Struktur untuk Wawancara Mendalam dalam (2)

Struktur Wawancara Mendalam Pada Konteks Kejadian
Kata wawancara mencakup aspek praktek yang luas. Wawancara ini memiliki sifat
lebih terstruktur, survey wawancara dengan preset, terstandarisasi, dan biasanya
menggunakan pertanyaan tertutup. Di sisi akhir rangkaian wawancara sifatnya terbukatertutup, biasanya tidak terstruktur, dan biasanya terlihat dengan menggunakan wawancara
antropologi, seperti yang disampaikan Spradley (1979), sebagai sebuah percakapan yang
menyenangkan. (untuk sebuah penjelasan pendekatan yang luas dalam melakukan
wawancara, lihat Bertaux, 198; Briggs 1986, p.20; Ellen, 1984, p. 231; Kvale, 1996; Lincoln
& Guba, 1985, pp. 268-269; Mishler, 1986, pp. 14-15; Richardson, Dohrenwend, & klein,
1965, pp.. 36-40; Rubin & Rubin, 1995; Spradley, 1979, pp. 57-58)
Buku ini, bagaimanapun juga, membahas mengenai apa yang telah saya dan kolega
saya lakukan dengan sebuah istilah Wawancara Mendalam berdasarkan kejadian yang
dialami. Metode-nya menggunakan kombinasi wawancara sejarah-kehidupan/masa lalu (lihat
Bertaux, 1981) dan wawancara mendalam yang terfokus pada informasi yang diberikan oleh
gambaran asumsi dari kejadian dan khusus, Alfred Schutz (1967). Struktur wawancara saya
jelaskan pada bab ini dan mengenai pendekatan pada teknis wawancara dan data analisisnya
akan saya jelaskan pada bab berikutnya mengikuti posisi teori-nya (Untuk pengembangan
diskusi mengenai hubungan antara teknik wawancara dan teori utama dari pendekatan
wawancara bisa di lihat pada buku Kvale, 1996, bab 3).
Pendekatan yang digunakan pada wawancara ini adalah dengan menggunakan
pertanyaan terbuka-tertutup. Tugas utama nya adalah untuk membangun dan mengeksplorasi
respon partisipan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan menyusun/mengulang/membangun kembali pengalaman partisipan ke dalam
topik studi.
Jangkauan topik yang bisa diadaptasi dalam pendekatan wawancara ini sangat luas,
mencakup hampir semua isu/permasalahan yang melibatkan pengalaman hidup manusia. Di
masa lalu, mahasiswa doktor yang bekerja dengan saya telah bekerja atau melakukan
eksplorasi beberapa subjek berikut ini untuk disertasi atau publikasi lainnya:
Eleventh-grade students as writers (Cleary, 1985,1988, 1991)
Student teaching in urban schools (Compagnone, 1995)
English teachers’ experiences in their first year of teaching (cook, 2004)
Relationship between theoretical otientation to reading and reading practicess (Elliot-Johns,
2004; received the Canadian Association for Teacher Education’s Outstranding
Dissertation Award in 2005)
The Experience of Mainland Chiunesse woman in American graduate programs (Frank,
2000)
Black jazz musu=icians who become teachers in college and universities (Hardin, 1997)
The experience of students whose first language is not English in mainstream English
classroom (Gabriel, 1997)
African American performing artists who teach at traditionally white colleages (Jenoure,
1995)
Gender issues embedded in student teaching (Miller, 1993, 1997)


The literacy experience of vocanional high school students (Nagle, 1995, 2001)
The impact of tracking student teachers (O’Donnel, 1990)
Woman returning to community colleges (Schatzkamer, 1986)
The work of physical education teachers educators (Williamson, 1988, 1990)
Lesbian physiscal education teacher (Woods, 1990)
The experience of young Black fathers in a fatherhood program program (Whiting, 2004)
ESL teachers (Young, 1990)

Tiga Seri Rangkaian Wawancara
Berangkat dari perbedaan yang mencolok dari semua ciri-ciri wawancara, model
wawancara mendalam atas kejadian/pengalaman ini melibatkan tiga rangkaian wawancara
yang berbeda pada setiap partisipan. Perilaku manusia menjadi lebih bermakna dan bisa
dipahami ketika ditempatkan di dalam konteks kehidupannya dan kehidupan yang ada di
sekitarnya. Tanpa sebuah konteks maka sedikit kemungkinan untuk bisa mengeksplorasi
makna dari topik mereka dengan mengatur satu kali pertemuan dengan “partisipan” yang
sebelumnya belum pernah melakukan tahapan ini. (lihat Locke, Silverman, & Spirduso, 2004,
pp. 209-226), untuk mendapakan pengetahuan yang penting pada permasalahan ini dalam
penelitian kualitatif dan khusus, pada umumnya berasal dari perspektif para pembaca
penelitian sejenis. Lihat juga Mishler, 1986)

