Laporan Praktik Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit

BAB II
TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT

2.1 Rumah Sakit
2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 Bab I pasal 1 tentang
rumah

sakit,

rumah

sakit

adalah

institusi

pelayanan

kesehatan


yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

2.1.2 Visi dan Misi Rumah Sakit
Misi rumah sakit merupakan pernyataan mengenai mengapa sebuah
rumah sakit didirikan, apa tugasnya dan untuk siapa rumah sakit tersebut
melakukan kegiatan.
Visi rumah sakit adalah gambaran keadaan rumah sakit di masa
mendatang dalam menjalankan misinya. Isi pernyataan visi tidak hanya berupa
gagasan-gagasan kosong, visi merupakan gambaran mengenai keadaan lembaga di
masa depan yang berpijak dari masa sekarang. Adapun pernyataan misi dan visi
merupakan hasil pemikiran bersama dan disepakati oleh seluruh anggota rumah
sakit. Misi dan visi bersama ini memberikan fokus dan energi untuk
pengembangan organisasi (Trisnantoro, 2005).

2.1.3 Tugas dan Fungsi
2.1.3.1 Tugas Rumah Sakit

Berdasarkan UU RI nomor 44 tahun 2009 Bab III pasal 4 tentang rumah
sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna.

2.1.3.2 Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan UU RI nomor 44 tahun 2009 Bab III pasal 5, rumah sakit
mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.4 Klasifikasi dan Struktur Organisasi Rumah Sakit
2.1.4.1 Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan UU RI nomor 44 tahun 2009 pasal 24 tentang rumah sakit,

maka rumah sakit diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria sebagai berikut:

a. Berdasarkan kepemilikan
i. Rumah sakit pemerintah, terdiri dari:
(a) Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan
(b) Rumah sakit Pemerintah Daerah
(c) Rumah sakit Militer
(d) Rumah sakit BUMN
ii. Rumah sakit swasta yang dikelola oleh masyarakat.
b. Berdasarkan jenis pelayanan, terdiri atas:
i. Rumah sakit umum, memberi pelayanan kepada pasien dengan beragam
jenis penyakit.
ii. Rumah sakit khusus, memberi pelayanan pengobatan untuk pasien dengan
kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah. Contoh: rumah
sakit kanker, rumah sakit bersalin.
c. Berdasarkan afiliasi pendidikan, terdiri atas 2 jenis, yaitu:
i. Rumah sakit pendidikan, yaitu rumah sakit yang menyelenggarakan
program latihan untuk berbagai profesi.
ii. Rumah


sakit

nonpendidikan,

yaitu

rumah

sakit

yang

tidak

menyelenggarakan program latihan untuk berbagai profesi dan tidak
memiliki hubungan kerjasama dengan universitas.

2.1.4.2 Klasifikasi Rumah Sakit Umum
Berdasarkan Permenkes nomor 340 tahun 2010 pasal 4dan pasal 10
tentang klasifikasi rumah sakit, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan

kesehatan

secara

berjenjang

dan

fungsi

rujukan,

rumah

sakit

umum

diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit:


a. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis
lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.
b. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis
lain dan 2 (dua) subspesialis dasar.
c. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.
d. Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis
dasar.

2.1.4.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit
Berdasarkan UU RI nomor 44 tahun 2009 pasal 33 tentang rumah sakit,
setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau
Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur

penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan. Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang
mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

2.2 Panitia Farmasi dan Terapi
Panitia farmasi dan terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya
terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit
dan apoteker wakil dari farmasi rumah sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.

2.2.1 Tujuan Panitia Farmasi dan Terapi
Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor


1197/

MenKes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, tujuan Panitia
Farmasi dan Terapi yaitu :
a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan
obat serta evaluasinya.
b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan
terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai
kebutuhan.

2.2.2 Fungsi dan Ruang lingkup Panitia Farmasi dan Terapi
Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan


Nomor

1197/

MenKes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, fungsi dan ruang
lingkup Panitia Farmasi dan Terapi adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisi. Pemilihan
obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi
secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga
harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk
obat yang sama.

b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau
menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota
staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang
termasuk dalam kategori khusus.
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat
di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun

nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan
mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosis dan
terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terusmenerus penggunaan obat secara rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf
medis dan perawat.

