Pemaknaan Lirik Lagu Jablay (Analisis Semiotika Pemaknaan Lirik Lagu “Jablay” Yang Dipopulerkan Oleh Titi Kamal)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Perspektf/ Paradigma Kajian
Pada saat menentukan dasar teori yang akan digunakan, maka penulis perlu
menggunakan paradigma atau perspektif. Paradigma dapat diartikan sebagai
kumpulan longgar tentang asumsi-asumsi yang dianut, konsep yang mengarahkan
cara berpikir, dan cara penelitian (Kaelan, 2005: 27).
Pada bidang keilmuan, perspektif akan mempengaruhi definisi, model atau
teori yang pada gilirannya akan mempengaruhi cara kita melakukan penelitian.
Perspektif tersebut menjelaskan asumsi-asumsinya yang spesifik mengenai
bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan.
Perspektif menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian
dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena, yang
kelak disebut dengan teori (Mulyana, 2004: 17).
Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif) (Vardiansyah, 2008: 27). Sebagaimana
dikatakan Patton (dalam Mulyana, 2004: 9), paradigma tertanam kuat dalam
sosialisasi para penganut dan praktisinya: paradigma menunjukkan pada mereka
apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif,

menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan
pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.
Konstruktivisme muncul setelah para ilmuwan menolak tiga prinsip dasar
positivisme: (a) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas yang terukur, (b)
hubungan subjek peneliti dengan objek penelitian harus terpisahkan secara tegas
guna mengejar objektivitas, (c) hasil temuan harus merupakan generalisasi yang
universal, berlaku kapanpun dan di manapun (Vardiansyah, 2008: 59).
Pandangan konstruktivis memandang, bahasa tidak lagi hanya dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek
sebagai penyampai pesan. Konstruktivis menganggap subjek sebagai faktor

xx
Universitas Sumatera Utara

sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek
memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu
dalam setiap wacana (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 151).
Sejak awal, konstruktivisme bukan merupakan relativisme epistemik.
Mereka menyatakan fakta telah dikonstruksi secara sosial melalui pemikiran para

anti-relativis yang mengatakan bahwa bisa saja seseorang mempunyai ide-ide
yang sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah tentang suatu fakta (Kukla, 2003:
8). Suatu fakta yang terjadi bisa saja diasumsikan oleh masing-masing individu
tanpa harus mengetahui fakta tersebut salah atau benar.
Kaum konstruktivis menganggap bahwa tidak ada makna yang mandiri,
tidak ada deskripsi yang murni objektif (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 152).
Pembentukan makna dapat dipengaruhi oleh hal-hal diluar pengertian objektf,
atau dengan kata lain pembetukan makna dapat bersifat subjektif. Realitas bagi
konstruktivis tidak pernah terpisah dari pengamat. Pengamat yang berhak menilai
seperti apa realitas tersebut, sehingga kebenaran yang didapat dapat berbeda pada
masing-masing individu. Kebenaran dalam pemikiran ini dipandang dalam
kerangka kemampuan beroperasinya suatu konsep atau pengetahuan. Artinya
sebuah pengetahuan dipandang benar apabila pengetahuan itu dapat digunakan
untuk menghadapi berbagai fenomena atau persoalan yang terkait dengan
pengetahuan tersebut (Suparno, 1997: 21).
Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh
seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan
oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran
Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku
alam karena manusia bertindak sebagai agen yang mengonstruksi dalam realitas

sosial mereka, baik melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku di
kalangan mereka sendiri (Suparno, 1997: 25).
Paradigma konstruktivis menurut Dedy N Hidayat (Wibowo, 2011: 28)
dapat dijelaskan melalui empat dimensi, yaitu:
1. Ontologis: relativism
Realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas
bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan
oleh pelaku sosial.
2. Epistimologis: transactionalist/subjectivist
xxi
Universitas Sumatera Utara

Pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian
merupakan hasil dari interaksi antara si peneliti dengan apa yang ia
teliti.
3. Axiologis
Axiologis adalah nilai, etika, dan pilihan moral yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti dianggap sebagai
passionate participant, yaitu fasilitator yang menjembatani keragaman
subjektivitas pelaku sosial. Tujuan dalam penelitian ini lebih berfokus

pada pembentukan realitas sosial antara peneliti dengan pelaku sosial
yang akan diteliti.
4. Metodologis
Metodologis menekankan pada empati dan interaksi dialektis antara
peneliti dengan responden untuk membentuk realitas yang akan diteliti
melalui metode kualitatif seperti participant observation. Kriteria
kualitas penelitian harus otentik dan reflectivity: sejauh mana temuan
merupakan cerminan otentik dari realitas yang diketahui oleh para
pelaku sosial.
Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori
yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn
(Wibowo, 2011: 28) mengatakan bahwa teori-teori aliran ini berlandaskan pada
ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui
proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.
Kajian paradigma konstruktivis menempatkan posisi peneliti setara dan
sebisa mungkin masuk dengan obyeknya, dan berusaha memahami dan
mengkonstruksi sesuatu yang menjadi pemahaman si subjek terhadap objek yang
akan diteliti. Jadi, tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan
dan independen dari subjek yang memahaminya.
2.2.


