Makalah PENELITIAN HUKUM ISLAM NORMATIF

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitasaktivitas yang bernuansa hukum. Selama kita melakukan suatu aktivitas, kita berarti
melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah tidak banyak orang yang
menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari dan
memahami bahwa kita telah melakukan aktivitas hukum, maka kita harus memahami
apa dan bagaimana sebenarnya hukum itu. Setiap Muslim seharusnya memahami
hukum dan permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim
sehari-hari tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia
melakukan ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial di tengahtengah masyarakat.
Permaslahan yang muncul sama seperti di atas, yakni tidak sedikit kaum Muslim
yang belum memahami hukum Islam, bahkan sama sekali tidak memahaminya,
sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau bertentangan dengan ketentuan
hukum Islam. Memahami hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang
mudah. Dibutuhkan kualifikasi yang cukup untuk melakukan hal itu dan juga
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk melaksanakan hukum Islam
diperlukan pemahaman yang benar terhadap hukum Islam itu melalui metodologi
penelitian hukum islam.
Tulisan

ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah


Metodologi Penelitian Hukum Islam dan sebagai bahan bacaan untuk memperluas
ilmu pengetahuan.

B. Pengertian Hukum Islam Normatif
Istilah hukum Islam normatif berasal dari tiga kata dasar, yaitu ‘Hukum’, ‘Islam’
dan Normatif’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan
sebagai berikut:
1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat.
2. Undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat.
3. Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu.
4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan)
1

Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau normanorma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan
atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa (Muhammad Daud Ali, 1996: 38).
Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa Arab ‫ الحكم‬yang merupakan isim
mashdar dari fi’il (kata kerja) ‫ يحكم‬- ‫ حكم‬yang berarti memimpin, memerintah,

memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingga kata ‫ الحكم‬berarti putusan,
ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan1. Dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis
dalam bentuk undang undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang
tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.
Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan
sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua
manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya (Mahmud Syaltout, 1966: 9).
Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw. lalu disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Adapun kata yang ketiga yaitu normatif berasal dari bahasa latin norma dan dalam
bahasa inggris norm yang berarti standard of behavior atau pedoman prilaku.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia normatif berarti berpegang
teguh pada norma atau kaidah yang berlaku2.
Dari gabungan tiga kata ‘hukum’, ‘Islam’ dan normatif tersebut muncul istilah
hukum Islam normatif. Dengan memahami arti dari ketiga kata yang ada dalam istilah
hukum Islam normatif ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam normatif
1


Munawwir, Achmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya : 1997.

2

http://kbbi.web.id

2

merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT dan
Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah
masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam normatif dapat
diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
Dalam khazanah literatur Islam (Arab), termasuk dalam al-Quran dan Sunnah,
tidak dikenal istilah hukum Islam normatif dalam satu rangkaian kata. Kata hukum
islam secara terpisah dapat ditemukan penggunaannya dalam literature Arab,
termasuk juga dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam literatur Islam ditemukan dua
istilah yang digunakan untuk menyebut hukum Islam, yaitu al-syari’ah al-Islamiyah
(Indonesia: syariah Islam) dan al-fiqh al-Islami (Indonesia: fikih Islam).
Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan.
Syariah merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan

pemahaman terhadap syariah. Secara umum syariah adalah hukum Islam yang
bersumber dari Alquran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad),
sedangkan fikih adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap
syariah atau pemahaman terhadap nash, baik Alquran maupun Sunnah. Asaf A.A.
Fyzee membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah
sebuah lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan
manusia; sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya
dipahami sebagai tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu,
‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada Alquran
dan Sunnah; dalam fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada
ilmu terus-menerus dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah
dan Rasul-Nya; bangunan fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu
tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu (boleh
atau tidak boleh). Dalam syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan atau
pelarangan. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu;
sedang syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit
(Fyzee, 1974: 21).
Istilah hukum Islam yang menjadi populer dan digunakan sebagai istilah resmi di
Indonesia berasal dari istilah Barat yang berbahasa Inggris, yaitu Islamic law. Kata
3


Islamic law sering digunakan para penulis Barat (terutama para orientalis) dalam
karya-karya mereka pada pertengahan abad ke-20 Masehi hingga sekarang.