Dolbeare and Schuman (Schuman, 1982) mendesain tiga rangkaian wawancara yang
mencirikan karater pendekatan ini dan membiarkan pewawancara dan partisipan untuk
meluruskan pengalamannya dan menempatkannya ke dalam konteks yang diinginkan.
Wawancara pertama mengembangkan konteks pada pengalaman partisipan. Wawancara
kedua membiarkan partisipan untuk membangun kembali pengalaman detil mereka ke dalam
konteks yang dimunculkan. Dan wawamcara ketiga mendorong partisipan untuk
merefleksikan makna dari pengalamannya untuk diingat oleh diri mereka sendiri.
Wawancara Pertama: Fokus pada Sejarah Hidup
Pada wawancara pertama, tugas pewawancara adalah menempatkan partisipan untuk
menceritakan pengalaman dirinya sendiri sebanyak mungkin mengenai topik yang muncul
pada saat ini. Pada studi kami mengenai pengalaman guru dan mentor siswa dalam
pengembangan sekolah Profesional di East Longmeadow, Massachusatte (O’Donnel dkk,
1989), kami bertanya kepada partisipan untuk menceritakan kehidupan masa lalu mereka
sampai pada masa mereka menjadi guru atau mentor siswa selama 90 menit.
Kami meminta mereka untuk membangun ulang pengalaman hidup mereka di keluaga
nya, sekolah, dengan teman-temannya, dengan tetangganya dan di tempat kerja. Karena topk
pada studi ini adalah mengenai pengalaman mereka sebagai guru atau mentor siswa, kami
fokus pada pengalaman masa lalu partisipan di sekolah dan di berbagai situasi seperti tempat
konseling, tutor, atau melatih mereka yang sudah mereka alami sebelum menjadi
pengembang sekolah profesional.


Di dalam melakukan pertanyaan ini, kami menghindari pertanyaan “mengapa Anda
menjadi guru siswa (mentor)?” kami akan memberikan pertanyaan bagaimana mereka bisa
berpartispasi dalam pengembangan program. Dengan menanyakan “bagaimana?” kami
berharap mereka bisa membangun dan menarasikan jarak kejadian konstitutif pengalaman di
keluarga, sekolah dan tempat bekerja nya yang menempatkan partisipan pada profesi
pengembangan program sekolah di dalam konteks kehidupan mereka sendiri. (Lihat Gergen,
2001, untuk sebuah pengenalam pada kekuatan naratif-definisi diri).
Wawancara Kedua: Pengalaman Detil/Rinci
Fokus wawancara kedua adalah pada pengalaman rinci dari partisipan di dalam
kehidupannya saat ini dalam topik area studi ini. Kami meminta mereka untuk
membangun/menceritakanya kembali secara lengkap. Dalam studi kami mengenai guru atau
mentor siswa pada sebuah klinik, contohnya, kami meminta mereka apa yang mereka lakukan
pada pekerjaannya/apa tugas mereka dalam pekerjaannya. Kami tidak menanyakan untuk
sebuah opini tapi lebih pada detil pengalaman mereka, meskipun opini mereka juga akan
terbentuk. Berdasarkan Freeman Dyson (2004), seorang ahli matematika ternama Littlewood,
yang merupakan dosen Dyson di University of Cambridge, memperkirakan bahwa setiap kita
bangun dan secara nyata berhubungan dengan kehidupan ini, kita melihat dan mendengar
banyak hal setiap rata-rata satu hal per detik. Maka dalam 8 jam sehari, kita telah
memperoleh pengalaman hampir 30.000 kejadian. Pada wawancara kedua ini, kemudian,

tugas kita adalah untuk berusaha/berjuang, bagaimanapun juga jika tidak lengkap, untuk
membangun kembali pengalaman partisipan yang sangat banyak di dalam area studi yang kita
kerjakan.
Dalam rangka untuk menempatkan pengalaman partisipan di dalam konteks setting
sosial, kami meminta guru siswa, contohnya, untuk menceritakan hubungan mereka dengan
siswa, mentor mereka, fakultas lainnya di sekolah, para administrator, para orang tua, dan
komunitas lainnya. Pada wawancara kedua ini, kita bisa meminta mereka untuk membangun
kembali cara mengajar mereka dalam sehari dari saat mereka bangun tidur sampai tidur
kembali. Kami meminta cerita pengalaman mereka di sekolah untuk memproleh informasi
yang lengkap.
Wawancara Ketiga: Merefleksikan Makna
Pada wawancara ketiga, kami meminta partisipan untuk merefleksikan makna dari
pengalaman mereka. Pertanyaan “makna” bukanlah salah satu kepuasan atau
hadiah/penghargaan, meskipun beberapa isu/permasalahan bisa berperan dalam bagian
pemikiran para partisipan. Lebih jauh, hal ini mengarahkan pada hubungan intelektual dan
emosi antara kehidupan dan pekerjaan partisipan. Bentuk pertanyaanya mungkin bisa dalam
bentuk Frase, “memberikan apa yang sudah anda katakan bahwa kehidupan anda sebelum
anda menjadi guru mentor dan berdasarkan apa yang anda katakan mengenai pekerjaan anda
sekarang, bagaimana anda memahami mengajar dalam hidup anda? Apa manfaat yang berarti
untuk anda?” pertanyaan berikut bisa bertujuan untuk orientasi pada masa depan; contoh nya:


