resiko
yang tertinggi bagi pembelinya.
Namun demikian kenyataannya memang jauh dari yang diharapkan.
Biopiracy menjadi hal yang sering terjadi yang menimpa negara-negara
berkembang dengan kekayaan sumber daya genetik yang melimpah. Negara maju
dengan kemampuan teknologinya cenderung telah mengambil keuntungan yang
tidak adil dari sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional dari negaranegara berkembang. Pemanfaatan ekonomi dari SDG dengan menggunakan
bioteknologi, khususnya di bidang Farmasi dan Bioteknologi tidak dapat
dipungkiri berkembang dengan dukungan sistem HKI, khususnya paten dan
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Dari data yang ada di kantor- kantor
paten di dunia termasuk di Indonesia, maka akan tampak adanya pergeseran
permohonan paten bidang farmasi dari invensi bidang kimia menjadi bidang
bioteknologi.

Universitas Sumatera Utara

Potensi ekonomi dari pemanfaatan dan komersialisasi SDG biasanya
melibatkan pengetahuan tradisional dan mendorong terjadinya biopiracy dimana
pengambilan keuntungan yang tidak adil dari SDG dan pengetahuan tradisional
terkait saat ini dilakukan setidaknya dengan dua cara berikut:
1. Pencurian, penyalahgunaan, atau free-riding sumber daya genetika
dan/atau pengetahuan tradisional melalui sistem paten.
2. Pengambilan, pengumpulan tanpa izin untuk tujuan komersial dari sumber
daya genetika dan/atau pengetahuan tradisional.
Adapun tujuan perlindungan kekayaan intelektual melalui HKI secara
umum meliput i:
a. Memberi kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaan dengan
inventor,

pencipta,

desainer,

pemilik,

pemakai,

perantara

yang

menggunakannya, wilayah kerja pemanfaatannya dan yang menerima
akibat pemanfaatan HKI untuk jangka waktu tertentu;
b. Memberikan penghargaan atas suatu keberhasilan dari usaha atau upaya
menciptakan suatu karya intelektual;
c. Mempromosikan publikasi invensi atau ciptaan dalam bentuk dokumen
HKI yang terbuka bagi masyarakat;
d. Merangsang terciptanya upaya alih informasi melalui kekayaan intelektual
serta alih teknologi melalui paten;
e. Memberikan perlindungan terhadap kemungkinan ditiru karena adanya
jaminan dari negara bahwa pelaksanaan karya intelektual hanya diberikan
kepada yang berhak.

Universitas Sumatera Utara

Begitu pula dengan rezim hak atas kekayaan intelektual, transfer
sumber daya genetik, pemanfaatan spesimen jenis seperti pertukaran,
peragaan,

perdagangan,

spesimen

dilindungi

yang

pada

saat

didapatkan/dimiliki belum dilindungi, instrumen ekonomi dalam pemenfaatan
sumber daya geneti, dan kerja sama pemanfaatan sumber daya genetik, sampai
saat ini masih belum lengkap pengaturannya. Hal ini berdampak pada
timbulnya potensi kerugian atas keragaman sumber daya genetik di Indonesia.
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa sebenarnya apabila
SDG dimanfaatkan dengan semestinya bersama-sama dengan sistem HKI dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa sendiri hal ini merupakan sinergi
yang saling mendukung dalam memperoleh manfaat dari potensi SDG.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PERLINDUNGAN SUMBER DAYA GENETIK BERDASARKAN UU
NO. 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN

A.