2.2.3 Formularium Rumah Sakit
Berdasarkan

Kepmenkes

No.

1197/MENKES/SK/X/2004

tentang

Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, formularium adalah himpunan obat

yang diterima/disetujui oleh Komite Farmasi dan Terapi untuk digunakan di
rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan.
Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan
terus, dalam arti kata bahwa sementara formularium digunakan oleh staf medis, di
lain pihak panitia farmasi dan terapi mengadakan evaluasi dan menentukan

pilihan

terhadap

produk

obat

yang

ada

di

pasaran

dengan

lebih

mempertimbangkan kesehatan pasien.
Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk
kepada dokter, apoteker, perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam
menerapkan sistem formularium, meliputi (Depkes, 2004):
a. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan
panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,
organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung sistem
formularium yang diusulkan oleh panitia farmasi dan terapi.
b. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan
kebutuhan tiap-tiap institusi.
c. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis
oleh panitia farmasi dan terapi untuk menguasai sistem formularium yang
dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi.
d. Nama obat yang tercantum dalam formularium adalah nama generik.
e. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi
farmasi.
f. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek
terapinya sama, seperti:
i. Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik yang
sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta.
ii. Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus
didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi.

iii. Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber
obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh
dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien.

2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah instalasi di rumah sakit yang
dikepalai oleh seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang
memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
merupakan tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian (Siregar dan Amalia, 2004).

2.3.1 Tugas dan Fungsi
Berdasarkan

Kepmenkes

No.

1197/MENKES/SK/X/2004

tentang

Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tugas pokok farmasi rumah sakit
adalah sebagai berikut:
a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi
c. Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
d. Memberi pelayanan bermutu melalui analisa, dan evaluasi untuk
meningkatkan mutu pelayanan farmasi
e. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
f. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi
g. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi

h. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
Fungsi farmasi rumah sakit yang tertera pada Kepmenkes No.
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
b. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan

2.3.2 Struktur Organisasi IFRS
Menurut Kepmenkes Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, bagan organisasi adalah bagan yang
menggambarkan pembagian tugas, koordinasi dan kewenangan serta fungsi.
Kerangka organisasi minimal mengakomodasi penyelenggaraan pengelolaan
perbekalan, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan harus selalu
dinamis sesuai perubahan yang dilakukan yang tetap menjaga mutu sesuai
harapan pelanggan. Struktur organisasi minimal di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
yaitu :
a. Administrasi Farmasi
b. Pengelolaan perbekalan farmasi
c. Pelayanan farmasi klinik
d. Manajemen mutu
2.3.3 Pengelolaan Pembekalan Farmasi
Menurut Komisi Akreditasi Rumah Sakit (2011), manajemen

obat

merupakan komponen yang penting dalam pengobatan simptomatik, preventif,

kuratif dan paliatif, terhadap penyakit dan berbagai kondisi. Ini biasanya
merupakan upaya multidisiplin, dalam koordinasi para
menerapkan

prinsip

rancang

proses

yang

efektif,

staf

rumah

sakit,

implementasi dan

peningkatan terhadap seleksi, pengadaan, penyimpanan, pemesanan/peresepan,
pencatatan (transcribe), pendistribusian, persiapan (preparing), penyaluran
(dispensing), pemberian, pendokumentasian dan pemantauan terapi obat.
2.3.3.1 Pemilihan
Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang
terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan
kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai
menjaga dan memperbaharui standar obat (Kepmenkes 1197, 2004).
Setiap rumah sakit harus menetapkan obat mana yang harus tersedia
untuk diresepkan dan dipesan oleh praktisi pelayanan kesehatan. Keputusan
ini didasarkan pada misi rumah sakit sakit, kebutuhan pasien, dan jenis
pelayanan

yang

disiapkan.

Rumah

sakit mengembangkan suatu daftar

(formularium) dari semua obat yang ada di stok atau sudah tersedia, dari sumber
luar (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2011).

2.3.3.2 Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara

lain

konsumsi,

epidemiologi,

kombinasi

metode

konsumsi

dan

epidemiologi disesuaikan dengan anggaranyang berpedoman pada DOEN,
formularium rumah sakit, standar terapi rumah sakit, ketentuan setempat yang
berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus
penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu dan rencana
pengembangan (Kepmenkes 1197, 2004).