“seperti yang sudah anda ceritakan pada wawancara ini, kemana anda akan membawa diri
anda melanngkah ke masa depan?”
Memberi arti atau membuat makna yang dilihat oleh partsipan adalah bagaimana
faktor-faktor yang telah beriinteraksi dalam kehidupannya membawanya pada situasi ke masa
kini. Hal ini juga memerlukan pengalaman yang lengkap dari kehidupan mereka saat ini dan
di dalam konteks studi kita. Kombinasi eksplorasi masa lalu untuk mengklarifikasi kejadian
yang membawa partisipan pada masa sekarang, dan menjelaskan pengalaman rinci yang
konkrit, menciptakan kondisi untuk merefleksikan apa yang sudah mereka lakukan sekarang
dalam kehidupannya. Wawancara ketiga ini bisa produktif hanya jika dasarnya sudah muncul
di dua tahap wawancara sebelumnya.
Meskipun pada wawancara ketiga ini kita fokus pada pemahaman pengalaman
kehidupan para partisipan, melalui ketiga tahapan wawancara ini, partisipan telah membuat
sebuah makna. Proses menempatkan pengalaman dalam sebuah bahasa adalah sebuah prosesmenciptakan makna (Vygotski, 1987). Ketika kita meminta para partisipan untuk membangun
ulang pengalaman rinci mereka, mereka akan memilih kejadian dari masa lalu mereka yang
ada di dalamnya, mereka melakukan penanaman makna bagi diri mereka sendiri. Ketika kita
meminta mereka untuk menceritakan pengalaman mereka, mereka akan membentuk beberapa
aspek di dalamnya dengan membuat makna di awal, di tengah dan di akhir, baik dalam
wawancara pertama, kedua maupun ketiga. Namun di dalam wawancara ketiga, kami fokus
pada pertanyaan di dalam konteks dari dua wawancara sebelumnya dan membuat makna nya

menjadi pusat perhatian kami.
MEMATUHI STRUKTUR
Kami melihatnya sebagai sebuah yang penting untuk menempelkan stuktur ketiga
tahap wawancara ini. Setiap wawancara menyajikan satu tujuan baik untuk satu tahap
wawancara dan dua tahap wawancara lainnya. Kadang, pada tahap pertama wawancara,
partisipan akan menceritakan mengenai cerita yang menarik di dalam situasi pekerjaanya;
tapi itu merupakan fokus pada wawancara tahap kedua. Hal ini sangat menarik, karena
informasinya mungkin akan sangat menarik, untuk mengejar tujuan partisipan dan
mengabaikan struktur tahapan wawancara. Untuk melakukan hal itu, bagaimanapun juga,
bisa mengikis fokus pada setiap tahapan wawancara dan tujuan dari si pewawancara. Setiap
wawancara terdiri dari banyak keputusan yang harus dibuat oleh pewawancara. Pertanyaan
terbuka-tertutup. Penyelidikan mendalam adalah solusi terbaik dalam struktur ini yang
mengijinkan baik pewawancara dan partisipan untuk mempertahankan makna dari fokus
setiap tahapan wawancara.
Lebih jauh lagi, setiap wawancara menyiapkan sebuah dasar yang lengkap yang bisa
membantu menerangi di tahap selanjutnya. Mengambil keuntungan dari kemurnian interaktif
dan kumulatif dalam rangkaian wawancara memerlukan kelekatan pewawancara pada setiap
bagian tahapan wawancara. Ada sebuah logika dalam wawancara, kehilangan arah kendali
akan menghilangkan kekuatan logika dan keuntungannya. Sehingga, proses dalam
melaksanakan ketiga tahapan wawancara ini, para pewawancara harus saling menjaga

keseimbangan yang lembut antara penyediaan keterbukaan data yang cukup bagi partisipan
untuk menceritakan pengalamannya dan fokus yang cukup terhadap struktur wawancara

untuk bekerja sesuai tahapannya. (lihat McCraken, 1988, p-22, untuk diskusi lebih lanjut
mengenai keseimbangan yang lembut ini)