Perlindungan Ikan Spesifik Sebagai Salah Satu Sumber Daya Genetik
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten

Besarnya potensi sumber daya genetik ikan dan harapan yang tersimpan
diikuti dengan kenyataan

yang

ada

bahwa

pada

potensi tersebut belum

dimanfaatkan secara optimal. Kekayaan sumberdaya genetik yang ada belum
mampu bersaing baik di tingkat global maupun nasional. Sampai saat ini, secara
umum budidaya perikanan didominasi oleh komoditas ikan-ikan impor baik untuk
ikan hias maupun konsumsi. Dari jenis ikan konsumsi yang sudah memasyarakat,
sebagian besar merupakan ikan introduksi seperti ikan mas, nila, patin Bangkok,
lele dumbo, bawal air tawar, udang vanamei dan stylostris.
Menurut UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, pemerintah
melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan
melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia. UU ini selanjutnya dirubah dan dilengkapi dengan
UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam UU ini pengelolaan perikanan
dalam wilayah engelolaan perikanan Indonesia dilakukan untuk tercapainya
manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber
daya ikan serta untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan

Universitas Sumatera Utara

harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatika
peran serta masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ikan merupakan satwa yang berada dalam
kawasan hutan konservasi yang perlakuannya tunduk pada rezim Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya yang dilaksanakan oleh otoritas yang menyelenggarakan urusan di
bidang kehutanan. Perlakuan tersebut terkait dengan kewenangan konservasi dan
pemanfaatan. Namun, di sisi lain dalam rezim undang-undang tentang perikanan,
ikan dimanapun lokasi beradanya merupakan kewenangan dari otoritas yang
menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan. Sebagai contoh
dalam Pasal 7 huruf p Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 diatur bahwa
dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri
Keluatan dan Perikanan menetapkan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya
ikan serta lingkungannya. Dalam Penjelasan Pasal 7 huruf p Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 dinyatakan bahwa:
”Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi
dan peningkatan sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan
penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang
buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak ikan,
peningkatan

kesuburan

perairan

dengan

jalan

pemupukan

atau

penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau
pengerukan dasar perairan”.

Universitas Sumatera Utara

Patut disadari bahwa untuk waktu yang lama riset dan pengembangan
lebih terfokus pada bidang budidaya. Di bidang perbenihan, Indonesia masih
tertinggal oleh karenanya perlu dipacu melalui:
1) teknologi

untuk

pengembangan

produk

diharapkan

mampu

menciptakan produk-produk unggul yang karakteristiknya lebih
disukai masyarakat konsumen,
2) kebijakan pengembangan komoditas termasuk teknologinya harus
beralih dari komoditas tertentu yang sudah lama dikembangkan
(kurang dari 10 jenis),
3) potensi banyak sumber lainnya harus mendapat perhatian yang lebih
besar dan dipercepat pengembangannya.
Melihat keanekaragaman hayati ikan air tawar, di Wilayah Barat Indonesia
tercatat mencapai 1000 spesies. Angka tersebut melebihi jumlah spesies Asia
Tenggara di Daratan Asia yang tercatat sebesar 900 spesies. Namun demikian,
saat ini baru 40 spesies komoditas ikan telah dikembangkan sebagai sumber daya
genetik untuk kegiatan budidaya dalam rangka menunjang diversifikasi usaha
budidaya. Tiga puluh dua diantaranya adalah ikan asli Indonesia. Dengan
komposisi 22 jenis ikan air tawar (patin jambal, patin tikus, jelawat, betutu,
belida, baung, tambakang, betok, gurame, semah, tawes, lampam, arowana,
kelabau, nilem, lele, bilih, benangin, gabus, bandeng, belanak) dan 10 ikan laut
(kakap putih, kakap merah, kakap, kerapu bebek, kerapu macan, kerapu kertang,
kerapu lumpur, kerapu batik, kerapu sunu, baronang).
Tingginya kekayaan hayati dan ekploitasi yang telah dilakukan sejak lama

