Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Landasan Teori

2.1.1. Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh
pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan,
maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian
melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat baik.
Apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari
apa yang direncanakan, maka kinerjanya jelek.
Ada beberapa pemikiran untuk membangun organisasi pemerintah daerah
melalui pengukuran kinerja setiap aktifitas kegiatannya baik rutin dan
pembangunan, dari sektor sampai dengan proyek. Pengukuran kinerja merupakan
suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan
pengambilan keputusan; sebagai alat untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran
organisasi. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah
untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam

memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak
tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di
dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam
batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Syamsi, 1987).

8

9

Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan
indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk
menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga
diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi
kinerja yang akan berlanjut. Menurut Halim (2001) analisis kinerja keuangan
adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan
yang tersedia. Dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan
ada beberapa ukuran kinerja, yaitu rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio
efisiensi, rasio pertumbuhan, dan rasio keserasian.
Kemandirian keuangan daerah menurut Undang-Undang No 32 Tahun

2004 “kemandirian keuangan daerah berarti pemerintah dapat melakukan
pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan sendiri, melaksanakan sendiri
dalam rangka asas desentralisasi”.
Kemandirian daerah otonom pada prinsipnya sangat tergantung dari dua
hal, yakni kemampuan keuangan daerah dalam menggali sumber‐sumber
keuangan yang ada serta ketergantungan daerah terhadap bantuan dari pemerintah
pusat. Daerah dinyatakan mampu untuk melaksanakan otonomi (Halim 2001) jika
mempunyai ciri‐ciri sebagai berikut:
1.

Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan
dan kemampuan untuk menggali sumber‐sumber keuangan, mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahannya.

10

2.

Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar

pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan
terbesar. Dengan demikian peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menunjukkan kemampuan

pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya.
Kemandirian

keuangan

daerah

ditunjukkan

oleh

besar

kecilnya

PAD


dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah. Rasio kemandirian dapat
diformulasikan sebagai berikut:
=

Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Total Pendapatan Daerah
Semakin tinggi rasio kemandirian, berarti tingkat ketergantungan daerah

terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin
rendah, demikian pula sebaliknya. Tolak ukur rasio kemandirian keuangan daerah
dapat dijelaskan dengan menggunakan skala seperti dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.1
Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian
Keuangan Daerah
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi


RKKD (%)
0,00 - 25,00
25,01 - 50,00
50,01 - 75,00
75,01 - 100

Pola Hubungan
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif

Halim (2001) menyatakan pola hubungan keuangan daerah tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
1.

Pola Hubungan Instruktif: peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada
kemandirian pemerintah daerah (Daerah tidak mampu melaksanakan otonomi
daerah).


11

2.

Pola Hubungan Konsultatif: campur tangan pemerintah pusat sudah mulai
berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan
otonomi.

3.

Pola Hubugan Partisipatif: peranan pemerintah pusat semakin berkurang,
mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati
mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.

4.

Pola Hubungan Delegatif: campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada,
karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan
urusan otonomi daerah.

Pengertian efektivitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu

operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan
tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan
pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan
dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin besar
realisasi penerimaan PAD dibanding target penerimaan PAD, maka dapat
dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya.
Nilai efektivitas diperoleh dari perbandingan sebagaimana tersebut diatas,
diukur dengan kriteria penilaian kinerja keuangan. Apabila persentase kinerja
keuangan di atas 100% dapat dikatakan sangat efektif, 90% - 100 % adalah
efektif, 80% - 90% adalah cukup efektif, 60% - 80% adalah kurang efektif dan
kurang dari 60% adalah tidak efektif (Budiarto, 2007).

12

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara
input dan output atau realisasi penerimaan dengan realisasi pengeluaran daerah.

Semakin besar rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Dalam hal
ini dengan mengasumsikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan
peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan. Pada sektor
pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dan
pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan
secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output)
dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil
yang diinginkan.
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi penerimaan dan
realisasi pengeluaran dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka
penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan. Apabila persentase kinerja keuangan
di atas 100% dapat dikatakan sangat efisien, 90% - 100 % adalah efisien, 80% 90% adalah cukup efisien, 60% - 80% adalah kurang efisien dan kurang dari 60%
adalah tidak efisien (Budiarto, 2007).
Mengacu kepada laporan Fiscal Policy for Growth and Development
World Bank, dinyatakan bahwa ruang fiskal tersedia, jika pemerintah dapat
meningkatkan pengeluarannya tanpa mengancam salvabilitas fiskal (fiscal
solvency). Heller (2005) mengemukakan bahwa ruang fiskal dapat didefinisikan
sebagai ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk
menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa
mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Ruang fiskal bisa

muncul dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan kewajiban

13

pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran juga menunjang
terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang dalam pembangunan suatu
daerah. Pemerintah daerah diharapkan memiliki terobosan untuk memanfaatkan
ruang fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan ekonomi.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor : 54/PMK.07/2014,
tentang Peta Kapasitas Fiskal, Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan
keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus,
dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yan penggunaannya
dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas
pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah
penduduk miskin.
Penghitungan indeks kapasitas fiskal daerah dilakukan melalui 2 tahap
yaitu:

1. Penghitungan kapasitas fiskal daerah berdasarkan formula:

KF

= (PAD + TBU + LP – BP)/Jumlah Penduduk Miskin

dimana:
KF

= Kapasitas Fiskal

PAD = Pendapatan Asli Daerah
TBU = Transfer yang Bersifat Umum (Dana Alokasi Umum, Dana Bagi
Hasil, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Transfer Lainnya yang
tidak ditetapkan peruntukannya)
LP

= Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

BP

= Belanja Pegawai


14

2. Penghitungan indeks kapasitas fiskal daerah dengan menghitung kapasitas
fiskal masing-masing daerah dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh
daerah.
Berdasarkan indeks Kapasitas Fiskal, daerah dikelompokkan dalam 4
(empat) kategori Kapasitas Fiskal sebagai berikut:
a.

Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya lebih dari atau sama dengan 2 (indeks
≥ 2) merupakan daerah yang termasuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi.

b.

Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya antara lebih dari atau sama dengan 1
sampai kurang dari 2 (1
≤ indeks < 2) merupak

an daerah yang termasuk

kategori kapasitas fiskal tinggi.
c.

Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya antara lebih dari 0,5 sampai kurang
dari 1 (0,5 < indeks

Dokumen yang terkait

ANALISIS KINERJA KEUANGAN TERHADAP PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUD PADA KABUPATEN / KOTA DI DIY)

0 2 99

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

0 0 16

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

0 0 2

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

0 0 7

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013 Chapter III VI

0 1 58

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

0 2 4

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

0 0 25

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 15

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 2

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 9