Kajian Yuridis Terhadap Keberadaan Sertifikasi Halal Untuk Melindungi Produk Pengusaha Dalam Menghadapi Persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Chapter III V

BAB III
PENGATURAN SERTIFIKASI HALAL DALAM PERUNDANGUNDANGAN NASIONAL DI BIDANG PERDAGANGAN

A. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obatobatan, dan kosmetik berjalan dengan sangat pesat. Hal itu berpengaruh pada
pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik,
obat-obatan, serta produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan
alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu
pengetahuan.
Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram
baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Maka, diperlukan suatu kajian
khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di
bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman
tentang syariat.
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang
berkaitan dengan produk halal dalam pelaksanaanya di lapangan yang
memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam terhadap
pangan dan produk lainnya. Keadaan demikian menimbulkan kesulitan dalam
membedakan mana yang halal dan mana yang haram, menimbulkan keraguan dan


Universitas Sumatera Utara

ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan
produk lainnya.
Adanya ketidaksingkronan produk hukum antara UU No 7 Tahun 1996
tentang Pangan dengan peraturan di bawahnya yakni PP No 69 tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebabkan sistem produk halal Indonesia
belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang
ditetapkan pemerintah. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai
selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal.
Untuk memberikan perlindungan dan jaminan produk yang dikonsumsi
oleh masyarakat, perlu diatur suatu perundang-undangan yang mengatur
mengenai kehalalan suatu produk untuk menjamin kepastian hukum. 77 Hal ini
sejalan dengan kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan memberikan kesejahteraan umum. 78
Landasan-landasan pembentukan Undang-Undang Jaminan Produk Halal
ini, yaitu : 79
1. Landasan Filosofis
Dalam bagian ini disebutkan, setelah mengutip pembukaan UUD 1945
disebutkan bahwa halal dan haram merupakan sesuatu yang sangat prinsip

dalam masyarakat karena di dalamnya terkait hubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa.

77

Pembukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29
79
Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal
http://www.bphn.go.id/news/45/Naskah-Akademis-Rancangan-Undang-undang-Jaminan-ProdukHalal diakses pada 20 September 2016
78

Universitas Sumatera Utara

2. Landasan Sosiologis
Dalam bagian ini disebutkan, masyarakat Indonesia menyadari bahwa
banyak produk yang diragukan kehalalannya karena tidak adanya petunjuk
yang menandakan bahwa produk itu halal dikonsumsi atau digunakan.
Karena itu, masyarakat Indonesia mempunyai hak konstitusional
memperoleh perlindungan hukum untuk mendapatkan produk halal.

3. Landasan Yuridis
Dalam bagian ini disebutkan, hingga kini belum ada perlindungan yuridis
yang maksimal untuk melindungi umat Islam hidup sehat dan tidak
terjebak dengan produk yang tidak halal.
4. Landasan psikopolitik
Dalam bagian ini disebutkan, perlunya pelibatan dunia usaha agar mereka
tidak menjadi kekuatan yang justru menolak RUU JPH karena
beranggapan sistem jaminan halal akan menimbulkan ekonomi biaya
tinggi.
5. Landasan Ekonomi
Dalam bagian ini disebutkan, perdagangan internasional saat ini pada
umumnya negara-negara maju sudah memiliki tanda arah (direction sign)
bagi konsumen untuk mendapatkan makanan halal. Dengan demikian,
jaminan produk halal sudah menjadi hal yang lumrah dalam tata niaga
internasional.
Oleh karena inilah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal lahir dengan tujuan memberikan kenyamanan, keamanan,

Universitas Sumatera Utara


keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam
mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi
Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa
genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh
masyarakat. 80 Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang
telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. 81
Produk halal yang diperdagangkan harus melalui suatu proses untuk
menjamin kehalalan produk 82 agar produk tersebut mendapat jaminan produk
halal yang dibuktikan dengan sertifikat halal. 83 Tujuan diselenggarakannya
jaminan halal atas suatu produk, yaitu 84 :
1. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan
menggunakan Produk.
2. Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan
menjual Produk Halal.
Asas-asas yang terdapat dalam UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, yaitu : 85


80

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 ayat 1
Ibid., Pasal 1 ayat 2
82
Ibid., Pasal 1 ayat 3
83
Ibid., Pasal 1 ayat 5
84
Ibid., Pasal 3
85
Ibid., Pasal 2
81

Universitas Sumatera Utara

1. Asas

pelindungan,


yaitu

penyelenggaraan

jaminan

produk

halal

dimaksuskan untuk melindungi masyarakat muslim.
2. Asas keadilan, yaitu dalam penyelenggaraan jaminan produk halal harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
3. Asas kepastian hukum, yaitu bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal
bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk
yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
4. Asas akuntabilitas dan transparansi, yaitu bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggaraan jaminan produk halal harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Asas efektivitas dan efisiensi, yaitu penyelenggaraan jaminan produk halal
dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya
guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan
cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau.
6. Asas profesionalitas, yaitu bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal
dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi
dan kode etik.
Untuk menjamin ketersediaan produk halal, maka ditetapkanlah bahan
produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan,
tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,
proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Kehalalan suatu produk juga
mencakup

penyediaan

bahan,

pengolahan,

penyimpanan,


pengemasan,

Universitas Sumatera Utara

pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
Menurut undang undang ini, pelaku usaha dalam mengajukan permohonan
sertifikasi halal, berhak memperoleh 86 :
1. Informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH.
2. Pembinaan dalam memproduksi Produk Halal.
3. Pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal secara cepat, efisien, biaya
terjangkau, dan tidak diskriminatif.
Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib
memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur. Pelaku usaha wajib
memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan
tidak halal serta memiliki Penyelia Halal. Apabila terdapat perubahan komposisi
bahan, wajib melaporkannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH). 87
Apabila terdapat pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang

berasal

yang

diharamkan,

maka

pelaku

usaha

tersebut

berkewajiban

mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan produk atau
pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah
terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk.
Jaminan produk halal sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal. Perusahaan yang akan
meminta sertifikat halal dan yang sudah mendapatkan sertfikat halal harus
86
87