DURASI WAKTU WAWANCARA
Untuk menyelesaikan tujuan dari setiap tahapan wawancara, Dolbare and Schuman
(Schuman, 1982) menggunakan format 90 menit. Orang-orang mempelajari metode ini untuk
pertama kali dan kadang bereaksi, “Oh, waktu nya sangat lama. Bagaimana kami bisa
memenuhi waktu selama itu? Bagaimana kami bisa mendapatkan partisipan yang bisa
meluangkan waktu nya selama itu?”
Waktu satu jam merupakan unit waktu yang standar di mana partisipan tidak akan
“memperhatikan jam”. dua jam kelihatannya terlalu lama. Seiring dengan tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk memperoleh pembangunan/menceritakan ulang pengalaman dari
partisipan, menempatkannya di dalam konteks kehidupan mereka, dan merefleksikan makna
nya, semuanya bisa diperoleh lebih pendek dari 90 menit dari setiap wawancara.
Bagaimanapun juga tidak ada yang ajaib atau absolut mengenai kerangka waktu. Bagi
partisipan yang usianya muda, durasi waktu yang lebih pendek lebih tepat. Hal yang paling
penting adalah durasi waktu diputuskan sebelum wawancara dimulai.

Melakukan hal seperti itu akan menyatukan setiap tahapan wawancara; wawancara
memiliki setidaknya sebuah kronologis awal, tengah dan akhir. Pewawancara akan belajar
untuk mengasah ketrampilannya jika mereka bekerja dalam sebuah kerangka waktu yang
sudah ditentukan dan harus menyesuaikan dengan teknik wawancara nya. Lebih jauh lagi,
jika pewawancara memiliki perjanjian dengan sejumlah partisipan, mereka harus menjadwal
wawancara sehingga mereka bisa menyelesaikan satu partisipan dan lanjut ke partisipan
selanjutnya. Jika mereka memulai bekerja dengan sejumlah materi yang banyak dan
dimunculkan dari wawancara mendalam ini, mereka akan menghargai jika diberikan waktu
yang lebih lama lagi.
Para partisipan juga mempertaruhkan waktu mereka juga. Mereka harus tahu berapa
lama waktu yang diperlukan oleh pewawancara; mereka harus mengatur jadwal kehidupan
mereka. Lebih jauh lagi, waktu terbuka-tertutup bisa menumbuhkan kegelisahan yang tidak
pantas diperoleh oleh partisipan. Sebagian besar partisipan yang beekrja sama dengan kami
sangat menghargai 90 menit waktu wawancara yang kami berikan. Daripada waktu yang
lebih lama lagi, cukup lama bagi mereka untuk membuka mereka merasa mereka diperlukan
sangat serius oleh pewawancara.
Durasi 90 menit waktu digunakan sampai akhir wawancara merupakan waktu yang
sangat menarik dan harus dimanfaatkan, karena apa yang akan didiskusikan adalah poin-point
yang dianggap penting. Meskipun satu pengetahuan baru diperoleh dengan melanjutkan
wawancara diluar waktu yang ditentukan, pengalaman saya bahwa sebuah situasi yang

mengurangi satuan keuntungan didalamnya. Menambah waktu wawancara mengakibatkan
terbuka nya tujuan pewawancara dan kepercayaan partisipan bahwa pewawancara akan
melakukan apa yang sudah dia janjikan.
Kejadian yang terkait kadang-kadang melanjutkan permbicaraan partisipan setelah
wawancara di akhiri dan kaset rekaman dimatikan. Hal ini menarik untuk dilanjutkan karena

partisipan kelihatannya tiba-tiba ingin melanjutkan diskusi sebelum ini dicegah. Masalahnya
adalah setelah percakapan tidak lagi direkam/dicatat dan tidak secara normal ditulis dalam
format studi. (lihat Bab 5). Meskipun bahan yang didiskusikan sangat menarik, namun hal ini
sangat sulit untuk digunakan.

JARAK ANTAR WAWANCARA
Ketiga struktur wawancara ini akan berjalan dengan baik, berdasarkan pengalaman
saya, adalah ketika para peneliti memberi jarak pada setiap wawancara mulai dari 3 hari
sampai satu minggu. Hal ini untuk memberikan waktu kepada para partisipan untuk
mempertimbangkan wawancara sebelumnya namun tidak cukup waktu kehilangan koneksi
dengan wawancara tahap kedua. Sebagai tambahan, jarak waktu yang diperbolehkan bagi
para pewawancara bekerja dengan partisipan lebih dari 2-3 minggu. Perjalanan waktu ini
mengurangi pengaruh kemungkinan wawancara idiosyncratic. Yaitu, partisipan mungkin
akan mengalami kesulitan/hambatan seperti sakit, atau mungkin bisa terjadi gangguan yang

mempengaruhi kualitas wawancara
Fakta bahwa para pewawancara kembali berbicara 3 kali selama masing-masing 90
menit mempengaruhi perkembangan hubungan antara partisipan dan pewawancara secara
positif. Para pewawancara akan bertanya banyak pada partisipan; namun pewawancara akan
membalasnya dengan waktu dan usaha. Dengan kontak kunjungan, telpon dan surat untuk
mengkonfirmasi jadwal pertemuan (lihat bab 4), dan 3 tahapan wawancara, pewawancara
memiliki kesempatan untuk menciptakan hubungan yang substansial dengan partisipan
sepanjang waktu.

