MAKALAH SEMIOTIKA METODE PENELITIAN KUA
BAB II
Pengertian Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di
dalam dunia ini,ditengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Kata
“semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani,semeion yang berarti “tanda”atau
same yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik
atas seni logika, retorika, dan poetika. “tanda”pada masa itu masih bermakna sesuatu
hal yang menunjukan pada adanya hal lain. Contohnya,asap menandai adanya api.
Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak
komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra
yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak
memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant)
dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda
dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam system bahasa
yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra,misalnya, kerap diperhatikan hubungan
sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang
ditandakan(semantik).,
Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz, munculnya studi kasus tentang sistem
penandaan benar-benar merupakan fenomena modern. Tanda dalam pandangan Peirce
adalah Sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Ia hadir dalam proses
interpretasi (semiosis) yang mengalir. Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang
sebagai suatu proses tanda yang dapat diperikan dalam istilah semiotika sebagai suatu
hubungan lima istilah:
S
( s, i, e, r, e)
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk
interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya, misalnya suatu disposisi
1 | Page
dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c
karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions
(kondisi). Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda.
Umberto Eco, sudah menjelaskan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan
kebenaran sekaligus untuk kebohongan.
Barger menunjukkan beberapa contoh cara untuk menyesatkan orang, atau lebih
tepatnya berbohong, melalui tanda-tanda:
AREA
Rambut
TANDA-TANDA YANG MENYESATKAN
palsu Orang botak/gundul atau seseorang dengan warna rambut yang
(wig)
Sepatu
berbeda
hak Orang pendek yang kelihatan tinggi
tinggi
Pewarna rambut
Si rambut coklat menjadi pirang, pirang menjadi rambut
Penipu ulung
Peniru
Teater
kemerahan
Pura-pura menjadi dokter, pengacara, atau apa pun
Pura-pura menjadi orang lain, mencuri identitas
Pura-pura berperasaan, percaya , seperti apa pun yang di
Makanan
Kata-kata
perankan
Kepitik, udang, lobster imitasi, dbs
Penjahat mengatakan untuk tidak menyakiti orang
Pada umumnya memang tanda- tanda apa yang berisi kebohongan itu relative
tidak merugikan (misalnya rambut pirang kenyataannya coklat atau hitam) namun
dalam beberapa kasus (seperti supir truk yang berpura-pura sebagai dokter) boleh jadi
sangat membahayakan orang lain. Yang perlu digaris bawahi dari pendapat Eco
adalah jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, tanda juga dapat digunakan
untuk mengkomunikasikan kebohongan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi simiotika disusun dalam tiga
poros. Poros horizontal mengkaji tiga jenis penyelidikan semiotika (murni,deskriptif,
dan terapan); poros vertical menyajikan tiga tataran hubungan semiotik (sintaktik,
semantic, dan pragmatik); dan poros yang menyajikan tiga katagori sarana informasi
(signals, signs, dan symbols)
Pokok dan Tokoh Semiotika
Charles Sanders Peirce
2 | Page
Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensional. Bagi Peirce (Pateda, 2001:44), tanda “is something
which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang
digunakan agar tanda bias berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya,
tanda (sign atau represantamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground,
object, dan interpratent. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi
tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan
legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar,
keras, lemah, lembut, dan merdu. Sinsign adalah eksistensi actual benda atau
peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang pada dasarnya
kata air sungai keruh yang menandakan ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah
norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang
menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atau icon (ikon), index (indeks),
dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan
petandanya bersifat bersamaan atau alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah
hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya potret
dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara
yanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tabda yang
langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialaj asap sebagai tanda
adanya api. Tanda dapat mengacu ke denotatun melalui konvensi. Tanda seperti itu
adalah tanda konvensional yang biasa di sebut simbol. Jadi, dimbol adalah tanda yang
menunjukan hubungan alamiah antara penanda dengan pertandanya. Hubungan
duantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi
(perjanjian) masyarakat.