2.3.3.3 Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui, melalui pembelian secara tender (oleh panitia
pembelian barang farmasi) dan secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang
besar farmasi/rekanan, melalui produksi/pembuatan sediaan farmasi (produksi
steril dan produksi non steril), dan melalui sumbangan/droping/hibah (Kepmenkes
1197, 2004).
Adakalanya obat tidak ada dalam stok atau siap tersedia saat
dibutuhkan. Ada proses untuk memberi persetujuan untuk pengadaan obat
tersebut. Juga, ada saat dimana obat dibutuhkan pada malam hari, atau bila
farmasi tutup atau persediaan obat terkunci. Setiap rumah sakit membutuhkan
suatu perencanaan untuk kejadian demikian dan mengedukasi staf

tentang

prosedur yang harus dijalankan bila peristiwa tersebut terjadi (Komisi
Akreditasi Rumah Sakit, 2011).

2.3.3.4 Produksi
Merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk, dan pengemasan
kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria obat yang diproduksi adalah sediaan

farmasi dengan formula khusus, sediaan farmasi dengan harga murah, sediaan
farmasi dengan kemasan yang lebih kecil, sedian farmasi yang tidak tersedia
dipasaran, sediaan farmasi untuk penelitian, sediaan nutrisi parenteral,
rekonstruksi sediaan obat kanker (Kepmenkes 1197, 2004).

2.3.3.5 Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender,
konsinasi atau sumbangan. Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi yaitu
pabrik harus mempunyai sertifikat analisa, barang harus bersumber dari
distributor utama, harus mempunyai material safety data sheet (MSDS), khusus
untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin, dan expire
date minimal 2 tahun.
2.3.3.6 Penyimpanan
Menurut Komisi Akreditasi Rumah Sakit (2011), yang perlu diperhatikan
dalam penyimpanan yaitu:
a. Obat disimpan dalam kondisi yang sesuai bagi stabilitas produk.
b. Bahan yang terkontrol dilaporkan secara akurat sesuai undangundang dan peraturanyang berlaku.
c. Obat-obatan

dan

menyiapkan

obat

bahan
diberi

kimia

yang

digunakan

untuk

label secara akurat menyebutkan isi,

tanggal kadaluwarsa dan peringatan.
d. Seluruh tempat pernyimpanan obat diinspeksi secara berkala sesuai
kebijakan rumah sakit untuk memastikan obat disimpan secara benar.

e. Kebijakan

rumah

sakit

menjabarkan

cara

identifikasi

dan

penyimpanan obat yang dibawa oleh pasien
2.3.3.7 Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit
untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat
jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas
dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan:
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi
c. Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi
a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara
sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di
ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh
Satelit Farmasi.
b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara
sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem resep perorangan oleh Apotik
Rumah Sakit.
c. Pendistribusian Perbekalan Farmasi diluar Jam Kerja
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien diluar jam kerja yang diselenggarakan oleh:

i. Apotek rumah sakit/satelit farmasi yang dibuka 24 jam
ii. Ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi emergensi
Sistem pelayanan distribusi:
a. Sistem persediaan lengkap di ruangan
i. Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat
merupakan tanggung jawab perawat ruangan.
ii. Setiap ruang rawat harus mempunyai penanggung jawab obat.
iii. Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar dan dapat
dikontrol secara berkala oleh petugas farmasi.
b. Sistem resep perorangan
Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat jalan dan
rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
c. Sistem unit dosis
Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan,
diberikan/digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda, yang
berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang cukup
untuk penggunaan satu kali dosis biasa.
Kegiatan pelayanan distribusi diselenggarakan pada:
a. Apotik rumah sakit dengan sistem resep perorangan
b. Satelit farmasi dengan sistem dosis unit
c. Ruang perawat dengan sistem persediaan di ruangan
(Kepmenkes 1197, 2004).