ALTERNATIF PADA STRUKUR DAN PROSES
Para peneliti akan memperoleh alasan untuk mengeksplorasi berbagai alternatif pada
struktur dan prosedur yang dijelaskan di atas. Selama struktur dijaga yang membiarkan
partisipan untuk membangun ulang dan merefleksikan pengalamannya di dalam konteks
kehidupan mereka, alterasi pada ketiga struktur wawancara dan durasi serta jangka waktu
wawancara bisa secara pasti dieksplorasi. Tapi sangat ekstrim untuk membelokan pola yang
bisa menghasilkan kerugian dalam struktur wawancara ini.
Tim penelitian kami telah mencoba berbagai ragam jarak, biasanya
diharuskan/disesuaikan dengan jadwal partisipan. Tujuannya, jika partisipasn melewatkan
wawancara karena ada hal yang tidak terduga, kami melakukan wawancara satu atau dua hari
di waktu sore yang sama daripada memberi jarak beberapa hari atau minggu. Ada satu
kejadian, satu orang partisipan mengatakan akan berangkat untuk liburan musim panas,
sehari setelah kami menghubungi mereka. Kami melakukan wawancara satu, dua dan tiga
dengan partisipan tersebut dalam waktu yang sama dengan hasil yang bisa pertimbamgkan.
Sesungguhnya tidak ada istilah absolut dalam dunia wawancara. Secara relatif
penelitian kecil telah selesai dilaksanakan memberikan pengaruh dengan mengikuti satu

prosedur terhadap prosedur lainnya.; banyak dokumen penelitian telah menyusun wawancara
dengan respon stimulus-kerangka referensi, yang tidak cukup untuk prosedur wawancara
mendalam (Brenner, Brown, & Canter, 1985; Hyman, Cobb, Fiedman, Hart & Stember, 1954;
Kahn & Cannel, 1960; Mishler, 1986; Richardson dkk, 1965). Prinsip memerintah dalam
merancang proyek wawancara harus di arahkan pada kerja keras dengan sebuah proses
rasional yang kedua nya mampu diulang dan didokumentasikan. Ingatlah bahwa ini bukanlah
dunia yang sempurna. Ini hampir selalu menjadi jalan yang lebih baik untuk melaksanakan
sebuah wawancara yang dibawah rata-rata ideal daripada kondisi ideal dan tidak
melaksanakan sama sekali.

BERMAKNA UNTUK SIAPA? VALIDITAS DAN REALIBILITAS
Bermakna untuk siapakah sebuah wawancara yang memberikan keyakinan dan bahwa
sebuah laporan peneliti dalam sebuah presentasi, artikel atau buku? Ini bukanlah sebuah
pertanyaan yang mudah. Setiap aspek struktur, proses dan praktek wawancara bisa diarahkan
pada tujuan meminimalisir pengaruh pewawancara dan situasi wawancara membawa
partisipan membangun ulang pengalamannya. Tidak masalah bagaimana kami bekerja pada
pengaruh itu, bagaimanapun juga, fakta nya adalah bahwa pewawancara merupakan sebuah
bagian dari gambaran wawancara. Mereka menanyakan pertanyaan, merespon pada
partisipan, dan pada satu waktu bahkan mereka berbagi pengalaman mereka sendiri. Lebih
jauh lagi, pewawancara bekerja dengan berbagai bahan materi, memilahnya,
menginterprestasikan, menjelaskan dan menganalilsanya. Meskipun mereka disiplin dan
mendedikasikan untuk menjaga wawancara sebagai sebuah proses membuat-makna
partisipan, pewawancara juga merupakan satu bagian dari proses (Ferraotti, 1981; Kvale,
1996; Mishler, 1986).
Interaksi antara data yang disatukan dan partisipan terlibat secara alami dalam proses
wawancara. Sudah menjadi sifatnya, dalam pendekatan kualitatif seperti observasi partisipan.
Dan saya percaya bahwa hal ini sudah menjadi sifat melekat dalam sebuah eksperimen dan
metodologi kuasi-eksperimen yang diterapkan pada manusia, meskipun banyak sekali
penilaian yang dikembangkan untuk mengontrol nya. (Campbell & Stanley, 1963).
Satu perbedaan besar, bagaimanapun juga, antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif
adalah bahwa dalam wawancara mendalam, kami mengenali dan menegaskan peran dari
instrumen, manusia sebagai pewawancara nya. Daripada menentang fakta bahwa intrumen
digunakan untuk memperoleh data yang mempengaruhi proses ini, kami mengatakan bahwa
manusia sebagai pewawancara bisa lebih pintar, mudah beradaptasi, intrumen fleksibel yang
bisa merespon pada situasi dengan kemampuan, taktik dan pemahaman (Lincoln & Guba,
1985, p.107).
Meskipun pewawancara bisa berusaha untuk memiliki makna yang dibuat selama
wawancara sebanyak mungkin seperti fungsi rekosntruksi partisipan dan refleksi,
pewawancara tidak mengetahui makna nya, untuk hal-hal tertentu yang disetujui, fungsi nya
adalah interaksi antara partisipan dengan pewawancara. Hanya dengan mengenali bahwa
interaksi dan penegasannya memungkinkan para pewawancara menggunakan ketrampilannya