Kajian Pustaka

2.2.1. Komunikasi
Komunikasi (communication) adalah proses sosial dimana individuindividu

menggunakan

simbol-simbol

untuk

menciptakan

dan

menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West,Turner 2008:5).
Terdapat lima istilah kunci dalam pengertian tersebut: sosial, proses, simbol,
makna dan lingkungan. Adapun makna dari istilah-istilah tersebut antara lain.
Sosial (social) adalah suatu konsep bahwa manusia dan interaksi adalah bagian

dari proses komunikasi. Proses (process) berarti suatu kejadian yang
berkesinambungan, dinamis dan tidak memiliki akhir. Simbol (symbol) adalah

xxii
Universitas Sumatera Utara

tanda yang menunjukkan hubungan alamiah, antara penanda dan petandanya.
Hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer atau semena-mena, hubungan yang
berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Makna adalah yang diambil orang
dari suatu pesan. Sedangkan lingkungan adalah situasi atau konteks dimana
komunikasi terjadi.

2.2.2. Komunikasi Massa
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang
menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik
(radio dan televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang
dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di
banyak tempat, anonim dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum,
disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik)
(Mulyana, 2004: 75).

Komunikasi massa menurut Gerbner (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 3)
adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus
pesan yang kontinyu serta paling luas yang dimiliki orang-orang dalam
masyarakat industri. Dari definisi Gerbner menggambarkan bahwa komunikasi
massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Proses
memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus di
produksi oleh suatu lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu,
sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa itu
harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan
kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar yang dilakukan di tempat yang
luas, ataupun kampanye di lapangan yang di hadiri oleh puluhan ribu orang
sekalipun jika tidak menggunakan media massa, maka itu tidak bisa disebut
sebagai komunikasi massa.
Komunikasi massa memiliki beberapa karakteristik (Ardianto dan Erdinaya,
2004: 7), yaitu:
1.

Komunikator terlembagakan
Dalam komunikasi massa, komunikator disini bukan hanya melibatkan

satu indvidu ke satu individu saja, melainkan juga ke individu-individu

xxiii
Universitas Sumatera Utara

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

lain yang terlibat di dalamnya. Karena komunikasi massa merupakan suatu

lembaga/ organisasi yang melibatkan banyak orang di dalamnya.
Pesan bersifat umum
Maksudnya adalah dalam komunikasi massa, pesannya tidak hanya di
tujukan secara khusus ke satu atau beberapa individu saja. Karena
komunikasi massa melibatkan orang banyak dan bersifat terbuka maka
pesan yang ingin disampaikan pun harus bersifat khusus.
Komunikannya anonim dan heterogen
Karena sifatnya yang terbuka, maka komunikan dalam komunikasi massa
bersifat anonim dan heterogen. Komunikator dan komunikan tidak saling
mengenal satu sama lain karena cakupannya yang luas dan tersebar
diberbagai wilayah serta terdiri dari berbagai macam latar belakang yang
berbeda.
Media massa menimbulkan keserampakkan
Menimbulkan keserampakkan maksudnya adalah komunikan dapat
menerima pesan secara bersamaan meskipun berada di tempat yang
terpisah-pisah melaui media massa pada waktu yang bersamaan. Pesan
dalam satu media massa biasanya juga ada kesamaan dengan pesan yang
ada pada media massa yang lain.
Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan
Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsur hubungan sekaligus,

tetapi komunikasi massa lebih mengutamakan unsur isinya. Pesan harus
disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan
dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.
Komunikasi massa bersifat satu arah
Maksudnya adalah karena komunikasi massa menggunakan media massa,
sehingga tidak menciptakan keterlibatan secara langsung ataupun tatap
muka antara si komunikator maupun komunikan seperti yang terjadi pada
komunikasi antarpribadi. Komunikator aktif menyampaikan pesan dan
komunikanpun aktif menerima pesan.
Stimulasi alat indra “terbatas”
Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media
massa. Misalnya saja pada radio, khalayak hanya bisa mendengarkan suara
mereka saja, sedangkan jika menggunakan media cetak, komunikan hanya
bisa menerima pesan melalui indra penglihatannya saja.
Umpan balik tertunda (Delayed)
Karena jarak yang terpisah antara komunikator dan komunikan, maka
feedback yang akan di terima jadi tertunda. Dalam komunikasi massa
komunikator tidak bisa langsung menerima feedback dari komunikan
seperti yang terjadi pada komunikasi antarpribadi.
Komunikasi


penerimanya.

massa

Schramm

diharapkan

dalam

dapat

bukunya

memberikan

efek

kepada

“How Communication

Works”

menggolongkan efek komunikasi masa ke dalam efek yang bersifat khusus dan
efek-efek yang bersifat umum seperti yang dijelaskan dibawah ini (Wiryanto,
2000: 15):
xxiv
Universitas Sumatera Utara