C. Karakteristik Penelitian Hukum Islam Normatif
Adapun karakteristik dari penelitian hukum islam normatif adalah sebagai berikut :
 Sumber datanya hanyalah data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier.
 Penelitian hukum islam normative sepenuhnya menggunakan data hukum
skunder.
 Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif dapat ditinggalkan namun
penyusunan konseptual mutlak diperlukan.
 Dalam penelitian hukum normatif tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada
hanya hipotesis kerja.
 Konsekwensi dari penggunaan data skunder maka penelitian hukum islam
normatif tidak diperlukan sampling karena data skunder memiliki bobot
tersendiri yang tidak bisa digantikan dengan jenis lainnya3.
D. Ruang Lingkup Penelitian Hukum Islam Normatif
Ruang lingkup di sini berarti objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang
hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Ruang lingkup hukum Islam sangat

berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum
perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum
Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang
kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam
melakukan hubungan.
Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup
hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan
hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk hubungan yang
pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah.

3 Abdurrahman Misno BP, Metode Penelitian Hukum Islam, Pustaka AMMA: Bogor ,
2016, hal. 72

4

Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran, ‘Abd alWahhab Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukum-hukum i’tiqadiyyah
(keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum ‘amaliyyah
(aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah inilah yang
identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. Khallaf membagi hukum-hukum
‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan

manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya (Khallaf, 1978: 32).
Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati
merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena
meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak diketahui oleh
akal (Ash Shiddieqy, 1985: 8). Karena ibadah merupakan perintah Allah dan sekaligus
hak-Nya, maka ibadah yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti aturan-aturan
yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas
(QS. al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’
(QS. al-Kahfi [18]: 110).
Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambah-tambah atau
dikurangi. Allah telah mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah
bersifat tertutup (dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni
pada dasarnya semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatanperbuatan itu dengan tegas diperintahkan (Ali, 1996: 49).
Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah
muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi Saw., kalaupun ada,
tidak terperinci seperti halnya dalam bidang ibadah. Oleh karena itu, bidang
muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Karena sifatnya yang
terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya
semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan dan

melarangnya (Ash Shiddieqy, 1985: 91).
Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang termasuk
dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash
5

yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja
berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam.
Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang
muamalah, menurut ‘Abd al- Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi:
 hukum-hukum masalah perorangan/ keluarga
 hukum-hukum perdata
 hukum-hukum pidana
 hukum-hukum acara peradilan
 hukum-hukum perundang-undangan
 hukum-hukum kenegaraan
 hukum-hukum ekonomi dan harta.

E. Teknik Penulisan Proposal Hukum Islam Normatif
Teknik Penulisan Proposal Hukum Islam Normatif berisikan hal-hal sebagai berikut :
I.


Latar Belakang Masalah.

Latar belakang masalah pada proposal harus bisa menjawab alasan memilih judul
penelitian. Dijelaskan secara mengerucut dari garis besar hingga spesifik.
II.

Perumusan Masalah.

Rumusan masalah harus berupa pertanyaan yang berhubungan dengan dua variabel
atau lebih.
III.

Batasan Istilah.

Sub bab ini membahas batasan masalah baik melalui ruang lingkup tempat penelitian,
informasi penelitian, dan waktu penelitian.
IV.

Tujuan Penelitian.


Tujuan penelitian dibagi atas 2 bagian, yakni tujuan penelitian umum dan tujuan
penelitian khusus. Pertama, Tujuan Umum : berisikan tujuan secara keseluruhan atau
secara garis besar. Kedua, Tujuan Khusus : berisiskan tujuan secara khusus ditujukan.

6

V.

Manfaat Penelitian.

Manfaat penelitian bisa dibagi menjadi Manfaat yang kembali bagi peneliti dan
Manfaat yang kembali bagi masyarakat serta pengembang keilmuan.
VI.