2.3.4 Pelayanan Kefarmasian
Sesuai dengan Keputusan Menkes RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004
tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit bahwa pelayanan kefarmasian
adalah pendekatan profesional yang bertanggung jawab dalam menjamin
penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau
oleh pasien melalui penerapan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan perilaku
apoteker serta bekerja sama dengan pasien dan profesi kesehatan lainnya.
Tujuan Pelayanan Kefarmasian
a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah
sakit
b. Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan
dan efisiensi penggunaan obat
c. Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang
terkait dalam pelayanan farmasi
d. Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan
penggunaan obat secara rasional.
2.3.4.1 Pengkajian Resep
Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi
persyaratan administarasi, persyaratan farmasi dan persyaratan klinis baik untuk
pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
b. Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter
c. Tanggal resep

d. Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasi meliputi:
a. Bentuk dan kekuatan sediaan
b. Dosis dan Jumlah obat
c. Stabilitas dan ketersediaan
d. Aturan, cara dan tehnik penggunaan
Persyaratan klinis meliputi:
a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat
b. Duplikasi pengobatan
c. Alergi, interaksi dan efek samping obat
d. Kontra indikasi
e. Efek aditif
2.3.4.2 Dispensing
Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi,
interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat
dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.
Tujuan Dispensing
a. Mendapatkan dosis yang tepat dan aman.
b. Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan
secara oral atau emperal.
c. Menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu.
d. Menurunkan total biaya obat.

Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya:
a. Dispensing sediaan farmasi khusus
i. Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan
oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien
dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan
terhadap prosedur yang menyertai.
ii. Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril
Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang
menjamin kompatibilitas dan stabilitas obat maupun wadah sesuai
dengan dosis yang ditetapkan.
b. Dispensing Sediaan Farmasi Berbahaya
Merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam
kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang
terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas
maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan
menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran,
distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan
limbahnya.
Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus
sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai,
sehingga kecelakaan terkendali.

Kegiatan Dispensing Farmasi Berbahaya
a. Melakukan perhitungan dosis secara akurat.
b. Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai.
c. Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan.
d. Mengemas dalam pengemas tertentu.
e. Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku
Faktor yang perlu diperhatikan
a. Cara pemberian obat kanker
b. Ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai.
c. Lemari pencampuran biological safety cabinet.
d. HEPA filter
e. Pakaian khusus
f. Sumber daya manusia yang terlatih

2.3.4.3 Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respons terhadap obat
yang tidak dikehendaki (ROTD) yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek samping obat
adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
Tujuan Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat:
a. Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi Efek Samping Obat yang sudah
dikenal sekali, yang baru saja ditemukan.

c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
timbulnya Efek Samping Obat atau mempengaruhi angka kejadian dan
hebatnya Efek Samping Obat.
Kegiatan Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat:
a. Menganalisa laporan Efek Samping Obat
b. Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami Efek Samping Obat
c. Mengisi formulir Efek Samping Obat
d. Melaporkan ke Panitia Efek Samping Obat Nasional
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi dan ruang rawat
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat

2.3.4.4 Pelayanan lnformasi Obat (PIO)
Menurut kepmenkes nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tanggal 19
Oktober 2004, PIO merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan PIO adalah menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien
dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah
sakit, membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat/perbekalan farmasi
terutama bagi komite/sub komite farmasi dan terapi, dan menunjang penggunaan
obat yang rasional.

Kegiatan yang dilakukan pada PIO meliputi :
a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan
pasif.
b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon,
surat atau tatap muka.
c. Membuat buletin, leaflet, label obat.
d. Menyediakan

informasi

bagi

Komite/Panitia

Farmasi

dan

Terapi

sehubungan dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit.
e. Bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien
rawat jalan dan rawat inap.
f. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga
kesehatan lainnya.
g. Mengkoordinasi

penelitian

tentang

obat

dan

kegiatan

pelayanan

kefarmasian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sumber informasi obat, tempat,
tenaga dan perlengkapan.

2.3.4.5 Konseling
Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan
obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.
Tujuan dari kegiatan konseling adalah memberikan pemahaman yang
benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat,
tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan

obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan
penggunaan obat-obat lain.

2.3.4.6 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan
dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit.
Tujuan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah yaitu
a. Mengetahui kadar obat dalam darah
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat

2.3.4.7 Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter
dan tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan Visite Pasien adalah
a. Pemilihan obat
b. Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
c. Menilai kemajuan pasien.
d. Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.