1. Efek umum
Efek umum menyangkut efek yang paling mendasar yang diharapkan
dapat terjadi akibat pesan-pesan yang disiarkan melalui media massa.
Schramm mengemukakan, komunikasi massa mempunyai efek yang
“mengembang”. Sebab dalam banyak hal, komunikasi massa telah
mengambil alih fungsi komunikasi sosial. Secara umum atau luas,
komunikasi melalui media massa telah menciptakan suatu jaringan
pengertian, yang tanpa itu tidak mungkin tercipta masyarakat yang besar
dan modern. Komunikasi massa mempunyai pengaruh yang besar terhadap
modernisasi. Efek modernisasi merupakan efek dasar yang terjadi dari hari
ke hari secara terus menerus. Efek ini tidak bisa dirasakan secara langsung
melalui panca indera, tetapi khalayak bisa merasakan perubahan yang
terjadi. Media massa semakin lama akan menimbulkan perubahanperubahan yang signifikasi pada masyarakat,
2. Efek khusus
Efek khusus yang dimaksud disini terutama menyangkut suatu ramalan
tentang efek yang diperkirakan akan timbul pada individu-individu dalam
suatu mass audience pada perilaku mereka dalam menerima pesan-pesan
media massa. Schramm menyatakan “kita tidak dapat meramalkan efek
pada perorangan”. Lembaga komunikasi memang mengembangkan
encoding secara kelompok, tetapi setelah dikomunikasikan yang terjadi
adalah decoding secara perorangan. Pengetahuan tentang efek komunikasi
massa menurut Schramm berkisar pada interaksi antara pesan, situasi,
kepribadian dan kelompok.
Komunikasi massa menurut Dominick (dalam Ardianto dan Erdinaya,
2004: 15) memiliki beberapa fungsi bagi masyarakat, seperti:
1. Fungsi Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan dalam komuniksi massa dibagi dalam dua bentuk
utama, yaitu: (1) Warning or beware surveillance (pengawasan
peringatan; (2) Instrumental surveillance (pengawasan instrumental).
Fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa
menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya
gunung berapi, kondisi yang memprihatinkan, tayangan inflasi atau
adanya serangan militer.Sebuah media massa, baik cetak maupun
elektronik akan menampilkan berita yang isinya mengenai peringatanperingatan yang diharapkan agar masyarakat dapat waspada pada
bahaya yang akan mengancam.
Sedangkan fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau
penyebaran informasi yang memiiki kegunaan atau dapat membantu
khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Media massa akan
menginformasikan berita seputar produk-produk baru, mode, resep
masakan, dan lain sebagainya.
2. Fungsi Interpretation (Penafsiran)
Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media
massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan
xxv
Universitas Sumatera Utara

penafsiran mengenai kejadian-kejadian penting. Misalnya, pada rubrik
tajuk rencana (editorial) surat kabar. Penafsiran ini berbentuk
komentar dan opini yang ditujukan kepada khalayak pembaca, serta
dilengkapi perspektif (sudut pandang) terhadap berita yang disajikan
pada halaman lainnya. Tujuan media menyajikan penafsiran ini untuk
mengajak para konsumen media memperluas wawasan dan
membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antarpersona atau
komunikasi kelompok.
3. Fungsi Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam,
sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan
minat yang sama tentang sesuatu. Misalnya dalam program pencarian
bakat yang marak diadakan di televisi. Masing-masing peserta
memiliki penggemar yang mulanya tidak saling mengenal tapi lama
kelamaan akan menjadi suatu hubungan yang sangat erat antara
individu-individu yang memiliki kesamaan idola tersebut.
4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai)
Fungsi penyebaran nilai ini tidak tampak secara langsung. Fungsi ini
juga disebut sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada cara dimana
individu mengadopsi perilaku dan nilai dalam kelompok. Media massa
memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa
yang diharapkan mereka. Dengan kata lain, media mewakili kita
dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk menirunya.
Misalnya, remaja meniru perilaku berpacaran dari menonton film
ataupun sinema yang mengisahkan tentang romantisme orang
berpacaran.
5. Fungsi Entertainment (Hiburan)
Pada kenyataannya hampir semua media massa menjalankan fungsi
hiburan. Seperti televisi dan radio yang mengutamakan sajian hiburan,
hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap harinya merupakan
tayangan hiburan. Melalui berbagai macam program acara yang
ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang
dikehendakinya.
Seperti yang telah disebutkan diatas, entertainment (hiburan) termasuk
kedalam fungsi media massa. Dalam hal ini, musik dapat dimasukkan dalam suatu
bentuk komunikasi massa karena memiliki beberapa unsur, karakteristik dan
fungsi yang sama dengan komunikasi massa. Fungsi musik disini adalah untuk
menghibur para pendengar maupun penikmat musik dengan suaranya maupun
dengan video klip nya.
Musik, dalam hal ini lirik lagu pada dasarnya adalah pesan yang nantinya
akan disampaikan pada khalayak melalui media tertentu seperti televisi atau radio
untuk menyebarkan informasi dan memberi kesenangan atau hiburan, bahkan
mengkonstruksi pikiran khalayak. Musik merupakan salah satu bentuk
xxvi
Universitas Sumatera Utara

komunikasi massa, karakter keduanya ada kesamaan, yaitu pesannya bersifat
linier dimana

hubungan komunikasinya searah dari komunikator pada

komunikannya, dalam hal ini penyanyi dianggap sebagai komunikator yang
menyampaikan pesan secara searah pada pendengarnya (komunikan).

2.2.3. Komunikasi Verbal
Verbal adalah pernyataan lisan antarmanusia lewat kata-kata dan simbol
umum yang sudah disepakati antar individu, kelompok, bangsa dan negara. Jadi,
komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan
dan sadar yang dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain
(Fajar, 2009: 110).
Dasar dalam komunikasi verbal adalah interaksi antar manusia.
Komunikasi verbal menjadi salah satu cara bagi manusia untuk berkomunikasi
secara lisan atau bertatapan langsung dengan manusia lain, sebagai sarana utama
untuk menyatukan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal
menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual
manusia. Komponen-komponen dalam komunikasi verbal adalah suara, kata-kata,
berbicara dan bahasa ( Fajar, 2009: 110).