Landasan Teori.

Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah disusun
rapi serta sistematis tentang variable-variabel dalam sebuah penelitian. Landasan
teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan.

VII.

Metode Penelitian

Pada bagian ini dijelaskan secara terperinci komponen-komponen yang terkait dengan
pelaksanaan penelitian sesuai dengan sifat penelitian keislaman yang meliputi
penelitian kewahyuan, penelitian konsep dan pemikiran serta penelitian empiris. Pada
bagian ini setidaknya harus dikemukakan4 :
1. Jenis penelitian. Jenis penelitian merupakan langkah yang akan diambil untuk
membuktikan kebenaran hipotesis.
2. Populasi dan sampel. Populasi merupakan keseluruhan subjek peneliti dan sampel
adalah sebagaian dari jumlah populasi.
3. Lokasi dan waktu penelitian. Menjelaskan tempat dan waktu penelitian.
4. Variabel. Menjelaskan keterangan variabel dan faktor yang diteliti dalam penelitian.
5. Teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data boleh berupa observasi,
wawancara langsung, angket, dan pengukuran.
6. Instrumen penelitian. Instrument penelitian merupakan alat ukur berupa kuisioner
dan cek list sebagai pedoman observasi, wawancara dan angket.
7. Tehnik pengolahan data. Berisi cara pengolahan data yang dapat digunakan untuk
menarik kesimpulan penelitian

4

Sukiman, Penelitian, Makalah yang disampaikan Pada Orientasi Mahasiswa Dan Percepatan Studi, PPs UIN SU, T.tp

7

8. Metode analisis data. Menjelaskan seluruh data yang diperoleh menjadi sebuah
informasi.
VIII.

Sistematika Penulisan Proposal
Sistematika Penulisan Proposal merupakan suatu penjabaran secara deskriptif

tentang hal-hal yang akan ditulis, yang secara garis besar terdiri dari Bagian Awal,
Bagian Isi dan Bagian akhir. Dalam Prosedur Format Penulisan Pembuatan Proposal
ini terdapat 3 hal utama yang menjadi unsur pembuatan karya tulis, yaitu Bagian
Awal, bagian isi dan bagian akhir. Untuk bagian awal Format Sistematika Penulisan
proposal berisikan beberapa unsur yang mengandung gambaran dari isi karya tulis,
kemudian untuk bagian isi merupakan penjelasan detail mengenai content dari karya
tulis dan untuk bagian akhir merupakan data-data pelengkap dan pendukung
pembuatan proposal.
IX.

Daftar Pustaka

Berisikan daftar rujukan pembuatan proposal yang diperoleh dari segala aspek.
X.

Lampiran

Lampiran merupakan bahan pendukung sebuah proposal yang digunakan selama
proses penelitian berlangsung.

F. Penutup
Demikianlah beberapa uraian terkait dengan penelitian Hukum Islam Normatif.
Semoga bisa menambah wawasan keilmuan bagi calon peneliti. Apa yang diuraikan di
atas bukanlah acuan pokok untuk calon peneliti hukum islam. Karena penelitian
hukum islam memerlukan perhatian khusus untuk dapat mengungkap aturan-aturan
hukum Islam yang lebih rinci lagi.

8

G. Daftar Pustaka
Arfa, Faisar Ananda, Metodologi Penelitian Hukum Islam, Jakarta : Prenadamedia
Group, 2016.
Abdurrahman Misno BP, Metode Penelitian Hukum Islam, Pustaka AMMA:
Bogor , 2016

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenadamedia Group, 2011.
Marzuki, Memahami Hakikat Hukum Islam, Jurnal UNY.t.tp
Marzuki, Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam, Jurnal UNY.t.tp
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran Dan Terjemahnya, Jakarta : 2002
Munawwir, Achmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya:
1997.
Sukiman, Penelitian, Makalah yang disampaikan Pada Orientasi Mahasiswa Dan
Percepatan Studi, PPs UIN SU, T.tp
http://kbbi.web.id
http://majelispenulis.blogspot.co.id/2016/07/susunan-proposal-penelitian.html