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atau
rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang
memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalhnya, orang yang merah
matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita
penyakit mata, atau mata dimasuki inteksa, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent
sign atai dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan
sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang
3 | Page
menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang
langsung memberikan atasan tentang sesuatu.
Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure disebut orang yang layak sebagai pendiri linguistic
modern dialah sarjana dan tokoh besar asal swiss. Sedikitnya ada lima pandangan dari
Saussure yang kemudian hadi menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss,
yaitu pandangan tentang:
(1) signifier (penanda) dan signified (petanda)
Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori Saussure
adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu system tanda, dan
setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified
(petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide
atau petanda. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan
atau didengar dan apa yang ditulis atau di baca. Pendata adalah aspek mental dari
bahasa.
(2) form (bentuk) dab content (isi)
Istilah form (bentuk) dan content (isi) diistilahkan dengan expression dan content,
satu berwujud bunyi dan yanglain berwujud idea. Yang penting adalah fungsinya
dibatasi. Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan
oleh materi, tetapi sistem itu di tentukan oleh perbedaanya.
(3) langue (bahasa) dan parole(tuturan, ujaran)
Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur karena ia-lah yang meletakkan
dasar perbedaan lauge dan parole sebagai dua pendekatan linguistik yang pada
gilirannya nanti dapat menunjang pemikiran Recoeur, khususnya dalam teori
wacana. Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa prancis: langage, launge
(sistem bahasa) dan parole (keiatan ujaran) .
Lauguge adalah suatu kemampuan bahasa yangada pada setiap manusia yang
sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangan dengan
lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya languge adalah bahasa
pada umumnya. Orang bisupun bias memiliki languge ini, namun disebabkan,
umpamanya, gangguan fisiologi pada bagian tertentu maka dia tidak bias
berbicara secara normal.
4 | Page
Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat social
budaya.langue sebagai totalitas dari kumpulan fakta atau bahasa. Dalam konsep
Saussure, langue dimaksudkan bahasa tertentu. Akibatnya langue melebihi semua
individu yang berbicara dibawakannya dalam sebuah konser oleh orkes tertentu
(dalam segala kekurangan umpamanya)
Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya dipandang sebagai
individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan
subjek(penutur) sanggup menggunakan kode bahasauntuk mengungkapkan
pikiran pribadinya.
(4) synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis)
Yang dimaksud dengan sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang
keadaan tertentu bahasa tertentu(pada suatu “masa”)”. Sinkronis mempelajari
bahasa tanpa mempersonalkan urutan waktu. Yang dimaksud dengan diakronis
adalah “menelusuri waktu”. Jadi, studi diakronis atas bahasa tertentu adalah
deskripsi tentang perkembangan sejarah (“melalui waktu”). Atau dengan kata
lain, linguistik diakronis ialah subdisiplin linguistik yang menyelidiki
perkembangan suatu bahasa pada masa ke masa.
(5) syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatik).
Satu lagi bahasan struktur bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar Saussure
tentang sistem perbedaan antara tanda-tanda adalah mengenai syntagamativ dan
associative (paradigmatik), atau antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubunganhubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun
sebagai konsep.
Roman Jakobson
Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli linguistic adab ke 20 yang
pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana
fungsi bahasa bias hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Lechte, 2001 : 108).
Pengaruh Jakobson pada simiotika abad ke 20 sangat besar. Umberto Eco sampai
berkomentar “alasan mengapa Jakobson tidak pernah menulis satu buku khusus
tentang semiotika adalah karena seluruh eksistensi keilmuannya merupakan contoh
hidup dari pencarian semiotiika” (Cobley dan Jansz, 1999:142).
Jakobson mengemukakan bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu :
1. Fungsi Referensial, pengacu pesan
5 | Page
2. Fungsi Emotif, pengungkap keadaan pembicara
3. Fungsi Konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera
dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak
4. Fungsi Metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan
5. Fungsi Fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara
pembicara dengan penyimak
6. Fungsi Puitis, penyandian pesan
Setiap fungsi bersejajar dengan factor fundamental tertentu yang memungkinkan
bekerjanya bahasa.