Ibid., Pasal 23
Ibid., Pasal 24

Universitas Sumatera Utara

menyusun, mengembangkan dan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk
melengkapi sertifikat halal yang diminta atau dimiliki.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, terdapat perubahan sertifikat halal dari sukarela menjadi wajib
untuk Makanan, Obat dan Kosmetik. Pemberlakuan pelaku Industri wajib
mempunyai sertifikat halal ini akan dimulai pada akhir tahun 2016 dan akan
dilaksanakan secara bertahap sampai 2019 nanti untuk obat dan Kosmetika. 88
Prioritas wajib sertifikat halal adalah untuk makanan, kemudian baru obat
dan kosmetika. Untuk pengaturan hal ini Pemerintah sedang menyiapkan
Peraturan Pemerintah (PP) untuk UU JPH No. 33 Tahun 2014 . Setelah PP ini

keluar maka KEMENAG akan membuat Peraturan KEMENAG tentang UU JPH
No. 33 Thn 2014. Menurut Pasal 65 UU JPH No. 33 Thn 2014 pembuatan PP dan
PERMENAG ini paling lambat harus sudah selesai pada tanggal 25 September
2016. Setelah UU JPH diberlakukan hanya ada 2 jenis Produk yang beredar di
Indonesia nantinya, yakni produk Halal dan Produk Non Halal.

B. Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Terhadap Produk Dalam negeri
Yang Diperdagangkan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Produsen yang akan menghasilkan

88

Ibid., Pasal 67

Universitas Sumatera Utara

barang halal, harus memakai semua bahan baku, bahan tambahan, bahan
pembantu yang halal. Adapun kriteria halal, yaitu : 89
1. Produk tídak mengandung babí atau produk-produk yang berasal darí babí
serta tídak menggunakan alkohol sebagaí íngrídíent yang sengaja
dítambahkan.
2. Dagíng yang dígunakan berasal darí hewan halal yang dísembelíh menurut
tata cara syaríat Islam.
3. Semua bentuk mínuman yang tídak beralkohol.
4. Semua tempat penyímpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan tempat transportasí tídak dígunakan untuk babí atau
barang tídak halal laínnya, tempat tersebut harus terlebíh dahulu
díbersíhkan dengan tata cara yang díatur menurut syarí’at Islam.
Proses produksi harus bebas dari bahan haram, tidak terkontamisasi bahan
haram. Peralatan yang dipakai harus bebas dari bahan haram dan kontaminasi
najis. Dalam hal ini termasuk bahan penyaring (karbon aktif) harus yang halal.
Pembungkus awal maupun akhir juga tidak boleh berbahan haram dan kena najis.
Jadi keseluruhan bahan dan peralat harus halal, tanpa kompromi.
Bagi perusahaan yang ingin mendaftarkan sertifikasi halal ke LPPOM
MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan
(RPH), restoran, katering, dapur, maka harus memenuhi persyaratan sertifikasi
halal yang tertuang dalam dokumen HAS 23000, yaitu : 90

89

https://www.academia.edu/7267829/Bagaimana_Kriteria_Produk_Halal diakses pada
22 September 2016
90
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/58/1366/page/1 diakses
pada 20 September 2016

Universitas Sumatera Utara

1. Kebijakan Halal
Manajemen

Puncak

harus

menetapkan

Kebijakan

Halal

dan

mensosialisasikan kebijakan halal kepada seluruh pemangku kepentingan
(stake holder) perusahaan.
2. Tim Manajemen Halal
Manajemen Puncak harus menetapkan Tim Manajemen Halal yang
mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktivitas kritis serta memiliki
tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas.
3. Pelatihan dan Edukasi
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan.
Pelatihan internal harus dilaksanakan minimal setahun sekali dan pelatihan
eksternal harus dilaksanakan minimal dua tahun sekali.
4. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi tidak
boleh berasal dari bahan haram atau najis. Perusahaan harus mempunyai
dokumen pendukung untuk semua bahan yang digunakan, kecuali bahan
tidak kritis atau bahan yang dibeli secara retail.
5. Produk
Karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan
bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah
dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI. Merk/nama produk yang
didaftarkan untuk disertifikasi tidak boleh menggunakan nama yang
mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai

Universitas Sumatera Utara

dengan syariah Islam. Produk pangan eceran (retail) dengan merk sama
yang beredar di Indonesia harus didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi,
tidak boleh jika hanya didaftarkan sebagian.
6. Fasilitas Produksi
a. Industri pengolahan:
1) Fasilitas

produksi

harus

menjamin

tidak

adanya

kontaminasi silang dengan bahan/produk yang haram/najis.
2) Fasilitas produksi dapat digunakan secara bergantian untuk
menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang
tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang
berasal dari babi/turunannya, namun harus ada prosedur
yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang.
b. Restoran/Katering/Dapur:
1) Dapur hanya dikhususkan untuk produksi halal.
2) Fasilitas dan peralatan penyajian hanya dikhususkan untuk
menyajikan produk halal.
c. Rumah Potong Hewan (RPH):
1) Fasilitas RPH hanya dikhususkan untuk produksi daging
hewan halal.
2) Lokasi

RPH

harus

terpisah

secara

nyata

dari

RPH/peternakan babi.
3) Jika proses deboning dilakukan di luar RPH tersebut, maka
harus dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal.