2.2.3.1. Bahasa dan Lirik Lagu
Sebagian besar manusia di dunia menghabiskan waktunya dengan bahasa.
Semua pekerjaan yang dilakukan pasti melibatkan penggunaan bahasa di
dalamnya. Itu sebabnya Ariel Heryanto (dalam Sobur, 2004: 272) mengibaratkan,
selain tidur dan mengunyah makanan, hidup ini tak lepas dari bahasa. Bahkan
dalam tidurpun ada orang yang berbicara, misalnya saja bermimpi sedang
berbincang dengan orang lain. Maka dari itu bahasa bisa dikategorikan sebagai
alat penggerak di berbagai aspek.
Pada wacana linguistik bahasa menurut Wibowo dapat diartikan sebagai
simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat
arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh
sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Sobur, 2004: 274).
Secara arti luas, bahasa dapat ditafsirkan sebagai suatu penukaran (komunikasi)

xxvii
Universitas Sumatera Utara

tanda-tanda (dan ini berlaku baik bagi bahasa menurut arti sempit: bahasa katakata, maupun mengenai semua tanda lainnya). Ilmu yang mempelajari komunikasi
lewat tanda-tanda itulah yang disebut semiotika (Sobur, 2004: 276). Jadi, bahasa
merupakan suatu tanda atau simbol yang dapat menghasilkan makna dalam
bentuk kata-kata atau ucapan.
Ada dua cara untuk mendefinisikan bahasa menurut Rahmat (Sobur, 2004:
276), yaitu bahasa fungsional dan formal. Definisi fungsional melihat bahasa dari
segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama
untuk mengungkapkan gagasan. Sedangkan definisi formal menyatakan bahasa
sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan
tata bahasa.
Fungsi bahasa adalah untuk berkomunikasi. Manusia menggunakan bahasa
untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Hal tersebutlah yang dapat
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya yang ada di dunia. Maka
dari itu, fungsi utama bahasa bagi manusia adalah fungsi komunikatif. Sejumlah
ahli bahasa telah menaruh perhatian besar terhadap fungsi bahasa ini. Halliday
(dalam Sobur, 2004: 301) menjelaskan ada tujuh fungsi bahasa, yaitu.
1. Fungsi instrumental
Yaitu untuk melayani pengelolaan lingkungan atau menyebabkan
peristiwa-peristiwa tertentu terjadi.
2. Fungsi regulasi
Yaitu bahasa bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan dan
mengatur orang lain dalam berbagai peristiwa.
3. Fungsi pemerian
Yaitu bahasa digunakan untuk membuat pernyataan-pernyataan,
menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan
sesuatu. Dengan kata lain, bahasa digunakan untuk realitas yang
sebenarnya, seperti yang dilihat oleh seseorang.
4. Fungsi interaksi
Yaitu bertugas untuk menjamin kelangsungan komunikasi dan interaksi
sosial. Keberhasilan komunikasi interaksi ini menuntut pengetahuan
secukupnya mengenai logat (slang), logat khusus (jargon), lelucon, cerita
rakyat, adat istiadat dan budaya setempat, tata krama dalam pergaulan, dan
sebagainya.
5. Fungsi personal
Untuk memberi kesempatan pada seorang komunikator untuk
mengekspresikan perasaan, emosi pribadi, serta reaksi-reaksinya yang
mendalam. Kepribadian seseorang biasanya diamati dengan penggunaan
fungssi personal bahasanya dalam berkomunikasi dengan orang lain.

xxviii
Universitas Sumatera Utara

Kesadaran, perasaan, dan budaya turut sama-sama berinteraksi dengan
cara yang beraneka ragam.
6. Fungsi heuristik
Fungsi ini melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan mempelajari seluk-beluk lingkungan. Fungsi heuristik ini
seringkali disampaikan dalam bentuk-bentuk pertanyaan yang menuntut
jawaban. Secara khusus, anak-anak memanfaatkan penggunaan fungsi
heuristik ini dalam bentuk pertanyaan “mengapa?” yang tidak putusputusnya mengenai dunia sekeliling alam sekitar mereka. Penyelidikan,
rasa ingin tahu, merupakan suatu metode heuristik untuk memperoleh
jawaban mengenai suatu kebenaran dari orang lain.
7. Fungsi imajinatif
Dalam fungsi ini, bahasa melayani penciptaan sistem-sistem atau gagasangagasan yang bersifat imajinatif. Mengisahkan cerita-cerita dongeng,
membacakan lelucon, atau menulis novel, merupakan penggunaan fungsi
imajinatif bahasa.
Ketujuh fungsi bahasa tersebut saling mengisi, saling menunjang satu
sama lain, bukan saling membedakan (Brown dalam Sobur, 2004: 302). Bahasa
berfungsi sebagai lem perekat dalam menyatupadukan keluarga, masyarakat dan
bahasa dalam kegiatan sosialisasi.
Komunikasi dengan mempergunakan bahasa adalah bersifat umum dan
universal. Kata “komunikasi” mencakup makna mengerti, berbicara, mendengar
dan membalas tindakan. Bila sifat itu dilihat dari fungsinya, maka bahasa
mempunyai fungsi sebagai berikut (Keraf dalam Sobur, 2004: 303):
1. Untuk tujuan praktis,
Pada dasarnya fungsi bahasa bagi manusia adalah untuk saling
berinteraksi dan berkomunikasi.
2. Untuk tujuan artistik,
Maksudnya adalah beberapa orang mengolah bahasa menjadi sebuah
karya seni yang indah seperti syair, puisi, gambar, lukisan, musik, dan
lain sebagainya.
3. Untuk tujuan filosofis
Maksudnya adalah agar manusia dapat mengetahui latar belakang
sejarah, perkembangan bahasa dari zaman ke zaman, mengetahui
kebudayaan dan adat istiadat, serta dapat mempelajari naskah-naskah
kuno.
4. Untuk menjadi kunci dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan
lainnya.
Setiap pengetahuan harus dipelajari terlebih dahulu. Agar kita dapat
memahami pengetahuan-pengetahuan tersebut, diperlukanlah bahasa
sebagai petunjuk dalam mempelajarinya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa menyangkut semua
aspek kehidupan dan semua bentuk kegiatan komunikasi, termasuk menciptakan