Universitas Sumatera Utara

sangat kontradiktif dengan pengetahuan tentang sifat- sifat biologis ikan-ikan
tersebut yang masih jauh dari sempurna dan terbatas pada daftar nama saja.
Informasi

dasar

biologis

sumber

daya

genetik

sangat

penting

untuk

mengoptimalkan budidaya sumber daya genetik yang dimanfaatkan. Selanjutnya
dokumentasi informasi tersebut merupakan bahan dasar pemuliaan untuk
menghasilkan jenis-jenis ikan unggul yang spesifik lokasi/ geografi/kondisi lahan,
dapat dibudidayakan secara intensif pada lahan terbatas, mampu menampilkan
pertumbuhan yang baik pada kondisi lingkungan perairan yang kurang
mendukung dan dapat diterima konsumenserta memiliki keunggulan dari aspek
ekonomi.
Mengingat wilayah Indonesia yang begitu luas secara geografis dan
dilimpahi oleh sumber daya genetik yang tinggi, keunggulan ini seyogianya dapat
dijadikan aset pembangunan. Daerah yang luas dengan keunggulan dan potensi
spesifik seharusnya diisi oleh sumber daya genetik yang sesuai dengan potensi
lahan yang mendukung dan budaya lokal. Hanya lahan yang cocok dengan
sumber daya genetik yang dapat memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu,
besar sekali peranan sumber daya genetik sebagai bahan baku pemuliaan untuk
menghasilkan bibit-bibit/varietas unggul melalui program seleksi, hibridisasi dan
DNA rekombinan bagi keberhasilan pemuliaan dan pembangunan nasional.
Langkah- langkah di atas dapat meningkatkan keanekaragaman bahan pangan
perikanan yang tersedia bagi konsumen dan mencegah membanjirnya keaneka
ragaman ikan introduksi/impor.
Potensi dan keanekaragaman ikan asli yang memiliki prospek menjanjikan

Universitas Sumatera Utara

untuk dibudidayakan sangatlah besar, namun demikian pencapaian hasil-hasil
riset yang telah dilaksanakan khususnya yang berhubungan dengan pemuliaan
ikan masih sangat sedikit. Padahal kita sering dihadapkan pada masalah kegagalan
panen dikarenakan adanya masalah mutu benih yang kurang baik, tumbuh lambat,
dan rentan terhadap penyakit (SUGAMA, 2006). Contoh masalah budidaya yang
sedang kita hadapi saat ini adalah adanya penurunan mutu benih pada budidaya
ikan mas, udang windu, dan kerapu serta terjangkitnya penyakit “White Spot
Syndrome Virus” (WSSV) pada budidaya udang windu “Koi Herpes Virus”
(KHV) pada budidaya ikan mas dan “Virus Nerve Necroses” (VNN) atau
iridovirus pada budidaya kerapu. Masalah tersebut hingga kini belum dapat
ditanggulangi secara tuntas. Hasil riset yang telah dicapai hubungannya dengan
penyakit di atas hanya baru sebatas menjawab, bahwa ikan mati terserang
penyakit virus tersebut di atas. Jawaban tersebut diyakinkan setelah adanya
pengembangan teknik deteksi virus dengan Polimerase Chain Reaction (PCR).
Riset dengan sasaran memperbaiki pertumbuhan dan ketahanan terhadap
penyakit menjadi tantangan ke depan. Sementara ini hasil riset ikan budidaya
yang sudah diperbaiki mutu genetiknya, sehingga mempunyai pertumbuhan lebih
baik dibandingkan dengan populasi aslinya adalah ikan mas Rajadanu, udang
galah G-Macro, Lele Sangkuriang, Patin Pasupati, Nila Cijeruk.
Dalam krisis ekonomi yang masih berlangsung saat ini, sektor perikanan
sangat diharapkan berperanan besar sebagai salah satu sumber devisa negara
untuk menggerakkan perekonomian nasional. Perikanan budidaya merupakan
salah satu kegiatan yang dapat menunjang harapan tersebut di atas Meskipun