1. Fungsi Referensial, sejajar dengan factor konteks atau referen
2. Fungsi Emotif, sejajar dengan factor pembicara
3. Fungsi Konatif, sejajar dengan factor pendengar yang diajak bicara
4. Fungsi Metalingual, sejajar dengan factor sandi atau kode
5. Fungsi Fatis, sejajar dengan factor kontak (awal komunikasi)
6. Fungsi Puitis, sejajar dengan factor amanat dan pesan
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk
memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantic, unit-unit yang bermakna,
dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari
suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Dalam artikelnya
yang terkenal linguistics and poetics, Jakobson menerangkan adanya fungsi bahasa
yang berbeda, yang merupakan factor-faktor pembentuk dalam setiap jenis
komunikasi verbal (Segers, 2000:15). Addresser (pengirim) mengirimlam suatu
message (pesan) kepada seorang adresse (yang dikirimi). Agar operatif, pesan
tersebut memerlukan context (konteks) yang menunjuk pada (…), sehingga dipahami
oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikam; suatu kode secara penuh atau paling
tidak sebagian, bagi pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuat
kode dan pemakna kode); dan akhirnya, suatu kontak, suatu saluran fisik dan
hubungan psikologis antara pengirim dan yang dikirim, memungkinkan keduanya
memasuki dan berada dalam komunikasi (Jakobson, 1960, dalam segers, 2000:16).
6 | Page
Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang mengatakan bahwa
bahasa atau struktur bahasa bersifat differensial atau membedakan. Pembedaan atau
differensiasi tersebut berlangsung melalui dua sumbu: Sintagmatis dan paradigmatis
(Ahimsa – Putra, 2001;54). Memang, didalam linguistic pasca-Saussure, istilah
sistagmatik selalu diperlawankan dengan paradigmatik sebuah sistagma merujuk
kepada hubungan in prasentia antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara
suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan yang lain, di dalam ujaran atau tidak
tutur tertentu.
Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes dikenal
sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistic
dan semiologi Saussure.Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat
dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada
kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda
pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara
konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup
denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung
Saussure.
Ia berpendapat bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan
asumsi –asumsi dari suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Lima kode yang ditinjau
Barthes adalah kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif),
kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomic atau kode kultural
yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.
7 | Page
kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan “kebenaran” bagi pernyataan yang muncul dalam teks.
kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Jika
sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh
dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi
sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
structural atau tepatnya menurut konsep Bathes, pascastruktural. Dalam suatu teks
herbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilahistilah retoris seperti antithesis, yang merupakan hal istimewa dalam system symbol
Barthes.
kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan
utama teks yang dibaca orang; artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif.
kode gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda – benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF)
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi
keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiology Saussure, yang behenti pada penandaan dalam tataran
denotative.
8 | Page
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya
tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,
langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai
suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat”
karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini
kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon
beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi
tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon
beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Jacques Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi,
menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan
penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang
dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang
percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan
struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified).
Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun
arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung
artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama
sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan
mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat,
9 | Page
fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak
lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan
banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang
dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang
dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada
hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya,
misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan
sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang
menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya
dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya
daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang
langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual
yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang
‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan.
Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna
dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru
bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya,
terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang
tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi
simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang
menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna
tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi.
Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi
ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
10 | P a g e
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan
yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan
kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teoriteori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur,
2006).
Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika menunjukkan perhatian
besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistic dan budaya.
Berbeda dengan konsep yang lebih statis yang diajukan Ferdinand de Saussure
tentang tanda dan pendekatan taksonimis semiotika, serta pendekatan semiotika
Charles Sanders Peirce yang bersifat taksonimis, Eco memastikan diri untuk
menyelidiki sifat – sifat dinamis tanda.
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin
memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah
konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa “satu tanda
bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi
unsur-unsur independen yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang
berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco
menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa.
Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam
pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat
“denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila
tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa
dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu
kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di
samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
11 | P a g e
C. M.A.K HALLIDAY
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal
ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang
dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks
sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai
salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian,
dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday
mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi
pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk
proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar
sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan
di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu
berhubungan erat dengan aspek-aspek social.
Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday dalam analisis isi media, adalah untuk
menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial, yaitu: Medan
Wacana (field of discourse); Pelibat Wacana (tenor of discourse); dan Sarana Wacana
(mode of discourse).
Dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya untuk
mengetahui apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang
terjadi di lapangan.
Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk megetahui orangorang yang dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dan lain-lain);
sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka.
Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui
bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa)
menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat
(orang-orang yang dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut
memberikan implikasi apa? (diantaranya yaitu berupa makna, citra, opini dan
motif).1
Aplikasi Semiotik Komunikasi
1 Hamad, Ibnu, (2007). Analisis Wacana (Discourse Análisis) Sebuah Pengenalan Awal, Jakarta, Diktat
Perkuliahamn Methode Penelitian Komunikasi Kulaitatif, PPS MIK UPDM (B) Jakarta, hal. 15.
12 | P a g e
Suatu penelitian semiotika umum akan dihadapkan pada berbagai batas kajian
(A Theory of Semiotika, Eco/1979). Beberapa diantaranya harus disepakati
sementara, sedangkan lainnya, menurut Eco, ditentukan oleh objek disiplin ilmu itu
sendiri. Eco, mengemukakan tiga batas hubungan dengan penelitian semiotika, yaitu:
1. Ranah Budaya
2. Ranah Alam
3. Ranah epistimologis
Bidang semiotika memang dapat dikatakan bidang yang begitu luas. Bidang ini
biasa berupa bidang komunikatif yang tampak lebih ‘alamiah’ dan spontan pada
system budaya yang lebih kompleks. Bidang terapan semiotika pada bidang
komunikasi tidak terbatas. Misalnya, bisa mengambil objek penelitian mulai dari
pemberitaan media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik
kartun, sastra sampai kepada musik. Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun
tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak
pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :
1. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa,
seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia
berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya media
cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :
1.
Teknik kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan
dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri
yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak
penelitian ini. Menurut Van Zoest, (1993:146-147), hasil analisis
kuantitatif
selalu
lebih
spektakuler
namun
sekaligus
selalu
mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.
2. Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur
secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang
berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.
Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)
a.
13 | P a g e
Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh
kekuatan – kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.
b. Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini
menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan
– kekuatan eksternal di luar diri pengelola media.
c. Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses
produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan
faktor internal media.
Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan
pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa
tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar
media. Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar
secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai
kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.
Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang
dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan
survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting
realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar
luaskan.
Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.
2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.
3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.
Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994)
antara lain:
Kekuasaan Ekonomi
: dilembagakan dalam industri dan perdagangan
Kekuasaan Politik
: dilembagakan dalam aparatur Negara
Kekuasaan Koersif
: dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter
2. Periklanan
14 | P a g e
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang
terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk
dan warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
Penanda dan petanda
Gambar, indeks, symbol
Fenomena sosiologi
Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
Desain dari iklan
Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh
publikasi tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang
dikandungnya yaitu:
Pesan Linguistik
: Semua kata dan kalimat dalam iklan
Pesan yang terkodekan
: Konotasi yang muncul dalam foto iklan
Pesan ikonik yang tak terkodekan
: Denotasi dalam foto iklan
3. Tanda NonVerbal
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :
· Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.
· Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
· Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang
universal. Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda
bagi setiap budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda
nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang
nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui
indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal
bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda
15 | P a g e
atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut
Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti,
antara lain :
Langkah Pertama
: Melakukan survai lapangan untuk mencari dan
menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
Langkah Kedua
: Melakukan pertimbangan terminologis terhadap
konsep –konsep pada tanda nonverbal.
Langkah Ketiga
: Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan
komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.
Langkah Keempat
semiotika
yang
: Merupakan langkah terpenting menentukan model
dipilih
untuk
digunakan
dalam
penelitian.
Tujuan
digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar
keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.
4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika.
Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film
digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu.
Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting
dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara
khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
(Sardar & Loon) Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan
sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk –
bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang
disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang
adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS)
Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi
atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan
alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak
pernah semena.
