Dampak Krisis Ekonomi Global di Negara N

UNIVERSITAS PADJADJARAN

UNG10.101
Dasar-Dasar Ilmu Sosial

Dampak Krisis Ekonomi di Negara-Negara Dunia Pertama
terhadap Masyarakat di Indonesia

Ravio Patra Asri
170210110019

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL
DESEMBER 2011

Pada tahun 2008, Amerika Serikat dilanda resesi akibat ambruknya sektor
bisnis perumahan. Banyaknya masyarakat yang tidak mampu membayar
beban perumahan menyebabkan industri perumahan memiliki utang besar
terhadap bank sebagai pemberi kredit. Ratusan industri terpaksa berhenti
beroperasi; bahkan beberapa diantaranya adalah industri-industri besar
dengan sejarah panjang dalam dunia bisnis, seperti perusahaan sekuritas

terbesar keempat di Amerika Serikat, Lehmann Brothers, serta perusahaan
otomotif, Ford, meskipun saat ini sudah kembali beroperasi.
Krisis ekonomi ini kemudian diikuti oleh meletusnya kemarahan
penduduk negeri para dewa, Yunani, akibat ketidakmampuan pemerintah
mereka dalam menanggulangi keuangan negara; terutama utang luar negeri
yang menumpuk terlalu banyak. Krisis ini kemudian merambat ke berbagai
negara mapan, seperti Italia, Spanyol, dan Portugal. Jerman, sebagai pusat
keuangan Eropa, pun hingga saat ini masih berhasil menahan laju krisis
namun diperkirakan akan segera kolaps oleh para ahli.1
1

Dalam Laporan Tim Edisi Outlook Eko o i I do esia
, A ato i Krisis di Eropa, Tempo,
Edisi 12-18 Desember 2011, h. 64, dijelaskan mengenai ultimatum Presiden Prancis, Nicolas
Sarkozy, dan Kanselir Jerman, Angela Merkel, terhadap 27 pemimpin negara di zona Euro untuk
segera mengambil keputusan menerima kendali lebih besar atas anggaran fiskalnya. Spanyol
dihadang masalah pengangguran yang mencapai angka 45 persen serta mendesak bank-bank
untuk menjual aset-aset yang dianggap beracun. Sementara di Irlandia, tingkat pengangguran
mencapai angka 14,5 persen namun pemerintah malah menetapkan penambahan pungutan
pajak, retribusi, pajak tabungan, serta modal untuk menutupi pemotongan pengeluaran

pemerintah sebesar US$ 5,11 miliar. Di Belgia, setelah 18 bulan tanpa pemerintah federal, para
politikus setuju untuk berkoalisi setelah dihadapkan pada rasio utang yang masih bertahan pada
angka 100 persen produk domestik bruto dan pemerintah harus membayar 4 miliar euro untuk
merekapitalisasi bank Dexia. Pemerintahan Presiden Sarkozy di Prancis juga mendapat tekanan
dari rakyat untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara. Jerman, sebagai negara pusat
finansial di zona Euro, menghadapi kemarahan dari rakyat akibat keputusan pemerintahan
Kanselir Merkel untuk memberikan bailout sebesar 440 miliar euro atau US$ 586 miliar, separuh
dari total bailout pemerintah zona Euro. Di sisi lain, negara dengan keadaan terparah, Yunani,
menghadapi ketidakstabilan politik akibat mundurnya Perdana Menteri Geoge Papandreou yang
digantikan oleh Lucas Papademos. Italia, yang berencana menjual obligasi senilai 400 miliar euro
pada 2012 untuk mengurangi rasio utang sebesar 120 persen serta menutup defisit anggaran,
dihadapkan pada pergantian kekuasaan dari Perdana Menteri Silvio Berlusconi kepada Mario
Monti. Portugal juga tidak luput dari gelombang krisis setelah pemerintah mengeluarkan
kebijakan penghematan sebagai syarat untuk menerima bailout sebesar 78 miliar euro. Pun
halnya dengan Inggris, mulai meraskan dampak krisis setelah adanya peningkatan drastis dalam
angka pengangguran serta kebijakn pemerintahan koalisi untuk menghapuskan defisit struktural
senilai GB£ 97 miliar selama lima tahun sampai 2016.