xxix
Universitas Sumatera Utara

sebuah musik yang di dalamnya terdapat sebuah lirik atau syair lagu. Lirik lagu
merupakan ekspresi seseorang yang di tuangkan ke dalam bentuk sebuah teks
tentang suatu hal yang sudah dilihat, didengar maupun dialaminya. Guna
mengekspresikan pengalamannya, penyair atau pencipta lagu melakukan
permainan kata-kata dan bahasa untuk menciptakan daya tarik dan kekhasan terhadap
lirik atau syairnya. Permainan bahasa ini dapat berupa permainan vokal, gaya bahasa
maupun penyimpangan makna kata dan diperindah dengan penggunaan
melodi yang disesuaikan dengan lirik lagunya sehingga pendengar semakin
terbawa dengan apa yang dipikirkan pengarangnya.
Lagu yang terbentuk dari hubungan antara unsur musik dengan unsur
syair atau lirik lagu merupakan salah satu bentuk komunikasi massa.
Sebagai pemenuhan

fungsinya sebagai media komunikasi, lagu juga sering

digunakan sebagai sarana untuk mengajak kita bersimpati tentang realitas yang
sedang terjadi maupun sebagai alat untuk menyampaikan aspirasi.
Hal ini berarti bahasa pada lirik lagu juga dapat digunakan untuk berbagai
tujuan, misalnya menyatukan perbedaan, pengobar semangat, bahkan lagu dapat
digunakan untuk memprovokasi atau sarana propaganda untuk mendapatkan
dukungan serta mempermainkan emosi dan perasaan dengan tujuan menanamkan
sikap atau nilai yang kemudian dapat dirasakan orang sebagai hal yang wajar,
benar dan tepat.
Untuk menemukan makna dari pesan yang ada pada lirik lagu,
digunakanlah metode semiotika yang notabene merupakan bidang ilmu yang
mempelajari tentang sistem tanda. Mulai dari bagaimana tanda itu diartikan,
dipengaruhi oleh persepsi dan budaya, serta bagaimana tanda membantu manusia
memaknai keadaan sekitarnya.
2.2.4. Semiotika
Istilah semiotik diperkenalkan oleh Hippocrates yang berasal dari bahasa
Yunani, semeion yang berarti “penunjuk” (mark) atau “tanda” (sign) fisik (Danesi,
2004: 6). Jadi, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)

xxx
Universitas Sumatera Utara

memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya
membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes dan Kurniawan
dalam Sobur, 2004: 15).
Semiotika menurut Morissan merupakan studi mengenai tanda (sign) dan
simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi.
Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda memiliki
objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri
(Morissan dan Wardhani, 2009: 27).

Hjelmselv (dalam Sobur, 2004: 16)

mendefinisikan tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahana ekspresi
(expression plan) dan wahana isi (content plan).
Contohnya, kita banyak

mengenal tanda-tanda dalam kehidupan

berkeluarga dan bermasyarakat. Seperti janur kuning yang terpasang di sekitar
lingkungan kita, itu menandakan bahwa sedang diadakannya suatu “hajatan”
perkawinan. Lain halnya bila kita melihat bendera kuning terpasang di depan
rumah atau di sudut jalan, itu pertanda adanya kematian.
Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang
dapat diperikan dalam istilah semiotika sebagai hubungan antara lima istilah:

S (s, i, e, r, c)

Sumber: Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. 2004: 17.
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign
(tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya,
suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara terhadap r pada kondisi-kondisi
tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks)
atau conditions (kondisi) (Sobur, 2004: 17).

Semiotika dibagi atas tiga wilayah yang dikemukakan oleh Charles Morris
(Morissan and Wardhani, 2009: 29), yaitu:
1. Semantik
Membahas tentang bagaimana tanda berhubungan dengan rujukannya,
atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia,

xxxi
Universitas Sumatera Utara

yaitu dunia benda dan dunia tanda, dan menjelaskan hubungan
keduanya. Semiotik semantik menguraikan tentang pengertian suatu
tanda sesuai dengan “arti” yang disampaikan. Perwujudan makna suatu
rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau “arti” yang ingin
disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan
diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin
disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
2. Sintaktik
Sintaktik dalam studi semiotika adalah studi mengenai hubungan di
antara tanda. Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa
memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku
subyek. Semiotik sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi
subyek yang menginterprtasikan.
Hal ini berarti, tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya. Tanda
selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok
tanda yang diorganisir melalui cara tertentu. Menurut pandangan
semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungannya dengan tanda
lain.
3. Pragmatik
Pragmatik yaitu bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam
kehidupan manusia atau dengan kata lain, pragmatik adalah studi yang
mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan. Pragmatik
menguraikan tentang asal-usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikannya,
dalam batas perilaku subyek. Menurut Leeds-Hurwitz, pragmatik
memiliki peran sangat penting dalam teori komunikasi karena tanda dan
sistem tanda dipandang sebagai alat yang digunakan orang untuk
berkomunikasi. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting
dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi
pemahaman atau kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Jadi, fokus
utama dalam semiotik adalah tanda. Bagaimana tanda yang ada dalam
sebuah teks direpresentasikan dan bagaimana tanda itu dimaknai oleh
setiap individu.
Jadi, fokus utama semiotik adalah teks. Model proses linier memberi
perhatian kepada teks tidak lebih seperti tahapan-tahapan yang lain dalam proses
komunikasi. Hal tersbut adalah salah satu perbedaan mendasar dari pendekatan
proses dan pendekatan semiotik. Di dalam semiotik, penerima atau pembaca
dipandang memiliki peranan yang lebih aktif dibandingkan sebagian besar model
proses. Semiotik lebih memilih istilah “pembaca (reader)” dibandingakan
“penerima (receiver)” karena istilah tersebut menunjukkan derajat aktivitas yang
lebih besar dan juga membaca adalah sesuatu yang kita pelajari untuk
melakukannya; jadi hal tersebut ditentukan oleh pengalaman budaya dari
xxxii
Universitas Sumatera Utara