Universitas Sumatera Utara

sektor budidaya perikanan kontribusinya relatif kecil dari total produksi ikan,
namun dampak sosial yang diberikan cukup besar dalam menggerakkan ekonomi
masyarakat pedesaaan. Selain itu sektor budidaya mempunyai kelebihan dalam
aspek padat karya dan kerakyatan dibandingkan dengan sektor tangkapan yang
kebanyakan dimiliki oleh pengusaha besar. Nampaknya peningkatan budidaya
perikanan di masa depan menjadi sebuah tantangan dan target bersama.
Berdasarkan statistik perikanan kontribusi terbesar berasal dari perikanan
tangkap. Melihat bahwa dalam kurun waktu 2000 – 2003 luas areal
pembudidayaan bertambah dari 654.351 Ha menjadi 730.090 Ha, lahan
pembudidayaan tersebut terdiri dari lahan laut, tambak,

kolam,

dan

sawah.

Sedangkan keramba/jaring apung berjumlah 160.189 unit pada tahun 2000
menjadi 272.518 unit pada tahun

2003

(DITJEN

PERIKANAN

BUDIDAYA,2005). Secara umum produksi perikanan budidaya mengalami
peningkatan sebesar 10% per tahun yakni dari 994.962 ton pada tahun 2000
menjadi 1.224.192 ton pada tahun 2003.
Untuk Propinsi Jawa Barat, wilayah ini memiliki keunggulan pada sektor
budidaya ikan dibandingkan dengan propinsi lainnya dilihat dari jumlah rumah
tangga perikanan budidaya, jumlah petani, luas usaha budidaya, produksi, dan
nilainya berdasarkan STATISTIK PERIKANAN (2004). Potensi ini harus dapat
dimanfaatkan secara optimal, pengembangan- nya tidak berorientasi semata-mata
pada peningkatan produksi, tetapi kepada pening- katan produktivitas dan nilai
tambah. Oleh karena itu efisiensi usaha merupakan faktor yang sangat penting
dengan melakukan pemilihan sumber daya genetik/jenis ikan yang tepat. Selain

Universitas Sumatera Utara

itu, dukungan yang mengarah pada penerapan teknologi (nutrisi, lingkungan dan
patologi) yang lebih maju, perluasan areal dan pengadaan benih yang memadai
dalam jumlah maupun mutunya (pemuliaan) sangat dibutuhkan.
Khusus daerah-daerah tertentu, ikan-ikan yang menjadi maskot/ikon
daerah perlu mendapat perhatian untuk pengembangannya seperti ikan Batak di
Sumatera Utara, Belida di Sumatera Selatan, Nilem/Tawes/Kancra di Jawa Barat,
Tambra di Kalimantan, Sidat di Sulawesi, Cherax di Papua dan sebagainya.
Bekerjasama dengan pemerintah daerah akan lebih banyak lagi penciptaan
maskot-maskot ikan di daerah yang berkaitan dengan tradisi masyrakat lokal
untuk kepentingan produksi ikan budidaya dan pelestarian ikan-ikan favorit
tersebut dari kepunahan.
Perairan

tropis

di

sekitar

wilayah

Indonesia

merupakan

pusat

keanekaragaman hayati (biodiversity) di dunia. Banyak sungai dan danau
merupakan habitat asli ikan Indonesia (endemic species). Sebagaimana dimaklumi
sumberdaya genetik telah lama dimanfaatkan secara terus-menerus dan bahkan
meningkat ekploitasinya untuk perdagangan. Pada tingkat global, kurang lebih
tiga perempat dari spesies yang belum diketahui hilang dari beberapa pulau yang
terisolasi (WCMC, 1992) yang sebagian besar merupakan jenis moluska dan
burung dari Wilayah Asia Pasifik. Untuk vertebrata, sebesar 1469 spesies dalam
kondisi terancam punah (UNEP, 2002).
Di kawasan Asia, banyak negara perekonomiannya masih sebagian besar
tergantung pada sumberdaya genetik. Dewasa ini telah muncul kesadaran dari
banyak lembaga konservasi terhadap kegiatan yang sedang berlangsung seperti