9

Lampiran :
CONTOH PROPOSAL PENELITIAN HUKUM ISLAM NORMATIF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan suatu unit terkecil dari komunitas yang lebih luas. Setelah
keluarga berhimpun dari berbagai keluarga terciptalah masyarakat. Akhirnya
himpunan masyarakat itu pula menjelma menjadi suatu tatanan masyarakat yang lebih
kompleks yang disebut dengan Negara.
Namun yang perlu diingat adalah bahwa himpunan masyarakat mulai dari yang
terkecil sampai pada yang terbesar tidak terlepas dari sepasang suami istri yang
memadu kasih sehingga melahirkan keturunan. Begitu pentingnya peranan dua pasang
insane ini dalam mengarungi bahtera kehidupan mereka, maka perlulah agama
memberikan arahan dan anjuran untuk menjalani hidup dengan sakinah dan rahmah
diantara keduanya.
Hal ini dipertegas oleh ayat Alquran dalam surat ar-Ruum (30) ayat 21 sebagai
berikut :

‫نوإممن آنياإتإه أ نمن نخل ننق ل نك كمم إممن أ نن مكفإسك كمم أ نمزنواججا لإتنمسك ككنوا إإل ني منها نونجنعنل بني من نك كمم‬
(٢١) ‫نمنوكدنجة نونرمحنمجة إإ كنن إفي نذلإنك لنيامت لإنقمومم ي نتننفك كنكرونن‬
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Demikianlah idealnya suatu keluarga menurut konsep islam yang mana antara
suami dan istri terjalin rasa kasih saying. Bahwa keluarga seperti demikian adalah
idaman setiap orang dimana pun dia berada.
Salah satu factor penunjang terwujudnya rumah tangga yang sesuai dengan
konsep islam adalah adanya harta kekayaan yang merupakan perhiasan dunia, baik
harta itu tergolong harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Tatkala
kondisi rumah tangga dalam keadaan rukun, kerja sama antara keduanya secara
10

otomatis berjalan dengan baik. Tapi tidak sedikit pula bagi sebagian keluarga yang
mengalami disharmonis atau tidak harmonis. Banyak factor yang menyebabkan hal
itu terjadi, salah satu diantaranyakarena kelalaian mereka terhadap petunjuk Allah
swt, sehingga terjadilah pertengkaran, percekcokan, saling membenci dan lain
sebagainya.
Bahkan sering sekali perselisihan itu tidak bisa diatasi (out of control),
peluang kondisi rumah tangga mencapai puncak perselisihan yang mengarah pada
bubarnya perkawinan (broken marriage). Apabila pertengkaran itu sampai pada
perpisahan, konsekuensi logis dari perpisahan atau perceraian itu akan menimbulkan
berbagai persoalan pula mengenai hak dan kewajiban antara keduanya. Bagaimana
hak asuh anak atau hak hadhanah, tanggung jawab suami selama masa iddah, dan
tidak terkecuali persoalan harta bersama.

Dalam permasalahan penyelesain harta bersama tidak terlepas dari peran
pengadilan dalam menangani masalah ini. Dijadikannya pengadiansebagai tempat
untuk menyelesaikan persengketaan perdata mankala tingkat persengketaan itu sudah
tidak dapat lagi diselesaikan pada tingkat internal keluarga antara kedua belah pihak.
Berkenaan dengan sengketa harta bersama telah diatur dalam undang-undang
No I Tahun 1974 dalam Bab 8 yang berjudul “Putusnya perkawinan serta akibatnya”
yang termuat dalam pasal 38 hingga pasal 41 dan juga pada peraturan pemerintah
Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 dalam bab 5 (Tata cara Perceraian) termuat
dalam pasal 14-36.
Apabila perceraian terjadi diantara kedua belah pihak sebelum mempunyai
anak dan hartapun belum didapat selama pernikahan, maka permasalahan tidak akan
begitu sulit. Namun sebaliknya, jika anak dan harta sudah dimiliki ketika terjadinya
perceraian, maka persoalannya akan panjang. Sebab seluruh yang terkait dalam
pernikahan itu baik harta bersama, anak, dan lain sebagainyaakan menjadi bagian
yang tidak terlepas dari bagian perceraian itu.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengemukakan beberapa pasal yang
berkenaan dengan permasalahan harta bersama ini sebagai suatu upaya melihat
kasusnya dengan komprehensif.
Pasal 35
1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harat benda bersama.
2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.
Pasal 36
11

1). Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindakatas persetujuan kedua belah
pihak.
2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
Tentang harta bersama lebih terperinci lagi diatur dalam kompilasi hukum
islam bab XIII dengan judul harta kekayaan dalam perkawinan pada pasal 85-97.
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwaharta bersama itu adalah harta
yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan. Adapun harta yang dibawa
masing-masing pihak sebelum menikah, maka itu tidak dikatakan harta bersam.
Dalam kajian fikih klasik khusunya dalam bidang muamalat harta bersama
cenderung dismakan dengan syirkah atau harta yang diusahakan secara bersama oleh
suami istri. Meskipun pada hakikatnya persamaan tidak terlalu tepat dalam
pengkategoriannya. Hal itu disebabkan para ulama klasik belum mengenal dengan apa
yang disebut pencarian bersama antara suami dan istri dalam tradisi masyarakat pada
waktu itu. Karena pada umumnya perempuan hanya sebatas di rumah, sedangkan
untuk masalah pencari penghidupan mutlak hanya bagi suami.
Kendatipun demikian, sebab konsep syirkah itu sendiri beragam dalam
pelaksanaannyamaka paling tidak dapatlah masalah harta bersama ini didekatkan
dengan konsep syirkah. Dalam konsep syirkah ada yang disebut dengan syirkah alabdan, yaitu modal dari suami kemudian istri mempunyai andil dalam hal jasa dan
tenaganya. Kemudian yang lain, apa yang disebut dengan syirkah ‘inan, yaitu dimana
kedua belah pihak suami dan istri masing-masing mendatangkan modal untuk dikelola
secara bersama.
Realitas ditengah-tengah masyarakat kita kebanyakan yang terjadi adalah
model syirkah al-abdan, artinya lebih banayak suami yang mencari nafkah untuk
menghidupi keluargasedangkan istri hanya mengatur sirkulasi perbelanjaan rumah
tangga. Tentunya ketika terjadi perselisihan dan berujung pada perceraian, maka
kaitannya dengan penyelesaian harta bersama merupakan menjadi persoalan yang
cukup intens.
Dalam proses penyelesaian persengketaan dimaksud, lembaga peradilan cukup
berperan dan di Indonesia institusi tertinggi dalam menyelesaikan perkara pencari
keadilan termasuk dalam harta bersama adalah mahkamah agung. Hail ini dapat kita
lihat dalam putusan nomor 176/K/AG/1993 tanggal 23 juni 1994 yang memutuskan
istri serong dengan lelaki lain tetap mendapatkan ½ bagian dari harta bersama yang
diperoleh pada masa dalam ikatan perkawinan. Dari sisi psikologi hal ini berimplikasi
12