pembaca. Pembaca membantu menciptakan makna dari teks dengan membawa
pengalaman, sikap, dan emosi yang dimiliki ke dalam makna (Fiske, 2012: 67).
Semiotik juga memiliki berbagai macam yang menyangkut seluruh aspek
kehidupan. Pateda mengungkapkan ada sembilan macam semiotik yang di kenal
(Sobur, 2004: 100):
1. Semiotik Analitik
Yaitu semiotik yang menganalisis sistem tanda. Menurut Peirce, objek
dari semiotik adalah tanda yang menganalisisnya menjadi suatu ide,
objek dan makna. Ide dikatakan sebagai lambang sedangkan makna
merupakan persepsi dari lambang yang mengacu pada objek tertentu.
2. Semiotik deskriptif
Yaitu semiotik yang mengacu pada tanda yang sering dialami sekarang,
meskipun tanda tersebut sudah ada sejak dahulu tapi masih di
pergunakan sampai saat ini. Misalnya, langit mendung menandakan
akan turun hujan.
3. Semiotik faunal (zoosemiotic)
Yaitu semiotik yang khusus memperhatikan suatu tanda yang
dihasilkan oleh hewan. Misalnya, seekor ayam yang sedang diam di
tempatnya itu menandakan bahwa ia sedang mengeram telur.
4. Semiotik kultural
Yaitu semiotik yang khusus menganalisis sitem tanda yang ada di suatu
kebudayaan tertentu. Suatu kebudayaan biasanya menggunakan tandatanda tertentu yang dapat membedakannya dengan budaya lain.
5. Semiotik naratif
Semiotik yang mempelajari tentang suatu tanda dalam narasi yang
berwujud mitos, dan cerita lisan yang di antaranya mempunyai nilai
kultural tinggi.
6. Semiotik natural
Yaitu semiotik yang khusus mempelajari tentang tanda yang dihasilkan
oleh alam. Misalnya, air sungai yang kotor menandakan adanya tanah
longsor yang mengisyaratkan bahwa manusia telah merusak alam
sehingga terjadinya longsor.
7. Semiotik normatif
Yaitu semiotik yang khusus menelaah tentang suatu tanda yang dibuat
oleh manusia yang berwujud norma-norma. Misalnya, rambu-rambu
lalu lintas yang dapat membuat kita mematuhi peraturan yang berlaku.
8. Semiotik sosial
Yaitu semiotik yang khusus mempelajari tentang tanda yang dihasilkan
oleh manusia yang berbentuk lambang, baik dalam suatu lambang yang
berbentuk kata maupun berbentuk kalimat. Dengan kata lain, semiotik
sosial mempelajari tentang sistem tanda yang terdapat dalam kalimat.
9. Semiotik struktural
Semiotik yang khusus menelaah tentang suatu tanda yang dimasukkan
ke dalam struktur bahasa.

xxxiii
Universitas Sumatera Utara

Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi
memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang di teliti itu teks,
teks itu dilihat sebagai tanda. Lalu tanda itu mengalami proses pemaknaan,
manusia (dan lingkungan sosio histori kulturalnya) tidak secara khusus
ditonjolkan dalam analisis semiotik (Hoed dalam Agusta, 2013: 33).

2.2.4.1. Semiotika dalam Musik
Sistem tanda musik adalah oditif. Tanda oditif maksudnya adalah tandatanda yang bersifat suara/irama/ritme/nada yang membawa suatu makna dalam
musik. Artinya bahwa untuk memahami makna dalam musik, maka analisis
semiotika mesti dilakukan terhadap tanda-tanda oditif dalam musik (Sobur, 2004:
144). Dengan memahaminya, kita mungkin dapat memahami kedalaman makna
musik dan ekspresi perasaan yang mendalam yang disampaikan melalui musik.
Ada tiga kemungkinan cara dalam melalukan analisis semiotika pada
musik yang dikemukakan oleh Aart Van Zoest (1993) (dalam Sobur 2004: 144).
Pertama, untuk menganggap unsur-unsur struktur musik sebagai ikonis bagi
gejala-gejala neurofisiologis pendengar. Dengan demikian, irama musik dapat
dihubungkan dengan ritme biologis. Kedua, untuk menganggap gejala-gejala
struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala struktural dunia
penghayatan yang dikenal. Ketiga, untuk mencari denotatum musik ke arah isi
tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksikal. Pada saat
melakukan analisis, penulis menggunakan kemungkinan yang ketiga karena
penulis ingin mencari makna denotatum serta konotasi yang ada pada lirik lagu
tersebut.
Bagi Zoest, sifat indeksikal tanda musik ini merupakan kemungkinan yang
paling penting, sebab simbolitas juga wujud dalam musik, baik menyangkut jenis,
historisitas, maupun gaya senantiasa menjadi bagian yang kompleks yang
diekspresikan dalam musik. Melalui tanda (sintak, semantic dan ekspressif), kita
bukan hanya dapat mengenali pesan/makna yang disampaikan dalam musik, akan
tetapi juga dapat mengenali perasaan seseorang (kebahagian, kesedihan, dan
sebagainya) melalui musik (Sobur, 2004: 146).