Universitas Sumatera Utara

4) Alat penyembelih harus memenuhi persyaratan.
7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai pelaksanaan
aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang dapat
mempengaruhi status kehalalan produk. Aktivitas kritis dapat mencakup
seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan datang,
formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan peralatan
pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan produk, transportasi,
pemajangan (display), aturan pengunjung, penentuan menu, pemingsanan,
penyembelihan, disesuaikan dengan proses bisnis perusahaan (industri
pengolahan, RPH, restoran/katering/dapur). Prosedur tertulis aktivitas
kritis dapat dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain.
8.

Kemampuan Telusur (Traceability)
Perusahaan

harus

mempunyai

prosedur

tertulis

untuk

menjamin

kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang
memenuhi kriteria (disetujui LPPOM MUI) dan diproduksi di fasilitas
produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari bahan babi/ turunannya).
9. Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menangani produk
yang tidak memenuhi kriteria, yaitu tidak dijual ke konsumen yang
mempersyaratkan produk halal dan jika terlanjur dijual maka harus ditarik.

Universitas Sumatera Utara

10. Audit Internal
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit internal pelaksanaan
SJH. Audit internal dilakukan setidaknya enam bulan sekali dan
dilaksanakan oleh auditor halal internal yang kompeten dan independen.
Hasil audit internal disampaikan ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.
11. Kaji Ulang Manajemen
Manajemen Puncak atau wakilnya harus melakukan kaji ulang manajemen
minimal satu kali dalam satu tahun, dengan tujuan untuk menilai
efektifitas penerapan SJH dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.
Penyebab produsen tidak dapat dengan mudah menentukan apakah
produknya halal atau tidak karena adanya bahan yang berasal dari turunan bahan
haram, hal ini dapat diatasi dengan dilakukannya audit halal sebelum
diterbitkannya sertifikasi halal. 91
Maka, dalam

rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah

bertanggung jawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) 92 yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri
Agama, ataupun dapat dibentuk di perwakilan daerah apabila diperlukan.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mempunyai
wewenang, yaitu : 93

91

Ibid.,Pasal 15
Ibid., Pasal 1 ayat 6
93
Ibid., Pasal 6
92

Universitas Sumatera Utara

1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.
2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.
3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk.
4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.
5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal.
6. Melakukan akreditasi terhadap LPH.
7. Melakukan registrasi Auditor Halal.
8. Melakukan pengawasan terhadap JPH.
9. Melakukan pembinaan Auditor Halal.
10. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH.
Dalam menjalankan wewenangnya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait,
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Produk Halal (LPH). 94 Dalam
rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal, Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melakukan pengawasan terhadap
Lembaga Produk Halal (LPH), dalam hal :
1. Masa berlaku Sertifikat Halal
2. Kehalalan produk
3. Pencantuman Label Halal
4. Pencantuman keterangan tidak halal
5. Pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

94

Ibid., Pasal 7

Universitas Sumatera Utara

pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak
halal.
6. Keberadaan Penyelia Halal dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan
jaminan produk halal.
Selama ini, standarisasi, pemeriksaan, pengkajian dan pemberian sertifikat
Halal semuanya dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LP POM MUI).
Setelah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
diberlakukan, peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pelaksanaan Jaminan
Produk Halal hanya di proses sertifikasi halal, penetapan standar halal,
pemeriksaan produk halal, penetapan fatwa, penerbitan sertifikasi halal, dan
kerjasama dengan Lembaga Halal Internasional.
Setelah lolos seleksi sertifikasi, sebuah produk akan mendapatkan izin
pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang
berwenang. Cakupan sertifikasi halal meliputi produk pangan, obat-obat,
kosmetika dan produk lainnya, sebenarnya bertujuan untuk memberikan kepastian
kepada konsumen muslim yang menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Sertifikat halal di Indonesia di terbitkan oleh Lembaga Pengakajian
Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
LPPOM MUI berada pada tingkat pusat dan daerah. LPPOM MUI melakukan
audit halal dengan cara memeriksa dokumen produsen, melakukan audit ke
pabrik, diskusi hasil audit dan mimintakan fatwa kehalalan kepada Komisi Fatwa
MUI, lalu menerbitkan sertifikat halal.

Universitas Sumatera Utara

Untuk memperoleh sertifikat halal LPPOM MUI memberikan ketentuan
bagi perusahaan sebagai berikut:
1. Sebelum produsen mengajukan sertifikat halal terlebih dahulu harus
mempersiapkan Sistem Jaminan Halal (halal assurance system), yaitu
suatu sistem yang dipakai oleh perusahaan produsen makanan dan
minuman halal untuk memelihara dan menjamin kehalalan produk mereka.
Perusahaan yang akan meminta sertifikat halal dan yang sudah
mendapatkan sertfikat halal harus menyusun, mengembangkan dan
menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk melengkapi sertifikat halal
yang diminta atau dimiliki. Sistem Jaminan Halal harus dalam bentuk
tertulis dan didukung pelaksanaannya oleh kebiijakan perusahaaan. Sistem
ini dibangun, diatur dan dievaluasi oleh Tim Manajemen Halal yang
dibuat oleh Pimpinan Perusahaan. Sistem ini adalah salah satu bentuk
partisipasi perusahaan dalam bertanggung jawab terhadap kehalalan
produk mereka. Tim terdiri dari semua bagian yang terlibat dalam aktivitas
yang kritis bagi kehalalan produk.
2. Berkewajiban mengangkat secara resmi seorang atau tim Auditor Halal
Internal (AHI), yaitu staf perusahaan yang bertanggung jawab langsung
memelihara kehalalan produk mereka yang sudah bersertifikat halal.
Internal halal auditor harus yang bertanggungjawab dalam menjamin
pelaksanaan produksi halal. Salah satu persyaratan seorang auditor internal
adalah beragama Islam (di Indonesia) dan memiliki kewenangan untuk
menghentikan proses produksi apabila ada yang menyimpang dari