negatif baik bagi para pihak maupun pencari keadilan. Dari sisi keadilan suami atau
istri merasa tidak adil terhadap pembagian harta bersama kepada istri atau suami yang
berperangai amoral (berbuat serong), sehingga tidak pantas menerima ½ bagian harta
bersama.
Berangkat dari latar belakang diatas tentang putusan mahkamah agung
republic Indonesia yang menetapkan istri yang serong dengan lelaki lain tetap
mendapat ½ bagian dari harta bersama. Maka penulis mengangkatnya dalam karya
ilmiyah berupa tesis yang berjudul “PENYELESAIN HUKUM TENTANG HARTA
BERSAMA KARENA PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan MARI No. 176
K/AG/1993).
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka
masalah pokok yang hendak dicari jawabannya dalam tesis ini adalah : mengapa
mahkamah agung Republik Indonesia dengan putusan No. 176 K/AG/1993 telah
memutuskan istri yang serong dengan laki-lakilain mendapat ½ bagian dari harta
bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan.
Bagaimana ketentuan kompilasi hukum islam tentang harta bersama?
C. Tujuan Penelitian
Dalam tujuan penelitian tidak lain adalah untuk mencari jawaban dari rumusan
maslah sebelumnya.
1. Untuk mengetahui mengapa mahkamah agung republik Indonesia dengan
putusan No. 176 K/AG/1993 telah memutuskan istri yang serong dengan lakilakilain mendapat ½ bagian dari harta bersama yang diperoleh selama dalam
ikatan perkawinan?
2. Untuk mengetahui Bagaimana ketentuan kompilasi hukum islam tentang harta
bersama?
D. Kegunaan Penelitian
1. secara teoritis, penelitian ini dapat mengembangkan wawasan akademis keilmuan
dalam hukum islam.
2. secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang
pemahaman yang baik dalam hukum islam.
E. Batasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahan terhadap pengertian dan memudahkan
pemahaman tentang proposal ini, perlu dijelaskan beberapa istilah sekaligus
pengertian dari judul yang tertera diatas, diantaranya:
1. Penyelesain hukum
13

Kata penyelesaian hukum terdiri dari dua kata yaitu penyelesaian dan hukum.
Penyelesaian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah cara
menyelesaikan hukum keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim
(dalam pengadilan). Dengan kata lain, hukum artinya suatu proses
penyelesaian sengketa yang diputuskan oleh hakim.
2. Harta bersama
Menurut abdul manan, harta bersama adalah semua harta yang diperoleh
suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta
tersebut diperoleh secara tersendiri maupun secara bersama-sama. Demikian
juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah
menjadi harta bersama, tidak menjadi persoalan apakah istri atau suami yang
membeli. Apakah suami atau istri mengetahui pada saat pembelian, atau atas
nama siapa itu didaftarkan.
3. Perceraian
Perceraian adalah perihal bercerai antara suami istri. Yang dimaksud dengan
perceraian dalam pembahasan ini adalah putusnya hubungan perkawinan baik
karena kematian, perceraian maupun karena keputusan pengadilan.

F. Landasan Teori
Hukum mengenai harta bersama kurang mendapat perhatian yang seksama
dari para ahli hukum, terutama para praktisi hukum yang semestinya harus mendapat
perhatian yang serius. Mengingat persoalan harta bersama merupakan masalah yang
sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri apabila terjadi perceraian.
Biasanya persoalan harta bersama ini muncul apabila sudah terjadi perceraian antara
suami istri di pengadilan agama. Sehinga timbul berbagai masalah hukum yang
kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang
berlaku.
Secara yuridis formal, aturan-aturan tentang harta bersama sudah ditentukan
dalam pasal 35 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana telah
diuraikan pada latar belakang. Namun dalam peradilan ketentuan tersebut tidaklah
mudah dan sederhana sebagaimana bunyi pasal tersebut. Terdapat beberapa hal yang
sejalandengan perkembangan hukumdan kondisi social yang berubah dalam
masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan yang begitu
cepat dalam berbagai bidang ekonomi misalnya, dengan adanya asuransi,
pertanggungan, dan santunan-santuan lainnya. Yang kesemua itu sangat berpengaruh
terhadap perolehan harta bersama sekaligus terhadap pembagiannya.
Permasalahan harta bersama ini pada hakikatnya telah diantisipasi oleh KHI
dengan merumuskan dalam pasal 85 s/d 97. Namun pada pasal 96 (1) terlihat kurang
14

tegas. Porsi pembagian harta bersama sebelum dibagi waris dan penentuan separuh
bagiannyadalm pasal 96 (1) tersebut adalah langkah yang berani. Apabila diteliti,
dasar metodologinya antara lain dapat ditempuh melalui jalan maslahat. Dimana
kemaslahatannya tidak bertentangan dengan tujuan syariat.
Dengan jalan inilah menentukan persoalan harta bersama yang sbelum dibagi
ahli waris, maka diberikan separuh terlebih dahulu sebagai hak suami atau istri bukan
sebagai warisan. Kemudian setelah itu dibagi dengan cara pewarisan. Alasannya
karena tidak tegas dalam nash masalah pembagian harta bersama. Praktik seperti ini
pada dasarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tujuan syari’at, bahkan
dianggap baik. Sehingga suatu tradisi yang baik ditengah- tengah masyarakat akan
dianggap baik juga, sebagaimana rumusan para ulama dalam kaidah ushul fiqh sebagi
berikut :