1


Indeks bursa saham Yunani, misalnya, sebagai negara yang paling parah
krisis ekonominya di Eropa, sudah jatuh hingga angka 49 persen dibanding
pada posisi awal 2011.Pun indeks bursa saham Asia tidak lebih baik. Indeks
bursa saham Hong Kong, India, dan Taiwan jatuh 18 persen. Di lain pihak,
Indonesia masih mencatat kinerja lumayan dengan kenaikan 3 persen
dibanding pada awal tahun. Hal ini boleh jadi karena investor saham melihat
pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berhasil tumbuh 6,5 persen di
tengah-tengah resesi.2
Gelombang krisis di negara-negara mapan sepanjang 2011 ini tentu saja
menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara berkembang, tak terkecuali
Indonesia. Semenjak meletusnya reformasi pada 1998, ditandai dengan
keruntuhan rezim Orde Baru, pemerintah Indonesia telah berupaya
mengangkat perekonomian nasional Indonesia melalui berbagai perubahan
siginifikan. Meskipun masih diwarnai dengan berbagai aksi korupsi, kolusi,
dan nepotisme, terutama oleh para birokrat, pencapaian para pelaku politik
dan ekonomi nasional dalam memulihkan kondisi ekonomi nasional
pascareformasi dan krisis moneter 1998 patut diberi apresiasi.
Dengan kondisi perekonomian global yang tidak cerah menjelang
datangnya tahun 2012, Indonesia patut khawatir kalau saja krisis ekonomi di
dunia pertama ikut menghantam negara-negara Asia. Meskipun pemerintah

memiliki pengalaman cukup baik dalam menanggulangi krisis pada 1998,
bukan berarti pemerintah dapat duduk santai dan menyepelekan ancaman
datangnya krisis ekonomi ini.
Sekalipun skala ekonomi nasional Indonesia masih kecil, ambruknya
ekonomi Eropa tetap berpotensi mempengaruhi Indonesia; terutama melalui
mitra dagang bersama seperti Cina, Amerika Serikat, dan Jepang. Hingga
Oktober 2011, Cina merupakan negara tujuan ekspor Indonesia yang
terbesar, yaitu sekitar 13 persen dari total ekspor Januari-Oktober 2011,
disusul Jepang dengan 11 persen, dan Amerika Serikat dengan 10 persen.
2

Mirza Adityaswara, Ketaha a “ektor Keua ga pada
2011, h. 98-99.

, Tempo, Edisi 12-18 Desember

2

Sementara itu, Cina, Amerika Serikat, dan Jepang mengirim 17 persen, 20
persen, dan 12 persen dari total ekspor mereka masing-masing ke Eropa.3

Dengan keadaan seperti ini, apabila permintaan pasar Eropa ke ketiga
negara tersebut menurun drastis, maka besar kemungkinan Indonesia akan
mengalami dampak cukup signifikan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, akibat melemahnya perdagangan internasional.
Selain itu, guncangan di berbagai negara dunia pertama ini juga dapat
masuk ke Indonesia melalui jalur finansial, seperti yang terjadi pada tahun
2008-2009, ketika akses pemerintah pada sumber pembiayaan internasional
dan tekanan terhadap kurs rupiah menjadi-jadi. Kemungkinan lain juga
datang dari adanya potensi penipisan likuiditas jarena informasi tentang
risiko krisis atau resesi menimbulkan perilaku latah yang menyebabkan
orang-orang mengalihkan asetnya ke tempat yang dipandang lebih aman,
walau dengan imbalan lebih rendah (self haven).4
Meskipun masih menunjukkan tren yang positif, perekonomian
nasional Indonesia dapat dibilang sangat kontras apabila dibandingkan
dengan negara-negara industri yang sedang dililit masalah. Contohnya, rasio
utang terhadap produk dmestik bruto Indonesia saat ini berada di bawah 30
persen, jauh dibanding Yunani yang mencapai angka 110 persen, Jepang
dengan 200 persen, atau Jerman dengan 80 persen; pun halnya dengan
defisit publik Indonesia berada di bawah 3 persen, cukup jauh dibandingkan
Yunani dengan lebih dari 10persen pada periode 2010.5

Meskipun hingga saat ini Indonesia mampu bertahan dari gangguan
eksternal serta didukung oleh pasar domestik yang besar, bukan berarti
Indonesia harus berfokus sepenuhnya terhadap pasar dalam negeri dan
mengabaikan pasar internasional. Apabila hal ini terjadi, maka daya saing
Indonesia dapat dibilang berada pada kondisi cukup mengkhawatirkan.