Universitas Sumatera Utara

persyaratan halal.
3. Berkewajiban

menandatangani

kesediaan

untuk

diinspeksi

secara

mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya oleh LPPOM MUI untuk
mengetahui konsistensi kehalalan produk.
4. Membuat laporan berkala setiap 6 bulan tentang pelaksanaan Sistem
Jaminan Halal.
Langkah selanjutnya yang akan ditempuh pihak produsen adalah
mendaftarkan ke sekretariat LPPOM MUI dengan beberapa ketentuan,
diantaranya: 95
1. Industri Pengolahan
a. Mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi di lokasi yang sama
dan atau yang memiliki merek yang sama.
b. Mendaftarakan seluruh lokasi produksi termasuk maklon dan
pabrik pengemasan.
c. Ketentuan untuk tempat makan harus dilakukan di perusahaan
yang sudah mempunyai produk bersertifikat halal atau yang
bersedia disertifikasi halal.
2. Restoran dan Katering:
a. Mendaftarkan seluruh menu yang dijual termasuk produk-produk
titipan, kue ulang tahun, serta menu musiman.
b. Mendaftarkan seluruh gerai, dapur, serta gudang.

95

http://halalmuijatim.org/wp-content/uploads/2015/05/Prosedur-sertifikasi-halal.pdf
diakses pada 21 September 2016

Universitas Sumatera Utara

3. Rumah Potong hewan:
Mendaftarkan seluruh tempat penyembelihan yang berada pada satu
perusahaan yang sama.
Selain itu beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan sebagai
pemohon:
1. Pemohon mengisi Barang yang berisi informasi tentang data perusahaan,
jenis dan nama produk seta bahan-bahan yang digunakan.
2. Menyerahkan data Barang beserta data pelengkap lainnya kepada LPPOM
MUI untuk dikoreksi dan diperbaiki kepada pemohon.
3. LPPOM MUI akan memberikan jadwal audit produk ke lokasi produksi.
Situasi audit harus berlangsung pada saat proses produksi dari produk
yang ingin disertifikasi.
4. Jika hasil audit memenuhi persyaratan, auditor akan membuat laporan
hasil audit untuk diajukan pada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk
diputuskan status halalnya. Namun, jika belum memenuhi syarat LPPOM
MUI akan memberitahukan pihak perusahaan melalui audit memorandum.
5. Laporan hasil audit disampaikan oleh pengurus LPPOM MUI dalam
Sidang Komisi Fatwa MUI pada waktu yang telah ditentukan.
6. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika
dianggap belum memenuhi syarat, dana akan disampaikan kepada
produsen sebagai pemohon.
7. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sertifikasi halal setelah
ditetapkan status halal oleh Komisi Fatwa MUI.

Universitas Sumatera Utara

8. Sertifikat Halal berlaku selama dua tahun terhitung sejak tanggal
penetapan fatwa.
9. Produsen harus mengajukan permohonan perpanjangan sertifikasi
halaltiga bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
Tata cara pemeriksaan (audit) produk halal terdiri dari:
1. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk (Sistem Jaminan
Halal).
2. Pemeriksaan dokumen yang secara spesifik menjelaskan asal-usul bahan,
kompoisi, dan proses pembuatan atau sertifikat halal pendukungnya,
dokumen pengadaan dan pemnyimpanan bahan, formula produksi serta
dokumen pelaksanaan produksi halal secara keeluruhan.
3. Observasi lapangan yang meliputi keseluruhan dari proses produksi.
4. Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan harus
terpenuhi.
5. Pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai perlu.
Sistem Pengawasan Sertifikasi Halal:
1. Pemohon sebagai produsen wajib mengimplementasikan Sistem Jaminan
Halal sepanjang berlakunya Sertifikasi Halal.
2. Perusahaan berkewajiban menyerahkan leporan audit internal setiap enam
(enam) bulan sekali setelah terbitnya Sertikasi Halal.
3. Produsen wajib melaporkan perubahan bahan,hingga proses produksi
lainnya dengan mendapatkan izin dari LPPOM MUI.

Universitas Sumatera Utara

Tata Cara Memperpanjang Sertifikasi Halal:
1. Pemohon mendaftar kembali dengan mengisi Borang.
2. Pengisian Borang menyesuaikan perkembangan terakhir produk.
3. Pemohon melengkapi kembali daftar bahan baku, matrik produk versus
bahan serta spesifikasi, sertifikat halal dan bagan alir proses terbaru.
4. Prosedur pemeriksaan dilakukan seperti pada pendaftaran produk baru.
5. Perusahaan harus sudah mempunyai manual Sistem Jaminan Halal sesuai
dengan ketentuan prosedur sertifikasi halal di atas.
Penyelenggaraan jaminan produk halal dimulai dengan permohonan
Sertifikat Halal yang diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Permohonan ini dilengkapi
dengan dokumen :
1. Data Pelaku Usaha
2. Nama dan jenis Produk
3. Daftar Produk dan Bahan yang digunakan
4. Proses pengolahan Produk.
Kemudian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk melakukan pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk yang dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi
usaha pada saat proses produksi. 96
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menyerahkan hasil pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan produk kepada Badan Penyelenggara Jaminan
96

https://www.jurnalasia.com/medan/pelaku-usaha-produk-halal-wajib-cantumkan-label/
diakses pada 07 April 2016