(lihat bab 6) untuk mengurangi distorsi (lihat Patton, 1989, p.187) yang bisa muncul karena
peran mereka dalam wawancara.
Apakah ini bermakna bagi siapa saja?
Bagaimana kita tahu bahwa partisipan menceritakan pengalamannya dengan benar
kepada kita? Dan jika ini benar bagi partisipan, apakah juga dibenarkan untuk orang lain?
Dan jika orang lain yang melakukan wawancara di waktu yang berbeda, akankan partisipan
membangun ulang pengalamannya secara berbeda? Atau jika kita mengambil partisipan yang
berbeda dalam melakukan wawancara, akankah kita mendapatkan perbedaan sama sekali dan
bahkan kontrakdiksi makna dalam permasalahan yang sama? Inilah beberapa pertanyaan
yang mendasari permasalahan validitas, realibilitas dan generalisasi yang ada di hadapan para
peneliti.
Banyak peneliti kualitatif tidak setuju dengan epistomologi asumsi yang mendasari
catatan validitas. Mereka berargumen pada sebuah kosakata dan retorika baru yang
mendiskusikan mengenai validitas dan realibilitas (Mishler, 1986, pp. 108-110). Lincoln dan
Guba (1985), contohnya, menggantikan dugaan “layak dipercaya” untuk validitas. Dalam
penjelasan yang seksama mereka berargumen bahwa peneliti kualitatif harus
menginformasikan apa yang mereka lakukan dengan konsep “kredibilitas”,
“transferability/kemampuan memindahkan”, “dapat dipertanggungjawabkan” dan “dapat
dikonfirmasikan” (pp. 289-332)
Kritik lainnya adalah mengenai ide objektifitas yang mendasari dugaan realibilitas
dan validitas. Kvale (1996) melihat bahwa issu validitas sebagai sebuah pertamyaan “kualitas
ketrampilan tangan/quality craftmanship’ dari para peneliti yang membuat mereka menyusun
hak mempertahakan pengetahuan (pp. 241-244) ferrarotti (1981) berargumen bahwa
pengetahuan yang sangat dalam bisa diperoleh hanya dari intersubjektifitas diantara para
peneliti dan apa yang mereka teliti. Seperti diskusi yang disarankan apakah kosa kata
“validitas” ataupun “dapat dipertanggungjawabkan” adalah sama.
Masih dalam hal tersebut, peawanacara mendalam bisa merespon pertanyaan, “apakah
komentar partisipan valid?” ketiga struktur wawancara menggabungkan beberapa fitur yang
mempertinggi kelengkapan validitas. Hal ini menempatkan komentar partisipan di dalam
konteks. Hal ini mendorong partisipan wawancara lebih dari 1-3 minggu untuk menghitung
waktu idiosyncartic dan untuk mengecek konsistensi internal mengenai apa yang mereka
katakan. Lebih jauh lagi, dengan mewawancara sejumlah partisipan, kita bisa
menghubungkan pengalaman mereka dan mengecek komentar partisipan satu dengan yang
lainnya. Akhirnya, tujuan dari proses untuk memahami bagaimana partisipan kita mengerti
dan membuat makna atas pengalaman mereka sendiri. Jika struktur wawancara mereka
bekerja untuk membiarkan mereka membuat makna untuk diri mereka sendiri sama hal nya
seperti pewawamcaranya, maka hal itu akan jauh dari validitas.