xxxiv
Universitas Sumatera Utara

Pada dunia semiotika, terdapat beberapa tokoh penting, seperti Charles
Sanders Peirce, seorang ahli filsafat serta logika Amerika dan Ferdinand de
Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss. Peirce mengatakan bahwa kita hanya
dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia juga dapat berkomunikasi lewat
sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun
isyarat badan. Tanda juga dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk
rambu lalu lintas.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas (Sobur, 2004 : 42):
1. Icon (ikon)
Ikon adalah tanda yang menghubungkan antara penanda dan
petandanya, bersifat bersamaan dalam bentuk alamiah. Dengan kata
lain, ikon adalah hubungan tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan : misalnya potret dan peta.
2. Index (indeks)
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat hubungan sebab akibat,
atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Tanda seperti itu
adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol.
3. Symbol (simbol).
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah, antara
penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbiter atau
semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Selain Peirce, Ferdinand Saussure juga mengkaji tentang tanda. Menurut
pandangan Saussure (Kriyantono, 2010: 269) tanda merupakan unsur yang
memiliki dua bagian tanda, yaitu:
1. Signifier, yaitu bunyi atau coretan yang bermakna, yaitu aspek material
dari bahasa yang dikatakan dan didengar atau apa yang ditulis atau
dibaca.
2. Signified,

yaitu

konsep

dari

bunyi-bunyian

dan

gambar.

Ketika berkomunikasi seseorang menggunakan tanda untuk mengirim
makna tentang objek dan orang lain yang akan menginterpretasikan tanda
tersebut. Syaratnya adalah komunikator dan komunikan harus mempunyai bahasa
atau sistem yang sama mengenai sistem tanda. Tanda (sign) adalah sesuatu yang
berbentuk fisik yang dapat dilihat dan di dengar yang biasanya merujuk kepada

xxxv
Universitas Sumatera Utara

sebuah objek atau aspek dari realitas yang ingin dikomunikasikan. Objek tersebut
dikenal dengan “referent”.
Kajian semiotik menurut Saussure lebih mengarah pada penguraian sistem
tanda yang berkaitan dengan linguistik, sedangkan Peirce lebih menekankan pada
logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat (Kriyantono, 2010:
266). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis semiotika dari Roland
Barthes dengan signifikasi dua tahap.

2.2.4.2. Semiologi Roland Barthes
Ada beberapa tokoh dalam semiotika selain Peirce dan Saussure, salah
satu tokoh yang mendalami tentang semiotika adalah Roland Barthes. Roland
Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang mempraktikan model
linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual

dan kritikus sastra

Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada
studi sastra. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik
pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang
sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda
situasinya (Sobur, 2004: 63).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
mengulas apa yang sering disebut sebagai sitem pemaknaan tataran kedua, yang di
bangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini Barthes
menyebutnya dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya dibedakan dari
denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Gagasan Barthes ini dikenal
dengan “order of signification”, yaitu makna denotasi dan makna konotasi serta
mitos (Sobur, 2004: 68).
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam

xxxvi
Universitas Sumatera Utara

tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini
mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Signifikasi tahap
kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).
Barthes memaksudkan, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga
cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua
(signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung
saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya
(Sagala, 2012: 35).
Pada konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Bathes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif (Sobur, 2004: 69).
John Fiske menggambarkan peta Barthes dengan membuat sebuah model
sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda seperti terlihat pada
gambar dibawah ini:

Gambar 2. 1
Signifikasi dua tahap Roland Barthes

Tataran pertama

Realitas

tataran kedua

Tanda

Budaya
konotasi

bentuk
penanda
denotasi
petanda

mitos

isi

Sumber: John Fiske dalam Sobur, Analisis Teks Media, 2004: 127

xxxvii
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan gambar diatas, signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan

signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas

eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari
tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan
signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai
kebudayaannya.
Makna denotasi merupakan pemaknaan secara langsung, yang berarti
menunjukkan makna yang tampak atau makna sebenarnya. Sedangkan makna
konotasi merupakan pemaknaan secara tidak lansung, yang berarti adanya makna
yang menggambarkan interaksi yang terjadi karena tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi, serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Wibowo, 2011:17).
Pada konsep Barthes,

makna denotasi dan konotasi berbeda dengan

pengertian pada umumnya. Denotasi menurut Barthes adalah sistem signifikasi
tingkat pertama, sedangkan konotasi merupakan tingkat kedua. Denotasi
diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Dalam kerangka Barthes, konotasi
identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos. Mitos berfungsi
untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Didalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda, dan tanda, dengan kata lain mitos adalah juga suatu
sistem pemaknaan tataran ke-dua (Sobur, 2004: 71).
Istilah mitos mengacu pada alur, struktur naratif, atau “fabel”. Atau
dengan kata lain, mitos adalah naratif, cerita yang dikonstruksikan dengan wacana
yang dialektis dan eksposisi. Mitos bersifat irasional dan intuitif, bukan uraian
filosofis yang sistematis (Sobur, 2004: 225).
Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya, dalam
artiannya yang orisinal. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan
untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi
Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu,
cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu (Fiske, 2011: 121).
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos
maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif

xxxviii
Universitas Sumatera Utara

terjadii secara termotivasi. Barthes memahami ideologi sebagai kesadaran juga
yang membuat orang hidup di dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidup
yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada.
Kebudayaan mewujudkan dirinya dalam teks-teks dan ideologi pun mewujudkan
dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk kedalam teks dalam bentuk
penanda-penanda penting seperti tokoh, latar, sudut pandang dan lain-lain (Sobur,
2004: 71).
Ciri-ciri mitos menurut Barthes (Adhitia, 2010: 38) sebagai berikut:
1. Deformatif
Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier),
concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan hasil
dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos
yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang
sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its
meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, form dan
concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi
untuk mengubah suatu fakta, bukan untuk menghilangkannya. Dengan
demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau
multidimensi (pada gambar). Pengubahan suatu fakta hanya mungkin
terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam bentuk bahasa
tersebut.
2. Intensional
Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara
intensional. Mitos berakar dari konsep historis (sejarah). Pembacalah yang
harus menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia berjalan-jalan di
Sumatera Barat, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan
ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik dari arsitektur
Minangkabau. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk
menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di
London dan ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya,
berbentuk empat persegi panjang, penuh dengan ukiran, dan ditopang
dengan tiang-tiang besar dan panjang, maka secara spontan dirinya akan
mengenali rumah itu sebagai Rumah Gadang dari Sumatera Barat.
3. Motivasi
Bahasa bersifat arbitrer (sewenang-wenang), tetapi kearbitreran itu
mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi (kata yang ditambahkan
imbuhan), terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca- dibacaterbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada
motivasi dan analogi (kesamaan). Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari
beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna
dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis.

xxxix
Universitas Sumatera Utara

Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari
minuman anggur adalah minuman berakohol yang bisa memabukkan. Barthes
mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya
bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh
adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu
dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan,
anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan
dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian,
konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan seharihari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos (Adhitia,
2010: 38).
Dalam pandangan Umur Junus (dalam Sobur, 2004: 130), mitos tidak
dibentuk melalui penyelidikan, tapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar
yang digeneralisasikan. Oleh karena itu, mitos banyak hidup dalam masyarakat.
Mitos awalnya hidup dalam “gunjingan”. Kemudian dibuktikan dengan tindakan
nyata. Misalnya, mitos tentang korupsi awalnya hanya hidup sebagai gunjingan.
Namun kemudian dibuktikan dengan tindakan nyata, sehingga ada operasi tertib
tentang pungli atau dengan didakwanya beberapa orang yang dianggap telah
melakukan korupsi.
Sesungguhnya kehidupan manusia, dan dengan sendirinya hubungan
antarmanusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan
oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita menyukai atau
membencinya. Dengan demikian mitos akan menyebabkan kita mempunyai
prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos (Sobur,
2004: 130).
Betapapun dominannya suatu mitos, ia selalu akan didampingi oleh suatu
mitos lain, yang merupakan kontramitos. Ini barangkali dapat dikatakan sifat yang
biasanya terdapat pada sebuah masyarakat yang telah terbuka kepada dunia luar.
Hanya dalam masyarakat yang benar-benar tertutup akan ditemui kemutlakan
suatu mitos. Dengan begitu, mitos-mitos tadi akan ditentang oleh mitos-mitos
yang lain pula, yang disebut dengan kontramitos (Junus dalam Sobur, 2004: 131).

xl
Universitas Sumatera Utara

Mitos merupakan kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi
sebagai media komunikasi, sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya
Mythologies (1993). Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk
symbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk simbol
dalam komunikasi, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah
raga dan televisi. Gejala ini secara tidak sadar kita saksikan sehari-hari, terutama
dalam advertensi lewat televisi (Sobur, 2004: 208).
Aspek lain dari mitos adalah dinamismenya. Mitos dapat berubah dan
beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan
perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari
kebudayaan tersebut (Fiske, 2011: 125). Mitos dapat berkembang seiring semakin
berkembangnya suatu kebudayaann tersebut.

2.2.5. Makna
Komunikasi menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss adalah proses
pembentukan makna diantara dua orang atau lebih. Para ahli mengakui, istilah
makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan
(Sobur, 2004: 255). Orang-orang sering menggunakan istilah pesan dan makna
secara bergantian. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut semantik, dapat dikatakan
bahwa ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ –pesan bisa memiliki lebih dari satu
makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.
Makna dari sebuah wahana tanda menurut Umberto Eco ( Sobur, 2004:
255) adalah satuan kultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang
lainnya

serta,

dengan

begitu,

secara

semantik

mempertunjukkan

ulah

ketidaktergantungannya pada wahana tanda yang sebelumnya. Ada beberapa
pandangan mengenai teori dan konsep makna yang diungkapkan oleh Wendell
Johnson (Sobur, 2004: 258), yaitu:

1. Makna ada dalam diri manusia.
Kata-kata tidak mempunyai makna, tapi manusia lah yang memaknai
kata-kata tersebut agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima
dengan baik. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa makna ada dalam
setiap diri manusia.
xli
Universitas Sumatera Utara

2. Makna berubah.
Makna pada sebuah kata bisa berubah seiring dengan berkembangnya
zaman. Banyak dari kata-kata masa lampau yang dianggap kurang
sesuai untuk digunakan pada masa sekarang ini. khususnya terjadi
pada dimensi emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya, makna
kata-kata berikut, bertahun-tahun yang lalu dan sekarang, hubungan
diluar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (di Amerika
Serikat kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan masamasa yang lalu).
3. Makna membutuhkan acuan.
Sebuah makna membutuhkan acuan agar makna yang diterima oleh
seseorang dapat diterima juga oleh orang lain. Komunikasi tidak akan
gagal jika ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan
eksternal.
4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna.
Berk