Universitas Sumatera Utara

Produk Halal (BPJPH) untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia
(MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk. 97
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Sidang Fatwa Halal untuk
menetapkan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya

hasil

pemeriksaan

dan/atau

pengujian

produk

dari

Badan

Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) itu. Keputusan Penetapan Halal
Produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan
Sertifikat Halal 98 paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan
kehalalan Produk diterima dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). 99
Apabila

produk

tersebut

dinyatakan

tidak

halal,

maka

Badan

Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mengembalikan permohonan
Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasannya. 100 Apabila
pemeriksaan bahan produk diragukan kehalalannya, maka dapat dilakukan
pengujian di laboratorium. 101
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantukam
Label Halal pada : 102
1. Kemasan produk
2. Bagian tertentu dari Produk
3. Tempat tertentu pada Produk.
Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak

97

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 32
Ibid., Pasal 33
99
Ibid., Pasal 35
100
Ibid., Pasal 34
101
Ibid., Pasal 31
102
Ibid., Pasal 36
98

Universitas Sumatera Utara

mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. 103
Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), dan wajib diperpanjang
oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat
3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku. 104 Hal tersebut
untuk menjaga konsistensi produksi produsen selama berlakunya sertifikat.
Sedangkan untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk
setiap pengapalan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku industri yang produknya telah
memperoleh sertifikasi halal tetapi terbukti memasarkan produk mereka tidak
halal 105 begitu juga kepada pegawai yang terlibat dalam proses sertifikasi Halal,
apabila pegawai tersebut membocorkan formula atau sesuatu hal yang seharusnya
mereka rahasiakan, tetapi mereka bocorkan, maka kepada pegawai tersebut
dikenakan sanksi 106.

C. Kepastian Hukum Terhadap Produk yang Telah Bersertifikasi Halal
Jaminan Produk Halal memiliki arti suatu kepastian hukum terhadap
kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan adanya sertifikat halal yang mana
sertifikat halal tersebut dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal melalui fatwa tertulis Majelis Utama Indonesia (MUI).

103

Ibid., Pasal 29
Ibid., Pasal 42
105
Ibid., Pasal 56
106
Ibid., Pasal 57

104

Universitas Sumatera Utara

Fatwa ulama mempunyai kekuatan mengikat untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kekuatan mengikat dari suatu fatwa
diakui oleh negara setelah fatwa tersebut ditetapkan dengan suatu instrumen
hukum. Fatwa memiliki kekuatan mengikat karena ulama yang menetapkan fatwa
dikenal dan diakui oleh masyarakat. 107
Apabila suatu fatwa memerlukan pengakuan oleh negara, maka fatwa
tersebut harus dikukuhkan oleh pemerintah melalui Menteri Agama 108 sebagai
organ

yang

diberi

kewenangan

oleh

negara

untuk

menyelenggarakan

pemerintahan negara. Kehalalan suatu produk selama ini ditetapkan berdasarkan
fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Fatwa tersebut diterima oleh masyarakat karena Majelis Ulama Indonesia
(masih) dipandang sebagai wadah para ulama yang mewakili berbagai kelompok
atau organisasi keagamaan yang dominan dalam masyarakat. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah berfungsi sebagai institusi yang bukan lembaga negara
yang menetapkan berbagai norma hukum. Walaupun begitu fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) belum mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan hukum
positif yang berlaku dan sentral, sehingga masih memerlukan pengukuhan hukum
dari negara, mengingat kondisi sosial-politik masyarakat Indonesia yang akhirakhir ini semakin dinamis.
Bahkan tidak jarang, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi
perdebatan berbagai kalangan terkait legalitasnya, yang sebelumnya tak pernah

107

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c675fd06e150/fatwa-dsn-merupakanhukum-positif-mengikat diakses pada 20 September 2016
108
Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 2013 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1
ayat (4)

Universitas Sumatera Utara

terjadi (atau lebih tepatnya tak pernah terdengar). Dengan demikian, fatwa halal
yang dituangkan di dalam sertifikat halal perlu mencantumkan bentuk pengakuan
atau pengukuhan oleh pemerintah.
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal
tersebut berlaku. 109 Dan sebelum Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal
dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ini diundangkan.
LPPOM MUI melakukan penguatan hukum jaminan produk halal dengan
melakukan kajian untuk menemukan konsep hukum bagi pengaturan sertifikasi
produk halal sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan pihak produsen dan
konsumen berdasarkan sumber hukum material, yaitu Al-Quran, Hadits dan
ijtihad para ulama dan menggabungnya dengan UUD 1945, terutama Pasal 29 dan
33 UUD 1945, Undang-Undang Pangan, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan, untuk memberikan kepastian hukum
terhadap kewenangan mengeluarkan sertikat produk halal yang mengikat umum.
Penguatan hukum ini dimulai dengan meningkatkan upaya pemberdayaan
ulama untuk mendukung upaya menempatkan ulama sebagai pemegang otoritas
untuk mengaluarkan sertifikasi produk halal yang mengikat umum. LPPOM MUI
mengupayakan unifikasi hukum bagi pengaturan sertifikasi produk halal dan