Sebuah Contoh Pendekatan Pada Validitas
Salah seorang partisipan kami di Secondary Teacher Educaton Program adalah
seorang perempuan yang telah mengajar di sekolah agama selama beberapa tahun namun
belum bersertifikasi. Dia telah mendaftar di dalam program kami untuk mendapatkan
sertifikat untuk level SMA pada bidang studi sosial. Dia setuju untuk dilakukan wawancara
mengenai pengalamannya di program pendidikan guru klinik.
Pewawancara memulai wawancara ketiga nya dengan pertanyaan dasar:
“apa makna nya bagi anda untuk menjadi seorang guru?” dia kemudian merespon:
Hmm saya kira... (tersenyum) – ini seperti – makna sangat baik jika saya mencoba
dan praktek langsung – saya kira itu makna nya – ini merupakan perjalanan terakhir
dalam membuat komitmen ini, profesi ini, untuk mengajar sebagai sebuah profesi.
Apa yang akan saya lakukan dalam hidup saya karena saya memiliki semuanya –
selama ini, naik turun dan keluar masuk mengajar. Haruskah saya atau tidak? Saya
sudah mentok dalam ruangan itu dimana orang berkata, kamu tahu, “ oh, mereka yang
tidak bisa mengajar. Mereka yang tidak bisa mengerjakan apa-apa” hanya status
negatif yang dimiliki dalam mengajar dan pendidikan. Maka, hal ini penuh dengan
bahaya. Dan sangat menentang kenyataan bahwa saya telah mengajar banyak siswa.
Maksud saya, saya bisa mengingat bahwa berpegang pada pendirian saya, apa, 10
tahun yang lalu, memikirkan, “ oh tidak, saya harus menjadi seorang guru suatu saat
nanti”, dan mengingat apa yang guru siswa sukai di SMA, dan berpikir, “oh saya tidak
akan mempermalukan diri saya sendiri dengan cara seperti itu” (tersenyum) dan saya
kira ini adalah akhir tujuan ..membuat sebuah komitmen.
Apakah dia mengatakan valid? Pada wawancara pertama dia menceritakan kembali
bagaimana dia keluar dari kampus dan mengajar di SD di sekolah agama karena dia
membutuhkan biaya hidup. Dalam wawancara tersebut dia juga berbicara mengenai
bagaimana dia keluar dari kurssus pendidikan karena dia merasa tidak memberikan apa-apa
kepada tempat kursusnya; bagaimana dia bisa beralih pada bidang akademis, namun
kemudian dia menyadari bahwa dia memang menyukai bidang mengajar.
Bahan materi di wawancara ketiga konsisten dengan bahan materi di wawancara
pertama yang diberikan dua minggu sebelumnya. Konsistensi internal selama periode ini
membuktikan bahwa dia memang tidak berbohong kepada pewawancara. Cukup dari sisi
sintaksis, pengelompokkan kata, ekspresi diri, yang menbuat pembaca percaya bahwa dia
memegang keseriusan untuk menjawab pertanyaan apa makna menjadi seorang guru dan apa
yang dia katakan itu adalah benar bagi dirinya sendiri dan pada saat dia mengatakannya.
Pada saat membaca skripnya, kita melihat bahwa pewawancara tidak mengatakan satu
kata pun, tidak menyela nya, tidak mencoba mengarahkan pola pikir partisipan. Ketika saya
membaca tulisan ini, saya mempelajari sesuatu baik mengenai siswa ini dan mengenai aspek
pengalaman mengajar-siswa yang tidak begitu terlihat bagi saya. Saya mulai memikirkan
aspek proses yang diminta sebelum ke pengajaran siswa yang mempetinggi kebutuhan siswa
untuk membuat komitmen dan mengenai berbagai aspek program kami yang menurunkan