16 | P a g e
Pengertian Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di
dalam dunia ini,ditengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Kata
“semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani,semeion yang berarti “tanda”atau
same yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik
atas seni logika, retorika, dan poetika. “tanda”pada masa itu masih bermakna sesuatu
hal yang menunjukan pada adanya hal lain. Contohnya,asap menandai adanya api.
Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak
komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra
yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak
memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant)
dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda
dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam system bahasa
yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra,misalnya, kerap diperhatikan hubungan
sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang
ditandakan(semantik).,
Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz, munculnya studi kasus tentang sistem
penandaan benar-benar merupakan fenomena modern. Tanda dalam pandangan Peirce
adalah Sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Ia hadir dalam proses
interpretasi (semiosis) yang mengalir. Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang
sebagai suatu proses tanda yang dapat diperikan dalam istilah semiotika sebagai suatu
hubungan lima istilah:
S
( s, i, e, r, e)
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk
interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya, misalnya suatu disposisi
1 | Page
dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c
karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions
(kondisi). Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda.
Umberto Eco, sudah menjelaskan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan
kebenaran sekaligus untuk kebohongan.
Barger menunjukkan beberapa contoh cara untuk menyesatkan orang, atau lebih
tepatnya berbohong, melalui tanda-tanda:
AREA
Rambut
TANDA-TANDA YANG MENYESATKAN
palsu Orang botak/gundul atau seseorang dengan warna rambut yang
(wig)
Sepatu
berbeda
hak Orang pendek yang kelihatan tinggi
tinggi
Pewarna rambut
Si rambut coklat menjadi pirang, pirang menjadi rambut
Penipu ulung
Peniru
Teater
kemerahan
Pura-pura menjadi dokter, pengacara, atau apa pun
Pura-pura menjadi orang lain, mencuri identitas
Pura-pura berperasaan, percaya , seperti apa pun yang di
Makanan
Kata-kata
perankan
Kepitik, udang, lobster imitasi, dbs
Penjahat mengatakan untuk tidak menyakiti orang
Pada umumnya memang tanda- tanda apa yang berisi kebohongan itu relative
tidak merugikan (misalnya rambut pirang kenyataannya coklat atau hitam) namun
dalam beberapa kasus (seperti supir truk yang berpura-pura sebagai dokter) boleh jadi
sangat membahayakan orang lain. Yang perlu digaris bawahi dari pendapat Eco
adalah jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, tanda juga dapat digunakan
untuk mengkomunikasikan kebohongan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi simiotika disusun dalam tiga
poros. Poros horizontal mengkaji tiga jenis penyelidikan semiotika (murni,deskriptif,
dan terapan); poros vertical menyajikan tiga tataran hubungan semiotik (sintaktik,
semantic, dan pragmatik); dan poros yang menyajikan tiga katagori sarana informasi
(signals, signs, dan symbols)
Pokok dan Tokoh Semiotika
Charles Sanders Peirce
2 | Page
Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensional. Bagi Peirce (Pateda, 2001:44), tanda “is something
which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang
digunakan agar tanda bias berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya,
tanda (sign atau represantamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground,
object, dan interpratent. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi
tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan
legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar,
keras, lemah, lembut, dan merdu. Sinsign adalah eksistensi actual benda atau
peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang pada dasarnya
kata air sungai keruh yang menandakan ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah
norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang
menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atau icon (ikon), index (indeks),
dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan
petandanya bersifat bersamaan atau alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah
hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya potret
dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara
yanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tabda yang
langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialaj asap sebagai tanda
adanya api. Tanda dapat mengacu ke denotatun melalui konvensi. Tanda seperti itu
adalah tanda konvensional yang biasa di sebut simbol. Jadi, dimbol adalah tanda yang
menunjukan hubungan alamiah antara penanda dengan pertandanya. Hubungan
duantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi
(perjanjian) masyarakat.
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atau
rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang
memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalhnya, orang yang merah
matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita
penyakit mata, atau mata dimasuki inteksa, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent
sign atai dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan
sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang
3 | Page
menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang
langsung memberikan atasan tentang sesuatu.
Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure disebut orang yang layak sebagai pendiri linguistic
modern dialah sarjana dan tokoh besar asal swiss. Sedikitnya ada lima pandangan dari
Saussure yang kemudian hadi menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss,
yaitu pandangan tentang:
(1) signifier (penanda) dan signified (petanda)
Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori Saussure
adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu system tanda, dan
setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified
(petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide
atau petanda. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan
atau didengar dan apa yang ditulis atau di baca. Pendata adalah aspek mental dari
bahasa.
(2) form (bentuk) dab content (isi)
Istilah form (bentuk) dan content (isi) diistilahkan dengan expression dan content,
satu berwujud bunyi dan yanglain berwujud idea. Yang penting adalah fungsinya
dibatasi. Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan
oleh materi, tetapi sistem itu di tentukan oleh perbedaanya.
(3) langue (bahasa) dan parole(tuturan, ujaran)
Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur karena ia-lah yang meletakkan
dasar perbedaan lauge dan parole sebagai dua pendekatan linguistik yang pada
gilirannya nanti dapat menunjang pemikiran Recoeur, khususnya dalam teori
wacana. Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa prancis: langage, launge
(sistem bahasa) dan parole (keiatan ujaran) .
Lauguge adalah suatu kemampuan bahasa yangada pada setiap manusia yang
sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangan dengan
lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya languge adalah bahasa
pada umumnya. Orang bisupun bias memiliki languge ini, namun disebabkan,
umpamanya, gangguan fisiologi pada bagian tertentu maka dia tidak bias
berbicara secara normal.
4 | Page
Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat social
budaya.langue sebagai totalitas dari kumpulan fakta atau bahasa. Dalam konsep
Saussure, langue dimaksudkan bahasa tertentu. Akibatnya langue melebihi semua
individu yang berbicara dibawakannya dalam sebuah konser oleh orkes tertentu
(dalam segala kekurangan umpamanya)
Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya dipandang sebagai
individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan
subjek(penutur) sanggup menggunakan kode bahasauntuk mengungkapkan
pikiran pribadinya.
(4) synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis)
Yang dimaksud dengan sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang
keadaan tertentu bahasa tertentu(pada suatu “masa”)”. Sinkronis mempelajari
bahasa tanpa mempersonalkan urutan waktu. Yang dimaksud dengan diakronis
adalah “menelusuri waktu”. Jadi, studi diakronis atas bahasa tertentu adalah
deskripsi tentang perkembangan sejarah (“melalui waktu”). Atau dengan kata
lain, linguistik diakronis ialah subdisiplin linguistik yang menyelidiki
perkembangan suatu bahasa pada masa ke masa.
(5) syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatik).
Satu lagi bahasan struktur bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar Saussure
tentang sistem perbedaan antara tanda-tanda adalah mengenai syntagamativ dan
associative (paradigmatik), atau antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubunganhubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun
sebagai konsep.
Roman Jakobson
Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli linguistic adab ke 20 yang
pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana
fungsi bahasa bias hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Lechte, 2001 : 108).
Pengaruh Jakobson pada simiotika abad ke 20 sangat besar. Umberto Eco sampai
berkomentar “alasan mengapa Jakobson tidak pernah menulis satu buku khusus
tentang semiotika adalah karena seluruh eksistensi keilmuannya merupakan contoh
hidup dari pencarian semiotiika” (Cobley dan Jansz, 1999:142).
Jakobson mengemukakan bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu :
1. Fungsi Referensial, pengacu pesan
5 | Page
2. Fungsi Emotif, pengungkap keadaan pembicara
3. Fungsi Konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera
dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak
4. Fungsi Metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan
5. Fungsi Fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara
pembicara dengan penyimak
6. Fungsi Puitis, penyandian pesan
Setiap fungsi bersejajar dengan factor fundamental tertentu yang memungkinkan
bekerjanya bahasa.