3

Aria to A. Patu ru, Eropa, Kita, da
Ibid.
5
Ibid.

4

, Tempo, Edisi 12-18 Desember 2011, h. 120-121.

3

Salah satu faktor lain yang mesti menjadi prioritas pemerintah adalah

menjaga perkembangan ekonomi di daerah sebagai penopang utama
kesejateraan masyarakat umum. Dengan angka pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, sudah semestinya pemerintah mengerahkan segenap tenaga dan
sumber daya untuk mengurangi kesenjangan pendapatan dan pembangunan
antardaerah. Namun, saat ini, yang terjadi malah berbanding terbalik;
pemerintah gagal mengurangi kesenjangan dan begitu pula dalam
penyediaan jaminan sosial yang terkoordinasi bagi rakyat. Program-program
pemerintah begitu banyak yang bernilai semu; terlihat atau terkesan bagus di
permukaan namun nyatanya gagal membuat perubahan apapun.
Program beras gratis untuk rakyat miskin tidak dilirik oleh rakyat
karena kualitas dan pelaksanaan program yang mengecewakan. Pun halnya
dengan program Bantuan Langsung Tunai sebagai bentuk kompensasi atas
kenaikan berbagai bahan pokok, dianggap para pengamat dan ahli sama
sekali tidak bermanfaat dan inefisien karena jumlah bantuan yang diberikan
sama sekali tidak mampu meringankan beban masyarakat miskin. Sementara
subsidi langsung juga tak jelas arahnya karena pendataan tunggal penduduk
yang belum tuntas.
Ancaman krisis di masa depan memang mengkhawatirkan; bukan
hanya bagi pemerintah, juga bagi masyarakat di berbagai lapisan. Bagi para
pebisnis dan eksekutif, fluktuasi pasar akan memberikan kondisi dan situasi

yang merugikan. Sementara bagi masyarakat kelas menengah ke bawah,
apabila kondisi ekonomi di tingkat makro tidak jelas, sudah barang tentu
akan memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat
mikro.
Menghadapi ancaman krisis ekonomi yang di depan mata, pemerintah
Indonesia haram hukumnya untuk tinggal diam dan menunggu tanpa ada
kebijakan serta tindakan pasti. Indonesia jelas-jelas membutuhkan adanya
kepercayaan modal asing untuk masuk melalui investasi yang dampaknya
pada perekonomian Indonesia bersifat fundamental. Namun, salah satu

4

pekerjaan rumah utama bagi pemerintahan Presiden Yudhoyono adalah
untuk menjaga tingkat harga secara nasional untuk tetap di titik yang stabil.
Di antara sekian banyak masalah yang berpotensi menimbulkan
gelombang krisis ekonomi, inflasi dan pengangguran dapat dikatakan sebagai
yang paling mengkhawatirkan. Pada krisis moneter 1998, misalnya, tingkat
inflasi yang bahkan sempat mencapai angka 97 persen menimbulkan
kekacauan (chaos) yang begitu masif. Inflasi sendiri, pada prinsipnya,
diakibatkan oleh adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), sisi

permintaan (demand pull inflation), dan ekspektasi inflasi. Faktor-faktor
terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar;
dampak inflasi luar negeri, terutama negara-negara rekan dagang;
peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered
price); serta negative supply shocks akibat bencana alam dan gangguan
distribusi.
Faktor

penyebab

terjadi demand pull inflation adalah

tingginya

permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks
makroekonomi,

kondisi

ini


digambarkan

oleh output riil

yang

melebihi output potensial atau permintaan total (agregate demand) lebih
besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi
inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam
menggunakan

ekspektasi

angka

inflasi

dalam


keputusan

kegiatan

ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat
adaptif atau forward looking.
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi
didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil
memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan
terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya

5

menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Padahal, kemiskinan adalah masalah yang bahkan tanpa adanya krisis
ekonomi pun belum mampu diatasi oleh pemerintah Indonesia hingga saat
ini. Meskipun menurut sejarah keadaan kaya dan miskin secara
berdampingan dalam suatu masyarakat bukanlah masalah sosial, namun
dengan pesatnya perkembangan perdagangan serta timbulnya nilai-nilai
sosial baru, terutama dengan taraf hidup yang selalu berubah-ubah,
kemiskinan dapat menjadi masalah yang sangat rumit.6
Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin
kemiskinan bukanlah suatu masalah sosial. Namun, dengan kondisi
masyarakat yang tidak stabil, maka kemiskinan dapat memicu timbulnya
masalah-masalah baru dengan kerumitan lain. Salah satu diantaranya adalah
peningkatan kasus kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Kejahatan yang
potensial timbul pun beragam, mulai dari kriminalitas jalanan hingga
kriminalitas kerah putih atau white-collar crime, seperti korupsi, penyuapan,
penyalahgunaan anggaran negara, dan sebagainya.
Inflasi yang tidak stabil juga dapat menciptakan ketidakpastian
(uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman
empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan
keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi,
yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat
inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi
tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Pada akhirnya, apakah Indonesia akan terbawa arus krisis ekonomi
global atau tidak tergantung pada tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Dengan adanya kebijakan bersifat preventif, tidak tertutup
kemungkinan bagi pemerintah untuk mencegah serangan resesi ekonomi

6

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.365366.

6

lebih dini sebelum Indonesia mengalami masalah seperti yang dialami oleh
negara-negara dunia pertama.
Salah satu hal yang mesti diwaspadai pemerintah saat ini adalah
penanggulangan utang negara yang jatuh tempo pada 2012 sebesar 135
triliun rupiah. Ketergantungan pemerintah pada pinjaman telah membuat
utang negara kian menumpuk. Meskipun begitu, pemerintah yakin bahwa
Indonesia masih mampu mengelola utang negara. Pemerintah yakin bahwa
Indonesia tidak akan bernasib sama dengan Yunani atau negara-negara
Eropa lain yang gagal menanggulangi utang negara dan menyebabkan krisis
dalam skala besar.
Selain utang negara, pemerintah juga harus secepatnya menanggulangi
masalah kemiskinan yang semakin menjadi-jadi dalam beberapa tahun
terakhir. Meskipun angka kemiskinan secara nasional terus menunjukkan
penurunan dari tahun ke tahun, pemerintah masih dianggap gagal karena
banyak pihak menganggap penurunan angka kemiskinan ini ditopang oleh
penipuan dalam bentuk statistik. Batas garis kemiskinan, misalnya, oleh
pemerintah

Indonesia

ditetapkan

lebih

rendah

daripada

standar

internasional, sehingga wajar memberi kesan adanya perbaikan dalam
perbaikan ekonomi.
Akan tetapi, terlepas dari banyaknya masalah yang berpotensi
ditimbulkan oleh krisis ekonomi global di dunia pertama terhadap kondisi
masyarakat Indonesia, optimisme pemerintah dalam menghadapi kondisi
yang kritis ini boleh dibilang sebagai angin segar yang cukup memberi
harapan. Namun, tentu rakyat bukan sekadar mengharapkan janji tanpa ada
tindakan serta kebijakan nyata yang terbukti membawa perubahan. Oleh
karena itu, mencegah efek krisis ekonomi global untuk merembet ke dalam
negeri Indonesia bukan saja menjadi tugas pemerintah, namun juga
masyarakat dibantu oleh setiap unsur-unsur pemerintahan yang terkait.■

7

REFERENSI
Abimanyu, Anggito. Ancaman Prospek Ekonomi Indonesia
Edisi 12-18 Desember 2011, 90-91.

Adityaswara, Mirza. Ketahanan Sektor Keuangan pada
12-18 Desember 2011, 98-99.

Patunru, Arianto A. Eropa, Kita, dan
2011, 120-121.

. Tempo,
. Tempo, Edisi

. Tempo, Edisi 12-18 Desember

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Supardan, Dadang. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan
Struktural. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Tim Edisi Outlook Ekonomi Indonesia

Tempo, Edisi 12-18 Desember 2011, 64.

. Anatomi Krisis di Eropa.

── Sedikit Mendung, Tetap Optimistis. Tempo, Edisi 12-18 Desember 2011,
60.

── Indonesia

: Taman Surga dengan Sejumlah Syarat. Tempo, Edisi 12-

18 Desember 2011, 62-63.

── Awas, Semakin Terperangkap Utang. Tempo, Edisi 12-18 Desember
2011, 69-72.

── Miskin Karena Pembangunan tak Merata. Tempo, Edisi 12-18 Desember
2011, 88-89.

8