109

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 58

Universitas Sumatera Utara

melakukan upaya harmonisasi hukum/peraturan mengenai pengaturan sertifikasi
produk halal.
LPPOM MUI melakukan pengawasan agar tidak ada penyalahgunaan
sertifikasi halal dan tanda halal dengan menguatkan Jaringan kemitraan mengenai
produk halal baik internal maupun eksternal, nasional maupun regional bahkan
internasional. 110
LPPOM MUI juga melakukan Advokasi kepada Pemerintah agar
Rancangan Undang- Undang Jaminan Produk Halal segera disahkan dan berlaku
secara efektif sebagai payung hukum LP POM MUI dan terlindunginya konsumen
muslim

111

kemudian menambah LP POM MUI sampai pada level

Kabupaten/Kota untuk dapat melayani sertifikasi produk halal.
Pengaturan sertifikasi produk halal dalam tatanan sistem hukum nasional
didasarkan asas kepastian hukum, artinya hukum mengenai produk halal yang
mampu melindungi masyarakat sehingga tercipta keadaan dimana perilaku
manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam
koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum nasional.
Kekayaan dan sumberdaya suatu negara harus disebarkan secara adil
kepada seluruh rakyat tanpa memandang perbedaan status sosial, seperti ekonomi,
kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya yang dirasakan secara merata oleh
seluruh rakyat Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya terhadap produk halal
untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

110

http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/1227/8/Liha1/120
diakses pada 21 September 2016
111
http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/576 diakses pada 21
September 2016

Universitas Sumatera Utara

Selama suatu produk masih berlaku sertifikasi halalnya, maka pelaku
usaha wajib memberikan jaminan bahwa apabila terdapat perubahan didalam
produk tersebut, diketahui oleh lembaga yang menerbitkan sertifiksi halal
tersebut, yaitu LPPOM MUI. Jaminan ini dibuat dalam system jaminan halal yang
dibuat oleh perusahaan berdasarkan buku panduan LPPOM MUI.
Tujuan dari setrtifikasi yang utama, yaitu memberikan adanya kepastian
apakah suatu produk halal atau haram untuk dikonsumsi, maka pemerintah telah
membemberikan adalah perlindungan hukum bagi rakyat untuk tenpa ragu
mengkonsunsi suatu produk, dan apabila ada keraguan, rakyat dapat dengan pasti
menanyakannya pada otoritas yang berwenang menentukan kehalalan produk.
Pelaku usaha mendapat kentungan berupa kepercayaan dari konsumen yang akan
permintaan masyarakat terhadap produknya.

D. Peran Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
Para konsumen baik di pasar nasional maupun internasional sekarang ini
semakin kritis menuntut standarisasi produk yang semakin tinggi dan kompleks,
yang tidak hanya menyangkut aspek mutu, kesehatan dan lingkungan tetapi juga
menuntut aspek sosial budaya dan agama.
Mengkonsumsi produk halal telah menjadi tradisi dalam masyarakat
Indonesia. Pemilihan produk yang akan digunakan dilakukan dengan hati-hati
oleh masyarakat. Kecuali mengkonsumsi buah, karena buah mendapat jaminan
tidak ada yang haram sehingga dapat diterima oleh masyarakat secara langsung.

Universitas Sumatera Utara

Kebersihan dan kesehatan makanan juga merupakan suatu hal yang sangat
diperhatikan oleh masyarakat Indonesia umumnya. Mereka secara tradisi sudah
terbiasa untuk memilih dengan tegas lokasi sumber air bersih untuk minum dan
makanan, air limbah, termasuk susunan jamban disungai dan kolam ikan. Sumur
air minum harus benar-benar jauh dari tempat jamban atau tandas agar terjaga
kebersihannya.
Perkembangan teknologi menyebabkan tidak mudah mencirikan barang
yang haram pada suatu makanan ataupun minuman, sehingga memerlukan tanda
yang dapat dipercaya. Tradisi menjaga dan memilih makananpun menjadi luntur.
Pemilhannya bukan pada haram atau halal, tetapi difokuskan pada ada atau
tidaknya kandungan barang haram, terutama babi. Bisa saja terjadi makanan tidak
halal bukan karena babi, tetapi disebabkan oleh daging hewan haram karena tidak
disembelih secara aturan Islam.
Masalah tercampurnya produk pada etalase antara produk yang halal dan
haram, merupakan temuan yang perlu diperbaiki oleh produsen dan pedagang.
Pengabaian hal ini dapat diberikan sanksi terhadap pemberlakuan sertifikat halal
yang didapatkan. Penyaluran aspirasi konsumen tentang kehalalan dan
kontaminasi barang haram dapat disalurkan sesuai dengan peraturan perundang
undangan yang menyangkut perlindungan konsumen dan juga tentang pangan.
Masyarakat Indonesia yang secara tradisi atau menurut adat selalu
membedakan mana yang halal dan yang haram, terutama yang menyangkut
makanan dan minuman. Dengan berjalannya waktu dan perkembangan sosial
masyarakat, maka terlihat kecenderungan dari yang semula pemilahan bertumpu