2.3.4.8 Pengkajian Penggunaan Obat
Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi,
efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.
Tujuan pengkajian penggunaan obat adalah untuk mendapatkan
gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan
kesehatan/dokter tertentu, membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan

kesehatan/dokter satu dengan yang lain, penilaian berkala atas penggunaan obat
spesifik, menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan pada pengkajian penggunaan obat meliputi indikator
peresepan, indikator pelayanan dan indikator fasilitas (Depkes RI, 2004).

2.4 Instalasi Central Sterile Supply Department (CSSD)
Instalasi pusat sterilisasi adalah unit pelayanan non structural yang
berfungsi memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai dengan standar/pedoman
dan memenuhi kebutuhan barang steril di rumah sakit (Depkes, 2009).
Tujuan Pusat Sterilisasi adalah
a. Membantu unit lain dirumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, untuk
mencegah terjadinya infeksi
b. Menurunkan angka kejadian infeksi
c. Menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang
dihasilkan.
Ruangan pusat sterilisasi dibagi atas 5 ruangan yaitu :
a. Ruangan dekontaminasi
Pada

ruangan

ini

terjadi

proses

penerimaan

barang

kotor,

dekontaminasi dan pembersihan. Ruangan dekontaminasi harus direncanakan,
dipelihara dan dikontrol untuk mendukung efisiensi proses dekontaminasi dan
untuk melindungi pekerja dari benda-benda yang dapat menyebabkan
infeksi,racun dan hal-hal berbahaya lainnya.
Sistem ventilasi harus didisain sedemikian rupa sehingga udara
diruang dekontaminasi harus dihisap keluar atau ke sistem sirkulasi udara
melalui filter, tekanan udara harus negatif tidak mengkontaminasi udara

ruangan lainnya dan ruangan dekontaminasi tidak dianjurkan menggunakan
kipas angin.
Suhu dan kelembaban yang direkomendasikan adalah suhu udara
antara 180C sampai 220C dan kelembaban udara antara 350% sampai
75%.Lokasi ruangan dekontaminasi harus terletak diluar lalu lintas utama
rumah sakit, dirancang sebagai area tertutup, secara fungsional terpisah dari
area di sebelahnya dan dengan izin masuk terbatas, dirancang secara fungsional
terpisah dari area lainnya sehingga benda-benda kotor langsung datang/masuk
ke ruangan dekontaminasi, benda-benda kotor tersebut kemudian dibersihkan
dan/atau didesinfeksi sebelum dipindahkan ke area yang bersih atau ke area
proses sterilisasi dan disediakan peralatan yang memadai dari segi disain,
ukuran dan tipenya.
b. Ruangan Pengemasan Alat
Di ruangan ini dilakukan proses pengemasan alat untuk alat bongkar
pasang maupun pengemasan dan penyimpanan barang bersih. Pada ruangan ini
dianjurkan ada tempat penyimpanan barang tertutup.
c. Ruangan Produksi dan Prosesing
Di ruangan ini dilakukan pemeriksaan linen, dilipat dan dikemas
untuk persiapan sterilisasi. Pada daerah ini sebaiknya ada tempat untuk
penyimpanan barang tertutup. Selain linen, pada ruangan ini juga dilakukan
pula persiapan untuk bahan seperti kain kasa, kapas, cotton swabs, dan lainlain.

d. Ruangan Sterilisasi
Di ruangan ini dilakukan proses sterilisasi alat/bahan. Untuk sterilisasi
Etilen Oksida, sebaiknya dibuat ruangan khusus yang terpisah tetapi masih
dalam satu unit pusat sterilisasi.
e. Ruangan Penyimpanan Barang Steril
Ruangan ini sebaiknya berada dekat dengan ruangan sterilisasi.
Apabila digunakan mesin sterilisasi dua pintu, maka pintu belakang langsung
berhubungan dengan ruangan penyimpanan. Di ruagan ini penerangan harus
memadai, suhu antara 180C-220C dan kelembaban 350%-75%. Ventilasi
menggunakan system tekanan positif dengan efisiensi filtrasi particular antara
90-95% (untuk partikukar berukuran 0,5 mikro). Dinding dan lantai ruangan
terbuat dari bahan yang halus dan kuat. Alat steril disimpan pada jarak 19-24
cm dari lantai dan minimum 43 cm dari langit-langit serta 5 cm dari dinding.
Akses ke ruang penyimpanan steril dilakukan oleh petugas pusat sterilisasi
yang terlatih.