‫العادة محكمة‬
Kebiasaan itu dihukumkan
Kaidah ini diberlakukan apabila pembagian harta bersama tidak terjadi
sengketa atau menemukan jalan buntu. Tetapi jika terjadi sengketa, maka
penyelesaiannya diajukan kepada pengadilan agama sebagaimana yang diatur dalam
KHI pasal 88 sebagai berikut:
“apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka
penyelesaiannya diajukan kepada pengadilan agama”.
Kemudian apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti berjudi, mabuk, boros, dan lain sebagainya,
maka suami atau istri dapat meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita
jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 95 KHI.
Uraian pasal 95 dianalogikan kepada ketentuan Rasulullah saw yang
membolehkan hindun mengambil harta suaminya dengan cara yang makruf.
Sementara pasal 95 menekankan bahwa suami justru melakukan tindakan pemborosan
yang dapat membahayakan keberadaan harta bersama itu. Oleh sebab itu, hakim
dipandang memiliki otoritas untuk menangani dan menjaga agar harta tersebut
diamankan demi kepentingan keluarga khususnya istri dan anak-anak dengan cara
meletakkan sita jaminan sekaligus juga melindungi kepentingan rumah tangga. Dalam
praktik yang banyak dilakukan dalam pembagian harta bersama adalah masingmasing suami dan istri berhak seperdua dari harta bersama tersebut. Hal ini
didasarkan kepada firman Allah swt surat an-Nisa (4) ayat 32 :

15

‫ب إم كنما اك متننسكبوا‬
‫نول تنتننمن كنموا نما نف كنضنل الل كنكه إبإه بنمعنضك كمم ن‬
‫عنلى بنمعمض إللإكرنجاإل ن نإصي ب‬
‫ب إم كنما اك متننسبمنن نوامسأ نكلوا الل كننه إممن نفمضلإإه إإ كنن الل كننه نكانن إبك ك ك إل‬
‫نوإلل إن كنساإء ن نإصي ب‬
(٣٢) ‫عإليجما‬
‫نشميمء ن‬
32. dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang lakilaki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Namun masih bias dikembang lagi dengan jalanmaslahat apabila istri tertua
dalm poligami dan dalam persoalan asuransi, pertanggungan dan bentuk-bentuk
santunan lainnya. Terlepas dari perbedaan ulama tentang eksistensi maslahat almursalah sebagai metode istinbath dalam hukum islam. Tetapi tidak dapat dipungkiri
bahwa kontribusinya terhadapa pengembangan hukum islam sangat besar.
G. Kajian Terdahulu
Penelitian mengenai penyelesaian tentang harta bersamakarena percaraian
sering kali kurang mendapat perhatian yang seksama dari para ahli dan praktisi
hukum. Oleh karena itu, penulis berpendapat tentang putusan mahkamah agung
Republik Indonesia No. 176/K/AG/1993 cukup penting dan menarik untuk dikaji.
Adapun kajian terdahulu yang pembahasannyaerat kaitannya dengan judul tesis
penulis ini, antara lain :
1. Tesis H. arso dengan judul “Penerapan hukum harta bersama berdasarkan
kompilasi hukum islam dan pengaruhnya terhadap pemenuhan rasa keadilan di
pengadilan agama se-sumatera utara”. Yang mana tesis ini menguraikan penerapan
hukum harta bersama dan pengaruhnya terhadap pemenuhan rasa keadilan.
Kompilasi hukum islam dijadikan hukum terapanoleh pengadilan agama dalam
memutuskan sengketa atau perkara-perkara harta bersama akibat perceraian.
Materi kompilasi hukum islam adalah penyelesaian kasus harta bersama di
pengadilan agama telah memenuhi rasa keadilan.
2. Tesis Muhammad Iqbal Irham yang berjudul “kedudukan wanita tentang harta
benda hukum perkawinan Indonesia”.
Tesis ini menguraikan tentang kedudukan wanita dalam harta benda hukum
perkawinan Indonesia. Dalam tesis ini, bagaimana sebenarnya perempuan punya hak
yang sama dalam kepemilikannya terhadap harta ditinjau dari undang-undang dan
juga hukum islam.
Dari dua penelit lain ian diatas terlihat belum ada yang membahas tentang putusan
mahkamah agung Republik Indonesia no. 176/K/AG/1993 yang memutuskan istri
yang serong dengan laki-laki lain mendapat ½ bagian dari harta bersama.