Universitas Sumatera Utara

pada produk dari kelompok etnis dengan agama tertentu berubah menjadi
pemilahan berpedoman pada sertifikasi resmi.
Kecenderungan akan bertambah cermat merujuk tanda halal yang
dikeluarkan oleh LPPOM MUI sudah merupakan hal yang lumrah dilakukan pada
beberapa tahun terakhir ini. Pada umumnya mereka yang menginginkan makanan
halal akan menghindari makanan yang tidak jelas status kehalalannya.
Berbelanja bahan makanan di pasar tradisional, seperti memilih daging
umpamanya, karena tidak ada label halal, maka akan memilih daging halal
berdasarkan si penjual. Berbeda halnya apabila berbelanja di supermarket pada
umumnya sudah memakai label halal, sehingga menjadi jelas status halalnya.
Penyajian daging halal dan tidak halal pada umumnya ditempatkan pada rak atau
etalase yang berbeda yang terpisah satu sama lain.
Apabila makanan halal dan tidak halal dipercampur adukan letaknya,
maka pada umumnya konsumen muslim tidak akan berbelanja di tempat itu.
Mereka dapat menyampaikan berita itu kepada teman dan handai taulan, yang
akhirnya secara tidak langsung ataupun langsung disampaikan kepada LPPOM
MUI. Tugas LPPOM MUIlah untuk menertibkan urusan ini. Pengaduan ini
umumnya disampaikan secara lisan, belum dengan lebih tertib melalui surat atau
media elektronik.
Pengaduan atau keluhan masyarakat yang menyangkut makanan dan
minuman pada umumnya menyangkut masa kadaluarsa produk yang sudah habis,
tetapi masih berada dipasar. Keluhan lain adalah pemalsuan termasuk
pengoplosan. Pengaduan yang menyangkut masalah kehalalan produk ataupun

Universitas Sumatera Utara

pemalsuan sertifikat halal belum mencuat secara domiinan. Walaupun begitu tetap
perlu melakukan pesiapan bagi penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat
konsumen secara baik.
Pengetahuan masyarakat tentang barang atau pangan yang halal perlu
selalu dikembangkan, karena komposisi bahan sudah tidak sederhana lagi,
terutama bahan pangan olahan. Sumber bahan bisa turunan barang haram dan
apabila dipakai sebagai media tumbuh untuk proses pengolahan pangan, maka
pangan tersebut juga menjadi haram. Hal yang sejalan dengan cara ini masih
banyak dapat ditemui pada pangan olahan.
Masyarakat sebagai konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingannya sendiri, keluarga orang
lain maupun makhluk hidup lain. 112 Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan
informasi yang benar, jelas, dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa, maka produsen berkewajiban untuk memberikan informasi kepada
konsumennya bahwa produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi. 113
Makanan sebagai konsumsi bagi manusia

114

harus mendapatkan kepastian

tentang halalnya makanan tersebut. 115
Keterlibatan masyarakat dalam suatu proses penyusunan kebijakan
sangatlah penting agar tidak diragukan keabsahannya. Dampaknya, publik akan
melawan, baik melalui jalur hukum (gugatan ke pengadilan), atau jalur politik.
Bahkan, tak jarang, menimbulkan anarkhisme di tengah masyarakat.
112

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1

angka 2
113

Ibid., Pasal 4 huruf c
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 Ayat 1
115
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pasal 1 angka 5
114

Universitas Sumatera Utara

Keterlibatan masyarakat, baik masyarakat muslim maupun bahkan non
muslim, bisa bersifat aktif, dan juga pro aktif. Juga dalam hal pengawasan, ketika
kebijakan dan regulasi dimaksud sudah disahkan oleh Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam proses penyusunan melalui
suatu diskusi, seminar, workshop, dan atau forum partisipatif lainnya untuk
menyempaikan suatu pemikiran, usul, baik yang pro maupun kontra. Sebaliknya
masyarakat bisa mengajukan konsep regulasi dan kebijakan tersendiri (counter
draft), yang secara substansial berbeda visi-misi dengan visi misi versi
Pemerintah-DPR.
Keterlibatan masyarakat bisa berangkat pada aspek individual maupun
kelembagaan. Apalagi di Indonesia begitu beragamnya lembaga agama (Islam),
baik yang sifatnya nasional maupun lokal. Selain itu, kelompok non muslim pun
tak luput dari pihak yang harus dilibatkan, karena ada perbedaan kepentingan.
Misalnya, sekolompk masyarakat yang menjadikan “binatang babi” bukan hanya
sebagai menu makanan utama, tetapi bahkan sebagai sarana ritual ibadah
keagamaan.
Peran dan kontribusi masyarakat sangat penting artinya untuk memberikan
kontrol dan pengawasan apakah suatu kebijakan dan regulasi itu berjalan efektif
dan dijalankan oleh pelaku usaha (produsen), atau terjadi ketidakpatuhan. Peran
pengawasan semacam ini bisa dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau
kelembagaan. Contoh dalam kasus halal adalah, manakala Komisi Fatwa MUI
menyatakan bahwa Ajinomoto mengandung porsin babi. Saat itu Pemerintah

Universitas Sumatera Utara

hanya melakukan tindakan recalling (penarikan) terhadap produk Ajinomoto.
Penarikan dari pasar tidaklah cukup, karena itu hanya melakukan tindakan
administratif dan keperdataan saja. 116
Pembuktian harus dilakukan oleh pelaku usaha di laboratorium yang
independen, dan ada pihak independen yang mendampingi selama proses
pembuktian itu. Tidak boleh pebuktian itu dilakukan di laboratorium milik pelaku
usaha.
Keterlibatan publik, baik langsung maupun langsung, baik individual,
kelompok atau bahkan kelembagaan, dalam suatu kebijakan produk halal tak bisa
diharuskan, baik pada konteks sosiologis, politik, budaya, bahkan normatif.
Pejabat publik, baik di kalangan eksekutif dan juga legislatif, harus secara terbuka
dan akomodatif atas semua masukan dari kalangan masyarakat. Namun
keterlibatan itu jangan hanya sebagai bentuk performa belaka (pencitraan), tetapi
benar-benar diakomodasi ke dalam substansi regulasi, dan kebijakan. Sehingga,
keterlibatan masyarakat benar-benar terjadi dalam law dan policy making process.
Tanpa keterlibatan publik, dalam arti sesungguhnya, maka efektifitas
regulasi dan kebijakan itu akan sangat diragukan. Dukungan publik terhadap
kebijakan dan regulasi itu akan sangat minim. Bahkan, tak jarang menimbulkan
perlawanan publik (public distrust).
Dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, masyarakat dapat
melakukan 117:
1. Melakukan sosialisasi mengenai jaminan produk halal.
116

http://news.liputan6.com/read/6058/ramai-ramai-menarik-ajinomoto diakses pada 10

Mei 2016
117

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 53

Universitas Sumatera Utara

2. Mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar, berbentuk pengaduan
atau pelaporan ke Badan Pemeriksa Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Badan Pemeriksa Jaminan Produk Halal (BPJPH) 118 dapat memberikan
penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan
Jaminan produk halal. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan dan
regulasi halal, juga untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia (NKRI),
dan juga dalam konteks negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah
supremacy of law dan equality before the law. Bahkan, aspek due process of law
(aspek legalitas) tak boleh diabaikan.