1. Fungsi Referensial, sejajar dengan factor konteks atau referen
2. Fungsi Emotif, sejajar dengan factor pembicara
3. Fungsi Konatif, sejajar dengan factor pendengar yang diajak bicara
4. Fungsi Metalingual, sejajar dengan factor sandi atau kode
5. Fungsi Fatis, sejajar dengan factor kontak (awal komunikasi)
6. Fungsi Puitis, sejajar dengan factor amanat dan pesan
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk
memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantic, unit-unit yang bermakna,
dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari
suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Dalam artikelnya
yang terkenal linguistics and poetics, Jakobson menerangkan adanya fungsi bahasa
yang berbeda, yang merupakan factor-faktor pembentuk dalam setiap jenis
komunikasi verbal (Segers, 2000:15). Addresser (pengirim) mengirimlam suatu
message (pesan) kepada seorang adresse (yang dikirimi). Agar operatif, pesan
tersebut memerlukan context (konteks) yang menunjuk pada (…), sehingga dipahami
oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikam; suatu kode secara penuh atau paling
tidak sebagian, bagi pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuat
kode dan pemakna kode); dan akhirnya, suatu kontak, suatu saluran fisik dan
hubungan psikologis antara pengirim dan yang dikirim, memungkinkan keduanya
memasuki dan berada dalam komunikasi (Jakobson, 1960, dalam segers, 2000:16).
6 | Page
Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang mengatakan bahwa
bahasa atau struktur bahasa bersifat differensial atau membedakan. Pembedaan atau
differensiasi tersebut berlangsung melalui dua sumbu: Sintagmatis dan paradigmatis
(Ahimsa – Putra, 2001;54). Memang, didalam linguistic pasca-Saussure, istilah
sistagmatik selalu diperlawankan dengan paradigmatik sebuah sistagma merujuk
kepada hubungan in prasentia antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara
suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan yang lain, di dalam ujaran atau tidak
tutur tertentu.
Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes dikenal
sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistic
dan semiologi Saussure.Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat
dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada
kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda
pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara
konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup
denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung
Saussure.
Ia berpendapat bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan
asumsi –asumsi dari suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Lima kode yang ditinjau
Barthes adalah kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif),
kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomic atau kode kultural
yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.
7 | Page
kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan “kebenaran” bagi pernyataan yang muncul dalam teks.
kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Jika
sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh
dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi
sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
structural atau tepatnya menurut konsep Bathes, pascastruktural. Dalam suatu teks
herbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilahistilah retoris seperti antithesis, yang merupakan hal istimewa dalam system symbol
Barthes.
kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan
utama teks yang dibaca orang; artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif.
kode gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda – benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF)
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi
keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiology Saussure, yang behenti pada penandaan dalam tataran
denotative.
8 | Page
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya
tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,
langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai
suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat”
karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini
kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon
beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi
tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon
beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Jacques Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi,
menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan
penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang
dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang
percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan
struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified).
Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun
arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung
artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama
sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan
mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat,
9 | Page
fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak
lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan
banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang
dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang
dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada
hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya,
misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan
sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang
menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya
dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya
daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang
langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual
yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang
‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan.
Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna
dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru
bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya,
terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang
tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi
simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang
menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna
tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi.
Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi
ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
10 | P a g e
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan
yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan
kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teoriteori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur,
2006).
Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika menunjukkan perhatian
besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistic dan budaya.
Berbeda dengan konsep yang lebih statis yang diajukan Ferdinand de Saussure
tentang tanda dan pendekatan taksonimis semiotika, serta pendekatan semiotika
Charles Sanders Peirce yang bersifat taksonimis, Eco memastikan diri untuk
menyelidiki sifat – sifat dinamis tanda.
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin
memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah
konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa “satu tanda
bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi
unsur-unsur independen yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang
berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco
menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa.
Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam
pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat
“denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila
tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa
dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu
kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di
samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
11 | P a g e
C. M.A.K HALLIDAY
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal
ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang
dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks
sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai
salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian,
dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday
mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi
pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk
proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar
sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan
di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu
berhubungan erat dengan aspek-aspek social.
Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday dalam analisis isi media, adalah untuk
menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial, yaitu: Medan
Wacana (field of discourse); Pelibat Wacana (tenor of discourse); dan Sarana Wacana
(mode of discourse).
Dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya untuk
mengetahui apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang
terjadi di lapangan.
Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk megetahui orangorang yang dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dan lain-lain);
sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka.
Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui
bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa)
menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat
(orang-orang yang dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut
memberikan implikasi apa? (diantaranya yaitu berupa makna, citra, opini dan
motif).1
Aplikasi Semiotik Komunikasi
1 Hamad, Ibnu, (2007). Analisis Wacana (Discourse Análisis) Sebuah Pengenalan Awal, Jakarta, Diktat
Perkuliahamn Methode Penelitian Komunikasi Kulaitatif, PPS MIK UPDM (B) Jakarta, hal. 15.
12 | P a g e
Suatu penelitian semiotika umum akan dihadapkan pada berbagai batas kajian
(A Theory of Semiotika, Eco/1979). Beberapa diantaranya harus disepakati
sementara, sedangkan lainnya, menurut Eco, ditentukan oleh objek disiplin ilmu itu
sendiri. Eco, mengemukakan tiga batas hubungan dengan penelitian semiotika, yaitu:
1. Ranah Budaya
2. Ranah Alam
3. Ranah epistimologis
Bidang semiotika memang dapat dikatakan bidang yang begitu luas. Bidang ini
biasa berupa bidang komunikatif yang tampak lebih ‘alamiah’ dan spontan pada
system budaya yang lebih kompleks. Bidang terapan semiotika pada bidang
komunikasi tidak terbatas. Misalnya, bisa mengambil objek penelitian mulai dari
pemberitaan media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik
kartun, sastra sampai kepada musik. Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun
tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak
pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :
1. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa,
seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia
berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya media
cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :
1.
Teknik kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan
dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri
yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak
penelitian ini. Menurut Van Zoest, (1993:146-147), hasil analisis
kuantitatif
selalu
lebih
spektakuler
namun
sekaligus
selalu
mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.
2. Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur
secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang
berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.
Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)
a.
13 | P a g e
Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh
kekuatan – kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.
b. Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini
menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan
– kekuatan eksternal di luar diri pengelola media.
c. Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses
produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan
faktor internal media.
Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan
pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa
tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar
media. Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar
secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai
kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.
Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang
dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan
survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting
realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar
luaskan.
Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.
2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.
3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.
Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994)
antara lain:
Kekuasaan Ekonomi
: dilembagakan dalam industri dan perdagangan
Kekuasaan Politik
: dilembagakan dalam aparatur Negara
Kekuasaan Koersif
: dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter
2. Periklanan
14 | P a g e
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang
terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk
dan warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
Penanda dan petanda
Gambar, indeks, symbol
Fenomena sosiologi
Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
Desain dari iklan
Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh
publikasi tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang
dikandungnya yaitu:
Pesan Linguistik
: Semua kata dan kalimat dalam iklan
Pesan yang terkodekan
: Konotasi yang muncul dalam foto iklan
Pesan ikonik yang tak terkodekan
: Denotasi dalam foto iklan
3. Tanda NonVerbal
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :
· Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.
· Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
· Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang
universal. Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda
bagi setiap budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda
nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang
nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui
indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal
bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda
15 | P a g e
atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut
Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti,
antara lain :
Langkah Pertama
: Melakukan survai lapangan untuk mencari dan
menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
Langkah Kedua
: Melakukan pertimbangan terminologis terhadap
konsep –konsep pada tanda nonverbal.
Langkah Ketiga
: Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan
komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.
Langkah Keempat
semiotika
yang
: Merupakan langkah terpenting menentukan model
dipilih
untuk
digunakan
dalam
penelitian.
Tujuan
digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar
keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.
4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika.
Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film
digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu.
Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting
dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara
khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
(Sardar & Loon) Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan
sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk –
bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang
disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang
adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS)
Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi
atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan
alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak
pernah semena.
16 | P a g e