tingkat kebutuhan. Saya mulai bertanya kondisi apa yang mendorong seseorang untuk
membuat sebuah komitmen.
Akhirnya, apa yang dikatakan oleh partisipan mengenai status pendidikan sebagai
sebuah karir dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan keputusan pribadinya adalah
sangat konsisten dengan apa yang kita tahu mengenai literatur yang mengatakan profesi guru
dan dengan apa yang dikatakan oleh partisipan kami dalam studi ini. Saya bisa
menghubungkan perjalanan individu ini dengan sebuah sumber permasalahan.
Wawancara ini membawa saya untuk menjadi lebih dekat lagi pada pemahaman
bahwa pengalaman mengajar dengan apa yang sudah saya lakukan melalui metode lainnya
seperti questionnaire dan observasi. Saya tidak bisa mengatakan bahwa pemahaman dia
mengenai mengajar sebagai sebuah komitmen adalah valid untuk yang lainnya, meskipun
perjalanan dengan wawancara lainnya berkaitan dengan apa yang dia katakan. Saya bisa
mengatakan bahwa hal ini valid bagi diri dia sendiri dalam hal ini.
Struktur 3 tahapan wawancara, perjalanan waktu yang muncul melebihi proses
wawancara, konsistensi internal dan kemungkinan konsistensi eksternal, sintaksis dan
pemilihan kata, dan bahkan aspek nonverbal, dan penemuan dan makna pembelajaran yang
saya peroleh dari membaca perjalan ini membawa saya pada kepercayaan diri atas
keasliannya. Karena kami peduli pada partisipan yang memahami pengalamannya,
keasliannya atas apa yang dia katakan membuatnya menjadi sebuah alasan bagi saya untuk
mempercayainya sebagai sebuah validitas bagi dirinya sendiri.
Menghindari Respon Mekanistik
Ada sebuah ruangan di dunia ini pada berbagai pendekatan untuk validitas.
Masalahanya bukan pada keberagamannya. Namun lebih pada cara doktrinasi beberapa
penyokong dari beragama pendekatan yang mempolarisasi permasalahan. (lihat Gage, 1989).
Mereka yang menyokong pendekatan kualitatif berada dalam bahaya menjadi seorang
doktrinasi kepada mereka yang menerapkan penelitian pendidikan monoploi dan menyokong
pendekatan kualitatif.
Pada sebuah pertemuan, saya melihat sebuah Disertasi calon Doktor sebagai
mechanical mengenai menciptakan “audit trail” atau menemukan metode “triangulasi”
(Lincoln & Guba, 1985, p. 283) di generasi saya yang secara penuh dikerjakan prosedur
untuk menghadapi “kekurangan/kerusakan instrumen” dan “Kematian Eksperimen”
(Campbell & Stanley, 1963, pp. 79, 182). Apa yang diperlukan bukanlah pendekatan
formulatik untuk memperkuat validitas lainnya atau bisa dpertanggungjawabkan namin
memahaminya dan menghargai permasalahan yang mendasari istilah tersebut. Kita harus
memegang mereka, melakukan yang terbaik untuk meningkatkan cara kita mengetahui dan
menghindari penolakan, menyadari bahwa usaha kami lebih kecil dari skala yang lebih besar.
(untuk sebuah pendekatan “yang umum dan masuk akal” pada validitas, lihat Maxwell, 1996.
Untuk sebuah pendekatan “craftmanship” pada validitas, lihat Kvale, 1996. Untuk melihat
pandangan validitas tinggi, lihat Wolcott, 1994).

PROSES PENGALAMAN DIRI ANDA SENDIRI
Sebelum para pembaca membahas lebih banyak mengenai pendekatan pada
wawancara, saya merekomendasikan mereka menguji terlebih dahulu minatnya dan
mengeksplorasi beberapa permasalahan dengan melakukan sebuah proyek praktis. Buat tim
dalam kelompok, lalu lakukan wawancara satu sama lain mengenai pengalaman pekerjaan di
masa sekarang atau sebagai seorang siswa yang baru lulus.
Gunakan struktur 3 tahapan wawancara. Karena praktek ini akan diperkenalkan
dengan sebuah teknik, lebih pendek, jika anda memilih untuk melakukannya, waktu biasanya
dialokasikan untuk setiap tahapan wawancara adalah 90 menit sampai 30 menit. Pada
wawancara pertama, tanyakan kepada teman anda bagaimana dia bisa masuk ke dalam
pekerjaan ini atau dia bisa lulus dari sekolah ini. Cari tahu sebanyak mungkin mengenai
konteks kehidupan dia sampai membawa nya pada posisi sekarang ini atau pada status
kelulusannya.
Pada wawancara kedua, tanya partisipan anda untuk menceritakan kepada anda
sebanyak mungkin mengenai detil pengalaman pekerjaannya atau pekerjaan setelah tamat
sekolah. Tanyakan, “Apa tugas pekerjaan anda? Apa yang anda sukai dari pekerjaan anda?
Pada wawancara ketiga, tanyakan kepada partisipan anda apa makna penglaman
bekerja atau makna setelah lulus sekolah. Anda bisa mengatakan, “sekarang apa yang harus
anda ceritakan adalah mengenai bagaimana anda bisa dapat pekerjaan disini (atau menjadi
siswa yang lulus dari sekolah), dan apa yang anda sukai dalam pekerjaan, apa makna nya
bagi anda?”
Atur pertemuan bagi setiap tahapan wawancara, rekam ucapan mereka dan pastikan
untuk mengatur jadwal wawancara. Poin dari praktek wawancara ini adalah mendapatkan
penglaman mewawancara dan menjadi yang diwawancara serta untuk melihat apakah anda
terhubung pada kemungkinan setiap prosesnya. Proyek praktek ini bisa memberikan tanda
kepada anda tentang bagaimana anda sebagai seorang individu bisa mempengaruhi. Anda
bisa mencatat kesulitan anda sehingga anda bisa diam dan membiarkan orang lain bicara dan
dalam waktu bersamaan anda menjadi pendengar yang baik. Anda bisa menjadi seorang yang
peduli terhadap setiap permasalahan dan selalu fokusi serta mengontrolnya. Anda bisa
mencari tahu bahwa anda memiliki tingkat kesabaran yang kecil untuk sebuah
keinginan/minat terhadap cerita kehidupan orang lalin; atau anda bisa berhubungan dengan
kemungkinan tersebut.