118

Ibid., Pasal 54

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KEBERADAAN SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI INSTRUMEN
PERLINDUNGAN TERHADAP PRODUK DALAM NEGERI DALAM
MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

A. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen yang memakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. 119 Asas-asas perlindungan konsumen, yaitu : 120
1. Asas manfaat, bahwa penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,
konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang
kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak
harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan, diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha
dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara
seimbang.
3. Asas keseimbangan, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha
serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang

119
120

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1
Ibid., Pasal 2

Universitas Sumatera Utara

4. lebih dilindungi.
5. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, diharapkan penerapan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
6. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku
usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Adanya tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hal perlindungan
konsumen, yaitu : 121
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
2. Mengangkat

harkat

dan

martabat

konsumen

dengan

cara

menghindarkannya dari efek negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian

hukum

dan

keterbukaan

informasi

serta akses

untuk

mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan

kesadaran

pelaku

usaha

mengenai

pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.

121

Ibid., Pasal 3

Universitas Sumatera Utara

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa 122 , kenyaman ini juga berarti tidak
bertentangan dengan aturan agama yang dianutnya. Konsumen berhak
mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur atas kondisi barang dan/atau
jasa. Hal ini berarti keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah
benar atau telah teruji terlebih dahulu melalui pengujian kehalalan yang telah
ditentukan.
Oleh karena itu konsumen perlu mendapatkan sebuah kepastian hukum
bahwa produk yang digunakan tidak mengandung sesuatu yang tidak halal dan
juga diproduksi secara halal. Adanya sertifikasi serta labelisasi halal bukan saja
bertujuan memberi ketentraman batin pada umat Islam tetapi juga ketenangan
berproduksi bagi produsen. Untuk menghadapi globalisasi ekonomi yang semakin
nyata maka sertifikasi dan labelisasi halal semakin diperlukan untuk melindungi
konsumen Muslim.
Sertfikasi halal sebagai suatu langkah dalam perlindungan konsumen
karena didasari oleh kenyataan bahwa banyak negara-negara yang berpenduduk
muslim. Sertifikasi halal menjadi salah satu faktor penting dalam menawarkan
produk dan jasa, apalagi bagi negara-negara yang bergabung dalam pasar bebas
Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana salah satu tujuannya sebagai langkah

122

Ibid., Pasal 4

Universitas Sumatera Utara

menjadikan negara-negara di kawasan ASEAN tidak memiliki sekat dalam
perdagangan internasional, artinya aliran bebas barang, jasa, investasi dan tenaga
kerja terampil serta aliran modal yang lebih bebas, termasuk sektor industri halal
Indonesia.
Industri halal telah menjadi tren tersendiri dalam masyarakat dunia, bukan
hanya dari kalangan Muslim tetapi berbagai penganut agama lain. Dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), industri halal Indonesia
memiliki peluang besar untuk dapat bersaing dengan negara lain dalam
menyalurkan produk bersertifikasi halal di kawasan ASEAN.
Sayangnya, dari seluruh produsen di Indonesia baru sedikit yang memiliki
kesadaran akan pentingnya sertifikasi halal. Hal ini dikarenakan prosedur yang
rumit dan panjang serta biaya besar membuat para produsen enggan mendafarkan
industri mereka agar memiliki sertifikat halal. Yang terakhir adalah minimnya
sumber daya manusia dan infrastuktur memadai seperti para ahli di bidang auditor
halal dan produk halal. 123
Dalam hal ini dibutuhkan dukungan dari pemerintah berupa penyediaan
infrastruktur, seperti labolatorium, peralatan skrining, dan peralatan untuk analisis
halal. Semua membutuhkan dana sangat besar dalam pewujudannya. Pemerintah
telah mencanangkan bahwa pada 2019 semua produk yang ada di Indonesia harus
bersertifikat halal. Semoga dapat terealisasi dengan lancar sehingga mencapai
tujuannya, dan memberikan kemudahan dalam sertifikasi halal tanpa mengurangi
kualitas dari sertifikasi tersebut.
123

http://progrestazkia.com/tantangan-penerapan-industri-halal-di-Indonesia.html diakses
pada 21 September 2016

Universitas Sumatera Utara

Sebagai contoh di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim,
seharusnya lebih siap memberikan label halal pada semua sektor yang akan
diperjual belikan. Terutama kepastian halal pada produk makanan karena akan
sangat mendukung kesuksesan pasar kuliner Indonesia. Namun banyak pengusaha
yang belum mendaftarkan produk mereka untuk mendapatkan sertifikat halal.
Padahal, dengan adanya pencantuman label halal, konsumen lebih merasa
aman dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk atau makanan tersebut.
Konsumen mendapatkan jaminan bahwa produk tersebut tidak mengandung
sesuatu yang tidak halal dan diproduksi dengan cara yang