Universitas Sumatera Utara

penggundulan hutan, pembendungan waduk, ekplorasi laut sebagai kegiatan yang
tidak berkelanjutan. Namun demikian sering dihadapi bahwa ekploitasi
sumberdaya alam dan konservasi sering berbenturan kepentingan. Meskipun telah
tersedia hukum untuk mengefektipkan konservasi keanekaragaman hayati namun
pelaksanaan dan pengawasannya menunjukkan banyak masalah khususnya yang
berkaitan dengan perdagangan gelap satwa liar/langka dan keberadaan perusahaan
kayu bahkan di lokasi kawasan lindung. Dalam beberapa pekan terakhir, terlalu
sering kita membaca dan mendengar banyaknya bencana yang timbul akibat ulah
dan keserakahan manusia berupa banjir dan tanah longsor. Tentu saja bencanabencana ini akan sangat mempengaruhi keberadaan spesies-spesies ikan yang kita
miliki akibat rusaknya habitat, spawning dan nursery ground yang sangat
menentukan keberlangsungan hidup. Mengingat betapa pentingnya peranan
sumberdaya genetik, sudah seharusnya dilakukan penegakan hukum secara
meyeluruh dan keterpaduan dalam pengelolaan aset yang kita miliki.
Dewasa ini berkembang suatu pandangan bahwa kriteria utama untuk
melakukan konservasi (pelestarian) adalah perbedaan phylogenetic (pohon
keturunan) (STIASSNY, 1994; VRIJENHOEK, 1998). Dari sisi taksonomi,
perbedaan yang jauh dari suatu biota memberikan kontribusi yang besar terhadap
keseluruhan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu perbedaan phylogenetic
sudah sepatutnya memperoleh prioritas yang lebih tinggi untuk keperluan
konservasi (BOWEN, 1999). Usulan pendekatan konservasi ini memiliki banyak
kemiripan dengan pendekatan yang memberikan prioritas lebih tinggi kepada area
yang memiliki banyak endemik spesies.

Universitas Sumatera Utara

Perbedaan antara pendekatan ekologi dengan sistematik adalah bahwa
pada konser- vasi dari suatu ekosistem tidak tergantung pada keberadaan spesies
yang terancam punah atau jenis endemik, melainkan untuk mencegah hilangnya
keanekaragaman hayati dari pengrusakan habitat. Oleh karena itu spesies- spesies
yang memainkan peranan penting dalam proses ekologi akan mendapatkan
prioritas yang lebih tinggi untuk dikonservasi. Dua pendekatan di atas dapat
dijadikan acuan kemana program konservasi yang akan kita jalankan untuk
melindungi kekayaan hayati yang kita miliki.
Upaya-upaya pelestarian plasma nutfah yang telah dilakukan adalah:
1. penetapan dan pembiakan ikan yang populasinya terbatas. Kegiatan ini
dilakukan oleh lembaga riset, perguruan tinggi, dan pengusaha/petani
maju;
2. penetapan wilayah konservasi oleh institusi terkait baik berupa kawasan
suaka alam terpadu maupun suaka perikanan di perairan tertentu; 3)
pengaturan lalu lintas plasma nutfah berupa introduksi spesies asing atau
dan transplantasi suatu spesies ke wilayah lain; 4) penebaran ulang
(restocking) berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkat- kan
pendapatan masyarakat nelayan dan pelestarian stock ikan dalam suatu
perairan umum; 5) pembentukan wadah koleksi, dapat berupa taman
rekreasi ataupun wisata seperti gelanggang samudra dan taman akuarium
ikan air tawar; 6) pengembangan jaringan pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya plasma nutfah, diantaranya Indonesian Network on Fish
Genetics Research and Development (INFIGRAD).