16

H. Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang akan digunakan pada kesempatan ini adalah penelitian
kepustakaan (library research). Sehubungan dengan hal itu, maka langkah-langkah
yang akan ditempuh pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Sehubungan dengan penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research). Maka yang akan menjadi sumber pengumpulan data adalah :
A). Sumber data Primer
Adapun yang menjadi sumber data primer pada penelitian ini adalah kitabkitab karangan putusan mahkamah agung No. 176/AG/1993.
B). Sumber Data sekunder
Adapun sumber data sekunder yang akan digunakan adalah kitab-kitab yang
berhubungan dengan pembahasan yang akan diteliti.
2. Teknik pengolahan dan analisis data
Untuk mengolah dan menganalisis data yang nanti akan terkumpul penulis akan
menggunakan beberapa metode, yaitu :
-

Metode komparatif adalah cara untuk membandingkan dua pendapat yang
bertentangan.
Metode content analisis adalah metode yang berusaha memahami alur pemikiran
tokoh-tokoh mazhab dan merekonstruksi kerangka pemikiran yang akan diteliti.

3. Metodologi Penulisan
Dalam penulisan tesis ini, penulis berpedoman kepada buku panduan akademik
yang diterbitkan oleh PPs. UIN SU Tahun 2016.
I.

Sistematika Penulisan.

Untuk memudahkan penulisan tesis ini sehingga sistematis dalam materi bahasannya,
maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I , Berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, batasan istilah, landasan teoritis, kajian terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, terdiri dari tinjauan umum tentang harta bersama, pengertian harta bersama,
konstruksi hukum dan ruang lingkup harta bersama, harta bersama menurut kompilasi
hukum islam.
Bab III, terdiri dari tinjauan teoretis tentang perceraian, mengenai pengertian
perceraian, dasar hukum perceraian, prosedur pengajuan perceraian di pengadian
agama.
17

Bab IV, terdiri dari analisis tentang putusan mahkamah agung, penyelesaian kasus
harta bersama di pengadilan agama, konsep harta bersama menurut fikih dan
kompilasi hukum islam, harta bersama menurut putusan mahkamah agung republik
Indonesia nomor 176/K/AG/1993.
Bab V, terdiri dari penutup berupa kesimpulan dan saran.
I.

Daftar Pustaka

Arso, H., Penerapan Hukum Harta Bersama berdasarkan kompilasi hukum islam dan
pengaruhnya terhadap pemenuhan rasa keadilan di Pengadilan Agama se-Sumatera
Utara, tesis PPS IAIN Sumatera Utara, 2001
A Weng, Henry Lee, Beberapa segi Hukum dalam perjanjian perkawinan, Medan:
rinbaw, t.th
Azhar Basyar, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Perpistakaan fak. Hukum
Universitas Islam Indonesia, 1987.
Abdullah, Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Gema Insani press, 1994.
Departemen agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, semarang: Toha putra, 1989.
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Islam, Himpunan Peraturan PerundangUndangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Tp, 2001.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2001.
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: t.p., 2002.
Effendi, Satria, Analisis Fikih, Dalam Ditbenpera, Tinjauan Fikih Islam Terhadap
Putusanbadan Peradilan Agama Dalam Perkara Perceraian.

18