Universitas Sumatera Utara

Kekayaan sumberdaya genetik ikan merupakan suatu anugerah bagi
Indonesia. Seyogianya aset tersebut memberikan manfaat ekonomi untuk
mewujudkan ketahanan nasional apabila dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal. Dengan mempertimbangkan kekayaan sumberdaya genetik perikanan
yang belum dimanfaatkan secara optimal maka perlu dilakukan pembenahan agar
supaya peranan sumber daya genetik ikan dalam pemenuhan kebutuhan pangan
dapat lebih ditingkatkan. Selain sebagai sumber pangan, sumber daya genetik
ikan juga sangat berperanan besar dalam kehidupan sosio-ekonomi masyarakat
Indonesia. Hendaknya dalam pemanfaatan sumber daya genetik, kearifan
tradisional merupakan pertimbangan yang perlu dimasukkan. Di masa mendatang,
penerapan pengelolaan dan kebijakan secara terpadu yang mengatur pemanfaatan
plasma nutfah yang berorientasi pada pelestarian yang berkelanjutan sangat perlu
diberdayakan dan mempunyai kekuatan hukum yang tegas.

B.

Faktor Penghambat Dalam Perlindungan Sumber Daya Genetik Yang
Akan Dipatenkan
Sumber daya genetik sebagai sesuatu yang ada di alam tidak seharusnya

diberi perlindungan paten tapi perlu dilindungi dari penjarahan. Sumber daya
genetik dapat dipatenkan asalkan memenuhi persyaratan standart berupa: novelty
(kebaruan), non – obvious (bersifat inventif) and useful (kebergunaan). Namun
kenyataanya, banyak faktor yang menjadi penghambat dalam perlindungan

Universitas Sumatera Utara

sumber daya genetik yang akan dipatenkan. Berikut ini merupakan beberapa
faktor yang menjadi penghambat, yaitu :
1.

Kurangnya penyampaian informasi dan pemahaman mengenai paten yang
dilakukan melalui sosialisasi. Kurangnya sosialisasi yang membuat masih
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap sumber daya genetik yang
seharusnya dapat dipatenkan.

2.

Kurangnya menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal. Kekayaan
sumber daya lokal yang melimpah namun kurangnya perhatian untuk
menginventarisirnya dan mematenkannya.

3.

Kurangnya keahlian memanfaatkan sumber daya alam genetika.

4.

Kurangnya ketersediaan perlindungan bagi pengetahuan masyarakat atas
sumber daya alam.

5.

Sulitnya dalam pengurusan perizinan paten.

6.

Banyak invensi yang dipatenkan oleh perusahaan dari negara maju dengan
menggunakan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional dari
Negara berkembang.

7.

Sistem paten tidak menjamin PriorInformed Consent (PIC) dan Benefit
Sharing.

8.

Tidak adanya suatu penghormatan atas kedaulatan (sovereignty) suatu
negara dimana SDG berasal.

9.

mikroorganisme dinilai bukan

merupakan suatu invensi,

sehingga

seharusnya merupakan subject matter yang tidak dapat dipatenkan.

Universitas Sumatera Utara

C.

Penyelesaian Faktor Penghambat Untuk Mematenkan Sumber Daya
Genetik
Banyak faktor yang menjadi penghambat dalam perlindungan sumber

daya genetik yang akan dipatenkan, seperti yang telah disebutkan diatas. Berikut
ini penyelesaian yang menjadi faktor penghambat untuk mematenkan sumber
daya genetik, yaitu :
1.

Melakukan perencanaan dan melakukan kerja sama dengan melibatkan
partisipasi seluruh elemen bangsa baik peneliti, akademisi, pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat dan juga masyarakat yang bersangkutan
yang memiliki pengetahuan/penelitian untuk bisa dinikmati juga oleh
generasi yang mendatang.

2.

Melakukan sosialisasi mengenai Paten.

3.

Mempermudah perizinan Hak Paten.

4.

Menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal.

5.

Menjamin PriorInformed Consent (PIC) dan Benefit Sharing.

6.

Mengamandemen UU No 13 Tahun 2016 dan menciptakan UU khusus
yang mengatur tentang sumber daya genetik.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab di atas, maka dapat ditarik kesimpulan,
bahwa :
1. Sumber Daya Genetik (SDG) yang diartikan sebagai material genetik
seperti bahan dari tumbuhan, binatang, jasad renik atau jasad laij yang
mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat (hereditas) yang
mempunnyai nilai nyata atau potensial. Di Indonesia dasar hukum
mengenai Sumber Daya Genetik (SDG) ini tidak diatur secara khusus
namun terdapat beberapa peraturan terkait Sumber Daya Genetik yaitu
seperti Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, TAP MPR RI No. IV/MPR/1999
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, TAP MPR
No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam (SDA), Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 12
Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No. 44 Tahun 1995
tentang Perbenihan Tanaman, Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman dan Undang-undang No. 4 Tahun 2006
tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for
Food and Agriculture (ITPGRFA), PP Penggnti UU No. 1 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Universitas Sumatera Utara

2. Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang No. 6
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertenakan dan Kesehatan Hewan
dan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
3. Paten sebagai bentuk perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual (HKI)
erat kaitannya dengan pemanfaat Sumber Daya Genetik (SDG). Paten
diberikan untuk setiap invensi, baik produk maupun proses dalam semua
bidang teknologi sepanjang invensi tersebut baru dan mempunyai langkah
inventif dan dapat diterapkan dalam industri.
4. Perlindungan Sumber Daya Genetik (SDG) dalam Undang-undang No. 13
Tahun 2016 sebenarnya tidak diatur secara khusus karena sumber daya
genetic sebagai sesuatu yang ada di alam tidak seharusnya diberi
perlindungan paten tetapi perlu diberi dilindungi dari penjarahan pihak
asing. Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dipatenkan dengan memenuhi
beberapa syarat, akan tetapi terdapat beberapa penghambat seperti,
kurangnya sosialisasi mengenai informasi dan pemahaman mengenai
paten, kurang menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal,
kurangnya keahlian memanfaatkan sumber daya alam genetika, kurangnya
ketersediaan perlindungan bagi pengetahuan masyarakat atas sumber daya
alam, sulitnya dalam pengurusan perizinan paten, banyaknya invensi yang
dipatenkan oleh perusahaan dari negara maju dengan menggunakan SDG
dan pengetahuan tradisonal dari negara berkembang, sistem paten tidak
menjamin Prior Informed Consent (PIC) dan Benefit Sharing, tidak
adanya suatu penghormatan atas kedaulatan (sovereignty) suatu negara

Universitas Sumatera Utara

dimana SDG berasal dan mikrooganisme dinilai bukan merupakan suatu
invensi sehingga seharusnya merupakan subject matter yang tidak dapat
dipatenkan.
B. Saran
1. Kedepannya agar komponen yang diperlukan dalam perlindunga Sumber
Daya Genetik (SDG) ini seperti peraturan hukum yang secara khusus
mengenai Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dibuat atau diakan agar
tujuan Sumber Daya Gentik (SDG) untuk memakmurkan rakyat tercapai
dan berjalan dengan baik.
2. Kedepannya agar Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dimanfaatkan
dengan semestinya

bersama-sama dengan sistem Hak

Kekayaan

Interlektual (HKI) dan dapat dimanfaat untuk kepentingan bangsa sendiri
karena merupakan sinergi yang saling mendukung dalam memperoleh
manfaat dari potensi SDG.
3. Kedepannya agar Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dipatenkan dan
memenuhi syarat untuk dipatenkan yaitu dengan melakukaan sosialisasi
mengenai

paten,

mempermudah

proses

perzinan

Hak

Paten,

menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal, menjamin Prior
Informed Consent (PIC) dan Benefit Sharing, melakukan perencanaan dan
melakukan kerja sama dengan melibatkan seluruh elemen bangsa serta
membuat undang-undang khusus yang mengatur sumber daya genetik.

Universitas Sumatera Utara